Dendam Membara 1
Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01
Anak perempuan itu berusia kurang lebih enam tahun, lucu dan cantik sekali dengan baju merah berkembang, rambut panjang dikuncir dua, la berlari-lari mengejar kupu-kupu yang beterbangan di antara bunga-bunga yang sedang mekar semerbak mengharum di taman itu. Sampai basah leher dan mukanya oleh peluh, dan kedua pipinya menjadi segar kemerahan, namun tak pernah ia berhasil menangkap seekorpun kupu-kupu. Akhirnya ia berhenti mengejar, berdiri di bawah pohon jeruk memandangi buah-buah jeruk yang sudah tua menguning, la mencoba untuk menanjat ke atas melalui batang pohon, namun batang itu masih basah oleh air hujan semalam sehingga licin dan ia tidak berhasil.
Diambilnya beberapa buah batu dan dilemparinya jeruk-jeruk itu, akan tetapi juga tidak pernah berhasil. Anak laki-laki berusia kurang lebih delapan tahun yang sejak tadi mengintai gerak gerik anak perempuan itu, memasuki taman. Anak ini cukup tampan dan sehat walaupun pakaiannya sederhana saja, bahkan sepatunya sudah agak lusuh. Tanpa berkata sesuatu dia menghampiri pohon jeruk dan dengan mudah dia memanjat ke atas dan memetik dua buah jeruk yang sudah masak, kemudian turun kembali dan menyerahkan buah-buah itu kepada si gadis kecil tanpa bicara. Anak perempuan itu menerima dua buah jeruk sambil tersenyum girang. Dikantunginya sebuah dan dikupasnya yang sebuah lagi.
"Engkau putera bibi Bu itu, bukan?"
Tanyanya sambil menatap wajah anak laki-laki yang berdiri di depannya. Anak laki-laki itu mengangguk tanpa mengeluarkan suara, kemudian dia membalikkan tubuhnya hendak pergi.
"Nanti dulu!"
Anak perempuan itu mencegah dan anak laki-laki itu menahan langkahnya, kembali menghadapinya.
"Siapa namamu?"
"Nama saya Bu Cin Han, nona."
"Sudah berbulan-bulan engkau berada di sini dengan ibumu, dan baru sekarang kita bercakap-cakap. Namaku Lui Kim Eng, sudah tahukah engkau?"
Kembali Cin Han, anak itu, mengangguk. Tentu saja dia sudah tahu. Lui Kim Eng ini merupakan puteri dan anak tunggal dari majikan mereka, majikan ibunya dan mendiang ayahnya. Ayah anak ini, atau majikan mereka, Lui Tai-jin (Pembesar Lui) adalah seorang jaksa yang berkuasa dan berharta di kota Wan-sian di Propinsi Se-cuan. Mendiang ayahnya, sudah bertahun-tahun menjadi prajurit pengawal Lui Tai-jin, dan semenjak dia diangkat menjadi kepala pengawal beberapa bulan yang lalu, dia diharuskan tinggal di dalam perumahan di belakang gedung tempat tinggal Lui Tai-jin dan dia memboyong isterinya dan anak tunggalnya ke tempat kediaman baru itu.
Akan tetapi, baru sebulan dia dan ibunya diboyong ke perumahan itu, pada suatu malam ayahnya meninggal dunia secara mendadak, oleh suatu penyakit berat yang membuat ayahnya muntah-muntah. Dan sejak ayahnya meninggal, dia dan ibunya tetap tinggal di situ karena ibunya juga bekerja di situ sebagai seorang pelayan. Pada pagi hari itu, dia meninggalkan ibunya yang sudah tiga hari jatuh sakit dan hanya rebah di dalam kamar mereka memasuki taman untuk sekedar menghibur hatinya yang berduka karena selama beberap hari ini kurang tidur menjaga ibunya yang sakit. Dan yang membuat dia bersedih adalah melihat ibunya yang sakit itu seringkali menangis. Karena ibunya tidak menceritakan sebab kesedihannya, dia menduga bahwa tentu ibunya teringat kepada ayahnya yang meninggal dunia.
"Aih, kenapa engkau melamun saja? Cin Hin, dapatkah engkau menangkapkan seekor kupu-kupu untukku? Sejak tadi aku mengejar kupu-kupu yang bersayap biru itu tanpa hasil.Tangkapkan seekor untukku, Cin Han."
Cin Han memandang ke arah beberapa ekor kupu-kupu yang beterbangan di sekitar bunga-bunga dan memang terdapat beberapa ekor yang bersayap biru, indah sekali.
"Sio-cia (nona), untuk apa kupu-kupu ditangkap?"
"Untuk apa? Tentu saja untuk main-main, akan kumasukkan dalam botol besar..."
"Ah, kasihan, hal itu akan menyiksanya dan akhirnya ia akan mati. Tidak baik menyiksa binatang yang indah dan tidak berdosa itu, sio cia."
Sepasang mata yang jeli dan indah itu menatap wajah Cin Han penuh keheranan.
"Akan tetapi ia hanya seekor kupu-kupu, seekor binatang!"
"Apa bedanya dengan kita, sio-cia? Iapun dapat menderita, ketakutan dan mungkin ia dapat menangis tanpa terdengar oleh kita. Kita juga tidak akan mau kalau ditangkap raksasa lalu dimasukkan ke dalam botol untuk main-main, bukan?"
Kini Eng mengangguk-angguk, agaknya ia dapat membayangkan betapa akan tersiksanya kalau ia sampai ditangkap dan dimasukkan dalam botol! Ia lalu mengeluarkan jeruk yang dimasukkan kantung tadi dan menyerahkannya kepada Cin Han. Akan tetapi sebelum Cin Han menerimanya, tiba tiba terdengar suara ribut-ribut. Keduanya menengok dan betapa terkejut hati Cin Han melihat ibunya menjerit-jerit ketika tangannya dipegang oleh tukang kebun dan ditariknya, diseretnya dengan kekerasan menuju kerumah kecil tukang kebun itu yang terletak di sudut belakang taman yang luas itu.
"Lepaskan aku... ohh, lepaskan aku..."
Ibunya menangis dan menjerit-jerit.
"Hayolah... tidak usah rewel lagi! Tai-jin sudah memberikan engkau padaku, engkau sudah sah menjadi milikku, menjadi isteriku...!"
Tukang kebun itu berkata sambil menyeringai dan menyeret wanita itu. Tukang kebun itu bernama Phang Lok, seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar, mukanya buruk bekas menderita cacar dan sikapnya kasar.
"Ibuuuu...!"
Cin Han melepaskan jeruk yang diterimanya dari Kim Eng tadi dan berlari menghampiri tukang kebun yang menyeret ibunya. Kim Eng sendiri terkejut dan ketakutan, lalu lari masuk ke dalam gedung.
"Cin Han...!"
Nyonya Bu juga berteriak melihat puteranya berlari menghampirinya. Ia seorang wanita berusia hampir tiga puluh tahun, berwajah mirip puteranya, cantik dan tubuhnya menarik. Karena ia meronta dan berusaha melepaskan diri, pakaiannya menjadi kusut, ikatan gelung rambutnya terlepas dan wajahnya pucat sekali. Namun, Phang Lok tidak memperdulikan semua itu, dengan mulut menyeringai dia menarik-narik terus.
"Lepaskan ibuku! Lepaskan!"
Cin Han kini menarik-narik lengan tukang kebun itu agar melepaskan ibunya.
"Pergilah engkau!"
Bentak Phang Lok dan kakinya menendang.
"Bukkkk!"
Pinggul Cin Han tertendang keras sekali sampai tubuhnya terlempar dan dia terbanting keras, jatuh bergulingan.
"Cin Han..!!"
Ibunya berteriak, akan tetapi Phang lok yang sudah kehilangan kesabarannya, menyeretnya cepat memasuki gubuknya, rumah kecil di sudut kebun itu yang terbuat dari pada tembok bercat kuning. Wanita itu meronta dan menjerit, akan tetapi Phang Lok mengempitnya dan mendekap mulutnya sehingga jeritannya tertahan. Biarpun tubuhnya terata nyeri, terutama sekali bagian pinggul yang tertendang tadi, dan kepalanya terasa pening karena terbanting, Cin Han memaksa dirinya bangkit dan diapun lari mengejar ke dalam gubuk sambil berteriak memanggil ibunya.
"Ibuuuu...!"
Dia memasuki, rumah kecil itu, mendengar jeritan tertahan dari dalam satu-satunya kamar yang berada di situ. Daun pintu kamar itu tidak terkunci, dan Cin Han segera mendorongnya terbuka. Dengan mata terbelalak marah dia menyerbu ke dalam ketika melihat ibunya sedang bergumul dengan tukang kebun Phang Lok. Ibunya meronta-ronta dan menangis, berusaha menjerit namun mulutnya didekap dan pakaian ibunya sudah robek-robek.
"Lepaskan ibuku, jahanam!."
Bentak Cih Han dan diapun menyerang Phang Lok dari belakang, memukul dan menjambak penuh kemarahan. Merasa terganggu kesenangannya, Phang Lok menjadi marah sekali. Dia melepaskan wanita itu, membalik dan menjambak rambut Cin Han.
"Setan kecil, apakah engkau sudah bosan hidup?"
Bentaknya dan sekali kepalan kanannya menyambar, Cin Han merasa seperti disambar petir. Tubuhnya terjungkal dan matanya berkunang karena mukanya sudah terkena tonjokan tukang kebun itu, keras sekali! Phang Lok menyusulkan tendangan.
"Desss!"
Dada anak itu tertendang dan dia-pun terjengkang, tak mampu bergerak lagi.
"Cin Han...!"
Nyonya Bu menjerit dan menubruk puteranya, akan tetapi Phang Lok sudah menyambar lengannya dan menyeretnya kembali ke atas pembaringan. Kembali terjadi pergumulan, akan tetapi nyonya Bu sudah kehabisan tenaga dan ia cemas sekali melihat puteranya. Akhirnya ia hanya mampu menangis dan tidak mampu melawan atau mempertahankan kehormatannya lagi yang diperkosa secara buas oleh Phang Lok. Sementara itu, Cin Han dalam keadaan setengah pingsan melihat apa yang terjadi atas diri ibunya.
Ibunya diperkosa orang, di depan matanya tanpa dia mampu bergerak untuk menolong ibunya! Hubungan kelamin antara pria dan wanita merupakan suatu peristiwa yang indah dan suci, kalau saja dilakukan dengan perasaan cinta kasih antara kedua pihak. Perbuatan antara sepasang manusia pria dan wanita ini, selain indah dan suci, juga teramat penting karena merupakan sarana utama perkembang-biakan manusia. Namun, apabila dilakukan tanpa cinta kasih kedua pihak dan hanya terdorong oleh nafsu berahi belaka, perbuatan itu menjadi teramat buruk. Kenikmatan dalam hubungan ini merupakan anugerah, seperti semua kenikmatan yang dapat dirasakan oleh panca indra kita, namun kalau kita melakukan pengejaran terhadap kenikmatan hubungan kelamin, maka terjadilah segala macam kemaksiatan seperti perkosaan dan pelacuran.
Setelah nafsu kejalangannya tersalur, setelah sejemput kenikmatan diperoleh secara paksa, Phang Lok mengenakan lagi pakaiannya dan keluar dari dalam rumahnya. Seperti sudah lazim terjadi, semua perbuatan yang dilakukan atas dasar nafsu, selalu menimbulkan penyesalan dan rasa takut, dan Phang Lok ingin menyembunyikan perasaan ini dengan bekerja membersihkan taman seperti biasa. Nyonya Bu menangis dan setelah membereskan kembali pakaiannya, ia lalu turun dari pembaringan, menubruk Cin Han, merangkul puteranya sambil menangis tersedu-sedu. Cin Han diam saja. Rasa nyeri di kepala dan dadanya, tidaklah sehebat rasa pedih yang menusuk hatinya. Penglihatan tadi membuat dia nanar dan seperti kehilangan semangat.
"Cin Han...!"
Ibu itu merintih dan merasa gelisah sekali, mengkhawatirkan keselamatan puteranya.
"Ibu..."
Anak itu berbisik dan ibunya mendekapnya, mencium mukanya dan membasahi muka anaknya itu dengan air matanya.
"Cin Han, kau dengar baik-baik, anakku. Semua ini adalah akibat perbuatan Lui Tai-jin. Semenjak aku dan engkau diboyong ke sini oleh mendiang ayahmu, Lui Taijin selalu hendak menggodaku, akan tetapi aku menolak. Kemudian, tiba-tiba ayahmu meninggal karena penyakit aneh. Dia muntah-muntah dan meninggal dunia. Aku kini yakin bahwa tentu ayahmu diracun oleh Lui Tai-jin, hanya karena dia ingin mendapatkan diriku. Aku... aku diperkosanya dan sejak ayahmu meninggal dunia, aku dipaksa menjadi kekasihnya..."
Cin Han membelalakkan matanya. Selama ini dia menganggap majikan mereka sebagai orang yang amat baik, yang telah melepas budi kebaikan kepada ayah dan ibunya. Kiranya orang yang dianggapnya mulia itu telah membunuh ayahnya dan mencemar-kan ibunya!
"Perbuatannya itu membuat aku mengandung, anakku. Akan tetapi dia Lui Tai-jin, memaksaku minum obat untuk menggugurkan kandunganku. Kandungan itu gugur dan aku rebah sakit. Akan tetapi hari ini... tahu-tahu dia menyerahkan aku kepada Phang Lok, untuk menjadi isterinya secara paksa.."
Wanita itu menangis lagi sesenggukan.
"Ibu... jahanam yang jahat sekali Lui Tai-jin itu...!"
Karena marahnya mendengar keterangan ibunya, bangkit semangat Cin Han dan lenyaplah segala perasaan nyeri di tubuhnya.
"Sssttt... jangan katakan itu... simpan saja dalam hatimu, anakku dan kelak... kalau engkau sudah dewasa, engkau ingatlah semua peristiwa ini... Sekarang, keluarlah dari sini, Cin Han, aku... aku ingin tidur... aku sakit dan lelah sekali..."
Wanita itu merangkul dan menciumi kembali muka anaknya, lalu melepaskan rangkulannya, mengajak Cin Han bangkit berdiri dan mendorong pundak anaknya untuk keluar dari dalam kamar itu. Cin Han melangkah keluar dan daun pintu kamar ditutup dari dalam oleh ibunya. Dia lalu keluar dari dalam rumah, duduk termenung di atas bangku yang berada di luar rumah. Rasa nyeri-nyeri di tubuhnya terasa lagi, berdenyut-denyut, dan kedua telinganya mengiang-ngiang. Namun dia tidak memperdulikan ini semua karena kenangannya penuh dengan cerita ibunya tadi. Yakinlah hatinya akan kebenaran semua cerita ibunya.
Ayahnya diracun sampai mati oleh Lui Tai-jin, kemudian ibunya diperkosa sampai hamil dan kandungan itu digugurkan, Kemudian lagi, keparat itu memaksa ibunya menjadi isteri Phang Lok, tukang kebun yang buruk rupa dan buruk tingkah itu sehingga ibunya diperkosanya, di depan matanya! Dia mengepal tinju. Tak mungkin dia membiarkan saja mereka melakukan semua kejahatan itu terhadap keluarganya. Ayah dibunuh, ibunya diperkosa, dan dia sendiri dipukuli! Dia harus membalas semua itu. Akan tetapi, dia harus menjadi seorang yang kuat untuk mampu melakukan pembalasan. Tiba-tiba dia mendengar suara keras dari dalam rumah. Dia terkejut, meloncat dan lari memasuki rumah, mendorong daun pintu kamar. Begitu dia masuk, dia berdiri seperti terpukau, wajahnya pucat, matanya terbelalak, kedua kakinya menggigil.
"Ibuuuuuu...!"
Dia menjerit sekuat tenaga dan terguling menubruk tubuh ibunya dalam keadaan pingsan.
Darah bercampur otak yang keluar dari kepala wanita itu membasahi dada Cin Han yang pingsan. Teriakan melengking dari Cin Han tadi menarik datangnya orang-orang dari dalam gedung, terutama sekali para pelayan, juga Phang Lok. Mereka semua terkejut. Nyonya Bu menggeletak dengan kepala pecah, agaknya telah membenturkan kepala pada dinding, membunuh diri! Puteranya pingsan di sebelahnya! Ketika Cin Han siuman dari pingsannya, dia melihat kamar itu telah penuh orang, di antara-nya dia melihat tukang kebun Phang Lok, juga Lui Tai-jin. Seketika bangkitlah kemarahannya dan diapun bangkit berdiri. Baju di dadanya penuh darah dan mukanya pucat sekali, matanya melotot ketika dia memandang kepada Phang Lok dan Lui Tai-jin. Tiba-tiba dia lari menghampiri Lui Tai-jin, memukul-mukul sambit berteriak-teriak.
"Engkau membunuh ibuku...! Engkau membunuh ibuku...!"
Tentu saja beberapa orang pelayan segera menghadangnya dan mereka melindungi Lui Tai-jin, bahkan seorang di antsra mereka mendorong anak itu sehingga terhuyung. Kini Cin Han membalik dan menyerang Phang Lok.
"Engkau membunuh ibuku...!"
Phang Lok menyambutnya dengan tamparan yang membuat Cin Han terpelanting roboh di dekat mayat ibunya yang menjadi tontonan. Melihat ini, hati Lui Tai-jin merasa tidak enak.
"Cin Han, ibumu membunuh diri karena berduka ditinggal mati ayahmu,"
Katanya dan diapun memerintahkan pengawal untuk menyeret keluar Cin Han yang masih hendak mengamuk itu. Melihat betapa anak itu meronta-ronta dan masih berteriak-teriak, Lui Tai jin menjadi marah.
"Lui Tai-jin dan Phang Lok yang membunuh ibuku!"
Demikian anak itu berutang kali memaki.
"Seret dia keluar dan dia tidak boleh masuk lagi ke sini!"
Bentak Lui Tai-jin. Cin Han dipegang dan diseret oleh dua orang pengawal, dibawa keluar. Akan tetapi di serambi depan, mereka dipanggil oleh Lui Toa-nio (Nyonya Lui) yaitu isteri pertama dari Lui Tai-jin. Mendengar panggilan nyonya majikan ini, dua orang pengawal lain membawa Cin Han menghadap.
Nyonya Lui yang usianya sudah hampir lima puluh tahun itu memiliki watak yang ramah dan budi pekerti yang halus. Banyak sudah ia makan hati melihat watak suaminya yang berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukannya dan suka mempermainkan wanita. Ia merasa kasihan sekali kepada Cin Han ketika mendengar betapa ibu anak itu membunuh diri. Ia tahu bahwa ibu anak itu mengandung oleh suaminya, kemudian kandungan digugurkan dengan paksa dan wanita itu diserahkan kepada tukang kebun untuk dipaksa menjadi isterinya. Tanpa banyak cakap lagi, ia menyerahkan sebuah kantung kain terisi sepuluh tail perak kepada Cin Han. Cin Han meninggalkan rumah keluarga Jaksa Lui, akan tetapi dia tidak pergi jauh. Dia bersembunyi tidak jauh dari situ dan ketika ada orang mengusung jenazah ibunya ke tanah kuburan, diapun mengikutinya dari jauh.
Setelah jenazah dalam peti sederhana itu, dikubur, disamping makam ayahnya dan para petugas penguburan meninggalkan tempat itu, barulah Cin Han datang berlutut ke depan makam ibunya dan menangis sepuasnya. Malam itu dia tidak meninggalkan makam ibunya dan dengan tubuh masih terasa nyeri semua dan perasaan yang lebih pedih lagi, diapun tertidur di depan makam ayah ibunya. Baru pada keesokan harinya, pagi-pagi dia meninggalkan tanah kuburan, keluar dari kota Wan-sian. Dia sendiri tidak tahu ke mana dia akan pergi. Yang jelas, dia harus meninggalkan kota itu, pergi ke mana saja membawa bekal uang sepuluh tail pemberian Nyonya Lui. Sang Waktu memiliki kekuasaan yang amat mutlak. Segala sesuatu yang ada di dunia ini, akhirnya akan ditelan Sang Waktu dan akan lenyap. Lambat namun pasti Sang Waktu akan menjadi pemenang terakhir, membasmi segalanya.
Kalau tidak diperhatikan, Sang Waktu melesat secepat kilat, melebihi kecepatan anak panah yang terlepas dari busurnya, sehingga orang tua kalau mengenang masa kanak-kanaknya yang telah lewat puluhan tahun lamanya, seolah-olah masa itu baru terjadi beberapa hari yang lalu saja. Sebaliknya, kalau diperhatikan, seperti orang menantikan sesuatu. Sang Waktu merayap demikian perlahan, lebih lambat dari pada jalannya seekor siput. Dua tahun telah lewat sejak Cin Han meninggalkan kota Wan-sian. Uang bekal sepuluh tail pemberian Nyonya Lui sudah lama habis untuk-makan setiap hari. Dia sudah berusaha mencari pekerjaan, namun tak seorangpun membutuhkan tenaga seorang anak berusia sepuluh tahun.Karena terpaksa, Cin Han berkeliaran dari kota ke kota sambil mengemis. Dia terpaksa minta-minta untuk dapat mempertahankan hidupnya.
Waktu yang dua tahun lamanya itu telah menghapus kesedihannya. Pada hari-hari pertama dia meninggalkan Wan-sian, hampir setiap malam dia menangis dan teringat kepada ibunya. Kalau dia membayangkan semua peristiwa yang terjadi, betapa ibunya diperkosa orang di depan matanya dan dia sendiri dihajar oleh tukang kebun Phang Lok, hatinya terasa sakit sekali. Namun, lambat laun kesedihannya menipis dan yang tinggal hanyalah dendam! Dendam kepada Lui Tai-jin, dendam kepada Phang Lok. Perasaan dendim ini yang mengusir keputus-asaan yang kadang-kadang mengganggu hatinya! Perasaan ini mendorongnya untuk hidup dan untuk memperkuat dirinya untuk kelak membalas dendam. Dia harus belajar ilmu silat, harus menjadi orang yang cukup kuat.Akan tetapi dia tidak tahu kepada siapa dia harus mempelajari ilmu silat.
Dari perantauannya dia mendengar bahwa orang belajar ilmu silat haruslah membayar mahal kepada seorang guru silat di rumah perguruan silat.Hanya anak-anak dari keluarga mampu saja yang akan dapat belajar ilmu silat di perguruan silat dengan membayar mahal. Bagi dia tidak mungkin. Untuk makan saja dia harus minta-minta. Mana ada uang untuk membiayai pelajaran silat? Pada suatu hari, perantauannya tanpa tujuan tertentu itu, membawanya naik ke lereng sebuah bukit di Pegunungan Heng tuan.Seorang anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun, bertubuh kurus tak terawat, pakaiannya, kotor compang camping, namun sinar matanya penuh semangat.Cin Han memang tak pernah kehilangan semangatnya, karena dibakar dendam. Dendam selalu membara di hatinya, di benaknya dan ini memberinya semangat untuk hidup, betapapun sulitnya kehidupan itu dirasakannya. Hari telah menjelang senja.
Matahari sudah condong ke barat dan panas tidak begitu menyengat lagi. Hawa pegunungan mulai terasa sejuk dengan angin semilir nyaman, pemandanganpun mulai nampak indah dari ketinggian lereng bukit itu. Akan tetapi Cin Han tidak melihat semua keindahan itu, tidak merasakan kenyamanan udara itu, karena perutnya lapar! Juga tubuhnya lelah sekali. Kelelahan membuat perut lapar semakin terasa menggigit-gigit di dalam perut. Sumber seeala keindahan memang bukan terletak di luar diri, melainkan di dalam diri kita. Kalau kita sehat lahir batin, maka segalapun akan nampak indah. Akan tetapi kalau ada sesuatu yang mengganggu diri kita, baik gangguan lahir dan terutama sekali gangguan batin, maka segala keindahan takkan nampak. Seekor kelinci putih menyelinap di antara semak-semak belukar.
Cin Han melihat ini dan diapun cepat meloncat untuk mengejar dan menangkap kelinci itu. Seekor kelinci putih yang gemuk. Alangkah akan lezatnya kalau dia dapat memanggang daging kelinci itu. Lezat dan mengenyangkan. Cin Han mengambil sebatang ranting pohon kering dan menggunakan batu-batu untuk menyambit semak-semak ke mana kelinci tadi menyusup masuk. Kelinci yang ketakutan itu meloncat keluar dari semak semak dan berlari, dikejar Cin Han dengan kayu ranting diangkat tinggi, siap untuk memukul. Namun kelinci itu terlampau cepat bagi Cin Han, sudah menyelinap dan menyusup lagi ke dalam semak-semak yang lain. Cin Han tidak patah semangat, terus dikejarnya kelinci itu, kalau berada dalam semak-semak dia sambiti dengan batu, kalau sudah berlari keluar dikejarnya lapi.
Akhirnya, kelinci itu lenyap dan Cin Han berdiri terengah-engah, mandi peluh dan merasa kecewa sekali. Perutnya menjadi semakin lapar karena tubuhnya semakin lelah oleh pengejaran tadi. Dengan penyesalan terhadap ketidakmampuannya sendiri, diapun menjatuhkan diri di atas rumput tebal, di bawah pohon, untuk beristirahat. Akan tetapi, suara ribut-ribut itu membuat dia terlonjak kaget dan bangkit berdiri menuju ke arah suara orang berteriak-teriak itu. Ketika tiba di tempat itu, di tepi sebuah hutan di bawah puncak, dia tertegun. Yang berteriak-teriak itu adalah lima orang laki-laki yang berusia antara tiga puluh sampai empat-puluh tahun, bersikap kasar dan sambil berteriak-teriak, mereka memukuli seorang hwesio (pendeta Buddha) yang duduk bersila di bawah pohon besar. Lima orang itu memaki-maki dan memukuli, menendangi tubuh hwesio itu.
"Hwesio keparat!! Engkau menggagalkan usaha kami!"
"Buruan kami lolos karena ulahmu!"
"Apakah engkau sengaja hendak menantang kami?"
Dari bentakan mereka, juga melihat pakaian mereka, Cin Han dapat menduga bahwa mereka adalah para pemburu binatang hutan. Akan tetapi yang menarik perhatiannya adalah hwesio itu. Seorang kakek yang usianya tentu ada enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan mukanya hitam, kepalanya gundul, pakaiannya hanya jubah pendeta berwarna kuning yang agak kumal dan kusut. Hwesio itu menerima makian, pukulan dan tendangan tanpa mengelak, menangkis apa lagi membalas, hanya tetap duduk bersila merangkapkan kedua tangan di depan dada seperti orang berdoa. Pukulan dan tendangan yang mengenai tubuhnya mengeluarkan suara bak-buk bak-buk seperti memukuli kasur.
Melihat tingkah laku lima orang itu, yang memukuli dan menendangi seorang hwesio yang sama sekali tidak melawan, timbul perasaan iba di hati Cin Han. Selama ini dia menganggap hwesio sebagai rekannya, karena para hwesio yang dijumpainya dalam perantauannya juga suka minta-minta seperti yang dilakukannya. Biaranya, hwesio-hwesio itu mudah menerima dana dari orang-orang, karena mereka itu mengharapkan berkah dan doa dari si hwesio, sedangkan tiada sedikitpun imbalan dapat diharapkan dari pengemis lain, apa lagi pengemis kecil macam dia. Akan tetapi, kerap kali Cin Han menerima makanan dari para hwesio yang selalu rela membagi hasil mereka kepada para pengemis lain. Oleh karena itu, melihat seorang hwesio tua dipukuli oleh lima orang itu, hatinya menjadi marah sekali.
"Jangan pukuli dia!"
Teriaknya sambil lari menghampiri hwesio itu dan menghadang di depan hwesio dengan mata terbelalak marah.
"Jangan kalian memukuli dia!!"
Bagaikan seekor anak harimau dia menghadapi lima orang pemburu itu, sedikitpun tidak merasa takut. Lima orang pemburu itu saling pandang, merasa heran melihat munculnya seorang anak laki-laki mencegah mereka menghajar hwesio itu.
"Siapa engkau? Apamukah hwesio keparat ini?"
Tanya seorang di antara mereka.
"Bukan apa-apaku, akan tetapi kalian tidak boleh memukuli dia yang tidak bersalah!"
Cin Han menjawab.
"Tidak bersalah? Engkau anak kecil tahu apa? Hayo pergi!"
Bentak seorang di antara mereka. Melihat betapa lima orang itu sudah mendekat dengan sikap mengancam, Cin Han merangkul hwesio itu dengan sikap melindu--ngi."Tidak, kalian tidak boleh memukuli dia lagi!"
Kemarahan lima orang itu kini ditumpahkan kepada Cin Han. Mereka menampar dan menendang sehingga tubuh Cin Han jatuh bangun, dijadikan bola oleh mereka.
"Omitohud... kalian sungguh kejam!!"
Hwesio yang tadi hanya duduk bersila dan sama sekali tidak melawan ketika dimaki, dipukuli dan ditendangi, kini melihat Cin Han dipukuli mereka, lalu bangkit berdiri. Dengan langkah lebar dia menghampiri. Ketika lima orang itu menyambutnya dengan serangan, dia hanya menggerakkan tangan kirinya yang hampir tertutup lengan baju yang lebar dan panjang. Beberapa kali dia menggerakkan tangan kirinya itu dan lima orang itupun terjungkal seperti tertiup angin keras. Hwesio itu lalu membangunkan Cin Han yang babak belur dan benjol-benjol.
"Anak baik, engkau berdiri sajalah di belakangku,"
Kata hwesio tua bermuka hitam itu. Kini lima orang pemburu sudah berloncatan bangun dan mereka sudah mencabut senjata mereka berupa golok yang tajam berkilauan. Tentu saja Cin Han merasa ngeti, akan tetapi hwesio itu bersikap tenang saja. Kemarahan lima orang itu kini ditumpahkan kepada Cin Han. Mereka menampar dan menendang sehingga tubuh Cin Han jatuh bangun, dijadikan bola oleh mereka.
"Omitohud, pinceng (saya) tidak ingin berkelahi, harap kalian suka mundur dan jangan melanjutkan perbuatan sewenang-wenang ini,"
Katanya, suaranya tetap ramah dan pandang matanya lembut. Akan tetapi lima orang itu agaknya sudah marah bukan main dan tanpa banyak cakap lagi mereka lalu menerjang dan menggerakkan golok mereka menyerang hwesio bermuka hitam itu. Cin Han hampir memejamkan mata saking ngerinya karena dia tidak tega melihat betapa tubuh hwesio itu dijadikan cacahan daging dan darah akan muncrat-muncrat dari luka-lukanya. Mungkin tubuhnya akan terobek-robek dan terpotong-potong. Akan tetapi dia menabahkan hatinya dan membelalakkan matanya untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh kakek itu. Sinar golok berkelebatan menyambar dan terdengar kain robek berulang kali.
Cin Han memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Hwesio tua itu tidak apa-apa! Sama sekali tidak terluka walaupun pakaiannya robek-robek tersayat golok! Namun, tidak nampak setetespun darah keluar. Bukan hanya dia yang terkejut dan heran, juga lima orang itu terbelalak. Tadi, ketika mereka memukuli dan menendangi hwesio ini tidak roboh atau mengeluh, mereka hanya mengira bahwa hwesio itu memang tahan derita. Akan tetapi kini bacokan gotok mereka ternyata sama sekali tidak dapat melukai tubuhnya. Dasar mereka adalah orang-orang yang keras dan kejam, kenyataan ini tidak membuat mereka mundur. Sebaliknya mereka malah menyerang lagi dengan ganas, kini menujukan golok mereka ke arah bagian tubuh yang paling lemah dan berbahaya.
"Omitohud... bermain api hangus, bermain air basah, bermain senjata terluka... hal itu sudah sepatutnya!"
Dan dia menggerakkan kedua tangannya. Gerakan kedua tangan menyambut ini ternyata hebat akibatnya.
Lima orang itu berteriak kesakitan dan mereka terpental lalu terjengkang dan terbanting ke atas tanah, golok mereka terlepas dari tangan, sedangkan lengan mereka terluka berdarah, terkena golok mereka sendiri yang tadi mereka rasakan terpental dah membalik melukai lengan mereka sendiri! Kini barulah mereka maklum bahwa ternyata mereka berhadapan dengan seorang hwesio yang lihai sekali, maka tanpa dikomando lagi, lima orang itu berlompatan bangun kemudian melarikan diri tunggang langgang ke dalam hutan. Cin Han melihat semua peristiwa yang terjadi itu dan merasa seperti dalam mimpi saja. Kakek itu seorang yang sakti. Dan dia sedang mencari seorang guru yang pandai, Kalau saja dia dapat menjadi murid hwesio ini, tanpa bayar tentunya karena dia tidak mempunyai uang. Tiba-tiba dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki hwesio bermuka hitam itu. Kakek itu tertawa melihat kelakuan Cin Han.
"Ha ha-ha, anak baik. Engkau ,tidak perlu berterima kasih kepada pinceng karena kalau mau bicara tentang tolong menolong, engkaulah yang pertama kali berniat menolong pinceng!!"
Cin Han adalah seorang anak yang cerdik. Dia segera dapat mengerti akan sikap hwesio itu, maka diapun menjawab lantang sambil tetap berlutut.
"Lo-suhu, saya bukan bermaksud menyatakan terima kasih, melainkan ingin mengajukan suatu permohonan kepada Lo-suhu (guru tua)."
Hwesio itu kini memandang penuh perhatian dan mengusap dagunya yang tak berjenggot.
"Hemmm, mengajukan permohonan kepada pin-ceng? Pin-ceng tidak memiliki sesuatu yang dapat kau minta, anak baik."
"Saya tidak minta barang, Lo-suhu, melainkan mohon untuk menjadi murid Lo-suhu."
"Omitohud...! Menjadi murid untuk belajar agama dan menjadi calon hwesio?"
"Bukan, Lo-suhu. Saya ingin belajar ilmu silat dari Lo-suhu"
"Belajar ilmu silat? Wah, gawat! Apakah engkau ingin mempergunakan ilmu silat untuk memukul orang?"
"Sama sekali tidak, Lo-suhu. Saya tidak ingin memukul orang!"
"Omitohud...I"
Hwesio tua itu semakin tertarik dan wajahnya membayangkan senyum. Semenjak bertemu anak ini, dia memang sudah merasa suka dan pandang mata batinnya melihat seorang anak yang berwatak baik dan berbakat sekali untuk menjadi seorang pendekar budiman.
"Kalau tidak ingin memukul orang, lalu apa gunanya engkau mempelajari ilmu silat? Hayo jelaskan alasan-alasanmu."
Sambil tetap berlutut dan membenturkan dahinya ke atas tanah, Cin Han menjawab cepat,
"Pertama, agar saya dapat menjadi sehat lahir batin, kedua agar saya dapat melindungi dan membela diri sendiri kalau diserang orang jahat seperti yang terjadi kepada Lo-suhu tadi, ketiga agar saya dapat menolong orang lain yang diperlakukan sewenang-wenang oleh orang jahat, dan keempat..."
Sampai di sini, macetlah karena Cin Han sudah kehabisan bahan untuk dijadikan alasan.
Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Herani, ke empat apa lagi?"
"Agar... agar teecu dapat mencari uang untuk makan, dengan menjadi guru silat."
Kakek itu tertawa dan wajahnya yang berkulit hitam itu nampak jauh lebih muda kalau dia sedang tertawa.
"Omitohud... Tiga alasan pertama memang benar dan baik, akan tetapi alasan keempat itu sama sekali tidak boleh dilakukan!" "Kenapa, Lo-suhu? Bukankah mencari uang untuk makan dengan menjadi guru silat dan menerima bayaran, bukan perbuatan jahat?"
"Memang bukan kejahatan, akan tetapi perbuatan berbahaya. Ilmu silat merupakan ilmu yang amat berbahaya kalau dikuasai oleh orang yang wataknya sesat. Mengajarkan silat dengan bayaran tentu tidak memilih murid, asal mampu membayar bereslah, dan mereka yang mampu membayar belum tentu orang baik-baik. Kalau engkau kelak hendak mengajarkan ilmu silat kepada seorang murid, bukan uang pembayaran ukurannya, melainkan keadaan jiwa dan raga anak itu. Dia harus memiliki raga yang baik dan berbakat, dan memiliki jiwa yang bersih."
"Baik, suhu (guru), teecu (murid) akan mentaati perintah suhu."
"Ha-ha-ha-ha! Belum juga pin-ceng menerima permohonanmu, engkau sudah begitu yakin dan menganggap dirimu sebagai murid pin-ceng."
Kembali Cin Han membentur-benturkan dahinya di atas tanah.
"Teecu mohon agar suhu sudi menerima teecu sebagai murid, atau sebagai kacungpun teecu mau asal diberi pelajaran ilmu silat."
"Omitohud, engkau mempunyai kemauan keras. Akan tetapi ketahuilah bahwa pinceng sendiri juga bekerja di dalam sebuah kuil di puncak bukit ini sebagai seorang kepala dapur!"
"Kalau begitu teecu akan membantu pekerjaan suhu di sana!"
Kata Cin Han penuh semangat.
"Anak baik, siapakah namamu?"
"Nama teecu Bu Cin Han, teecu hidup sebatang kara di dunia ini karena ayah dan ibu teecu sudah meninggal dunia. Teecu tidak mempunyai keluarga, tidak mempu-nyai tempat tinggal."
"Omitohud..., hidup adalah duka, sekecil ini sidah kehilangan segalanya dan menderita sengsara. Cin Han, ketahuilah bahwa pinceng dipanggil Hek-bin Lo-han (Orang Tua Muka Hitam ) dan pinceng bekerja sebagai kepala dapur di kuil para hwesio di puncak bukit ini. Biarlah engkau ikut bersama pinceng ke kuil dan akan pinceng usahakan agar engkau diterima oleh kepala kuil sebagai seorang kacung yang membantu pekerjaan pinceng di dapur. Mari kita berangkat."
"Terima kasih, suhu,"
Kata Cin Han dengan girang sekali dan melihat kakek itu melangkah pergi mendaki bukit, diapun cepat mengikutinya. Akan tetapi, kedua kakinya gemetar dan dia hampir tidak kuat melangkah, namun ditahannya semua rasa nyeri dan lelah dan dia memaksa diri mengikuti kakek itu dengan langkah gontai. Kakek itu maklum akan keadaan Cin Han, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan agaknya memang hendak mengujinya. Tiba tiba Cin Han melihat seekor kelinci lagi, tak jauh darinya, tersembul keluar dari semak-semak. Dia menubruk cepat, akan tetapi bukan kelinci yang didapatnya, melainkan tusukan duri semak-semik membuat kedua lengannya berdarah. Melihat ini, Hek bin lo-han tertawa.
"Ha-ha... sudah lapar sekalikah perutmu?"
"Maaf, suhu. Sejak sarapan pagi tadi sampai sekarang, teecu belum makan."
"Kalau begitu, usahakan agar kelinci itu keluar dari semak-semak, biar pinceng yang akan menangkapnya."
Bukan main girangnya rasa hati Cin Han. Diapun mempergunakan batu-batu disambitkan ke dalam semak-semak dan tak lama kemudian, kelinci itu meloncst keluar diri semak-semak dan sebelum dia menghilang ke dalam semak-semak lain, tiba-tiba kakek itu menggerak-kan tangan kirinya ke arah binatang itu dan kelinci itupun terdiam, tak mampu berlari lagi seolah-olah menjadi lumpuh seketika,
"Nah, tangkaplah."
Hek-bin Lo-han berkata kepada Cin Han. Cin Han menangkap kelinci itu dengan mudah. Setelah Cin Han menangkapnya, kelinci itu meronta-ronta hendak melepaskan diri, namun Cin Han memegangnya dengan kuat.
"Nah, sekarang setelah kau tangkap, apa yang akan kau lakukan? Membunuhnya? Menyembelihnya lalu memanggang dan makan dagingnya?"
Cin Han menjadi bingung dan dia memandang kelinci yang berada di tangannya itu. Harus diakuinya bahwa selama hidupnya, belum pernah dia menyembelih kelinci. Apa lagi kelinci, seekor ayampun belum pernah dia menyembelihnya.
"Omitohud... lihat baik baik kedua matanya itu, Cin Han. Apakah engkau tidak melihat betapa ia ketakutan dan mata itu menjadi basah oleh air mata? Dan suaranya itu, bukankah ia sedang menangis dan minta dilepaskan? Tegakah engkau menyembelihnya, melihat darah merah muncrat membasahi bulunya yang lembut bersih itu?"
Cin Han bergidik dan diapun melepaskan kelinci itu yang segera berlari lenyap ke dalam lemak-lemak belukar. Cin Han tadi merasa betapa jantung kelinci itu berdenyut keras dan betapa napasnya memburu, tanda dari ketakutan.
"Tidak, Suhu.. Teecu tidak dapat membunuhnya! Teecu belum pernah membunuhnya walaupun pernah makan daging kelinci."
Kakek itu tertawa dan merasa lega. Bagaimanapun juga, anak ini masih memiliki kepekaan dan hatinya tidak kejam. Diapun lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol, mengeluarkan bungkusan dari balik jubahnya yang lebar dan robek-robek oleh serangan lima orang pemburu tadi.
"Engkau lapar? Pincengpun lapar. Nah, mari kita makan seadanya."
Dibukanya bungkusan itu dan ternyata berisi roti basah dan sayur asin. Tanpa sungkan lagi Cin Han ikut makan dan bukan main lezatnya roti sederhana dan sayur asin itu bagi perut yang lapar. Dia makan dengan lahap, tidak malu dilihat suhunya yang tersenyum-senyum. Setelah mereka selesai makan dan melanjutkan perjalanan, Cin Han bertanya,
"Suhu, siapakah lima orang tadi dan mengapa mereka menyerang suhu?"
"Pinceng tidak mengenal mereka. Mereka memburu binatang dan ketika mereka mengintai sekelompok kijang, siap untuk membunuh, pinceng merasa tidak tega dan pinceng berteriak mengejutkan kijang-kijang itu yang melarikan diri. Para pemburu itu marah dan menyerang pinceng."
"Mereka itu jahat sekali, suhu. Akan tetapi suhu memiliki ilmu kepandaian tinggi, kenapa suhu tidak melawan ketika dipukuli dan ditendangi? Kenapa suhu demikian sabar?"
Tanya Cin Han yang masih merasa penasaran.
"Bersabar adalah suatu penekanan amarah, Cin Han. Pinceng tidak bersabar, karena pinceng tidak marah. Engkau tidak perlu belajar untuk bersabar, karena kesabaran itu baru dibutuhkan kalau ada kemarahan dalam batin. Yang penting adalah melenyapkan amarah seluruhnya dari dalam batin. Kalau sudah tidak ada kemarahan lagi, siapa yang membutuhkan kesabaran?"
Dalam usia sepuluh tahun, sukarlah bagi Cin Han untuk dapat menyalami kebenaran yang diucapkan oleh Hek-bin Lo-han itu, kelak barulah dia mengerti bahwa yang dimaksud-kan oleh gurunya adalah bahwa kebajikan dalam kehidupan tidak mungkin dilatih, tidak mungkin dipupuk, tidak mungkin dicari. Yang mungkin kita lakukan adalah mengenal semua keburukan yang ada pada kita, dalam batin kita.
Yang dapat kita lakukan adalah meniadakan semua keburukan itu, melenyapkan semua kotoran yang mengeruhkan batin, antari lain kemarahan, kebencian, iri hati, pementingan diri pribadi, pengejaran kesenangan karena semua itu mendatangkan duka. Kalau sudah tidak ada marah dalam hati, tak perlu belajar sabar lagi, karena keadaan tidak marah itulah kesabaran. Kalau sudah tidak ada duka dalam batin tidak perlu lagi mencari kebahagiaan karena keadaan tanpa duka itulah kebahagiaan. Malam telah tiba, ketika akhirnya mereka tiba di kuil yang terletak di puncak bukit itu. Kuil itu cukup besar dengan halaman luas dan di belakang kuil terdapat perkebunan sayur yang terawat dengan baik. Kuil kuno ini dihuni oleh tiga puluh lebih orang hwesio, dipimpin oleh Thian Cu Hwesio, seorang hwesio berusia enam puluh tahun, tokoh Siauw-lim-pai.
Thian Cu Hwesio inilah yang puluhan tahun lalu menemukan kuil tua yang tidak terpakai lagi itu, sebuah bangunan yang sebagian sudah rusak. Dia lalu mengajak beberapa orang hwesio lain untuk membangun kembali kuil ini karena letaknya baik, tanah di sekitarnya juga subur. Kemudian dia memimpin beberapa orang hwesio mendiami kuil itu dan makin lama, makin banyak saja murid yang menjadi hwesio di situ, melaksanakan kehidupan yang penuh damai dan sejahtera. Pekerjaan mereka setiap hari adalah bercocok tanam, memperdalam pengetahuan agama, berdoa, juga kadang-kadang mereka turun bukit untuk menyebarkan pelajaran agama, juga untuk menolong rakyat dengan segala kemampuan mereka yang ada.
Akhirnya kuil itupun terkenal di antara para penghuni perdusunan di sekeliling bukit itu, menjadi tempat bagi mereka untuk berobat, berdoa dan pelarian dari duka. Hek-bin Lo-han baru lima tahun bekerja di kuil itu sebagai kepala dapur. Dia adalah seorang bekas kepala perampok yang telah bertaubat. Dia diterima oleh Thian Cu Hwesio dan setelah bekerja di situ selama tiga tahun, tekun mempelajari kitab agama dan berdoa, Thian Cu Hwesio lalu menerimanya menjadi hwesio dan memberinya julukan Hek-bin Lo-han. Karena dia rajin dan kuat maka dia diangkat menjadi kepala bagian dapur, mengepalai beberapa orang hwesio muda yang bekerja di dapur. Ketika Hek-bin Lo-han dan Cin Han tiba di halaman kuit, hwesio itu berkata,
"Hwesio kepala kuil dalam waktu seperti ini tentu sedang samadhi, Biar pinceng yang menghadap dan melapor. Engkau menanti dulu di sini."
Cin Han yang ditinggal masuk oleh gurunya, melihat betapa halaman itu agak kotor oleh daun kering yang rontok tertiup angin. Di situ terdapat pula sebatang sapu, maka sebagai seorang anak yang tahu diri, diapun mengambil sapu dan disapunyalah halaman itu.
"Sumoi, ini ada kacung baru. Bagus sekali untuk melatih tiam-hiat-hoat (ilmu menotok jalan darah) yang baru saja kita pelajari!"
"Tapi, suheng (kakak seperguruan). Kita disuruh belajar mempergunakan patung manusia di ruangan latihan itu!!"
"Jauh lebih baik menggunakan manusia sungguh dari pada sebuah patung yang kebal terhadap totokan, sumoi (adik perempuan seperguruan)!"
Cin Han yang masih menyapu melihat seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun dan seorang anak perempuan berusia sembilan tahun sedang berjalan menghampirinya. Dia tidak mengerti apa yang mereka bicarakan itu. Akan tetapi mereka kini telah berada di dekatnya dan anak laki-laki yang memiliki sepasang alis tebal itu memegang pundaknya.
"Heii, siapa engkau? Apakah engkau kacung baru di kuil ini?"
Cin Han mengangguk.
"Benar, nama saya Bu Cin Han, kacung baru."
"Bagus!! Cin Han, kami adalah murid-murid suhu Thian Cu Hwesio, dan kami sedang latihan. Maukah engkau membantu kami latihan dengan menjadi pengganti patung agar kami dapat mempraktekkan ilmu totokan kami?"
Cin Han memandang kepadanya, lalu kepada anak perempuan itu. Seorang anak perempuan yang mungil dan cantik, sepasang pipinya merah dan matanya indah dan jeli. Dia-pun mengangguk.
Dengan girang anak laki-laki itu minta agar dia membuka baju atasnya. Biarpun merasa heran, Cin Han membuka bajunya. Mereka mengajak Cin Han berdiri di bawah lampu gantung di serambi depan.Dan tiba-tiba saja anak laki-laki itu menotok pundak kirinya dekat leher. Tukk! Cin Han menahan pekiknya dan terguling! Cin Han bangkit kembali sambil mengelus-elus pundaknya dengan muka menyeringai kesakitan. Totokan itu mendatangkan rasa nyeri yang hebat. Dan jari tangan yang menotoknya tadi amat keras seperti besi dan totokan yang mengenai otot itu membuat kepalanya terasa pening dan dari leher sampai ke pinggang kiri berdenyut-denyut amat nyerinya! Anak laki-laki yang menotoknya itu, tadinya tersenyum lebar dengan puas melihat hasil totokannya, akan tetapi melihat betapa Cin Han dapat bangkit kembali, senyumnya menghilang.
"Suheng, totokanmu gagal, dia dapat bergerak,"
Kata anak perempuan itu sambil tersenyum, setengah menertawakan, kemudian memandang kepada Cin Han sambil bertanya,
"Cin Han, sakitkah?"
Entah mengupa dia sendiri tidak tahu. Ditanya demikian, Cin Han merasa malu untuk mengaku sakit dan dia menggeleng kepalanya.
"Engkau dapat bergerak dan berdiri kembali? Ah, seharusnya engkau menjadi kaku dan tidak mampu menggerakkan kaki tanganmu!"
Kata anak laki-laki yang kecewa itu.
"Tentu totokanku tadi kurang tepat. Biar kuulangi sekali lagi!"
Dan diapun melangkah maju, tangan kanannya bergerak cepat dan kembali dia menotok dengan dua jari tangannya ke tempat yang tadi.
"Tukkk!"
Lebih keras datangnya totokan itu dan Cin Han merasa nyeri bukan main. Akan tetapi, teringat akan anak perempuan yang berada di situ, ketika tubuhnya terpelanting, dia menggigit bibir menahan nyeri agar mulutnya tidak mengeluarkan keluhan. Ketika totokan tadi mengenai pundaknya dekat leher, memang kaki dan tangannya terasa kaku, akan tetapi hanya sebentar dan begitu terbanting jatuh, dia sudah dapat bangkit kembali. Rasa nyeri membuat dia ingin menangis, namun ditahannya. Serasa patah-patah bagian yang tertotok, seperti ditusuk-tusuk jarum nyerinya dan dia hanya berusaha mengurangi rasa nyeri dengan mengelus elusnya.
"Engkau masih belum merasa kaki tanganmu kaku?"
Anak laki-laki itu bertanya penuh penasaran. Cin Han menggeleng kepala dan diam-diam dia merasa girang melihat betapa anak itu mengerutkan alisnya penuh kekecewaan.
"Apakah engkau tidak menderita nyeri, Cin Han?"
Kembali gadis itu bertanya, berusaha mengamati wajah Cin Han di bawah penerangan lampu yang tidak begitu terang itu. Cin Han menggeleng kepala keras-keras dan anak perempuan itu kelihatan lega hatinya.
"Suheng, engkau harus belajar lagi dengan tekun dan mempelajari gambar jalan darah tubuh itu lebih teliti. Sekarang biar aku yang melatih totokan untuk membuat tubuh lemas. Cin Han, aku akan menolokmu di bagian jalan darah yang akan membuat tubuhmu terasa lemas kehilangan tenaga. Jangan kaget dan jangan mencoba mengelak karena kalau luput dan mengenai pinggir jalan darah, engkau akan merasa nyeri."
Cin Han mengangguk dan ketika gadis itu menggerakkan tangan kanan menotok ke arah punggungnya, dia melemaskan tubuh dan menerima totokan itu dengan tabah.
"Tukkk!"
Cin Han terkulai roboh dan tidak bergerak lagi! Dia tadi merasa betapa jari tangan gadis itupun kaku keras seperti besi, akan tetapi totokan yang mendatangkan rasa cukup nyeri itu tidak membuatnya menjadi lemas walaupun ada perasaan betapa dalam waktu beberapa detik tubuhnya kesemutan. Akan tetapi, dia tidak tega untuk membuat gadis kecil itu kecewa, maka diapun sengaju bersandiwara dan menjatuhkan tubuhnya dengan lemas.
"Ah, aku berhasil, suheng!!"
Gadis itu berseru girang dan ia memegang tangan Cin Han, diangkat-nya ke atas lalu dilepaskan kembali dan tangan itupun terjatuh seperti sehelai kain basah. Bukan main girangnya hati anak perempuan itu, dan cepat ia mengurut- ngurut bagian punggung Cin Han yang tertotok sambil berkata,
"Jangan takut, Cin Han, aku akan membebaskan engkau dari pengaruh totokanku."
Dan setelah diurut beberapa kali, Cin Han menggerakkan lagi tubuhnya, lalu bangkit berdiri. Dia ikut merasa gembira melihat kegirangan anak perempuan itu. Melihat keberhasilan sumoinya, anak laki-laki itu menjadi marah dan iri. Dua kali dia menotok, dan gagal, sedangkan sumoinya sekali menotok berhasil baik. Dia merasa malu dan akhirnya marah, ingin menimpakan kemarahannya ini kepada Cin Han yang dianggapnya seorang kacung baru.
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo