Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 1


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 01

   "Song-Kauwsu (Guru Silat Song) pasti menang!"

   "Siapa bilang? Can-Kauwsu tak mungkin kalah. Dia mempunyai tenaga melebihi gajah! Pernah kusaksikan dengan mataku sendiri ketika ia berdemonstrasi dan dengan sekali pukul saja kepalan tangannya dapat menerobos dinding bata tebal! Can-Kauwsu pasti menang!"

   "Song-Kauwsu lebih hebat! Aku juga pernah menyaksikan sendiri betapa dengan tangan dimiringkan ia dapat menumbangkan sebatang pohon yang besar! Dia pasti menang!"

   "Tidak bisa, Can-Kauwsu lebih gagah!"

   "Salah! Song-Kauwsu yang lebih gagah!"

   "Hayo kita bertaruh!"

   "Boleh, siapa takut bertaruh? Aku merasa pasti bahwa Song-Kauwsu yang akan menang."

   "Kita bertaruh lima puluh tail perak!"

   "Aku tidak punya uang sebanyak itu."

   "Pertaruhkan sawahmu dengan uang lima puluh tail. Atau, kau ragu-ragu dan takut kalah?"

   Diam sejenak.

   "Bagaimana, berani tidak? Kalau ragu-ragu, tariklah kembali omonganmu tadi dan katakan bahwa Can-Kauwsu yang akan menang!"

   Diam lagi sejenak.

   "Jadilah! Aku pertaruhkan sawahku untuk lima puluh tail perak! Kalau Song-Kauwsu yang menang, kau memberi lima puluh tail perak kepadaku. Tak boleh di hutang, harus tunai!"

   "Tentu saja, siapa mau menipumu? Akan tetapi kalau Can-Kauwsu yang menang, sawahmu menjadi hak milikku, tak boleh diganggu-gugat!"

   "Baik."

   Demikianlah terdengar percakapan di bawah panggung Lui-Tai, yakni panggung tempat mengadu kepandaian silat yang dibangun didepan Kuil Ban-Hok-Si (Kuil Selaksa Rezeki). Tidak hanya dua orang itu saja yang mempercakapkan pertempuran antara Guru silat Can dan Guru silat Song, bahkan mempertaruhkan uang dan sawah mereka, sumber nafkah satu-satunya, akan tetapi masih banyak lagi orang bicara dan bertaruh, seakan-akan mereka semua itu sedang mengelilingi tempat adu ayam. Memang, semenjak zaman purba, manusia telah mengenal permainan mengadu untung ini, mempertaruhkan uang, harta benda, barang-barang yang dicintanya, ya... bahkan bukan omong kosong belaka cerita-cerita yang terdengar tentang orang mempertaruhkan... anak bininya!

   Bertaruh adalah sebuah kesenangan, sebuah permainan yang menegangkan urat saraf, mendebarkan jantung, mempermainkan perasaan sendiri, bahkan mempermainkan kekuasaan dan berkah TUHAN Yang Maha Tunggal! Bertaruh bukan mengadu keahlian atau kepandaian, akan tetapi mengadu untung, mengadu nasib. Dan karena nasib dianggap oleh manusia berada di tangan TUHAN, maka dalam bertaruh orang memanjatkan doa kepada TUHAN agar dapat menang! Yang menang mengucap syukur dan memuji kemurahan dan keadilan TUHAN, yang kalah menyumpah-nyumpahi nasib dan tergoncanglah kepercayaannya akan kemurahan dan keadilan TUHAN! Bukankah itu berarti mempermainkan kekuasaan dan berkah TUHAN Yang Maha Kuasa? Ratusan orang berduyun-duyun datang memenuhi halaman Kuil Ban-Hok-Si, merupakan pagar manusia yang mengelilingi panggung Lui-Tai di tengah halaman Kuil.

   Ada yang duduk di atas tanah, ada yang berjongkok, ada pula yang berdiri. Akan tetapi semua orang bercakap-cakap, dan mereka itu kesemuanya hanya membicarakan satu macam hal, yakni tentang pertandingan pIbu (adu silat) yang akan dilakukan antara perguruan silat yang dipimpin oleh Song-Kauwsu dan Can-Kauwsu. Panggung Lui-Tai itu tinggi, kira-kira satu setengah tinggi orang, dengan empat balok besar di tiap sudut sebagai penjaga. Lantainya dari papan yang tebal dan kuat pula, dipasang berjajar membentuk segi empat. Tepinya tanpa langkan sehingga para penonton yang berada di bawah panggung dapat melihat dengan lepas tak terganggu. Di sudut terdekat dengan Kuil, terpancang sebuah tiang bendera dari bambu dan sehelai bendera kuning dengan huruf besar "SONG-Kauwsu"

   Berkibar di atas tiang.

   Ini merupakan tanda bahwa pembangun dan penyelenggara panggung Lui-Tai ini adalah Song-Kauwsu, atau dengan lain kata, penantang pertandingan pIbu ini adalah Guru silat she Song itu. Para Hwesio (Pendeta Buddha) Kuil Ban-Hok-Si itu berdiri di ruang depan Kuil sambil memandang dengan muka gelisah ke arah panggung. Mereka saling bicara dengan amat perlahan agar jangan sampai terdengar oleh lain orang, dan dari bisikan-bisikan mereka ini, mereka menyatakan kegelisahan hati karena adanya pIbu itu. Mereka mengenal baiik kepada Song-Kauwsu yang menjadi seorang penderma besar dari Kuil Ban-Hok-Si, dan karena Guru silat ini mereka segani dan takuti karena kelihaiannya dan kedermawanannya, maka ketika Guru silat itu minta pinjam halaman Kuil yang luas untuk dibanguni panggung Lui-Tai, mereka tidak berani menolak.

   "Omitohud..."

   Seorang di antara Hwesio-Hwesio itu, yang sudah lanjut usianya, berbisik sambil merangkapkan kedua tangannya di depan dada.

   "Apakah akan jadinya dengan Kuil kita? Orang-orang membangun panggung Lui-Tai, akan mengadakan pertempuran, saling serang dalam usaha mereka untuk saling melukai atau saling membunuh...! Ah, kesucian Kuil kita akan ternoda oleh mengalirnya darah dari tubuh manusia... semoga Sang Buddha mengampuni mereka yang sesat!"

   Mendengar bisikan setengah doa dari Jin Hwat Hosiang ketua Kuil Ban-Hok-Si ini, semua Hwesio lalu merangkapkan kedua tangan di depan dada dan diam-diam ikut berdoa. Alangkah jauhnya perbedaan perasaan yang memancar keluar dari wajah para Hwesio ini dengan perasaan para penonton di sekeliling panggung.

   Kalau para Pendeta ini merasa cemas dan khawatir terliput kedukaan, adalah para penonton tersenyum-senyum, tertawa-tawa, dan bergembira sekali seakan-akan sedang menanti dimulainya sebuah pertunjukan yang amat menarik hati. Mereka sudah menanti dengan hati tak sabar lagi. Tiba-tiba terdengar gembreng dan tambur dipukul orang. Semua penonton serentak bangun dan memandang dengan penuh perhatian, yang berada di belakang mendesak ke depan, yang pendek berdiri di atas ujung kakinya. Setelah suara gembreng dan tambur makin mengeras memekakkan telinga, maka ternyata bahwa gembreng dan tambur itu dipukul oleh beberapa orang pemuda yang mengiringkan serombongan orang gagah.

   Inilah rombongan Guru silat she Song itu! Yang berjalan paling depan adalah Song Swi Kai atau Guru silat Song sendiri. ia benar-benar gagah dan mengecilkan nyali orang yang dihadapinya. Tubuhnya tinggi tegap, tegak lurus, dan dadanya bidang, nampaknya kuat sekali sungguhpun usianya tidak kurang dari empat puluh tahun. Rambutnya hitam, alis matanya tebal menghitam, akan tetapi ia tidak memelihara kumis dan jenggot. Karena mukanya dicukur licin, maka ia nampak muda dan ganteng. Memang, Song Swi Kai nnempunyai wajah yang tampan dan sikap yang amat gagah. Warna kulit mukanya yang kemerah-merahan membuat ia nampak lebih gagah lagi. Pakaiannya sederhana, akan tetapi terbuat dari bahan sutera yang mahal.

   Sepasang siangkek (senjata tombak pendek bercagak) terselip di dekat pinggang sebelah kiri. Langkahnya tetap, ayunan tangannya gagah, membuat jalannya mengingatkan orang akan seekor harimau yang ganas! Berdegaplah jantung mereka yang melihat Guru silat ini, degap jantung yang bangga dan gembira dari mereka yang bertaruh atas Song-Kauwsu dan debar jantung yang khawatir dan gelisah dari mereka yang "memegang"

   Can-Kauwsu dalam taruhan mereka. Di sebelah kiri Song Swi Kai berjalan seorang dara yang membuat penonton muda menahan napas saking kagumnya. ia bertubuh tinggi ramping, cukup tinggi bagi seorang dara sungguhpun tidak melebihi dagu Song-Kauwsu. Wajahnya cantik dan gagah, bibirnya yang merah dan manis itu ditarik mengarah senyum, sepasang matanya jeli dan tenang tidak mengerling ke kanan kiri, lurus memandang ke depan.

   Kepalanya ditarik lurus dan dadanya yang penuh itu diangkat ke depan, menambah kegagahannya. Rambutnya yang hitam panjang disanggul ke atas, diikat dengan pita biru. Pakaiannya dari sutera warna merah berkembang, berkibar-kibar tertiup angin ketika ia berjalan, mencetak bentuk tubuhnya yang penuh. Sungguhpun kedua kakinya tidak di ikat, namun kaki itu tidak terlalu besar, tertutup oleh sepasang sepatu biru berkembang. Langkahnya gesit dan ringan seakan-akan hanya ujung sepatunya saja yang menyentuh tanah. Pada pinggang kirinya tergantung Siang-Kiam (sepasang pedang) dalam sarung pedang yang berukir gambar burung Hong. ia nampak lebih gagah dari pada cantik, mendatangkan rasa jerih kepada hati para pemuda yang mengaguminya,

   Membuat setiap laki-laki berpikir-pikir panjang dulu sebelum berani menyapanya atau berlaku kurang sopan terhadapnya. Inilah Song Bwee Eng, puteri sulung dari Guru silat she Song itu, seorang dara berusia delapan belas tahun yang telah mewarisi kepandaian silat dari Ayahnya! Di belakang Ayah dan anak ini berjalan dua orang laki-laki yang gagah sikapnya dan gagah pula pakaiannya, karena mereka berpakaian sebagai ahli-ahli silat. Mereka itu adalah murid-murid kepala dari Song-Kauwsu, Kakak-beradik she Tan yang juga sudah mewarisi ilmu silat dari Song Swi Kai dan mendapat kepercayaan besar dari Guru silat ini untuk melatih murid-murid yang tingkatnya masih rendah. Yang berjalan di sebelah kanan adalah seorang laki-laki muda berusia tiga puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan mukanya yang berwarna kuning itu membuat ia nampak pucat.

   Inilah Tan Siang yang mendapat julukan Oei-Bin-Liong (Naga Muka Kuning)! Di sebelah kirinya berjalan Tan Kui Hok, adiknya, yang menjadi murid kepala kedua. Seperti juga Kakaknya, Tan Kui Hok ini bertubuh tinggi dan lebih tegap, akan tetapi kulit mukanya berwarna kehitaman, maka ia mendapat julukan Hek-Bin-Liong si Naga Muka Hitam! Usianya kurang lebih dua puluh lima tahun dan tidak seperti Kakaknya, si Naga Muka Hitam ini masih belum kawin. Kedua saudara she Tan ini menggantungkan pedang mereka di punggung dan sikap mereka gagah sekali. Kemudian, di belakang kedua murid kepala ini, berbaris murid-murid lain yang jumlahnya lima belas orang. Mereka ini adalah murid-murid yang dianggap sudah cukup tinggi kepandaiannya.

   Murid-murid yang masih rendah kepandaiannya tidak diperbolehkan ikut dalam rombongan ini. Kegagahan dan keangkeran rombongan Guru silat Song ini membuat orang yang tadi mempertaruhkan sawahnya atas Song-Kauwsu, menjadi bangga dan girang. Bersama orang-orang lain ia bersorak dan bertepuk tangan, bahkan berjingkrak-jingkrak saking girangnya. Di depan matanya telah terbayang tumpukan uang lima puluh tail perak hasil kemenangannya bertaruh dan diam-diam ia telah membuat rencana bagaimana ia akan menyenangkan hati anak-isterinya dengan uang sebanyak itu! Sebaliknya, lawannya yang bertaruh atas kemenangan Can-Kauwsu, menjadi kecut hatinya dan ia hanya dapat memandang ke arah rombongan itu dengan muka pucat dan termenung! Akan tetapi ia menghIbur hatinya dan berkata kepada lawannya.

   "Jangan kau bergirang dulu, kegagahan mereka itu hanya nampak diluarnya saja. Tunggu nanti kalau Can-Kauwsu muncul!"

   "Can-Kauwsu? Ha, ha, orang-tua kurus kecil yang lemah itu terkena pukulan Song-Kauwsu satu kali saja tentu akan terlempar keluar dari panggung!"

   Marahlah orang itu,

   "Hah! Mudah saja kau mengeluarkan hama busuk dari mulutmu! Lihat saja, Can-Kauwsu akan membuat dia berlutut minta-minta ampun di atas panggung!"

   "Tutup mulutmu! Kutanggung Can-Kauwsu takkan dapat mengalahkan murid kepala dari Song-Kauwsu!"

   "Sombong! Dengan tangan kiri saja Can-Kauwsu akan membuat dia melolong-lolong minta ampun!"

   "Mulutmu bau busuk! Aku berani potong leher kalau Song-Kauwsu sampai kalah!"

   "Aku berani gantung diri kalau Can-Kauwsu kalah!"

   Lawannya tak mau kalah. Makin ramai dan hebat kedua orang itu bersitegang, dan kalau saja tidak banyak orang datang melerai, tentu keduanya sudah akan main adu tinju atau bergulat di tempat ramai itu, mendahului pertandingan pIbu!

   "Awas, akan kubunuh kau kalau nanti tidak membayar lima puluh tail perak apabila Can-Kauwsu kalah!"

   Kata si pemilik sawah.

   "Begitu? Dan lidahmu yang jahat akan kucabut keluar kalau kau tidak menyerahkan sawahmu kepadaku apabila Song-Kauwsu yang kalah!"

   Kembali keduanya bersitegang, sehingga akhirnya maju tiga orang tetangga mereka yang bersukarela menjadi saksi-saksi dalam pertaruhan besar dan nekad ini!

   Song Swi Kai membawa rombongannya masuk ke halaman Kuil dan langsung menuju ke ruang depan di mana berdiri para Hwesio itu. Song-Kauwsu lalu menjura kepada Jin Hwat Hosiang ketua Ban-Hok-Si, yang membalas dengan ucapan selamat datang dan mempersilakan Guru silat itu mengambil tempat duduk di atas bangku-bangku yang sudah disediakan untuk mereka, di ruang sebelah kiri yang terdekat dengan panggung. Song-Kauwsu, puterinya dan dua orang murid kepala mengambil tempat duduk, sedangkan murid-murid lain cukup berdiri saja di belakang mereka. Sambil menanti datangnya pihak Can-Kauwsu, para penonton kini menjadikan rombongan Song-Kauwsu itu menjadi tontonan, terutama sekali pandangan mata mereka tertuju ke arah Song Bwee Eng, dara cantik yang duduk di dekat Ayahnya itu.

   Sementara itu, semenjak pagi di rumah Can-Kauwsu telah diadakan persiapan. Rumah Can-Kauwsu sederhana saja, akan tetapi mempunyai pekarangan yang amat lebar, karena selain untuk tempat tinggal, juga di situlah ia membuka Bukoan (Perguruan Silat) untuk melatih murid-muridnya. Pekarangan ini dikelilingi oleh dinding tembok bata dan di depan pintu gerbangnya yang lebar terdapat sebuah papan nama besar yang ditulisi huruf-huruf gagah berbunyi: PERGURUAN ILMU SILAT SIN WAN KUN HOAT (Ilmu Silat Kera Sakti), dan di bawah huruf-huruf ini terdapat tiga huruf yang menyatakan namanya, yakni Can Gin Sun. Can Gi Sun atau yang biasa disebut Can-Kauwsu ini adalah seorang berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi kurus dengan rambut dan jenggot yang sudah berwarna putih semua.

   Sungguhpun usianya belum termasuk tua sekali, akan tetapi ia nampak sudah tua, agaknya karena terlalu banyak menderita kepahitan hidup. Pakaiannya sederhana terbuat dari kain kasar, karena memang kehidupannya tak dapat dikatakan kaya. ia adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, ahli dari Sin-Wan Kun-Hoat, dan ia menjadi amat terkenal dengan sebutan Toat-Beng Siang-Pit atau Sepasang Senjata Pit Pencabut Nyawa! Nama ini adalah karena permainannya dengan senjata sepasang pit benar-benar lihai sekali. Pada saat itu, Can Gi Sun sedang duduk di ruang dalam berdua dengan isterinya, seorang nyonya yang dahulunya tentu amat cantiknya. Memang benar, nyonya Can Gi Sun ini adalah puteri seorang Bangsawan tinggi di Kotaraja.

   Mereka saling jatuh cinta dan karena orang-tua nyonya Can ini tidak suka puterinya berjodoh dengan seorang jago silat yang kasar, maka akhirnya kedua orang muda itu melarikan diri! Mereka menjadi suami-isteri sudah dua puluh tahun lebih dan hidup dengan rukun dan saling mencinta. Nyonya Can Gi Sun biarpun kepandaiannya hanya tentang sastra dan menyulam, akan tetapi semangatnya tak kalah besar, dan memiliki kekerasan dan ketabahan hati yang mengagumkan, oleh karena ia memang cocok sekali menjadi isteri seorang ahli silat yang kemudian menjadi seorang Guru silat yang kenamaan. Pada hari diadakannya pIbu yang diajukan oleh Song-Kauwsu sebagai tantangan itu, Can-Hujin (nyonya Can) sama sekali tidak nampak gelisah. ia tenang-tenang saja, bahkan ketika melihat suaminya duduk didepannya dengan kepala menunduk, ia lalu menegur.

   "Suamiku, mengapa kau nampaknya kurang gembira? Apakah yang melemahkan semangatmu? Aku percaya penuh bahwa menghadapi Song-Kauwsu kau takkan kalah!"

   Can Gi Sun tersenyum sambil memandang kepada isterinya yang sampai kini masih kelihatan cantik seperti bidadari dalam pandangan matanya itu.

   Alangkah baiknya isterinya ini, selalu percaya penuh ini, Memandang wajah isterinya ini, menimbulkan kenang-kenangan penuh madu di masa ia masih muda. Kemudian mereka menikah dan hidup penuh bahagia, saling mencinta dan rukun sekali. Hanya satu hal membuat kebahagiaan mereka itu agak suram, yakni karena tidak adanya seorang keturunan. Mereka setiap hari berdoa dan mohon kepada Thian agar dikaruniai seorang putera, dan akhirnya, setelah menikah belasan tahun lamanya, terlahirlah seorang anak, bukan seorang anak laki-laki, melainkan seorang anak perempuan. Seorang anak perempuan yang amat mungil dan cantik jelita seperti Ibunya! Teranglah kembali kebahagiaan mereka. Akan tetapi, setelah berusia lima tahun, anak mereka yang tercinta itu... Melihat kedukaan membayang kembali pada wajah suaminya, nyonya Can lalu berkata halus,

   "Suamiku, kau terganggu pikiranmu, dan hal ini amat tidak baik pada saat kau menghadapi seorang lawan!"

   "Aku teringat kepada... Giok-ji..."

   Bagaikan tertikam pisau perasaan hati nyonya itu ketika mendengar nama ini. Pek Giok, atau yang biasa mereka panggil Giok-ji adalah nama anak perempuan mereka, maka terkenanglah ia akan peristiwa yang terjadi pada kira-kira sebelas tahun yang lampau. Pada waktu itu mereka telah tinggal di kota Sung-Kian, yakni kota yang mereka tinggali sekarang. Akan tetapi Can Gi Sun belum menjadi Guru silat, masih bekerja sebagai seorang Piauwsu, yakni seorang pengawal yang mengirimkan dan mengawal barang-barang berharga milik para saudagar dan pembesar dari satu ke lain tempat. Oleh karena kepandaiannya memang tinggi, maka setelah berkali-kali para perampok yang mengganggu di tengah perjalanan selalu roboh di tangannya, maka namanya menjadi terkenal dan tidak ada orang jahat yang berani mengganggu barang yang dikawal oleh Can Gi Sun.

   Can Gi Sun adalah seorang pendekar yang berhati penuh welas asih. Biarpun menghadapi seorang penjahat, hatinya tidak tega untuk membunuhnya demikian saja. Maka sebagian besar dari para perampok yang mengganggunya di tengah perjalanan, sedapat mungkin ia robohkan dengan totokan siang-pitnya tanpa membunuhnya, kemudian memberi peringatan keras, bahkan tidak jarang ia memberi uang bekal pengobatan kepada penjahat yang dirobohkannya itu. Akan tetapi, tentu saja hal ini tidak selalu dapat terjadi demikian. Apabila ia menghadapi seorang penjahat yang tinggi ilmu silatnya, maka terpaksa ia menurunkan tangan maut, bukan dengan niat penuh untuk membunuhnya, akan tetapi karena terpaksa. Menghadapi seorang lawan berat yang tidak banyak selisih tingkat kepandaiannya, amat sukar untuk mengalahkannya dengan hanya melukainya ringan saja.

   Dalam hal ini, maka pertempuran sudah berubah sifatnya, sudah merupakan, adu nyawa, saling mendahului merobohkan lawan dengan pukulan atau serangan berbahaya yang secepat mungkin. Kalau ia ragu-ragu untuk merobohkan lawannya, ia sendirilah yang akan dirobohkan. Maka terpaksa ia harus menggunakan gerak pukulan yang dahsyat sehingga akibatnya, lawannya itu terpukul binasa. Akan tetapi yang tewas dalam tangannya hanya sebagian kecil saja dari orang-orang yang pernah bertempur dengannya. Dan di antara mereka ini, terdapat seorang perampok tunggal yang berkepandaian tinggi. Dengan terpaksa ia merobohkan lawannya ini dengan pukulan berat yang mengakibatkan kematian perampok itu, karena kepandaian mereka sudah berimbang tingkatnya, dan dalam pertempuran ini, Can Gi Sun juga mendapat luka bacokan golok pada pundaknya.

   Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa perampok ini akan mendatangkan malapetaka kepadanya. Tiga bulan kemudian setelah ia merobohkan perampok itu, datanglah pembalasan yang membuat ia dan isterinya merasa berduka selama ini. Ketika itu ia sedang pergi melakukan pekerjaannya dan isterinya hanya berdiam di rumah bersama anaknya dan seorang pelayan. Pada malam hari, dari atas genteng berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tak lama kemudian terdengar jeritan nyonya Can Gi Sun dan tangis Pek Giok, karena anak perempuan yang baru berusia lima tahun itu telah diculik oleh penjahat itu! Ketika Can Gi Sun pulang dari perjalanannya, ia hanya disambut dengan tangisan pilu oleh isterinya yang menceritakan terjadinya malapetaka itu sambil memperlihatkan sehelai surat. Dengan muka pucat dan jari tangan gemetar, Can Gi Sun membaca surat itu yang berbunyi sebagai berikut :

   Can Gi Sun!

   Tadinya aku datang dengan maksud hendak membunuhmu untuk membalas kematian Kakakku Liu Lang. Akan tetapi oleh karena kau tidak ada, maka sebagai gantinya, aku membawa anakmu agar kau dapat merasa betapa sedihnya hati disakiti orang!

   Liu Bo Cin

   Sampai lama Can Gi Sun tak dapat berkata-kata dan yang terdengar hanya isak tangis isterinya saja. Kemudian ia meremas-remas surat itu dan mengertakkan giginya, lalu berkata.

   "Keparat jahanam Liu Bo Cin! Kalau aku dapat mencarimu, akan kupatahkan semua tulang yang terdapat dalam tubuhmu!"

   Ia dapat menduga bahwa penculik anaknya ini tentulah adik dari perampok tunggal bernama Liu Lang yang terbunuh olehnya tiga bulan yang lalu itu. Pada hari itu juga, berangkatlah Can Gi Sun mencari jejak Liu Bo Cin. Sampai jauh ia merantau, mencari-cari, dan sampai hampir dua tahun ia meninggalkan isterinya dalam usahanya mencari anaknya yang terculik itu, namun usahanya sia-sia dan ia pulang kembali sebagai seorang yang patah hati.

   Dalam waktu dua tahun itu ia telah berubah menjadi seorang pendiam yang kelihatan tua sekali. Melihat keadaan suaminya ini, biarpun di dalam hatinya sendiri terasa hancur dan sedih mengenangkan anaknya, namun nyonya Can dengan amat bijaksana lalu menghIbur hati suaminya. Can Gi Sun lalu berhenti menjadi Piauwsu dan kemudian membuka sebuah rumah perguruan di kota Sung-Kian itu. Semenjak hilangnya Pek Giok, mereka berdua hidup dengan sunyi dan dengan hati kosong. Sebelas tahun telah lalu dan hari ini, pada saat suaminya hendak pergi menghadapi seorang lawan, tiba-tiba suaminya teringat kepada anaknya! Tentu saja nyonya Can merasa tertikam hatinya ketika diperingatkan kepada anaknya itu, namun ia tetap dapat menekan perasaannya dan menghIbur lagi sambil berkata penuh semangat.

   "Suamiku, tak perlu lagi kita mengingat-ingat hal yang sudah lewat. Dari pada pandang matamu kau arahkan ke belakang, lebih balk kau arahkan ke depan, memandang dengan baik-baik orang yang berada di depanmu dan yang hendak menjadi lawanmu. Ini bukan waktunya untuk berlemah hati!"

   Ucapan isterinya ini bagaikan air dingin disiramkan ke atas kepalanya yang tadinya pening dan membangunkan semangatnya yang melemahkan seluruh tubuhnya. Memang isterinya ini mempunyai semangat yang jauh lebih hebat dan besar daripadanya. Sayang bahwa isterinya itu tidak memiliki ilmu kepandaian silat! Pada saat itu, Lui Song, murid kepala yang berusia hampir empat puluh tahun dan bekerja sebagai Piauwsu di kota itu, masuk dan memberi hormat kepada Suhu dan Subonya, lalu berkata,

   "Suhu, seorang murid melaporkan bahwa Song-Kauwsu dan rombongannya telah datang di Ban-Hok-Si dan sedang menanti kita!"

   "Baik, kita segera berangkat!"

   Jawab Can Gi Sun.

   "Dengan siapa saja Song Swi Kai datang?"

   "Rombongannya terdiri dari sembilan belas orang, Suhu. Song-Kauwsu sendiri, puterinya, kedua murid kepala, dan murid-murid lain tingkat dua."

   Guru silat Can itu berpikir sebentar sambil menundukkan kepalanya, lalu berkata dengan suara tetap.

   "Lui Siong, kita akan pergi bertiga saja. Aku sendiri, kau dan Ma Ek. Bersiaplah kau dan sutemu Ma Ek, akan tetapi kau dan sutemu jangan membawa senjata!"

   Sungguhpun hatinya merasa heran, namun Lui Siong tak berani membantah perintah Suhunya, lalu memberi hormat dan mengundurkan diri untuk menanti di luar.

   "Suamiku, mengapa kau hanya akan pergi bertiga saja? Mereka datang sebanyak sembilan belas orang, mengapa kau tidak mau mengimbangi lagak mereka, bahkan hanya datang bertiga tanpa membekal senjata? Apakah dengan berbuat demikian kau tidak akan melemahkan semangat pihak sendiri?"

   Can Gi Sun tersenyum memandang isterinya dan menggeleng kepalanya.

   "Isteriku, untuk apa kita menghadapi kesombongan dengan kesombongan pula? Aku tahu, memang Song Swi Kai beradat keras sekali, akan tetapi aku masih ingat bahwa undangannya ini hanya untuk pIbu dan menetapkan siapa yang lebih tinggi tingkat kepandaiannya, sekali-kali bukan undangan untuk mengadakan perang! Dalam sebuah pertandingan pIbu, tak perlu mengajukan murid-murid yang masih rendah tingkat kepandaiannya dan kurasa Song Swi Kai juga takkan demikian bodoh untuk mengajukan murid-muridnya tingkat dua. ia membawa mereka hanya untuk menambah semangat dan menonjolkan keangkerannya belaka. Isteriku, kau tahu bahwa aku tidak suka akan permusuhan, dan kalau sampai terjadi permusuhan antara kita dan pihak Song-Kauwsu, maka hal itu baru terjadi karena pihak mereka yang mendesak!"

   Isterinya tak dapat membantah, hanya di dalam hatinya ia merasa kurang puas serta menganggap bahwa suaminya terlampau lemah hati. Ah, pikirnya, kalau saja aku berkepandaian silat, akan kubasmi mereka itu! Memang, nyonya keturunan Bangsawan ini memiliki adat yang amat keras dan tidak mau kalah!

   "Betapapun juga, aku merasa pasti bahwa kau akan menang, suamiku,"

   Katanya penuh kepercayaan. Can Gi Sun menepuk-nepuk tangan isterinya dengan penuh kasih sayang.

   "Kau hebat sekali, Cui Lian!"

   Katanya dengan tersenyum.

   "Akan tetapi, bagaimana kalau aku kalah dan tewas dalam pIbu ini?"

   Nyonya Can Gi Sun yang bernama Bun Cui Lian ini mengedikkan kepalanya dan sepasang matanya bersinar-sinar ketika ia berkata,

   "Kalau begitu, di samping berkabung, aku akan mempergunakan sisa hidupku untuk berusaha mengumpulkan orang-orang gagah dan membalas dendam!"

   Can-Kauwsu hanya menggeleng-geleng kepalanya, kemudian ia berkemas. Tak lupa ia membawa senjatanya sepasang Poan-Koan-Pit yang disembunyikan di saku bajunya. Ketika ia hendak berangkat, isterinya memegang lengannya dan lenyaplah kekerasan dan ketenangannya tadi. ia memandang dengan wajah agak pucat dan berkata perlahan.

   "Suamiku, semoga Thian melindungimu..."

   Can Gi Sun memandang wajah isterinya yang tercinta itu dan meraba dagunya dengan senTUHAN mesra.

   "Jangan khawatir, Cui Lian, doamu akan merupakan jimat pelindung keselamatan bagiku!"

   Ketika ia keluar dari ruang dalam, ternyata semua muridnya yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu telah berkumpul di luar. Mereka memandang kepada Can-Kauwsu dengan mata mengandung kekecewaan, karena tadinya mereka mengharap untuk dapat menyertai dan mengantar Suhu mereka pergi ke tempat pIbu itu. Lui Siong dan Gu Ma Ek, kedua murid kepala, telah bersiap untuk pergi bersama Suhu mereka. Can-Kauwsu dapat mengetahui perasaan para muridnya, maka ia lalu berkata.

   "Murid-muridku, aku sengaja tidak membawa kalian, dan hanya pergi bersama Twa-Suheng dan Ji-Suheng kalian. Jangan kalian salah mengerti, murid-muridku. PIbu ini dimaksudkan untuk mengadu kepandaian dan mengambil keputusan terakhir siapa yang lebih tinggi kepandaiannya. Oleh karena itu, pIbu ini diusahakan untuk menghabiskan dan melenyapkan segala permusuhan yang ada, sekali-kali bukan dimaksudkan untuk mengadakan pertempuran keroyokan dan memperbesar permusuhan! Kalian masih muda-muda dan berdarah panas, juga murid-murid pihak Song-Kauwsu, maka apabila kalian ikut ke sana dalam rombonganku, bukankah hal itu hanya akan menambah panasnya suasana belaka? Kau tahu bahwa aku tidak suka akan permusuhan yang tidak ada artinya ini, karena kita belajar silat bukan sekali-kali untuk mengagulkan diri dan mencari permusuhan dengan siapapun juga. Kita boleh mempergunakan kepandaian untuk menumpas dan membasmi orang-orang jahat karena memang itulah kewajiban orang-orang gagah, akan tetapi menurut pandanganku, Song-Kauwsu hanya seorang yang sombong dan keras hati, dan orang yang sombong dan keras hati sekali-kali belum boleh disebut jahatl"

   Semua muridnya diam saja menundukkan muka, dan akhirnya seorang murid yang tidak pemalu berkata.

   "Akan tetapi, Suhu. Teecu semua ingin sekali menonton pertandingan pIbu itu untuk menambah pengalaman dan pengetahuan!"

   Semua orang murid mengangguk-angguk dan memandang kepada Suhu mereka dengan penuh harapan.

   "Betul juga kata-katamu itu,"

   Jawab Can-Kauwsu.

   "Biarlah, kalian kuperkenankan menonton pIbu, akan tetapi sebagai penonton biasa, dan sama sekali jangan ikut campur dan jangan berangkat bersamaku."

   Maka berangkatlah Guru silat tua ini bersama dua orang murid kepalanya, Lui Siong dan Gu Ma Ek. Sebagaimana telah dituturkan, Lui Song sudah berusia hampir empat puluh tahun dan bekerja menjadi Piauwsu (pengantar barang). ia sudah berumah-tangga dan mempunyai seorang putera yang ia titipkan kepada Kakak misannya yang tinggal di Kotaraja. Biarpun ia sendiri seorang ahli silat dan buta huruf, akan tetapi Lui Siong ingin melihat puteranya menjadi seorang terpelajar, maka semenjak berusia enam tahun ia mengantarkan puteranya itu ke Kotaraja untuk mempelajari kesusasteraan dan dapat memegang pangkat menjadi pembesar Negara.

   Gu Ma Ek berusia dua puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan kuat. Pemuda ini amat jujur dan keras wataknya, akan tetapi mempunyai bakat yang baik dalam ilmu silat, maka tingkat kepandaiannya cepat maju dan hampir menyamai tingkat Lui Siong. Oleh karena itu ia mendapat kepercayaan Can-Kauwsu yang merasa sayang dan suka kepadanya. Gu Ma Ek adalah seorang anak yatim-piatu, maka ia belajar silat tanpa membayar biaya kepada Suhunya, hanya sebagai pengganti biaya, ia bekerja di rumah Suhunya dan tinggal pula di situ. Mereka berjalan dengan cepat dan tak banyak bicara karena Can Gi Sun berjalan dengan kepala tunduk seperti orang melamun. Memang, Guru silat tua ini sedang terkenang kembali kepada peristiwa beberapa bulan yang lalu yang menjadi sebab-sebab permusuhannya dengan Song-Kauwsu sehingga menimbulkan tantangan pIbu hari ini.

   Untuk mengetahui sebab-sebab permusuhan dan mengapa sampai diadakan pIbu itu, baiklah kita menengok dulu keadaan dan peristiwa yang terjadi kira-kira lima bulan yang lalu. Sebagaimana telah dituturkan dibagian depan, semenjak kehilangan puteri tunggalnya, yakni Can Pek Giok yang diculik oleh Lui Bo Cin, Can Gi Sun lalu mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai Piauwsu. ia menganggap bahwa pekerjaan itu kurang cocok, karena ia harus seringkali meninggalakan rumah sampai kadang-kadang berbulan-bulan. Kalau ia tidak bekerja sebagai Piauwsu dan selalu berada di rumah, tak mungkin puterinya dapat diculik orang, bahkan tak mungkin pula ia dimusuhi oleh Liu Bo Cin! Maka ia lalu membuka Bukoan, yakni perguruan silat dan menerima murid-murid yang membayar biaya sekadarnya dan menurut kekuatan masing-masing sebagai nafkah hidupnya.

   Hal ini berjalan dengan baik dan lancarnya sampai sepuluh tahun lebih lamanya. Ternyata bahwa Can Gi Sun lebih berhasil dalam pekerjaannya sebagai Guru silat dari pada pekerjaannya yang dulu sebagai Piauwsu. Sebagai Guru silat, hidupnya tentram dan tak pernah menghadapi pertempuran-pertempuran, tidak seperti dulu ketika masih menjadi pengawal dan pengantar barang-barang berharga, selalu ia diganggu oleh orang-orang jahat dan perampok yang ingin merampas barang-barang yang berada di bawah penjagaannya Para muda, bahkan ada juga yang sudah tua, datang belajar silat kepadanya, oleh karena selain Can-Kauwsu sikapnya baik dan ramah-tamah, di samping ilmu silatnya yang tinggi, juga Guru silat ini tidak memasang tarip tertentu bagi para muridnya.

   Siapa saja, asal memiliki bakat, boleh belajar silat kepadanya dengan pembayaran sekuat isi saku murid itu sendiri. Banyaklah sudah murid-muridnya yang setelah tamat belajar mendapat pekerjaan yang layak, seperti penjaga keamanan kota-kota lain, Piauwsu-Piauwsu, dan penjaga gudang para saudagar besar. Namanya makin harum dan dipuji orang, terutama penduduk Sung-Kian di mana ia tinggal, amat membanggakan Guru silat ini. Ketika pada suatu hari di perbatasan kota Sung-Kian terjadi perampokan, Can Gi Sun memimpin murid-muridnya yang sudah pandai untuk menyerbu perampok-perampok itu dan berhasil mengusirnya. Hal ini makin meninggikan nama perguruannya, sehingga kepala kampung tak ragu-ragu lagi lalu membuat sebuah papan nama sebagai penghormatan.

   Papan nama itu besar dan ditulisi: SUNG KIAN TE IT-Kauwsu (Guru Silat Nomor Satu dari Sung-Kian), lalu dipasang di dekat papan merek yang sudah ada. Pada suatu hari, datanglah keluarga Song Swi Kai ke kota itu. Keluarga ini baru datang pindah dari kota Ki-Bun di Santung. Song Swi Kai adalah seorang ahli silat cabang Bu-Tong-Pai yang tinggi ilmu silatnya. ia berwatak jujur, akan tetapi agak sombong dan terlalu mengagulkan kepandaian sendiri, berbeda dengan isterinya yang berwatak halus dan pendiam. Song Swi Kai ini mempunyai dua orang anak, yang sulung bernama Song Bwee Eng dan sudah remaja puteri. Anak kedua adalah seorang anak laki-laki bernama Song Han Bun.

   Semenjak berusia tujuh tahun, Song Han Bun ini oleh Ayahnya dikirim ke Bu-Tong-San untuk belajar ilmu silat di puncak bukit itu, dan langsung dilatih ilmu silat oleh Susiok (Paman Guru) dari Song Swi Kai sendiri. ia ingin melihat puteranya menjadi seorang ahli silat yang pandai, lebih pandai dari dia sendiri. Adapun Song Bwee Eng, puteri sulungnya, mendapat latihan dari dia sendiri dan ternyata bahwa dara inipun memiliki bakat ilmu silat yang tinggi sehingga ia menjadi seorang gadis yang gagah perkasa. Keluarga Song ini pindah dari Ki-Bun karena di Propinsi Santung, terutama di sekitar Ki-Bun, berjangkit penyakit menular yang banyak mengambil kurban nyawa manusia, sedangkan bencana alam berupa musim panas dan kering yang terlalu lama membuat daerah itu mengalami penderitaan hebat. Song Swi Kai adalah seorang kaya, karena mendiang Ayahnya dahulu adalah saudagar hasil bumi yang hartawan.

   Oleh karena itu, dia pindah ke Sung-Kian sebagai seorang yang kaya raya. Dibelinya sebuah rumah berikut pekarangan dan beberapa petak sawah. ia memilih Sung-Kian sebagai tempat tinggalnya oleh, karena daerah ini amat subur. Sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi, tentu saja ia merasa tertarik mendengar nama Can Gi Sun yang dianggap sebagai Sung-Kian Te-It-Kauwsu itu. Ketika masih tinggal di Ki-Bun, Song Swi Kai juga menjadi Guru silat, sungguhpun yang belajar silat padanya adalah putera-putera Bangsawan dan hartawan yang berani membayar tinggi. Maka, terdorong oleh keinginan belajar kenal, pada suatu hari Song Swi Kai datang mengunjungi rumah perguruan Can-Kauwsu. Hatinya merasa kurang senang melihat papan nama yang mentereng dan gagah itu, dan menganggap bahwa Can-Kauwsu terlalu menyombongkan diri dengan memasang tanda SUNG KIAN TE IT-Kauwsu demikian besarnya.

   "Hm, dia menganggap diri sendiri nomor satu? Ingin aku mencoba kepandaiannya sampai di mana sehingga ia berani menyombongkannya!"

   Akan tetapi sayang, ketika ia datang, kebetulan sekali Can Gi Sun sedang keluar pintu dan mengunjungi seorang kenalannya di kota lain. Yang menyambutnya adalah seorang murid.

   "Suhu sedang pergi, kalau Sianseng (Tuan) ada keperluan dengan Suhu, harap datang lagi besok pagi, mungkin Suhu sudah pulang."

   Akan tetapi, karena pada saat itu murid-murid Can Gi Sun sedang berlatih silat di pekarangan depan rumah itu, Song Swi Kai tidak mau pulang, bahkan lalu memasuki pintu gerbang dan menonton mereka berlatih silat. Sebagai wakil Gurunya, yang memimpin adalah Gu Ma Ek, karena Lui Siong kebetulan juga berhalangan datang. Song Swi Kai berdiri di dekat tempat latihan dan ia melihat betapa Gu Ma Ek memberi petunjuk-petunjuk kepada para sutenya (adik seperguruannya). Dengan sengaja Song Swi Kai lalu mengeluarkan suara tertawa mengejek. Gu Ma Ek adalah seorang pemuda yang baru berusia dua puluh tahun, wataknya kasar dan keras. Mendengar suara tertawa mengejek dari tamu yang tak diundang itu, ia segera menghampiri dan bertanya dengan marah.

   "Apa yang kau tertawakan?"

   Tegurnya kasar. Tentu saja Song Swi Kai tidak senang melihat sikap Ma Ek ini, akan tetapi ia menjawab juga dengan memperlebar senyumnya yang mengejek.

   "Aku tertawa karena melihat caramu melatih silat yang sama sekali salah! Macam inikah pelajaran silat dari Guru Silat Nomor Satu dari Sung-Kian? Menggelikan sekali!"

   Biarpun Gu Ma Ek belum mendapat pelajaran ilmu silat tertinggi dari Suhunya, yakni ilmu silat Sin-Wan Kun-Hoat, akan tetapi ia telah menerima pelajaran dasar-dasar ilmu silat dan sudah mulai meningkat kepada pelajaran Ilmu Silat Kera Sakti itu, maka kepandaiannya sudah terhitung tinggi. ia menjadi marah sekali mendengar celaan dan sindiran orang yang baru datang itu, maka tanyanya keras.

   "Kalau kau bisa mencela, apakah kau bisa membuktikan kesalahannya?"

   "Tentu saja bisa dan mudah sekali!"

   Kata Song Swi Kai.

   "Dengan ilmu silat seperti yang kau ajarkan kepada orang-orang ini, kalau mereka menghadapi aku dengan ilmu silat itu, dalam dua jurus saja kutanggung mereka akan roboh!"

   "Sombong!"

   Gu Ma Ek berseru marah, lalu ia memberi tanda kepada seorang sutenya yang dianggapnya sudah pandai. Sutenya ini seorang pemuda berusia delapan belas tahun dan bertubuh tegap. Ma Ek lalu menghadapi Song Swi Kai lagi dan berkata.

   "Apakah kau mau bilang bahwa kau sanggup merobohkan suteku ini dalam dua jurus?"

   Song Swi Kai tersenyum dan memandang pemuda itu dengan mata mengejek.

   "Asal dia menggunakan ilmu silat yang kau pelajarkan tadi, tentu saja aku sanggup!"

   Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Katanya.

   "Boleh! Coba kau perlihatkan kepandaianmu dan buktikan omonganmu!"

   Gu Ma Ek menantang dan menyuruh sutenya memasang kuda-kuda. Song Swi Kai dengan tenang menghampiri pemuda itu dan berdiri didepannya sambil bertolak pinggang.

   "Kalian lihatlah baik-baik! Ilmu silat yang kalian pelajari ini adalah ilmu silat pasaran, mana dapat dibandingkan dengan ilmu silat Bu-Tong-Pai yang kumiliki? Nah, anak muda, hayo kau boleh menyerangku sekuatmu! Kalau dalam dua jurus kau tidak kalah, aku akan pergi dari sini tanpa banyak cakap lagi."

   "Enak saja!"

   Seru Gu Ma Ek marah.

   "Kalau kau tidak bisa merobohkan suteku ini dalam dua jurus, kau harus menarik kembali omonganmu yang menghina nama baik perguruan Suhu ini!"

   Song Swi Kai tertawa bergelak dan diam-diam ia memuji Gu Ma Ek yang dianggapnya setia dan gagah.

   "Baik, baik! Nah, anak muda, kau seranglah aku!"

   Tantangnya kepada pemuda di depannya itu. Murid Can-Kauwsu yang menghadapi Song Swi Kai ini baru memiliki kepandaian dasar saja dan hanya menduduki tingkat kedua dalam susunan murid di perguruan itu, akan tetapi gerakan-gerakannya sudah cukup gesit dan kuda-kudanya cukup kuat. ia segera menyerang dengan gerak tipu Go-Yang Pok-Sit (Kambing Lapar Tubruk Makanan), mengandalkan kekuatan pukulan kedua tangan untuk merobohkan orang-tua yang sombong itu. Dasar pemuda yang belum berpengalaman dan belum tinggi ilmu silatnya! Darah muda yang panas mendorongnya untuk mencari kemenangan dalam percobaan ini! ia tidak dapat menduga bahwa orang yang sudah berani menyombong untuk merobohkannya dalam dua jurus,

   Tentu seorang yang berilmu tinggi, maka kalau ia cerdik dan berpengalaman, tentu ia tidak melancarkan demikian hebatnya. Kalau ia cerdik, tentu ia menanti serangan lawan saja dan mempertahankan diri agar jangan sampai roboh dalam dua jurus, atau kalau ia menyerang juga, serangannya hanya akan merupakan serangan pancingan belaka dan tetap mengerahkan perhatian kepada pertahanan. Karena harus diketahui bahwa makin hebat dan berbahaya serangan seseorang, makin lemahlah pertahanannya dan makin "terbuka"

   Kedudukannya. Oleh karena kekurangan pengalaman, pemuda itu datang-datang sudah menyerang dengan hebat dalam nafsunya untuk mengalahkan lawan! Terdengar suara Song Swi Kai mengejek dan disusul oleh teriakan pemuda itu yang tahu-tahu sudah terlempar tubuhnya sampai dua tombak lebih!

   Ia merangkak bangun sambil meringis kesakitan. Ternyata ketika pemuda itu menyerang dengan kedua tangannya, secepat kilat tubuh Song Swi Kai melompat ke kiri dan dengan tangan kanannya ia berhasil menangkap tangan kiri pemuda itu lalu dibetot keras sehingga pemuda itu terhuyung ke depan karena tenaga betotan Song Swi Kai itu bukan main kuatnya. Kemudian Song Swi Kai mengangkat kaki mendorong tubuh belakang pemuda itu sehingga terlempar dan jatuh sehingga menderita luka lecet-lecet pada pundaknya! Gu Ma Ek terkejut sekali karena gerakan tamu ini benar-benar cepat dan kuat sekali! Akan tetapi sebagai seorang pemuda yang berdarah panas sehingga tidak mengenal keadaan, ia menjadi makin marah dan menghampiri Song Swi Kai yang tertawa bergelak.

   "Kau benar-benar lihai, akan tetapi apakah kau sanggup pula untuk merobohkan aku dalam dua jurus?"

   Song Swi Kai memandang tajam dan ia tahu bahwa pemuda ini telah "berisi"

   Maka dijawabnya.

   "Untuk mengalahkan kau dalam dua jurus memang sukar, akan tetapi untuk merobohkan kau dalam sepuluh jurus kurasa mudah sekali!"

   Belum pernah Gu Ma Ek merasa terhina seperti kali ini. Suhengnya sendiri, Lui Siong, baru akan dapat mengalahkannya dalam pertandingan tidak kurang dari empat atau lima puluh jurus, akan tetapi orang sombong ini menyatakan bahwa dalam sepuluh jurus ia akan dirobohkan dengan mudah, dan hal ini dikatakan di depan sute-sutenya lagi! Marahlah mukanya ketika ia menantang.

   "Balk! coba kau robohkan aku dalam sepuluh jurus!"

   "Hm, kau mencari penyakit sendiri!"

   Kata Song Swi Kai.

   "Maju dan menyeranglah!"

   "Kau yang harus berusaha merobohkan aku dalam sepuluh jurus, maka kaulah yang menyerang!"

   Seru Gu Ma Ek yang cerdik dan yang tidak mau mengulangi kesalahan sutenya tadi. ia memasang kuda-kuda yang teguh dan menjaga tubuhnya dengan rapat. Song Swi Kai tersenyum mengejek,

   "Kalau begitu, jagalah baik-baik!"

   Ia lalu maju menyerang dengan pukulan tangan kanan sambil majukan kaki selangkah. Pukulan ini keras dan cepat sekali, mengarah dada Ma Ek, dibarengi seruan.

   "Jurus pertama!"

   Ma Ek terkesiap juga melihat serangan yang amat cepat itu dan angin pukulan tangan itu telah menyambar sebelum pukulannya sendiri tiba. Pemuda yang tabah ini sengaja tidak mau mengelak, dan menangkis dengan tangan kirinya untuk mencoba tenaga lawan dan juga agar kedudukannya tetap baik tidak berubah. Akan tetapi begitu kedua tangan itu beradu, tubuhnya terhuyung ke belakang dan terpaksa ia melangkah sampai tiga tindak ke belakang. Tangannya terasa ngilu dan sakit. ia terkejut sekali, akan tetapi tidak menjadi gentar dan masih tetap memasang kuda-kuda yang kuat.

   "Bagus, terimalah serangan jurus kedua!"

   Kata Song Swi Kai dan dengan sebuah lompatan cepat ia menyerang lagi, kini dengan kedua tangannya, yang kanan memukul kepala sedangkan yang kiri dengan jari-jari terbuka menusuk lambung!

   Ma Ek sudah mendapat pelajaran dalam jurus pertama tadi dan maklum bahwa tenaganya masih jauh lebih rendah, maka kini ia mengandalkan kegesitannya dan mengelak ke samping sambil miringkan tubuh dan untuk merusak posisi lawan ia membarengi dengan tendangan ke arah lutut lawannya. Akan tetapi Song Swi Kai benar-benar cepat gerakannya karena begitu serangannya memukul angin, ia dapat menyabetkan tangannya ke bawah untuk memukul pergelangan kaki Ma Ek yang menendang. Pukulan ini keras sekali dan kalau sampai mengenai kaki pemuda itu, mungkin tulang kaki itu akan patah! Ma Ek berseru keras dan menahan tendangannya sambil membalikkan tubuh ke belakang.

   "Jurus ketiga!"

   Seru Song Swi Kai yang mengejar dan mengirim tendangan dari belakang. Ma Ek kembali melompat ke kiri mengelak tendangan itu, akan tetapi sebelum ia dapat memutar tubuhnya kembali, Song Swi Kai sudah berseru keras.

   "Jurus keempat!"

   Seruan ini dibarengi dengan pukulan ke arah pinggang pemuda itu yang dilakukan dengan cepat dan keras. Ma Ek makin terkejut, akan tetapi pemuda yang sudah memiliki dasar ilmu silat tinggi ini masih dapat mengelak, sungguhpun kedudukannya amat buruk. ia menjatuhkan diri ke belakang lalu berjungkir-balik dan melompat sejauh satu setengah tombak dari lawannya. Dengan cara ini ia berhasil melepaskan diri dari serangan jurus keempat! Dengan bertubi-tubi dan amat cepatnya Song Swi Kai melakukan serangannya, akan tetapi biarpun amat terdesak, Ma Ek masih dapat mengelak sehingga tujuh jurus telah lewat dengan selamat! Kawan-kawannya mulai bersorak girang dan memuji pemuda itu yang benar-benar telah memperlihatkan gerakan-gerakan dan perlawanan yang amat baik.

   Hal ini amat memanaskan hati Song Swi Kai dan membuatnya menjadi penasaran dan marah. Kalau ia tidak bisa merobohkan pemuda ini dalam sepuluh jurus, ia akan menderita malu sekali. Maka ia lalu merubah caranya menyerang dan kini ia mempergunakan ilmu silat Kiauw-Ta Sin-Na, yakni ilmu silat gabungan Kim-na yang berasal dari cabang persilatan Bu-Tong-Pai dan Siauw-Lim-Pai. Tangannya bergerak-gerak cepat sekali dan ilmu silat yang mempunyai seratus dua puluh jurus ini memang amat lihai dan sukar diduga perubahan gerakannya. Pertama-tama ia melakukan serangan dengan kedua tangan. Yang kanan merupakan cengkeraman ke arah leher, sedangkan tangan kiri mengirim totokan ke arah pundak. Serangan ini merupakan jurus ke delapan dari serangan-serangannya terhadap Ma Ek.

   Melihat serangan ini lebih hebat dari yang sudah-sudah. Ma Ek tidak mau berlaku lambat dan cepat ia miringkan tubuh untuk mengelakkan totokan dan cengkeraman tangan kanan lawan itu terpaksa ditangkis karena ia tidak sempat mengelak lagi. Akan tetapi, serangan berikutnya benar-benar hebat. Tangan kiri yang tadi menotok iga, setelah mengenai tempat kosong, lalu dibalikkan dan dari samping menyerang lambung sedangkan tangan kanan yang ditangkis itu dapat merubah serangan menjadi totokan ke arah pundak! Ma Ek tidak menduga bahwa lawannya akan menggunakan gerakan yang sedemikian cepatnya. Serangan pada lambung masih dapat ditangkisnya, akan tetapi pundaknya kena ditotok bagian jalan darah Thian-Hu-Hiat, sehingga sambil menjerit keras ia roboh dalam keadaan lemas tak berdaya lagi! Song Swi Kai tertawa bergelak.

   "Ha, ha, ha, (-Jahn.) sembilan jurus saja kau sudah menyerah! Ilmu silat macam ini masih akan kau sebut baik?"

   Ia lalu melangkah lebar ke arah pintu dan memandang papan yang bertuliskan huruf Sung-Kian Te-It-Kauwsu itu. Tiba-tiba ia melompat ke atas dan menotok papan itu dengan dua jari tangannya sambil berkata.

   "Sungguh tak pantas disebut Guru silat nomor satu!"

   Terdengar suara keras pada papan itu, kemudian Song Swi Kai berjalan pulang dengan hati puas. ia telah memperlihatkan bahwa mulai sekarang di kota Sung-Kian ada seorang ahli silat yang lebih tinggi ilmu silatnya dari pada Guru silat yang membuka Bukoan itu. Semua murid lalu menolong dan membangunkan Gu Ma Ek, akan tetapi karena pemuda ini masih berada di dalam pengaruh totokan, maka ia tetap lemas tak berdaya dan terpaksa digotong ke dalam dan ditidurkan di atas pembaringan. Nyonya Can Gi Sun menjadi marah sekali, akan tetapi ia tak dapat berdaya sesuatu, hanya berkata.

   "Hinaan ini harus dibalas!"

   Ketika semua murid pergi melihat papan nama yang berada di luar pintu, mereka terkejut sekali melihat bahwa huruf-huruf Te-It (nomor satu) telah rusak dan papan telah berlubang karena tusukan jari tangan tamu yang mengacau tadi! Mereka saling pandang dan menjulurkan lidah karena hal ini kembali menjadi bukti bahwa pendatang tadi benar-benar amat lihai! Papan nama itu dipasang tinggi dan papan itupun amat tebal, akan tetapi dengan sekali lompat dan sekali tusuk dengan jari tangan saja, papan itu telah menjadi berlobang!

   "Ah, jangan-jangan orang itu lebih lihai daripada Suhu!"

   Kata seorang murid dan semua terdiam dengan hati gelisah juga kagum.

   Ketika Lui Siong datang, ia kaget sekali mendengar dari sute-sutenya tentang peristiwa itu. Cepat ia memeriksa keadaan Gu Ma Ek, dan maklum bahwa sutenya ini kena ditotok oleh seorang ahli totok Coat-Meh-Hoat, yakni ilmu totok dari Bu-Tong-Pai. Suhunya pernah menceritakan tentang perbedaan ilmu totok dari Bu-Tong-Pai dengan ilmu totok dari cabang lain, misalnya ilmu totok Tiam-Hwe-Louw dari cabang Siauw-Lim. Kalau ilmu totok dari cabang persilatan lain dilakukan dengan memilih urat dan jalan darah tertentu, ilmu totok Coat-Meh-Hoat dari Bu-Tong-Pai ini tidak memilih urat, akan tetapi karena jari-jari tangan murid Bu-Tong-Pai telah dilatih sehingga menjadi keras, maka totokannya amat berbahaya. ia hanya mengerti tentang teorinya, akan tetapi karena belum mempelajari prakteknya, maka ia tidak berdaya menyembuhkan sutenya.

   "Lui Siong,"

   Kata Nyonya Can Gi Sun dengan marah.

   "Kau pergilah ke kota dan carilah keterangan tentang orang yang datang tadi. Akan tetapi jangan kau sembarangan turun tangan terhadap orang itu, karena melihat kelihaiannya, hanya Suhumu yang akan dapat membalaskan hinaan inil"

   Lui Song mentaati perintah Subo (isteri Guru) ini dan pergi melakukan penyelidikan. Ketika Can Gi Sun datang, bukan main kagetnya melihat papan nama yang berlubang itu dan makin terkejut ketika melihat keadaan Gu Ma Ek yang masih terbaring tak berdaya. Cepat ia menggulung lengan baju dan mengurut serta menotok pundak muridnya itu dan sebentar saja sembuhlah Gu Ma Ek yang segera berlutut di depan Gurunya dan menceritakan seluruh peristiwa yang telah terjadi. Can Gi Sun marah sekali, akan tetapi Guru silat tua yang berhati sabar dan berpemandangan luas ini menghela napas dan berkata.

   "Ma Ek, untung bahwa kau hanya kena totok saja yang sama sekali tidak membahayakan nyawamu. Sudah pernah kukatakan bahwa kekerasan hatimu sewaktu-waktu pasti akan menjerumuskan kau ke dalam pertempuran orang lain. Hal ini harap kau ingat betul dan merupakan pelajaran yang baik sehingga lain kali kau dapat bertindak dengan bijaksana dan penuh kesabaran."

   Gu Ma Ek hanya menundukkan kepalanya menerima teguran dari Suhunya itu, akan tetapi nyonya Can lalu mencela suaminya.

   "Kenapa kau bahkan marah terhadap Ma Ek? Anak ini telah membela nama baik perguruanmu, dan kalau ia sampai kalah itu adalah salahmu juga yang tidak memberi pelajaran cukup tinggi!"

   Nyonya yang keras hati ini marah betul.

   "Orang telah mendatangi perguruanmu dan menghina muridmu, akan tetapi kau bahkan marah terhadap muridmu. Sungguh gagah!"

   Can Gi Sun tersenyum dan memandang kepada isterinya. ia telah cukup maklum akan kekerasan hati isterinya ini, maka ia bertanya halus.

   "Cui Lian, kalau menurut pendapatmu aku harus bagaimanakah?"

   "Seharusnya sekarang juga kau mencari orang kurang ajar itu dan membalas hinaan ini! Ah kalau saja aku memiliki kepandaian, orang itu pasti takkan dapat pergi begitu saja!"

   Can-Kauwsu menggeleng-geleng kepalanya dan kembali menghela napas.

   "Sudah sepuluh tahun aku menjadi Guru silat dan menikmati hidup penuh ketentraman. Apakah aku harus menghancurkan ketentraman itu hanya karena peristiwa ini? Ma Ek, coba kau ceritakan lagi dari awal sampai akhir, ceritakan sejujurnya dan yang jelas agar aku dapat mempertimbangkan sebetulnya siapakah yang bersalah dalam persoalan ini."

   Gu Ma Ek adalah seorang pemuda yang berhati jujur, maka ia lalu menuturkan dengan terus terang.

   "Mula-mula orang itu datang hendak bertemu dengan Suhu, akan tetapi karena Suhu tidak ada di rumah, ia lalu masuk dan melihat Teecu mengajar sute-sute sekalian. Tiba-tiba ia mencela ilmu silat kami dan mengatakan bahwa gerakan itu semua salah. Teecu merasa penasaran dan minta bukti. Lalu ia menyatakan bahwa ia sanggup merobohkan seorang sute dalam dua jurus saja. Teecu makin penasaran melihat kesombongannya, maka lalu mengajukan sute In Liong untuk menghadapinya. Dan benar saja, sute In Liong dirobohkan, bukan dalam dua jurus, bahkan dalam sekali gebrakan saja. Teecu merasa makin penasaran dan bertanya apakah ia sanggup pula merobohkan Teecu dalam dua jurus, yang dijawabnya bahwa ia sanggup mengalahkan Teecu dalam sepuluh jurus! Demikianlah, Teecu melawan dan dalam jurus kesembilan Teecu terkena totokan yang lihai. Kemudian orang itu pergi dan merusak papan nama!"

   Can Gi Sun menghela napas lagi dan berpaling kepada isterinya.

   "Nah, kau pikirlah, bukankah fihak muridku juga bersalah dalam hal ini? Orang itu tentu tertarik oleh papan nama di depan yang menyatakan bahwa aku adalah Guru silat nomor satu di kota ini. ia tentu tidak tahu bahwa papan nama itu adalah pemberian kepala kampung yang menyatakan penghargaan dan terima kasih setelah kita dapat mengusir perampok-perampok itu, dan tentu ia mengira bahwa karena kesombonganku maka aku sengaja memasang papan nama itu. ia datang ingin belajar kenal, buktinya ia mencariku, kemudian ia sebagai seorang ahli melihat kesalahan-kesalahan dalam gerakan latihan murid-muridku. Kalau ia menegur, itu berarti bahwa ia memperhatikan dan seharusnya para muridku menghaturkan terima kasih dan minta petunjuk, bukannya minta dIbuktikan seakan-akan menantang!"

   Isterinya masih tak puas, akan tetapi tak dapat membantah sedangkan Ma Ek minta maaf kepada Suhunya. Pada saat itu, Lui Siong yang baru datang lalu memberi laporan bahwa menurut hasil penyelidikannya, orang yang tadi datang merobohkan Ma Ek adalah seorang yang baru pindah dari Santung, seorang kaya raya yang bernama Song Swi Kai, dan yang kabarnya hendak membuka perguruan silat pula di kota Sung-Kian.

   "Sudahlah, peristiwa yang telah terjadi itu anggaplah saja sebagai pelajaran bagi kalian dan dapat merupakan dorongan agar kalian lebih rajin melatih diri agar jangan terlalu mudah dikalahkan orang."

   Demikianlah, permusuhan dapat dicegah karena kebijaksanaan Can Gi Sun, karena Guru silat tua ini maklum bahwa segala macam permusuhan, baik dalam bentuk apapun juga, bukanlah hal yang mendatangkan kebahagiaan.

   Sedangkan permusuhannya dengan seorang penjahat yang didasari alasan kuat, yakni karena penjahat itu mengganggu dan karena sudah menjadi kewajibannya untuk membasmi penjahat, telah berakibat amat hebat, yakni diculiknya anak tunggalnya sebagai pembalasan dendam penjahat itu! Apalagi kalau ia menanam permusuhan dengan pendatang baru she Song ini, yang sama sekali tidak ada sebab-sebab yang kuat, melainkan sikap sombong dan keras hati kedua fihak! Akan tetapi, yang dapat mengerti akan kesabaran dan sikap bijaksana dari Can-Kauwsu ini hanyalah Lui Siong, Gu Ma Ek dan kurang lebih dua puluh orang murid lain. Sebagian besar murid-muridnya, terutama yang berdarah panas, diam-diam merasa kecewa dan menganggap sikap Suhu mereka ini sebagai sikap pengecut dan takut!

   

Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini