Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 11


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



Ketika rnereka berdua tiba di tempat di mana kereta Jaksa Li dihadang gerombolan perampok, ternyata gerombolan perampok sudah melarikan diri dan suami-isteri Bangsawan yang berada dalam kereta itu dijaga para pengawal yang mengepung kereta. Melihat puteri mereka datang bersama pemuda penolong sambil berjalar bergandeng tangan, Li-Taijin (Pembesar Li) turun dari kereta dan menyambut kedatangan puteri mereka dengan alis berkerut. Sian Hwa cepat melepaskan tangannya dan ia lari ke kereta, lalu ia berangkulan dengan Ibunya sambil menangis. Dua orang wanita ini menangis karena bahagia melihat semua keluarga dalam keadaan selamat. Jaksa Li tadi merasa tidak senang melihat puterinya bergandengan tangan dengan pemuda itu. Akan tetapi karena maklum bahwa pemuda itu telah menolong mereka, bahkan lalu berkata.

   "Tai-hiap, terima kasih atas pertolonganmu. Kalau Taihiap tidak keberatan, harap Taihiap suka rnenemani karni sampai ke Kotaraja karena kami khawatir kalau-kalau gerombolan itu akan datang menghadang dan mengganggu lagi."

   Lui Hong yang sudah jatuh cinta kepada Li Sian Hwa, perasaan mesra yang belum pernah dia rasakan selama hidupnya, tentu saja merasa girang karena memang dia ingin sekali selalu berdekatan dengan gadis yang dia yakin juga menaruh hati kepadanya. Maka dia lalu menyanggupi dan demiklanlah, Lui Hong ikut mengawal perjalanan Bangsawan Li dan anak isterinya sampal Kotaraja. Karena Lui Hong memang berjasa besar, maka Jaksa Li setelah tiba di gedungnya di Kotaraja, mengundang Lu Hong memasuki kamar kerjanya. Setelah mereka duduk berdua dalam kamar itu Jaksa Li berkata kepada pemuda itu.

   "Lui-sicu (Orang Gagah Lui), kami sekeluarga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuanmu. Kami telah tiba di rumah dengan selamat dan kalau engkau hendak melanjutkan perjalananmu, kami akan rnenghadiahkan seekor kuda kepada mu."

   Akan tetapi Lui Hong tidak memperhatikan janji hadiah kuda ini. Dia melirik ke arah pintu tembusan ke dalam rumah lalu dia berkata.

   "Terima kasih, Taijin. Saya akan meIanjutkan perjalanan, akan tetapi saya mohon dapat pamit lebih dulu kepada Li Hujin (Nyonya Li) dan Li-Siocia (Nona Li)."

   Tentu saja yang amat dia inginkan adalah bertemu dan berpamit kepada L Sian Hwa! Pembesar itu mengerutkan alis dan menggelengkan kepalanya.

   "Tidak perlu, Sicu. Biar aku yang nanti memberitahu kepada mereka. Tidak pantaslah kalau mereka, apalagi Li-Siocia, bertemu denganmu, akan mendatangkan kesan tidak patut kalau diketahui orang lain. Kami harap engkau dapat mengerti bahwa puteri kami tidak semestinya bergaul secara bebas dengan seorang pemuda. Tentu Sicu memaklumi hal ini. Dan selain seekor kuda yang sudah disediakan oleh seorang perajurit pengawal di luar gedung untukmu, terimalah bingkisan ini sebagai upah dan balas jasamu."

   Muka Lui Hong rnenjadi kemerahan. Dia merasa makin kecewa dan marah sekali mendengar ucapan pembesar itu. Jelas pembesar itu melarang dia bertemu dengan Li Sian Hwa, walaupun kata-katanya halus namun tetap saja menyinggung perasaannya. Apalagi mengharapkan berjodoh dengan Li Sian Hwa, baru bertemu saja dilarang Ayahnya yang pembesar tinggi!

   "Terima kasih, Taijin, saga tidak rnengharapkan upah atau balas jasa! Selamat tinggal!"

   Dia lalu bergegas keluar dari dalam gedung tanpa mau menerima sekantung uang emas yang diberikan oleh Jaksa Li. Setelah tiba diluar gedung, benar saja ada seorang prajurit memegangi kendali kuda dan menyambut nya.

   "Taihiap, Li-Taijin mengutus saya untuk menyerahkan kuda ini kepadamu."

   Kata perajurit itu yang merupakan seorang di antara para pengawal Jaksa Li dan sudah mengenal Lui Hong.

   "Kembalikan saja kepadanya. Aku tidak membutuhkan kuda!"

   Kata Lui Hong dan dia melanjutkan langkah meninggalkan gedung menuju ke pintu gerbang Kotaraja. Belum jauh dia pergi, seorang wanita setengah tua memanggilnya dari samping.

   "Sstt... Lui Taihiap...!"

   Lui Hong menoleh dan wanita setengah tua itu berdiri di balik sebatang pohon di tepi jalan. Pemuda itu merasa heran dan menghampiri.

   "Taihiap, saya adalah pengasuh Li-Siocia dan ia mengutusku rnenyerahkan ini kepadamu."

   Diambilnya sesuatu dari balik ikat pinggangnya dan Lui Hong menerima sebuah bungkusan kecil berwarna merah. Setelah menyerahkan barang itu, si wanita lalu pergi dengan cepat seolah khawatir ketahuan orang. Lui Hong membuka bungkusan kain merah itu. Jantungnya berdebar tidak karuan ketika dia melihat bahwa isi kain itu adalah sebuah hiasan rambut berbentuk kupu-kupu dari emas dan ia teringat bahwa dahulu Sian Hwa mengenakan hiasan rambut itu. Juga terdapat lipatan surat yang cepat dibacanya.

   Lui Hong-ko.

   Aku selamanya akan nenanti sampai engkau datang padaku.

   LI Sian Hwa.

   Bermacam perasaan teraduk dalam dada Lui Hong. Perasaan bahagia karena pemberian hiasan rambut dan surat itu jelas membuktikan kasih sayang gadis itu kepadanya. Juga terdapat perasaan sedih sekali mengingat akan sikap Jaksa Li yang jelas tidak membolehkan dia berdekatan dengan Sian Hwa! Dengan hati mengandung kepedihan, Lui Hong lalu melanjutkan perjalanan, pulang ke Sung-Kian di mana dia terlibat dalam permusuhan antara Can-Kauwsu dan Song-Kauwsu sampai akhirnya dia ditunangkan dengan Can Pek Giok! Tentu saja dia tidak berani rnenolak keinginan Ayahnya dan Can-Kauwsu!

   Can Pek Giok adalah seorang gadis yang amat baik, cantik dan lihai sekali, cukup baik untuk menjadi seorang isteri. Bahkan terlalu baik untuk dia! Akan tetapi, bagaimanapun juga, tidak ada perasaan cinta kasih di antara mereka. Dia mencinta Li Sian Hwa, dan agaknya tidak mungkin mencinta wanita lain. Dan Sian Hwa juga mencintanya! Sedangkan Pek Giok? Sudah jelas, walaupun belum ada pengakuan, bahwa gadis itu saling mencinta dengan Song Han Bun! Semua pengalamannya dengan Li Sian Hwa terbayang dalam ingatannya ketika Lui Hong merebahkan diri di atas pembaringan dalam kamarnya dengan hati gelisah. Ayahnya mendengar dari Can-Kauwsu sendiri betapa Song-Kauwsu meminang Pek Giok untuk Han Bun, akan tetapi pinangan itu ditolak karena Pek Giok sudah ditunangkan dengan dia! Hal inilah yang membuat dia kini merasa gelisah dan bingung.

   "Tidak, aku harus menolak!"

   Tiba-tiba Lui Hong bangkit duduk.

   "Kalau aku menerirna, berarti aku dan Can Pek Giok akan hidup menderita. Mungkin hati Ayah-Ibu dan Can-Kauwsu berdua isterinya akan senang, akan tetapi kelak kalau melihat anak-anak mereka menderita, mereka pun akan ikut menderita. Bukan dua keluarga saja yang akan menderita, akan tetapi juga Li Sian Hwa dan Song Han Bun ikut menderita. Tidak, perjodohan ini harus kubatalkan!"

   Dengan tekad bulat pemuda itu keluar dari kamarnya lalu menuju ke ruangan depan. Kiranya Can-Kauwsu dan isterinya berada di ruangan depan, agaknya mereka datang berkunjung ke rumah keluarga Lui. Lui Song dan isterinya menyambut kunjungan Gurunya itu dengan hormat dan kini mereka bercakap-cakap dengan Can-Kauwsu berdua.

   Kunjungan Can-Kauwsu bersama isterinya itu membicarakan urusan mereka dengan Song-Kauwsu, terutama sekali tentang pinangan dari Song-Kauwsu. Melihat bahwa Ayah-Ibunya duduk bersama Can-Kauwsu dan isterinya, Lui Hong merasa jantungnya berdebar keras, dan tubuhnya agak gemetar karena tegang. Keberaniannya seketika kuncup dan keraguan memenuhi hatinya. Bagaimana mungkin dia menyatakan keinginannya untuk membatalkan perjodohannya dengar Pek Giok di depan Ayah-Ibu gadis itu? Akan tetapi karena dia sudah tiba ambang pintu ruangan itu dan sepasan tamu itu telah melihatnya, maka dia tidak dapat mundur lagi. Dia melangkah masuk dan memberi hormat kepada Can-Kauwsu dan isterinya. Melihat Lui Hong, Can-Kauwsu tampak gembira dan berkata dengan wajah berseri.

   "Ah, kebetulan sekali engkau datang, Lui Hong. Kami berempat memang sedang membicarakan tentang dirimu!"

   "Membicarakan tentang diri saya, Sukong? Bicara tentang apa?"

   Tanya Lui Hong.

   "Ihh, engkau ini bagaimana, Lui Hong?"

   Tegur nyonya Can.

   "Kenapa menyebut calon Ayah mertuamu dengan sebutan Sukong (Kakek Guru)? Biarpun dia memang Guru dari Ayahmu, akan tetapi engkau menjadi calon mantunya, maka engkau seharusnya menyebutnya Gakhu (Ayah Mertua)!"

   "Biarlah."

   Kata Can-Kauwsu.

   "Mungkin dia masih malu karena belum biasa. Nanti kalau sudah dilaksanakan pernikahannya, tentu dengan sendirinya dia akan menyebut aku Gakhu. Lui Hong, ketahuilah bahwa tadi Ayah-Ibumu dan kami membicarakan tentang pernikahanmu dengan Pek Giok. Kami bermaksud untuk merayakan hari pernikahan itu secepatnya, dalam bulan ini juga."

   Lui Hong terkejut sekali dan dia memandang kepada Ayah dan Ibunya. Mereka tersenyum dan mengangguk, membenarkan ucapan Can-Kauwsu.

   "Mengapa... mengapa begitu tergesa-gesa...?"

   Lui Hong bertanya sambil memandang Ayahnya. Lui Siong tidak menjawab dan memandang wajah Can-Kauwsu, seolah memberi kesempatan kepada Gurunya itu untuk memberi penjelasan, dan menjawab pertanyaan Lui Hong. Agaknya Can-Kauwsu maklum akan apa yang terkandung dalam pandang mata Lui Siong itu, maka dia lalu berkata kepada calon mantunya.

   "Begini, Lui Hong. Sesungguhnya, mengingat bahwa usiamu baru sembilan belas tahun, dan Pek Giok baru tujuh belas tahun, kami berdua dan orang-tuamu juga tidak tergesa-gesa ingin segera di langsungkan pernikahan antara engkau dan Pek Giok. Akan tetapi terjadi hal yang tidak disangka-sangka. Setelah Pek Giok dan Song Han Bun selamat dari penculikan, Song-Kauwsu ingin mengubah permusuhan menjadi ikatan kekeluargaan dan dia mengusulkan, bahkan secara Iangsung meminang Pek Giok untuk di-jodohkan dengan Song Han Bun. Tentu saja kami menolaknya dan karena muncul urusan itu maka kami berpendapat agar perjodohan antara engkau dan Pek Giok segera dilangsungkan dengan pernikahan."

   "Ah, usul Song-Kauwsu itu bagus sekali!"

   Kata Lui Hong.

   "Hong-ji (Anak Hong)!"

   Lui Song membentak puteranya.

   "Apa yang kau katakan ini? Can Pek Giok telah bertunangan denganmu, mana mungkin menerima pinangan orang lain?"

   Lui Siong tentu saja merasa takut kepada Gurunya karena ucapan puteranya itu sungguh tidak pada tempatnya.

   "Ayah, menurut pendapatku, pinangan Song-Kauwsu itu baik sekali karena hal itu kalau dilaksanakan, akan menghapus semua permusuhan lama berbalik menjadi ikatan keluarga. Tentang pertunangan dengan diriku, ikatan itu baru pertunangan, belum terlambat kalau dibatalkan dan menerima pinangan Song-Kauwsu itu."

   "Orang muda, jaga mulutmu!"

   Nyonya Can membentak dan wanita yang keras hati ini marah sekali.

   "Ucapanmu itu berarti bahwa engkau menolak anakku. Kalau engkau tidak suka kepada Pek Giok, kenapa dulu engkau mau ketika di jodohkan dengannya? Dan sekarang engkau hendak membatalkan ikatan jodoh itu, apakah berarti engkau hendak menghina kami keluarga Can?"

   "Lui Hong, anak keparat kau!"

   Lui Siong membentak dengan marah sekali karena tentu saja dia merasa sangat tidak enak hati terhadap gurirnya.

   "Anak durhaka! Lebih baik melihat engkau mati daripada melihat engkau menghina kami semua!"

   Lui Song mencabut Siang-Kiam (sepasang pedang) dari punggungnya dan segera menyerang puteranya. Melihat dirinya diserang Ayahnya sendiri, Lui Hong tidak mengelak, agaknya dia sudah pasrah dan siap mati di tangan Ayahnya!

   "Tring-tranggg...!"

   Bunga api berpijar dan sepasang pedang di tangan Lui Siong itu terpental karena di tangkis sepasang siang-pit yang digunakan Can-Kauwsu untuk menangkis serangan itu.

   "Sabar dulu, Lui Siong!"

   Kata Can-Kauwsu.

   "Biarkan aku bicara dengan puteramu."

   Setelah menyimpan siang-pit itu, Can-Kauwsu menghadapi Lui Hong dengan muka merah karena bagaimanapun juga dia merasa tersinggung dengan ucapan Lui Hong yang mengusulkan dibatalkannya ikatan jodohnya dengan Pek Giok dan menerima pinangan Song-Kauwsu.

   "Lui Hong, coba jelaskan usulmu yang aneh itu! Benarkah engkau hendak mengandalkan kepandaianmu dan berani menghina kami dan orang-tuamu sendiri, ataukah engkau mempunyai alasan lain?"

   Lui Hong menjura dengan hormat kepada Can-Kauwsu, lalu menjawab dengan suara yang tegas karena memang tadi dia sudah mengambil keputusan untuk berterus terang, demi kebahagiaan Can Pek Giok, Song Han Bun, Li Sian Hwa, dan dia sendiri.

   "Sungguh sama sekali saya tidak berani dan tidak berniat untuk menyinggung hati apalagi menghina Sukong berdua dan Ayah-Ibu, akan tetapi saya merasa yakin bahwa kalau perjodohan ini dilanjutkan, akibatnya hanya akan mendatangkan kesengsaraan dan penderitaan batin. Saya yakin bahwa ikatan perjodohan Nona Can dengan saya terjadi karena keinginan hati orang-tua kedua plhak, akan tetapi sama sekali bukan kehendak kami. Tidak ada hubungan cinta kasih di antara kami walaupun saya amat menghormati dan mengagumi Nona Can. Saya yakin bahwa Nona Can mencinta pemuda lain dan kalau saya tidak salah, ia mencinta Song Han Bun. Adapun saya sendiri, terus terang saja perasaan cinta dalam hati saya telah dimiliki seorang gadis lain. Karena itulah maka saya melihat bahwa ikatan perjodohan antara Nona Can dan Song Han Bun baik sekali dan akan membahagiakan hati mereka berdua."

   "Lui Hong, engkau anak durhaka, membikin malu orang-tua!"

   Bentak Lui Song marah.

   "Engkau membatalkan perjodohan? Sungguh penghinaan besar bagi kami!"

   Kata nyonya Can dengan muka berubah marah. Nyonya Lui Siong menangis sambil memandang wajah puteranya. Wanita itu ikut merasa sedih dan malu, akan tetapi ia tidak berani mengeluarkan kata-kata, hanya dapat menangis karena ia merasa iba kepada puteranya yang duduk dengan muka pucat.

   Melihat isterinya marah dan mulai menitikkan air mata pula, Can-Kauwsu menghela napas panjang. Dia teringat akan perjodohannya dengan isterinya. Dahulu, isterinya juga seorang gadis Bangsawan, puteri seorang pembesar di Kotaraja. Orang-tua isterinya itu, Bun Taijin (Pembesar Bun) tidak rela kalau anaknya, Bun Cui Lian berjodoh dengan seorang pemuda biasa, bukan Bangsawan bukan hartawan. Akan tetapi karena dia sudah saling mencinta dengan Bun Cui Lian, maka mereka berdua lalu melarikan diri dan menikah tanpa restu orang-tua Bun Cui Lian. Maka, mendengar ucapan Lui Hong, dia dapat merasakan kebenarannya. Dia pun teringat akan sikap puterinya terhadap Song Han Bun dan memang dia sudah menduga bahwa ada sesuatu dalam hubungan batin antara Pek Giok dan Han Bun.

   "Sudahlah...!"

   Can-Kauwsu berkata, lebih ditujukan kepada isterinya.

   "Kalau memang bukan jodoh, siapa pun tidak dapat memaksanya. Sebaliknya kalau memang sudah jodohnya, apa pun halangannya akhirnya akan bersatu juga..."

   Ucapan Gurunya ini seperti pedang menikam hati Lui Siong. Dia merasa bersalah. Dia merasa bahwa puteranya telah menghancurkan perasaan hati Can-Kauwsu dan isterinya, dan sebagai Ayah, dia merasa bertanggung jawab.

   "Anak durhaka! Kalau engkau memutuskan ikatan perjodohan ini, pergilah dan jangan mengaku Ayah lagi kepadaku!!"

   Telunjuk tangan kirinya menuding ke arah pintu.

   Untuk membela Gurunya, Lui Siong mengusir putera yang menjadi anak tunggalnya! Wajah Lui Hong menjadi pucat sekali dan sekali melompat dia berkelebat keluar dari pintu rumah dan pergi meninggalkan rumah tanpa membawa apa pun! Hatinya hancur. Dia telah diusir Ayahnya, tidak diakui sebagai anak! Padahal dia amat menghormati dan mengasihi Ayah-Ibunya. Kalau saja Ayahnya dan Ibunya membujuk dengan halus, tentu akhirnya dia mau berkorban, memenuhi kehendak orang-tuanya menikah dengan Pek Giok. Akan tetapi dia diusir! Dengan hati seperti disayat-sayat dan tubuh lunglai dia lari meninggalkan kota Sung-Kian! Nyonya Lui Siong menangis tersedu-sedu melihat puteranya diusir dan melarikan diri. Can-Kauwsu menghela napas panjang dan berkata kepada Lui Siong.

   "Lui Siong, engkau terlalu dibakar nafsu amarahmu sehingga mengusir puteramu sendiri. Sebetulnya, apa yang dikemukakan Lui Hong itu patut dipertimbangkan. Kami sendiri agaknya tidak akan memaksa kalau seandainya Pek Giok tidak ingin berjodoh dengan Lui Hong dan mencinta pemuda lain."

   Can-Kauwsu dan isterinya lalu berpamit dan pulang dengan hati merasa tidak enak sekali. Tadi mereka datang dengan gembira, dengan harapan akan segera dapat melangsungkan pernikahan puteri mereka. Tidak tahunya akibatnya sungguh amat menyedihkan! Song Han Bun berlari pulang dengan hati remuk-redam. Mimpinya yang muluk-muluk dan mesra ketika Pek Giok berada dalam pelukannya tadi, kini berubah menjadi mimpi yang menyerarnkan. Pek Giok sudah bertunangan dengan pemuda lain! Kenyataan ini merupakan setan menakutkan yang mengejar-ngejarnya kemana saja dia melarikan diri. Dia tidak ingat lagi bagaimana dia dapat tiba di rumahnya dan terus dia membaringkan diri di dalam kamarnya.

   Dia mendengar suara tangisan Ibunya yang menangisi jenazah Bwee Eng, mendengar pula kesIbukan-kesIbukan di ruangan depan ketika keluarganya menGurus empat jenazah Song Bwee Eng, Lee Kim Lun, Lee Kim Lian, dan juga jenazah Tok Liong Thaisu. Akan tetapi dia tidak mau keluar, tidak mempedulikan semua itu, tenggelam ke dalam kesedihannya sendiri yang terasa amat menekan perasaan hatinya. Enci Bwee Eng jauh lebih beruntung daripada aku, demikian pikirnya dengan kedua mata ditekankan pada bantal karena air matanya menetes keluar. Setelah meninggal dunia, Encinya itu tidak perlu merasakan penderitaan yang hebat seperti ketika ia masih hidup dan terlanjur menjadi isteri seorang suami yang jahat dan keji seperti Lee Kim Lun. Ah, kalau saja dia mati seperti Encinya, tentu dia pun tidak akan seberat ini menanggung duka! Dia yakin bahwa dia dan Pek Giok saling menyayang, saling mencinta.

   Akan tetapi, mereka tidak mungkin berjodoh karena Pek Giok telah bertunangan dengan Lui Hong, akan menjadi isteri pemuda itu! Dia telah terlambat. Dan semua ini dikarenakan adanya permusuhan antara Ayahnya dan Can-Kauwsu. Dia kini menjadi korbannya. Tiba-tiba dia terkejut sekali mendengar suara gerengan seperti gerengan seekor binatang buas. Akan tetapi gerengan ini mengandung daya yang menggetarkan seluruh rumah keluarga Song. Han Bun segera keluar dari kamarnya dan menuju ke ruangan depan karena suara gerengan dahsyat itu datangnya dari ruangan depan. Setelah tiba di ruangan depan dimana, ditaruh empat buah peti mati berjajar, dia melihat Ayahnya, Song Swi Kai atau Song-Kauwsu (Gurut silat Song), berdiri memandang seorang Kakek yang berdiri di depan peti mati yang berisi jenazah Bu-Eng-Kwi Tok Liong Thaisu.

   Han Bun berhenti di pintu dan memanadang Kakek ltu penuh perhatian dan dia terkejut bukan main. Kakek itu berusia tua sekali, tentu hampir delapan puluh tahun usianya. Tubuhnya tinggi kurus dan mukanya putih, hanya tengkorak terbungkus kulit, mengerikan. Kepalanya yang botak tertutup sorban putih dan melihat hidungnya yang seperti hidung burung kakatua, kulitnya yang coklat kehitaman, mudah diduga bahwa dia tentu berBangsa Turki. Pakaiannya seperti jubah Pendeta, dan yang mengerikan adalah sepasang matanya yang cekung akan tetapi mengeluarkan sinar mata mencorong seperti mata kucing dalam kegelapan. Tangan kirinya memegang sebatang tongkat ular kobra. Tiba-tiba Kakek itu menggerakkan tangan kirinya yang terbuka rnenampar kearah tutup peti mati Bu-Eng-Kwi Tok Liong Thaisu.

   "Braakkk...!"

   Tutup peti mati itu terbuka dan terlempar ke bawah sehingga tampak Jenazah Bu-Eng-Kwi Tok Liong Thaisu. Kakek itu mendekatkan mukanya mengamati jenazah itu. Melihat Ieher dan dada jenazah itu terbuka, tiba-tiba Kakek bermuka tengkorak itu menangis!

   "Hu-hu-huuuh... Bu-Eng-Kwi... kenapa nasibmu begini?"

   Kemudian dengan slkap beringas dia memandang kepada Song-Kauwsu.

   "Orang she Song, engkau sudah berbaik hati menGurus jenazah murid keponakanku. Akan tetapi tetap saja engkau akan kubunuh kalau tidak cepat rnemberitahu kepadaku siapa yang telah membunuh Bu-Eng-Kwi!"

   Dengan hati masih marah dan sakit karena lamarannya ditolak Can-Kauwsu, Song-Kauwsu menjawab.

   "Siapa lagi yang membunuh mereka ini kalau bukan keluarga Can-Kauwsu?"

   Baru saja mendengar ini, tubuh Kakek bermuka tengkorak putih itu berkelebat lenyap dari situ. Diam-diam Song-Kauwsu terkejut bukan main karena dia maklum bahwa Kakek itu benar-benar rnemiliki kepandaian yang hebat sekali. Diam-diam dia merasa khawatir. Dia bukan orang yang memiliki watak kejam dan jahat. Biarpun dia merasa sakit hati kepada Can-Kauwsu karena pinangannya ditolak, namun kini melihat kelihaian Kakek itu dan membayangkan betapa keluarga Can-Kauwsu akan terancam bahaya besar, dia menjadi gelisah sekali. Ketika dia melihat puteranya berdiri di ambang pintu, Song-Kauwsu cepat berkata kepada Song Han Bun.

   "Han Bun, cepat pergilah ke rumah Can-Kauwsu dan bantulah mereka yang terancam Kakek tadi!"

   Tanpa diperintah dua kali, Han Bun sudah berkelebat lenyap dan mengejar Kakek itu. Karena dia juga memiliki ilmu berlari cepat yang hebat, dan karena Kakek itu agaknya belum mengetahui di mana rumah Can-Kauwsu sehingga harus bertanya-tanya orang, tak lama kemudian Han Bun berhasil menyusulnya dan dia cepat menghadang Kakek itu.

   "Lo-Cianpwe (Orang-tua Terhormat), harap berhenti dulu!"

   Kata Han Bun. Kakek itu berdiri dan menatap tajam dengan sepasang matanya yang mencorong seperti berapi. Lalu dia bertanya dengan suaranya yang seperti mengandung gerengan.

   "Heh, orang muda, engkau siapakah berani menghadang perjalananku?"

   "Aku Song Han Bun, putera Song-Kauwsu yang baru saja kau kunjungi."

   "Hemm, Song-Kauwsu telah berbaik hati merawat jenazah murid keponakanku dan memberitahu kepadaku siapa pembunuh Bu-Eng-Kwi. Maka dia tidak ku ganggu dan mau apa engkau datang menghadangku? Awas, bicara yang benar atau aku akan membunuhmu karena kelancanganmu ini!"

   Melihat sikap dan mendengar kata-kata yang diucapkan Kakek itu, Han Bun mendapat kesan bahwa Kakek itu tentu seorang Datuk sesat yang biasa bertindak kejam.

   "Lo-Cianpwe, aku hanya ingin memberitahu kepadamu bahwa engkau salah besar kalau marah dan hendak membalas dendam alas kematian murid keponakanmu Bu-Eng-Kwi kepada keluarga Can."

   Si Muka Tengkorak itu melebarkan matanya yang sipit.

   "Eh, bocah lancang kenapa kau berkata begitu? Mereka mernbunuh murid keponakanku, maka tentu saja aku marah dan akan membalas dendam kepada mereka!"

   "Lo-Cianpwe, apakah engkau tidak mengenal murid keponakanmu yang bernama Bu-Eng-Kwi Tok Liong Thaisu itu? Dia itu membela murid-muridnya, Lee Kim Lun dan Lee Kim Lian yang jahat dan kejam. Bu-Eng-Kwi itu pun jahat dan amat kejam, maka kalau dia terbunuh, bukan kesalahan yang membunuhnya, melainkan dia mati karena ulah kejahatannya sendiri!"

   "Blarrr...!"

   Tongkat ular itu dipukulkan ke bawah, mengenai batu yang menjadi hancur lebur. Beberapa orang yang kebetulan lewat di situ, terkejut dan cepat menjauhkan diri, agaknya ngeri melihat Kakek bermuka tengkorak itu.

   "Bocah keparat! Kalau engkau berani mengatakan murid keponakanku itu jahat dan layak mati, maka apakah kau anggap aku, Paman Gurunya yang terkenal dengan sebutan Pek-Bin Giam-Lo (Raja Maut Muka Putih) ini juga jahat?"

   "Hemm, hal itu tergantung dari sikap dan perbuatanmu sendiri, Pek-Bin Giam-Lo. Kalau engkau hendak membela Bu-Eng-Kwi yang jahat, maka tentu saja engkau juga tersesat. Kalau engkau berkeras hendak membalas kematian Bu-Eng-Kwi, tidak perlu engkau mencari jauh-jauh karena yang membunuhnya adalah aku sendiri!"

   Sepasang mata itu mencorong seperti menyemburkan api, akan tetapi Han Bun yang tidak ingin berkelahi di dalam kota dan akan menggegerkan penduduk, cepat berkata.

   "Kalau engkau hendak membalas dendam kepadaku, bukan di sini tempatnya, mari kita pergi ke luar kota, di tempat yang sepi!"

   Tanpa menanti jawaban, Han Bun segera melompat dan mempergunakan ilmu berlari cepat keluar dari kota itu. Dia memang sengaja hendak menguji sampai di mana kepandaian Kakek yang berjuluk Pek-Bin Giam-Lo itu, maka dia mengerahkan ilmunya berlari cepat keluar dari kota. Kakek yang kini menjadi marah sekali segera melakukan pengejaran. Biarpun Kakek itu dapat berlari cepat pula, namun dengan lega Han Bun melihat bahwa dalam hal ilmu berlari cepat, Kakek itu masih belum mampu menandinginya. Setelah tiba di tempat sepi, jauh di luar kota Sung-Kian, Han Bun berhenti berlari dan dia melihat Kakek itu datang. Ketika Pek-Bin Giam-Lo berhenti di depannya, dia melihat pernapasan Kakek itu agak memburu. Hal ini juga menandakan bahwa daya tahan Kakek yang usianya sudah mendekati delapan puluh tahun ini tidak begitu kuat lagi.

   "Hei, bocah she Song! Benarkah pengakuanmu tadi bahwa engkau yang membunuh Bu-Eng-Kwi?"

   "Benar, juga dua orang muridnya. Aku yang membunuh mereka dan akulah yang bertanggung jawab!"

   "Mampuslah!"

   Kakek itu mengeluarkan bentakan nyaring dan tongkat ularnya menyambar dahsyat. Han Bun yang sudah siap sejak tadi sudah mencabut pedangnya dan sengaja dia menggunakan pedangnya untuk menangkis. Dia mengerahkan tenaganya dan menggunakan jurus pedang Hun-In Toan-San (Awan Melintang Memotong Gunung), dari ilmu pedang Bu-Tong Kiam-Hoat yang amat kuat dalam pertahanan, untuk menangkis tongkat ular itu.

   "Cringg...!!"

   Bunga api berpijar dan Han Bun merasa betapa tangannya yang memegang pedang tergetar hebat. Tahulah dia bahwa biarpun dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) Kakek itu masih belum mampu menandinginya, namun ternyata dia memiliki sinkang (tenaga sakti) yang kuat sekali. Dia harus berhati-hati kalau mengadu tenaga karena sinkang dari Pek-Bin Giam-Lo itu diperkuat dengan kekuatan sihir atau ilmu hitam. Han Bun segera menggerakkan pedangnya memainkan Thian-Hong Kiam-Sut. Ilmu pedang yang dia dapatkan dari Cin-Po Yan-Cu ini memiliki daya serang yang amat hebat, sedangkan untuk membela diri dia menggunakan ilmu pedang dari Bu-Tong-Pai yang kuat daya pertahanannya. Pek-Bin Giam-Lo yang marah sekali dan amat bernafsu untuk membunuh Han Bun, merasa kecelik.

   Tak disangkanya bahwa pemuda yang tampaknya masih remaja itu demikian lihainya. Dengan semua pengalamannya yang amat banyak dia mengenal pula ilmu pedang Bu-Tong-Pai, akan tetapi dia tidak mengenal Thian-hong Kiam-Sut. Kepandatannya yang tinggi dan ilmu silatnya yang bermacam-macam ternyata hanya mampu mengimbangi gerakan Han Bun yang cepat. Pertandingan itu berlangsung seru bukan main dan diam-dilam Han Bun harus mengakui bahwa selama dia meninggalkan perguruan, baru sekarang, dia bertemu dengan seorang lawan yang benar-benar tangguh sekali. Tidak mudah baginya untuk merobohkan Kakek itu, akan tetapi dia masih memiliki harapan besar. Dilihatnya pernapasan Kakek itu makin terengah. Dia merasa yakin bahwa akhirnya dia akan mampu merobohkan Kakek itu kalau lawannya yang tua itu sudah kehabisan napas dan tenaga.

   Perhitungan Han Bun memang benar. Setelah lewat seratus jurus, Pek-Bin Giam-Lo mulai kelelahan. Kakek ini merasa penasaran sekali. Kalau sejak tadi dia hanya mengandalkan ilmu silatnya saja, hal itu karena dia merasa yakin akan mampu merobohkan lawannya yang muda hanya dengan tenaga sakti dan ilmu tongkat ularnya. Selama ini belum pernah dia dikalahkan lawan, apalagi lawan yang masih begini muda.

   (Lanjut ke Jilid 11)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11

   Akan tetapi setelah seratus jurus, dia benar-benar terkejut dan penasaran karena tenaganya mulai berkurang saking lelahnya dan dia sama sekali belum mampu merobohkan lawannya. Jangankan merobohkan, mendesak pun dia tidak mampu. Keadaan mereka seimbang dan sebentar lagi dia akan kehabisan napas dan tenaga dan kalau sudah begitu, tentu dia yang akan roboh!

   Mulailah Kakek ahli sihir ini mempersiapkan kepandaian sihirnya. Dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan mulutnya berkemak-kemik membaca mantera dalam bahasa asing. Tiba-tiba dari dalam perutnya keluar gerengan seperti suara binatang buas. Gerengan itu amat dahsyat dan menggetarkan. Bahkar Han Bun yang memiliki tenaga sakti kuat, tetap saja tergetar dan jantungnya terguncang hebat karena dia menerima serangan langsung oleh getaran suara itu. Cepat Han Bun mengerahkan sinkang untuk melindungi isi dadanya dan pada saat itu Pek-Bin Giam-Lo melemparkan tongkat ularnya ke atas dan... tongkat itu berubah menjadi seekor ular yang besarnya sepaha manusia dewasa! Dan ular itu terbang di udara, menyemburkan uap hitam tebal yang menyerang Han Bun.

   Pemuda ini terkejut sekali, berusaha untuk menyerang ular itu dengan pedangnya. Akan tetapi selain ular itu dapat bergerak cepat menghindarkan diri dari bacokan pedang, juga uap hitam itu membuat pandang mata menjadi gelap. Ular itu seolah seekor naga yang bermain-main di antara awan hitam. Han Bun merasa betapa kepalanya pening ketika napasnya memaksa dia menyedot uap hitam. Bau yang amat keras menyengat hidung menyesakkan pernapasannya dan pada saat itu, terdengar suara Pek-Bin Giam-Lo membaca mantera lebih nyaring. Ular terbang itu meluncur dengan moncongnya terbuka menyerang kepala Han Bun. Pemuda yang sudah pening ini dan pandang matanya gelap masih dapat miringkan kepala untuk mengelak, akan tetapi pada saat itu, tangan Pek-Bin Giam-Lo menotok mengenai tengkuknya!

   "Tukkk...!"

   Tubuh Han Bun terpelanting. Akan tetapi dia masih memegang pedangnya dan melihat Kakek itu mendekatinya, dia memutar pedang melindungi dirinya. Dia merasa kepalanya nyeri bukan main, rasanya seperti ratusan jarum menusuk-nusuk isi kepalanya. Dia melompat bangkit lalu melarikan diri secepatnya karena dia tidak dapat menahan lagi rasa nyeri dalam kepalanya. Pek-Bin Giam-Lo terkekeh.

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dia tidak mengejar karena dia maklum bahwa dalam hal berlari cepat, dia kalah jauh, apalagi kini dia juga merasa lelah sekali. Selain itu, dia yakin bahwa setelah menerima totokannya tadi, pemuda itu tidak mungkin dapat hidup lama. Maka, setelah menyimpan kembali ilmu sihirnya dan memegang kembali tongkat ularnya, dia melangkah kembali ke kota Sung-Kian untuk mencari keluarga Can-Kauwsu. Dengan berjalan santai, Pek-Bin Giam-Lo dapat memulihkan tenaganya yang terkuras ketika dia melawan Han Bun sampai seratus jurus tadi. Kini dia bersikap hati-hati. Ternyata terdapat orang muda yang amat lihai di Sung-Kian. Tidak heran kalau Bu-Eng-Kwi, murid keponakannya yang dia tahu cukup lihai itu sampai tewas. Dia harus berhati-hati. Siapa tahu keluarga Can-Kauwsu juga memiliki orang yang lihai seperti pemuda she Song tadi.

   Karena usia, maka tenaganya sudah banyak berkurang dan kini dia tidak lagi dapat mengandalkan ilmu silat dan daya tahan tubuhnya. Dia lebih mengandalkan ilmu sihirnya. Tadi pun kalau dia tidak memiliki ilmu sihir yang hebat, kiranya belum tentu dia mampu mengalahkan Song Han Bun. Karena dia merasa bahwa dia harus beristirahat cukup lama, maka Pek-Bin Giam-Lo tidak mau langsung mencari keluarga Can-Kauwsu. Dia menyewa sebuah kamar di rumah penginapan dan duduk bersila dalam kamarnya untuk memulihkan semua tenaganya sehingga segera kembali. Dia tidak ingin menarik perhatian banyak orang di kota itu, maka dia mengambil keputusan untuk bergerak malam nanti. Sore hari itu, Pek-Bin Giam-Lo memasuki rumah makan di bagian depan rumah penginapan itu dan dengan royal dia memesan masakan yang mewah dan mahal.

   Para pelayan rumah makan sempat terheran-heran betapa satu orang memesan masakan yang pantasnya untuk makan lima orang! Pek-Bin Giam-Lo makan dengan lahapnya dan minum banyak arak sampai habis lima guci besar arak. Memang luar biasa sekali orang ini. Baru cara dia minum arak sampai sebanyak itu saja sudah membuat banyak orang melongo, dan hebatnya, dia sama sekali tidak pernah tampak mabok. Di antara para tamu yang makan di rumah makan itu, terdapat seorang Kakek berusia sekitar enam puluh lima tahun Kakek ini amat sederhana, pakaiannya serba putih dan rambutnya yang suda putih itu diikat dengan kain yang berwarna putih pula. Dia hanya sekali memandang ke arah Pek-Bin Giam-Lo, lalu, dia makan nasi dan sayur sederhana tanpa daging, juga minumnya hanya air teh biasa.

   Akan tetapi, walaupun pelayan rumah makan yang melayani tamu yang pesanan makanannya sederhana dan serba murah itu memperlihatkan sikap kurang hormat kepadanya, ketika selesai makan dan membayar harga makanan, Kakek berpakaian serba putih itu memberinya sekeping uang emas dan mengatakan bahwa kembalinya atau sisa uangnya di berikan sebagai hadiah melayani kepada si Pelayan. Tentu saja pelayan itu melongo. Belum pernah selamanya dia menerima hadiah yang demikian besarnya dari langganan kaya raya maupun Bangsawan sekalipun. Bagaikan seekor ayam makan beras dia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengucapkan terima kasih dan mengantar kepergian Kakek itu sampai ke pintu luar! Kakek melangkah perlahan sambil tersenyum dan berbisik kepada diri sendiri,

   "Manusia lebih menghormati emas daripada manusia lain."

   Sementara itu, Pek-Bin Giam-Lo tanpa mempedulikan pandangan orang-orang yang berada di situ yang merasa heran melihat dia makan minum demikian gembulnya, menghabiskan makanan dan arak dalam cawan Terakhir, kemudian dia bangkit berdiri sambil mengusap minyak yang berlepotan di bibirnya dengan ujung lengan jubahnya yang lebar. Seorang pelayan cepat menghampirinya dan memperlihatkan catatan harga makanan dan minuman yang dipesan dan yang sudah dihabiskannya itu. Pek-Bin Giam-Lo membaca angka harga makanan itu lalu bertanya.

   "Apakah aku harus membayarnya?"

   "Tentu saja, semua makanan dan minuman harus dibayar, tidak ada yang diberikan dengan gratis!"

   Kata pelayan itu dengan agak kasar karena pertanyaan Kakek itu dianggapnya aneh dan mengada-ada. Mana ada makanan dan minuman, apalagi sebanyak itu yang tidak harus dibayar?

   "Berapa aku harus hayar?"

   Pelayan itu kembali menyodorkan catatannya. Pek-Bin Giam-Lo menggelengkan kepalanya.

   "Aku tidak bisa baca. Katakan, berapa aku mesti bayar?"

   Pelayan yang tadi telah menerima hadiah dari Kakek baju putih, tersenyum dan dia melihat kesempatan baik sekali untuk mendapatkan keuntungan, maka mendengar bahwa Kakek yang mukanya mengerikan seperti tengkorak itu tidak bisa membaca, dia cepat menjawab.

   "Semua sepuluh tail perak."

   Tentu saja yang ditulis oleh bagian keuangan pada nota itu hanya setengahnya! Pek-Bin Giam-Lo terkekeh dan tangan kirinya menyambar ke depan.

   "Aduhh...!"

   Pelayan itu berteriak karena segenggam rambutnya telah jebol dicabut oleh Kakek itu. Akan tetapi dia tidak jadi marah karena Kakek itu telah menyodorkan beberapa potong uang perak yang berkilauan yang beratnya sekitar sepuluh tail! Dia cepat menerima uang itu dan biarpun kepalanya masih berdenyut-denyut nyeri, mulutnya tersenyum. Dia telah memperoleh "Rejeki"

   Lagi sebanyak lima tail perak, walaupun sekali ini rejekinya merupakan hasil korupsi!

   Akan tetapi setelah Pek-Bin Giam-Lo pergi jauh meninggalkan rumah makan itu dan Si Pelayan hendak menyetorkan uang sebanyak lima tail perak kepada bagian keuangan, dia menjerit sehingga semua orang terkejut. Ketika mereka menghampiri, pelayan itu berdiri dengan muka pucat memandang kedua tangannya yang tengadah dan di kedua telapak tangannya itu tampak segumpal rambut! Kiranya. uang atau potongan perak yang diberikan Pek-Bin Giam-Lo kepada pelayan itu adalah rambut Si Pelayan itu sendiri yang tadi dicabut oleh Pek-Bin Giam-Lo. Perak itu hanya merupakan hasil ilmu sihir Kakek itu! Yang kebingungan dan menyesal adalah Si Pelayan karena kini dia bukan untung lima tail, bahkan harus mengeluarkan uang lima tail perak untuk membayar harga makanan dan minuman Kakek muka tengkorak! Hadiah dari Kakek baju putih itu kini habis untuk membayar harga makanan itu!

   Pada sore hari itu, Pek Giok berada di dalam kamarnya. ia merasakan derita batin yang serupa dengan yang dirasakan Song Han Bun. Kini ia merasakan benar bahwa ia sejak semula telah jatuh cinta kepada Han Bun. Hanya perasaan cintanya itu agak terselubung oleh keadaan mereka berdua sebagai putera-puteri dua keluarga yang bermusuhan. Ketika melihat kenyataan bahwa Han Bun adalah putera Song-Kauwsu yang menjadi musuh besar Ayahnya, maka tentu saja ia menjadi marah dan ia tidak merasakan adanya cinta itu dalam hatinya.

   Akan tetapi nasib mempertemukan mereka sebagai tawanan Lee Kim Lun dan Lee Kim Lian yang dibantu Bu-Eng-Kwi Tok Liong Thai-Su. Mereka berdua nyaris terhina dan terbunuh dan setelah mereka terbebas dari cengkeraman bahaya maut, berhasiI membunuh orang-orang jahat itu, ketika Han Bun merangkulnya, barulah ia melihat kenyataan bahwa sejak semula, dalam pertemuan pertama kali dengan pemuda itu, ia sudah jatuh cinta! Dapat dibayangkan betapa hancur rasa hatinya ketika dalam keadaan baru terbebas dari bahaya maut, mendadak Song-Kauwsu mengajukan pinangan kepada Ayahnya, untuk menjodohkan ia dengan Han Bun! Akan tetapi Ayahnya terpaksa menolak pinangan itu karena ia telah dipertunangkan dengan Lui Hong!

   Tadinya, ketika ia ditunangkan dengan Lui Hong, ia pun sama sekali tidak mempunyai perasaan cinta kepada Lui Hong. Akan tetapi ia juga merasa kagum dan suka kepada pemuda yang berkepandaian tinggi dan bersikap sopan dan halus itu, apalagi ia juga tidak tega menolak keinginan orang-tuanya. Maka ia tidak menolak dan menerima ikatan perjodohan itu. Pada waktu itu ia belum yakin akan perasaan cintanya kepada pemuda yang dijumpainya dan yang ternyata kemudian adalah Song Han Bun putera musuh besar Ayahnya. Akan tetapi, kini cintanya kepada Han Bun telah berkembang, maka tenu saja ia merasa berduka sekali karena tidak mungkin ia berjodoh dengan pemuda itu. Walaupun kini tidak ada lagi permusuhan antara Ayahnya dan Song-Kauwsu, bahkan Song-Kauwsu telah melamarnya untuk Han Bun, namun ia telah terikat tali perjodohan dengan Lui Hong.

   Pukulan batin berikutnya ia terima ketika ia mendengar Ayah-Ibunya pulang dengan marah-marah dan menceritakan bahwa Lui Hong membatalkan ikatan perjodohan itu! Pemuda yang ditunangkan dengannya itu membatalkan perjodohan dengan alasan bahwa dia telah mencinta seorang gadis lain! Sebetulnya, berita ini sama sekali tidak mendatangkan rasa kecewa atau duka dalam hatinya, bahkan ia merasa lega terbebas dari ikatan yang sebenarnya tidak ia kehendaki itu. Akan tetapi bagaimanapun juga, perbuatan Lui Hong yang membatalkan perjodohan itu merupakan penghinaan, seolah pemuda itu menolaknya! Ayahnya marah-marah, juga Ibunya, dan mendengar bahwa Lui Siong mengusir puteranya itu sehingga Lui Hong minggat meninggalkan rumah, Pek Giok merasa terpukul dan berduka sekali. ia tidak menangis, akan tetapi hati akal pikirannya menjadi keruh dan gelap.

   "Ih, kenapa aku begini lemah?"

   Demikian pikirnya dan tiba-tiba ia bangkit duduk.

   "Aku akan temui Han Bun dan Lui Hong, akan kutanya mereka berdua itu dengan terus terang!"

   Demikian ia mencela kelemahannya sendiri lalu ia pergi mandi. Siraman air yang sejuk menyegarkannya, baik tubuh maupun pikirannya, dan ia sudah dapat mengatasi perasaannya dan wajahnya tampak cerah kembali. Selagi ia berganti pakaian dan membereskan sanggul rambutnya, tiba-tiba terdengar Ayahnya berseru nyaring.

   "Keparat jahanam! Siapa berani kurang ajar begini?"

   Pek Giok cepat keluar dari dalam kamarnya dan ketika ia tiba di ruangan depan, ia melihat Ayahnya memegang sehelai kertas bersurat.

   "Ayah, ada apakah?"

   "Lihat dan bacalah ini!"

   Kata Ayahnya dengan suara masih rnengandung kemarahan. Pek Giok menerima surat itu dan membacanya. lsi surat itu singkat saja, namun cukup membuat wajah gadis itu berubah merah karena marahnya. Tulisan itu merupakan corat-coret huruf yang kasar dan jelek sekali, namun cukup jelas bunyi dan maksudnya.

   "Keluarga Can, malam ini seluruh mahluk hidup dalam rumah kalian akan kubinasakan!"

   Surat itu tidak di tandatangani dan isinya jelas merupakan ancaman dari pihak yang membenci mereka. Padahal, selama ini yang bermusuhan dengan mereka adalah keluarga Song yang kemudian melibatkan Kakak-beradik she Lee dan Bu-Eng-Kwi Tok Liong Thaisu yang telah tewas.

   "Jangan khawatir, Ayah. Ini tentu perbuatan kerabat kedua saudara Lee atau mendiang Bu-Eng-Kwi. Biar aku yang akan menghadapi mereka kalau malam nanti mereka berani muncul!"

   "Engkau betul, atau ada kemungkinan juga Song-Kauwsu yang masih mendendam kepadaku."

   "Tapi... bukankah permusuhan itu telah selesai, Ayah?"

   "Benar, akan tetapi lupakah engkau bahwa aku telah menolak pinangannya? Hal ini tentu akan mendatangkan perasaan dendam sakit hati yang baru. Mungkin saja dia yang mengirim ancaman ini."

   Pek Giok menggelengkan kepalanya dan mengerutkan alisnya.

   "Tidak mungkin, Ayah. Andaikata benar begitu, sudah pasti Song Han Bun akan menentangnya. Pula, ancaman tertulis ini menggambarkan dendam kebencian yang mendalam sehingga dia mengancam akan membunuh semua yang hidup dalam rumah ini. Aku akan siap menyambut dia atau mereka yang berani datang ke sini!"

   "Biar aku akan mengerahkan semua murid untuk berjaga-jaga. Sayang Lui Hong... ah, tak mungkin aku minta Lui Siong dan puteranya untuk membantu melakukan penjagaan. Biar Ma Ek yang mengaturnya."

   Gu Ma Ek, murid yang sudah dianggap seperti anak angkat itu segera dipanggil. Pemuda tinggi besar yang gagah itu pun cepat menghadap dan ketika surat itu diperlihatkan kepadanya, mukanya berubah merah dan dia mengepal tinju.

   "Suhu, Teecu akan mengerahkan semua murid untuk mengepung dan kalau jahanam ini berani muncul kami akan meringkusnya atau membunuhnya!"

   Kata Ma Ek.

   "Tidak, jangan sembrono, Gu Suheng (Kakak Seperguruan Gu)."

   Kata Pek Giok.

   "Kukira yang akan datang adalah orang-orang yang lihai sekali. Kalau tidak, tentu mereka tidak akan berani datang dengan lebih dulu mengirim surat ancaman. Engkau dan para murid boleh saja berjaga sambil bersembunyi, akan tetapi jangan sekali-kali turun tangan. Aku sendiri yang akan menghadapi mereka."

   "Pek Giok benar. Ma Ek, kerahkan saja saudara-saudaramu untuk berjaga-jaga sambil bersembunyi. Aku sendiri pun akan ikut berjaga, akan tetapi aku hanya akan menanti sampai ada tanda dari Pek Giok, baru akan turun tangan. Kita harus berhati-hati, jangan sampai jatuh banyak korban."

   Demikianlah, setelah makan, pada malam hari itu semua anggauta perguruan Can-Kauwsu melakukan penjagaan sambil bersembunyi. Can-Kauwsu dan Gu Ma Ek memimpin penjagaan ini, dan Can Pek Giok siap siaga dalam kamarnya, duduk bersamadhi di atas pembaringannya. Malam itu bulan bersinar terang karena di langit tidak ada awan sedangkan bulan hampir penuh.

   Hawa udaranya dingin sekali sehingga orang-orang yang tadinya bersenang-senang menikmati cuaca terang bulan yang indah, tidak dapat bertahan lama-lama di luar rumah dan lebih senang berada dalam kamar mereka yang hangat. Sebelum tengah malam suasana sudah sepi sekali. Di rumah Can-Kauwsu, tidak ada yang tertidur. Sedikitnya tiga puluh orang murid yang ilmu silatnya sudah lumayan mengepung rumah itu berjaga-jaga sambil bersembunyi, dipimpin oleh Can-Kauwsu sendiri dan Gu Ma Ek. Bahkan nyonya Can juga tidak tidur, melainkan duduk di kamar puterinya. Pek Giok duduk bersila di atas pembaringan dan Ibunya rebah telentang di dekatnya. Ibu ini merasa tidak aman kalau tidak dekat dengan puterinya. Menjelang tengah malam, dalam suasana yang amat sunyi, tiba-tiba terdengar anjing menggonggong marah.

   "Guk-huk-huk... kainggg...!"

   Lalu sunyi kembali. Semua orang mendengarnya, akan tetapi mereka tidak berani bergerak karena menaati larangan Pek Giok. Sementara itu, Nyonya Can bangkit duduk dan ia memandang puterinya yang sudah membuka matanya.

   "Itu suara si Putih."

   Kata Nyonya Can.

   "Ssstt..."

   Pek Giok menaruh telunjuk di depan bibir sebagai tanda agar Ibunya diam. ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Jantungnya berdebar karena ia menduga bahwa agaknya si Putih, anjing piaraan mereka yang tadinya menggonggong itu, menjerit dan terdiam. Mungkin telah terbunuh! Tiba-tiba terdengar suara banyak ayam berkeyok-keyok.

   "Ayam-ayam kita...!"

   Nyonya Can berbisik, wajahnya pucat. Keluarga itu memang memelihara banyak ayam, tidak kurang dari dua puluh ekor banyaknya, berada di kandang sebelah belakang rumah.

   "Ibu jangan pergi dari kamar ini, aku akan memeriksa ke sana!"

   Kata Pek Giok dan tubuhnya berkelebat lenyap, melalui jendela kamarnya dan langsung saja ia mempergunakan keringanan tubuhnya, seperti terbang lari ke belakang rumah melalui pintu belakang. Setelah tiba di bagian belakang rumah ia masih mendengar suara teriakan kematian ayam terakhir, disusul suara ringkik kuda dari istal. ia terkejut sekali dan cepat menghampiri istal yang berada dekat kandang ayam. Sepasang mata gadis itu terbelalak melihat betapa dua puluh ekor ayam, seekor anjing, dan seekor kuda yang merupakan binatang peliharaan Ayahnya, telah tewas semua! Bangkai mereka berserakan di depan kandang.

   Di bawah sinar bulan, tampaknya semua binatang itu sama sekali tidak terluka, akan tetapi jelas bahwa mereka telah mati! Gerakan lirih di belakangnya membuat Pek Giok cepat memutar tubuhnya dan ia melihat seorang Kakek tua renta, bertubuh kurus kering dengan muka putih hanya kulit membungkus tulang seperti tengkorak hidup, berdiri di depannya. Sepasang mata Kakek itu mencorong mengerikan, pakaiannya jubah panjang, kepalanya bersorban dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat ular kobra. Pek Giok menahan kemarahannya karena ia ingin sekali mengetahui siapa adanya Kakek ini dan mengapa dia begitu kejam membunuhi semua binatang peliharaan keluarganya dan mengapa pula Kakek itu demikian mendendam kepada keluarga Can.

   "Orang-tua, siapakah engkau? Engkaukah yang memburuhi semua peIiharaan kami ini? Apa maksudmu dengan perbuatanmu yang keji ini?"

   Pek-Bin Giam-Lo, Kakek itu, mengeluarkan suara gerengan perlahan dari kerongkongannya, lalu dia menyeringat dan terdengar suaranya yang parau dengan logat yang asing.

   "Aku datang untuk membasmi keluarga Can! Apakah engkau keluarga Can dan tinggal di rumah ini? Kalau benar demikian, engkau akan menjadi orang pertama yang kubinasakan!"

   "Nanti dulu. Jawab dulu siapa engkau dan mengapa engkau mendendam kepada keluarga Can!"

   Tanya Pek Giok dengan berani.

   "Heh-heh, keluarga Can telah membunuh murid keponakanku Bu-Eng-Kwi Tok Liong Thaisu dan dua orang muridnya she Lee. Aku, Pek-Bin Giam-Lo tidak dapat membiarkan mereka mati tanpa membalas dendam! Karena itu, seluruh mahluk hidup yang tinggal dengan keluarga Can harus mati malam ini juga!"

   "Hemm, membunuhi mereka yang tidak bersalah, binatang-binatang yang tidak berdaya dan orang-orang lemah, hanya patut dilakukan seorang pengecut! Kalau engkau hendak membalas dendam atas kematian Bu-Eng-Kwi Tok Liong Thaisu, Lee Kim Lun dan Lee Kim Lian, mestinya engkau mencari orang yang membunuh mereka karena hanya ia yang bertanggung jawab. Apakah engkau belum tahu bahwa pembunuh tiga orang manusia hina dina dan busuk itu adalah puteri keluarga Can? Kepadanyalah seharusnya engkau berhadapan kalau hendak membalas dendam!"

   Pek-Bin Giam-Lo sudah marah sekali.

   "Bocah perempuan lancang dan bosan hidup! Katakan siapa puteri keluarga Can agar aku Iangsung membunuhnya! Kalau engkau tidak mau mengaku, aku akan menyiksamu lebih dulu sebelum membunuhnya!"

   "Singgg...!"

   Tampak sinar kehijauan berkelebat ketika gadis itu mencabut Cheng-Liong-Kiam dari punggungnya. ia menudingkan pedangnya ke arah muka Kakek itu sambil berkata dengan garang.

   "Pek-Bin Giam-Lo! Akulah Can Pek Giok, puteri keluarga Can, Engkau datang ingin menyusul tiga orang jahanam busuk itu ke neraka? Majulah, pedangku akan mengantar nyawamu kepada mereka!"

   "Mampuslah kaul"

   Pek-Bin Giam-Lo membentak lalu dia mengeluarkan suara gerengan yang amat dahsyat. Suara itu menggetarkan sekeliling tempat itu dan Pek Giok yang Iangsung menerima serangan suara itu cepat mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi isi dadanya yang terguncang hebat. ia pun tidak membuang waktu lagi, tubuhnya berkelebat ke depan dan pedangnya menjadi segulung sinar hijau yang menyambar-nyambar ke arah muka dan dada Kakek itu.

   "Trang-trang-cringgg...!"

   Tiga kali Kakek itu menangkis pedang yang menyerangnya bertubi-tubi itu. Pertemuan senjata pedang dan tongkat ular itu membuat tangan Pek Giok tergetar, akan tetapi juga Kakek itu mengeluarkan seruan heran karena dia pun merasa betapa kuatnya tenaga sakti dari gadis remaja itu! ia pun segera membalas dan menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi segera Kakek itu mendapat kenyataan bahwa untuk kedua kalinya dia bertemu lawan yang amat lihai. Pertama ketika dia melawan putera keluarga Song itu. Walaupun akhirnya dia mampu melukai pemuda itu namun dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kekuatan sihirnya. Kini, kembali dia bertemu lawan amat tangguh, padahal lawannya seorang gadis remaja! Tentu dia merasa penasaran sekali.

   Setelah lewat lima puluh jurus dan dia belum juga mampu mendesak Pek Giok, Pek-Bin Giam-Lo tidak mau mengalami kehabisan tenaga untuk kedua kalinya seperti ketika dia melawan Song Han Bun. Diam-diam dia mengerahkan tenaga sihirnya, mulutnya berkemak menbaca mantera dengan bahasa asing, lalu dia menggerakkan tangan kirinya ke arah bangkai-bangkai ayam, anjing dan kuda yang berserakan di situ dan... satu demi satu bangkai-bangkai binatang itu bangkit, bergerak dan menerjang kepada Pek Giok. Bukan main kagetnya hati Pek Giok melihat hal ini. Kaget dan juga merasa ngeri. Bagaimana mungkin bangkai-bangkai itu kini menyerangnya? Kuda itu meringkik dan menerjangnya, anjing putih itu pun menyalak-nyalak dan hendak menggigitnya, sedangkan dua puluh ekor ayam itu dengan suara hiruk-pikuk juga menyerangnya.!

   Pek Giok menggunakan tangan dan kakinya untuk menendang dan menampar. Bagaimana juga, binatang-binatang itu dahulu menjadi kesayangannya maka ia tidak tega untuk membacok mereka dengan pedang. Akan tetapi, selagi ia sIbuk menghadapi pengeroyokan bangkai-bangkai itu, Pek-Bin Giam-Lo juga menyerangnya dengan tongkat ularnya yang amat dahsyat itu. Sekali ini Pek Giok benar-benar sIbuk dan terdesak hebat. ia membela diri mati-matian, akan tetapi tetap saja ia merasa kewalahan, apalagi dari lawannya ada daya yang amat kuat, yang membuat jantungnya tergetar. Mendadak terdengar bentakan Can-Kauwsu yang muncul bersama Gu Ma Ek dan puluhan orang murid perguruan itu. Melihat betapa Pek Giok terdesak, Can-Kauwsu tentu saja tidak dapat berdiam diri. Dia lalu memberi aba-aba dan segera maju mengepung Kakek itu, membantu Pek Giok.

   "Ayah, jangan maju...!"

   Pek Giok memperingatkan karena tahu betapa lihainya Kakek muka tengkorak itu. Benar saja, begitu melihat banyak orang maju, Kakek itu mengeluarkan suara tawa melengking dan banyak murid roboh terserang suara tawa yang pengaruhnya menghunjam jantung. Bahkan kini bangkai-bangkai ayam itu mengamuk menerjang para murid yang menjadi semakin kalang-kabut. Murid-murid merasa ngeri dan terpaksa Can-Kauwsu memerintahkan mereka mundur. Dia sendiri bersama Ma Ek lalu maju membantu Pek Giok, akan tetapi keduanya sIbuk menghadapi mayat-mayat binatang itu. Tiba-tiba Pek-Bin Giam-Lo mengeluarkan suara gerengan dan tampak uap hitam mengepul tebal. Pek Giok semakin panik, apalagi melihat Ayahnya dan Ma Ek ber turut-turut terpelanting roboh. Dalam keadaan gugup dan lengah ini, tongkat ular di tangan Pek-Bin Giam-Lo menyambar...

   "Dess...!"

   Pinggang gadis itu terkena hantaman tongkat. Biarpun Pek Giok sudah mengerahkan tenaga dalam untuk memperkuat dan melindungi bagian tubuh yang terpukul, namun tetap saja ia ter-pelanting roboh. Pada saat itu terdengar seruan lembut.

   "Siancai, siancai!"

   Aneh sekali, begitu terdengar suara itu, semua bangkai itu rebah kembali, mati seperti tadi dan uap hitam pun membuyar dan lenyap. Pek-Bin Giam-Lo terkejut dan melihat bahwa dia berhadapan dengan seorang Kakek yang usianya sekitar enam puluh lima tahun, bertubuh sedang, sikapnya sederhana dan biasa, pakaiannya serba putih, rambutnya yang sudah putih itu pun diikat dengan kain putih. Kakek itu memegang sebatang tongkat bambu kuning dan dia memandang Pek-Bin Giam-Lo dengan mulut tersenyum namun sinar matanya mencorong penuh teguran.

   "Siancai (Damai)...! Sepatutnya, yang banyak hartanya menolong mereka yang miskin, yang banyak tenaganya menolong mereka yang lemah, yang banyak kepintarannya menolong mereka yang bodoh. Akan tetapi engkau ini menggunakan kelebihan kepandaianmu bukan untuk menolong orang lain, melainkan untuk mencelakakan, sungguh tidak pantas dilakukan seorang-tua sepertimu, sobat!"

   Pek-Bin Giam-Lo bukan orang bodoh. Melihat betapa sihirnya telah dapat dIbuyarkan orang berpakaian putih ini, dia pun maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai. Maka dia lalu berkata dengan nada angkuh.

   "Siapakah engkau, berani mencampuri urusanku? Hayo katakan siapa namamu. Aku, Pek-Bin Giam-Lo tidak suka membunuh orang yang tidak mempunyai nama!"

   Kakek baju putih itu tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Ah, kiranya engkau yang berjuluk Pek-Bin Giam-Lo? Engkau datang jauh dari barat ke sini hanya untuk menyebar kejahatan? Engkau ingin mengetahui namaku sebelum kau bunuh? Nah, namaku tidak ada, akan tetapi orang menyebutku Song-Bun Lo-Jin (Orang-tua Berkabung)."

   "Bagus, engkau selalu berkabung, sekarang engkau akan berkabung untuk dirimu sendiri karena engkau akan mati di tanganku!"

   "Pek-Bin Giam-Lo, aku berkabung bukan untuk manusia mati. Manusia mati tidak perlu disesalkan, tidak perlu berkabung. Aku berkabung bukan untuk manusia mati, melainkan melihat betapa banyaknya jiwa-jiwa yang mati, seperti jiwamu itu, Pek-Bin Giam-Lo."

   Pek-Bin Giam-Lo menjadi marah sekali.

   "Manusia sombong, mampuslah kau!"

   Setelah berkata demikian, mulutnya berkemak-kemik dan dia melontarkan tongkat ularnya ke atas. Tongkat itu berubah menjadi ular besar yang melayang-layang dan hendak menyambar ke arah Kakek yang bernama Song-Bun Lo-Jin...

   

Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini