Ceritasilat Novel Online

Tawon Merah Bukit Hengsan 3


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



Berhari-hari Bwee Hwa keluar masuk hutan dan masih juga ia belum dapat keluar dari bukit penuh hutan liar itu. Ia kehabisan bekal roti kering yang dibelinya di sebuah dusun yang terakhir dilewatinya, dan sudah dua hari ia terpaksa mencari buah-buahan di hutan untuk dimakan. Bahkan ia terpaksa makan pupus-pupus daun agar jangan mati kelaparan. Baru gadis ini merasakan betapa susahnya melakukan perjalanan merantau ke daerah yang asing dan tidak dikenalnya sama sekali.

   Setelah berputar-putar dalam hutan-hutan di atas bukit itu selama lima hari, pada hari keenam karena kesal dan bingung ia melompat ke atas cabang pohon lalu memanjat naik ke puncak pohon yang tinggi itu untuk melihat keadaan sekeliling mencari kalau-kalau ia dapat melihat sebuah dusun tak jauh dari situ. Tiba-tiba dari atas melayang turun dua titik hitam.

   Setelah dekat, ternyata bahwa dua titik hitam itu adalah dua ekor burung kim-gan-tiauw (rajawali mata emas), semacam burung rajawali yang besar sekali dan matanya berwarna kuning emas dan bersinar mencorong! Kedua ekor burung itu mengeluarkan suara teriakan melengking dan langsung menyerang Bwee Hwa dengan sambaran kuku cakar mereka yang tajam dan runcing melengkung.

   Bwee Hwa terkejut bukan main dan cepat ia melompat ke bawah pohon dan langsung mencabut pedangnya. Ia melihat dua ekor burung itu melayang turun. Bukan main besarnya burung-burung itu, ketika berdiri di atas tanah, tingginya hampir sama dengannya! Burung-burung rajawali raksasa itu masih memekik-mekik nyaring dan mereka lalu menerjang dengan paruh mereka yang kokoh kuat sambil mengibas-ngibaskan sayap mereka yang besar.

   Bwee Hwa tidak merasa takut. Gadis perkasa ini bergerak cepat menghindarkan diri dari terjangan mereka dan membalas dengan serangan pedangnya.

   "Trak-tranggg""!"

   Bwee Hwa terkejut sekali. Ketika pedangnya bertemu dengan paruh burung, paruh itu tidak terpotong dan bahkan tangannya yang memegang pedang tergetar saking kuatnya tenaga burung-burung itu. Dan kibasan sayap-sayap mereka mendatangkan angin kuat sehingga amat sukar bagi Bwee Hwa untuk menyerang. Menghadapi dua ekor burung rajawali itu, agaknya ilmu silat dan kecepatan gerakan gadis itu tidak ada artinya.

   Bagaimanapun juga, ia masih dapat menyelamatkan diri dengan elakan-elakan cepat sambil mengerahkan pedangnya ke arah leher atau kepala kedua ekor burung itu. Akan tetapi gerakan burung-burung itu demikian cepatnya dan kibasan sayap mereka membuat serangannya selalu gagal, bahkan beberapa kali ketika pedangnya bertemu paruh yang keras dan kuat, hampir saja senjata itu terlepas dari genggamannya.

   Dua ekor burung rajawali itu agaknya juga mulai menyadari bahwa lawan mereka sekali ini berbeda dengan manusia lain yang pernah mereka serang dan menjadi mangsa mereka. Dua ekor burung itu menjadi marah lalu terbang dan berputaran di atas kepala Bwee Hwa, memekik-mekik dan menyerang dari atas, menyambar-nyambar dari segala penjuru menggunakan cakar dan paruh mereka yang kuat.

   Menghadapi serangan dari atas yang jauh lebih dahsyat dan berbahaya daripada serangan di atas tanah tadi, Bwee Hwa terkejut sekali. Kalau tadi, diserang dari depan ia masih dapat mengandalkan kegesitannya untuk mengelak dengan berloncatan ke kanan kiri atau belakang, sekarang serangan itu datangnya dari atas depan, belakang, dan kanan kiri. Terpaksa ia kadang-kadang harus menggulingkan tubuhnya ke atas tanah.

   "Brett......!"

   Bajunya terkena cakaran dan robek di bagian pundaknya. Biarpun kulit pundaknya tidak terluka, namun hal ini membuat Bwee Hwa menjadi marah sekali. Ia lalu mengambil senjata rahasianya, yaitu hong-cu-ciam, jarum-jarum lembut dan cepat ia menyerang dua ekor burung itu dengan jarum-jarumnya.

   "Wuuuttt.......sut-sut-sut!"

   Jarum-jarum itu lenyap di balik bulu-bulu tebal burung-burung itu. Bulu itu terlalu tebal dan lemas licin sehingga jarum-jarumnya tidak mampu menembus, tidak sampai mengenai kulit. Bwee Hwa menjadi bingung. Untuk membidik ke arah muka, gerakan mereka terlalu cepat ketika menyambar turun.

   Bwee Hwa terdesak hebat dan ia menjadi bingung dan lelah sekali. Kalau terus-menerus ia harus menghindarkan serangan mereka yang berbahaya itu, akhirnya ia tentu akan kehabisan tenaga dan tidak akan mampu membalas serangan sama sekali. Karena tidak melihat jalan lain, Bwee Hwa lalu mengambil keputusan untuk nekat dan mengadu nyawa mati-matian. Tiba-tiba ia menjatuhkan dirinya telentang dengan tangan kanan siap memegang pedang dan tangan kiri menggenggam jarum-jarumnya. Seluruh urat syarafnya menegang dan siap siaga.

   Sepasang rajawali itu melihat bahwa calon mangsa mereka telah roboh seolah tidak berdaya. Mereka segera memekik penuh kemenangan, beberapa kali terbang mengitari tubuh Bwee Hwa lalu mereka menukik ke bawah sambil memekik nyaring, seolah sedang berlumba untuk menerkam ke arah leher dan dada gadis itu, untuk berpesta pora menikmati daging dan darah korban itu!

   Akan tetapi pada detik terakhir, ketika paruh kedua ekor burung itu sudah dekat dengan tubuh Bwee Hwa, tiba-tiba terdengar pekik melengking mengerikan. Seekor rajawali, yang terbang lebih cepat dan lebih dekat dengan tubuh Bwee Hwa, tahu-tahu terpenggal kepalanya, disambar pedang Sin-hong-kiam. Gerakan tangan kanan Bwee Hwa demikian cepat dan sama sekali tidak terduga oleh burung yang sudah kegirangan dan bemafsu itu sehingga tahu-tahu kepalanya telah terpisah dari tubuhnya! Sedangkan burung kedua, tiba-tiba merasa nyeri pada kedua matanya yang disambar banyak jarum kecil lembut sehingga kedua matanya menjadi buta seketika!

   Semua telah terjadi dengan cepat dan dengan gerakan kilat Bwee Hwa sudah menggerakkan tubuhnya bergulingan menyingkir dari tempat ia telentang tadi sampai beberapa meter jauhnya. Untung ia dapat bergerak cepat lalu melompat bangun berdiri. Dengan mata terbelalak ia melihat betapa rajawali yang sudah terpenggal kepalanya itu masih mencengkeram ke bawah sehingga tanah dan batu berhamburan. Kalau ia tidak cepat menyingkir, tentu tubuhnya yang akan tercabik oleh sepasang cakar burung yang sudah tak berkepala lagi itu.

   Kemudian burung kedua, yang sudah buta matanya, menerkam ke bawah, mengenai tubuh burung pertama. Cakar dan paruhnya mematuk dan mencabik sehingga tubuh kawannya itu terkoyak-koyak, darah muncrat ke mana-mana! Bulu burung berhamburan bersama daging dan darah. Rajawali buta itu agaknya menyadari bahwa yang dicabik-cabiknya itu bukan tubuh manusia melainkan tubuh kawannya sendiri. Dia memekik-mekik mengerikan dan menyabet-nyabetkan sayapnya ke kanan kiri membabi buta dan suaranya berubah seperti raungan penuh sakit dan kesedihan.

   Melihat keadaan burung itu, Bwee Hwa yang sejak tadi menonton dengan hati merasa ngeri, menjadi tidak tega juga. Kini dia teringat akan ucapan gurunya bahwa apa yang dinamakan binatang buas itu sebenarnya sama sekali tidak dapat dikatakan jahat.

   Seperti burung rajawali ini. Kalau dia suka membunuh mahluk lain termasuk manusia, hal itu dilakukan bukan karena dia berhati jahat, melainkan dia menyerang dan membunuh untuk mempertahankan hidup, untuk mengisi perutnya yang lapar. Membunuh karena harus membunuh untuk dapat makan!

   Rajawali ini tidak suka makan daun atau buah, makanannya memang daging dan darah, karena itu dia harus membunuh mahluk lain termasuk manusia agar tidak mati kelaparan. Dia tidak jahat!

   Ia memandang dan merasa kasihan. Didekatinya burung buta itu dari belakang dan sekali pedangnya menyambar, leher burung itupun putus dan tubuh burung itu roboh dan mati.

   Setelah semua itu berakhir, barulah Bwee Hwa menjatuhkan diri di bawah pohon dan bersandar pada batang pohon sambil mengatur pernapasannya yang masih terengah-engah karena kelelahan dan ketegangan. Ia memandang ke arah bangkai dua ekor burung itu dan diam-diam ia memuji keindahan dan kehebatan dua ekor burung rajawali itu. Selama hidupnya baru satu kali ini ia melihat burung yang demikian indah dan demikian kuat. Kalau saja tadi ia tidak mempergunakan akal yang nekat dan berbahaya, agaknya sekarang mungkin saja tubuhnya sudah dicabik-cabik dan sepotong demi sepotong masuk ke dalam perut dua ekor burung itu. Ia bergidik ngeri membayangkan hal itu.

   Setelah mengaso sejenak dan merasa tangannya telah pulih kembali, Bwee Hwa lalu mengambil buntalan pakaiannya yang tadi ia lepas dan lemparkan ke bawah pohon sebelum ia memanjat pohon itu. Ia menggendong lagi buntalan pakaiannya dan melanjutkan perjalanannya. Ia ingin keluar dari hutan lebat itu sebelum hari menjadi gelap. Karena tidak mengenal daerah itu, ia berjalan ke depan dengan ngawur saja.

   Akan tetapi tidak lama kemudian, hampir ia berseru gembira ketika ia melihat sebuah tempat terbuka di dalam hutan itu. Hutan di bagian itu sudah dibuka dan menjadi semacam ladang yang ditumbuhi tanaman sayur-sayuran, bahkan ada banyak pohon buah yang sudah digantungi buah-buahan yang masak. Ladang ini menunjukkan bahwa di situ terdapat orang-orang dan tidak jauh dari perkampungan! Karena perutnya lapar, maka ia tidak perduli akan kenyataan bahwa pohon-pohon buah itu tentu ada pemiliknya. Ia memetik beberapa butir buah pir dan memakannya dengan enak!

   Akan tetapi, tiba-tiba terdengar langkah dan gerakan orang di sekelilingnya dan tak lama kemudian bermunculan belasan orang laki-laki yang berpakaian kasar dan berwajah bengis. Juga mereka itu tampak bertubuh kuat dan di antara mereka terdapat seorang yang melihat pakaiannya tentu memiliki kedudukan yang lebih tinggi di antara mereka. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun, tubuhnya pendek tegap dan dia membawa senjata sebuah tombak bergagang panjang yang lebih tinggi daripada tubuhnya yang katai.

   Kini belasan orang itu mengepung Bwee Hwa yang sudah tidak makan lagi. Dengan tenang gadis yang tabah itu menyapu mereka dengan pandang matanya dan ia mengerutkan alisnya ketika melihat betapa belasan orang laki-laki itu memandangnya dengan mulut menyeringai dan mata seolah hendak menelannya bulat-bulat!

   Orang pendek gempal yang agaknya menjadi pemimpin gerombolan itu juga memandang kepadanya dengan penuh perhatian dan keheranan. Siapa takkan heran melihat seorang gadis muda belia seorang diri berada di dalam daerah hutan yang lebat dan liar itu? Akan tetapi ketika kepala gerombolan itu melihat sebatang pedang tergantung di punggung Bwee Hwa, dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu seorang gadis kang-ouw (sungai telaga atau dunia persilatan) yang memiliki ilmu kepandaian silat sehingga berani merantau seorang diri karena merasa mampu menjaga dan membela diri.

   Dia dapat menduga ini, akan tetapi tetap saja dia merasa heran dan kagum karena keberanian gadis itu sungguh berlebihan. Dia lalu menegur dengan suara yang tinggi mirip suara wanita.

   "Nona, engkau berjalan seorang diri di daerah kami, hendak pergi ke manakah?"

   Bwee Hwa sudah merasa sebal melihat sikap para anak buah gerombolan itu, akan tetapi ia memaksa diri bersabar ketika menjawab.

   "Aku hendak pergi ke mana saja kakiku membawaku. Ada urusan apakah kalian menghadangku dan bertanya-tanya?"

   Para anak buah gerombolan itu tersenyum dan ada yang tertawa mendengar jawaban Bwee Hwa yang mereka anggap lucu. Pemimpin gerombolan itupun tersenyum dan berkata lagi.

   "Memang engkau yang memiliki kaki yang indah mungil itu, tentu saja engkau pula yang menentukan ke mana hendak melangkah dan pergi. Akan tetapi ketahuilah, nona, bahwa di sini bukan tempat untuk berjalan-jalan dan bertamasya. Hutan-hutan di sini amat liar dan terdapat banyak sekali binatang buas, di antaranya terdapat burung-burung rajawali raksasa yang ganas dan suka makan orang!"

   Bwee Hwa tersenyum mengejek, akan tetapi dalam pandangan para anggauta gerombolan itu, senyum ini tampak manis bukan main.

   "Engkau maksudkan kim-gan-tiauw (rajawali bermata emas)? Hemm, baru saja aku membunuh dua ekor!"

   Meledaklah tawa semua anggauta gerombolan itu mendengar ucapan gadis itu. Siapa dapat percaya akan kata-kata itu? Membunuh dua ekor kim-gan-tiauw? Sedangkan beberapa hari yang lalu mereka mengeroyok seekor kim-gan-tiauw saja tidak berhasil melukai, apalagi membunuhnya, bahkan tiga orang di antara mereka tewas! Dan gadis kecil ini seorang diri membunuh dua ekor?

   Merasa ia ditertawakan, Bwee Hwa membentak marah.

   "Kalian menertawakan siapa?"

   Seorang anak buah gerombolan yang bertubuh tinggi besar dan tangannya memegang sebatang golok, berkata dan tertawa terkekeh-kekeh.

   "Heh-heh-heh, mungkin yang kaubunuh itu dua ekor burung gereja! Wah, kalau gadis ini menjadi biniku, aaahh betapa senangnya hatiku dan akan amanlah hidupku. Ha-ha-ha"""

   Belum juga ia menutupkan kembali mulutnya, tiba-tiba dia memekik ngeri dan dia roboh dengan mata mendelik karena bagaikan kilat menyambar sebatang hong-cu-ciam (jarum tawon) telah memasuki mulutnya yang ternganga dan menancap di langit-langit mulutnya! Ini terjadi karena ketika dia tertawa tadi, mulutnya terbuka lebar dan dia tertawa sambil mengangkat muka ke atas sehingga langit-langit mulutnya menghadap ke depan!

   Terkejutlah semua anggauta gerombolan itu, akan tetapi pemimpin mereka marah sekali. Tadi dia melihat gerakan tangan Bwee Hwa dan dia dapat menduga bahwa anak buahriya itu tentu menjadi korban senjata rahasia yang lembut dan berbahaya.

   "Keparat! Berani engkau membunuh anak buah kami?"

   Bentaknya dan dia sudah menerjang dan menusukkan tombaknya dan para anak buahnya juga sudah maju mengeroyok.

   Agaknya anak buah gerombolan yang belasan orang banyaknya ini berlumba untuk dapat menangkap gadis itu karena mereka maju dengan tangan kosong dan tangan-tangan itu meraih dan mencengkeram. Ingin mereka mendekap dan merangkul gadis yang cantik jelita itu.

   Melihat dirinya diserbu, Bwee Hwa tersenyum geli. Orang-orang kasar ini tidak ada artinya baginya. Jauh lebih berbahaya serangan burung rajawali tadi. Ia lalu menyambut mereka dengan gerakan tangan kiri dan sinar-sinar kecil jarum-jarumnya menyambar-nyambar, disusul jeritan beberapa orang yang roboh terpelanting.

   Pimpinan gerombolan itu menjadi marah. Dia berteriak dan tombaknya me-luncur, menusuk ke arah lambung Bwee Hwa. Namun, dengan mudah saja Bwee Hwa mengelak dan dari samping kaki kirinya mencuat dan menendang ke arah tombak.

   Si pendek kekar itu berseru kaget karena hampir saja tombaknya terlepas dari tangannya ketika tertendang kaki mungil Bwee Hwa. Para anak buah yang melihat robohnya beberapa orang kawan juga menjadi marah dan mereka kini menyerbu dengan senjata mereka dengan niat untuk membunuh gadis itu.

   Bwee Hwa tidak gentar sedikitpun juga. Ia kini telah mendapat kenyataan bahwa orang-orang itu hanya tampaknya saja kekar dan bengis, akan tetapi sebenarnya hanya merupakan kekuatan tenaga kasar, hanya mengandalkan tenaga luar belaka. Maka iapun lalu mengerahkan gin-kangnya (ilmu meringankan tubuhnya), tubuhnya bergerak cepat sehingga ia seolah berubah menjadi bayangan merah yang menyambar-nyambar dan terdengarlah seruan mengaduh berturut-turut disusul tubuh yang berpelantingan terkena sambaran kaki tangannya yang bergerak amat cepatnya.

   Melihat kelihaian gadis berpakaian merah ini, para anggauta gerombolan dan pemimpin mereka yang pendek itu terkejut setengah mati. Kalau tidak menga-lami sendiri, sukarlah bagi pemimpin gerombolan itu untuk percaya bahwa se-orang gadis jelita yang masih amat muda itu dapat menghadapi pengeroyokan mereka yang bersenjata hanya dengan tangan kosong saja, bahkan sebentar saja sudah merobohkan lima orang! Dengan jerih pemimpin gerombolan itu memberi isyarat dan mereka yang masih mampu lalu berloncatan melarikan diri meninggalkan teman-teman yang terluka, mengaduh-aduh dan tidak mampu melarikan diri.

   Bwee Hwa bertolak pinggang mengikuti mereka dengan pandang matanya mengejek.

   "He-he-heh! Monyet-monyet busuk! Aku Ang-hong-cu masih berlaku murah hati kepada kalian. Kalau tidak tentu kalian sekarang bukan hanya menderita luka, melainkan sudah tak bernyawa lagi!"

   Setelah berkata demikian dan memandang kepada para anak buah gerombolan yang terluka, ia lalu pergi meninggalkan mereka, melangkah dengan tenang. Ia teringat bahwa gerombolan yang melarikan diri tadi menuju ke arah kiri, maka ke sana pula ia menuju, dengan harapan akan bertemu dengan sebuah perkampungan. Ia masih sempat memetik beberapa butir buah pir yang masak, lalu melanjutkan perjalanan sambil makan buah itu untuk menghilangkan rasa lapar dan haus.

   Baru saja ia tiba di ujung hutan terbuka yang sudah menjadi ladang itu, tiba-tiba terdengar suara orang di sebelah kiri.

   "Ah, nona sungguh merupakan seorang pendekar wanita yang amat mengagumkan. Masih semuda ini sudah memiliki kepandaian tinggi dan berani melakukan perantauan di dunia kang-ouw seorang diri saja. Bukan main!"

   Bwee Hwa sudah menahan langkahnya dan ia memutar tubuh ke kiri. Ia kini berhadapan dengan seorang laki-laki berusia hampir limapuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus. Gerak-gerik dan kata-kata orang itu tidak sekasar gerombolan tadi, juga pakaiannya lebih bersih dan rapi. Tampaknya bukan seperti seorang jahat dan ia sudah menjadi gembira karena mengira bahwa orang itu tentulah seorang penduduk sebuah pedusunan yang berada dekat situ.

   "Siapakah engkau dan ada keperluan apakah sehingga engkau berani menghadang perjalananku?"

   Tanya Bwee Hwa yang bagaimanapun juga masih merasa curiga karena orang itu muncul di daerah yang dikuasai gerombolan penjahat tadi.

   Akan tetapi laki-laki itu tidak menjawab dan hanya mengamati wajah Bwee Hwa dengan bengong seperti orang yang terheran-heran melihat sesuatu yang aneh! Melihat ini, Bwee Hwa mengerutkan alisnya dan mulai marah.

   "Hei! Kau melihat apa?"

   Bentaknya dan sinar matanya mulai mencorong.

   Laki-laki itu terkejut dan seperti baru sadar dari mimpi, dia cepat memberi hormat dengan menjura dan berkata dengan hormat.

   "Ah, sungguh sukar sekali untuk dapat dipercaya. Bagaimana mungkin seorang pembantuku dan belasan orang anak buahnya dikalahkan oleh seorang dara muda remaja! Li-enghiong (nona pendekar), sungguh aku merasa kagum sekali akan kegagahanmu. Ketahuilah, aku adalah Gak Sun Thai yang memimpin kawan-kawan di pegunungan ini dan terus terang saja, baru sekali ini aku merasa benar-benar heran dan kagum. Engkau patut dipuji, Li-enghiong. Jika engkau suka dan berani, aku mempersilakan engkau untuk singgah di perkampungan kami."

   Dengan tenang disertai senyuman mengejek Bwee Hwa menjawab.

   "Hemm, kiranya engkau yang menjadi kepala perampok yang tadi berani menggangguku? Perlu apa aku harus singgah di sarang perampok?"

   Berkerutlah sepasang alis kepala perampok itu. Alangkah angkuhnya gadis ini, pikirnya. Sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya. Akan tetapi dia masih dapat menahan perasaan tidak senang ini dan berkata.

   "Li-enghiong, kalau engkau tidak suka dan tidak berani berkunjung ke per-kampungan kami memenuhi undanganku, tentu saja aku tidak dapat memaksa. Akan tetapi ini berarti bahwa engkau tidak dapat menghargai penghormatan seorang dari kalangan liok-lim (hutan rimba) dan berarti bahwa engkau melanggar kesopanan yang berlaku di dunia kang-ouw."

   Bwee Hwa sudah hendak marah, akan tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa ayah kandungnya sendiri juga seorang penjahat dan bahkan datuk perampok! Hemmm, siapa tahu orang-orang ini akan dapat memberi keterangan kepadanya tentang di mana kini ayahnya berada.

   "Orang she Gak, aku tidak mengerti maksudmu dengan segala kesopanan dunia persilatan dan dunia perampok. Akan tetapi jangan mengira bahwa aku takut untuk datang ke sarangmu!"

   Wajah kepala perampok itu berubah girang.

   "Kalau begitu engkau mau singgah di perkampungan kami?"

   Bwee Hwa mengangguk.

   "Akan tetapi jangan sekali-kali engkau dan anak buahmu bersikap kurang ajar kepadaku, karena pedangku pasti tidak akan mengampuni kalian."

   Alangkah jumawanya, pikir Gak Sun Thai. Akan tetapi karena dia tahu bahwa gadis ini masih muda dan tentu kurang pengalaman, maka dia hanya tersenyum saja.

   "Kalau begitu, marilah kita berangkat, li-enghiong. Perkampungan kami tidak begitu jauh dari sini."

   Dengan tabah Bwee Hwa mengikuti kepala perampok itu memasuki hutan yang menyambung ladang itu. Kurang lebih dua kilometer dari situ, mereka tiba di sebuah perkampungan di tengah hutan. Kedatangan Gak Sun Thai bersama Bwee Hwa disambut dengan keheranan oleh para anak buah, akan tetapi Gak Sun Thai memerintahkan mereka untuk mempersiapkan sebuah perjamuan meriah untuk menghormati kunjungan seorang pendekar wanita gagah yang dihormatinya.

   Perkampungan itu merupakan sarang para perampok. Di tengah perkampungan berdiri sebuah rumah kayu yang besar dan cukup mewah seperti rumah seorang kaya saja. Di sekeliling rumah itu terdapat rumah-rumah yang lebih kecil yang menjadi tempat tinggal para anggauta perampok. Keadaan mereka agaknya cukup dan ternyata para anggauta perampok itu sebagian besar sudah berkeluarga. Terdapat banyak anak-anak dan wanita di perkampungan itu, seperti pedusunan biasa.

   Bwee Hwa merasa terheran-heran. Mereka itu agaknya orang-orang biasa yang juga berkeluarga. Mengapa orang-orang itu sampai begini tersesat dan menjadi perampok?

   Gak Sun Thai mempersilakan Bwee Hwa duduk di kursi depan yang luas dan tak lama kemudian Bwee Hwa dijamu makan minum dengan ramah dan hormat oleh Gak Sun Thai. Dalam kesempatan menikmati hidangan yang masih panas itu dan Bwee Hwa makan minum dengan lahapnya karena berhari-hari ia tidak makan nasi dan masakan, gadis itu tidak tahan untuk tidak mengeluarkan pertanyaan yang sejak tadi menggelitik keinginan tahunya.

   "Paman Gak Sun Thai......."

   Kepala perampok itu tersenyum memandang kepada Bwee Hwa. Hatinya geli akan tetapi senang mendengar gadis itu menyebutnya "paman". Biasanya, orang menyebutnya "tai-ong", yaitu sebutan kepala gerombolan yang berarti "raja besar".

   "Engkau hendak bertanya apakah, nona?"

   Diapun menyebut nona, bukan pen-dekar wanita agar terdengar lebih akrab.

   "Bukan maksudku untuk mencampuri urusan rumah tangga anak buahmu, akan tetapi setelah aku memasuki perkampunganmu, aku melihat bahwa anak buahmu juga merupakan orang-orang biasa saja yang mempunyai keluarga baik-baik. Mengapa engkau mengajak mereka untuk melakukan kejahatan dan menjadi perampok? Bukankah lebih baik kalau kalian melakukan pekerjaan yang halal dan tidak melakukan pelanggaran dan tidak mengganggu orang lain?"

   Mendengar ucapan gadis yang merupakan nasihat yang seolah keluar dari mulut seorang pendeta tua itu, Gak Sun Thai tersenyum geli, lalu dia menghela napas panjang.

   "Memang, dipikir sepintas lalu saja memang demikianlah keadaannya dan kata-katamu tadi benar sekali, nona. Akan tetapi dari ucapanmu tadipun mudah diketahui bahwa engkau masih belum banyak mengetahui tentang keadaan orang-orang golongan kami. Nona tadi mengatakan bahwa lebih baik mencari pekerjaan yang halal dan tidak melanggar peraturan pemerintah, begitukah? Coba tolong beritahu, pekerjaan apakah yang dapat dikerjakan para anak buahku yang terdiri dari orang-orang kasar dan bodoh itu?"

   "Bukankah banyak sekali lapangan pekerjaan? Misalnya jadi pelayan, menjadi petani dan lain-lain,"

   Kata Bwee Hwa, tentu saja secara ngawur karena ia sendiri juga tidak banyak mengetahui tentang lapangan pekerjaan!

   Kembali Gak Sun Thai tersenyum.

   "Ketahuilah, nona. Anak buahku yang puluhan orang banyaknya dan kini menjadi penghuni perkampungan ini bukan dilahirkan sebagai perampok. Mereka itu tadinya juga petani-petani, nelayan-nelayan dan pekerja-pekerja kasar. Akan tetapi, apakah yang dihasilkan oleh pekerjaan mereka itu? Hanya kelaparan bagi keluarganya. Bahkan untuk mengenyangkan perut sendiri sehari-hari saja kadang-kadang gagal. Apalagi untuk membeli pakaian yang pantas dan lebih-lebih lagi untuk menghasilkan rumah yang memadai. Pekerjaan apakah bagi orang kasar dan bodoh pada dewasa ini yang dapat cukup menghasilkan pangan-sandang-papan yang cukup beradab? Banyak anggauta keluarga mereka yang mati kelaparan karena kurang makan atau mati karena penyakit karena tiada biaya untuk pengobatan. Bertani tanpa memiliki tanah berarti hanya menjadi buruh tani yang diperas tenaganya habis-habisan oleh para majikan pemilik tanah seperti kerbau saja. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan kasar lainnya amatlah sulitnya, harus bersaing hebat karena banyaknya penganggur sehingga digaji sedikitpun terpaksa diterima dan akibatnya, penghasilan kecil sekali dan tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Ah, nona, sungguh engkau tidak banyak mengetahui tentang keadaan rakyat kecil yang miskin pada dewasa ini."

   Mendengar ucapan panjang lebar itu, Bwee Hwa tertegun. Seakan baru terbuka matanya dan ia merasa heran sekali. Timbul pertanyaan dalam hatinya mengapa begitu banyak kesengsaraan di antara manusia, dan mengapa hanya untuk sekedar makan kenyang saja demikian sulitnya bagi banyak manusia? Akan tetapi banyak pula manusia yang hidupnya demikian kaya raya, bahkan berlebihan! Salah siapakah ini?

   Di satu pihak, beberapa orang memiliki tanah beratus hektar luasnya, di lain pihak banyak orang yang tidak memiliki tanah secuilpun. Di satu pihak, beberapa orang memiliki rumah gedung ratusan buah banyaknya. Di lain pihak, banyak orang harus cukup puas tinggal di gubuk yang reyot dan bocor, bahkan banyak pula yang tidak memiliki tempat tinggal. Di satu pihak, beberapa orang menyimpan bahan makanan sampai membusuk dalam gudang karena terlalu banyak dan terlalu lama disimpan, di lain pihak banyak orang kelaparan. Di satu pihak, beberapa orang yang tidak pernah mengeluarkan keringat hidup kaya raya, hartanya berlebihan. Di lain pihak, banyak orang yang memeras keringat membanting tulang setiap hari, hidup miskin dan papa, pakaian tak utuh makan tak kenyang.

   Di mana letak semua kesalahan ini? Tidak dapatkah yang berlebihan itu membuka jalan bagi yang kekurangan sehingga penghasilan mereka meningkat dan cukup untuk biaya hidup sehari-hari? Siapa yang berkewajiban mengatur semua ini?

   "Paman Gak, apakah keadaan semacam ini tidak dapat diubah?"

   Gak Sun Thai tersenyum.

   "Hemm, siapakah yang harus mengubah, nona?"

   "Tentu saja pemerintah! Pemerintah yang harus mengubahnya, mengatur agar terdapat lapangan kerja yang cukup dan agar penghasilan rakyat meningkat sehingga setiap orang pekerja berpenghasilan cukup untuk biaya hidup keluarganya."

   Gak Sun Thai tertawa.

   "Ha-ha-ha, pendapatmu itu benar akan tetapi lucu, nona."

   "Lucu? Kenapa? Bukankah sudah semestinya kalau pemerintah mengatur agar rakyat hidup sejahtera?"

   "Hemm, engkau belum banyak berkelana dan tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya. Lihat saja kehidupan para pembesar tinggi, terutama di kota raja. Mereka hidup berdampingan dan bergandeng tangan dengan para hartawan, saling bantu, bahu membahu membagi rejeki yang berlebihan. Memikirkan keadaan rakyat kecil yang miskin? Mana mungkin? Mereka hanya memikirkan bagaimana untuk menggendutkan perut sendiri! Bagaimana kita dapat mengharapkan pemerintah penjajah untuk melindungi rakyat bangsa Han? Penjajah Mongol itu hanya memikirkan diri sendiri, keluarga sendiri, bahkan memeras rakyat dengan berbagai peraturan yang menekan dan berbagai pajak yang memberatkan. Ahh, jangan mengharapkan kebaikan dari pemerintah penjajah Mongol, nona. Ah, kita sudah bicara banyak akan tetapi nona belum memperkenalkan nama. Bolehkah kami mengetahui nama nona?"

   "Namaku Bwee Hwa."

   "Dan she (marga) nona yang mulia?"

   Bwee Hwa tidak mau bercerita banyak tentang dirinya.

   "Jangan tanyakan itu. Sebut saja aku Ang-hong-cu."

   "Si Tawon Merah? Ah, julukan yang tepat sekali. Nona masih muda dan cantik namun dapat bergerak lincah seperti seekor lebah, dan dengan pakaian yang serba merah maka cocok sekali kalau nona berjuluk Ang-hong-cu. Ang-hong-cu, karena engkau kami anggap sebagai seorang tamu agung, sekarang kami mohon sudilah kiranya engkau memberi kehormatan kepadaku yang bodoh untuk menyaksikan kehebatan merasakan kelihaian kepandaianmu."

   Bwee Hwa mengerti apa yang dimaksudkan kepala gerombolan itu dan ia mengangguk. Mereka sudah selesai makan dan Bwee Hwa merasa puas akan perjamuan yang membuatnya merasa kenyang dan tubuhnya terasa segar itu.

   "Engkau hendak menguji kepandaian, paman? Boleh, boleh! Silakan memberi pelajaran kepada aku yang muda."

   "Bagus ! Marilah kita keluar, nona. Pekarangan rumah ini cukup luas sehingga kita dapat bermain-main dengan leluasa!"

   Bwee Hwa menurut dan mengikuti tuan rumah keluar dari ruangan itu. Memang benar, pekarangan rumah itu cukup luas. Ketika para anak buah gerombolan mendengar bahwa tamu mereka, gadis perkasa berjuluk Ang-hong-cu itu hendak pi-bu (mengadu ilmu silat) dengan para pemimpin mereka, berbondong-bondong mereka datang dan berdiri melingkari pekarangan itu. Bahkan para wanita dan anak-anak tidak mau ketinggalan. Semua keluarga anak buah gerombolan berkumpul semua di pekarangan itu.

   Gak Sun Thai mempunyai tiga orang pembantu yang terkenal memiliki ilmu silat yang tangguh. Tingkat kepandaian mereka hanya sedikit berada di bawah tingkat ilmu silat Gak Sun Thai. Setelah semua anak buah dan keluarganya berjongkok dan berdiri dengan tertib, Gak Sun Thai lalu berkata kepada tiga orang pembantunya yang berdiri di dalam lingkaran itu sambil berpangku tangan.

   "Saudara-saudara, kalian sudah mendengar bahwa nona gagah perkasa yang berjuluk Ang-hong-cu ini memiliki ilmu silat yang tinggi. Kini ia berkenan untuk memberi pelajaran kepada kita, maka siapakah di antara kalian bertiga yang menjadi orang pertama suka menerima pelajarannya?"

   Seorang di antara tiga pembantu itu, yang bertubuh tinggi besar dan tampak kuat sekali melangkah maju.

   "Gak-twako (Kakak Gak), biarlah aku mencoba-coba tenagaku melawan Ang-hong-cu!"

   Gak Sun Thai mengangguk.

   Orang tinggi besar ini berusia kurang lebih empatpuluh lima tahun, bernama Lui Thong. Dia memang terkenal memiliki tenaga luar yang hebat melebihi tenaga seekor kerbau jantan. Kepandaian silatnyapun cukup tinggi dan senjatanya yang ditakuti lawan adalah sebuah twa-to (golok besar).

   Bwee Hwa menghadapi Lui Thong yang mukanya tampak bengis dengan kulit kasar hitam itu dengan tenang. Melihat ketenangan gadis itu, diam-diam Lui Thong merasa heran. Sukar dipercaya bahwa gadis yang begitu muda dan cantik jelita, berkulit halus mulus itu memiliki ilmu silat yang tangguh.

   "Ang-hong-cu, aku bernama Lui Thong dan orang-orang menyebutku Twa-to Hek-gu (Kerbau Belang Bergolok Besar), seorang di antara para pembantu Gak-twako."

   "Hemm, Paman Lui Thong, engkau ingin bertanding dengan tangan kosong ataukah dengan senjata?"

   Tanya Bwee Hwa dengan sikap acuh tak acuh.

   Lui Thong mengerutkan alisnya yang tebal. Dia sudah mendengar bahwa gadis ini selain lihai ilmu silatnya, juga wataknya angkuh. Pertanyaannya tadi saja mengandung sikap meremehkannya.

   "Nona, engkau adalah seorang gadis muda berkulit halus, tidak seperti aku yang kasar, maka tidak baik kalau kita bermain-main dengan senjata yang tak bermata dan dapat melukai kulitmu yang halus. Biarlah kita menggunakan tangan kosong saja sehingga pukulanku dapat ditarik kembali sebelum melukaimu."

   Bwee Hwa maklum bahwa biarpun kelihatan kasar dan bodoh, namun sebenarnya orang tinggi besar bermuka hitam ini cukup cerdik. Memang, dalam pertandingan tangan kosong, tenaga besar amatlah berguna, tidak demikian kalau pertandingan dilakukan dengan senjata tajam yang tidak begitu mengandalkan tenaga besar karena dengan tenaga kecilpun tetap saja senjata tajam akan dapat melukai lawan. Agaknya alasan inilah yang membuat Lui Thong yang bertenaga besar itu memilih pertandingan tangan kosong di mana dia dapat memanfaatkan tenaga besarnya untuk mencapai kemenangan! Akan tetapi Bwee Hwa tetap tenang saja dan sama sekali tidak merasa gentar.

   "Kalau begitu, engkau menunggu apalagi? Silakan maju dan mulailah dengan seranganmu!"

   
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Gadis itu menantang dan sama sekali tidak memasang kuda-kuda, melainkan berdiri santai saja walaupun tanpa ada yang mengetahui, seluruh urat syarafnya sudah siap siaga dengan waspada.

   Berbeda dengan sikap Bwee Hwa yang santai, Lui Thong mulai bergaya. Dia menggulung tinggi kedua lengan bajunya sehingga tampak kedua lengannya yang dipenuhi otot yang melingkar-lingkar. Dia menggerak-gerakkan kedua tangannya sehingga terdengar bunyi berkerotokan dalam buku-buku jarinya! Setelah membuat gerakan pembukaan atau kuda-kuda yang kokoh kuat, dia membentak nyaring.

   "Sambut seranganku ini! Haaaiiitt.......!"

   Lui Thong menerjang maju dengan kedua lengan dikembangkan ke atas dan kedua tangannya membuat serangan seperti menerkam dari kanan kiri, mengarah kedua pundak gadis itu. Dia menggunakan jurus yang disebut Hek-houw-pok-yang (Macan Hitam Menerkam Kambing) yang walaupun merupakan serangan keras namun karena didukung tenaga raksasa maka dapat membahayakan lawan yang diserang.

   Namun Bwee Hwa yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) tingkat tinggi, dengan lincah dapat mengelak. Serangan susulan dilakukan bertubi-tubi oleh Lui Thong, sampai lima jurus namun semua dapat dihindarkan Bwee Hwa dengan elakan.

   "Sekarang sambutlah seranganku!"

   Kata Bwee Hwa dan baru saja ucapannya ini keluar, Lui Thong terkejut sekali karena dia sudah kehilangan lawannya! Dia cepat memutar tubuhnya dan benar saja, gadis itu telah berada di belakangnya. Akan tetapi begitu dia membalik, dia hanya melihat bayangan merah berkelebatan dan gadis itu sudah bergerak cepat sekali seperti seekor tawon merah terbang mengelilingi setangkai bunga!

   Sebentar saja Lui Thong merasa bingung dan pening karena serangan itu datang dari mana-mana, dari sekeliling dirinya. Dia harus menangkis dan mengelak dari serangan yang seolah dilakukan oleh empat-lima orang! Beberapa kali dia kena ditampar dan ditendang oleh Bwee Hwa yang biarpun hanya menggunakan sebagian kecil tenaganya saja, namun cukup mendatangkan rasa nyeri, pedas dan panas!

   Riuh rendah sambutan para anggauta gerombolan itu saking heran dan kagum menyaksikan betapa Bwee Hwa merupakan bayangan merah yang berkelebatan di sekeliling tubuh Lui Thong. Pembantu Gak Sun Thai itu seolah menjadi seekor monyet besar yang diserang seekor kumbang dan tidak berdaya sama sekali menghadapi serangan si kecil yang amat gesit itu. Hal inipun terasa sekali oleh Lui Thong dan dia tahu bahwa kalau dilanjutkan, dia akan mendapat malu besar, maka cepat dia berseru.

   "Tahan, nona!"

   Bwee Hwa menghentikan serangannya dan berdiri di depan lawannya sambil tersenyum.

   "Nona, ciang-hwat (silat tangan kosong) nona sungguh lihai, biarpun kuakui bahwa pukulan tanganmu hampir tidak terasa olehku. Sekarang marilah kita mencoba permainan senjata kita!"

   Bwee Hwa tersenyum saja dan dalam hatinya ia berkata.

   "Hemm, manusia tolol! Kau dikasih hati tidak tahu diri. Kalau aku benar-benar menurunkan tangan dengan pengerahan tenagaku, apa kaukira engkau masih dapat bemapas lagi?"

   Akan tetapi ini hanya suara hatinya, sedangkan mulutnya berkata.

   "Memang, tenagaku tidak kuat sedangkan tubuhmu terlalu kuat. Kalau engkau masih belum puas dan menggunakan senjata, silakan!"

   Lui Thong segera mencabut senjatanya, sebatang golok yang besar dan berat sekali sehingga dua orang anak buah yang dia suruh ambil menggotong golok itu dengan susah payah. Lui Thong menerima golok itu dengan tangan kanan dan dia mendemonstrasikan kekuatannya, memutar golok besar itu disekeliling tubuhnya sehingga terdengar suara berdesingan dan angin menyambar-nyambar!

   Diam-dian Bwee Hwa merasa khawatir kalau-kalau Sin-hong-kiam, pedang pusakanya akan rusak jika dipakai melawan senjata berat itu, maka ia lalu ber-kata dengan tenang.

   "Nah, setelah senjatamu berada di tanganmu, engkau menunggu apalagi? Mulailah dengan seranganmu!"

   "Mana senjatamu, nona? Keluarkanlah dan cabut pedangmu itu."

   Bwee Hwa tertawa dengan bebas, tanpa menutupi mulut seperti kebiasaan gadis-gadis yang selalu menutupi mulut bila tertawa agar tampak sopan.

   "Heh-he-he, untuk apa aku harus mencabut pedangku? Biar kuhadapi golok pemotong babi di tanganmu itu dengan tangan kosong saja!"

   Lui Thong menjadi marah sekali, merasa dipandang rendah dan dihina. Akan tetapi karena gadis itu menjadi tamu ketuanya, dia menoleh kepada Gak Sun Thai dengan mata bertanya.

   Gak Sun Thai bertanya kepada Bwee Hwa.

   "Sungguhkah bahwa engkau akan menghadapi golok Lui Thong dengan tangan kosong saja, nona?"

   "Kenapa tidak? Empat batang golok seperti itu masih sanggup aku melawannya dengan tangan kosong, apalagi hanya sebatang."

   Gak Sun Thai mendongkol juga dan diapun mengangguk kepada Lui Thong. Orang tinggi besar bermuka hitam ini lalu membentak marah.

   "Ang-hong-cu, engkau sendiri yang mencari mati!"

   Dia lalu membuka serangan dengan jurus Hong-cui-pai-hio (Angin Meniup Daun). Golok itu menyambar dengan cepat dan kuat sekali dari kanan mengeluarkan suara berdesing. Jangankan tubuh Bwee Hwa yang ramping itu, biar sebatang pohon siong yang besar pun agaknya akan terbabat putus dengan mudah oleh sambaran golok ini!

   Akan tetapi Bwee Hwa dengan gerakan lemas merendahkan tubuhnya hampir berjongkok sehingga golok itu lewat di atas kepalanya dan ketika golok itu menyambar kembali dari arah lain, kini membabat ke arah bawah, dengan lincahnya ia melompat ke atas sehingga kini golok itu berdesing lewat di bawah kakinya. Demikianlah, dengan menggunakan keringanan dan kecepatan gerak tubuhnya, Bwee Hwa dengan mudah menghindarkan diri dari serangan-serangan golok Lui Thong.

   Orang tinggi besar itu menjadi semakin penasaran dan marah. Duapuluh jurus telah lewat tanpa dia dapat melukai lawannya. Jangankan melukai, bahkan goloknya itu sama sekali tidak mampu menyentuh ujung baju gadis itu. Rasa penasaran dan marah membuat Lui Thong seolah lupa bahwa pertandingan itu sebetulnya hanya merupakan "pertandingan persahabatan"

   Untuk menguji ilmu silat masing-masing.

   Kemarahan membuat dia bernafsu sekali untuk merobohkan lawan, kalau perlu membunuhnya! Dia lalu membentak nyaring dan segera memainkan ilmu andalannya, yaitu Go-bi To-hoat (Ilmu Golok Go-bi-pai). Goloknya diputar cepat bagaikan kitiran angin sehingga merupakan gulungan sinar putih yang menyambar-nyambar ke arah tubuh Bwee Hwa.

   Akan tetapi Bwee Hwa mengeluarkan suara tawa lirih dan iapun mengerahkan gin-kangnya sehingga tubuhnya menjadi bayangan merah yang berkelebat di antara sinar golok yang putih bergulung-gulung itu. Karena bayangan merah itu bergerak lebih cepat dan gulungan sinar putih mengejarnya, maka seolah gulungan sinar putih itu dituntun oleh bayangan merah.

   Pemandangan yang indah dan aneh ini amat menarik perhatian, membuat semua orang yang menonton merasa kagum. Terutama para anggauta gerombolan itu merasa gembira karena mereka mengira bahwa sekali ini Lui Thong berhasil mendesak gadis itu.

   "Aughh""!"

   Tiba-tiba terdengar suara Lui Thong mengeluh dan semua penonton terbelalak. Semua terjadi begitu cepat dan di luar dugaan mereka.

   Tiba-tiba saja, setelah terdengar Lui Thong mengeluh itu, golok besar itu terlepas dari tangan Lui Thong, jatuh berkerontangan di atas tanah dan tubuh tinggi besar itu kini berdiri kaku bagaikan telah berubah menjadi arca! Ternyata dia telah terkena totokan jari tangan Bwee Hwa pada jalan darah ta-tui-hiat-to sehingga tubuhnya menjadi kaku tidak mampu bergerak.

   Setelah merasa yakin bahwa semua orang melihat jelas keadaan Lui Thong yang kaku tertotok, Bwee Hwa lalu melangkah maju, memungut golok yang besar dan berat sekali itu. Akan tetapi dengan amat mudahnya seolah golok itu seringan ranting kering, Bwee Hwa melontarkan senjata itu ke atas.

   Semua orang memandang ke atas dan melihat betapa golok itu melayang tinggi sekali! Kemudian mereka melihat golok itu meluncur turun dengan cepat dan dengan ujungnya yang tajam runcing di bawah, golok itu meluncur ke arah kepala Bwee Hwa.

   Para wanita dan kanak-kanak merasa ngeri bahkan ada yang menjerit ketika melihat betapa golok itu seolah akan menimpa dan menembus kepala gadis itu. Akan tetapi dengan cepat tangan kanan Bwee Hwa bergerak dan tahu-tahu ia telah menangkap golok itu pada ujungnya yang runcing dan tajam. Tanpa banyak cakap ia lalu menggunakan gagang golok itu untuk membuka totokan pada tubuh Lui Thong sehingga tubuh itu dapat bergerak lagi.

   Lui Thong yang dapat bergerak lagi meringis kesakitan karena kekakuan tu-buhnya tadi membuat urat-uratnya terasa nyeri. Ketika Bwee Hwa menjulurkan golok itu kepadanya, dia menerimanya lalu menjura dalam sambil berkata lirih.

   "Sungguh aku yang bodoh telah mendapat banyak pelajaran darimu, nona."

   Setelah berkata demikian, dengan menundukkan mukanya dia menyeret goloknya dan mengundurkan diri.

   Bwee Hwa kini memandang kepada Gak Sun Thai dan bertanya.

   "Paman Gak, apakah ada lagi yang ingin menguji kepandaianku? Marilah kalau ada, selagi aku ada semangat. Kalau aku sedang malas, dipaksapun aku tidak mau bertanding secara main-main begini."

   Seorang pembantu lain segera melangkah maju menghadapi Bwee Hwa.

   "Gak-twako, biarkan aku mencoba kepandaian nona ini."

   Gak Sun Thai juga menganggukkan kepala tanda setuju.

   Orang itu bertubuh pendek kurus, berusia kurang lebih empatpuluh tahun. Hidungnya mancung dan mukanya meruncing seperti muka burung, matanya yang juling itu bersinar tajam. Dengan sikap digagah-gagahkan dia menjura kepada Bwee Hwa dan berkata.

   "Ang-hong-cu, aku adalah pembantu Gak-twako. Namaku Lie Hoat dan julukanku Kang-jiauw-eng (Garuda Kuku Baja)."

   Berkata demikian, Lie Hoat sengaja membentuk kedua tangannya seperti cakar garuda dan dia memang seorang yang mengandalkan ketangguhannya dengan ilmu pukulan Tiat-see-ciang (Tangan Pasir Besi).

   Dalam melatih ilmu ini, dia menggunakan pasir besi dari yang dingin sampai yang panas dengan meremas-remas pasir besi itu. Latihan ini membuat kedua tangannya berwarna hitam dan karena dia seorang lwe-keh (ahli tenaga dalam), maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya kedua tangan itu. Pukulan Tiat-see-ciang itu dapat meremukkan tulang menghanguskan kulit daging. Cengkeramannya cukup kuat untuk menghancurkan batu karang yang keras!

   "Hemm, apakah engkau juga hendak bertanding menggunakan senjata?"

   Tanya Bwee Hwa.

   "Nona, sungguh gagah perkasa. Aku tidak memiliki kepandaian atau senjata apapun, kecuali hanya mengandalkan sepasang tangan yang lemah ini."

   "Kedua tanganmu yang mengandung ilmu Tiat-see-ciang itu mana bisa dibilang lemah?"

   Kata Bwee Hwa dan Lie Hoat terkejut bukan main. Dia merasa heran bagaimana gadis muda ini sekali pandang sudah dapat mengenal ilmu simpanannya.

   Dia tidak tahu bahwa guru gadis itu, Sin-kiam Lojin, pernah menerangkan dengan jelas kepada muridnya itu tentang banyak macam ilmu yang aneh dan berbahaya dari orang-orang di dunia kang-ouw, termasuk Tiat-see-ciang ini. Bwee Hwa sudah hafal akan ilmu-ilmu itu dengan segala cirinya.

   "Ah, sungguh nona memiliki pandangan yang tajam sekali, dapat mengenal ilmuku sebelum kupergunakan! Sebetulnya siapakah nona ini dan siapakah guru nona yang mulia?"

   Melihat sikap si katai yang sopan ini, Bwee Hwa menjawab sejujurnya.

   "Tadi aku sudah memperkenalkan namaku. Namaku Bwee Hwa dan orang menjuluki aku Ang-hong-cu. Adapun siapa guruku tidak perlu kuperkenalkan namanya."

   Gadis itu memang tidak ingin menyebut nama suhunya karena ia menganggap bahwa tidak perlu nama suhunya diketahui oleh golongan perampok seperti ini.

   Mendengar jawaban dan melihat sikap Bwee Hwa, Lie Hoat maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis kangouw yang masih muda dan yang bersikap polos dan jujur. Dia lalu berkata.

   "Nona, sudilah engkau memberi pelajaran untuk menambah pengalaman dan memperluas pengetahuanku yang dangkal."

   "Silakan, dan jangan sungkan-sungkan,"

   Jawab Bwee Hwa.

   Karena maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan tangguh, begitu bergerak, langsung saja Lie Hoat mengerahkan tenaga dalamnya dan mengeluarkan ilmu andalannya, yaitu Tiat-see-ciang! Kedua tangannya berubah menghitam dan setiap tamparan, pukulan atau cengkeramannya merupakan serangan maut yang berbahaya!

   Akan tetapi sekali ini Lie Hoat yang berjuluk Kang-jiuw-eng (Garuda Kuku Baja) itu seolah membentur batu karang! Gadis muda itu berani menangkis dan beradu tangan dengannya dan ternyata gadis itu memiliki kedua tangan yang kini menjadi sekeras baja dan tidak kalah kuat dibandingkan kedua tangan yang mengandung ilmu Tiat-see-ciang itu!

   Bwee Hwa mempergunakan ilmu mengeraskan tangan yang disebut Liap-kang Pek-ko-jiu (Membuat Tangan Keras Seperti Baja) sehingga kalau tangannya menangkis atau bertemu tangan Lie Hoat, terdengar suara berdenting seolah bukan lengan tangan dari kulit daging dan tulang yang saling bertemu, melainkan dua potong besi baja yang amat kuat!

   Kemudian Bwee Hwa membalas serangan lawan dan ia memainkan ilmu silat Bi-ciong-kun (Kepalan Menyesatkan), ilmu silat yang indah namun memiliki kembangan-kembangan yang aneh sehingga membingungkan lawan.

   Menghadapi gerakan-gerakan yang cepat dan juga aneh itu, Lie Hoat menjadi bingung dan pusing. Gerakan kedua tangan Bwee Hwa tak terduga dan aneh-aneh dan akhirnya gadis itu dapat mendorong pundak Lie Hoat yang membuat dia terpental jatuh bergulingan di atas tanah sehingga pakaiannya menjadi kotor semua. Biarpun dia tidak terluka sama sekali, Lie Hoat maklum bahwa kalau gadis itu (Lanjut ke Jilid 04)

   Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan (Cerita Lepas)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   berniat buruk, tentu dia akan tewas atau sedikitnya terluka berat. Maka dia lalu melompat berdiri dan memberi hormat.

   "Ang-hong-cu sungguh hebat, aku mengaku kalah!"

   Kata Lie Hoat dan dia lalu mengundurkan diri.

   "Bukan main! Benar-benar luar biasa! Seumur hidupku belum pernah aku melihat seorang gadis semuda ini memiliki ilmu silat sehebat itu. Mari, mari Ang-hong-cu. Cobalah engkau memberi petunjuk untuk menambah kemampuanku yang tak seberapa ini."

   Bwee Hwa mengangkat muka dan melihat seorang laki-laki yang usianya sudah sekitar enampuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan berjenggot panjang. Orang ini pakaiannya bersih, wajahnya kekuning-kuningan dan sikapnya halus dan sopan.

   "Siapakah nama paman? Apakah paman juga pembantu Paman Gak Sun Thai?"

   Kakek itu mengangguk dan menggunakan tangan kiri mengelus jenggotnya yang panjang.

   "Benar, Ang-hong-cu. Namaku Souw Ban Lip dan aku juga pembantu Gak-toako."

   Bwee Hwa merasa heran bagaimana kakek yang tampaknya lebih tua dari Gak Sun Thai inipun menyebut toako (kakak tertua) kepada Gak Sun Thai. Ia tidak tahu bahwa sebutan itu untuk menghormat orang yang kedudukannya lebih tinggi, walaupun usianya lebih muda. Ia memperhatikan dan melihat sebuah kantung merah yang biasanya untuk menyimpan senjata rahasia tergantung di pinggang kakek itu.

   "Paman Souw, engkau hendak menggunakan senjata apakah untuk menguji kepandaianku?"

   Souw Ban Lip tersenyum juga dan menepuk-nepuk kantung piauw (senjata rahasia) dan berkata.

   "Orang menjuluki aku Lian-hoan-piauw (Si Piauw Beruntun) dan dalam kantungku ini tersimpan duapuluh lima batang piauw. Sanggupkah engkau menghadapi semua senjata rahasiaku ini, Ang-hong-cu?"

   Bwee Hwa tersenyum, dalam hati menertawakan kakek itu. Ia sendiri mendapat julukan Ang-hong-cu karena keahliannya melepaskan senjata rahasia hong-cu-ciam yang kecil dan sukar disambitkan, bagaimana mungkin ia takut menghadapi segala macam piauw yang merupakan senjata rahasia yang kasar?

   "Silakan engkau melepaskan semua piauw itu. Aku tidak akan meninggalkan lingkaran ini."

   Sambil berkata demikian Bwee Hwa mempergunakan ujung sepatu kirinya menggariskan lingkaran di luar tempat ia berdiri!

   Ucapan Bwee Hwa ini bukan saja membuat semua orang merasa terkejut dan heran, bahkan membuat Gak Sun Thai merasa bahwa sekali ini Bwee Hwa betul-betul agak keterlaluan dalam kesombongannya. Maka dia lalu berkata.

   "Ini sama sekali tidak adil! Akan tetapi karena nona sendiri yang memutuskan untuk menghindarkan diri dari semua piauw yang dilepas saudara Souw Ban Lip tanpa keluar dari garis lingkaran yang nona buat sendiri, sudahlah. Akan tetapi aku harus mengambil keputusan yang adil. Engkau boleh membalas dengan senjata rahasia juga, yaitu, kalau engkau dapat mempergunakan senjata rahasia, Ang-hong-cu."

   Bwee Hwa tersenyum dan berkata kepada Souw Ban Lip.

   "Paman Souw, silakan mulai dengan serangan piauw-mu!"

   Ia berdiri dengan tenang saja seakan-akan tidak menghadapi lawan yang siap menyambitkan senjata rahasianya yang berbahaya.

   Souw Ban Lip merogoh kantung piauwnya dan mengeluarkan tiga batang piauw dengan tangan kanannya. Kemudian dia berseru.

   "Ang-hong-cu, awas piauw-ku!"

   Begitu tangannya bergerak, sinar hitam meluncur cepat sekali ke arah Bwee Hwa. Gadis itu tidak menggerakkan tubuh untuk mengelak, hanya tangan kiri-nya bergerak cepat, dan tahu-tahu piauw itu telah disambar dan ditangkap tangan kirinya. Piauw kedua dan ke tiga menyambar susul menyusul. Bwee Hwa menyambitkan piauw di tangannya, memapaki piauw kedua sehingga dua batang piauw itu bertumbukan di udara dan jatuh ke atas tanah, sedangkan piauw ketiga yang mengarah lambungnya dapat ia tangkis dengan tendangan ujung sepatunya.

   Melihat betapa gadis itu dengan mudah saja dapat mematahkan serangan tiga batang piauwnya, Souw Ban Lip merasa kagum sekali akan tetapi juga penasaran. Dia cepat mengeluarkan enam batang piauw, masing-masing tangan memegang tiga batang. Begitu dia menggerakkan kedua tangannya, secara beruntun enam batang piauw itu meluncur ke arah tubuh Bwee Hwa dan yang dijadikan sasaran adalah bagian tubuh yang berbahaya.

   Namun, ternyata gadis itu memiliki gerakan kaki tangan yang cepat bukan main. Bagaikan mengubah kedua tangannya menjadi empat, dibantu kedua kakinya dia dapat menangkis dengan kebutan tangan dan tertendang kaki sehingga enam batang piauw itu semua runtuh tanpa dapat melukainya sedikitpun.

   Kembali enam batang piauw melayang, kini bukan lagi beruntun melainkan berbareng! Sungguh berbahaya sekali serangan enam batang piauw yang meluncur berbareng ini. Akan tetapi, dengan gerakan cepat Bwee Hwa telah melepaskan pengikat rambutnya yang terbuat dari sutera halus berwarna merah dan ketika ia mengebut-ngebutkan sutera merah itu, enam batang piauw itu semua terpukul runtuh! Padahal yang dipergunakan untuk menangkis itu hanya sehelai sutera merah tipis, namun di tangan yang disaluri tenaga sakti itu, sutera merah tadi menjadi kaku dan kuat bagaikan sebatang pedang saja.

   Setelah mengukur sampai di mana kekuatan dan keampuhan daya serang senjata rahasia lawan, Bwee Hwa sengaja berdiri membelakangi lawannya! Enam batang piauw yang menyambar dari belakang itu dapat ditangkis semua dengan cara memutar kain suteranya ke belakang tubuh. Ia hanya mengandalkan pendengarannya yang sangat tajam terlatih untuk menyelamatkan dirinya. Jangankan hanya diserang piauw dari belakang, biarpun diserang dari manapun juga dan di tempat gelap gulita sekalipun, ia akan sanggup menghindarkan diri karena ketajaman pendengarannya dapat menggantikan penglihatannya.

   Ketika Souw Ban Lip yang sudah putus asa itu menyambitkan piauw terakhir ke arah leher Bwee Hwa, gadis itu miringkan kepalanya dan tahu-tahu ia berhasil menggigit paiuw itu dari samping! Lalu ia meniup dan piauw itu meluncur dan menancap pada cabang pohon yang tubuh di pekarangan itu.

   "Paman Souw, kepandaianmu menyerang dengan piauw sungguh tidak rendah."

   Souw Ban Lip bersungut-sungut dengan wajah berubah kemerahan.

   "Hemm, jangan engkau menyindir, Ang-hong-cu. Buktinya tak sebuahpun piauwku dapat menyentuh ujung bajumu. Sayang engkau tadi tidak membalasku dengan senjata rahasia sehingga tak dapat kuketahui sampai di mana kelihaianmu mempergunakan senjata rahasia."

   "Ah, jangan tergesa-gesa berkata begitu, saudara Souw. Tadi aku melihat sekelebatan tangan Ang-hong-cu bergerak dan kulihat sinar-sinar lembut berkelebat ke arahmu dengan mengeluarkan bunyi mengaung. Coba engkau periksa yang betul, jangan-jangan engkau telah terluka oleh senjata rahasia Ang-hong-cu,"

   Kata Gak Sun Thai yang memang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi daripada tingkat Souw Ban Lip dan memiliki penglihatan yang lebih tajam.

   Souw Ban Lip terkejut mendengar ucapan itu. Tadi diapun mendengar suara mengaung lembut akan tetapi tidak merasakan sesuatu yang mencurigakan. Kini dia melihat dan memeriksa ke seluruh bagian tubuhnya untuk melihat apakah ada yang terluka, akan tetapi dia tidak menemukan sesuatu.

   "Engkau mencari apakah, Paman Souw? Coba engkau periksa kantung piauwmu dan lihat dengan teliti!"

   Kata Bwee Hwa yang tersenyum manis.

   Souw Ban Lip cepat mengambil kantung piauwnya yang sudah kosong dan memeriksa dalamnya. Tiba-tiba dia berseru.

   "Hayaaaa!!"

   Setelah betseru kaget dengan mata terbelalak dan wajah pucat, dia segera menjura kepada Bwee Hwa dan berkata.

   "Kemampuanku menggunakan senjata rahasia tidak ada sepersepuluh bagian dari kelihaianmu menggunakan hong-cu-ciam, nona."

   Ternyata di sebelah dalam kantung piauw itu telah menancap tiga batang jarum tawon yang berjajar rapi. Kalau gadis itu menghendaki, tentu saja jarum-jarum itu akan bersarang di tubuhnya! Dia memperlihatkan jarum-jarum itu kepada Gak Sun Thai yang merasa kagum sekali.

   

Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini