Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 10


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



Katanya lirih dan tiba-tiba Pek Giok merasa betapa dari dalam dadanya naik sedu-sedan yang membuat kedua matanya panas dan hampir meruntuhkan air mata. Untuk mencegah hal ini terjadi, gadis yang keras hati ini lalu berseru nyaring.

   "Jangan banyak cakap lagi, lihat pedang!"

   Ia lalu menyerang dengan pedangnya yang segera ditangkis oleh Han Bun. Keduanya segera bertanding dengan hebatnya sehingga sinar pedang mereka menyilaukan mata semua orang yang menonton. Baik Song-Kauwsu maupun Can-Kauwsu sendiri tak bergerak melihat pertandingan yang hebat sekali itu. Diam-diam mereka merasa gelisah sekali karena ternyata bahwa lawan anaknya adalah seorang yang berilmu tinggi. Kedua pedang Pek Giok dan Han Bun lenyap menjadi dua gulung sinar yang saling membelit dan menyambar.

   Bahkan Lui Hong sendiri yang memiliki ilmu pedang tingkat tinggi, memandang dengan bengong dan kagum bukan main. Dalam kesempatan ini, baik Pek Giok maupun Han Bun berusaha untuk menguji sampai di mana kehebatan lawannya. Pek Giok memainkan ilmu pedang Cheng-Liong Kiam-Sut, sedangkan Han Bun memainkan Thian-Hong Kiam-Sut. Gerakan mereka sama Iincah dan sama gesitnya, pedang mereka sama-sama pedang pusaka yang ampuh, tajam dan kuat. Keduanya mendapat kesan yang sama dalam pertandingan ini, yaitu kekaguman yang mendebarkan jantung terhadap lawannya. Melihat kelihaian Pek Giok, Han Bun merasa semakin sayang, sebaliknya, Pek Giok merasa penasaran dan sedih. Penasaran karena ia tidak dapat mengalahkan pemuda ini dan sedih karena ternyata, bahwa pemuda yang dikaguminya itu kini menjadi musuh yang harus ia lukai dan robohkan!

   Puluhan jurus berlangsung dalam pertandingan hebat itu, bahkan kini mendekati seratus jurus tanpa ada yang mau mengalah. Tiba-tiba terdengar suara pedang beradu nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata. Gulungan sinar kedua pedang menjadi buyar dan bayangan kedua orang muda itu masing-masing terdorong ke belakang beberapa kaki jauhnya. Semua orang memandang penuh kekhawatiran, akan tetapi ternyata baik Han Bun maupun Pek Giok tidak menderita luka, hanya wajah mereka agak pucat dan pernapasan mereka tampak terengah-engah. Ternyata bahwa tadi mereka telah mengerahkan tenaga dan ketika pedang mereka bertemu dengan dahsyatnya, kedua terdorong ke belakang saking hebatnya tenaga lawan. Han Bun memandang dengan wajah sedih dan mata sayu, sedangkan mata Pek Giok yang berapi-api itu menitikkan dua butir air mata.

   "Hayo, majulah lagi! Maju sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa!"

   Kata Pek Giok sambil menggigit bibirnya. ia merasa gemas sekali oleh karena sesungguhnya dalam pertandingan tadi, pemuda itu selalu mengalah dan lebih banyak mempertahankan diri daripada menyerang. Akan tetapi Han Bun menghela napas panjang dan tidak bergerak maju, bahkan lalu menyimpan pedangnya dan menggelengkan kepalanya.

   "Tidak mungkin... tidak mungkin sampai hatiku mengalahkan engkau! Kalau kau masih penasaran dan kalau engkau tega... seranglah aku. Aku rela binasa di ujung pedangmu daripada harus mengalahkan dan melukaimu...!"

   Ucapan ini dikeluarkan dengan suara yang amat menyedihkan sehingga tak terasa pula air mata bercucuran dari kedua mata Pek Giok.

   "Pengecut!"

   Pek Giok mengeraskan hatinya dan memaki.

   "Kau sudah menantang dan kau telah datang hendak membalaskan sakit hati kedua Kakak-beradik she Lee yang jahanam itu! Majulah, jangan kau kira bahwa kami keluarga Can takut padamu!"

   "Siapa membela mereka?"

   Han Bun membantah.

   "Aku bahkan telah mengusir kedua jahanam itu dari rumah Ayahku!"

   Tertegunlah Pek Giok mendengar ucapan ini, bahkan Can-Kauwsu juga memandang dengan mata terbelalak kepada Han Bun. Akan tetapi sambil mengeraskan hatinya Pek Giok berseru.

   "Kalau begitu, majulah agar kita dapat menentukan siapa yang lebih kuat, keluarga Song atau keluarga Can! Kita bertempur untuk mempertahankan nama dan kehormatan!"

   Han Bun menghela napas dan berkata kepada Pek Giok seolah di situ tidak ada orang lain yang mendengarnya.

   "Kau memang berkepala batu! aku bersikap yang berlawanan dengan keadaan hati dan perasaanmu. Kalau kau memang tega membunuhku, tusukkanlah pedangmu, aku tidak akan melawan!"

   "Pengecut!"

   Pek Giok berseru lagi, akan tetapi ia tidak maju menyerang, sebaliknya lalu menjatuhkan pedangnya di atas lantai lalu... ia menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis!

   Song-Kauwsu dan Can-Kauwsu tadinya memandang pertempuran antara kedua orang anak mereka dengan hati gelisah dan khawatir. Sungguhpun mereka merasa bangga kepada anak masing-masing, namun melihat betapa hebat kekuatan lawan, mereka merasa amat gelisah dan takut kalau-kalau anak mereka terluka atau tewas dalam pertempuran yang amat seru tadi. Kini, mendengar percakapan antara Pek Giok dan Han Bun serta melihat sikap kedua orang muda itu, mereka menjadi bengong dan ikut merasa terharu. Akan tetapi Song-Kauwsu yang berwatak keras itu dapat menekan perasaannya, bahkan kini dia merasa penasaran kali. Sikap Han Bun amat tidak memuaskan hatinya dan dia menganggapnya bagai sikap yang merendahkan nama sendiri.

   "Han Bun, benar-benarkah engkau begini lemah? Benarkah engkau hendak mengecewakan hati Ayahmu?"

   "Ayah, Ayah boleh menghadapkan aku kepada rIbuan orang musuh dan aku akan menaati perintahmu biar aku harus menerjang lautan api sekalipun, akan tetapi jangan... jangan Ayah menyuruh aku mengangkat senjata terhadap ia...! Ayah, apakah tidak ada jalan lain untuk mengakhiri permusuhan ini...?"

   "Pengecut! Benar makian lawanmu tadi, engkau pengecut! He, Can-Kauwsu biarlah sekarang kita saja yang membereskan perhitungan ini. Cabutlah senjatamu!"

   Sambil berkata demikian, dia menggerakkan senjata siangkek yang sejak tadi telah dipegangnya, lalu maju menghampiri Can-Kauwsu. Can-Kauwsu tidak mempunyai nafsu untuk bertanding lagi setelah melihat sikap anaknya dan mendengar ucapan Han Bun. Dia memang berwatak halus dan kata-kata Song Han Bun tadi amat mengharukan hatinya. Akan tetapi dia juga seorang gagah yang menjunjung tinggi nama dan kehormatannya, maka tentu dia tidak dapat menolak tantangan Song-Kauwsu itu. Sambil menghela napas panjang dia mencabut keluar sepasang Poan-Koan-Pit (alat tulis) yang terselip di pinggangnya dan siap menghadapi serangan lawan.

   "Tahan! Jangan dilanjutkan perkelahian gila ini!"

   Tiba-tiba terdengar terdengar jerit seorang wanita yang datang dari luar. Song-Kauwsu terkejut sekali ketika melihat bahwa wanita itu bukan lain adalah isterinya sendiri.

   "Kau...?"

   Katanya sambil maju menghampiri. Nyonya Song tidak mempedulikannya, bahkan ketika ia melihat Han Bun masih berdiri dengan muka sedih, ia lalu berlari dan memeluk puteranya itu sambil menangis tersedu-sedu! Ternyata Nyonya Song menyusul dan tadinya ia menanti di dalam rumah dengan hati gelisah.

   Kemudian ia teringat akan pertandingan pIbu yang dulu, pada waktu mana ia menderita kegelisahan setengah mati melihat suaminya terluka, Kim Lun terpotong tangannya dan Kim Lian tergores mukanya. ia membayangkan dengan hati penuh kengerian bagaimana kalau puteranya pulang dalam keadaan terluka, bagaimana kalau wajah puteranya sampai menjadi cacad, atau kalau sampai tangan atau kakinya terbacok pedang sehingga putus? Akhirnya ia tidak dapat menahan kegelisahan hatinya lalu ia minta kepada pelayannya untuk mengantarkan secepat mungkin ke rumah Can-Kauwsu. Setelah melihat puteranya selamat dan tidak terluka sebagaimana yang ia khawatirkan, dan mendengar perkataan Han Bun tadi, ia menjadi demikian terharu dan girang. Untung bahwa ia masih dapat mencegah suaminya yang sudah siap untuk bertanding dengan Can-Kauwsu.

   "Benar ucapan anak kita."

   Katanya kepada suaminya.

   "Untuk apa melanjutkan permusuhan yang gila-gilaan ini, mari kita pulang, biar orang lain melanjutkan kegilaannya dan memusuhi kita untuk apa kita harus melayani mereka. Aku tidak sudi melihat hal ini! Biarlah yang gila tinggal dalam gilanya, apakah kita juga harus ikut menjadi gila pula?"

   Setelah berkata demikian Nyonya Son memegang tangan suami dan anaknya lalu menyeret mereka keluar dari situ. Song-Kauwsu yang amat mencinta isterinya, melihat wajah isterinya yang pucat dan merasa betapa tangan isterinya dingin sekali, tidak tega untuk membantah, maka pergilah dia mengikuti isteri dan anaknya. Can-Kauwsu memandang semua itu dengan mata terbelalak dan tubuh diam tak bergerak bagaikan patung. Setelah Song-Kauwsu dan anak isterinya pergi, barulah dia bergerak karena mendengar isak tangis Pek Giok yang telah dipeluk oleh Ibunya.

   "Pek Giok, ternyata engkau sudah mengenal putera Song-Kauwsu! Mengapa engkau tidak memberitahu kepadaku sebelumnya?"

   Pek Giok memandang kepada Ayahnya dengan muka kemerahan.

   "Baru sekarang aku tahu bahwa dia adalah putera Song-Kauwsu, Ayah,"

   Jawabnya.

   "Aku pernah bertemu dengan dia ketika memperebutkan peti surat Pangeran Liang Tek Ong."

   Kemudian dengan singkat ia menceritakan pertemuannya dengan pemuda itu, akan tetapi tentu saja ia tidak menyinggung soal peristiwa masakan di perahu dan sama sekali tidak berani menceritakan bahwa sejak pertemuan itu ia dan Han Bun diam-diam saling tertarik. Can-Kauwsu menarik napas panjang.

   "Memang permusuhan ini amat tidak baik. Aku pun tahu bahwa Song-Kauwsu bukan seorang jahat, apalagi isteri dan puteranya. Sungguh aku merasa menyesal sekali telah timbul permusuhan antara kita dengan mereka. Akan tetapi, ini semua timbul karena kekerasan hati Song-Kauwsu sendiri. Aku menyesal, sungguh menyesal...!"

   Can-Kauwsu tentu saja tidak dapat melenyapkan sekaligus perasaan dendamnya akan kematian Suhengnya yang terbawa-bawa dalam permusuhan itu.

   "Bagaimanapun juga, bukan kita yang memulai lebih dulu!"

   Kata isterinya.

   "Boleh diadakan perdamaian, akan tetapi harus dari mereka. Kita hanya mempertahankan nama sendiri, adalah mereka yang mencari perkara!"

   Lui Siong ikut bicara.

   "Kalau Teecu (murid) pikir, semua ini gara-gara kedua saudara Lee itu. Kalau dalam pIbu pertama kedua orang itu tidak muncul, tentu sudah bereslah pertikaian ini, dan dalam pIbu itu dapat ditentukan siapa yang lebih kuat."

   Sementara itu, Lui Hong diam saja, tidak berkata apa-apa. Diam-diam dia merasa amat kagum kepada Pek Giok dan juga kepada Han Bun yang ternyata memiliki kepandaian tinggi itu. Pemuda ini diam-diam dapat menduga bahwa tentu ada pertalian batin erat antara gadis itu dengan Han Bun, maka dia menjadi bingung sekali. Ayahnya telah menjodohkannya dengan Pek Giok, yang biarpun harus dia akui sebagai seorang gadis yang amat cantik jelita dan gagah perkasa, namun masih saja, menurut penglihatannya, belum dapat mengalahkan kecantikan puteri Bangsawan di Kotaraja yang telah berhasil menawan hatinya itu. Juga Pek Giok diam saja. Pikirannya bingung dan masih terbayang sikap Han Bun tadi yang selalu mengalah, bahkan rela dIbunuh. Hal ini mempertebal keyakinannya bahwa pemuda itu benar-benar mencintanya! Dan bagaimana dengan perasaan hatinya sendiri?

   Ah..., ia tidak tahu! ia telah dipertunangkan dengan Lui Hong! Makin bingunglah hati Pek Giok teringat akan hal ini dan ia lalu berlari memasuki kamarnya sendiri di mana ia menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis tanpa suara!

   "Han Bun...!"

   Kata Song-Kauwsu dengan suara marah kepada puteranya yang duduk di depannya sambil menundukkan muka.

   "Apakah artinya sikapmu terhadap keluarga Can tadi? Mengapa engkau bersikap demikian lemah terhadap gadis she Can itu?"

   Setelah lama tidak menjawab, Ibunya berkata.

   "Anakku, aku pun merasa heran mendengar akan sikapmu terhadap gadis puteri Can-Kauwsu itu. Sesungguhnya, sampai seberapa jauhkah perkenalan dengan gadis itu? Katakan saja teru-terang, Nak."

   Dengan suara berat Han Bun lalu berkata.

   "Sesungguhnya, semenjak pertemuanku pertama kali dengan Pek Giok yang semula belum kuketahui namanya dan tidak kuketahui pula siapa sebenarnya gadis itu, aku... aku telah jatuh cinta kepadanya..."

   Hening sesaat, dan tiba-tiba Nyonya Song berkata dengan suara girang.

   "Suamiku, kalau begitu, alangkah baiknya kalau kita mengakhiri permusuhan itu dengan menjodohkan anak kita dengan puteri Can-Kauwsu!"

   "Tidak mungkin!"

   Song-Kauwsu membentak.

   "Siapa sudi berbesan dengar dia?"

   "Engkau terlalu mementingkan perasaanmu sendiri yang diracuni kebencian dan dendam!"

   Nyonya Song menegur. Song-Kauwsu tersenyum mengejek.

   "Engkau tahu apa? Bukan aku saja yang menaruh dendam. akan tetapi juga pihak mereka. Apa kau kira mereka mau memberikan anak mereka kepada kita? Ah, siapa berani mengajukan pinangan hanya untuk menderita malu dan terhina karena pasti akan ditolak keras oleh mereka?"

   "Belum tentu."

   Kata isterinya.

   "Boleh kita mencoba dulu untuk meminangnya."

   "Tidak, aku tidak sudi merendahkan diri sampai sedemikian rupa."

   Kata Song-Kauwsu yang segera bangkit dan dengan marah meninggalkan anak dan isterinya. Demikianlah, keadaan rumah tangga keluarga Song kembali menjadi tegang. Hampir setiap hari terdengar percekcokan antara Song-Kauwsu dan isterinya sehingga Han Bun merasa berduka sekali. Pemuda ini menGurung diri dalam kamar saja dan jarang keluar. Tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat. Dia tidak mempedulikan lagi kesehatan badannya, jarang makan dan jarang tidur. Song Han Bun menderita penyakit rindu yang hebat! Pada suatu malam, beberapa hart kemudian, di atas genteng gedung keluarga Song berkelebat bayangan orang dalam kegelapan.

   Gerakan orang ini sedemikian cepat dan ringannya sehingga tidak terdengar sedikit pun suara kakinya menginjak genteng. Akan tetapi karena bayangan itu tidak datang sendiri, melainkan ada dua orang kawannya yang langkah kakinya tidak begitu ringan, telah membuat Han Bun terbangun dari tidurnya. Pemuda ini merasa terkejut dan heran mendengar suara di atas genteng dan menurut perhitungannya, sedikitnya tentu ada dua orang di atas genteng yang dapat dia dengar gerakan kakinya. Dia cepat mengambil pedangnya dan agar jangan mengagetkan Ayah-Ibunya, dia lalu keluar dari jendela dan terus melompat naik ke atas genteng. Begitu sampai di atas genteng, sebatang pedang yang cepat sekali gerakannya menyambar dari samping. Penyerangnya itu ternyata seorang Kakek berjubah kuning yang memelihara rambut panjang. Biarpun sudah tua gerakan Kakek itu sungguh hebat sekali.

   Han Bun cepat menangkis dan pada saat itu dia melihat dua orang lain yang bukan lain adalah Kim Lun dan Kim Lian! Kim Lun melompat ke bawah dengan cepatnya dan tak lama kemudian dia sudah naik ke atas kembali sambil memondong Bwee Eng. Laki-laki jahanam itu telah menculik isterinya sendiri, satu hal yang benar-benar aneh dan luar biasa. Han Bun menjadi marah sekali dan dia memutar pedangnya dengan cepat untuk merobohkan Kakek berjubah Pendeta yang lihai itu. Akan tetapi tiba-tiba tangan kiri Pendeta itu bergerak dan mengibarkan sehelai saputangan hitam. Asap atau debu hitam mengebul keluar dari sapu-tangan itu dan tiba-tiba Han Bun merasa kepalanya pening dan tubuhnya terhuyung. Dia cepat menahan napas dan mengumpulkan tenaga sakti untuk menolak pengaruh debu beracun itu, Akan tetapi terlambat.

   Pendeta itu menyerangnya dengan sebuah totokan kilat sehingga Han Bun roboh di atas genteng tanpa dapat bergerak lagi. Kim Lian berseru girang dan cepat ia menyambar tubuh Han Bun dan memungut pedangnya yang terlepas dari tangan, lalu memondong tubuh pemuda itu dibawa melompat turun dari atas genteng. Tiga orang itu lalu menghilang dalam kegelapan malam sambil membawa tubuh Bwee Eng dan Han Bun! Menjelang fajar, Song-Kauwsu terjaga dari tidurnya dengan hati merasa tak enak. Dia menggerakkan tubuhnya dan ketika dia menghadap keluar, dia melihat betapa jendela dalam kamarnya terbuka dan inilah yang membuatnya tidak enak tidur karena angin malam amat dingin dan karena selimutnya terbuka maka dia kedinginan sekali. Ketika dia memandang lebih jelas, ternyata bahwa jendela kamarnya itu terbuka dengan paksa sehingga palangnya patah.

   Kemudian dia melihat sesuatu di atas meja yang membuatnya berseru keras dan melompat turun. Ternyata di atas meja itu terdapat sehelai surat yang ditusuk pisau yang menancap di atas meja. Cepat surat itu dibacanya.

   Song-Kauwsu!

   Untuk memberi hukuman kepadamu, kami sengaja membawa pergi kedua orang anakmu.

   Sekarang engkau baru mengetahui kelihaian keluarga Can!

   Surat itu tidak ditandatangani, akan tetapi cukup membuat dia merasa terkejut sekali. Dengan cepat dia lalu berlari keluar dari kamarnya dan menerjang pintu kamar Han Bun. Benar saja, Han Bun dan pedangnya tidak berada dalam kamar itu. Pemuda itu telah keluar dari jendela kamar yang terbuka, entah ke mana! Seperti gila saking gelisah dan marahnya, Song-Kauwsu cepat berlari menuju ke kamar Bwee Eng, dan di sini pun dia tidak dapat menemukan anak perempuannya itu. Bwee Eng juga lenyap secara aneh!

   "Keparat jahanam engkau, orang she Can! Sekarang aku harus mengadu nyawa denganmu!"

   Sambil berkata demikian, Song-Kauwsu lalu mengambil senjatanya dan berlari keluar dari rumah. Isterinya kaget melihat kelakuan suaminya ini, akan tetapi tidak sempat bertanya karena suaminya telah berlari keluar.

   la cepat memanggil Han Bun dan Bwee Eng, akan tetapi alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa kedua orang anaknya itu tidak berada dalam rumah. Ketika nyonya Song menemukan surat di atas meja dalam kamar suaminya, ia menjerit dan roboh pingsan! Dalam keadaan marah sekali Song-Kauwsu berlari cepat di pagi buta itu menuju ke rumah Can-Kauwsu. Akan tetapi, sebelum tiba di rumah Can-Kauwsu, dia melihat bayangan orang berlari-lari dari arah depan. Ketika telah dekat, ternyata bahwa bayangan itu adalah Can-Kauwsu sendiri yang memegang kedua senjatanya! Bukan main marahnya Song-Kauwsu melihat musuh besar ini dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, dia segera menyerang dengan hebat! Can-Kauwsu juga menangkis dan balas menyerang, maka sebentar saja kedua orang Guru silat itu sudah saling serang di pagi hari dan di atas jalan raya yang masih sunyi.

   "Orang she Song! Kembalikan anakku kalau kau tidak ingin melihat darahmu berceceran di jalan ini!"

   Can-Kauwsu membentak dan menyerang dengan hebat. Tertegun juga Song-Kauwsu mendengar ini, akan tetapi kemudian dia menjadi semakin marah.

   "Bangsat tua she Can! Kau manusia tak tahu malu. Mengapa menggunakan cara pengecut menculik kedua orang anakku? Kembalikan mereka kalau kau tidak ingin kepalamu menggelinding di atas jalan ini!"

   "Apa katamu?"

   Tiba-tiba Can-Kauwsu melompat ke belakang.

   "Gilakah engkau? Engkau yang menculik anakku Pek Giok, sekarang kau menuduh aku menculik anak-anakmu. Apakah engkau benar-benar sudah menjadi gila?"

   "Bangsat tua jangan berpura-pura! Suratmu masih berada di atas mejaku. Setelah berani berbuat apakah engkau begitu pengecut sehingga tidak berani mengakui perbuatanmu?"

   "Eh-eh, nanti dulu!"

   Kata Can-Kauwsu sambil merogoh sakunya dan mengeluarkan sehelai kertas putih.

   "Kau lihat dan bacalah ini! Mengapa ada urusan begini aneh?"

   Song-Kauwsu menahan kemarahannya dan membaca surat itu. Tiba-tiba wajahnya menjadi pucat, karena surat itu bentuk dan potongannya serupa benar dengan surat yang terdapat di kamarnya. Bahkan tulisannya pun sama. Setelah dibacanya, dia mendapat kenyataan bahwa kata-kata dalam tulisan itu pun tiada bedanya dengan isi surat yang diterimanya. Surat itu berbunyi demikian :

   Can-Kauwsu!

   Untuk memberi hukuman kepadamu, kami sengaja membawa pergi puterimu. Sekarang engkau baru mengetahui kelihaian keluarga Song!

   Begitu membaca surat itu, Song-Kauwsu melihat dengan jelas bahwa surat itu ditulis oleh satu tangan, sama benar dengan surat yang diterimanya.

   "Celaka...!"

   Kata Song-Kauwsu dengan muka pucat.

   "Kita berdua telah menjadi korban orang jahat yang sengaja hendak mengadu domba antara kita!"

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Can-Kauwsu.

   "Anak-anakku, Han Bun dan Bwee Eng, juga lenyap dan di atas mejaku terdapat surat yang sama dengan ini! Hanya namanya saja terbalik, yang menculik mengaku dari keluarga Can!"

   Can-Kauwsu tercengang dan kedua orang Guru silat itu berdiri berhadapan seperti patung dengan bingung dan wajah mereka pucat, tubuh mereka menggigil karena menahan kemarahan yang meluap.

   "Siapakah yang melakukan perbuatan ini?"

   Akhirnya Can-Kauwsu dapat bicara.

   "Siapa tahu? Tentu orang jahat yang memusuhi kita!"

   "Jangan-jangan kedua orang saudara Lee itu!"

   Kata Can-Kauwsu. Berat bagi Song-Kauwsu untuk men-duga demikian.

   "Tidak mungkin. Kepandaian mereka tidak cukup tinggi untuk dapat menculik Han Bun dan puterimu. Pula, agaknya tidak mungkin Kim Lun menculik isterinya sendiri."

   "Hemm, apa kau tidak ingat kepada Guru mereka, Bu-Eng-Kwi Tok Liong Thaisu?"

   Kata Can-Kauwsu.

   "Celaka!! Bisa jadi... ah, hayo kita kejar mereka! Engkau betul, kalau ada orang yang memusuhi kita berdua, hanya dua orang bedebah itulah!"

   "Ke mana kita harus mengejar?"

   "Ke mana saja! Biar ke neraka sekali pun, aku harus dapat mencari jahanam-jahanam itu!"

   Demikianlah, dua orang musuh besar itu di pagi hari berlari-lari keluar kota untuk mencari jejak orang-orang yang menculik anak-anak mereka! Memang tepat dugaan Can-Kauwsu. Penculik-penculik itu adalah Kim Lun, Kim Lian, dan Guru mereka yang yaitu Bu-Eng-Kwi (lblis Tanpa Bayangan) Tok Liong Thaisu sendiri. Datuk ini mendengar cerita kedua orang muridnya dan karena maklum bahwa dua orang muda, yaitu Han Bun dan Pek Giok merupakan lawan-lawan yang tangguh, maka Datuk itu mempergunakan bubuk Hek-Tok-San (bubuk racun hitam) untuk merobohkan mereka. Seperti halnya Han Bun, Pek Giok mendengar kedatangan mereka dan ketika ia menyerbu, ia dirobohkan dengan bubuk racun hitam dan di tawan oleh mereka. Kini tiga orang penculik itu lari menuju ke utara, masuk ke dalam sebuah hutan liar.

   Kim Lun memondong tubuh Bwee Eng, Kim Lian memondong tubuh Han Bun, sedangkan Bu-Eng-Kwi sendiri memondong tubuh Pek Giok. Pek Giok dan Han Bun berada dalam keadaan pingsan karena pengaruh obat bius, sedangkan Bwee Eng biarpun masih sadar, akan tetapi tidak mampu bergerak karena tertotok. Setelah tiba di dalam sebuah Kuil tua yang rusak dan yang berada di lereng bukit kecil dalam hutan itu, tiga orang jahat itu masuk ke dalam Kuil dan menurunkan tubuh tiga orang tawanan mereka ke atas lantai Kuil. Kim Lun dan Kim Lian lalu mengikat kaki tangan Pek Giok dan Han Bun, akan tetapi Bwee Eng tidak diikat karena mereka menganggap wanita itu tidak berbahaya. Mereka hendak menanti sampai para korban siuman dari pingsannya untuk kemudian dipermainkan dan dIbunuh untuk memuaskan dendam hati mereka.

   "Aku akan merusak mukanya dengan ujung pedang!"

   Kata Kim Lian sambil mencabut pedangnya dan memandang kepada Pek Giok penuh kebencian.

   "Nanti dulu!"

   Kim Lun mencegah karena dia mempunyai niat lain yang lebih keji lagi.

   "Kalau aku sudah cukup membalas dendam dan menghinanya, baru kau boleh turun tangan."

   "Kau pun jangan membunuh Han Bun dulu sebelum aku cukup menghina dan mempermainkannya."

   Kata Kim Lian sambil memandang wajah Han Bun yang tampak amat elok dalam pingsannya itu. Sementara itu Bu-Eng-Kwi hanya tertawa-tawa saja bagaikan seorang yang miring otaknya.

   "Nah, puaskanlah hatimu, biar aku menjaga di depan Kuil!"

   Katanya lalu keluar sambil bernyanyi. Memang, Pendeta ini telah terlalu banyak membuat dosa sehingga makin tua dia menjadi semakin berubah ingatannya, menjadi seperti orang gila.

   "Kenapa mereka belum siuman?"

   Tanya Kim Lian kepada Kakaknya.

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku sudah ingin sekali menyiksa mereka. Kurang asyik kalau menyiksa mereka dalam keadaan pingsan."

   "Ambil saja air dan siram kepala mereka, tentu akan lekas siuman."

   Kata Kim Lun tertawa. Kim Lian lalu. keluar dari ruangan Kuil tua itu untuk mencari air. Bwee Eng terisak menangis.

   "Kenapa kau begini kejam? Mengapa hendak menyiksa Adikku? Ah, mungkinkah hatimu begini kejam dan sama sekali tidak ingat akan budi kebaikan keluargaku padamu?"

   Kim Lun tertawa bergelak.

   "Budi? Budi apakah? Apa kau kira aku tidak tahu bahwa Ayah-Ibumu membenciku? Hanya kau seorang yang baik kepadaku, karenanya aku membawamu dan tidak membunuhmu. Sudahlah, jangan kau banyak cerewet. Kau isteriku, dan harus menurut segala kehendakku."

   Kim Lian datang membawa guci penuh air yang lalu disiramkan ke atas kepala Han Bun dan Pek Giok. Sebetulnya kedua orang muda yang bertubuh kuat terlatih itu, telah siuman sejak, tadi. Akan tetapi karena kaki tangan mereka terikat kuat dan biarpun mereka diam-diam telah mengerahkan tenaga untuk membebaskan diri, mereka tidak dapat melepaskan tali pengikat yang terbuat dari bahan istimewa itu.

   Mereka berpura-pura masih pingsan dan tidak bergerak. Ketika Kim Lun bicara dengan Bwee Eng tadi, Han Bun membuka matanya akan tetapi segera menutupnya kembali dengan hati berdebar. Dia marah sekali mendengar ucapan Kim Lun, akan tetapi dia tidak berdaya. Ikatan kaki tangannya itu kuat sekali. Dia masih belum tahu bahwa Pek Giok juga tertawan, karena gadis itu rebah di sebelah belakangnya dan dia tidak mau menggerakkan tubuhnya agar disangka masih pingsan. Diam-diam dia memutar otak mencari jalan keluar. Ketika kepalanya disiram air, dia masih saja diam tak bergerak. Demikian pula dengan Pek Giok. Gadis ini pun sebenarnya telah sadar, akan tetapi berpura-pura masih pingsan. Kalau Han Bun tidak dapat melihatnya, sebaliknya Pek Giok dapat melihat pemuda itu karena kebetulan sekali ketika tubuhnya dilepaskan di atas Iantai, ia rebah miring menghadapi punggung Han Bun.

   "Mengapa mereka masih juga belum siuman?"

   Kata pula Kim Lian dengan hati penasaran. Kim Lun lalu meloloskan sabuk kulitnya.

   "Biar kucoba membikin dia siuman!"

   Katanya mengejek dan tak lama kemudian terdengar suara ledakan keras ketika cambuknya menimpa tubuh Han Bun. Pemuda ini maklum bahwa apabila dia memperlihatkan tanda bahwa dia telah siuman, pasti siksaan akan lebih hebat lagi. Maka dia lalu menutup jalan darah, menahan napas dan mengumpulkan tenaga agar supaya rasa sakitnya tidak terlalu hebat. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani mengeraskan kulitnya karena kalau kulitnya tidak terluka oleh cambukan itu, tentu Kim Lun akan curiga. Maka setelah dicambuk beberapa kali, baju pada punggungnya robek dan kulit punggungnya pecah mengeluarkan darah. Hampir saja Pek Giok tidak kuat menahan melihat betapa punggung pemuda yang berada di depannya itu pecah-pecah dan beberapa titik darah memercik mengenai pipinya!

   "Aku pun hendak menyadarkan setan perempuan ini!"

   Kim Lian tertawa. Dengan lagak yang amat menyebaikan, wanita ini lalu membungkuk dan "Brettt!!!", ia telah merobek baju Pek Giok sehingga baju itu pecah bagian punggung dan pundak kanan. Tampaklah kulit punggung dan pundak yang putih mulus itu.

   (Lanjut ke Jilid 10)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10

   "Perempuan keparat, kau bangunlah!"

   Kata Kim Lian dan terdengarlah suara keras ketika ia menggunakan sebatang ranting yang tadi dipungutnya ketika ia mengambil air, mencabuki kulit punggung Pek Giok, juga pundak dan lambungnya.

   Seperti halnya Han Bun gadis ini juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menahan rasa nyeri dan sama sekali tidak bergerak. Biarpun kulit punggung dan pundaknya pecah-pecah dan mengalirkan darah. Bwee Eng menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis terisak-isak. Kemudian ia tidak dapat menahan diri lagi, lalu melompat dan menubruk suaminya, hendak merampas cambuk kulit itu. Akan tetapi Kim Lun menyambut dengan tendangan sehingga isterinya terhuyung ke depan. Baiknya Bwee Eng juga memiliki kepandaian lumayan maka ia dapat menjaga keseimbangan tubuhnya dan tidak jatuh. ia menjadi nekat karena tidak tega menyaksikan adiknya tersiksa, maka ia menerjang kembali untuk merampas cambuk dari tangan suaminya.

   "Jahanam kejam! Kalau kau hendak membunuh Adikku, bunuhlah saja, tidak usah menyiksanya. Kemudian kau bunuh aku juga, apa kau kira kami keluarga Song takut mati?"

   Akan tetapi sebagai jawaban, kembali Kim Lun menyambutnya dengan sebuah tendangan. Biarpun Bwee Eng sudah berusaha mengelak, akan tetapi masih saja ia tidak dapat rnenghindarkan diri dan ia terkena tendangan sehingga bergulingan di atas lantai. Akan tetapi, ucapan Bwee Eng tadi mengingatkan kepada Kim Lun dan Kim Lian bahwa kedua orang tawanan mereka itu masih belum sadar.

   "Apa mereka telah mampus?"

   Kim Lun kecewa. Dia mendekati Pek Giok dan menempelkan telinganya pada dada gadis itu. Pek Giok hampir saja tidak dapat menahan diri. Perbuatan ini dianggapnya lebih hebat daripada cambukan tadi, akan tetapi ia menahan napas dan menguatkan hatinya.

   "Masih hidup...!"

   Kata Kim Lun sambil meraba pipi Pek Giok dengan mesra.

   "Mari kita tanyakan kepada Suhu bagaimana cara membikin mereka siuman."

   "Suhu sedang bersarnadhi di ruangan depan."

   Kata Kim Lian.

   "Biarlah, kita tanya sebentar saja, takkan mengganggunya."

   Mereka berdua keluar dari situ, akan tetapi Kim Lun berhenti lagi karena teringat akan sesuatu. Dia menghampiri Bwee Eng yang masih rebah merintih-rintih dan menangis, lalu berkata dengan suara mengancam keras.

   "Awas, jangan kau pergi ke mana-mana. Kalau kau pergi dari sini, kau akan kubunuh!"

   Kemudian dia keluar menyusul adiknya. Begitu kedua orang itu keluar, Han Bun segera berkata kepada Encinya.

   "Enci Bwee Eng, cepat kau buka ikatan ini!"

   Dan pada saat itu ketika dia menggerakkan kepalanya Han Bun melihat Pek Giok yang rebah dengan baju koyak-koyak dan punggung serta pundaknya berlumuran darah! "Pek Giok...!"

   Bisiknya dan tak terasa pula dua titik air mata melompat keluar dari pelupuk matanya. Pek Giok mengangkat muka dan melihat keadaan pakaiannya ia lalu melotot kepada Han Bun dan menegur dengan bisikan mendesis.

   "Jangan kau memandang ke sini!"

   Mukanya menjadi merah sekali! Han Bun cepat memalingkan mukanya dan berkata lagi kepada Bwee Eng yang dengan jari-jari gemetar rnencoba untuk membuka ikatan tangan adiknya.

   "Cepat Enci Bwee Eng, sebelum mereka datang kernbali!"

   Karena cemas dan takut-takut, serta tubuhnya juga sakit-sakit bekas tendangan suaminya yang jahanam itu, jari-jari tangan Bwee Eng gemetar dan sukar sekali baginya untuk melepaskan ikatan tali yang amat kuat itu.

   "Cepat..., mereka akan segera datang !"

   Seru Han Bun dengan khawatir.

   "Enci, di dalam bajuku tersembunyi senjata rahasiaku Touw-Sim-Ting (Paku Menembus Jantung). Gunakan itu untuk memutuskan ikatan."

   Tiba-tiba terdengar Pek Giok berkata. Bwee Eng segera menghampiri gadis itu dan tangannya mencari saku di sebelah dalam baju gadis itu. Benar saja, Pek Giok selalu menyimpan senjata rahasia yang dulu menjadi senjata rahasia dari Ayah angkatnya, mendiang Siok Kong. Cepat Bwee Eng mengambil paku-paku runcing itu lalu mempergunakannya untuk memutuskan, tali pengikat tangan Pek Giok lebih dulu. Kernudian ia memutuskan tali pengikat kakinya. Setelah itu, barulah ia memutuskan tali pengikat tangan Han Bun. Belum juga tali pengikat kaki Han Bun sempat dIbuka, terdengar langkah kaki dan suara Kim Lun dan Kim Lian yang tertawa-tawa di luar pintu!

   "Pura-pura pingsan!"

   Bisik Han Bun. kepada Pek Giok yang segera rnerebahkan diri kembali sambil menyembunyikan tangan di belakang tubuh. Bwee Eng hendak melompat mundur, akan tetapi terlambat karena Kim Lun dan Kim Lian telah melangkah masuk dan mereka berdua dengan marah melihat betapa Bwee Eng sedang memegang-megang tali pengikat kaki Han Bun.

   "Pengkhianat hina!"

   Seru Kim Lun.

   Kedua orang Kakak-beradik ini lalu mencabut pedang dan begitu tubuh mereka bergerak, dua batang pedang menembus dada Bwee Eng dari dada ke punggung dan wanita itu tewas seketika tanpa dapat berteriak lagi. Han Bun biarpun tidak membuka matanya dan tidak melihat peristiwa mengerikan itu, telinganya cukup tajam maka alangkah marah dan sedihnya mengetahui bahwa Encinya telah dIbunuh dua orang jahanam itu. Akan tetapi dia mengeraskan hati dan masih berpura-pura pingsan. Kim Lun lalu mendekatinya dan memeriksa ikatan tangannya sedangkan Kim Lian mendekati Pek Giok. Pada saat itu, Kim Lun dan Kim Lian menjerit ngeri, mata mereka terbelalak, mulut ternganga dan muka mereka sepucat mayat, tubuh mereka menggigil! seperti orang kedinginan karena mereka melihat betapa pada saat itu tiba-tiba Pek Giok dan Han Bun sudah bangkit berdiri di depan mereka!

   "Celaka...!!"

   Kim Lun berseru dengan suara gemetar,

   "Aduh... mati aku..."

   Kim Lian juga menjerit ketakutan. Akan tetapi dua orang Kakak-beradik itu tidak sempat berpikir karena pada saat itu Pek Giok sudah menyerang dengan pukulan yang menampar ke arah kepala Kim Lian. Kim Lian berusaha mengelak akan tetapi kurang cepat sehingga tepi tangan Pek Giok masih menyerempet rahangnya. Terdengar suara tulang patah karena tulang rahang itu retak terlanggar tangan Pek Giok. Tubuh Kim Lian terputar dan pada saat itu, kaki Pek Giok rnencuat dan mengirim tendangan kilat yang amat dahsyat ke arah dada Kim Lian.

   "Krakkk...!"

   Masih terdengar jerit mengerikan keluar dari mulut Kim Lian ketika tulang-tulang dadanya remuk dan tubuhnya terlempar membentur dinding lalu roboh bagaikan kain lapuk, tak bergerak lagi karena nyawanya telah meninggalkan badan! Kim Lun yang baru sekali ini merasakan ketakutan yang amat hebat, tak sempat mengelak ketika Han Bun menggunakan kedua tangannya, menyarnbar bagaikan seekor garuda rnenyambar tikus, tahu-tahu kedua tangannya telah menangkap dan mencekik leher Kim Lun. Laki-laki jahanam ini berusaha memukul dada Han Bun, akan tetapi pemuda ini membanting diri ke kiri dan mengayun kaki ke atas sehingga dengan demikian dia dapat berdiri di belakang tubuh Kim Lun.

   Cekikan pada leher musuh besar itu seperti jepitan baja yang amat kuat. Urat-uratnya yang bagaikan benang baja menggembung dan tak lama kernudian terdengar suara keras karena tulang leher Kim Lun patah! Ketika Han Bun melepaskan tangannya, tubuh Kim Lun yang sudah menjadi mayat itu jatuh berdebuk di atas lantai. Pek Giok cepat memungut pedangnya yang dibawa Kim Lun dan menggunakan pedang itu untuk memutuskan tali pengikat kaki Han Bun. Juga Han Bun mengambil pedangnya yang tadi dirampas Kim Lian. Mereka berdiri saling berhadapan, dua pasang mata bertemu dan bertaut tak dapat lepas. Pek Giok demikian terpesona sehingga ia lupa bahwa punggung dan pundaknya telanjang. Mereka berdiri dekat, saling pandang dengan sinar mata mesra dan lembut akan tetapi juga basah air mata!

   "Pek Giok..."

   Bisik Han Bun.

   "Masih adakah perasaan bermusuhan denganku dalam dadamu...?"

   Pek Giok menggigit bibirnya.

   "Han Bun...!"

   Ia rnengeluh dan tak dapat melanjutkan kata-katanya, hanya menundukkan mukanya yang sebentar pucat sebentar merah. Han Bun maju melangkah dan sesaat kemudian dia telah memeluk Pek Giok.

   "Pek Giok... Ikan Emas Bermata Bintang... kekasihku... marilah kita lenyapkan permusuhan orang-tua kita..."

   Pada saat mereka tenggelam dalam perasaan masing-masing, tiba-tiba pintu terbuka dari luar dan Bu-Eng-Kwi Tok Liong Thaisu berdiri di ambang pintu dengan pedang di tangan! Pek Giok dan Han Bun terkejut. Akan tetapi mereka segera menghadapi Datuk yang telah menangkap mereka dengan curang itu, dengan hati marah sekali.

   "Bangsat tua bangka, kini datanglah saatnya kami membalas dendam!"

   Seru Han Bun sambil melompat dan menyerang Kakek itu.

   "Han Bun, hati-hatilah terhadap bubuk racun hitamnya!"

   Kata Pek Giok yang juga menerjang dengan pedangnya.

   Bu-Eng-Kwi Tok Liong Thaisu terkejut melihat dua orang muda lihai ini bebas dan dua orang muridnya tewas. Dia merasa gentar karena dia tahu bahwa pemuda ini murid Cin-Po Yang-Cu dan gadis itu murid Kun-Lun Sam-Sian. Nama-nama yang disegani dan ditakuti. Maka dia mencoba untuk melarikan diri dan melompat keluar dari Kuil. Dia hendak menggunakan ginkangnya yang hebat dan yang membuat dia dijuluki lblis Tanpa Bayangan, untuk meloloskan diri. Akan tetapi, ternyata dua orang muda itu tidak kalah gesit. Dengan beberapa kali lompatan saja mereka telah dapat menyusulnya sehingga terpaksa Datuk itu melawan mereka mati-matian. Kini fajar telah berganti pagi sehingga dia tidak mungkin menghilang dalam kegelapan. Setelah mereka bertempur, diam-diam Tok Liong Thaisu mengeluh.

   Ilmu pedang dua orang itu benar-benar tangguh sekali. Jangankan dikeroyok dua, biarpun hanya maju seorang dari mereka saja, belum tentu dia akan mengalahkannya. Dua kali Tok Liong Thaisu mencoba untuk menggunakan bubuk racun hitamnya, akan tetapi kini Han Bun dan Pek Giok selalu waspada dan tentu saja mereka tidak begitu bodoh untuk dapat ditipu dan menjadi korban seperti semalam. Sambil mempergunakan kegesitan tubuh untuk menghindarkan diri dari debu beracun yang amat berbahaya itu, mereka mendesak terus sehingga Tok Liong Thaisu mengeluarkan keringat pada waktu pagi hari yang dingin itu dan hatinya menjadi gelisah dan takut sekali. Akan tetapi dia tidak menderita kegelisahan dan ketakutan terlalu lama karena beberapa belas jurus kemudian, pada saat Datuk sesat itu terdesak hebat,

   Pedang di tangan Pek Giok dan Han Bun hampir berbareng mengirim serangan dahsyat sehingga merupakan dua sinar kilat menyambar menyilaukan mata. Pedang Han Bun menembus leher dan pedang Pek Giok menembus jantung Tok Liong Thaisu yang tak sempat menga-duh, langsung jatuh terkulai dan nyawanya telah lepas dari tubuh sebelum tubuh itu menyentuh tanah. Setelah berhasil membunuh Tosu palsu itu, kembali Han Bun dan Pek Giok saling berpegang tangan dan saling pandang dengan mesra tanpa rnengucapkan sepatah pun kata. Dan dalam keadaan inilah Can-Kauwsu dan Song-Kauwsu mendapatkan mereka! Kedua orang Guru silat itu mengejar sampai ke dalarn hutan dan di depan Kuil tua itu mereka melihat betapa Pek Giok dan Han Bun berdiri dekat saling berpegang tangan dan di atas tanah menggeletak tubuh seorang Kakek berjubah Pendeta.

   "Han Bun...!"

   Teriak Song-Kauwsu sambil berlari menghampiri puteranya.

   "Pek Giok...!"

   Can-Kauwsu juga menghampiri puterinya. Dua orang muda itu lalu bercerita dan mendengar bahwa Bwee Eng tewas, Song-Kauwsu lari memasuki Kuil dan dia berdiri bagaikan patung memandang mayat Bwee Eng, Kim Lun dan Kim Lian. Can-Kauwsu dan Pek Giok ikut masuk dan mereka berdiri dengan hati terharu melihat kesedihan Song-Kauwsu. Setelah dapat menenangkan hatinya yang rasanya seperti ditusuk-tusuk melihat mayat puterinya, Song-Kauwsu lalu menghampiri Can-Kauwsu dan kedua orang laki-laki setengah tua ini saling pandang dengan sinar mata muram. Song-Kauwsu berulang kali menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang.

   "Inilah hasil permusuhan antara kita! Inilah akibatnya kalau aku menuruti nafsu kesombonganku! Ah, sungguh aku merasa rnenyesal sekali! Can-Kauwsu, marilah kita ubah permusuhan ini menjadi kekeluargaan. Kalau engkau setuju, aku... kami akan suka sekali... kalau anakku yang tunggal dijodohkan dengan puterimu..."

   Can-Kauwsu tidak merasa heran mendengar pinangan dalam keadaan yang luar biasa itu, akan tetapi dia menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang pula.

   "Sayang sekali engkau sudah terlambat, Song-Kauwsu. Puteri kami Can Pek Giok sudah kami tunangkan dengan Lui Hong putera Lui Song!"

   Song-Kauwsu terbelalak, lalu wajahnya berubah pucat dan lesu, hatinya terpukul dan dia merasa kecewa sekali. Tubuhnya menjadi lemas dan dia menjatuhkan diri di atas lantai kelenteng sambil mengeluh.

   "Dasar aku yang sial, aku yang bersalah... ah, makin tua aku semakin sial...!!"

   Yang lebih terkejut lagi adalah Han Bun.

   Ucapan Can-Kauwsu yang memberi-tahu tentang Pek Giok yang sudah ditunangkan dengan pemuda lain itu bagaikan halilintar menyambar kepadanya. Tubuhnya berkelebat cepat dan dia telah meninggalkan tempat itu! Can-Kauwsu merasa tidak enak hati dan dia lalu mengajak puterinya untuk segera pulang. Lui Hong duduk seorang diri dalam rumah orang-tuanya, melamun. Dari Lui Siong, Ayahnya, dia sudah mendengar tentang peristiwa hebat yang menimpa keluarga Can-Kauwsu dan Song-Kauwsu. Betapa Can Pek Giok dan Song Han Bun diculik oleh Kakak-beradik Lee Kim Lun dan Lee Kim Lian yang dibantu oleh Datuk sesat Bu-Eng-Kwi Tok Liong Thaisu dan nyaris mereka berdua celaka. Akan tetapi akhirnya, Pek Giok dan Han Bun yang gagah perkasa itu berhasil menewaskan Lee Kim Lun dan Lee Kim Lian, juga menewaskan Bu-Eng-Kwi Tok Liong Thaisu,

   Sungguhpun puteri Song-Kauwsu, Kakak Han Bun yang bernama Song Bwee Eng dan diperisteri Lee Kim Lun juga tewas oleh Kakak-beradik jahat dan cabul itu. Akan tetapi bukan itu yang meresahkan hatinya, bahkan kini kedua Guru silat itu telah akur kembali, hal ini membuat dia merasa senang pula. Akan tetapi kemudian dia mendengar pula betapa Song-Kauwsu secara langsung di tempat terjadinya kerIbutan itu, di sebuah kelenteng, mengajukan pinangan kepada Can-Kauwsu untuk menjodohkan Pek Giok dengan Han Bun dan pinangan itu ditolak oleh Can-Kauwsu dengan alasan bahwa Pek Giok telah ditunangkan kepadanya! Inilah yang membuat Lui Hong melamun dengan hati gelisah seorang diri dalam karnarnya. Sejak Ayahnya dan Can-Kauwsu sepakat untuk menjodohkan dia dengan Can Pek Giok, hati Lui Hong merasa tidak enak sekali.

   Memang harus dia akui bahwa Can Pek Giok merupakan seorang gadis yang selain cantik jelita, gagah perkasa, juga pantas disebut seorang pendekar wanita. Gadis itu dapat menjadi seorang isteri yang patut dibanggakan dan kalau dia sampai dijodohkan dengan gadis itu, sebetulnya dia sudah merasa terangkat derajatnya dan merasa terhormat sekali. Sudah sepatutnya dia berbahagia menjadi tunangan dan calon suami seorang gadis seperti Can Pek Giok. Akan tetapi, semua pertimbangan ini tetap saja tidak mampu menerangi hatinya yang gelap. Masalahnya adalah bahwa betapapun cantik dan lihainya Can Pek Giok, dia tidak mempunyai perasaan cinta kepada gadis itu! Cinta bukan tumbuh karena kecantikan belaka. Yang tumbuh oleh kecantikan atau keadaan lahiriah yang menarik bukanlah cinta, melainkan nafsu berahi. Dia telah jatuh cinta kepada seorang gadis lain!

   Bukan ini saja yang mendatangkan perasaan gundah di dalam hatinya, akan tetapi terutama sekali karena dia tidak merasakan ada cinta dalam hati Pek Giok kepadanya. Hal ini dapat dia ketahui dari sikap, sinar mata dan suara Pek Giok kalau berhadapan dengan dia. Dia tidak menemukan getaran cinta dalam semua itu. Dan ketika terjadi pIbu (adu silat) antara Pek Giok dan Han Bun, dia melihat tanda-tanda bahwa gadis dan pemuda yang orang-tuanya saling bermusuhan itu saling jatuh cinta, inilah yang membuat Lui Hong kini menjadi gelisah. Dia ditunangkan dengan Pek Giok, padahal hatinya sudah jatuh cinta kepada seorang gadis lain yang juga mencintanya. Sedangkan Pek Giok, dia yakin juga tidak mencintanya, melainkan mencinta Song Han Bun seperti yang dia duga. Kini, Han Bun yang hendak dijodohkan dengan Pek Giok, tidak mungkin terjadi karena Pek Giok sudah ditunangkan dengan dia!

   Sungguh merupakan liku-liku cinta yang salah alamat dan kalau dilanjutkan akan mendatangkan derita sengsara dalam hati empat orang! Dalam keadaan hati gelisah dan tertekan itu, Lui Hong merasa semakin rindu kepada gadis yang telah mencuri hatinya. Terbayanglah wajah Li Sian Hwa, puteri tunggal Jaksa Li yang tinggal di Kotaraja. Kemudian terkenang pula dia akan peristiwa yang mempertemukan dia dengan gadis itu. Peristiwa itu terjadi ketika Lui berpisah dari Gurunya yang mengajarkan ilmu silat kepadanya, yaitu Sin-Kiam Kai-Ong. Setelah berpisah dari Sin-Kiam Kai-Ong (Raja Pengemis Pedang Sakti), Lui Hong lalu melakukan perjalanan dari Kotaraja menuju pulang ke rumah orang-tuanya di Sung-Kian.

   Baru setengah hari lamanya dia meninggalkan Kotaraja, ketika melewati sebuah hutan, dia melihat sebuah kereta berhenti di jalan raya dalam hutan itu dan belasan orang perajurit pengawal sedang bertempur melawan sekitar dua puluh orang yang melihat pakaian dan sikap mereka mudah diketahui bahwa mereka adalah gerombolan penjahat, agaknya sedang menghadang dan merampok kereta itu. Melihat ini, tanpa diminta lagi Lui Hong segera turun tangan membantu para pengawal dan begitu dia turun tangan, gerornbolan itu menjadi kocar-kacir. Dalam beberapa gebrakan saja enam orang penjahat dapat dirobohkan Lui Hong. Melihat ini, semangat para pengawal membesar sedangkan para penjahat itu menjadi gentar.

   "Taihiap (Pendekar Besar), tolonglah anakku...!"

   Tiba-tiba terdengar seruan dari dalam kereta. Mendengar ini, Lui long melompat dan menyingkap tirai di pintu kereta. Di dalam kereta itu duduk seorang laki-laki berpakaian Bangsawan bersama isterinya. Mereka tarnpak ketakutan dan sepasang suarni isteri setengah tua ini yang melihat sepak terjang Lui Hong, lalu berseru minta tolong.

   "Taihiap, anak perempuan kami dilarikan kepala penjahat, dibawa ke sana. Tolonglah..."

   Kata Bangsawan itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah kiri. Tanpa banyak cakap lagi Lui Hong lalu melompat dan memasuki hutan yang berada di sisi jalan raya. Dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, tidak lama kemudian dia dapat menemukan sebuah gubuk di tengah hutan dan dia mendengar jerit tangis seorang wanita di samping suara tawa kejam seorang pria.

   "Braaakkk...!!"

   Daun pintu gubuk itu jebol ditendang Lui Hong dan melihat adegan di dalam gubuk itu, muka Lui Hong menjadi merah saking jengah dan juga marahnya. Dia melihat seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam sedang menggumuli seorang gadis yang mati-matian mempertahankan kehormatannya.

   Pakaian gadis itu sudah robek sehingga tampak kulit tubuhnya yang putih mulus. Agaknya gadis itu nekat mempertahankan kehormatannya dan mungkin ditampar oleh kepala penjahat itu karena dari ujung bibirnya tampak berdarah. Bagaikan seekor harimau menerkam domba, Lui Hong menerjang ke depan. Kepala penjahat yang tadi terkejut mendengar jebolnya daun pintu dan membalik, melihat seorang pemuda menerjangnya, lalu melepaskan gadis itu dan dia menyambut Lui Hong dengan tendangan kakinya yang besar dan panjang. Lui Hong sedang dilanda nafsu amarah yang berkobar-kobar rnenyaksikan adegan tadi, maka melihat kaki besar panjang itu menyarnbutnya dengan tendangan, dia menyambut dengan pukulan tangan kanan yang dimiringkan sambil mengerahkan tenaganya.

   "Wuuuuttt... krakkk...! Aduh...!"

   Kepala perampok itu terpelanting dan tulang kakinya patah.

   Dalam kemarahannya, Lui Hong masih menyusulkan tiga kali pukulan dan laki-laki tinggi besar muka hitam itu meraung-raung dan berkelojotan dengan kedua lengan dan kedua kakinya mengalami patah-patah tulangnya! Rasa nyeri membuat raungannya hanya terdengar sebentar karena dia lalu jatuh pingsan, menggeletak di Iantai gubuk itu. Lui Hong melihat gadis itu sudah bangkit duduk dalam keadaan setengah telanjang. Sambil berusaha menutupi badan dengan pakalan yang sudah koyak-koyak, ia memandang kepada Lui Hong dengan sepasang mata terbelalak penuh rasa ngeri dan takut, seperti rnata seekor kelinci yang baru saja terlepas dari cengkeraman harimau! Lui Hong cepat rnenyambar sehelai selimut yang berada di dekat pembaringan dan menyelimuti tubuh setengah telanjang Itu sambil berkata,

   "Jangan takut, Nona. Jahanam itu tidak akan dapat mengganggumu lagi. Mari kuantar engkau kembali kepada Ayah-lbumu."

   Agaknya baru sekarang gadis itu menyadari bahwa ia telah terbebas dari bahaya yang lebih mengerlikan daripada maut. Dengan tubuh gemetaran ia lalu turun dari pembaringer itu dan tiba-tiba menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Lui Hong.

   "Terima kasih... Taihiap telah menyelamatkan saya... terima kasih... aahhh..."

   Gadis itu lalu menelungkup dan menangis tersedu-sedu. Tubuhnya makin gemetar karena membayangkan kengerian yang membuatnya ketakutan. Melihat ini, Lui Hong menjadi bingung juga. Gadis itu menangkap kedua kakinya dan menangis seperti anak kecil. Selama hidupnya belum pernah dia menghadapi hal seperti ini. Maka dia lalu membungkuk, memegang kedua pundak gadis itu dan diangkatnya, dipaksanya gadis itu untuk bangkit. Akan tetapi ketika gadis bangkit berdiri, tubuhnya terkulai lemas dan ia tentu sudah jatuh kalau tidak dengan cepat Lui Hong merangkulnya.

   Ternyata gadis itu tak sadarkan diri, pingsan dalam rangkulan Lui Hong! Pemuda yang sebelumnya belum pernah bergaul dengan wanita itu, kini merangkul seorang gadis yang pingsan, tentu saja menjadi panik. Jantungnya berdebar tegang. Dia tidak khawatir karena tahu bahwa gadis itu tidak mengalami cidera, tidak ternoda dan jatuh pingsan hanya karena tegang dan ketakutan. Teringat akan suami-isteri Bangsawan dalam kereta tadi, dia lalu memondong tubuh gadis itu, rnembawanya keluar gubuk dan berjalan menuju ke arah dari mana dia tadi datang, yaitu ke jalan besar tempat terjadinya pertempuran tadi. Akan tetapi baru belasan langkah dia berjalan, terdengar gadis itu mengeluh. ia telah siuman dari pingsannya dan melihat dirinya dipondong Lui Hong, gadis itu berkata lemah.

   "Taihap... Jangan pondong aku, harap turunkan..."

   Tentu saja Lui Hong segera menurunkannya. Mereka saling berhadapan dan sejenak rnereka saling pandang. Gadis itu ternyata amat cantik dalam pandangan Lui Hong, juga lucu karena berkerudung selimut rnerah sampai ke lutut. Sepasang mata yang rnasih kernerahan karena tangis itu kini memandang kepadanya

   "Sekali lagi, aku amat berterima kasih kepadamu, Taihiap. Engkau telah menyelamatkan diriku dari ancaman yang lebih mengerikan daripada maut. Selama hidupku, aku tidak akan pernah dapat melupakan budi pertolonganmu ini."

   "Sudahlah, Nona. Jangan disebut-sebut lagi soal pertolongan karena apa yang aku lakukan ini, hanya merupakan kewajiban yang sudah semestinya kulakukan."

   "Taihiap, namaku adalah Li Sian Hwa, aku tadi berkendaraan dengan Ayah-Ibuku. Ayahku adalah Jaksa Li Koan dari Kotaraja..."

   "Aku sudah bertemu dengan Ayah-Ibumu, Li-Siocia (Nona Li). Mereka dalam keadaan selamat dan menanti kedatanganmu. Mari kita temui mereka."

   Gadis itu mengangguk dan mereka berdua melangkah maju perlahan-lahan karena mereka harus melalui tempat yang penuh dengan pohon-pohon dan semak belukar, juga jalannya tidak rata. Terkadang Li Sian Hwa terhuyung dan terpaksa harus memegang tangan Lui Hong agar tidak jatuh. Lui Hong merasa kasihan sekali, akan tetapi tentu saja tidak berani menawarkan agar gadis itu mau dipondongnya. Hal itu dapat dianggap sebagai suatu sikap tidak sopan atau kurang ajar.

   "Taihiap, engkau telah menyelamatkan aku dan telah mengetahui namaku. Akan tetapi aku belum mengenal siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu."

   Gadis yang sopan sekali, pikir Lui Hong. Menanyakan tidak, secara langsung.

   "Nona, namaku Lui Hong dan aku tinggal di kota Sung-Kian. Nona, sungguh tidak enak mendengar engkau menyebut aku Taihiap, karena aku hanyalah seorang biasa saja, sama sekali bukan pendekar besar."

   "Akan tetapi bagiku engkau seorang pendekar dan penolong! Kalau tidak ingin disebut Taihiap, lalu aku harus menyebut apa?"

   Gadis itu mengerling dan tersenyum sambil merapatkan selimut yang menutupi tubuhnya.

   "Engkau sudah tahu namaku sekarang, sebut saja namaku."

   Kata Lui Hong.

   "Aih, aku tidak mau bersikap tidak sopan terhadap penolongku. Baiklah, aku akan menyebutmu Hong-ko (Kakak Hong) saja, dan engkau menyebut aku Hwa-moi (Adik Hwa). Bagaimana, Hong-ko?"

   Wajah Lui Hong menjadi kemerahan. Tentu saja dia merasa girang sekali, akan tetapi dia juga merasa bahwa tidak pantas dia menyebut gadis Bangsawan puteri seorang jaksa itu dengan sebutan adik!

   "Baiklah, Nona."

   "Eh, mengapa masih menyebut Nona?"

   "Aku... aku tidak berani, Nona. Aku merasa tidak pantas menyebutmu Adik. Aku hanya seorang pemuda biasa yang miskin, sedangkan engkau seorang puteri Bangsawan yang kaya-raya..."

   "Hong-ko, jangan bicara seperti itu. Aku tidak suka mendengarnya...!"

   Li Sian Hwa berkata sambil mengerutkan alisnya. Agaknya gadis itu merasa benar-benar tidak suka dan marah mendengar ucapan Lui Hong dan ia mempercepat langkahnya. Akan tetapi kakinya terpeleset di atas batu yang menonjol dan tertutup rumput sehingga tubuhnya terpelanting! Lui Hong cepat menyambar tubuh gadis itu dan Sian Hwa merangkul pinggang pemuda itu dengan kedua tangannya agar tidak sarnpai jatuh. Sejenak mereka diam dalam keadaan saling rangkul. Keduanya seperti terpesona oleh keadaan mereka itu dan Sian Hwa menyandarkan mukanya ke dada Lui Hong.

   "Hong-ko..."

   Bisiknya.

   Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hwa-moi..., kau... kau tidak apa-apa...?"

   Tanya Lui Hong dan dia merangkul semakin kuat ketika mendengar isak tangis gadis itu. Akhirnya keduanya rnenyadari akan keadaan mereka yang tidak wajar itu. Sian Hwa Iebih dulu melepaskan rangkulannya dan ia berdiri agak mundur dua langkah dan mukanya menjadi merah padam. Wajah Lui Hong juga merah sekali dan jantungnya berdebar penuh ketegangan yang amat membahagiakan. Biarpun mereka tidak mengeluarkan kata-kata sedikitpun, namun keduanya merasa betapa hati mereka telah jatuh cinta!

   "Nona... eh, Hwa-moi... aku tidak tega melihat engkau berjalan melalui jalan liar yang penuh semak belukar dan batu-batu ini."

   "Bagaimana, Hong-ko? Memang jalannya buruk, tidak apa-apa, asal engkau menjaga agar aku jangan sampai jatuh."

   "Hwa-moi, maafkan aku. Bukan maksudku hendak bersikap tidak sopan atau kurang ajar. Akan tetapi kalau engkau membiarkan aku memondongmu, tentu perjalanan akan lebih cepat, lancar dan engkau tidak perlu menderita lagi."

   Wajah gadis itu menjadi semakin merah dan bibirnya tersenyum.

   "Ih, jangan, Hong-ko. Aku malu, bagaimana kalau nanti dilihat orang? Biarlah aku berjalan kaki saja, kalau engkau memegangi tanganku, tentu aku tidak akan jatuh."

   Lui Hong menggandeng tangan gadis itu. Ketika tangan mereka saling genggam, rnereka merasakan telapak tangan mereka tergetar yang membuat jantung mereka berdebar.

   

Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini