Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 13


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



Bu Beng menurut saja dan menjelang sore mereka tiba di perkampungan Beng-Kauw. Mereka disambut oleh Beng-Kauw Sam-Liong dan Ceng Ceng menceritakan tentang kelihaian Bu Beng kepada tiga orang Susioknya itu.

   "Aku melihat Bu Beng ini dapat menjadi pembantu yang amat baik untuk kita, Sam-wi Susiok (Paman Guru Bertiga) maka aku ingin menghadapkan dia kepada Ayah."

   Kata gadis itu kepada tiga orang Paman Gurunya di ruangan dalam sedangkan Bu Beng disuruh menanti di ruangan depan. Tiga orang Beng-Kauw Sam-Liong itu mengerutkan alisnya dan mereka agaknya tidak senang mendengar pemuda tampan yang bukan murid Beng-Kauw itu hendak dijadikan pembantu utama. Akan tetapi di depan Ceng Ceng yang galak mereka tidak berani mencari kerIbutan. Maka dibawalah Bu Beng ke dalam menghadap Siangkoan Hok, diikuti oleh Ceng Ceng dan tiga orang Paman Gurunya.

   "Ayah, ini adalah Bu Beng. Aku bertemu dengan dia di kaki pegunungan dan dia adalah seorang pemuda yang telah kehilangan ingatan masa lalu sehingga dia tidak mengenal dirinya sendiri, maka menggunakan nama Bu Beng (Tanpa Nama). Dia tidak ingat akan riwayatnya, juga perguruannya. Akan tetapi dia memiliki ilmu silat tinggi, Ayah. Dia bahkan telah membelaku ketika muncul tiga orang murid Kun-Lun-Pai, yaitu Coa-Sam Heng-Te dari kota Lam-Jiu yang hendak membunuhku. Ayah, aku membawa Bu Beng ke sini agar Ayah mau menerima dia sebagai seorang pembantu kita. Aku jamin, Ayah, ilmunya sungguh tinggi dan boleh diandalkan. Bu Beng, ini adalah Ayahku, namanya Siangkoan Hok, Ketua Beng-Kauw."

   Bu Beng yang tadinya sudah dipersilakan duduk, bangkit berdiri dan menjura dengan hormat.

   "Saya Bu Beng merasa senang dan terhormat sekali dapat berkenalan dengan Pangcu (Ketua Perkumpulan)."

   Karena tadi Ceng Ceng ketika memperkenalkan menyebut Ayahnya Pangcu (Ketua Per-kumpulan) bukan Kauwcu (Ketua Agama), maka Bu Beng juga menyebut Pangcu. Memang pada waktu itu, sebutan Kauwcu sudah tidak ada lagi setelah perkumpulan Beng-Kauw lebih menyerupai perkumpulan urusan duniawi daripada perkumpulan kerohanian atau agama.

   "Hemm, orang muda, engkau masih begini muda dan engkau telah kehilangan ingatanmu akan masa lalumu. Bagaimana mungkin engkau masih dapat menguasai ilmu silat tinggi?"

   Tanya Ketua Beng-Kauw itu penuh keraguan.

   "Ayah, aku sendiri tadinya juga meragukan hal itu. Akan tetapi aku melihat buktinya ketika dia dengan mudahnya, mengalahkan Coa Sam Heng-Te, juga aku sendiri sudah pernah menguji Dan dia benar-benar menguasai ilmu yang tinggi, Ayah!"

   "Dan engkau tidak tahu dari aliran mana ilmunya itu?"

   "Memang aneh, Ayah. Aku melihat ada dasar-dasar ilmu pedang Bu-Tong-Pai, akan tetapi bercampur dengan gerakan aliran lain yang tidak kukenal."

   Jawab Ceng Ceng.

   "Hemm, aku belum yakin kalau belum mengujinya sendiri."

   Kata Siangkoan Hok yang segera berkata kepada, Beng-Kauw Sam-Liong.

   "Kalian bersiaplah dan Sute, majulah kalian satu demi satu dan cobalah sampai di mana tingginya ilmu dari Bu Beng ini. Serang dengan sungguh sungguh, jangan main-main!"

   "Baik, Pangcu!"

   Kata Bhe Kun yang menyebut Kakak seperguruannya dengan, sebutan Ketua untuk menghormatinya.

   "Sute Cu Lok, kau majulah dulu dan uji kepandaian pemuda ini!"

   "Aku kira sebaiknya kalau Susiok (Paman Guru) bertiga maju bersama agar lebih dapat dinilai kehebatan Bu Beng!"

   Kata Ceng Ceng.

   Dara ini sudah pernah berlatih dikeroyok tiga oleh para Paman Gurunya, maka ia sudah dapat mengukur dan yakin bahwa ilmu yang dikuasai Bu Beng akan dapat mengalahkan mereka. ia sendiri pun dapat mengimbangi pengeroyokan mereka bertiga, maka Bu Beng yang lebih lihai daripadanya tentu akan mampu mengalahkan mereka. Mendengar ucapan Ceng Ceng itu, wajah tiga orang Beng-Kauw Itu berubah merah. Mereka merasa tak senang clan mendongkol sekali karena ucapan gadis itu jelas merendahkan mereka. Masa mereka bertiga dianjurkan mengeroyok seorang pemuda? Akan tetapi, Siangkoan Hok menjadi gembira mendengar ucapan puterinya. Dia tahu akan kemampuan puterinya dan kalau puterinya mengusulkan agar Beng-Kauw Sam-Itong maju bertiga mengeroyok Bu Beng, tentu ilmu kepandaian pemuda itu benar-benar hebat!

   "Baik sekali kalau begitu! Sam-wi Sute, kalian bertiga majulah bersama dan coba uji kepandaian Bu Beng ini!"

   Katanya gembira. Mendengar perintah Suheng mereka, Beng-Kauw Sam-Liong tidak berani membantah.

   "Orang muda, cabut pedangmu dan sambut serangan kami bertiga!"

   Kata Bhe Kun dan dia lalu bergerak bersama dua orang Sutenya mengepung, membuat kedudukan segitiga.

   Seorang berada di depan Bu Beng dan dua orang berdiri di kanan kirinya agak ke arah belakang. Bu Beng maklum bahwa dia harus melawan tiga orang yang tentu lihai sekali karena Ceng Ceng menyebut mereka sebagai Paman Gurunya. Apalag mereka maju bersama. Dikeroyok tiga orang yang berilmu tinggi! Akan tetapi dia percaya kepada Ceng Ceng. Tidak mungkin gadis yang sudah mengaku sebagai sahabat itu akan mencelakakannya. Kalau gadis itu mengusulkan agar dia dikeroyok tiga, tentu ia sudah dapat memperhitungkan bahwa dia akan mampu menandingi mereka. Maka dia pun mencabut pedang dari punggungnya dan siap melindungi dirinya. Melihat pemuda itu sudah siap, Bhe Kun memberi isarat kepada dua orang adik seperguruannya lalu membentak.

   "Orang muda, lihat seranganku!"

   Dia menyerang dari depan dengan senjata siang-to (sepasang golok) yang menyambar-nyambar dahsyat.

   Bu Beng bergerak otomatis, mengelak dan pada saat itu dua pasang pedang dari Cu Kok dan Cu Lok menyambar dari kanan Bu Beng memutar pedangnya sehingga pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar yang bercahaya terang dan menyelimuti seluruh tubuhnya. Terdengar suara berkerontangan ketika sepasang golok dan dua pasang pedang bertemu dengan sinar pedang bergulung-gulung itu dan tiga orang Beng-Kauw Sam-Bong berseru kaget karena tangan mereka tergetar hebat dan senjata mereka terpental! Tentu saja mereka merasa penasaran sekali, sekaligus memaklumi bahwa pemuda itu benar-benar memiliki tenaga Sakti yang amat kuat. Mereka lalu maju menyerang lagi, mengerahkan tenaga dan kecepatan mereka. Akan tetapi, kembali mereka terkejut karena pemuda itu ternyata dapat bergerak lebih cepat daripada mereka sehingga tubuhnya lenyap.

   Yang tampak hanya bayangannya yang dilindungi sinar pedang bergulung-gulung. Kalau Ceng Ceng menonton sambil tersenyum girang, adalah Ayahnya, Siangkoan Hok Ketua Beng-Kauw, memandang dengan tertegun heran. Berulang-ulang mulutnya mengeluarkan pujian menyaksikan pemuda itu menandingi tiga orang Sutenya yang mengeroyoknya. Dia memandang penuh perhatian, ingin mengenal ilmu pedang yang dimainkan Bu Beng. Akan tetapi dia harus membenarkan pendapat puterinya tadi. Dia mengenal jurus-jurus Bu-Tong Kiam-Sut yang amat kuat pertahanannya, akan tetapi kalau pemuda itu membalas serangan tiga orang pengeroyokan, dia tidak mengenal jurus serangan yang dimainkan Bu Beng! Belum sampai tiga puluh jurus, sinar pedang di tangan Bu Beng semakin cepat gerakannya,

   Sinarnya yang bergulung-gulung itu semakin lebar sehingga gulungan sinar dua pasang pedang dan sepasang golok dari Beng-Kauw Sam-Liong semakin menyempit. Tiba-tiba terdengar bentakan Bu Beng, diikuti berdentang pertemuan senjata dan disusul teriak kaget tiga orang pengeroyok itu. Gulungan sinar pedang Bu Beng berhenti dan pemuda itu sudah berdiri tegak lalu menyimpan kembali pedangnya. Tiga orang Beng-Kauw Sam-Liong berdiri terbelatak memandang sepasang senjata mereka yang sudah terlepas dari tangan mereka dan jatuh berserakan di atas lantai. Kini mereka merasa malu yang cepat berubah menjadi kemarahan. Mereka segera mengambil senjata mereka dan dari sikap mereka, jelas bahwa mereka belum mau menerima kekalahan mereka dan hendak menyerang lagi. Akan tetapi Singkoan Hok berseru dengan nada memerintah.

   "Cukup Bu Beng, engkau lulus ujian dan kami menerimamu mejadi pembantu kami!"

   Bu Beng merasa girang karena dia sedang kebingungan. Kehilangan ingatannya membuat dia bingung, tidak tahu harus pergi ke mana dan berbuat apa. Kini dia berkenalan dengan Ang-Hwa Niocu Siangkoan Ceng yang bersikap baik kepadanva dan dia bahkan sekarang diterima sebagai pembantu oleh Ketua Beng-Kauw. Dia juga tidak tahu, perkumpulan apakah Beng-Kauw itu. Akan tetapi melihat sikap Siangkoan Ceng, tentu perkumpulan itu baik dan setelah dia mendapatkan pekerjaan di situ, setidaknya dia mempunyai tempat tinggal tertentu dan pekerjaan tertentu. Kehidupannya yang tadinya kosong membingungkan itu kini telah ada isinya.

   "Terima kasih, Pangcu!"

   Katanya gembira.

   "Bu Beng, mulai sekarang engkau kami angkat menjadi pembantu kami. Kalau engkau ternyata setia dan dapat membuat jasa untuk Beng-Kauw, engkau akan menjadi seorang yang hidup mulia dan serba kecukupan. Apapun yang kau butuhkan tentu akan terpenuhi. Mari, kita harus rayakan ini dengan perjamuan makan!"

   Kata Siangkoan Hok gembira karena dengan mempunyai seorang pembantu seperti Bu Beng, kedudukannya akan menjadi semakin kuat dan Beng-Kauw akan semakin disegani dan ditakuti lawan.

   "Nanti dulu, Ayah. Selagi para pelayan mempersiapkan jamuan makan, biar kusuruh Bu Beng mandi membersihkan dirinya dan kuberi pakaian baru. Lihat, keadaannya demikian kusut dan kotor. Mari, Bu Beng, kau ikut aku!"

   Kata Ceng Ceng dengan gembira dan Bu Beng hanya dapat mengikutinya saja.

   Setelah mandi dan mengenakan pakaian baru dari Sutera, Bu Beng tampak tampan dan gagah. Atas permintaannya, Ceng Ceng menyediakan pakaian baru dari Sutera putih. Biarpun Bu Beng lupa akan riwayat dan keadaan dirinya di masa lalu, namun dia dapat merasakan dan tahu bahwa dia suka mengenakan pakaian yang berwarna putih. Beberapa hari kemudian, pada suatu malam Bu Beng duduk dalam kamarnya. Dia duduk bersila dan mengerahkan segala kemampuannya untuk mengingat masa lalu yang telah hilang dari ingatannya. Akan tetapi usahanya itu bukan hanya gagal, bahkan lambat laun dia merasa kepalanya pening dan nyeri bukan main. Terpaksa dia menghentikan usahanya itu dan mengeluh.

   "Tok-tok-tok...!"

   Pintu kamarnya diketuk dari luar dan Bu Beng yang mengenal dari langkah kaki tadi bahwa yang datang itu adalah Ang-Hwa Niocu, segera berkata.

   "Masuklah, pintunya tidak terkunci."

   Daun pintu dIbuka dari luar dan tercium bau harum. Ang-Hwa Niocu Siangkoan Ceng melangkah masuk, menutupkan daun pintu kembali. Melihat Bu Beng duduk bersila sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya dan tampak kesakitan, ia segera menghampiri dan duduk di tepi pembaringan.

   "Bu Beng, ada apakah...?"

   Tanyanya lembut penuh perhatian.

   "Tidak apa-apa, Nona. Hanya kepalaku. terasa pening..."

   "Hemm, tentu engkau mencoba untuk mengerahkan tenaga dan mengembalikan ingatanmu lagi. Sudah kuperingatkan agar engkau jangan meakukan itu."

   Bu Beng turun dari atas pembaringan, lalu duduk di atas kursi.

   "Memang aku yang salah, Nona. Akan tetapi aku ingin sekali mengetahui siapa diriku dan bagaimana riwayat hidupku."

   "Tenanglah dan jangan terburu-buru. Menurut Ayahku, ingatanmu kelak akan kembali sendiri, akan tetapi jangan engkau memaksanya. Salah-salah dapat menimbulkan luka yang akibatnya akan lebih parah."

   Bu Beng tersenyum. Kepalanya sudah tidak begitu pening lagi. Dia menatap wajah cantik itu dan berkata.

   "Baiklah, Nona Siangkoan Ceng, aku tidak akan mencobanya lagi."

   "Husss...!"

   Ceng Ceng mencela dan ia lalu memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata mencorong penuh gairah.

   "Kenapa engkau masih menyebut Nona padaku? Sudah berulangkali kukatakan bahwa orang menyebut aku Ceng Ceng, maka engkau pun harus menyebutku demikian. Bukankah kita sudah menjadi sahabat, bahkan engkau sudah menjadi orang Beng-Kauw yang membantu kami? Apakah engkau tidak mau menjadi sahabat baikku, Bu Beng?"

   "Ah, tentu saja aku merasa bahagia dan senang sekali menjadi sahabatmu, Nona... eh, Ceng Ceng, karena engkau adalah seorang yang amat baik."

   "Benarkah, engkau menganggap aku baik? Bu Beng, duduklah di sini, aku ingin bercakap-cakap denganmu."

   Setelah berkata demikian, Ceng Ceng menghampiri lalu menarik tangan Bu Beng, memaksa pemuda itu duduk di tepi pembaringan, berdampingan dengannya. Bu Beng merasa tidak enak dan canggung, akan tetapi untuk menolak pun dia khawatir menyinggung perasaan gadis yang baik hati terhadapnya itu.

   "Tentu, engkau gadis yang paling baik bagiku."

   "Paling baik saja? Tidak paling cantik?"

   Ceng Ceng bertanya dengan sikap manja. Wajah Bu Beng berubah merah, akan tetapi dia tersenyum dan berkata dengan suara sungguh-sungguh dan jujur.

   "Engkau gadis paling baik, paling cantik dan juga paling lihai, Ceng Ceng."

   Bukan main girangnya hati Ceng Ceng. Gadis ini berperangai aneh dan terkadang dapat bersikap galak dan kejam. Akan tetapi biarpun banyak pria kalau memandang kepadanya mata mereka menyinarkan gairah berahi, ia sendiri belum pernah merasa tertarik kepada seorang pria. Memang, ia merasa senang kalau melihat laki-laki tergila-gila kepadanya. Akan tetapi kalau ada yang berani bersikap kurang ajar, ia tidak segan-segan untuk turun tangan menghajarnya atau bahkan membunuhnya sekalipun!

   Ia belum pernah jatuh cinta kepada seorang pemuda, walaupun merasa senang dan bangga kalau semua laki-laki memandangnya dengan kagum. Akan tetapi ia sendiri tidak tahu mengapa kini ia merasa amat tertarik kepada Bu Beng! Padahal pemuda ini sama sekali tidak ia ketahui asal-usulnya, bahkan tidak diketahui namanya karena pemuda itu sendiri sudah kehilangan ingatan dan tidak mengenal diri sendiri. ia tertarik, mungkin karena memang Bu Beng seorang yang berwajah tampan dan bersikap gagah namun sederhana, dan terutama sekali karena pemuda Itu memiliki kelihaian yang melebihi dirinya sendiri. ia tertarik dan jatuh cinta kepada Bu Beng dan baru sekali itu dalam hidupnya Ceng Ceng terangsang gairah berahi terhadap seorang laki-laki...

   "Bu Beng, engkau pun bagiku merupakan laki-laki yang paling tampan, ganteng dan gagah perkasa di dunia ini!"

   Wajah Bu Beng semakin kemerahan

   "Ah, engkau terlalu memujiku, Cen Ceng. Aku hanya seorang yang bodoh kehilangan ingatan dan tidak memiliki apa-apa. Aku hanya menumpang hidup di Beng-Kauw ini, berkat pertolonganmu."

   "Aih, Bu Beng, jangan begitu merendahkan diri. Katakanlah, apa engkau suka padaku seperti aku suka sekali padamu.?"

   Dengan jujur Bu Beng menjawab

   "Tentu saja, aku suka sekali padamu Ceng Ceng. Aku suka sekali."

   Jawaban ini memang sejujurnya. Bu Beng anggap Ceng Ceng seorang gadis yang selain cantik jelita dan Iihai, juga telah berlaku baik kepadanya. Dia berhutang budi kepada gadis itu yang telah menampungnya sehingga dia kini tidak melayang-layang tanpa tempat yang tetap.

   Kini dia mempunyai tempat tinggal, mempunyai pakaian, makan pun secukupnya dan setelah meninggalkan kehidupan lama yang telah dilupakannya mulai lembaran hidup baru dengan keadaan yang menyenangkan dan serba kecukupan. Ini semua berkat pertolongan Ceng Ceng. Tentu saja dia merasa suka kepada gadis itu. Perasaan yang wajar dari setiap orang manusia, kalau disenangkan tentu merasa suka kepada menyenangkannya. Apalagi gadis ini memang cantik jelita dan memiliki iImu yang tinggi. Laki-laki mana yang tidak akan merasa suka? Mendengar jawaban Bu Beng yang di ucapkan dengan nada serius itu, Ceng Ceng merasa senang sekali. Jantungnya berdebar kencang karena belum pernah ia mengalami perasaan seperti saat itu. Wajahnya berubah kemerahan, matanya setengah terpejam dan sinar matanya sayu penuh gairah dan cinta kasih.

   "Bu Beng..."

   Suaranya gemetar dan ia mendekatkan tubuhnya lalu menyandarkan pipinya di bahu pemuda itu. Melihat ini, Bu Beng juga merasakan jantungnya berdebar tegang. Dia merasa canggung sekali dan merasa betapa hal ini tidak semestinya, akan tetapi bagaimana mungkin menolaknya kalau gadis itu bersandar kepadanya?

   "Ceng Ceng, kau kenapakah...?"

   Dia bertanya lembut.

   "Bu Beng..."

   Suara gadis itu berbisik, gemetar akan tetapi seperti berlagu.

   "... aku tahu... aku sudah merasakan sejak kita bertemu... bahwa engkau juga mencintaku seperti aku mencintamu, Bu Beng..."

   Kini gadis itu merangkulkan kedua lengannya ke pinggang pemuda itu. Bu Beng semakin gelisah dan merasa canggung. Jantungnya berdebar tegap sekali dan keringatnya mulai membasah dahi dan lehernya.

   "Tapi, Ceng Ceng..."

   Bisiknya ragu.

   "Bu Beng, diamlah dan peluklah aku. Peluklah aku dengan kasih sayangmu dan katakanlah bahwa engkau cinta padaku..."

   Merasa betapa kedua lengan gadis itu merangkulnya dengan kuat, Bu Beng merasa kasihan dan dengan lembut kedua lengannya juga merangkul pundak Ceng Ceng. Gadis itu kini membalikkan mukanya dan membenamkan mukanya di atas dada Bu Beng. Sampai beberapa waktu lamanya keduanya duduk diam tanpa kata, dan masing-masing dapat merasakan detak jantung mereka yang berdebar-debar.

   Bu Beng memejamkan matanya, jantungnya berdebar dan kepalanya terasa pening karena dia merasa bingung, canggung, dan malu. Dia dapat merasakan betapa hati akal pikirannya menyatakan bahwa keadaannya bersama Ceng Ceng itu sama sekali tidak benar. Akan tetapi bagaimana dia dapat menolak ketika muka dan kepala gadis itu seolah-olah membelai dadanya dengan penuh kemesraan? Dia merasa tidak tega untuk menolak dan menjauhkan diri yang tentu akan membuat gadis itu merasa tersinggung. Dia menundukkan mukanya dengan niat untuk menyadarkan gadis itu bahwa perbuatan mereka itu melanggar kesusilaan. Ketika dia menunduk, hidungnya bertemu keharuman yang lembut dan yang meresap sampai ke dalam hatinya. Kiranya keharuman itu keluar dari setangkai bunga merah yang selalu menghias rambut Siangkoan Ceng.

   Karena rambutnya tidak pernah terlepas dari hiasan setangkai bunga merah, maka di dunia kang-ouw gadis ini dikenal dengan julukan Ang-Hwa Niocu (Gadis Bunga Merah). Keharuman yang lembut itu membuat Bu Beng semakin terpesona dan seolah membuat semangatnya melayang-Iayang ke alam yang indah menghanyutkan. Tak seorang pun manusia, kalau dia memiliki anggauta badan yang lengkap dan normal, dapat terbebas dari pengaruh nafsu, termasuk nafsu berahi yang ada pada diri manusia semenjak dia dewasa. Nafsu berahi sudah menjadi peserta manusia, bahkan menjadi peserta segala mahluk di dunia ini karena nafsu yang satu inilah yang mendorong semua mahluk untuk dapat berkembang biak. Seperti nafsu-nafsu daya rendah yang lain, nafsu berahi mutlak perlu bagi kehidupan manusia, khususnya bagi sarana perkembang-biakan manusia di dunia.

   Nafsu daya rendah itu amat penting dan juga amat berguna bagi manusia selama nafsu-nafsu itu menjadi peserta pembantu, menjadi hamba yang melayani keperluan hidup manusia. Akan tetapi karena dalam pelaksanaannya, nafsu-nafsu ini mendatangkan keenakan atau kenikmatan, maka nafsu dapat menjerat manusia dan memutarbalikkan keadaan. Bukan manusia menjadi majikan dan nafsu menjadi hamba, melainkan terbalik dan manusia yang diperhamba oleh nafsunya sendiri. Kalau sudah begini, manusia mengejar-ngejar kenikmatan itu dan untuk memuaskan nafsunya, pengejaran dapat menghalalkan segala cara. Nafsu dapat membutakan mata hati dan kalau kita sudah diperhamba nafsu berahi, maka terjadilah perjinaan, pelacuran, perkosaan, dan segala macam perbuatan sesat lagi.

   Akan tetapi bagi manusia yang selalu mendekatkan jiwanya dengan TUHAN dan selalu merasakan bimbingan-Nya, selalu waspada akan tindakan sendiri dan selalu dapat merasakan atau menyadari akan kesesatan itu sehingga dapat mencegah berlangsungnya tindakan sesat itu. Demikian pula dengan Bu Beng. Pemuda ini hanya kehilangan ingatannya akan masa lalunya, akan tetapi bukan berarti dia kehilangan tabiat baiknya. Sebelum hilang ingatannya, dia adalah seorang pemuda yang selalu mengutamakan perbuatan baik, membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Maka, biarpun kini nafsu berahi juga mempengaruhinya sebagai seorang pemuda sehat dan normal, hati nuraninya masih waspada dan menyadari bahwa dia terseret ke dekat jurang perbuatan sesat yang berlawanan dengan nuraninya.

   Karena itu, biarpun dia membiarkan saja Ceng Ceng merangkul pinggangnya dan merapatkan muka di dadanya, namun ketika Ceng Ceng terangsang gairah nafsunya dan mulai merangkul lehernya, mengeluarkan suara rintihan halus seperti seekor kucing manja, dan muka yang putih kemerahan berbau harum itu makin mendekati mukanya dan hidung kecil mancung yang ujungnya agak terjungkat lucu itu mulai bergeser menyentuh pipinya dan bibir mungil merah basah itu akan menempel pada bibirnya, tiba-tiba Bu Beng seperti tersentak kaget dan dia menarik kepalanya ke belakang. Gerakannya itu demikian mendadak dan kuat sehingga rangkulan kedua lengan Ceng Ceng pada lehernya terlepas. Cepat Bu Beng bangkit berdiri dan mundur tiga langkah. Ceng Ceng juga bangkit berdiri dan menatap wajah Bu Beng dengan muka kemerahan sehingga ia tampak semakin cantik.

   "Bu Beng, ada apakah? Kenapa engkau menghindar dariku? Bu Beng, aku cinta padamu dan engkau juga mencintaku bukan? Lalu mengapa engkau menjauhiku?"

   "Maaf, Ceng Ceng..., aku... aku... perbuatan kita tadi sungguh tidak semestinya... melanggar kesusilaan..."

   "Bu Beng, apakah engkau sudah mempunyai tunangan atau seorang kekasih? Apakah engkau mencinta seorang gadis lain?"

   Suara Ceng Ceng mengeras, dilandasi cemburu. Bu Beng yang sama sekali tidak ingat akan masa lalunya, menggelengkan kepalanya.

   "Tidak, aku tidak mempunyai tunangan atau kekasih..."

   Mendengar ini, gairah Ceng Ceng memuncak kembali. ia segera maju menghampiri Bu Beng dan merangkul pinggangnya.

   "Kalau begitu, tidak ada yang akan merintangi kita, Bu Beng. Mari kita bicara di dalam kamarku saja. Akupun belum pernah mempunyai kekasih, Bu Beng. ini pengalamanku yang pertama dengan seorang laki-laki. Aku mencintamu, aku ingin menjadi isterimu, Bu Beng...!"

   Gadis itu lalu menarik Bu Beng diajak masuk ke dalam kamarnya. Akan tetapi Bu Beng menegakkan diri dan tidak membiarkan dirinya ditarik.

   "Tidak, Ceng Ceng, kita tidak boleh begini. Kita bukan suami-isteri, kita belum menikah, tidak sepatutnya kita berdua dalam kamar. lni melanggar kesusilaan!"

   "Kalau begitu, mari kita bicara di taman saja!"

   Ceng Ceng lalu bangkit berdiri, menggandeng tangan pemuda itu dan menariknya keluar kamar, langsung memasuki taman yang sunyi. Mereka duduk di atas bangku, di bawah penerangan lampu taman yang kemerahan. Begitu mereka duduk berdampingan, Ceng Ceng kembali merangkulnya lagi, bahkan kini kedua lengannya seperti dua ekor ular bergayung di lengan Bu Beng dan ia mendekatkan mukanya pada muka Bu Beng.

   "Jangan, Ceng Ceng, ini tidak baik!"

   Bu Beng meronta ketika gadis itu hendak menciumnya.

   "Aih, Bu Beng. Kalau kita saling mencinta, apa salahnya? Percayalah pernikahan bisa saja dilangsungkan kemudian. Marilah, kekasihku..."

   "Tidak, Ceng Ceng. Aku tidak mau!"

   Bu Beng bersikeras dan mengerahkan kekuatan sehingga Ceng Ceng tidak mampu menariknya.

   "Bu Beng, aku cinta kamu! Bukankah engkau juga cinta padaku?"

   Ceng Ceng mendesak.

   "Ceng Ceng, maafkan aku. Memang aku kagum dan suka padamu, akan tetapi aku... eh, aku tidak bisa bilang bahwa aku cinta padamu, aku tidak tahu apakah aku ingin berjodoh denganmu. Tidak, aku tidak ingin menjadi suamimu, Ceng Ceng."

   Bukan main marahnya hati gadis itu. Ceng Ceng adalah seorang gadis yang belum pernah bergaul erat dengan pria, bahkan belum pernah jatuh cinta kepada seorang laki-laki. Akan tetapi ia tumbuh sebagai seorang gadis yang liar, kurang pendidikan tata susila,

   Tidak dapat membedakan mana perbuatan yang baik dan boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Baginya, kalau ia berhubungan sebagai suami-isteri dengan seorang laki-laki yang dicintanya, hal itu sudah benar dan tidak perlu menanti sampai ada pernikahan resmi! Maka, tadi ia pun sama sekali tidak ragu untuk mengajak Bu Beng berkencan dan bermain cinta, mengajaknya memasuki kamarnya, tanpa rasa takut atau malu diketahui orang lain. Kini, mendengar penolakan Bu Beng, timbullah kemarahan benar dalam hatinya. Penolakan itu dianggapnya sebagai penghinaan! Akan tetapi gadis ini terlalu cerdik untuk memperlihatkan kemarahannya. ia tahu benar betapa lihainya Bu Beng dan kalau ia bertindak secara berterang, ia sangsi apakah ia akan mampu menandingi Bu Beng. Maka ia tiba-tiba menangis terisak-isak sambil merangkul pinggang Bu Beng.

   "Bu Beng... hu-hu-huuuh... kau kejam sekali... kau hancurkan hatikum kau sia-siakan cintaku..."

   Melihat gadis itu menangis, Bu Beng tidak tega untuk melepaskan rangkulan lengan gadis itu pada pinggangnya.

   "Ceng Ceng... tenanglah, aku... aku hanya bicara terus terang, bukan ingin menyusahkanmu aku memang suka padamu akan tetapi cinta...? Aku belum berpikir tentang hal itu... auhhh""

   Tiba-tiba tubuh Bu Beng terkulai dan ketika Ceng Ceng melepaskan rangkulannya, Bu Beng terguling roboh dalam keadaan pingsan. Kiranya ketika Ceng Ceng beraksi dengan tangisnya tadi dan membuat Bu Beng Iengah, diam-diam gadis itu menusuk punggungnya dengan seba-tang Ang-Tok-Ciam (Jarum Racun Merah) sehingga racunnya memasuki tubuh pemuda itu dan membuatnya pingsan! Ceng Ceng memandang pemuda yang rebah telentang dengan muka pucat itu dan tersenyum mengejek.

   "Engkau berani menolak cintaku? Huh, kau kira engkau ini orang apa sih berani menolak cintaku? Engkau menghina dan memandang rendah padaku, ya?"

   Tangan kanannya meraba pinggang dan ia sudah melepaskan pedang Pek-Coa-Kiam (Pedang Ular Putih) yang tipis dan ia pergunakan sebagai ikat pinggang. Kini sepasang mata yang indah dan bening itu memandang ke arah wajah Bu beng dengan sinar marah.

   Genggaman tangan pada gagang pedangnya menguat dan ia sudah mengangkat pedang ke atas, hendak dibacokkan ke arah leher Bu Beng. Akan tetapi ketika pandang matanya melihat wajah pemuda itu yang begitu tenang penuh damai seperti orang tidur, dengan mulut yang tersenyum dan mata terpejam, tampak anggun dan tampan sekali, tiba-tiba sinar mata yang marah itu menjadi redup dan tangan yang mengangkat pedang itu gemetar lalu kehilangan tenaga, menjadi lemas terkulai! Hati Ceng Ceng tidak tega membunuh Bu Beng dan ia merasa benar-benar telah jatuh cinta kepada pemuda itu. Bagaimana mungkin ia dapat membunuh laki-laki yang dicintanya? Baru pertama kali ini sepanjang hidupnya ia merasa jatuh cinta kepada seorang laki-laki! Tangan yang lemas itu kini turun dan dengan gemetar tangan itu memasang lagi Pek-Coa-Kiam sebagai ikat pinggangnya.

   "Bu Beng... aku... aku amat mencintamu..."

   Ia berbisik dan menghela napas panjang berulang-ulang. Akan tetapi kemudian ia teringat betapa pemuda yang dicintanya ini telah mengecewakannya dan menghinanya dengan menolak cintanya, pandang matanya kembali bersinar marah.

   "Aku juga amat membencimu!"

   Dengusnya dan terjadilah perang antara rasa cinta dan benci itu di dalam hati dan pikirannya.

   Ada dua macam cinta dalam perasaan hati seorang manusia. Namun pada umumnya, hanya satu macam saja yang selalu terasa oleh kita manusia, yaitu cinta yang sebetulnya hanya terdorong oleh nafsu kita. Cinta seperti ini datang dan terasa dalam hati melalui panca indera dan pikiran. Indera matalah yang mula-mula mengusik pikiran. Mata melihat seorang lawan jenis yang tampan atau cantik, yang sesuai dengan selera kita sehingga tampak indah menyenangkan. Lalu pikiran mengambil alih, mengolah dan membayangkan betapa akan senangnya kalau kita dapat memiliki lawan jenis yang indah menarik itu!

   Pikiran yang mengolah dan membayangkan segala kenikmatan dan kesenangan kalau kita dapat memiliki lawan jenis yang menarik itu menimbulkan rasa cinta dalam hati dan ini yang menyebabkan seseorang tergila-gila kepada lawan jenis yang dianggap paling tampan atau paling cantik. Akan tetapi, watak nafsu daya rendah selalu sama, yaitu membuat kita tergila-gila dan ingin mendapatkan dan memiliki yang menarik hati itu sebelum kita mendapatkannya, akan tetapi mendatangkan pula kebosanan setelah kita memilikinya. Dan ciri atau watak yang kedua adalah, selama yang dicinta itu menyenangkan hati kita, maka kita tetap mencintanya, akan tetapi begitu yang kita cinta itu tidak menyenangkan hati kita, maka cinta kita ini sudah berubah menjadi benci! Inilah ciri ulah atau watak nafsu kita.

   Nafsu mengaku-aku sebagai "aku"

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam hati akal pikiran kita dan segala sesuatu yang dilakukan manusia, selalu menggunakan perhitungan apakah "aku"

   Diuntungkan atau dirugikan, disenangkan atau dikecewakan. Si "aku"

   Dalam diri setiap manusia inilah yang menimbulkan pertentangan, permusuhan, bahkan perang! Perebutan kepentingan antara "aku"ku.

   "aku"mu, dan "aku"nya! Maka timbullah suka dan tidak suka, cinta dan benci, pementingan dia atau "aku"

   Menjadikan kita manusia egois yang selalu mementingkan diri sendiri. Si "aku"

   Ini dapat berkembang menjadi milikku, hartaku, anakku, isteriku, kekasihku, keluargaku, bahkan berkembang menjadi kelompokku, golonganku, lalu meningkat menjadi Bangsaku, agamaku dan sebagainya. Maka timbullah pertikaian dan permusuhan berdasarkan diuntungkan atau dirugikan tadi antara kelompok, Bangsa, bahkan agama.

   Masalahnya itu tadi, Bangsaku melawan Bangsamu, agamaku melawan agamamu. Bukan Bangsanya yang bermusuhan, bukan agamanya, melainkan "aku"ku melawan "aku"mu. Berbahagialah manusia yang menyadari sepenuhnya akan bahayanya Si "aku"

   Atau nafsu daya rendah yang menguasai atau memperhamba hati akal pikiran kita, menutupi dan menggelapkan jiwa kita sehingga jiwa kita tidak dapat memiliki hubungan atau persatuan yang kuat dengan jiwa Besar atau sumber Hidup atau Sang Maha Pencipta, iyalah TUHAN Yang Maha Kasih! Ada cinta lain yang suci, murni, tanpa pamrih, tulus ikhlas, ialah cinta Illahi! Cinta dari TUHAN Yang Maha Kasih! Demikian suci murni kasih TUHAN kepada kita manusia sehingga segala ciptaan-Nya yang ada ini dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk kesejahteraan hidup manusia di dunia.

   Kasih TUHAN merata, tanpa pilih-pilih. Setangkai bunga mawar, dicium oleh seorang penjahat atau seorang Pendeta, oleh seorang pengemis maupun seorang raja, akan sama harumnya! Sinar matahari, hawa udara, menghidupkan dan dapat dinikmati siapa saja, oleh si jahat tau si baik, si miskin atau si kaya.

   (Lanjut ke Jilid 13)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13

   Cinta manusia seyogianya mengandung dua macam cinta tersebut. Tak mungkin terbebas dari cinta nafsu berahi dan cinta seperti itu tidaklah buruk kalau saja mengandung pula cinta suci itu. Cinta yang murni ini membuahkan kebijaksanaan, kesabaran, kesetiaan, pengorbanan, toleransi, mengalah dan siap memaafkan, tidak mementingkan diri sendiri. Cinta seperti ini meniadakan kebencian, iri, dendam, marah. Yang ada hanyalah kesabaran, niat baik dan keramahan.

   Kasih murni menimbulkan hati yang penuh belas kasih, mudah merasa kasihan sehingga mendorong kita untuk mengasih atau memberi, rela berkorban. Cinta yang berkembang dalam perasaan hati Ceng Ceng terhadap Bu Beng sepenuhnya merupakan kasih yang terdorong nafsu berahi semata. Karena itu maka begitu Bu Beng tidak membalas cintanya, berarti tidak menyenangkan hatinya, cintanya berubah sembilan puluh derajat menjadi benci! Kalau ia tidak tega membunuh Bu Beng, hal itu pun masih terdorong oleh rasa sayang seperti sayangnya seseorang akan benda yang menarik dan dianggap indah, merasa tidak tega dan sayang untuk merusaknya... Pada saat itu terdengar gerakan orang dan muncullah Beng-Kauw Sam-Liong. Mereka menghampiri Ceng Ceng dan melihat Bu Beng menggeletak telentang, di depan gadis itu, mereka bertiga memandang heran.

   "Niocu (Nona), apakah yang telah terjadi? Kenapa dia menggeletak di situ?"

   Tanya Bhe Kun sambil menudingkan telunjuknya ke arah Bu Beng. Dengan sikap tak acuh Ceng Ceng berkata.

   "Paman, kalian bertiga bawalah dia ini keluar dari perkampungan kita dan bunuh dia!"

   Beng-Kauw Sam-Liong terkejut mendengar ini. Mereka sendiri merasa tidak suka kepada Bu Beng yang telah mengalahkan mereka dan kini pemuda itu terpakai oleh Ketua Beng-Kauw. Akan tetapi membunuhnya? Apalagi ini hanya perintah Ang-Hwa Niocu, bukan Ketua Beng-Kauw Ayah gadis itu!

   "Tapi... tapi..., Niocu !"

   Kata Cu Kok, orang ke dua dari Beng-Kauw Sam-Liong dengan ragu.

   "Jangan banyak membantah, Paman. Apakah kalian bertiga takut padanya? Jangan takut, dia telah terluka oleh Ang-Tok-Ciam! Cepat bawa dia pergi!"

   Mendengar ini, Beng-Kauw Sam-Liong tidak membantah lagi. Bahkan diam-diam mereka merasa girang karena terbunuhnya pemuda ini berarti mereka kehilangan saingan dalam kedudukan dan pengaruh mereka di Beng-Kauw. Bhe Kun memberi isarat kepada Cu Lok, orang ke tiga dari mereka dan Cu Lok segera memanggul tubuh Bu Beng yang lemas dan pingsan itu di pundaknya lalu mereka bertiga berlari cepat keluar dari taman itu. Setelah keluar dari taman, tiga orang itu berunding. Cu Lok yang memanggul tubuh Bu Beng berkata tak sabar.

   "Kenapa susah-susah membawa mayat ini keluar kampung. Bukankah lebih mudah dIbunuh di sini saja dan kita kubur di pemakaman umum?"

   "Aku pun setuju. Kita bunuh saja di sini dan kita suruh anak buah menguburkan mayatnya!"

   Kata Cu Kok, orang ke dua atau Kakak dari Cu Lok.

   "Hemm, kalian jangan gegabah!"

   Bhe Kun mencela kedua orang Sute (adik seperguruan) itu.

   "Yang menyuruh bunuh orang ini adalah Siangkoan Niocu, akan tetapi kalian harus ingat bahwa Bu Beng ini diterima dengan baik oleh Ketua Beng-Kauw! Kalau kita membunuhnya, bagaimana kita akan berani berhadapan dengan Pangcu (Ketua)? Tentu kita akan dianggap lancang dan kalau Pangcu merasa menyesal dan marah, bukan tidak mungkin kita akan dihukum berat!"

   "Wah, pendapat Toa-Suheng (Kakak Seperguruan Pertama) itu benar sekali! Habis, lalu apa yang akan kita lakukan terhadap orang ini?"

   Kata Cu Lok yang memanggul tubuh Bu Beng dengan cemas membayangkan kemarahan ketua mereka.

   "Toa-Suheng, apa yang harus kita lakukan?"

   Cu Kok juga bertanya sambil memandang Suhengnya.

   "Kita bawa dia keluar perkampungan dan kita buang saja dia di dalam jurang di hutan. Kalau sampai Pangcu tahu dan mendapat kenyataan bahwa Bu Beng tewas karena terluka oleh Ang-Tok-Ciam, tentu dia tidak memarahi kita. Sebaiknya jangan ada bekas tangan kita yang mengantar kematiannya sehingga kita aman."

   Kata Bhe Kun dan kedua orang Sutenya setuju.

   Mereka lalu membawa tubuh Bu Beng keluar perkampungan. Akan tetapi ada seorang anak buah Beng-Kauw yang melihat mereka. Anak buah Beng-Kauw ini pernah mendapat hukuman dari Cu Lok ketika dia menegur Cu Lok yang hendak merayu isterinya. Maka melihat Cu Lok dan dua orang Suhengnya itu keluar perkampungan dan Cu Lok memanggul tubuh Bu Beng, dia cepat lari dan melapor kepada Siangkoan Hok, Ketua Beng-Kauw. Mendengar laporan itu, Siangkoan Hok terkejut dan dia cepat melakukan pengejaran. Sebentar saja dia dapat menyusul dan tiga orang tokoh Beng-Kauw itu terkejut ketika melihat bayangan berkelebat mendahului mereka dan tiba-tiba ketua mereka telah berdiri menghadang di depan mereka sambil bertolak pinggang dan matanya mencorong.

   "Sam-Liong, apa yang kalian lakukan kepada Bu Beng?"

   Terdengar suaranya menegur, suara yang terdengar dingin mengerikan bagi tiga orang itu. Mereka segera menjatuhkan diri berlutut di depan ketua mereka dan Cu Lok menurunkan tubuh Bu Beng, digeletakkan begitu saja di atas tanah.

   "Ampunkan kami bertiga, Pangcu..."

   Kata Bhe Kun dengan suara mohon belas kasihan.

   "Kami bertiga sama sekali tidak mengganggu Bu Beng. Kami diperintah oleh Siangkoan Niocu untuk membawa tubuh Bu Beng yang terluka oleh Ang-Tok-Ciam keluar dari perkampungan. Kami sama sekali tidak mengganggunya, hanya memenuhi perintah Niocu."

   Siangkoan Hok lalu berjongkok dan memeriksa keadaan Bu Beng. Dia mengangguk, percaya akan keterangan tiga orang pembantunya karena dia mendapat kenyataan bahwa Bu Beng memang keracunan Jarum Racun Merah, dan tidak mengalami luka lainnya.

   "Bawa dia kembali dan langsung ke ruangan tamu, ke dalam kamarnya."

   Perintahnya. Tiga orang tokoh Beng-Kauw itu bernapas lega karena ketua mereka tidak marah kepada mereka. Kedua orang saudara Cu Kok dan Cu Lok merasa beruntung sekali bahwa mereka tadi menuruti pendapat Suheng mereka Bhe Khun sehingga kini mereka selamat dari hukuman ketua mereka. Karena Ang-Tok-Ciam merupakan senjata rahasia buatan Siangkoan Hok yang selain ahli silat, ahli sihir dan ahli racun, maka tentu saja dia dapat membuat obat penawar Racun Merah itu. Cepat dia merawat dan mengobati Bu Beng sehingga akhirnya pemuda itu selamat dari ancaman maut racun merah jarum itu. Siangkoan Hok mendatangi puterinya dan menegurnya dengan marah.

   "Ceng Ceng, kebodohan apa yang kau lakukan sekali ini? Kenapa engkau melukai Bu Beng dan mengutus Sam-Liong membuangnya? Engkau nyaris membunuhnya dan ini merupakan suatu kebodohan yang besar sekali!"

   Dimarahi Ayahnya, Ceng Ceng cemberut dan merengek manja.

   "Huh, Ayah malah marah kepadaku, bukan membelaku! Bu Beng membuat aku kesal, kecewa dan marah. Dia telah menghinaku, Ayah!"

   "Menghina? Dia berani menghinamu? Menghina bagaimana, maksudmu?"

   Siang-koan Hok mengerutkan alisnya. Lain lagi persoalannya kalau puterinya dihina orang. Biar orang itu Bu Beng yang amat dia butuhkan bantuannya, dia tetap tidak akan tinggal diam kalau puterinya di hina!

   "Dia berani memandang rendah padaku, tidak menghargaiku, membikin malu aku!"

   "Yo-yo, akan tetapi apa yang telah dilakukannya kepadamu?"

   "Dia telah berani menolak cintaku, Ayah! Coba pikir, sejak beberapa lama yang lalu Ayah selalu membujuk aku agar aku menentukan pilihan jodohku, akan tetapi selama ini belum pernah aku menemukan seorang calon jodoh yang cocok dalam hatiku. Setelah aku bertemu dengan Bu Beng, hatiku jatuh cinta, yah. Dialah yang kupilih dan kutentukan menjadi jodohku. Akan tetapi dia menolak! Dia tidak mau menjadi jodohku, dia menolak cintaku. Bukankah itu merupakan penghinaan bagiku? Lebih baik dia mati kalau menolak cintaku dan tidak mau menjadi jodohku, Ayah!"

   Siangkoan Hok tertawa.

   "Ha-ha, anak bodoh! Engkau tahu, Bu Beng itu seorang yang kehilangan ingatannya, menjadi linglung atau bingung, akan tetapi dia memiliki ilmu kepandaian silat yang amat kuat dan hebat! Kalau kita membunuhnya, apa untungnya? Kita membutuhkan bantuannya untuk memperkuat Beng-Kauw! Adapun tentang cinta itu, anak bodoh, perlahan-lahan nanti kita cari jalan. Kalau perlu aku akan menggunakan daya sihir dan obat-obatan agar dia jatuh cinta padamu. Apa sih sukarnya jatuh cinta padamu? Engkau cantik jelita. Jangan khawatirkan itu."

   Mendengar ini, Ceng Ceng menyadari kesalahannya.

   "Aih, engkau benar, Ayah. Untung dia belum mati. Aku akan merawat dan menyembuhkannya, lalu minta maaf padanya."

   Demikianlah, dengan penuh ketekunan Ceng Ceng merawat Bu Beng dan dalam waktu lima hari saja Bu Beng telah sembuh sama sekali. Ketika dia telah sadar, Ceng Ceng yang duduk di tepi pembaringan berkata dengan manis.

   "Bu Beng, aku merasa girang sekali engkau kini telah sembuh. Ah, aku merasa senang sekali!"

   Bu Beng duduk dan teringatlah dia akan peristiwa yang terjadi di kamarnya lalu berlanjut di dalam taman. Dia teringat betapa gadis itu membujuknya untuk bercinta dan ketika dia menolak, mendadak gadis itu menusuk punggungnya dan dia tak ingat apa-apa lagi.

   "Berapa lama aku berada di kamar?"

   Tanyanya.

   "Lima hari engkau pingsan dan setiap hari aku menjaga clan merawatmu, Bu Beng."

   "Hemm, kalau engkau begini baik kepadaku, mengapa ketika di taman engkau menyerangku dengan serangan maut?"

   "Untuk itu aku minta maaf yang sebesarnya, Bu Beng. Aku memang bersalah, terlalu menuruti hati yang panas dan marah karena engkau menolak cintaku. Sekarang aku mengerti, hubungan kita belum lama dan aku tergesa-gesa seperti memaksamu. Kalau engkau mendendam, nah, kau boleh membalas pukullah aku, aku tidak akan menangkis atau mengelak."

   Bu Beng tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

   "Aku tidak mendendam, Ceng Ceng. Perawatanmu padaku ini saja sudah menebus kesalahanmu karena amarah dan mata gelap. Kita sekarang menjadi sahabat kembali, bukan?"

   Demikianlah, hubungan mereka tetap baik. Keduanya tidak pemah menyinggung lagi soal cinta. Bu Beng diperlakukan dengan baik sehingga dia pun bekerja dengan sungguh-sungguh, dan menganggap bahwa Beng-Kauw merupakan sebuah perkumpulan yang baik, dipimpin oleh Siangkoan Hok yang bijaksana!

   Pada suatu hari, para anak buah Beng-Kauw yang melakukan penjagaan di luar perkampungan tergopoh-gopoh datang melapor bahwa telah datang serombongan orang sebanyak kurang lebih dua puluh dan berada di luar pintu gerbang perkampungan Beng-Kauw. Menurut pengakuan mereka, orang-orang itu datang dari Pek-Tung Kai-Pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Putih), sebuah perkumpulan pengemis yang cukup besar dan terkenal, mempunyai banyak cabang di kota-kota besar dan pusatnya malah di luar Kotaraja, yaitu Hang-Couw yang menjadi Kotaraja Kerajaan Sung Selatan. Mendengar ini, Siangkoan Hok memanggil Bu Beng dan berkata.

   "Bu Beng, orang-orang Pek-Tung Kai-Pang memusuhi kita, engkau keluarlah dan sambut mereka. Karena seorang dari mereka pernah bentrok dengan seorang tokoh kami dan mereka kalah, mungkin kini mereka hendak membalas dendam. Kau basmi saja mereka, Bu Beng!"

   Bu Beng mengangguk dan ketika dia keluar lalu kelihatan Beng-Kauw Sam-Liong ikut keluar bersama Ceng Ceng dan beberapa belas anak buah Beng-Kauw, dia berkata kepada Ceng Ceng,

   "Ceng Ceng, aku yang ditugaskan menyambut dan menghadapi mereka, maka aku minta agar kalian semua jangan turun tangan sebelum aku minta bantuan."

   Ceng Ceng tersenyum dan mengangguk, menganggap bahwa Bu Beng tentu akan memamerkan kepandalannya dan agak menyombongkan diri bahwa dia seorang diri berani dan mampu membinasakan dua puluh orang lebih yang datang itu. Akan tetapi sesungguhnya Bu Beng berkata demikian sama sekali bukan untuk menyombongkan diri.

   Ada naluri yang tak terlupakan oleh Bu Beng yang kehilangan ingatan masa lalu itu, yakni bahwa dia tidak akan mau membunuh sembarangan saja! Biarpun Ceng Ceng tersenyum mengangguk, namun ia tetap mengikuti Bu Beng, demikian pula Beng-Kauw Sam-Liong. Adapun lima belas orang murid Beng-Kauw tingkat atas mengikuti dari belakang, agak menjaga jarak. Setelah mereka tiba di luar pintu gerbang Beng-Kauw, Bu Beng melihat dua orang yang memimpin sekitar dua puluh lima orang yang berdiri berbaris di belakang dua orang itu. Dia memperhatikan dua orang itu yang dia duga tentu pemimpin Pek-Tung Kai-Pang. Hal ini mudah diketahui karena keduanya memegang masing-masing sebatang tongkat bercat putih. Juga dua puluh lima orang anak buah mereka semua membawa tongkat bercat putih.

   "Mana Siangkoan Hok, Ketua Beng-Kauw? Suruh dia keluar karena kami pimpinan Pek-Tung Kai-Pang hanya mau berurusan dan bicara dengan Ketua Beng-Kauw!"

   Kata pengemis tinggi kurus bermuka pucat yang memegang sebatang tongkat putih kecil panjang dan tampak Ientur, Pakaiannya penuh tambalan seperti yang lain, hanya bedanya, kalau para anak buah itu berpakaian tambal-tambal dari kain kasar, dua orang pimpinan ini pakaiannya penuh tambalan, namun masih baru dan dari kain sutera!

   "Tenanglah, sobat!"

   Kata Bu Beng sambil tersenyum dan membungkuk sedikit sebagai penghormatan.

   "Ketua Beng-Kauw telah mengutus aku untuk menyambut kedatangan kalian. Sebagai tuan rumah, kami ingin mengetahui siapakah kalian ini dan ada keperluan apa datang berkunjung ke sini?"

   Pemimpin pengemis yang tinggi kurus, berusia sekitar empat puluh lima tahun. berwajah pucat itu, tersenyum mengejek.

   "Hai, orang muda, ketahuilah, aku adalah Ji-Pangcu (Ketua Ke Dua) dari Pek-Tung Kai-Pang yang datang dari pusat perkumpulan kami di Hang-Couw! Ini adalah Sam-Pangcu (Ketua Ke tiga)."

   Dia me nunjuk ke temannya yang berdiri di sebelahnya, seorang laki-laki tinggi besar muka brewok yang membawa sebatang tongkat putih panjang besar dan tampak berat sekali.

   "Kami datang untuk bicara dengan Ketua Beng-Kauw karena seorang pembantu kami pernah dihina oleh seorang tokoh Beng-Kauw sehingga terluka parah. Kami minta pertanggungan jawab Ketua Beng-Kauw, bukan sembarang murid kecil sepertimu!"

   "Akulah yang melukai orang Pek-Tung Kai-Pang, maka aku yang bertanggung jawab!"

   Tiba-tiba Cu Lok, orang ke tiga dari Beng-Kauw Sam-Liong berseru dan melompat ke depan sambil mencabut Siang-Kiam (sepasang pedang) dari sarung pedang di punggungnya! Sam-Pangcu, ketua ke tiga yang tinggi besar dan mukanya penuh brewok itu melangkah maju dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Cu Lok.

   "Engkau anjing kecil jangan banyak lagak, merasa sombong setelah dapat melukai seorang anak buah kami. Anjing kecil perlu dipukul tongkat!"

   Setelah berkata demikian dia menggerakkan tongkat putih yang besar dan panjang itu ke arah Cu Lok. Cu Lok adalah seorang tokoh Beng-Kauw yang cukup tangguh, maka melihat tongkat putih menyambar dari depan, dia cepat menggunakan sepasang pedangnya untuk menangkis.

   "Tranggg...!!"

   Tampak bunga api berpijar menyilaukan mata dan tubuh Cu Lok terdorong ke belakang sehingga dia terhuyung-huyung.

   "Paman Cu Lok, harap engkau mundur!"

   Kata Bu Beng. Cu Lok agaknya masih penasaran walaupun dia merasa betapa kuatnya tenaga yang menggerakkan tongkat putih itu. Kedua telapak tangannya masih terasa nyeri dan sepasang pedangnya hampir saja terlepas dari pegangannya. Akan tetapi tentu saja dia merasa malu kalau harus mengaku kalah setelah senjata mereka baru satu kali saling bertemu. Dia seperti tidak mau mempedulikan seruan Bu Beng dan hendak maju lagi, akan tetapi kini Ceng Ceng yang membentaknya.

   "Paman Cu Lok, mundur engkau!!"

   Sekali ini Cu Lok menurut. Dia berdiri tegak dan menyimpan kembali sepasang pedangnya. Melihat ini, Ji-Pangcu yang tinggi kurus bermuka pucat tertawa.

   "He-heh, agaknya engkau yang mempunyai kedudukan paling tinggi di sini, Nona. Siapakah engkau?"

   "Aku Siangkoan Ceng, puteri Ketua Beng-Kauw!"

   Jawab Ceng Ceng dengan sikap angkuh.

   "Ha-ha, bagus sekali kalau begitu! Agaknya Ketua Beng-Kauw tidak berani menghadapi kami dan menyuruh gadisnya yang keluar!"

   "Manusia sombong, pengemis busuk, siapa bilang Ayahku takut menghadapi segala macam manusia macam kalian? Ayahku telah mewakilkan kepada pemuda ini."

   "Benar sekali, Ji-Pangcu dari Pek-Tung Kai-Pang! Akulah yang ditugaskan Beng-Kauw Pangcu untuk menghadapi kalian, dan aku yang bertanggung jawab. Siangkoan Niocu dan yang lain-lain ini hanya menemaniku saja, akan tetapi aku seoranglah yang bertanggung jawab, maka kalau ada urusan bicaralah kepadaku!"

   Kata Bu Beng dengan sopan sekali. Sam-Pangcu yang berangasan itu memandang kepada Bu Beng dengan matanya yang lebar itu dipelototkan.

   "Hei, Bocah! Siapa namamu dan apa kedudukanmu di Beng-Kauw?"

   "Aku bukan anggauta Beng-Kauw, aku seorang tamu yang sudah siap membantu Beng-Kauw menghadapi musuh-musuh yang hendak mengganggunya. Namaku Bu Beng."

   "Bocah kurang ajar!"

   Sam-Pangcu yang brewok itu memaki.

   "Jangan main-main dengan kami! Siapa namamu?"

   "Bu Beng (Tanpa Nama)."

   "Mana ada manusia tidak mempunyai nama?"

   "Terserah, mau percaya atau tidak. Namaku memang Bu Beng dan katakanlah, Ji-Pangcu dan Sam-Pangcu dari Pek-Tung Kai-Pang. Kalian membawa anak buah kalian datang berkunjung mempunyai niat apakah?"

   "Kami hendak menuntut balas kepada Ketua Beng-Kauw untuk penghinaan yang clilakukan anak buahnya terhadap anak buah kami. Kami tidak ingin melayani segala murid rendahan. Kami ingin mengajak Ketua Beng-Kauw mengadu kepandaian dan siapa yang kalah harus minta maaf atas kelalaian mendidik murid masing-masing."

   "Ji-Pangcu."

   Kata Bu Beng kepada ketua pengemis kurus yang bicara kepadanya itu.

   "Kalah menang dalam sebuah pertandingan adalah biasa, mengapa dibikin rIbut-rIbut? Kalau engkau mengajak pIbu (adu silat) kepada ketua kami, itu pun baik-baik saja. Sekarang karena Beng-Kauw mewakilkan kepadaku, maka aku menggantikan Pangcu kami untuk maju melawan siapa saja dari pihakmu yang ingin maju mengadu ilmu."

   Dua orang pimpinan pengemis itu saling pandang. Mereka merasa ragu. Mereka adalah pimpinan Pek-Tung Kai-Pang dari pusat, walaupun hanya Ketua Dua dan Ketua Tiga, namun mereka adalah orang-orang yang telah meniiliki kedudukan tinggi dan terkenal lihai. Bagaimana mungkin sekarang harus dihadapi oleh seorang pemuda bawahan saja dan bahkan hanya seorang tamu dari Beng-Kauw?

   "Hemm, bocah sombong! Engkau berani mewakili Beng-Kauw? Bagaimana kalau engkau kalah?"

   "Seperti janjimu tadi, kalau aku kalah kami siap untuk minta maaf kepada Pek-Tung Kai-Pang."

   Kata Bu Beng.

   "Ji-Suheng (Kakak Seperguruan Ke Dua), biar kuhajar dulu bocah ini, baru kemudian kita tantang Ketua Beng-Kauw!"

   Tiba-tiba Sam-Pangcu yang berangasan itu berseru dan dia sudah melompat ke depan melintangkan tongkat putihnya yang besar dan panjang di depan dada.

   "Bocah sombong, keluarkan senjata dan lawan tongkatku ini!"

   Bu Beng tadi sudah melihat betapa kuatnya tongkat putih besar panjang dan berat dari Ketua Ke Dua Pek-Tung Kai-Pang itu, maka untuk membela diri dia pun menghunus pedangnya, sebatang pedang pemberian Guru pertamanya, Bu Tek Thaisu dari Bu-Tong-Pai. Pedang itu cukup ampuh, terbuat dari baja yang baik dan merupakan sebuah di antara senjata-senjata pusaka Bu-Tong-Pai yang diberikan kepada murid yang menonjol kemampuan dan kependekarannya.

   "Sam-Pangcu, aku sudah siap!"

   Kata Bu Beng.

   "Engkau sudah siap untuk mampus!"

   Bentak Sam-Pangcu dan dia sudah menggerakkan tongkat putihnya yang panjang besar dan berat.

   "Wuuuttt !!"

   Angin yang kuat menyambar dahsyat, membuktikan betapa, berat tongkat itu dan betapa kuatnya tenaga yang mendorong dan menggerakkannya. Bu Beng tidak mau menangkis melainkan melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran tongkat itu. Pada saat itu, Ceng Ceng sudah melompat ke depan dan berseru lantang.

   "Tahan dulu...!!"

   Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bu Beng meloncat dan Sam-Pangcu juga menahan susulan serangannya sambil memandang gadis itu.

   "Aku adalah puteri Ketua Beng-Kauw dan aku berhak pula mencampuri urusan ini. Kulihat yang datang adalah dua orang pimpinan Pek-Tung Kai-Pang dan..., yang sekarang maju adalah Sam-Pangcu, sedangkan Ji-Pangcu yang tentu lebih lihai lagi belum maju. Apakah pIbu ini hanya satu kali antara Bu Beng dan Sam Pangcu, ataukah akan disusul yang lain?"

   Ceng Ceng memang cerdik. ia tahu bahwa di pihaknya Bu Beng yang paling lihai. Kalau sekarang Bu Beng melawan Sam-Pangcu, lalu kemudian Ji-Pangcu maju, siapa pula lawannya? Apakah Bu Beng harus maju melawan mereka?, Ji-Pangcu menjawab.

   "Heh-heh, ini bukan pIbu perorangan, melainkan pIbu antara tokoh-tokoh Pek-Tung Kai-Pang dan Beng-Kauw. Karena Ketua Beng-Kauw tidak mau keluar, terpaksa kami melawan para wakilnya dan dari pihak kami yang akan maju dua orang, Sam-Pangcu dan aku sendiri. Kalian juga boleh mengajukan dua orang, wakil untuk menghadapi kami!"

   "Kenapa tidak memberitahu sejak tadi? Kalian mau bertindak licik, ya? Harus diadakan perjanjian peraturan yang adil. Kalau kita masing-masing mengajukan dua orang jago, lalu kedudukan satu-satu, lalu siapa kalah siapa menang. Sebaiknya diatur agar jagonya dalam hitungan ganjil, satu, atau tiga atau lima. Nah, siapa yang pihaknya lebih banyak yang menang, pihak itulah yang menang dan pihak yang kalah harus minta ampun!"

   "Bagus, kami setuju!"

   Kata Ji-Pangcu.

   "Kami mengajukan tiga jago, pertama adalah Theng Gu ini."

   Dia menunjuk kepada seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang juga memegang sebatang tongkat putih, bertubuh tegap dan wajah serta sikapnya gagah.

   "Ke dua adalah Sam-Pangcu dan ke tiga adalah aku sendiri. Jago yang pertama maju adalah Theng Gu ini, kemudian Sam Pangcu dan yang terakhir aku sendiri. Nah, sekarang perkenalkan siapa jago yang akan mewakili Beng-Kauw!"

   Ceng Ceng memandang wajah Bu Beng dan berkata.

   "Bu Beng, bolehkah aku yang memilihkan jago-jago kita?"

   Bu Beng mengerutkan alisnya.

   "Tadinya aku berniat hendak merampungkan sendiri urusan ini, akan tetapi kalau diadakan pIbu seperti itu, aku setuju saja. Hanya pintaku, pIbu ini bukan perkelahian untuk saling melukai parah atau saling bunuh, cukup untuk mengetahui siapa yang lebih unggul."

   Ceng Ceng tersenyum.

   "Ji-Pangcu, dengar baik-baik, untuk melawan jago-jagomu, jagomu Theng Gu itu akan dilawan Paman Bhe Kun, seorang dari Beng-Kauw Sam-Liong, kemudian Sam-Pangcu akan kulawan sendiri, dan terakhir kalau engkau maju, Bu Beng yang akan menghadapimu."

   "Baik, marl kita mulai! Theng Sute (Adik Seperguruan Theng), majulah dan jangan mengecewakan dan membikin malu nama kita!"

   Kata Ji-Pangcu. Laki-laki yang tegap dan gagah itu melompat ke depan dan memasang kuda-kuda yang gagah.

   "Aku telah siap, yang hendak melawanku silakan maju!"

   Bhe Kun yang sudah diberi tugas untuk menjadi jago pertama, segera mencabut siang-to (sepasang golok) yang besar dan berat, lalu maju menghadapi Theng Gu. Bhe Kun bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok, sedangkan Iawannya juga tegap dan gagah. Keduanya tampak gagah perkasa dan kokoh kuat sehingga para anak buah kedua pihak memandang dengan hati tegang karena pasti akan terjadi pertandingan yang amat seru. Theng Gu yang sudah memasang kuda-kuda dan melintangkan tongkat putih di depan dada, tiba-tiba menggerakkan tongkat dan membawa lengan kanan ke belakang sehingga kini tongkatnya itu berdiri di belakang tubuhnya, tangan kiri membuat gerakan melingkar dan miring di depan dada, sikapnya gagah sekali.

   "Saudara Bhe Kim, silakan, aku telah siap melawanmu!"

   Sikap tokoh Pek-Tung Kai-Pang cukup gagah dan Bu Beng mendapatkan kesan bahwa dia itu bukan seorang yang berwatak sombong atau jahat. Bhe Kim adalah orang pertama dari Beng-Kauw Sam-Liong dan dia memiliki watak keras dan pemarah, juga terlalu menilai tinggi diri sendiri. Maka sikap ini mendatangkan watak memandang rendah lawan. Dia tersenyum menyeringai dan berkata sambil menyilangkan sepasang golok besarnya di depan dada.

   

Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini