Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 12


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



"Siancai...!"

   Song-Bun Lo-Jin berkata lembut dan dia pun melemparkan tongkat bambu kuningnya ke atas. Tongkat itu berubah menjadi seekor burung bangau besar yang terbang menyambut ular itu dan berkelahilah dua ekor binatang itu di udara. Akan tetapi akhirnya burung itu mematuk tubuh ular sehingga tubuh ular itu terpotong menjadi dua. Setelah tiba di atas tanah, ular itu kembali menjadi tongkat ular yang telah patah menjadi dua potong! Burung bangau itu pun kembali ke tangan Song-Bun Lo-Jin dan berubah menjadi tongkat bambu kuning. Pek-Bin Giam-Lo menjadi penasarar sekali.

   Melihat tongkat ularnya patah menjadi dua, dia lalu merangkapkan kedua tangan di depan dahinya, mulutnya berkemak-kemik membaca doa, kemudian dia membuka kedua lenganriya, mendorongkan kedua telapak tangannya ke alas dan... api berkobar-kobar menyerbu ke arah Song-Bun Lo-Jin! Kakek baju putih ini dengan tenang lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan tiba-tiba dari atas turun air seperti hujan deras yang menyiram api berkobar itu sehingga sebentar saja menjadi padam! Kembali Pek-Bin Giam-Lo terkejut. Dia belum pernah mendengar nama Song-Bun Lo-Jin walaupun agaknya Kakek baju putih itu sudah mengenal nama julukannya. Hal ini tidaklah aneh karena memang Pek-Bin Giam-Lo lebih banyak berada di barat sehingga dia tidak begitu kenal dengan nama tokoh-tokoh di dunia persilatan.

   Dia merasa penasaran sekali. Kalau ada tokoh atau Datuk dunia kang-ouw yang mampu menandingi ilmu silatnya, hal itu tidak aneh baginya karena Tionggoan (Cina) merupakan gudangnya, para ahli silat tingkat tinggi. Akan tetapi, kalau ada yang mampu menandingi ilmu sihirnya, hal ini membuat dia merasa penasaran sekali! Dia sendiri adalah seorang yang pernah belajar yoga dan ilmu sihir di India selama belasan tahun. Maka, begitu tongkatnya patah dan beberapa ilmu sihirnya dapat dikalahkan, tiba-tiba Pek-Bin Giam-Lo duduk bersila di atas tanah! Song-Bun Lo-Jin berdiri memandang saja, tidak bergerak, padahal kalau dia mau menyerang selagi Kakek muka tengkorak itu duduk bersila, tentu dia akan dapat merobohkannya. Agaknya Kakek baju putih itu tidak mau bertindak curang dan menghargai tata-susila dalam dunia persilatan, yaitu tidak mau menyerang orang yang tidak siap melawan.

   Tiba-tiba tubuh Pek-Bin Giam-Lo yang duduk bersila itu terangkat naik seperti melayang setinggi satu tombak dari tanah! Ketika Song-Bun Lo-Jin yang ternyata adalah Kakek yang tadi makan di rumah makan dan memberi hadiah kepada pelayan rumah makan, tiba di situ dan menyelamatkan Pek Giok lalu melawan Pek-Bin Giam-Lo, Pek Giok mampu bangkit duduk. Gadis ini lalu duduk bersila dan menyalurkan sinkang karena ia merasa bahwa ia menderita luka dalam yang cukup parah. Sementara itu, Can-Kauwsu memberi isarat kepada para muridnya agar tidak bergerak mencampuri pertandingan antara Kakek baju putih dan Kakek muka tengkorak. Mereka semua menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, menyaksikan adu kesaktian yang amat hebat dan aneh itu.

   Ketika Can-Kauwsu menghamplri puterinya, Pek Giok memberi isarat tanpa kata kepada Ayahnya agar jangan mengganggunya. Guru silat Can itu maklum bahwa puterinya terluka dan sedang mengerahkan sinkang untuk mengobati diri sendiri, maka dia pun tidak berani mengganggu, hanya menjaga puterinya sambil menonton pertandingan antara dua orang Kakek sakti itu. Pertandingan itu memang aneh dan dahsyat, terutama dalam penglihatan Can-Kauwsu dan semua muridnya. Melihat Pek-Bin Giam-Lo tadi menghidupkan bangkai-bangkai binatang yang dapat menyerang mereka saja sudah mengerikan, kini ruenyaksikan pertandingan selanjutnya membuat mereka merasa diri mereka kecil tak berdaya. Semua ilmu silat yang mereka pelajari itu agaknya menjadi alat bela diri yang tidak ada artinya jika menghadapi serangan ilmu sihir yang menngerikan itu.

   Bahkan Can Pek Giok, yang mereka tahu memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, memiIiki tenaga dalam dan tenaga sakti yang amat kuat, akhirnya kalah juga menghadapi ilmu sihir yang aneh dari Pek-Bin Giam-Lo. Tiba-tiba dari sorban di kepala Pek-Bin Giam-Lo tampak uap putih mengepul dan lama-lama uap itu mempunyai bentuk dan menjadi seekor naga merah! Naga itu melayang di udara, matanya mengeluarkan kilat dan mulutnya mengeluarkan api bernyala-nyala! Akan tetapi Song-Bun Lo-Jin yang berdiri diam melipat kedua lengannya depan dada dan tiba-tiba dari ubun-ubun kepalanya keluar uap putih yang berubah menjadi seekor naga putih! Dua ekor naga jadi-jadian itu segera saling terjang di udara, ditonton oleh semua orang yang terkejut dan merasa ngeri. Dengan muka pucat mereka menonton perkelahian antara dua ekor naga itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga!

   Tak lama kemudian tampaklah betapa naga merah terdesak mundur oleh naga putih dan melihat ini, saking girangnya para murid Can-Kauwsu bersorak. Agaknya naga merah yang sudah terdesak itu kaget mendengar sorakan atau memang semangat Pek-Bin Giam-Lo mengendur karena dia kalah kuat. Naga merah itu melayang ke arah sorban Pek-Bin Giam-Lo dan menghilang. Song-Bun Lo-Jin juga menarik kembali naga putih dan siap menghadapi serangan lawan selanjutnya. Kini tubuh Pek-Bin Giam-Lo juga sudah turun dan dia berdiri berhadapan dengan Song-Bun Lo-Jin. Kedua matanya mencorong penuh kemarahan. Kemudian dia merendahkan tubuhnya dengan sedikit menekuk kedua Iututnya, mengeluarkan gerengan dahsyat dan mendorongkan kedua tangan terbuka ke arah Song-Bun Lo-Jin.

   "Auurrggghhhhh...!!"

   Bukan main dahsyatnya serangan ini karena tenaga dalam yang dikerahkan Pek-Bin Giam-Lo diperkuat tenaga sakti dari ilmu sihirnya. Hawa pukulan yang amat dahsyat menyambar ke arah Song-Bun Lo-Jin. Akan tetapi Kakek baju putih ini pun tidak tinggal diam. Begitu lawannya menyerang, dia pun segera mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan itu.

   "Blaaarrrr...!!"

   Dua kekuatan raksasa bertemu, menggetarkan sekeliling tempat Itu. Semua murid Can-Kauwsu tergetar hebat, bahkan ada yang terpelanting roboh.

   Untung mereka itu tidak terluka. Ketika semua mata memandang, tubuh Pek-Bin Giam-Lo terjengkang lalu roboh bergulingan sampai beberapa tombak jauhnya. Dia lalu melompat mengeluarkan gerengan hebat dan tubuhnya tiba-tiba lenyap! Semua orang mencari-cari dengan pandang mata mereka, tidak melihat bayangan Kakek muka tengkorak itu. Akan tetapi mereka melihat betapa kini Song-Bun Lo-Jin bersilat seorang diri seolah melawan setan! Baru mereka menduga bahwa agaknya Pek-Bin Giam-Lo menggunakan ilmunya menghilang dari penglihatan mereka, menyerang Song-Bun Lo-Jin. Akan tetapi Song-Bun Lo-Jin dapat melihat lawan yang menggunakan ilmu "menghilang"

   Itu, maka terjadilah perkelahian yang aneh karena bagi orang lain, seolah-olah Kakek baju putih itu berkelahi melawan angin!

   "Siancai...!"

   Song-Bun Lo-Jin berseru dan tongkat bambu kuning di tangannya menyambar. Segera terdengar teriakan mengaduh, lalu Song-Bun Lo-Jin berhenti bergerak, hanya memandang ke depan seolah mengikuti larinya lawan dengan pandang matanya. Biarpun mereka tidak dapat melihat pertandingan itu, namun semua orang dapat Menduga bahwa Kakek baju putih ini sudah berhasil mengalahkan Kakek muka tengkorak dan Kakek jahat itu agaknya sudah melarikan diri, maka semua orang merasa lega. Pek Giok bangkit dan menghampiri Song-Bun Lo-Jin dengan Iangkah agak terhuyung. ia lalu menjatuhkan diri berIutut di depan kaki orang-tua Itu.

   "Lo-Cianpwe, saya menghaturkan terima kasih bahwa Lo-Cianpwe telah menyelamatkan kami seluruh keluarga Can dari bahaya maut."

   "Siancai..., anak baik, kulihat tali ilmu silatmu cukup dan aku mengenal ilmu silat aliran Kun-Lun-Pai tingkat tinggi. Siapakah Gurumu?"

   "Saya dllatih oleh tiga orang Suhu Kun-Lun Sam-Sian, Lo-Cianpwe."

   "Ahh, pantas sekali ilmu silatmu tadi amat hebat. Engkau mampu menandingi Pek-Bin Giam-Lo dalam ilmu silat, hanya ilmu sihirnya yang mengalahkanmu. Engkau terluka cukup parah, akan tetapi kalau engkau suka ikut denganku, mungkin aku akan dapat menyembuhkanmu."

   Pada saat itu, Can-Kauwsu juga sudah berada di situ dan Guru silat itu menjura dengan hormat kepada Song-Bun Lo-Jin.

   "Lo-Cianpwe, kami seluruh keluarga, menghaturkan terima kasih kepadamu."

   Lalu Can-Kauwsu memandang puterinya dan berkata.

   "Pek Giok, engkau agaknya terluka, mari masuk dan biar malam ini juga kupanggilkan Tabib."

   "Can-Kauwsu, tidak ada tabib dan obat yang dapat menyembuhkan luka yang diderita putrimu. Luka dalam akibat pukulan Pek-Bin Giam-Lo amatlah berbahaya karena mengandung racun akibat ilmu hitamnya yang keji."

   "Ah, kalau begitu... bagaimana baik-ya...?"

   Can-Kauwsu berkata gelisah.

   "Ayah, aku ingin ikut Lo-Cianpwe Song-Bun Lo-Jin untuk berobat."

   Pada saat itu, nyonya Can keluar dari dalam rumah setelah mendengar laporan murid suaminya bahwa penjahat yang membunuhi semua binatang peliharaan keluarga itu telah berhasil diusir dan bahwa semua selamat kecuali puterinya yang menderita luka.

   "Pek Giok...!"

   Nyonya itu berlari menghampiri dan merangkul puterinya.

   "Katanya engkau... terluka...?"

   "Benar, Ibu. Luka dalam yang parah akan tetapi aku akan ikut berobat kepada Lo-Cianpwe ini karena hanya dia yang akan mampu menyembuhkanku."

   Ibunya terkejut dan menoleh, memandang kepada Kakek baju putih itu.

   "Siapakah Lo-Cianpwe ini...?"

   Tanyanya ragu. Suaminya yang menjawab,

   "Lo-Cianpwe ini adalah Song-Bun Lo-Jin dan dia yang telah menyelamatkan kita sekeluarga dan mengusir penjahat. Kita harus merelakan Pek Giok pergi bersamanya karena hanya dialah yang akan mampu mengobatinya sampai sembuh."

   Karena Song-Bun Lo-Jin berkeras bahwa dia akan melanjutkan perjalanan malam itu juga, maka dia memberi kesempatan kepada Pek Giok untuk berkemas membawa bekal pakaian dan lain-lain. Sementara itu dia tidak menolak ketika Can-Kauwsu mempersilakan dia duduk menanti dalam rumah dan menerima suguhan minuman teh. Dalam kesempatan ini Can-Kauwsu ingin mengenal lebih dekat orang sakti yang telah menyelamatkan keluarganya itu. Akan tetapi Song-Bun Lo-Jin agaknya tidak mau bercerita banyak tentang dirinya. Dia hanya mengaku bahwa dia seorang yang hidup sebatang kara dan seorang pengembara yang tidak mempunyai tempat tertentu. Seperti orang berkelakar dia berkata.

   "Can-Kauwsu, keluarga yang sedarah aku tidak punya, akan tetapi seluruh manusia di dunia ini adalah saudara bagiku. Tempat tinggal berbentuk rumah aku tidak punya, akan tetapi dunia ini adalah tempat tinggalku, langit itu atapku, dan tanah ini lantaiku."

   Mendengar ucapan ini, tentu saja hati nyonya Can sebagai seorang Ibu menjadi khawatir.

   "Maaf, Lo-Cianpwe, kalau engkau tidak mempunyai tempat tinggal, lalu di mana anakku Pek Giok akan tinggal kalau ia ikut denganmu?"

   "Harap engkau tidak khawatir, nyonya Can. Di mana aku berada, di situlah tempat tinggalku. Anakmu adalah murid yang sudah menerima gemblengan Kun-Lun Sam-Sian, maka ia tentu akan dapat maklum dan mengerti, juga dapat menerima keadaan kami berdua kelak."

   Pek Giok muncul dari dalam, menggendong buntalan pakaiannya.

   "Lo-Cianpwe berkata benar, Ibu. Jangan khawatir tentang diriku. Dengan mengikuti Lo-Cianpwe Song-Bun Lo-Jin, selain lukaku akan sembuh, juga akan mendapat tambahan pelajaran dan pengalaman. Ibu, setelah segala hal yang terjadi mengenai diriku, aku memang sudah mempunyai pikiran untuk merantau dan menghilangkan segala ingatan tentang semua peristiwa yang tidak menyenangkan."

   Ayah dan Ibunya maklum. Memang, puterinya tentu saja menderita tekanan batin yang berat setelah terjadinya peristiwa pembatalan perjodohan yang dilakukan Lui Hong, juga mereka dapat menduga bahwa ada hubungan batin antara puterinya dan Song Han Bun, akan tetapi terpaksa mereka menolak pinangan putera Song-Kauwsu itu karena Pek Giok sudah bertunangan dengan Lui Hong. Puterinya gagal berjodoh dengan Song Han Bun, juga gagal berjodoh dengan Lui Hong! Maka, Can-Kauwsu dan isterinya merelakan puterinya pergi ikut Kakek sakti itu, untuk berobat dan juga untuk menghIbur hatinya yang dilanda kemelut. Song Han Bun berlari secepatnya sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya.

   Kepalanya terasa pening sekali, bahkan nyeri seperti ditusuk-tusuk puluhan batang jarum di sebelah dalam. Akhirnya, setelah lari tanpa arah atau tujuan tertentu, hanya terdorong rasa nyeri di kepalanya dan dia sama sekali tidak dapat memikirkan apa pun, Song Han Bun terguling dalam sebuah hutan dalam keadaan pingsan. Pemuda itu sama sekali tidak menyadari bahwa dia rebah pingsan di tempat itu sampai semalam dan sehari. Pada keesokan harinya, menjelang sore, barulah dia siuman dari pingsannya! Dia bangkit duduk dan merasa tubuhnya lemas. Kepalanya tidak terasa sakit, akan tetapi Han Bun duduk sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya. Bukan karena terasa nyeri melainkan karena dia tidak ingat apa-apa lagi! Dia berusaha untuk berpikir dan mengingat-ingat, namun sia-sia saja karena dia sama sekali tidak ingat apa-apa lagi.

   "Siapa aku... di mana aku... siapa namaku...?"

   Berulang-ulang dia bertanya namun sama sekali dia tidak ingat siapa dirinya, apa yang dialaminya, baltkan namanya sendiri pun dia tidak ingat! "Siapa aku...? Mengapa aku di sini...?"

   Dia lalu bangkit berdiri dan merasa bingung sekali. Dia tidak tahu dari mana dia datang dan ke mana dia hendak pergi. Perutnya terasa lapar sekali dan tiba-tiba dia mendengar suara dari arah belakangnya. Cepat dia memutar tubuh dan dia melihat seekor kelinci menyusup masuk ke dalam semak-semak. Han Bun tersenyum gembira. Perutnya terasa semakin lapar melihat kelinci yang gemuk itu.

   Biarpun dia merasa tubuhnya lemas, namun ketika dia memungut sebuah batu, terasa gerakannya ringan. Tentu saja dia pun sama sekali tidak ingat bahwa dia pernah mempelajari ilmu silat tinggi. Namun tenaga sakti dan kekuatan tubuhnya sudah menyatu dengan dirinya, tanpa perlu diingat lagi, maka dia dapat bergerak dengan ringan walaupun tubuhnya lemas karena hampir dua hari tidak makan atau minum. Dengan kakinya dia menendang sebuah batu ke arah semak-semak. Kelinci itu terkejut dan melarikan diri. Akan tetapi begitu dia tampak keluar dari semak-semak, Han Bun menyambitkan batu itu, tepat mengenai kepala kelinci itu yang jatuh dan mati seketika karena kepalanya pecah dihantam batu sebesar kepaIan tangan. Han Bun mencabut pedangnya yang dibawanya selalu ketika dia melarikan diri dari Pek-Bin Giam-Lo.

   Tak lama kemudian dia telah menguliti kelinci itu dan memanggang dagingnya di atas api. Biarpun daging kelinci itu dipanggang begitu saja tanpa bumbu, namun kelaparan perutnya membuat daging panggang itu enak pula dimakan. Baru saja dia makan, dia mendengar langkah kaki orang. Ketika dia menoleh, dia melihat seorang Hwesio berjalan santai. Hwesio itu berjubah kuning dan kepalanya yang tadinya gundul sudah mulai ditumbuhi rambut pendek. Dia menggendong sebuah buntalan, dan usianya belum tua benar, baru sekitar empat puluh tahun. Wajahnya lembut dan cerah, murah senyum. Yang dilupakan sama sekali oleh Han Bun adalah semua pengalaman hidupnya sehingga namanya sendiri pun dia lupa. Akan tetapi melihat orang itu, dia tahu bahwa yang datang seorang Pendeta Buddhis. Maka sambil duduk ia mengangguk hormat.

   "Selamat sore, Suhu (sebutan Pendeta),"

   Katanya ramah.

   "Silakan duduk dan makan bersama saya. Daging kelinci ini terlalu banyak untuk saya sendiri."

   "Omitohud, Sicu (Orang Gagah) baik sekali."

   Kata Hwesio itu sambil duduk di atas sebuah batu dengan lega karena agaknya dia memang sudah lelah sekali. Dia menurunkan buntalan dari punggungnya dan meletakkannya di depannya, lalu melanjutkan kata-katanya.

   "Silakan Sicu makan saja karena Pinceng (saya) telah membawa makanan Pinceng sendiri."

   Han Bun melihat Hwesio itu membuka buntalannya yang berisi beberapa potong jubah kuning dan dalam sebuah bungkusan setelah dIbuka ternyata berisi roti gandum dan sayur asin, juga seguci air jernih.

   "Sicu, kalau Sicu suka, boleh Pinceng bagi makanan ini denganmu."

   Hwesio itu menawarkan.

   "Terima kasih, Suhu. Daging ini cukup banyak dan cukup mengenyangkan."

   Dua orang itu makan tanpa bicara, makan makanan masing-masing dan biarpun mereka tidak bicara namun dalam hati mereka melihat benar perbedaan makanan mereka. Setelah keduanya selesai makan, Hwesio itu menawarkan air minum. Han Bun tidak menolaknya, dan menuangkan air dari guci dari atas, diterima mulutnya yang ternganga. Terasa sejuk dan segar air jernih itu. Setelah makan dan minum, keduanya duduk bercakap-cakap.

   "Sicu, kita berdua secara kebetulan saja saling bertemu di tempat sepi ini, bahkan makan bersama. Agaknya di antara kita memang sudah jodoh untuk berkenalan. Pinceng bernama Tiong Gi Hosiang dan bolehkah Pinceng mengetahui nama Sicu?"

   Han Bun menjadi bingung ditanya namanya karena dia sendiri tidak ingat dan tidak tahu siapa namanya. Namun kehilangan ingatan masa lalu tidak membuat dia kehilangan kecerdikannya, maka dia lalu menjawab.

   "Tiong Gi Suhu, nama saya Bu Beng (Tanpa Nama)."

   "Bu Beng? Omitohud, sungguh nama yang baik sekali, nama memang kosong, tidak menunjukkan yang diberi nama seperti yang sebenarnya. Akan tetapi sayang, Sicu masih makan daging binatang."

   Han Bun tersenyum.

   "Saya juga dapat mengatakan yang sebaliknya, Suhu, yaitu sayang bahwa Suhu hanya makan sayur-sayuran."

   "Omitohud, Sicu pandai berdebat."

   "Bukan berdebat, Suhu, melainkan saya mengatakan apa yang sebenarnya menurut penglihatan saya."

   "Bagus, kalau begitu, mari kita bicarakan kebenaran mengenai makanan. Menurut pendapat Pinceng..."

   "Maksud Suhu, menurut pendapat Suhu yang sejalan dengan apa yang diajarkan agama dan kepercayaan Suhu."

   "Benar, akan tetapi telah menjadi keyakinan Pinceng. Makan daging hewan itu merupakan perbuatan yang kejam, membunuh sesama mahluk hidup. Bukankah di dunia ini sudah banyak macam tanaman yang daunnya, batangnya, bunga dan buahnya, dapat dimakan untuk mempertahankan kehidupan manusia? Mengapa untuk mengenyangkan perut saja harus membunuh mahluk lain? Bukankah itu merupakan perbuatan yang kejam sekali? Buktinya, Pinceng sejak kecil tidak pernah makan daging, tak pernah membunuh untuk makan, dan tetap saja sampai sekarang Pinceng dapat hidup dan sehat. Nah, Sicu, bukankah makan daging merupakan pembunuhan yang amat kejam dan tidak selayaknya dilakukan oleh manusia?"

   "Apa yang Suhu katakan itu memang benar. Akan tetapi saya mempunyai pendapat lain, coba Suhu dengarkan dan pertimbangkan kebenarannya. Suhu, ada banyak mahluk hidup yang hanya dapat hidup kalau dia makan daging mahluk lain. Misalnya harimau, singa, ular, buaya, burung pemakan ikan, juga ikan-ikan besar yang makan ikan kecil. Apakah mereka itu juga dapat dinamakan kejam karena untuk makan mereka harus membunuh?"

   "Mereka itu binatang buas, kita manusia tidak semestinya meniru mereka."

   "Tidak, Suhu. Mereka itu sama sekali tidak buas. Mereka makan daging hewan lain karena memang itu makanan mereka! Sudah ditentukan sejak lahir, biasa disebut sudah kodratnya. Coba sediakan makanan rumput atau buah-buahan kepada harimau dan lain binatang pemakan daging itu, mereka pasti tidak mau makan dan akan mati kelaparan. Jelas bahwa mereka itu bukan buas atau kejam. Bagaimana pendapatmu, Tiong Gi Suhu?"

   "Omitohud, kalau direnungkan, memang ucapan Sicu itu benar. Akan tetapi manusia..."

   "Nanti dulu, harap jangan mengambil kesimpulan dulu. Coba dengarkan pendapat saya. Saya tadi merasa lapar sekali, sudah dua hari tidak makan. Di sini tidak ada makanan lain, semua daun pohon yang berada di sini tidak dapat saya makan. Lalu saya melihat kelinci dan saya membunuhnya untuk saya makan dagingnya. Dengan demikian maka saya terhindar dari kelaparan. Saya membunuh kelinci itu bukan sekedar membunuh, melainkan saya butuhkan dagingnya untuk penyambung hidup, seperti halnya seekor harimau menerkam kelinci untuk dimakan dagingnya. Kalau saya sebagai manusia tidak dikodratkan makan daging, seperti halnya kerbau, pasti saya tidak akan suka makan daging. Jadi, membunuh untuk dimakan dagingnya guna menyambung hidup saya kira bukanlah kekejaman, Suhu, melainkan kebuTUHAN hidup. Ada lagi satu hal yang patut diperhatikan, Suhu. Menurut Suhu, yang dianggap kejam adalah membunuh untuk dimakan, bukan? Nah, sekarang mohon Suhu menjawab, apa bedanya membunuh seekor ayam dan membunuh seekor sapi yang besar untuk dimakan dagingnya. Apakah ada perbedaan antara membunuh yang kecil dengan membunuh yang besar?"

   "Omitohud, pertanyaan aneh. Tentu saja sama, Sicu. Membunuh ayam untuk dimakan, atau membunuh sapi untuk dimakan, sama saja kejamnya dan pinceng tidak akan melakukannya."

   "Jadi yang jelas adalah membunuh yang hidup itu yang dianggap kejam?"

   "Benar sekali, Sicu."

   "Maaf, Suhu, menurut Suhu, apakah tanam-tanaman itu bukan sesuatu yang hidup? Bukankah tanaman itu bisa mati pula dan karenanya tanaman itu hidup sehingga kalau kita makan tanam-tanaman, sama saja dengan membunuh mereka? Masih ada lagi, Suhu. Kita tahu bahwa banyak sekali binatang-binatang kecil yang hidup di daun-daun dan di buah-buahan, demikian kecilnya mereka itu sehingga sukar dapat tampak oleh mata. Namun kenyataannya mereka itu ada dan hidup, bergerak. Nah, kalau kita masak sayuran makan sayuran dan buah-buahan, saya yakin ada ratusan bahkan mungkin rIbuan binatang kecil-kecil yang terbunuh dan ikut kita makan. Kalau membunuh binatang kecil dan besar itu sama kejamnya, bukankah kita yang hanya makan sayur dan buah itupun kejam telah membunuh banyak sekali binatang kecil?"

   Sampai lama keduanya diam. Akhirnya Tiong Gi Hosiang menghela napas panjang.

   "Omitohud, walaupun pinceng dapat mengatakan bahwa pembunuhan binatang kecil-kecil tak tampak itu dilakukan tanpa sengaja, akan tetapi harus pinceng akui kebenaran ucapan Sicu itu."

   "Terima kasih, Suhu. Tadi saya membenarkan pendapat Suhu dan sekarang Suhu membenarkan pendapat saya. Kalau begitu, pendapat kita berdua yang berlawanan itu, sama benarnya ataukah... sama salahnya?"

   "Ha-ha-ha, Omitohud..., ucapan Sicu inilah yang merupakan kebenaran, yaitu bahwa setiap sesuatu itu, ada benarnya dan ada pula salahnya! Masalahnya hanyalah dari mana kita memandangnya."

   "Saya kira pendapat Suhu ini tepat sekali. Oleh karena itu, apa pun latar belakang kepercayaan kita, marilah kita sama melihat bahwa sesungguhnya kita semua ini tak mungkin lepas daripada kesalahan. Karena itu sebaiknya tidak perlu lagi saling menyalahkan. Biarlah yang makan sayur dan pantang makan daging melanjutkan keyakinannya, dan biarlah yang makan daging juga memegang keyakinannya tanpa keduanya saling mencela atau menyalahkan. Bukankah begitu sebaiknya, Tiong Gi Suhu?"

   "Omitohud, Sicu benar sekali. Pinceng setuju sekali. Selamat berpisah, Sicu, dan terima kasih, pinceng senang sekali dapat berkenalan dan berbincang-bincang denganmu."

   "Selamat berpisah, Suhu!"

   Biarpun sore telah larut dan cuaca mulai remang, Hwesio itu melanjutkan perjalanannya. Han Bun juga pergi tanpa tujuan tertentu, hanya mengikuti ke mana kedua kakinya melangkah membawa dirinya. Di sebuah puncak di antara banyak puncak bukit di Pegunungan Beng-San, terdapat perkumpulan Beng-Kauw yang amat terkenal di dunia persilatan sebagai sebuah perkumputan rahasia yang aneh namun yang memiliki banyak orang sakti. Semula, Beng-Kauw merupakan sebuah perkumpulan agama. Beng-Kauw artinya Agama Terang dan pada waktu kisah ini terjadi, yaitu pada pertengahan abad ke tiga belas, Beng-Kauw telah berubah sama sekali dari asal mulanya.

   Ratusan tahun yang lalu, Agama Terang atau Beng-Kauw ini berasal dari Agama Mani atau Manichaeism. Pendirinya bernama Mani (lahir tahun 216), putera seorang Bangsawan, penduduk Ecbatana di Persia (sekarang Iran). Mani seorang terpelajar dalam lingkungan sekte Mandaeans. Sebagai seorang terpelajar, Mani tertarik oleh soal kerohanian dan filsafat. Pada masa itu terdapat dua agama besar, yaitu Agama Kristen dan Mithraism. Mani mempelajari keduanya, juga dia mempelajari Agama Magism dad Persia sendiri. Kemudian dari berbagai agama ini Mani lalu mengambil pelajaran dan digabungkannya, maka lahirlah apa yang dinamakan Agama Mani (Mani-chaeism) atau yang lebih dikenal sebagai Agama Terang. Sistim yang dianut oleh Mani adalah sistim dualisme (rangkap dua). Menurut Mani, terang ialah baik dan gelap ialah jahat.

   Pengetahuan tentang agama berarti pengetahuan tentang alam dan unsur-unsurnya dan penyelamatannya adalah proses membebaskan unsur terang dari kegelapan. Mani menerangkan bahwa dalam alam semesta terdapat dua Kerajaan, yaitu Kerajaan Terang dan Kerajaan Gelap yang selalu bertentangan. Setan terlahir di Kerajaan Gelap. Manusia dikuasai unsur Setan, akan tetapi dalam diri manusia juga terdapat unsur Terang dari TUHAN. Setan berusaha untuk mengikat manusia dengan kejahatan, dan roh-roh Terang berusaha untuk membebaskannya. Mani sendiri menamakan dirinya "Duta Terang."

   Hanya dengan bantuannya dan bantuan para muridnya yang terpilih, barulah Terang dapat dipisahkan dari Gelap. Murid atau penganut pilihan ini setingkat dengan para Pendeta dalam agama-agama lain. Mani berkelana di berbagai negeri untuk menyebarkan agamanya.

   Antara lain dia berkunjung ke Transoxiana, ke India dan sampai ke Cina bagian barat. Setelah dia kembali ke Persia, di negerinya sendiri agamanya itu berkembang pesat, bahkan memasuki Istana Raja sendiri. Pada masa pemerintahan Raja Shapur I, lalu Raja Hormizd, penggantinya, Manichaeism berkembang pesat karena kedua orang Raja itu menaruh minat kepada agama itu. Akan tetapi setelah Raja Hormizd diganti oleh Raja Barham I yang condong menganut Agama Magism, Mani yang dimusuhi oleh kasta Magians lalu ditangkap oleh Raja Barham I dan diserahkan kepada kasta itu. Mani lalu dIbunuh. Kerajaan Persia berusaha untuk membasmi Agama Mani namun gagal. Di luar Persia, agama ini berkembang pesat. Hal ini terjadi karena Manichaeism mempersatukan mythology kuna dan dualisme materialistis dan dengan cara bersembahyang yang sederhana.

   Juga organisasi sosialnya amat sederhana, baik yang pintar maupun yang bodoh, yang serius ataupun yang hanya iseng, semua boleh masuk menjadi penganut Agama Mani. Di Cina, Agama Mani menjadi Beng-Kauw yang semula memang merupakan perkumpulan agama yang masih taat akan ajaran Mani. Akan tetapi kini telah berubah sama sekali. Beng-Kauw sekarang menjadi perkumpulan yang mengutamakan ilmu silat dan ilmu sihir, mengutamakan kesaktian dan menjadi perkumpulan yang disegani kawan ditakuti lawan. Kekuatan mendatangkan kekuasaan dan kekuasaan seringkali mendatangkan kejumawaan, kesombongan dan memandang rendah orang lain. Maka tidak mengherankan kalau Beng-Kauw terkenal sebagai perkumpulan orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang dan dianggap sebagai sebuah perkumpulan sesat yang suka melakukan kejahatan.

   Pada waktu itu, Kerajaan Song yang berdiri sejak tahun 960 telah mengalami kehancuran. Hal ini terjadi dalam tahun 1127 ketika Bangsa Yuchen dari utara merebut kekuasaan Bangsa Khitan di utara dan mendirikan Kerajaan Cin. Kerajaan baru ini lalu terus menyerang ke selatan dan mengalahkan pasukan Kerajaan Sung yang terus mundur ke selatan. Kaisar Sung Kao Cung terpaksa melarikan diri mengungsi ke selatan. Dengan sisa kekuatan yang ada, dibantu oleh rakyat di selatan akhirnya Kerajaan Sung dapat mempertahankan diri di selatan dan serangan Kerajaan Cin yang baru itu berhenti sampai di Sungai Yang-Ce. Sungai itu menjadi tapal Batas dua Kerajaan. Di sebelah utara Sungai Yang-Ce menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Cin, sedangkan Kerajaan Sung memiliki wilayah dari Sungai Yang-Ce ke selatan.

   Kerajaan Sung yang sejak tahun 1127 dinamakan Kerajaan Sung Selatan itu tampak kelemahannya karena setiap tahun Kaisar terpaksa harus mengirim upeti kepada Kaisar Kerajaan Cin. Dalam keadaan yang amat lemah inilah para golongan sesat, gerombolan maupun perorangan yang biasa melakukan kejahatan, semakin merajalela. Apabila pemerintahnya lemah, para pejabatnya hanya mementingkan diri berlumba menumpuk kekayaan dengan korupsi, kepentingan rakyat diabaikan, maka sudah pasti keamanan menjadi terganggu. Tidak ada jaminan keselamatan bagi rakyat, bahkan para penguasa yang semestinya menjadi pelindung rakyat berbalik menjadi pemeras rakyat.

   (Lanjut ke Jilid 12)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12

   Beng-Kauw juga semakin berani dan perkumpulan ini bersikap seolah menjadi sebuah Kerajaan kecil sendiri. Beng-San dan sekitarnya dianggap sebagai daerah kekuasaan mereka.

   Namun, Beng-Kauw pada waktu itu banyak ditentang oleh para pendekar. Selain menguasai rumah-rumah pelacuran, perjudian dan tempat kemaksiatan lainnya, baik di kota besar maupun di Kotaraja Hang-Couw, yaitu Kotaraja Sung Selatan, juga Beng-Kauw seenaknya sendiri menentukan pajak bagi para petani dan nelayan. Beng-Kauw tidak pernah diganggu pemerintah karena hampir semua pembesar telah menjadi sekutunya dengan "bagi hasil."

   Pada waktu itu yang menjadi Ketua Beng-Kauw adalah Siangkoan Hok, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun bertubuh tinggi kurus berwajah tampan. Ketua Beng-Kauw ini terkenal memiliki ilmu silat tinggi, juga ahli sihir dan ahli racun yang amat berbahaya. Permainan golok tunggalnya amat ditakuti orang. Siangkoan Hok ini dibantu oleh tiga orang Sutenya (adik seperguruannya) yang di dunia kang-ouw dikenal sebagai Beng-Kauw Sam-Liong (Tiga Naga Beng-Kauw).

   Mereka terdiri dari Bhe Kun, berusia empat puluh delapan tahun, tinggi besar bermuka brewok dan terkenal dengan senjatanya siang-to (sepasang golok). Orang ke dua dan ke tiga adalah Kakak-beradik, Cu Kok berusia empat puluh lima tahun, bertubuh sedang, wajahnya yang sebetulnya tampan itu menjadi cacat karena bopeng (bekas cacar), dan adiknya Cu Lok berusia empat puluh tahun tubuhnya sedang dan wajahnya tampan, senjatanya sama dengan Kakaknya, yaitu Siang-Kiam (sepasang pedang). Selain dibantu Beng-Kauw Sam-Liong, Beng-Kauw juga diperkuat oleh puteri ketuanya yang bernama Siangkoan Ceng Gadis berusia sembilan belas tahun yang cantik jelita ini bahkan lebih terkenal daripada Beng-Kauw Sam-Liong karena sesungguhnya gadis ini memang lihai bukan main.

   Sejak kecil ia suka mempelajari ilmu silat dan setelah mewarisi ilmu dari Ayahnya, selama tiga tahun ia digembleng oleh mendiang Tong Tong Losu, Paman Guru Ayahnya yang dulu merupakan seorang Datuk aneh yang tidak mempunyai murid. Ilmu-ilmu rahasianya dia turunkan kepada Siangkoan Ceng sehingga gadis itu luar biasa lihainya, bahkan tidak kalah lihai dari Ayahnya sendiri! Akan tetapi, gadis muda ini sudah malang melintang di dunia kang-ouw dan dalam waktu kurang dari setahun saja ia telah dikenal di dunia kang-ouw dengan julukan Ang-Hwa Niocu (Nona Bunga Merah). Hal ini adalah karena ia suka memakai bunga merah sebagai penghias rambutnya. Ang-Hwa Niocu terkenal amat lihai, cantik jelita, berwatak aneh dan juga lincah, galak dan angkuh!

   Akan tetapi biarpun anak buah Beng-Kauw banyak yang nyeleweng dan melakukan kejahatan, Siangkoan Hok, Beng-Kauw Sam-Hong, dan Siangkoan Ceng tidak pernah mau melakukan perbuatan jahat. Watak mereka memang aneh, tidak mau kalah, memandang rendah orang lain dan sombong, namun mereka pantang melakukan perbuatan jahat seperti mencuri, merampok dan sebagainya. Mereka menjaga nama dan kehormatan mereka. Bahkan kalau kejahatan anak buah mereka diketahui orang, untuk menjaga nama besar mereka, pimpinan Beng-Kauw tidak segan-segan menghukum berat anggauta yang dianggap telah mencemarkan nama Beng-Kauw di depan umum. Ang-Hwa Niocu Siangkoan Ceng atau yang suka disebut Ceng Ceng memang memiliki watak yang aneh dan keras seperti seekor kuda betina liar yang tidak dapat dikendalikan.

   Bahkan Siangko Hok sendiri kewalahan menghadapi puterinya yang selalu ingin menang dan membawa kemauannya sendiri, tidak mau tunduk kepada siapapun juga termasuk Ayah-Ibunya! Pada suatu pagi Ceng Ceng meninggalkan perkampungan Beng-Kauw. Perkampungan itu berada di dekat puncak Bukit Menjangan, sebuah di antara banyak bukit di Pegunungan Beng-San, di situ tinggal anak buah Beng-Kauw yang bersama keluarga mereka berjumlah lebih dari dua ratus orang. Gadis ini memang suka berkelana meninggalkan Beng-Kauw. Bahkan oran tuanya sendiri tidak dipamiti sehingga mereka tidak tahu kemana Ceng Ceng pergi dan berapa lamanya dara itu meninggalkan rumah. Melihat gadis itu berjalan seorang diri menuruni Bukit Menjangan,

   Orang tidak akan mengira bahwa ia adalah seoran tokoh kang-ouw yang disegani dan di takuti karena kelihaiannya. Memang Ceng Ceng tidak suka memperlihatkan diri sebagai gadis kang-ouw. Penampilannya membuat ia tampak seperti seorang puteri yang terpelajar dan lembut. Rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas seperti kebiasaan puteri Bangsawan. Selain dihias sanggul dari emas berbentuk burung Hong dengan mata dari batu mulia berwarna merah, sanggul itu dihias dengan setangkai bunga merah sehingga tampak mencolok, anggun dan indah. Wajahnya bulat telur dengan sepasang mata bintang yang jeli dan lebar, dilindungi sepasang alis yang hitam melengkung bagaikan dilukis. Hidungnya kecil mancung clan mulutnya yang kecil memiliki sepasang bibir merah basah aseli, bentuknya penuh, lembut dan menggairahkan.

   Tampak lesung pipi menghias sebelah kiri mulutnya. Kulitnya putih mulus dan mukanya kemerahan. Bukan hanya wajahnya yang indah menggairahkan, juga bentuk tubuhnya amat indah menarik. Semampai dengan pinggang kecil dan dengan lekuk-lengkung tubuh yang sempurna. Pendeknya, laki-laki mana pun kalau berpapasan dengan gadis ini, pasti dia akan menoleh beberapa kali dengan pandang mata terkagum-kagum! Bahkan tidak tampak gadis itu membawa senjata padahal Ceng Ceng terkenal sekali kehebatan ilmu pedangnya. Jangan dikira bahwa ia meninggalkan pedangnya! Pek-Coa-Kiam (Pedang Ular Putih) miliknya tak pernah berpisah dari badannya karena pedang itu merupakan sebatang pedang pusaka yang tipis sekali dan hebatnya, pedang itu dapat dipakai sebagai sabuk yang melilit di pinggangnya yang kecil.

   Juga di ikat pinggangnya terdapat sebuah kantung kecil penuh dengan jarum merah. Itulah senjata rahasianya yang amat, mengerikan saking ampuhnya, disebut Ang-Tok-Ciam (Jarum Racun Merah). Setelah menuruni Bukit Menjangan, Ceng Ceng lalu turun lagi sampai ke kaki Beng-San. Sekali ini ia ingin berpesiar ke See-Ouw (Telaga Barat) di daerah Kotaraja Hang-Couw. Kotaraja Sung Selatan, yaitu Hang-Couw, memang berada di dekat Telaga Barat yang amat terkenal keindahannya itu, di wilayah Cekiang. Matahari telah naik tinggi ketika gadis yang kini melakukan perjalanan cepat sekali seperti terbang itu meninggalkan kaki pegunungan Beng-San. Karena wilayah sekitar Beng-San dianggap sebagai wilayah kekuasaan Beng-Kauw, maka para penduduk dusun di sekitar situ telah lama pindah ke lain tempat karena merasa takut.

   Keadaan di sekitar kaki pegunungan itu kini sunyi, bahkan para pedagang yang lewat di situ kini mengambil jalan mentutar agar tidak memasuki wilayah kekuasaan Beng-Kauw. Ceng Ceng merasa gerah. Keringat membasahi lehernya. Siang hari itu memang panas dan ia melakukan perjalanan cepat sejak pagi. Kini ia telah tiba di hutan terakhir di kaki Beng-San. ia berhenti dan duduk di bawah sebatang pohon, menyeka keringatnya dari leher dengan sehelai saputangan merah muda. Nyaman duduk di bawah pohon yang teduh itu, ditiup angin semilir sehingga ia merasa mengantuk. ia duduk bersandar batang pohon, melepaskan lelah dan menghilangkan rasa gerah yang membuat ia berkeringat. Dalam keadaan layap-layap hampir pulas, mendadak telinganya menangkap suara orang. Suara laki-laki seperti bernyanyi atau membaca sajak, namun kata-katanya aneh.

   "Siapakah namaku,

   Bagaimana riwayatku?

   Aku tidak tahu!

   Yang aku sudah pasti

   Bu Beng bukanlah namaku!

   Dari manakah aku,

   ke mana hendak pergi?

   Aku pun tidak tahu!

   Orang pertama yang kukenal namanya

   Hanyalah Tiong Gi Hosiang!"

   Mendengar suara ini, Ceng Ceng membuka matanya lalu meloncat bangun berdiri. Cepat ia berkelebat ke arah suara itu. Akan tetapi suara itu sudah berhenti dan ia melihat sesosok bayangan putih berkelebat cepat sekali menuju ke timur. ia merasa tertarik sekali karena hanya orang yang berilmu tinggi saja dapat bergerak secepat itu.

   la pun lalu mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan melakukan pengejaran. Ceng Ceng merasa kagum bukan main. Ternyata laki-laki muda itu dapat berlari cepat sehingga biarpun sudah mengerahkan seluruh kekuatan ginkang, tetap saja ia tidak mampu menyusulnya dan tetap berada di belakang pemuda itu dalam jarak belasan tombak jauhnya! Tentu saja hal ini membuat Ceng Ceng merasa heran dan juga penasaran. Padahal dalam hal ginkang, ia boleh dibilang nomor satu di Beng-Kauw. Ayahnya sendiri atau ketiga orang Paman Gurunya jelas tidak mampu menandingi kecepatannya. Akan tetapi kini pemuda baju putih yang bernyanyi aneh itu memiliki ginkang yang tidak kalah olehnya! Ceng Ceng mengerahkan khikang dan berteriak dengan suara melengking nyaring.

   "Sobat laki-laki baju putih yang di depan, perlahan dulu aku ingin bertemu dan bicara!"

   Pemuda baju putih itu adalah Song Han Bun yang saat itu mengenal diri sendiri sebagai Bu Beng, nama yang di-pakainya untuk memperkenalkan diri kepada Tiong Gi Hosiang. Karena itu agar tidak membingungkan sebaiknya kita mulai sekarang menyebut Han Bun dengan nama barunya, yaitu Bu Beng. Mendengar teriakan melengking dari belakangnya itu, Bun Beng menahan langkahnya, berhenti dan memutar tubuhnya. Gadis itu melangkah menghampirinya dengan langkah lembut dan gemulai. Bu Beng memandang dengan mata terbelalak heran.

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Siapa yang tidak akan merasa heran melihat seorang gadis jelita seperti puteri Bangsawan, berpakaian mewah, berada seorang diri di dalam hutan dan tadi berseru agar dia berhenti berlari. Dia, mengamati penuh perhatian. Melihat penampilannya, jelas ia seorang gadis Bangsawan yang lemah. Akan tetapi melihat kenyataannya bahwa ia berani melakukan perjalanan seorang diri dalam hutan itu, dapat diduga bahwa tentu gadis ini bukan orang sembarangan. Kini mereka berdiri berhadapan dan kalau Bu Beng memandang dengan wajah keheranan, Ceng Ceng mengamati wajah dan bentuk tubuh Bu Beng dengan heran pula dan kagum. Tak disangkanya ia akan berhadapan dengan seorang pemuda yang tampan dan yang tadi menunjukkan bahwa dia memiliki ilmu berlari cepat yang hebat. Akan tetapi pemuda itu tampak lesu dan pakaiannya kusut, wajahnya menunjukkan keresahan.

   "Sobat, berani benar engkau memasuki wilayah ini. Tidak tahukah engkau bahwa di sini termasuk wilayah kekuasaan Beng-Kauw dan tidak ada yang boleh lewat di sini tanpa perkenan kami?"

   "Beng-Kauw? Apa sih Beng-Kauw itu? Dan tempat ini di mana pun aku tidak tahu, maka aku tidak tahu pula apakah ini wilayah Beng-Kauw atau wilayah siapa."

   Ceng Ceng tercengang. Orang ini benar-benar aneh. Agaknya belum mengenal Beng-Kauw! Mustahil, semua orang di dunia kang-ouw pasti mengenal Beng-Kauw dan pemuda yang dapat berlari secepat itu tentu seorang dari dunia persilatan pula. Bahkan tempat di mana dia berada pun katanya dia tidak tahu.

   "Sobat, siapakah namamu, engkau dari aliran persilatan mana dan mengapa engkau berada di sini?"

   Bu Beng tersenyum aneh, dia seperti diingatkan bahwa dia berada dalam keadaan bingung, tidak lagi mengenal nama sendiri, lupa akan semua masa lalu yang dialaminya.

   "Aku sendiri tidak tahu siapa namaku, maka sebut saja aku Bu Beng (Tanpa nama) karena aku memang tidak punya nama. Dari aliran persilatan mana? Aku pun tidak tahu, bahkan aku tidak tahu apakah aku bisa silat atau tidak. Dan mengapa aku berada di sini juga aku tidak tahu, aku hanya menurut saja ke mana kakiku membawaku selama belasan hari ini."

   Ceng Ceng mengerutkan alisnya yang hitam dan kecil panjang melengkung indah. ia merasa dipermainkan mendengar, jawaban itu. Maka ia ingin menguji pemuda itu. Kalau ia menyerang dan pemuda itu membela diri, tentu terpaksa pemuda itu memperlihatkan ilmu silatnya clan ia akan mengetahui dari gerakannya ilmu silat aliran mana yang dimiliki pemuda yang mengaku bernama Bu Beng (Tanpa Nama) itu.

   "Heiiiittt...!"

   Tiba-tiba saja Ceng Ceng menggerakkan tangan kirinya dan ia sudah menampar ke arah pipi kanan Bu Beng.

   Pemuda Ini terkejut bukan main. Dia tidak berbohong ketika mengatakan bahwa dia sendiri tidak tahu apakah dia bisa silat atau tidak. Akan tetapi ilmu silat yang dilatilinya sejak dia masih kecil itu telah mendarah daging atau telah bersatu dengan dirinya. Maka tanpa mempergunakan ingatan pikirannya lagi, begitu melihat datangnya serangan yang mendatangkan sambaran angin dahsyat itu, secara otomatis dia mengelak dengan menarik tubuh bagian atas ke belakang. Tamparan itu luput dan Ceng Ceng yang ingin sekali melihat dan mengenal ilmu silat pemuda itu, cepat menyusulkan serangan lain yang lebih hebat. Akan tetapi secara otomatis tubuh Bu beng bergerak, mengelak atau menangkis dan gerakannya cepat bukan main sehingga secara berturut-turut delapan jurus serangan Ceng Ceng dapat dihindarkan dengan baik.

   "Nona, apakah engkau sudah gila? Apa kesalahanku maka engkau menyerangku membabi-buta begini?"

   Bu Beng berseru sambil melompat ke belakang.

   "Hemm, engkau tentu murid Bu-Tong-Pai!"

   Kata Ceng Ceng yang mengenal akan Bu Beng ketika mengelak atau menangkis tadi. Memang secara otomatis buh Bu Beng menggunakan gerakan ilmu silat Bu-Tong-Pai yang amat kuat dalam pertahanan.

   "Bu-Tong-Pai? Aku tidak tahu!"

   Kata Beng. Ceng Ceng masih menganggap pemuda itu mempemainkannya.

   "Singgg...!"

   Tiba-tiba tampak sinar putih berkelebat dan ternyata gadis itu lah meloloskan pedang Pek-Coa-Kiam dari pinggangnya. Pedang tipis berwarna putih itu mengkilap dan pada batangnya terdapat ukiran seekor ular.

   "Coba kau lawan pedangku ini!"

   Gadis membentak dan ia lalu menyerang dengan hebat. Pedangnya berubah menjadi sinar putih yang bergulung menyambar-nyambar. Bu Beng semakin terkejut dan khawatir. Gadis ini benar-benar setengah gila, pikirnya. Tiada hujan tiada angin hendak membunuhnya! Secara otomatis dia pun mencabut pedangnya dan tangannya sudah menggerakkan pedang itu untuk membela diri dan secara otomatis pula dia membalas dengan serangan yang tidak kalah lihainya dibandingkan serangan Ceng Ceng.

   Setelah lewat dua puluh jurus, Ceng Ceng menjadi semakin penasaran. Belum pernah dara ini menghadapi lawan sehebat itu. Semua serangannya seperti bertemu benteng baja, terkadang seolah ia menyerang angin saja. Dan serangan balik pemuda bernama Bu Beng itu ternyata hebat sekali. ia juga merasa bahwa pemuda itu mengalah, karena setiap kali serangan pemuda itu sukar dihindarkan dan nyaris ia terluka, pemuda itu menahan serangannya! ia juga mengenal pertahanan gaya ilmu pedang Bu-Tong-Pai, yaitu Bu-Tong Kiam-Sut, akan tetapi kalau pemuda itu menyerangnya, ia sama sekali tidak mengenal jurus itu. Pemuda itu agaknya menggunakan ilmu pedang Bu-Tong-Pai dicampur dengan ilmu pedang lain, entah berapa macam!

   Selain penasaran, Ceng Ceng juga merasa kagum dan diam-diam ia merasa senang. Pemuda itu mengalah dan jelas tidak ingin melukainva dan ini hanya berarti bahwa pemuda itu tertarik dan jatuh cinta padanya! Sudah terlalu sering ia merasa dicinta para pemuda yang tergila-gila kepadanya. Namun belum pernah ia tertarik kepada mereka dan belum pernah ia membalas cinta laki-laki. Akan tetapi entah mengapa, sekali ini ia merasa senang sekali melihat pemuda ini mengalah kepadanya! ia amat tertarik, bukan hanya oleh ketampanan Bu Beng, terutama sekali melihat betapa lihainya pemuda itu. Kalau pemuda itu berniat merobohkannya, kiranya sejak tadi ia sudah kalah dan roboh! ia tidak ingin menggunakan Ang-Tok-Ciam karena ia tidak ingin membunuh pemuda yang mulai menarik hatinya itu.

   "Cringgg...!!"

   Bunga api berpijar dan hampir saja Pedang Ular Putih itu terepas dari genggaman tangan Ang-Hwa Niocu atau Ceng Ceng. Pertemuan pedang itu sungguh hebat dan agaknya Bu Beng ingin menyudahi perkelahian itu tanpa melukai lawan. Ceng Ceng melompat ke belakang.

   "Tahan...!"

   Serunya sambil melibatkan lagi pedang itu ke pinggangnya. Han Bun atau Bu Beng menghela napas lega dan dia pun menyimpan pedang di sarung pedang yang tergantung di punggungnya, lalu dia tersenyum.

   "Sukurlah engkau menghentikan seranganmu, Nona. Aku pun ingin sekali berhenti dan bicara. Sekarang kuharap engkau suka memberi penjelasan kepadaku. Di antara kita tidak ada permusuhan apa pun, tidak saling mengenal, akan tetapi kenapa engkau menyerangku mati-matian dan berkeras hendak membunuhku? Apa salahku kepadamu, Nona?"

   Ceng Ceng juga tersenyum manis. ia tertarik sekali kepada pemuda itu dan dengan lembut ia berkata.

   "Kita memang tidak saling bermusuhan, akan tetapi kalau bicara tentang kesalahan, engkau telah melanggar wilayah kami. Akan tetapi aku tadi juga hanya ingin mengujimu dan aku ingin berkenalan denganmu. Benarkah namamu Bu Beng? Tidak bohongkah engkau bahwa engkau tidak mengenal dirimu sendiri? Tadi kukira engkau hanya hendak mempermainkan aku."

   Bu Beng menggelengkan kepalanya.

   "Aku tidak berani mempermainkan orang, Nona. Apalagi engkau seorang wanita terhormat. Aku bicara sebenarnya. Aku sama sekali tidak ingat siapa diriku dan! tidak ingat riwayatku."

   "Tapi engkau pandai ilmu silat!"

   "Entahlah, hal itu pun aku tidak tahu. Aku hanya bergerak untuk melindungi diriku."

   Ceng Ceng mengangguk-angguk.!

   "Hemm, engkau tentu telah mengalami sesuatu yang membuat ingatanmu hilang. Bu Beng. Baiklah, mari kita berkenalan. Engkau Bu Beng, seorang yang telah kehilangan ingatan dan aku bernama Siangkoan Ceng atau lebih sering disebut, Ceng Ceng dan julukanku adalah Ang-Hwa Niocu. Aku puteri Ketua Beng-Kauw yang menguasai wilayah ini."

   Bu Beng memberi hormat, lalu berkata.

   "Kalau begitu maafkanlah aku, Nona. Aku tidak sengaja melanggar wilayahmu karena aku memang tidak tahu sama sekali. Aku sampai di tempat ini hanya menurut saja ke mana kakiku membawaku. Aku sendiri tidak tahu harus pergi ke mana."

   Ceng Ceng kini merasa yakin bahwa pemuda ini memang benar telah kehilangan ingatannya. Dengan ilmunya yang tinggi itu, pemuda ini tentu akan dapat menjadi pembantu yang boleh diandalkan pikirnya.

   "Bu Beng, kalau engkau tidak punyai tujuan tertentu, setelah kita berkenalan, marilah engkau ikut bersama dan engkau bantulah kami."

   Bu Beng menjadi girang mendapatkan tawaran itu. Dia memang sedang bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Kalau kini dia ditawari pekerjaan, dia akan mempunyai kesIbukan dan perlahan-lahan dia akan dapat mengingat kembali siapa dirinya dan apa yang harus dilakukannya.

   "Baiklah dan terima kasih Niocu (Nona)."

   Katanya gembira.

   Mereka lalu berjalan dan Ceng Ceng tidak melanjutkan perantauannya karena ia ingin memperkenalkan Bu Beng kepada Ayahnya. Akan tetapi baru saja mereka melangkah, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari arah belakang mereka. Mereka cepat memutar tubuh dan melihat tiga orang penunggang kuda datang dengan cepat dan setelah tiba dekat mereka, tiga orang itu berlompatan turun dari atas punggung kuda mereka. Melihat gerakan mereka yang tangkas ketika melompat turun dan melihat penampilan mereka, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang kuat. Usia mereka sekitar tiga puluh dan empat puluh tahun. Ceng Ceng tersenyum mengejek ketika mengenal mereka. ia tahu bahwa mereka adalah tiga pendekar dari Lam-Jiu yang terkenal dengan sebutan Coa-Sam Heng-Te (Tiga Saudara Coa), Kakak-beradik she Coa yang dikenal sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa.

   Bu Beng tidak mengenal mereka, tetapi dia juga dapat melihat bahwa mereka adalah laki-laki yang tampak gagah. Memang Coa-Sam Heng-Te terkenal sebagai pendekar-pendekar gagah yang selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. Yang tertua bernama Coa Seng, berusia empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka gagah berwibawa, berkumis dan berjenggot pendek. Yang ke dua bernama Coa Kiu, berusia tiga puluh lima tahun, tubuhnya tinggi kurus namun tampak kuat. Dan yang ke tiga bernama Coa Bin, berusia tiga puluh tahun dan perawakannya sedang. Mereka bertiga memiliki sebatang pedang yang tergantung di punggung mereka. Begitu mereka melompat turun dari atas kuda, mereka bertiga langsung saja berloncatan dengan gerakan lincah dan berada di depan Ceng Ceng.

   "Ang-Hwa Niocu, kini tiba saatnya engkau menebus dosa dan menyerahkan nyawamu untuk membalas kematian Kiu Sute (Adik Seperguruan Kiu)!"

   Coa Seng membentak sambil mencabut pedangnya. Kedua adiknya, Coa Kiu dan Coa Bin, juga mencabut pedang mereka dan tiga orang itu siap untuk menyerang Ceng Ceng. Ceng Ceng menoleh kepada Bu Beng yang berdiri diam dengan pandang mata bingung dan heran, lalu berkata.

   "Bu Beng, sebagai sahabatku, maukah engkau melindungi aku dari ancaman tiga orang kasar yang hendak membunuhku ini?"

   Biarpun dia telah kehilangan ingatannya akan masa lalunya, namun watak dasar Bu Beng tidak berubah. Dia akan selalu menentang kejahatan dan kekerasan, maka kini dia melangkah maju menghadapi tiga orang itu.

   "Sobat bertiga, sungguh aneh kalau tiga orang laki-laki gagah seperti Sam-wi (Kalian Bertiga) hendak membunuh dan mengeroyok seorang wanita seperti Ang-Hwa Niocu ini. Harap Sam-wi menyadari bahwa hal itu amat tidak patut clan jangan mengganggunya."

   "Twako, dia ini tentu seorang antek Beng-Kauw, maka membelanya!"

   Kata Coa Bin marah.

   "He, orang muda! Kalau engkau hanya seorang murid rendahan saja dari Beng-Kauw, engkau mundurlah agar kami tidak perlu membunuhmu. Kami hanya ingin membunuh Ang-Hwa Niocu dan tidak ada sangkut-pautnya dengan Beng-Kauw!"

   Bentak Coa Seng.

   "Sobat, segala urusan pasti dapat diselesaikan dengan cara damai, maka kuharap engkau tidak menggunakan kekerasan."

   Kata Bu Beng, coba menyabarkan.

   "Twako, mengapa berbantahan dengan antek ini? Bunuh saja mereka berdua!"

   Kata Coa Kiu yang tinggi kurus dan dia pun segera menggerakkan pedangnya menyerang Ceng Ceng. Akan tetapi gadis ini sengaja melompat ke belakang karena ia ingin melihat apakah Bu Beng mau membelanya. Hal ini pun merupakan ujian bagi pemuda itu, sampai di mama kesetiaannya kalau ia menarik pemuda itu menjadi pembantu di Beng-Kauw. Melihat Coa Kiu menggerakkan pedang menyerang Ceng Ceng yang melompat ke belakang, Bu Beng cepat mencabut pedangnya dan dia lalu melompat clan menghadang Coa Kiu yang hendak mengejar Ceng Ceng.

   "Bocah lancang, mampus kau!"

   Bentak Coa Kiu sambil menyerang Bu Beng dengan pedangnya. Serangan itu dahsyat sekali dan Si Tinggi Kurus itu mempergunakan jurus ilmu pedang Kun-Lun Kiam-Sut yang cepat dan kuat. Bu Beng otomatis mainkan jurus Kong-Ciak Kai-Peng (Burung Merak Membuka Sayap) dari Bu-Tong-Pai untuk menangkis serangan itu. Pedangnya bergerak ke samping untuk menangkis dan dalam gerakan ini, pedangnya digetarkan tenaga sakti yang secara otomatis mendasari jurus itu.

   "Trangggg...!!"

   Coa Kiu terkejut karena hampir saja pedangnya yang terpental keras itu lepas dari pegangannya.

   Melihat Coa Kiu berseru kaget dan terhuyung, Coa Seng dan Coa Bin segera membantu dan mereka berdua langsung menyerang Bu Beng. Pemuda ini telah slap siaga dan memutar pedang menghadapi pengeroyokan tiga orang Kakak-beradik she Coa itu. Bu Beng yang menggerakkan pedangnya secara otomatis itu kini mempercepat gerakannya. Belasan jurus kemudian terdengar suara berdenting nyaring berturut-turut dan tiga batang pedang di tangan Kakak-beradik she Coa itu patah-patah bertemu dengan pedang Bu Beng. Tiga orang itu terkejut dan baru menyadari bahwa pemuda itu ternyata lihai bukan main, bahkan mungkin lebih lihai daripada Ang-Hwa Niocu sendiri! Maka, maklum bahwa kalau melawan terus sama saja dengan bunuh diri, mereka segera berloncatan naik ke atas punggung kuda masing-masing dan membalapkan kuda mereka kabur dari tempat itu.

   Ang-Hwa Niocu mengambil segenggam Ang-Tok-Ciam dan begitu tangan kirinya bergerak, belasan batang jarum halus meluncur seperti sinar merah ke arah tiga orang yang melarikan diri itu. Akan tetapi melihat ini, dengan khawatir Bu Beng menggerakkan kedua tangan seperti hendak menangkap jarum-jarum itu. Tanpa dia sengaja tenaga sakti meluncur dari kedua tangannya itu, membentuk angin menyambar dan sinar merah itu terpental ke samping, membuat jarum-jarum tidak mengenai sasaran. Baru Bu Beng menyadari bahwa gerakan kedua tangannya yang tidak disengaja tadi mendatangkan angin yang memukul runtuh senjata rahasia berbahaya itu. Tiga orang itu membalapkan kuda mereka dan sebentar saja lenyap di antara pohon-pohon besar.

   "Ihh, Bu Beng! Mengapa engkau menggagalkan serangan jarum-jarumku kepada tiga orang jahanam itu? Mereka sepatutnya dihukum mati!"

   Ang-Hwa Niocu menegur. Bu Beng menggelengkan kepalanya

   "Tidak, Niocu. Aku tidak mau membunuh orang tanpa alasan yang kuat. Mereka telah kalah dan melarikan diri, tidak semestinya kalau engkau membunuh mereka, apalagi dengan cara menyerang dari belakang menggunakan senjata gelap Itu curang namanya!"

   Dia lalu menyimpan kembali pedangnya.

   "Akan tetapi mereka tadi ingin membunuhku dan juga membunuhmu!"

   "Hemm, kukira mereka itu mempunyai alasan yang kuat. Mengapa mereka hendak membalaskan kematian Sute mereka, Niocu. Apa yang terjadi dengan Sute mereka she Kiu itu?"

   "Huh, engkau tidak tahu! Jahanam she Kiu itu memang layak mampus. Dia berani kurang ajar kepadaku, bersikap tidak sopan dan memandang rendah padaku. Kami berkelahi dan dia tewas. Sudahlah, Bu Beng, aku senang dan berterima kasih padamu bahwa engkau tadi telah mau membelaku. Mari kita ke perkampungan Beng-Kauw, akan kuperkenalkan engkau kepada Ayahku."

   

Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini