Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 14


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



"Theng Gu, berhati-hatilah engkau agar tongkat bututmu itu saja yang patah-patah oleh sepasang golokku, bukan leher dan badanmu! Haiiiittt...!"

   Dua batang goloknya menyambar bagaikan kilat, mendatangkan dua gulungan sinar yang menyerang dengan dahsyat ke arah tubuh Theng Gu dari kanan kiri dan atas bawah. Namun, dengan sigap Theng Gu menangkis golok kiri lalu memantulkan tubuhnya ke belakang sambil menarik tubuh atas ke bawah sehingga sambaran golok kanan ke arah lehernya luput. Sebelum lawan dapat memutar kembali sepasang goloknya, dia sudah membabatkan tongkat putihnya ke arah pinggang Bhe Kun.

   "Wuuuuttt...!"

   Sambaran tongkat itu cepat dan kuat sekali. Bhe Kun terkejut dan menggunakan sepasang goloknya untuk melindungi tubuh menangkis dari samping.

   "Tranggg...!"

   Tampak bunga api berpijar dan keduanya melompat ke belakang, memeriksa senjata masing-masing yang ternyata masih utuh. Keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar ketika senjata mereka bertemu tadi. Dengan penasaran Bhe Kun lalu memainkan sepasang goloknya dengan jurus Siang-Houw Lo-Lim (Sepasang Harimau Kacau Hutan). Jurus ini amat dahsyat, sepasang golok itu menyambar-nyambar ke segala jurusan dan mengamuk sehingga amat sukar bagi lawan untuk menghindarkan diri dari sambaran sepasang golok yang besar dan berat itu. Sambaran sepasang golok itu saja sudah mendatangkan angin yang dingin. Diam-diam Theng Gu terkejut dan memuji kehebatan ilmu golok tokoh Beng-Kauw ini. Dia pun cepat mengubah gerakan tongkatnya dan memainkan jurus yang ampuh dari perguruannya, yaitu jurus Sin-Liong Tong-In (Naga Sakti Menggetarkan Awan).

   Tongkatnya bergerak dengan cepat bagaikan seekor naga menyusup-nyusup di antara sambaran dua sinar golok itu. Terjadilah perkelahian yang amat seru sehingga para anak buah kedua pihak menahan napas saking tegangnya. Di antara sinar putih panjang dan dua sinar golok yang saling belit dan saling sambar itu, terkadang terdengar suara berdencingnya senjata mereka yang beradu dan tampak bunga api berpijar seolah-olah naga putih menyemburkan api! Memang amat seru namun juga indah sekaligus menegangkan. Akan tetapi, Bu Beng dan Ceng Ceng mengerutkan alis mereka karena mereka dapat melihat betapa lihainya Theng Gu dengan tongkat putihnya. Kalau diingat bahwa dia adalah Sute (adik seperguruan) dari Ji-Pangcu, ketua ke dua dari Pek-Tung Kai-Pang, tidak mengherankan kalau tingkat kepandaiannya sudah tinggi.

   Terutama Bu Beng tahu benar bahwa akhirnya jago Beng-Kauw, Bhe Kun orang pertama dari Beng-Kauw Sam-Liong itu, akan kalah. Dua orang gagah itu saling serang, mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan jurus-jurus simpanan terampuh masing-masing. Akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus, benar seperti yang dikhawatirkan Bu Beng dan Ceng Ceng, Bhe Kun mulai terdesak dan kini dia hanya dapat menggunakan sepasang goloknya untuk melindungi dirinya. Tongkat putih itu begaikan berubah menjadi seekor naga yang melayang dan menyambar-nyambar di sekeliling tubuh orang pertama Beng-Kauw Sam-Liong itu sehingga Bhe Kun hanya dapat dengan sIbuk menangkis dengan sepasang goloknya. Tiba-tiba Bhe Kun menggunakan goloknya menangkis sekaligus menggunting tongkat lawan yang menyambar dari depan.

   "Trakkk!"

   Tongkat terjepit akan tetapi dengan pengerahan tenaganya Theng Gu dapat mencabut tongkatnya lobos dan secepat kilat tongkatnya bergerak dengan jurus Sin-Liong Tiauw-Si (Naga Sakti Menyabetkan Ekornya) tahu-tahu ujung tongkat yang di belakang berputar dan menghantam ke arah leher Bhe Kun dari samping.

   "Celaka...!"

   Ceng Ceng berseru dan ia hendak bergerak menolong. Akan tetapi tangan Bu Beng menangkap pergelangan tangannya dan pada saat tongkat itu sudah hampir mengenai leher yang akibatnya tentu akan parah sekali, mungkin maut bagi Bhe Kun. Tiba-tiba tongkat itu melenceng kebawah.

   "Bukk!"

   Tongkat itu tidak menghantam leher melainkan menghantam pangkal lengan kanan Bhe Kun. Bhe Kun terpelanting dan walaupun dia masih memegang kedua goloknya, akan tetapi dia terjatuh dan ketika dia melompat berdiri lagi, dia merasa betapa pangkal lengan kanannya nyeri. Akan tetapi dasar bandel, dia hendak menyerang lagi. Bu Beng sudah melompat ke depan dan mencegahnya sambil Menjura kepada Ji-Pangcu.

   "Jago pertama kami telah kalah. Kini jago ke dua dari kedua pihak harap maju!"

   Terpaksa Bhe Kun mundur dengan muka merah. Ceng Ceng sudah melompat ke depan. ia tersenyum kepada Sam-Pangcu dan dengan gerakan tenang ia melolos pedang tipis yang melilit pinggangnya yang ramping. Sinar mencorong ketika pedang Pek-Coa-Kiam berada di tangannya. Gadis itu tampak cantik sekali dengan bibir tersenyuni mengejek, bibirnya merekah merah seperti bunga sedang mengembang, tampak kilatan gigi putih berderet. Sepasang matanya yang jeli indah itu mengerling ke arah Sam-Pangcu yang tinggi besar dan mukanya penuh brewok.

   "Sam-Pangcu, kalau engkau sudah bosan hidup, majulah dan coba tandingi aku!"

   Katanya, memandang rendah walaupun ia dapat menduga bahwa Ketua Ke tiga dari Pek-Tung Kai-Pang ini memiliki tenaga yang amat kuat. Namun, ia pun dapat menduga bahwa gerakan lawan tinggi besar itu agak kaku dan lamban dan ia dapat memperoleh keuntungan dari kelambanan itu karena ia sendiri memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang membuat ia dapat bergerak dengan amat cepat. Sam-Pangcu yang tinggi besar bermuka brewok dengan langkah lebar menghampiri Ceng Ceng sambil menyeret tombak putihnya yang besar panjang dan berat.

   Mulutnya menyeringai lebar, hatinya besar karena Theng Gu tadi telah memperoleh kemenangan. Tentu saja tugasnya menjadi lebih ringan. Sukur kalau dia dapat menambah kemenangan, andaikata dia kalah sekalipun, bukan berarti pihaknya kalah, melainkan hanya seri satu-satu. Kalah satu menang satu dan Ji-Pangcu yang akan menjadi jago yang menentukan. Apalagi lawannya hanya seorang gadis remaja yang cantik jelita dan bertubuh kecil mungil, tampaknya lemah gemulai, lawan yang teramat ringan. Akan tetapi dia tidak berani memandang rendah karena tadi Ji-Pangcu juga membisikinya harus berhati-hati menghadapi gadis cantik ini karena ia adalah puteri Beng-Kauw Pangcu! Setelah mereka berhadapan, Sam-Pangcu berkata dengan suaranya yang parau besar.

   "Nona, sebaiknya engkau mundur saja. Aku merasa tidak tega untuk melawan seorang gadis remaja sepertimu ini. Malu rasanya bertanding melawan seorang gadis yang masih begini muda. Mengapa tidak Ayahmu saja yang maju?"

   "Sam-Pangcu, jangan banyak mulut lagi. Coba buktikan lagak sombongmu itu, apakah benar egkau mampu mengalahkan Ang-Hwa Niocu dari Beng-Kauw!"

   "Hemmm, bersiaplah engkau mengaku kalah dan minta ampun kepada kami!"

   Seru Sam-Pangcu, lalu dia menggerakkan tongkat putihnya.

   "Syuuuuuttt...!"

   Tongkat putih itu menyambar dahsyat. Ceng Ceng tidak begitu bodoh untuk melayani adu tenaga, dengan lawan yang ia tahu memiIiki tenaga gajah itu. Dengan ringan tubuhnya bergerak mengelak dan ketika tongkat itu menyambar lewat, secepat kilat pedangnya yang tipis menyambar ke arah pergelangan tangan kanan lawan yang memegang tongkat!

   "Singgg...!"

   Sam-Pangcu terbelalak ngeri karena nyaris pergelangan tangannya terbacok. Untung dia masih cepat menarik tangannya dan kini tongkatnya diputar, membuat gerakan melingkar dan ujung tongkat itu menyerampang kedua kaki lawan. Kembali Ceng Ceng memperlihatkan kegesitannya, tubuhnya melompat ke atas depan lalu dari atas tubuhnya berjungkir balik, tahu-tahu ia telah menyerang dari atas dengan pedangnya yang ditusukkan ke arah ubun-ubun kepala lawan!

   Kembali Sam-Pangcu terkejut. Dia cepat membuang tubuh ke atas tanah dan bergulingan sehingga serangan dari atas itu luput. Setelah melompat bangun, tongkatnya dia putar dan kembali dia menyerang bagaikan badai bergelombang hendak menggulung lawannya. Namun, gerakan Sam-Pangcu terlalu lamban bagi Ceng Ceng. ia dapat mengikuti gerakan itu dengan mudah dan menggunakan kelebihannya dalam kecepatan gerakan, ia selalu dapat menghindarkan diri dengan kelitan yang gesit dan tidak pernah mau mengadu tenaga lewat senjata seperti yang dikehendaki lawan. Kalau ia nekat mengadu tenaga, ia terancam bahaya. Mungkin pedangnya akan patah atau terlepas dari tangannya. Pertandingan ini tidak kalah seru dan menegangkan daripada pertandingan pertama tadi.

   Kalau tadi dua orang itu seolah bertanding silat dan tenaga, kini tampak Sam-Pangcu hendak memanfaatkan tenaganya dan sebaliknya Ang-Hwa Niocu atau Ceng Ceng memanfaatkan kegesitannya. Bu Beng yang mengikuti jalannya pertandingan tidak merasa khawatir karena dengan ginkangnya yang hebat Ceng Ceng mampu menjaga diri dan tidak akan mudah terkena serangan lawan. Juga kecepatan serangan balasannya terkadang membuat Sam Pangcu terkejut dan nyaris terluka. Akan tetapi karena Ceng Ceng maklum akan besarnya bahaya kalau sampai sedikit saja tubuhnya terkena hantaman tongkat yang berat dengan tenaga gajah itu, ia bersilat dengan hati-hati sekali sehingga pertandingan berjalan seru sampai lima puluh jurus. Belum ada yang tampak terdesak biarpun Ceng Ceng lebih banyak mengirim serangan saking cepatnya ia bergerak.

   "Haiiiittt...!"

   Tiba-tiba Ceng Ceng menyerang dengan ganas. Tubuhnya mendoyong ke depan dan pedangnya meluncur cepat menuju dada lawan.

   "Ahh...!"

   Sam-Pangcu berseru dan tubuhnya dimiringkan sehingga tusukan itu luput. Akan tetapi tiba-tiba Ceng Ceng menggerakkan kedua kakinya secara beruntun dan bertubi-tubi ia menyerang dengan ilmu tendangan Soan-Hong-Twi (Tendangan Berantai). Sam-Pangcu berusaha mengelak akan tetapi karena di susuli tendangan terus akhirnya lutut kirinya terclum ujung sepatu kaki kanan Ceng Ceng. Seketika lututnya seperti lumpuh dan dia jatuh berlutut dengan kaki kirinya. Dengan girang Ceng Ceng lalu menusukkan pedangnya ke arah leher lawannya.

   "Singgg... tranggg...!!"

   Pedang di tangan Ceng Ceng terpental keras. ia terkejut dan melompat ke belakang, dan terbelalak memandang Bu Beng yang sudah berdiri di dekatnya dan kiranya pemuda itu yang tadi menangkis pedangnya yang ditusukkan ke arah dada Sam-Pangcu yang berlutut dan tidak berdaya.

   "Bu Beng, kenapa kau...?"

   "Ceng Ceng, tadi dalam pertandingan pertama, Then Gu juga telah bermurah hati tidak membunuh Paman Cu Lok, sekarang tiba giliranmu untuk tidak membunuh Sam-Pangcu!"

   Mendengar nada suara Bu Beng yang tegas dan pandang matanya yang mencorong, Ceng Ceng tidak mau membantah lagi dan ia lalu mundur sambil memandang Sam-Pangcu dengan senyum mengejek. Sam-Pangcu bangkit dan menyeringai kesakitan karena sambungan lutut kirinya telah tertendang pecah oleh Ceng Ceng. Dia memandang kepada Bu Beng dan berkata lirih.

   "Terima kasih, aku mengaku kalah."

   Bu Beng lalu berhadapan dengan Ji-Pangcu yang tinggi kurus. Sejenak mereka saling pandang dan Ji-Pangcu berkata dengan suara heran dan penasaran.

   "Orang muda tanpa nama, kulihat engkau bukan golongan sesat. Kenapa engkau membela Beng-Kauw?"

   "Ji-Pangcu dari Pek-Tung Kai-Pang, aku berpihak atau membantu siapa saja itu merupakan urusan pribadiku dan tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain. Sekarang aku berada di pihak Beng-Kauw dan kalau engkau memusuhinya, sudah menjadi kewajibanku untuk membela Beng-Kauw dan menentangmu. Sekarang, seperti kau lihat tadi, pihak kami kalah sekali menang sekali. Kita masih seri dan pertandingan terakhir akan menentukan pemenangnya. Akan tetapi, bukanlah lebih baik kalau engkau bawa semua temanmu pergi dari sini dan tidak melanjutkan pertandingan bodoh ini?"

   "Pertandingan bodoh? Huh, kami adalah perkumpulan yang menjaga nama dan kehormatan. Walaupun perkumpulan pengemis, namun kami adalah golongan bersih yang selalu menentang kejahatan. Kami membela kehormatan kami karena ada anggauta kami yang dihina oleh orang Beng-Kauw. Kau suruh aku mundur? Berarti kami harus mengaku kalah?"

   "Aih, Kakek kurus kering tak tahu diri!"

   Tiba-tiba Ceng Ceng berseru sambil tertawa mengejek.

   "Sudah saja engkau mengaku kalah. Bu Beng sudah memberi muka dan memberi kesempatan kepadamu, kenapa masih banyak cerewet lagi. Pergilah atau kalian semua akan mampus di sini!"

   Ji-Pangcu menjadi marah sekali.

   "Bu Beng, engkau sebagai wakil Ketua Beng-Kauw, mari kita selesaikan pertandingan ini!"

   Dia lalu melangkah maju menghampiri Bu Beng sambil memanggul tongkatnya. Melihat langkah Ketua Ke Dua dari Pek-Tung Kai-Pang ini, langkahnya seperti seekor monyet dan memanggul tongkatnya, diam-diam Bu Beng merasa heran dan terkejut. Orang ini aneh sekali dan mudah diduga bahwa dia tentu memiliki kepandaian yang amat Iihai. Namun dia tidak merasa gentar. Memang Bu Beng sudah lupa sama sekali akan semua teori ilmu silat yang pernah dia pelajari dari Guru-Gurunya, yaitu pertama ilmu silat Bu-Tong-Pai dari Bu Tek Thaisu dan Kwan Tek Losu. Kemudian dia menjadi murid Cin Po Yangcu dan mendapatkan ilmu pedang Thian-Hong Kiam-Sut, sedangkan dari Bu-Tong-Pai dia mendapatkan ilmu pedang Bu-Tong Kiam-Hoat.

   Di bawah bimbingan Cin Po Yangcu dia telah dapat menggabungkan kedua ilmu pedang itu menjadi ilmu pedang yang amat hebat. Bu-Tong Kiam-Hoat terkenal daya pertahanannya yang kokoh kuat sedangkan Thian-Hong Kiam-Sut memiliki daya serangan yang amat dahsyat. Biarpun dia sudah tidak ingat lagi akan teorinya, namun ilmu-ilmu yang telah dikuasainya itu telah mendarah daging dalam dirinya sehingga dapat dia mainkan secara otomatis menurut kebuTUHAN pembelaan dirinya. Ji-Pangcu kini sudah berhadapan dengan Bu Beng dan dia memasang kuda-kuda yang aneh, mirip gerakan seekor monyet sehingga banyak anak buah Beng-Kauw yang tersenyum geli karena gerakan itu lucu. Akan tetapi Ceng Ceng berkata lirih, penuh kekhawatiran.

   "Wah, dia bergerak seperti monyet. Apakah itu yang disohorkan orang sebagai Kun-Kauw Tung-Hoat (Ilmu Tongkat Monyet Emas) yang katanya merupakan ilmu keturunan dari Sun Go Kong si Raja Monyet?" Kekhawatiran Ceog Ceng memang ada benarnya. Ji-Pangcu ini memang pernah mempelajari sebuah ilmu tongkat dengan gerakan seperti monyet dan Pertapa yang mengajarkan ilmu tongkat itu menyebutnya ilmu tongkat monyet yang katanya merupakan ilmu keturunan dari Sun Go Kong atau Kauw Ce Thian, tokoh besar dalam dongeng See Yu Ki dari penyebaran Agama Buddha! Ji-Pangcu mulai menyerang dan beberapa orang anggauta Beng-Kauw tidak dapat menahan tawa mereka. Ji-Pangcu benar-benar meniru monyet, bukan hanya gerakannya ketika menyerang, akan tetapi juga mulutnya mengeluarkan bunyi seperti seekor kera. Namun gerakannya cepat dan kuat sekali.

   Sebentar saja tongkat putihnya telah berubah menjadi gulungan putih yang panjang, menyambar-nyambar dengan ganasnya ke arah tubuh Bu Beng. Akan tetapi pemuda ini telah mencabut pedangnya dan dia tampak tenang saja menghadapi serbuan yang hebat itu. Dia bergerak dengan ilmu pedang Bu-Tong Kiam-Hoat yang tangguh dalam pertahanan sehingga semua sambaran ujung tongkat yang tampak berubah menjadi banyak itu selalu dapat dielakkan atau ditangkisnya. Bertubi-tubi terdengar suara nyaring ketika tongkat bertemu pedang dan bunga api berpijar menyilaukan mata. Setelah mulai dapat terbiasa dengan cara serangan lawan sampai selama tiga puluh jurus, Bu Beng mulai melakukan gerakan serangan balasan dengan Thian-Hong Kiam-Sut dan kini Ji-Pangcu mulai terdesak hebat karena datangnya serangan pedang itu benar-benar amat dahsyat dan seperti air bah yang sulit dibendung.

   Ji-Pangcu merasa terkejut bukan main. Tadi pun dia sudah merasa penasaran sekali karena semua serangannya yang dia lakukan dengan pengerahan semua tenaganya, bertubi-tubi sampai tiga puluh jurus, sama sekali tidak ada hasilnya. Kini, setelah pemuda itu mengubah permainan pedangnya dan membalasnya, dia merasakan betapa daya serangan pedang itu demikian hebat. Bukan saja cepat dan kuat penuh tenaga sakti, akan tetapi juga gerakan pedang itu aneh dan sukar diikuti atau diduga perkembangannya. SIbuklah dia memutar tongkat untuk melindungi tubuhnya, namun karena gerakan tongkatnya masih tidak mampu menandingi kecepatan gerakan pedang lawan, beberapa kali ada sinar pedang mencuat dan nyaris melukainya sehingga mau tidak mau dia terpaksa mundur terus menjauhkan diri.

   "Cringgg... trangggg...!"

   Serangan hebat dari Bu Beng ditangkis oleh Ji-Pangcu, akan tetapi akibatnya, lengan Ji-Pangcu tergores pedang sehingga terpaksa lengan kanan itu melepaskan tongkat. Tangan kirinya masih mempertahankan tongkat, namun kaki Bu Beng menendang ke arah tangan kiri itu sehingga kini terpaksa Ji-Pangcu melepaskan pegangan tongkatnya sehingga tongkat itu jatuh ke atas tanah. Akan tetapi melihat lawan sudah kehilangan senjatanya, Bu Beng segera melompat ke belakang. Akan tetapi pada saat itu, puluhan orang anak buah Beng-Kauw berlarian keluar dari dalam pintu gerbang perkampungan Beng-Kauw sambil berteriak-teriak dan dipimpin sendiri oleh Siangkoan Hok, ketua Beng-Kauw yang tinggi kurus. Ketua Beng-Kauw ini tidak ikut menyerbu, akan tetapi suaranya terdengar lantang.

   "Para jahanam Pek-Tung Kai-Pang berani menantang dan mereka sudah kalah, serbu dan binasakan mereka semua!!"

   Mendengar ini, Siangkoan Ceng, Beng-Kauw Sam-Liong dan lima belas orang murid Beng-Kauw segera menyerbu ke arah musuh. Tentu saja Ji-Pangcu, Sam-Pangcu, dan Theng Gu bersama anak buah mereka terpaksa melawan. Akan tetapi mereka kalah kuat dan sebentar saja beberapa prang anak buah mereka sudah roboth terluka. Tiga orang pimpinan itu sendiri juga melawan mati-matian dan terdesak mundur. Tiba-tiba terasa ada angin bertiup kuat sekali, menggoyang pohon yang berada di situ, debu berhamburan dan cuaca mendadak menjadi gelap sehingga orang-orang Beng-Kauw menjadi kebingungan karena tidak dapat melihat kawan atau lawan dengan jelas! Lalu terdengar suara lembut namun bagi mereka yang berada di situ seolah suara Itu dibisikkan di deket telinga mereka.

   "Hemm, Beng-Kauw selalu licik, megandalkan kekuatan banyak orang untuk menekan kilemahan sedikit orang. Hentikan semua pertempuran!"

   Akan tetapi Siangkoan berseru keras.

   "Warga Beng-Kauw! Maju terus, basmi oreng-orang Pek-tung Kai-Pang, jangan takut suara setan Itu!"

   Bu Beng berteriak nyaring.

   "Beng-Kauw Pangcu, jangan begitu! Kami sudah berjanji mengadakan pIbu, mereka sudah kalah dan cukup kalau mereka minta maaf!"

   Kata Bu Beng dan melihat pihak Beng-Kauw masih terus menyerang musuh, tiba-tiba saja dia melompat dan dengan pedangnya dia menghadapi Beng-Kauw Sam-Liong dan Ceng Ceng yang mengamuk! Terdengar suara nyaring dan Beng-Kauw Sam-Liong terpelanting mundur, juga Ceng Ceng terdorong ke belakang.

   "Bu Beng kau hendak menghianati kami?"

   Ceng Ceng berseru marah.

   "Kalianlah yang mengkhianati perjanjian, memalukan!"

   Bu Beng balas membentak.

   "Kalau Bu Beng memihak musuh, kita bunuh saja sekalian!"

   Siangkoan Hok berteriak marah dan dia menggunakan goloknya untuk menyerang. Akan tetapi tiba-tiba suara lembut itu terdengar lagi.

   "Beng-Kauw, kalau kalian tidak mau mundur, terpaksa aku melanggar pantanganku sendiri utnuk melakukan kekerasan."

   Siangkoan Hok melihat sesosok bayangan putih di dalam kegelapan cuaca itu, maka dia menudingkan goloknya dan berseru nyaring dan marah.

   "Siapa takut ilmu setanmu?"

   Sebagai seorang ahli sihir Ketua Beng-Kauw ini tidak takut. Begitu dia mendorongkan tangan kirinya, tampak ada cahaya merah menyambar ke arah bayangan putih itu, disusul gerakannya melompat menyusul cahaya merah itu menyerang si bayangan putih.

   "Dessss...!"

   Entah apa yang terjadi, akan tetapi tahu-tahu tubuh Ketua Beng-Kauw itu terpental dan terbanting jatuh terjengkang.

   "Semua orang Beng-Kauw, mundurlah kalian dan kembali ke perkampungan kalian!"

   Terdengar bayangan putih itu berseru lagi. Melihat orang-orang Beng-Kauw masih ingin melanjutkan serangan, bayangan itu mendorongkan kedua tangannya ke depan dan angin seperti badai menerjang dan semua orang di pihak Beng-Kauw, kecuali Bu Beng, tersapu seperti daun-daun kering terlanda angin badai.

   Bahkan Siangkoan Hok yang baru saja bangkit, juga terhuyung-huyung ke belakang. Agaknya dia mengenal bahaaya dan tahu bahwa dia berhadapan dengar seorang yang sakti luar biasa, yang kalau dilawan akan mendatangkan malapetaka bagi Beng-Kauw, maka dia segera berseru memberi aba-aba agar semua warga Beng-Kauw mundur, masuk ke perkampungan dan menutupkan pintu gerbang kuat-kuat. Sementara itu, Bu Beng yang tadinya membela orang-orang Pek-Tung Kai-Pang yang diserbu banyak orang Beng-Kauw, kini melihat betapa ada seorarg Kakek berpakaian putih menggunakan angin menyerang warga Beng-Kauw, diapun berbalik membantu Beng-Kauw. Dia merendahkan tubuhnya dan otomatis mengerahkan seluruh tenaga saktinya, mendorongkan kedua tangan ke depan untuk melawan kekuatan hebat yang melanda dari kedua tangar Kakek itu.

   "Dessss!"

   Tubuh Bu Beng terpental dan terjengkang. Akan tetapi kembali dia melompat dan siap melawan. Kakek baju putih itu kini tampak jelas karena cuaca menjadi terang kembali. Dia seorang Kakek yang usianya sukar ditaksir, tentu sudah tua sekali. Bu Beng melihat Ji-Pangcu, Sam-Pangcu dan Theng Gu tiga orang pimpinan Pek-Tung Kai-Pang itu berlutut menghadap Kakek itu dan berseru sambil memberi hormat.

   "Susiok-Couw (Paman Kakek Guru)..."

   Bu Beng terkejut. Kalau para tokoh Pek-Tung Kai-Pang itu menyebut Paman Kakek Guru kepada orang-tua itu, tentu dia sudah amat tua dan tentu saja memiliki kepandaian yang amat hebat. Pantas tadi telah mendemonstrasikan kekuatan yang demikian dahsyatnya. Kakek itu memandang kepada tiga orang tokoh Pek-Tung Kai-Pang itu.

   "Hemm, apakah Guru kalian tidak pernah mengajarkan kesabaran kepada kalian sehingga untuk urusan kecil saja kalian mendatangkan akibat yang besar, memancing akibat lain yang lebih besar lagi? Hayo pulang dan mohon maaf kepada Guru kalian!"

   "Baik, ampunkan kami, Susiok-Couw!"

   Kata Ji-Pangcu dan dia lalu mengajak teman-temannya untuk segera pergi meninggalkan tempat itu, membawa teman-teman yang terluka. Kini Kakek baju putih itu menghadapi Bu Beng yang masih berdiri di situ dengan sikap ragu karena perubahan keadaan tadi yang membuat dia bingung menentukan sikap masih membuat dia termenung.

   "Orang muda, engkau tadi membela Beng-Kauw, kemudian berbalik membela Pek-Tung Kai-Pang dan terakhir melawan aku membela Beng-Kauw lagi, mengapa?"

   Bu Beng yang memang selalu bersikap hormat kepada orang yang lebih tua menunduk dan menjawab,

   "Lo-Cianpwe saya selalu membela yang terancam bahaya. Semula, Pek-Tung Kai-Pang datang menantang Beng-Kauw maka saya yang menjadi tamu Beng-Kauw membela Beng-Kauw mengadakan pIbu. Kemudian, Beng-Kauw dalam jumlah banyak menyerang Pek-Tung Kai-Pang, maka saya berbalik membela Pek-Tung Kai-Pang. Ketika Lo-Cianpwe muncul dan menyerang Beng-Kauw, saya terpaksa membela Beng-Kauw dan menantang Lo-Cianpwe."

   "Ho-ho, engkau orang muda aneh, belum pernah aku bertemu seorang pemuda yang begitu setia dengan pendiriannya membela yang lemah terancam! Akan tetapi bagaimana seorang pemuda seperti engkau mau membela perkumpulan sesat seperti Beng-Kauw?"

   "Saya adalah tamu dari Beng-Kauw, saya tidak tahu apakah Beng-Kauw sesat atau tidak. Ketika Beng-Kauw diserbu Pek-Tung Kai-Pang, sudah menjadi kewajibanku sebagai tamu untuk membantu tuan rumah yang baik kepadaku."

   "Hemm, engkau dari golongan apakah, orang muda? Bukankah engkau murid Bu-Tong-Pai?"

   "Saya tidak tahu, Lo-Cianpwe, saya tidak ingat lagi."

   "Siapa namamu?"

   "Nama saya Bu Beng."

   "Tanpa Nama? Bagaimana ini? Siapa nama aselimu! Harap engkau tidak mempermainkan aku orang-tua."

   "Saya tidak main-main, Lo-Cianpwe. Ketika saya bertemu orang Beng-Kauw, saya telah kehilangan semua ingatan masa laluku. Saya bahkan tidak ingat siapa saya, dan karena Beng-Kauw menerima saya dengan baik, saya mau menjadi tamu dan bekerja membantu mereka."

   Kakek itu mengangguk-angguk dan tiba-tiba pada saat Itu terdengar suara gemuruh dan pintu gerbang perkampungan Beng-Kauw terbuka lebar, Asap hitam tampak mengepul keluar dari dalam dan melayang ke arah Bu Beng dan Kakek itu. Setelah asap hitam itu datang menyelimuti mereka, terdengar suara berdesingan dan banyak senjata rahasia berupa jarum, paku, dan anak panah kecil menyambar bagaikan hujan lebat ke arah mereka!

   Bu Beng cepat menggerakkan pedangnya, diputar untuk dijadikan perisai melindungi dirinya. Adapun Kakek itu berdiri tegak dan hanya mendorongkan kedua tangan ke depan. Asap hitam itu mem-buyar dan terdorong balik seperti diterpa angin. Semua senjata rahasia yang menuju ke arah tubuh Kakek itupun jatuh runtuh ke atas tanah, tidak ada satupun yang mengenai tubuhnya. Akan tetapi tiba-tiba Bu Beng mengeluh karena ada sebatang jarum mengenai lengannya. Dia terhuyung dan tentu sudah roboh kalau saja Kakek itu tidak cepat menangkap. memanggul tubuhnya dan membawanya lari pergi meninggalkan tempat itu. Siongkoan Hok, diikuti Ceng Ceng dan para pembantunya mengejar keluar. Akan tetapi Kakek dan Bu Beng sudah tidak tampak lagi. Siangkoan Hok menghela napas berulang-ulang.

   "Ayah, siapakah Kakek yang berujud bayangan putih tadi? Manusiakah dial"

   Tanya Ceng Ceng dengan heran dan kagum sekali. Kembali Siangkoan Hok menghela napas panjang, lalu menggelengkan kepalanya.

   "Aku tidak mengira bahwa orang itu masih hidup! Dia bukan manusia biasa, bukan pula dewa, akan tetapi dia sudah amat terkenal sejak jaman Kakek Guruku. Dia merupakan Datuk utama para tokoh perkumpulan pengemis yang amat ditakuti clan disegani di dunia kang-ouw. Akan tetapi sudah puluhan tahun tidak pernah lagi terdengar sepak terjangnya di dunia kang-ouw. Dia dikenal sebagai seorang yang tidak tentu tempat tinggalnya dan dunia kang-ouw menyebutnya Khong Sim Sin-Kal (Pengemis Sakti Hati Kosong). Untung dia tidak membenci kita dan tidak menurunkan tangan maut, kalau hal itu dia lakukan, hari ini Beng-Kauw tentu sudah hancur binasa."

   Ceng Ceng cemberut.

   "Akan tetapi Kakek itu membawa pergi Bu Beng, Ayah!"

   Dara itu merengek.

   "Hemm, biar saja. Kebetulan karena kita tahu bahwa andaikata pemuda itu tidak kehilangan ingatannya, belum tentu dia mau membantu kita. Buktinya, ketika menghadapi Pek-Tung Kai-Pang, dia tidak mau membunuh mereka, bahkan ketika aku membawa anak buah menyerbu, dia menghalangi dan membela mereka! Untuk apa bocah seperti itu di sini?"

   "Akan tetapi, Ayah. Aku cinta pada Bu Beng! Dan aku sudah mengambil keputusan tidak akan menikah dengan pria lain kecuali Bu Beng!"

   "Huh, dasar anak keras kepala!"

   Siang-koan Hok membentak lalu meninggalkan puterinya memasuki kamarnya sendiri. Pada keesokan harinya Siangkoan Hok tidak menemukan puterinya, agaknya Siangkoan Ceng atau Ceng Ceng telah minggat dari rumahnya untuk pergi mencari Bu Beng! Siangkoan Hok marah akan tetapi membiarkan saja anaknya pergi karena dia maklum bahwa tak seorang pun mampu mencegah kehendak puterinya yang keras hati dan manja itu.

   Peristiwa permusuhan antara keluarga-Kauwsu (Guru Silat) Can Gi Sun dan keluarga-Kauwsu Song Swi Kai telah menghancurkan perasaan tiga orang muda karena dalam permusuhan antara dua keluarga Guru silat di kota Sung-Kian itu terlibat pula hubungan asmara antara anak-anak mereka. Permusuhan yang diawali dengan persaingan memperebutkan murid bagi perguruan mereka berlarut-larut sampai menurun kepada anak-anak mereka. Padahal puteri Can-Kauwsu yang bernama Can Pek Giok telah saling berkenalan akrab dengan putera Song-Kauwsu yang bernama Song Han Bun. Akhirnya, dua orang muda yang sesungguhnya saling mencinta ini berhadapan sebagai lawan dan saling bermusuhan!

   Kemudian, kedua orang Ayah mereka mulai berbaikan dan ketika Song-Kauwsu melamar Pek Giok untuk dijodohkan dengan Han Bun, terpaksa Can-Kauwsu menolaknya karena Pek Giok telah ditunangkan dengan Lui Hong, pemuda gagah perkasa putera muridnya sendiri! Lui Hong sebetulnya mencinta gadis lain, gadis Bangsawan Kotaraja dan mendengar bahwa Can-Kauwsu terpaksa me-nolak pinangan Song-Kauwsu karena Pek Giok telah ditunangkan dengan dirinya, padahal dia tahu bahwa Pek Giok dan Han Bun saling mencinta, dia lalu menyatakan kepada orang-tuanya bahwa dia minta pertalian jodohnya dengan Pek Giok dibatalkan! Peristiwa ini tentu saja membuat Ayahnya, Lui Siong dan isterinya marah, juga Can-Kauwsu dan isterinya merasa terhina dan marah. Demikianlah, tiga orang muda mengalami patah hati dan sedih.

   Lui Hong, pergi meninggalkan kota Sung-Kian seperti yang dilakukan Pek Giok dan Han Bun. Dia mengambil keputusan untuk pergi ke Kotaraja, mencari Li-Siocia (Nona Li) puteri Jaksa Li yang tinggal di Kotaraja. Dia tidak dapat mengharapkan untuk dapat berjodoh dengan Li Sian Hwa, gadis Bangsawan puteri Jaksa Li itu. Bagaikan seekor domba merindukan pucuk daun di puncak pohon Liu (Cemara)! Akan tetapi, kesedihannya mengingat akan kemarahan Ayah-Bundanya dan juga kemarahan Can-Kauwsu dan isterinya, membuat dia merasa rindu sekali kepada Li Sian Hwa, gadis yang telah membuatnya jatuh cinta itu. Selama sebulan dia melakukan perjalanan dan dalam waktu sebulan saja Lui Hong menjadi kurus dan agak pucat. Dia jarang makan dan selalu termenung membayangkan betapa Can-Kauwsu dan isterinya pasti merasa terhina dengan pemutusan ikatan jodoh secara sepihak itu.

   Tentu dianggapnya bahwa Lui Hong menolak Pek Giok! Teringat akan semua itu, Lui Hong merasa tubuhnya lemas dan siang hari yang panas itu membuat dia merasa lelah sekali. Hutan di mana dia berada itu cukup lebat dan dia lalu duduk mengaso di bawah sebatang pohon. Karena kelelahan dan duduk di bawah pohon itu sejuk dan angin semilir mengipasinya membuat Lui Hong mengantuk. Dalam keadaan layap-layap setengah tidur itu terbayanglah wajah Li Sian Hwa yang jelita, dengan senyumnya yang ramah, wajahnya yang anggun dan jelas menunjukkan keagungan seorang gadis Bangsawan. Akan tetapi senyum itu lambat laun berubah menjadi senyum duka, dan sepasang mata bintang itu memandang kepadanya dengan muram. Tiba-tiba telinganya menangkap suara berdentangnya senjata tajam beradu, berulang kali dan terdengar tak jauh dari situ.

   Dia segera terbangun dan ternyata suara perkelahian dengan senjata tajam itu bukan mimpi. Dia kini telah terjaga dan masih mendengarnya, bahkan bercampur dengan teriakan-teriakan orang banyak. Terjadi perkelahian di sana, pikirnya. Cepat Lui Hong melompat bangun dan berlari ke arah datangnya suara perkelahian. Tak lama kemudian dia melihat seorang pemuda berpakaian mentereng dan indah sedang dikeroyok belasan orang. Pemuda itu dengan sebatang pedang hitam mengamuk dengan amat hebat dan dia lihai sekali. Sepuluh orang pengeroyoknya sudah roboh mandi darah dan kini hanya tinggal lima orang lagi yang masih mengeroyoknya. Ketika Lui Hong tiba di situ, pemuda berusia sekitar dua puluh empat tahun yang berpakaian seperti seorang sastrawan kaya-raya dan wajahnya halus dan tampan, berseru nyaring.

   "Hyaaaattt...!!"

   Pedangnya berubah menjadi sinar hitam menyambar dan tiga orang roboh lagi, darah muncrat dari leher mereka. Dua orang pengeroyok menjadi ketakutan dan mencoba untuk melarikan diri. Namun dengan gerakan seperti seekor burung, pemuda tampan itu melompat dan begitu pedang hitamnya menyambar, dua orang itupun roboh! Lima belas orang pengeroyok itu telah terbunuh semua oleh pemuda itu!

   (Lanjut ke Jilid 14)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14

   Lui Hong bergidik dan tanpa disengaja, terdorong oleh perasaan ngerinya, dia berseru.

   "Alangkah kejamnya...!"

   Mendengar seruan ini, pemuda itu memutar tubuhnya dan melihat Lui. Hong berdiri di sana dia mengira bahwa pemuda itu tentu seorang di antara para gerombolan yang tadi menyerangnya. Maka dia lalu mengeluarkan teriakan panjang dan berlari menerjang ke arah Lui Hong!

   "Haaaiiiiikkk...! Pedang hitamnya menyambar dengan cepat dan kuat sekali. Akan tetapi pemuda tampan pesolek itu merasa heran ketika pedangnya hanya menemui udara kosong saja karena Lui Hong dengan tenang telah mengelak dengan merendahkan tubuh sehingga pedang yang tadinya menyambar ke arah lehernya itu luput dan lewat di atas kepalanya.

   "Tahan...!"

   Lui Hong berseru karena dia maklum bahwa pemuda tampan pesolek itu tentu salah duga. Akan tetapi agaknya pemuda itu sudah menjadi buas karena telah membunuh lima belas orang. Dia tidak menghiraukan seruan Lui Hong melainkan melanjutkan serangannya dengan ganas sekali. Lui Hong mengerutkan alisnya dan cepat mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya, sampai lima jurus dia mengelak terus dari sambaran pedang hitam.

   "Tahan senjata, aku bukan musuhmu!"

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lui Hong kembali berseru, akan tetapi pemuda itu agaknya dari heran menjadi penasaran sekali karena selama lima jurus dia menyerang dengan sungguh-sungguh selalu dapat dielakkan dengan mudah oleh pemuda sederhana itu. Padahal tadi ketika dikeroyok lima belas orang, setiap kali pedangnya berkelebat pasti merobohkan seorang pengeroyok! Mendengar seruan Lui Hong, dia bukan berhenti malah makin memperhebat serangannya!

   Terpaksa Lui Hong mencabut pedangnya dan mulai melakukan perlawanan. Dia adalah murid tersayang dari Sin-Kiam Kai-Ong (Raja Pengemis Pedang Sakti), maka tentu saja dia seorang ahli kiamsut (ilmu pedang). Dia dapat menilai ilmu pedang pemuda pesolek itu dan tahu bahwa pedang hitam itu kuat, ampuh dan berbahaya. Akan tetapi ilmu pedang pemuda itu hanya tampaknya saja dahsyat karena gerakannya kasar dan mempergunakan tenaga gwakang (tenaga luar), namun tidak begitu sukar menghadapinya. Dia pun mulai merasa gembira dan muncul keinginannya yang juga menjadi keinginan para ahli silat yang mendorong mereka setiap kali bertemu orang lain yang juga ahli silat untuk menguji kepandaian lawan dan kepandaian sendiri! Kiranya perasaan ini, yaitu ingin menguji kepandaian lawan dan diri sendiri, terdapat dalam hati dan pikiran setiap olah ragawan.

   Mulailah Lui Hong memainkan pedangnya dan mereka bertanding dengan seru karena biarpun Lui Hong hanya ingin menguji kepandaian silat pedang, sebaliknya lawannya menyerang dengan sungguh-sungguh untuk membunuh! Lui Hong diam-diam harus mengakui bahwa ilmu pedang lawannya cukup tangguh dan juga aneh karena dia tidak dapat mengenal ilmu pedang itu. Agaknya mengandung sedikit aliran Kun-Lun Kiam-Hoat dan Kong-Thong Kiam-Hoat dalam dasar permainan pedang itu, terutama gerakan kakinya jelas dari Kun-Lun-Pai dan gerakan pedang itu mirip ilmu dari Kong-Thong-Pai. Ilmu pedang itu lebih pantas kalau dimainkan seorang tokoh asing dari suku asing. Akan tetapi pemuda tampan ini penampilannya seperti seorang pelajar yang memiliki ilmu tinggi, seperti juga dia sendiri.

   "Tahan pedang!!"

   Tiba-tiba Lui inembentak dan menangkis dari samping sambil mengerahkan tenaganya.

   "Tranggg...!"

   Bunga api berpijar dan pemuda pesolek itu terhuyung. Dia terkejut bukan main dan maklum bahwa kalau lawannya, pemuda sederhana itu, bersungguh-sungguh, dia pasti akan kalah.

   "Sobat, kuIihat engkau berpakaian seperti seorang sastrawan, akan tetapi mengapa watakmu begini kasar dan kejam? Engkau memiliki ilmu pedang yang tangguh pula, pantasnya engkau seorang pendekar yang terpelajar, akan tetaipi mengapa menyerangku dengan membabi buta padahal sudah kuserukan bahwa aku bukan musuhmu?"

   "Hemm, siapa tahu bahwa engkau bukan anggauta gerombolan tadi yang telah kubasmi itu?"

   Pemuda itu balik bertanya.

   "Siapakah engkau?"

   "Namaku Lui Hong, dan engkau siapakah, mengapa engkau membunuh mereka semua ini tanpa mengenal ampun?"

   "Huh, gerombolan penjahat yang berani mencoba merampok aku sudah sepatutnya dibasmi dan namaku tidak ada sangkut pautnya denganmu. Aku tidak mengenalmu!"

   Setelah berkata demikian, dengan wajahnya yang lembut itu mengandung penasaran karena dia dikalahkan Lui Hong, pemuda itu segera melompat ke atas seekor kuda yang tinggi dan besar lalu membalapkan kudanya pergi meninggalkan tempat itu. Lui Hong berdiri termenung memandang ke arah lima belas mayat yang berserakan dan mandi darah itu.

   Dia menghela napas panjang dan merasa ngeri. Mereka itu memang bersalah, menjadi perampok yang suka merampas barang milik orang lain, bahkan terkadang membunuh mereka yang mempertahankan barang mereka. Akan tetapi, pantaskah mereka itu dibantai, dIbunuhi begitu saja? Gurunya, Sin-Kiam Kai-Ong dahulu pernah menasihatkan kepadanya bahwa orang yang melakukan kejahatan adalah orang yang sedang menderita sakit. Bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Seperti juga orang yang sedang sakit badannya, ada kemungkinan sembuh, demikian pula orang yang sakit batinnya, bisa saja sembuh. Jauh lebih baik berusaha menyembuhkan mereka yang sakit batinnya, menyadarkannya agar kembali ke jalan benar, daripada membunuhnya. Orang sakit dapat sembuh, sebaliknya orang sehat sekali waktu dapat saja sakit.

   Manusia manakah yang dapat terbebas sepenuhnya dari sakit, baik itu sakit badan maupun sakit batin? Semua manusia pasti pernah melakukan dosa, melakukan kesalahan dalam hidupnya. Apakah mereka itu juga harus dIbunuh karena kesalahannya? Lui Hong menghela napas lagi. Kemudian, terdorong oleh rasa ngeri dan juga kasihan, dia lalu menggali lubang-lubang untuk mengubur lima belas buah mayat itu. Karena dia hanya menggunakan golok-golok para perampok itu untuk menggali lubang, maka pekerjaan itu dia lakukan sampai sore hari baru selesai. Dia lain melanjutkan perjalanannya menuju Kotaraja. Pada waktu itu, sekitar tahun 1145, Cina terpecah menjadi dua. Perbatasannya adalah Sungai Yang-Ce. Di seberang selatan Sungai Yang-Ce dikuasai oleh Kerajaan Sung Selatan, yaitu sisa Kerajaan Sung telah dikalahkan oleh Kerajaan Kin yang kini menguasai seberang utara atau sebelah utara Sungai Yang-Ce.

   Mula-mula Kerajaan Sung yang nguasai seluruh Cina diserang oleh Bangsa Nuchen yang mendirikan Kerajaan Kin (Emas) dan Kaisar Sung Kao Cu dipaksa melarikan diri ke selatan dan mendirik Kerajaan Sung yang disebut Sung Selatan. Di selatan, Kerajaan Sung mendirikan Kotaraja baru yaitu Hang-Chouw. Semula pasukan Kin terus menyerang ke seberang selatan Yang-Ce dan Kerajaan Sun mati-matian mempertahankan diri. Sebetulnya, pada tahun 1131, lima tahun sejak Kaisar Sung Kao Cu melarikan diri mengungsi ke selatan, ada seorang panglima besar Kerajaan Sung yang setia dan gagah perkasa, yang mengerahkan balatentara yang dipimpinnya menghantam pasukan Kin sedemikian hebatnya sehingga pasukan terus mundur.

   Pasukan panglima yang bernama Gak Hui ini amat kuat karena mendapat dukunga dari rakyat jelata. Jumlah pasukannya terus bertambah dengan adanya para sukarelawan, bahkan banyak pendekar-pendekar gagah perkasa yang membantunya. Pasukan Kin tidak kuat menahan gelombang serangan yang dilakukan Jenderal Gak Hui dan mereka terus mundur sampai ke seberang sungai Yang-Ce dan bagian selatan sungai Itu sepenuhnya dikuasai Jenderal Gak Hui. Kalau saja Kaisar Sung Kao Cu (1127-1162) pada waktu itu menyetujui niat Jenderal Gak Hui untuk terus melakukan pengejaran ke utara, bukan mustahil seluruh wilayah Sung bagian utara akan dapat direbut kembali dan kekuasaan Kerajaan Sung kembali sepenuhnya.

   Namun Kaisar Sung Kao Cu tidak memberi ijin, bahkan memerintahkan Jenderal Gak Hui untuk menghentikan pengejaran sampai di Sungai Yang-Ce yang menjadi tapal batas antara Kerajaan Kin dan Kerajaan Sung. Jenderal Gak Hui merasa menyesal sekali, akan tetapi sebagai seorang panglima besar yang setia kepada Kaisar, dia tidak berani membantah sungguhpun dia mengirim protes keras. Kaisar Sung Kao Cu dipengaruhi oleh para pembesar lstana, terutama sekali perdana menterinya yang bernama Chin Kui yang membujuk Kaisar agar menghentikan permusuhan dengan Kerajaan Kin karena hal itu tidak menguntungkan bahkan dapat menghancurkannya. Tentu saja hal ini merupakan siasat Chin Kui yang diam-diam mempunyai hubungan rahasia dengan Kerajaan Kin.

   Karena menganggap Jenderal Gak Hui yang keras hati itu berbahaya bagi dirinya, Perdana Menteri Chin Kui bahka menjatuhkan fitnah kepada Jenderal Gak Hui sehingga akhirnya panglima besar, yang gagah perkasa itu menerima hukuman mati minum racun yang diperintahkan Kaisar Sung Kao Cu atas bujukan Chin Kui yang licik! Demikianlah apa yang terjadi sekitar lima tahun yang lalu dan kini Cina terpecah menjadi dua, yang utara menjadi wilayah Kerajaan Kin dan yang selatan wilayah Kerajaan Sung. Pembagian wilayah ini pun jelas membuktikan betapa lemahnya Kerajaan Sung yang terpaksi membiarkan Kerajaan Kin mengambil alih tujuh Propinsi dan semua daerah di sebelah utara sungai Huai, daerah Pegunungan bagian Honan selatan, dan jajaran perbukitan yang menjadi sumber mata air dari Sungai Han dan sungai Kuning di Shensi sebelah selatan.

   Pendeknya, dengan bujukani pengkhianat Chin Kui, Kaisar Sung Kao Cu mengalah. Demikianlah keadaan Kerajaan Sung yang Kotarajanya di Hang-Chouw. Ketika kisah ini terjadi, para pendekar yang setia kepada Kerajaan Sung, banyak yang merasa marah kepada Chin Kui atas kematian Gak Hui dan semua orang tahu belaka akan kelemahan Kaisar Sung Kao Cu yang ketika itu berusia sekitar lima puluh tahun. Semua urusan Negara berada di dalam kekuasaan Perdana Menteri Chin Kui dan para pembantunya. Kaisar Sung Kao Cu lebih banyak bersenang-senang dalam Istananya, dihIbur selir dan dayang muda yang cantik, berpesta dan mabok-mabokan.

   Malam itu cuaca gelap sekali karena selain tanggal muda dan bulan tidak muncul, juga bintang-bintang terhalang mendung tipis yang bergerak di angkasa. Hawa udara malam itu dingin sekali, membuat orang di Kotaraja Hang-Chouw malas keluar rumah. Memang lebih hangat berada di rumah bercengkerama dengan keluarga. Jalan raya di Kotaraja juga sunyi dan toko-toko sudah tutup sebelum malam semakin larut. Hanya ada beberapa orang muda yang memang mempunyai kebiasaan berkeliaran di waktu malam saja yang tampak di jalan-jalan. Akan tetapi di taman bunga belakang rumah gedung yang cukup besar di kota itu, di dekat ujung barat, duduk seorang gadis di atas bangku menghadapi kolam ikan. Di dekat kolam terdapat sebuah tiang dan sebatang tongkat melintang digantungi sebuah lampu merah menerangi permukaan kolam.

   Kolam itu penuh dengan ikan emas yang berenang hilir mudik di antara bunga teratai. Hening. sekali di tempat itu. Hening dan sejuk bahkan agak dingin. Kalau tidak ia terkadang menghela napas panjang, orang yang melihat gadis itu tentu mengira ia sebuah patung yang indah sekali karena tidak pernah bergerak. Seolah seluruh perhatiannya ditujukan kepada ikan-ikan yang berenang hilir mudik itu. ia seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun, cantik apalagi ia mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera halus, rambutnya di sanggul model rambut puteri Bangsawan. Dari belakang gedung itu datang seorang wanita berpakaian sebagai seorang pelayan. Wanita setengah tua ini adalah pelayan dan pengasuh gadis Itu. Dengan sopan ia berdehem ketika tiba di belakang gadis Bangsawan itu dan gadis itu menoleh.

   "Siocia (Nona), maafkan, saya diutus Thai-Thai (Nyona Besar) untuk mengajak Nona masuk karena sudah malam udaranya di sini dingin sekali. Kami khawatir Nona akan masuk angin."

   "Aku belum ingin masuk, masih ingin menikmati keindahan kolam dan ikan-ikan emasku. Engkau tinggalkan aku, jangan ganggu aku."

   Kata gadis Itu. Pelayan itu mengangguk dan membungkuk dengan hormat meninggalkan gadis itu, kembali ke dalam gedung melalui pintu belakang. Gadis itu melanjutkan renungannya sambil melihat ikan. Kemudian ia bicara seorang diri dengan suara seperti orang merengek.

   "Aih, ikan, engkau jauh lebih berbahagia daripada aku! Engkau berenang-renang dengan gembira dan bebas, sesuka hatimu, tidak ada yang menekan dan memaksamu. Ah, mau rasanya aku bertukar tempat denganmu..."

   Ia menghela napas panjang beberapa kali. Tiba-tiba ia mendengar orang lain menghela napas panjang di belakangnya. ia bangkit berdiri, memutar tubuhnya dan terbelalak memandang kepada Lui Hong yang telah berdiri di depannya.

   "Nona Li Sian Hwa..."

   Lui Hong memanggil lirih.

   "Ah, kau... Pendekar Lui Hong...??"

   Gadis itu berseru lirih dengan suara gemetar dan wajahnya berubah merah. Jantungnya berdebar tegang akan tetapi juga bercampur dengan rasa girang dan khawatir. Sejak tadi ia membayangkan wajah pemuda yang mendatangkan kesan mendalam di hatinya.

   Pemuda ini pernah menolongnya, pernah membebaskannya dari ancaman yang lebih mengerikan daripada maut ketika ia nyaris diperkosa oleh seorang kepala perampok. Kemudian setelah penolongnya itu mengantar keluarga Ayahnya sampai ke Kotaraja, Ayahnya, Jaksa Li, dengan halus mengusir Lui Hong dan tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk saling berjumpa! Untung ia masih sempat menyuruh pelayannya untuk menyerahkan sebuah hiasan rambut kepada pemuda itu dengan surat yang menyatakan bahwa ia akan menanti sampai pemuda itu datang kembali kepadanya! Akan tetapi, kemudian ia ditunangkan dengan seorang pemuda lain, dan ia tidak dapat membantahnya karena Ayah-Ibunya sudah menentukannya. Inilah yang membuat ia bersedih dalam taman dekat kolam ikan seperti tadi, yang ia lakukan hampir setiap sore.

   "Li-Siocia (Nona Li), mengapa engkau tadi tampak begitu berduka sehingga mau bertukar tempat dengan ikan emas? Bukankah engkau masih menantiku dan sekarang aku telah datang, apakah engkau, tidak merasa gembira melihat aku?"

   Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba saja Li Sian Hwa menangis terisak-isak, duduk kembali di atas bangku dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Melihat ini, Lui Hong segera menghampiri, duduk di atas bangku di samping gadis itu, menyentuh pundaknya dengan lembut dan bertanya.

   "

   Siocia, mengapa engkau menangis? Katakanlah, apa yang mengganggu pikiranmu? Aku siap berkorban apa saja untuk menolongmu, Nona."

   Li Sian Hwa merasa terharu, melepaskan tangan kanannya dari depan mukanya dan menggenggam tangan kiri pemuda itu, digenggamnya erat-erat seperti orang mencari pegangan yang kuat agar ia tidak jatuh.

   "Taihiap (Pendekar Besar)..., kedatanganmu terlambat..."

   Ia berhenti bicara dan terisak menangis.

   "Terlambat? Apa maksudmu, Nona...?"

   "Aku... aku telah ditunangkan dengan pemuda lain..."

   Mendengar ini, Lui Hong melepaskan genggamani tangannya dengan tangan gadis itu seolah-olah tangan gadis itu menjadi panas sekali. Sian Hwa telah bertunangan dengan pemuda lain! Kalimat ini memasuki kepala dan dadanya bagaikan halilintar dan sejenak dia merasa pening, terduduk diam seperti patung dan mukanya berubah pucat sekali. Tubuhnya gemetar dan dia merasa seolah semua urat di tubuhnya dilolosi, membuat dia merasa lemah dan lemas sekali. Dia berusaha bangkit berdiri untuk menjauhi gadis itu, akan tetapi dia terkulai dan kembali jatuh terduduk di atas bangku. Melihat keadaan Lui Hong ini, Li Sian Hwa yang sejak diselamatkan dulu sudah jatuh cinta kepadanya, menjerit lirih dan menubruk merangkul dan menangis sesunggukan sambil merapatkan mukanya di dada pemuda itu. Air mata membanjir keluar dan merembes melalui baju membasahi dada Lui Hong yang hanya dapat erangkulnya dengan perasaan hancur.

   "Lui Taihiap... kau maafkan aku. Ayah-lbu memaksaku, aku tidak bisa menolaknya... aku tidak berdaya, Taihiap... aduh, apa yang harus kulakukan...?"

   Gadis itu meratap dalam pelukan Lui Hong. Lui Hong merasa sedih dan terharu sekali. lngin rasanya dia ikut menangis, akan tetapi dia menguatkan hatinya dan setelah dia mampu menenangkan hatinya, dengan lembut dia melepaskan rangkulannya.

   "Duduklah yang baik, Siocia, dan marl kita bicara."

   Katanya, suaranya halus namun tegas dan menenangkan perasaan kekasihnya yang hancur. Li Sian Hwa menyadari keadaan mereka yang tidak selayaknya karena saling rangkul itu dan ia pun lalu duduk dengan tegak di samping Lui Hong, menguatkan hatinya agar tangisnya terhenti. Keduanya saling pandang dan Lui Hong bertanya.

   "Li-Siocia, kalau boleh aku mengetahui, dengan siapakah engkau ditunangkan?"

   "Dengan seorang pemuda sastrawan yang kaya raya bernama Leng Sui dan menurut Ayahku, dia telah lulus sastrawan dan juga memiliki ilmu silat yang tinggi, selain itu dia kaya raya. Baru setengah tahun dia tinggal di Kotaraja dan kabarnya keluarganya dari utara."

   Lui Hong menghela napas panjang dan termenung sejenak.

   "Taihiap, maafkan aku..., aku hanya seorang anak yang tidak berdaya menentang kehendak orang-tua..."

   "Li-Siocia, engkau tidak bersalah, tidak perlu minta maaf padaku. Orang-tuamu juga tidak bersalah kalau menjodohkan engkau dengan seorang pemuda sastrawan yang kaya raya. Sesungguhnya yang salah besar adalah aku sendiri. Aku tidak mau bercermin, tidak menyadari siapa diriku, seorang pemuda yang bodoh dan miskin, bagaimana mungkin dapat mengharapkan untuk berjodoh dengan seorang puteri Bangsawan seperti engkau? Aku yang tidak tahu malu..."

   "Lui-Koko... (Kanda Lui)!!"

   Li Sian Hwa kembali menubruk dan menangis di dada pemuda itu, lebih sedih lagi dan tiba-tiba ia menjadi lemas clan pingsan dalam rangkulan Lui Hong! Melihat gadis itu jatuh pingsan, Lui Hong merasa kasihan sekali. Dengan kedua mata basah dia lalu merebahkan gadis itu telentang di atas bangku panjang dan dia mengurut jalan darah di tengkuk dan punggungnya, memijat pusat unit syaraf di antara telunjuk dan Ibu jari tangan kirinya. Tak lama kemudian Sian Hwa mengeluh dan siuman dari pingsannya. Lui Hong membantunya duduk kembali.

   "Li-moi (Dinda Li),"

   Kini Lui Hong berkata, menyebut gadis itu moi-moi (dinda atau adik perempuan) karena gadis itu tadi juga menyebutnya Koko (Kanda atau Kakak laki-laki).

   "Kau tenangkanlah hatimu. Aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, dan tidak akan berhenti mencintamu sampai datang ajalku. Akan tetapi, Moi-moi, cinta belum tentu berakhir dengan perjodohan karena perjodohan melibatkan keluarga, dalam haI ini orang-tuamu. Kita tidak mungkin dapat memaksakan. Kita saling mencinta, akan tetapi anggaplah bahwa aku bukan jodohmu, TUHAN tidak menghendaki kita menjadi suami-isteri. Maka, terimalah kembali benda tanda mata darimu ini, Dinda Li Sian Hwa."

   Lui Hong mengeluarkan hiasan rambut berupa kupu-kupu emas yang dulu ia terima dari Sian Hwa melalui pelayan gadis itu dan menyerahkannya kepada Sian Hwa. Dengan kedua tangan gemetar gadis itu menolak pemberian itu.

   "Tidak! Tidak, jangan kembalikan itu kepadaku, Koko! Benda ini kuserahkan padamu sebagai wakil dari hatiku. Simpanlah atau buanglah kalau engkau sudah tidak menyukainya, akan tetapi jangan kembalikan kepadaku! Aku bersumpah, bahwa badanku ini boleh dipaksa menjadi milik laki-laki lain, akan tetapi hatiku tetap hanya untukmu seorang, Kanda Lui Hong!"

   Dan kembali gadis itu menangis sesenggukan. Tiba-tiba terdengar suara wanita batuk-batuk. Saking tegangnya hati mereka tadi, mereka tidak tahu bahwa wanita pelayan pribadi Sian Hwa telah berdiri di situ. Juga Lui Hong yang memiliki pendengaran terlatih tidak mengetahuinya. Mereka terkejut dan ketika Sian Hwa melihat bahwa yang datang adalah pelayannya, ia lalu berkata.

   "Bibi, engkau tentu masih ingat kepada Lui Taihiap ini, bukan?"

   Wanita itu memandang dan di bawah sinar lampu merah ia mengenali wajah Lui Hong. ia segera memberi hormat dan berkata.

   "Tentu saja, Nona. Dulu saya Nona utus menyerahkan surat dan hiasan rambut kepada Kongcu (Tuan Muda) ini."

   "Kalau begitu pergilah, Bibi, aku masih ingin bicara dengan Lui Taihiap."

   Kata lagi Sian Hwa sambil mengusap air matanya.

   "Tapi, Nona. Taijin dan Thai-Thai minta dengan sangat agar Nona segera kembali ke dalam karena malam mulai larut. Kalau saya tidak dapat mengajak Nona masuk, mungkin mereka sendiri yang akan datang ke sini."

   Mendengar ini, Lui Hong bangkit berdiri.

   "Moi-moi, engkau masuklah, tidak baik bagimu kalau kehadiranku disini diketahui orang. Hiasan rambut ini kusimpan selamanya dan benda ini akan menjadi saksi bahwa aku tidak akan nikah dengan gadis lain selama hidup

   "Lui Koko...!"

   "Masuklah, Dinda Li Sian Hwa."

   "Mari, Nona, kita masuk, sudah di nanti-nanti Thai-Thai!"

   Pelayan itu membujuk lalu setengah menarik dan menyeret tangan gadis itu meninggalkan taman. Sian Hwa terpaksa ikut sambil berulang-ulang menoleh kepada Lui Hong dan isaknya masih terdengar sampai akhirnya dua orang wanita itu menghilang ke dalam pintu bagian belakang gedung.

   Lui Hong masih berdiri termenung, matanya menatap ke arah daun pintu bercat kuning yang sudah tertutup itu. Hatinya terasa kosong dan sunyi, dia merasa kehilangan, kehilangan segala-galanya dan tangan kanannya masih memegang tusuk sanggul atau hiasan rambut kupu-kupu emas itu. Tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya, cepat sekali dia membuang tubuh ke belakang lalu berjungkir balik membuat salto tiga kali. Sinar-sinar hitam dari senjata rahasia piauw dan paku meluncur lewat dari samping. Ketika dia berhenti dan berdiri, masih ada sebuah paku menyambar. Cepat dia menjepit paku itu dengan dua jari tangan kiri, lalu melihat berkelebatnya dua bayangan hitam, dia menyambitkan paku itu ke arah bayangan terdekat.

   "Auuhhh...!"

   Terdengar teriakan kesakitan dan dua sosok bayangan itu berkelebat melarikan diri melalui pagar tembok taman itu. Lui Hong cepat melakukan pengejaran. Kalau dia menghendaki, Lui Hong tentu akan dapat menyusul dan menangkap mereka karena dia memiliki kelebihan daripada mereka dalam hal kecepatan lari. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini karena dia ingin tahu mereka dan ke mana mereka pergi. Dua orang itu pasti hanya anak buah dan dia ingin mengetahui siapa orangnya yang mengirim dua penjahat untuk membunuhnya itu. Tak lama kemudian dua bayangan hitam itu menghilang ke dalam belakang pagar tembok sebuah gedung besar.

   

Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini