Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 15


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



Lui Hong membayangi mereka dan melihat bahwa di belakang pagar tembok itu terdapat sebuah taman yang cukup luas, seperti taman milik Li Sian Hwa tadi. Dia masih dapat melihat mereka berdua itu menyelinap masuk melalui sebuah pintu kecil di samping gedung. Lui Hong cepat melompat ke atas wuwungan rumah dan setelah memeriksa keadaan di bawah, dia melihat dua orang yang berpakaian serba hitam tadi telah berada di sebuah ruangan yang luas dan terang, bersama beberapa orang. Dia segera mendekam dan melakukan pengintaian. Dalam ruangan itu terdapat seorang pemuda tampan yang duduk di kursi terukir indah. Melihat wajah pemuda ini, Lui Hong terkejut karena dia mengenal wajah itu yang bukan lain adalah pemuda sang pernah dia jumpai di hutan, pemuda yang dengan kejam dan lihai membantai lima belas orang perampok, bahkan yang pernah bertanding dengannya!

   Duduk di kanan kiri pemuda itu terdapat enam orang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun. Dari pakaian mereka, Lui Hong dapat mengetahui bahwa Lima orang di antara mereka adalah orang-orang dari Bangsa Kin. Adapun yang seorang lagi berkepala gundul, berjubah merah, jelas merupakan seorang berdarah Mangol. Usianya sekitar empat puluh tahun. Mereka itu biarpun sedang duduk di atas kursi, tampak berwibawa dan dari sikap mereka yang gagah, Lui Hong dapat menduga. bahwa mereka tentulah orang-orang yang memiliki ilmu silat yang tangguh. Pada saat itu, pemuda tampan berpakaian mewah dan pesolek itu duduk di atas kursi memandang kepada dua orang berpakaian serba hitam yang tadi dibayangi Lui Hong. Seorang di antara mereka memegangi pundak kirinya yang terluka senjata rahasia paku yang di tangkap lalu disambitkan Lui Hong tadi.

   "Ceritakan, apa yang terjadi!"

   Pemuda tampan itu bertanya dan suaranya terdengar keren berwibawa. Orang berpakaian hitam-hitam yang tidak terluka, yang duduk di atas lantai bersama kawannya, berkata dengan suara yang terdengar ketakutan.

   "Maaf, Pangeran..."

   "Husshh! Jangan sebut Pangeran di sini!"

   Pemuda itu membentak dan diam-diam Lui Hong terkejut. Pangeran? Pemuda ini seorang Pangeran? Pangeran Bangsa apakah? Bangsa Han, seorang Pangeran dari Kerajaan Sung Selatan ataukah Pangeran Bangsa Kin, atau Mongol?

   "Maafkan hamba,... Kongcu (Tuan muda). Hamba berdua yang bertugas melakukan pengintaian di rumah Jaksa Li. tadi melihat seorang pemuda yang mengadakan pertemuan dengan Li-Siocia (Nona Li). Hamba berdua menyerangnya dengan Hek-Ting (Paku Hitam), akan tetapi dia mampu menghindar bahkan mengembalikan sebatang paku yang mengenai pundak rekan hamba ini. Terpaksa hamba melarikan diri ke sini."

   "Orang-orang tolol!"

   Pemuda itu membentak marah.

   "Mestinya kalian tidak menyerangnya melainkan membayangi dan menyelidiki, mencari tahu siapa dia apa hubungannya dengan Li-Siocia. Sebaliknya kalian gagal menyerangnya, malah kalian datang ke sini sama dengan membawa dia ke sini.!"

   "Akan tetapi hamba tidak..."

   "Bodoh, tentu saja dia membayangi kalian!"

   Bentak pemuda itu dan Lui Hang terkejut sekali. Pemuda itu sungguh cerdik dan dapat menduga bahwa dia membayangi dan mengikuti dua orang penyerangnya itu. Dia tahu bahwa kehadirannya dapat segera diketahui, dan selagi dia hendak meninggalkan tempat itu tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan dibawah dan dia mendapatkan dirinya terkepung oleh sedikitnya dua puluh orang yang memegang obor dan senjata di tangan.

   Kemudian terdengar aba-aba dan dari bawah meluncur banyak anak panah menghambur ke arah dirinya. Lui Hong maklum akan bahaya ini. Dia mencabut pedangnya, memutar pedang itu sehingga membentuk sinar bergulung-gulung yang menjadi perisai lalu dia melayang turun dari atas wuwungan. Semua anak panah yang menyambar ke arahnya runtuh oleh perisai sinar pedangnya. Akan tetapi begitu di turun ke atas tanah, dia telah dikepung oleh puluhan orang itu dan tiba-tiba muncullah mereka yang tadi dia lihat duduk di dalam ruangan. Pemuda itu segera mengenalnya dan dengan marah dia membentak, dengan suara keren memerintahkan enam orang setengah tua yang tadi menemaninya untuk menangkap Lui Hong. Lima orang yang berpakaian sebagai perwira Bangsa Kin dan seorang berkepala gundul Bangsa Mongol itu segera maju menaati perintah pemuda tampan itu.

   "Tangkap dia atau bunuh!"

   Demikian pemuda itu berseru. Mendengar perintah ini, enam orang itu lalu mencabut senjata mereka. Lima orang perwira Kin itu mencabut pedang mereka yang bentuknya bengkok, sedangkan orang Mongol itu meloloskan sehelai rantai baja. Perwira Mongol ini bukan lain adalah Ulan Bouw, tokoh Mongol yang pernah berhubungan dengan Pangeran Liang Tek Ong sebagai utusan dari Mongol.

   Kini dia melakukan pendekatan dengan pemuda tampan yang ternyata adalah seorang Pangeran Bangsa Kin. Lui Hong tidak mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri karena dia sudah diterjang enam orang yang mengepungnya. Ternyata mereka berenam merupakan lawan yang cukup berat bagi Lui Hong. Dia sudah mencoba untuk mengamuk dan memainkan pedangnya secara hebat. Pemuda ini adalah murid Sin-Kiam Kai-Ong (Raja Pengemis Pedang Sakti), maka tentu saja ilmu pedangnya dahsyat. Akan tetapi kini dia menghadapi pengeroyokan enam orang jagoan yang lihai. Apalagi pemuda tampan itu mengeluarkan aba-aba dan kini dua puluh orang lebih perajurit dan pengawalnya maju pula melakukan pengeroyokan sehingga banyak sekali senjata yang menyerang Lui Hong bagaikan hujan derasnya. Pemuda itu memutar pedangnya dan mengerahkan tenaga.

   Karena ada pengeroyokan para perajurit, maka gerakan enam orang jagoan itu malah terhambat sehingga Lui Hong dapat merobohkan enam orang perajurit yang mengeroyoknya. Melihat ini, pemuda itu berseru pula memerintahkan para perajurit untuk mundur. Kemudian dia sendiri maju membantu enam orang jagoannya dan kembali Lui Hong terdesak hebat. Biarpun Lui Hong sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian silat pedangnya, tetap saja dia terdesak dan akhirnya dia terkena beberapa kali serangan senjata lawan. Biarpun dia masih mampu menangkis atau mengelak, namun tetap saja dia terluka ujung senjata para pengeroyok sehingga kedua pundak, paha, dan dada terluka berdarah. Pakaiannya sudah merah oleh darahnya yang mengucur deras. Namun, pemuda ini tidak pernah mau menyerah dan masih terus membela diri sekuat tenaga.

   "Bukkk...!"

   Sebuah tendangan kaki pemuda tampan itu mengenai pinggangnya dan Lui Hong terpelanting roboh miring. Dua batang pedang menyambar ke arahnya.

   "Trang-trangg...!"

   Biarpun dalam posisi yang amat lemah Lui Hong yang masih memegang pedangnya mampu menangkis. Akan tetapi ujung sebatang pedang kembali merobek baju di bagian dada dan kulitnya ikut terobek. Makin banyak darah membasahi pakaiannya dan Lui Hong mulai merasa betapa tenaganya berkurang dan tubuhnya lemas, kepalanya mulai pening karena dia kehilangan banyak darah. Namun, pemuda yang sudah menyadari bahwa nyawanya terancam maut ini tidak pernah kehilangan semangat untuk melawan. Akan tetapi ketika dia melompat berdiri lagi, kakinya lemas dan dia terhuyung sehingga kembali tendangan kaki pemuda tampan itu mengenai dadanya, membuat Lui Hong jatuh terjengkang.

   "Tangkap dia hidup-hidup!"

   Pemuda itu berseru melihat para pembantunya sudah siap untuk menghujankan senjata kepada Lui Hong.

   "Aku ingin tahu siapa dia dan apa maunya?"

   Mendengar perintah ini, enam orang itu lalu menubruk dan menelikung Lui Hong yang sudah lemas. Dengan kedua tangan diikat kebelakang tubuh dia lalu diseret ke dalam ruangan dan didorong jatuh terduduk diatas lantai. Pemuda tampan itu duduk diatas sebuah kursi memandang Lui Hong dengan sinar mata penuh selidik.

   "Hemm, kiranya engkau adalah pemuda dusun kurang ajar yang mencampuri urusanku ketika aku membasmi gerombolan perampok itu"

   Kata pemuda itu yang merasa heran mengapa Lui Hong diketahui orang-orangnya berkunjung ke taman gedung Jaksa Li dan mengadakan pertemuan dengan Li Sian Hwa.

   Hatinya dipenuhi rasa cemburu. Pemuda ini adalah laki-laki kepada siapa Li Sian Hwa dijodohkan dan sekarang telah menjadi tunangannya. Dia bernama Leng Sui dan Jaksa Li mengenalnya sebagai seorang pemuda sastrawan yang kaya raya. Leng Sui yang di Kotaraja di mana baru sekitar satu tahun dia tinggal, terkenal di kalangan para Bangsawan karena hubungannya memang luas, terkenal royal dengan hartanya. Dia lebih dikenal dengan sebutan Leng-Kongcu (Tuan muda Leng). Sesungguhnya, seperti dibocorkan oleh anak buahnya tadi yang kelepasan menyebutnya "Pangeran,"

   Leng Sui adalah seorang Pangeran Kerajaan Kin.

   Pada waktu itu Bangsa Yuchen yang berhasil menguasai daratan Cina bagian utara dan mendirikan Kerajaan Kin, telah dapat mengembangkan Kerajaannya. Mungkin karena Bangsa prIbumi Han merupakan mayoritas dengan jumlah yang ratusan kali lebih besar jumlahnya, maka biarpun sudah menguasai Cina bagian utara, Bangsa Yuchen terseret ke dalam kebudayaan prIbumi Han. Merekalah yang menjajah, akan tetapi justeru mereka yang membaur dan mengoper kebudayaan Han. Terutama sekali para Bangsawannya, yaitu para pejabat pemerintah Kerajaan, mereka mempelajari kebudayaan, kesusasteraan dan ilmu-ilmu Bangsa prIbumi. Maka tidak mengherankan kalau Leng Sui, seorang di antara banyak Pangeran Kerajaan Cin, juga berubah menjadi seorang Bangsawan muda yang segala-galanya meniru Bangsa Han.

   Bukan hanya pakaiannya, juga pendidikannya. Pangeran Leng Sui atau lebih banyak dikenal sebagai Leng-Kongcu, dalam pergaulannya yang luas, berkenalan pula dengan jaksa Li Koan, Ayah Li Sian Hwa. Begitu bertemu Sian Hwa, Iangsung saja Leng-Kongcu jatuh cinta. Dia mengajukan lamaran dengan menyerahkan hadiah yang berlimpahan dan Jaksa Li segera menerima pinangan ini setelah melalui orang-orangnya mendapat keterangan betapa Leng-Kongcu selain kaya raya dan terpelajar tinggi, juga memiliki hubungan dekat dengan para Bangsawan tinggi, bahkan kabarnya dekat pula dengan para pejabat di Istana! Lui Hong yang tubuhnya terasa lemas namun pikirannya masih terang itu mengangkat muka memandang pemuda itu.

   "Dan engkau adalah pemuda yang tadinya kusangka seorang pendekar berhati kejam, ternyata seorang kepala penjahat yang mengirim dua orang untuk membunuhku tanpa sebab."

   "Pemuda sombong! Katakan namamu dan apa maksudmu menyelinap ke rumahku ini?"

   "Namaku Lui Hong, dan aku datang ke sini membayangi dua orang yang hendak membunuhku. Engkau yang sepatutnya mengaku siapa engkau dan mengapa engkau menyuruh orang membunuhku"'

   "Engkau menyusup ke taman gedung Jaksa Li, tentu mempunyai niat buruk. Orang-orangku melihatmu maka menyerangmu. Mau apa engkau berkeliaran di taman rumah Jaksa Li? Tentu bermaksud jahat!"

   "Aku bukan seorang penjahat. Aku berkunjung karena aku mengenal Jaksa Li."

   Kata Lui Hong.

   "Huh, orang kasar rendah macam engkau mengenal Jaksa Li? Kalau berkunjung, kenapa malam-malam dan ada di taman? Tentu engkau jahat, hendak mencuri!"

   Lui Hong menjadi marah sekali. Orang ini terlalu menghinanya dan memandang rendah.

   "Aku tidak mengunjungi Jaksa Li, melainkan mengunjungi Nona Li Sian Hwa."

   Leng Sui melotot dan mukanya menjadi merah.

   "Apa? Engkau mengunjungi Nona Li? Ada urusan apa engkau dengan Nona Li?"

   Lui Hong tersenyum, teringat akan kekasihnya dan dia merasa bangga bahwa dia bukan hanya mengenal dan bersahabat, bahkan saling mencinta dengan gadis itu!

   "Aku dan Nona Li Sian Hwa sudah lama saling mengenal dan menjadi sahabat balk."

   "Keparat!"

   Leng-Kongcu bangkit berdiri dan mengepal tinju.

   "Orang macam engkau mengaku menjadi sahabat Nona Li Sian Hwa, tunanganku? Kurang ajar kau!!"

   Kini Lui Hong yang terkejut. Ah, jadi pemuda inikah laki-laki yang dijodohkan dengan Sian Hwa? Akan tetapi pada saat itu Leng-Kongcu sudah meloncat dekat dan sekali kakinya terayun, tubuh Lui Hong menjadi sasaran tendangannya sehingga pemuda itu terlempar dan menabrak dinding.

   "Bunuh jahanam itu!"

   Leng-Kongcu berteriak dan seorang di antara pembantunya, perwira Kerajaan Cin, sudah mencabut pedang dan menghampiri Lui Hong yang sudah tidak dapat melawan karena tubuhnya luka-luka dan lemas. Akan tetapi sebelum pedang itu digerakkan, Leng-Kongcu kembali berteriak.

   "Jangan, jangan bunuh dulu! Jebloskan dia dalam tahanan dan jaga yang ketat agar jangan sampai lolos. Aku hendak membuktikan dulu pengakuannya itu dan mengundang Jaksa Li dan Nona Li datang ke sini besok pagi. Setelah itu baru kita bunuh dia!"

   Dua orang pembantu Leng-Kongcu memegang dan menyeret Lui Hong ke bagian belakang gedung itu, memasuki bangunan yang dijadikan tempat tahanan dengan beberapa buah kamar bertrali besi. Mereka mendorong Lui Hong ke dalam sebuah kamar lalu menutup dan mengunci pintu besinya, dan menyuruh lima anak buah berjaga di situ. Lui Hong duduk bersila, menghimpun hawa murni untuk memperkuat tubuhnya. Dia mulai merasa menyesal bahwa dia tadi menyebutkan nama Li Sian Hwa. Kalau dia tahu bahwa pemuda itu adalah tunangan Sian Hwa, tentu dia tidak akan mengaku sebagai sahabat gadis itu. Pengakuannya itu mungkin akan berakibat buruk atas diri kekasihnya dan dia amat mengkhawatirkan hal itu. Bagaimanapun juga, dia harus menjaga agar Sian Hwa jangan sampai celaka.

   Dan dia harus mengakui bahwa pilihan Jaksa Li tidaklah dapat disalahkan. Pemuda itu tampan dan memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, dan agaknya memiliki kekuasaan. Apalagi kalau dia seorang Pangeran. Tentu saja bagi Sian Hwa jauh lebih baik dan menguntungkan menjadi isteri seorang Pangeran daripada menjadi isteri seorang pemuda miskin seperti dia! Pada keesokan harinya, pagi-pagi Jaksa Li Koan dan puterinya, Li Sian Hwa telah datang berkunjung ke gedung Leng-Kongcu yang mengirim kereta dan mengundang mereka dengan alasan ada keperluan yang amat penting. Tentu saja pembesar ini merasa heran, akan tetapi dia merasa tidak enak kalau menolak, apalagi calon mantunya telah mengirim kereta untuk menjemputnya. Hanya Sian Hwa yang diam-diam mengomel. Tunangannya itu sungguh tidak menghormati Ayahnya.

   Kalau ada keperluan penting, sepatutnya dia yang datang menghadap Ayah, pikirnya. Akan tetapi karena ia tahu betapa Ayahnya amat kagum dan suka kepada calon mantunya itu, ia pun diam saja dan hanya menurut diajak Ayahnya berkunjung ke gedung Leng-Kongcu. Namun di sepanjang perjalanan itu Sian Hwa duduk melamun dalam kereta. ia masih membayangkan pertemuannya semalam dengan kekasihnya, Lui Hong. Bukan hanya membayangkan, bahkan suara pemuda itu masih terngiang di telinganya, dan senTUHAN pemuda itupun masih hangat terasa olehnya. Tak tertahankan lagi kedua matanya menjadi basah dan beberapa tetes air mata keluar dari pelupuk matanya. Sian Hwa menahan isaknya dan cepat menggunakan tangannya untuk mengusap air mata dari pipinya. Akan tetapi Ayahnya melihat hal ini.

   "Eh, kenapa engkau menangis?"

   "Ah, tidak, Ayah. Mataku pedas, mungkin terkena debu..."

   "Jangan bohong, aku tahu bahwa engkau menahan tangismu. Hayo katakan, kenapa engkau menangis?"

   Karena Ayahnya sudah mengetahui, Sian Hwa lalu berkata lirih.

   "Ayah, terus terang saja aku merasa tersinggung. Kalau Leng-Kongcu mempunyai urusan, sepatutnya dia yang datang menghadap Ayah, bukan memanggil kita seperti ini."

   Jaksa Li menghela napas panjang.

   "Hemm, biarlah, Sian Hwa. Tentu ada urusan yang penting sekali maka dia mengirim kereta menjemput kita. Kita lihat saja apa yang hendak dia bicarakan dengan kita."

   Akan tetapi ketika mereka tiba di gedung tempat tinggal Leng-Kongcu, pemuda ini menyambut mereka dengan alis berkerut dan pandang matanya terhadap Sian Hwa mengandung kemarahan. Setelah memberi salam dan mempersilakan calon Ayah mertua dan calon isterinya duduk di ruangan tamu, Leng-Kongcu berkata dengan suara yang tidak seramah biasanya.

   "Gakhu (Ayah Mertua), harap dimaafkan bahwa sebelum kita bicara, saya ingin memperlihatkan sesuatu kepada dinda Li Sian Hwa. Harap Gakhu menunggu di sini sejenak."

   Biarpun merasa heran, Jaksa Li mengangguk, dan Leng-Kongcu lalu mengajak Sian Hwa mengikutinya menuju ke bagian belakang, ke bangunan yang dipergunakan untuk tempat tahanan. Sian Hwa merasa heran akan tetapi tanpa banyak bicara ia mengikuti tunangannya dan setelah tiba di depan kamar di mana Lui Hong dikeram, Leng-Kongcu memberi isarat kepada para penjaga untuk membuka pintu kamar tahanan itu. Pintu kamar itu dIbuka dan... Sian Hwa menjadi pucat ketika ia melihat Lui Hong duduk bersila dengan kedua tangan terikat ke belakang Lui Hong juga melihatnya akan tetap pemuda itu mampu menahan debar jantungnya dan segera menundukkan pandang matanya.

   "Dinda Sian Hwa, katakan sejujurnya, apakah engkau mengenal pemuda itu?"

   Tanya Leng-Kongcu sambil memandang tajam penuh selidik wajah tunangannya. Sian Hwa bukan seorang gadis bodoh. Sekarang ia tahu mengapa Leng-Kongcu mengundang ia dan Ayahnya. Agaknya Leng-Kongcu sudah tahu akan hubungannya dengan Lui Hong, maka dengan sikap dan suara tenang ia menjawab sambil menganggukkan kepalanya.

   "Aku mengenalnya, Kanda. Dia bernama Lui Hong dan dia pernah menyelamatkan Ayah dari tangan gerombolan perampok."

   "Hemm, dan engkau menjadi sahabat baiknya? Benarkah itu?"

   "Aku mengenalnya dengan balk, karena ketika aku diculik perampok dan Ayah terancam keselamatannya, dia yang menolong aku dan Ayah. Akan tetapi, mengapa dia berada di sini menjadi tawananmu? Kesalahan apa yang dia lakukan, Kanda Leng?"

   "Semalam dia menyelundup kesini seperti pencuri. Benarkah engkau tidak mempunyai hubungan lain kecuali sebagai seorang yang pernah ditolongnya? Lalu mengapa malam-malam dia mengadakan pertemuan denganmu di taman rumahmu?"

   Diam-diam Sian Hwa terkejut sekali. Akan tetapi ia bersikap tenang dan ia berkata.

   "Dia datang hanya untuk menanyakan keselamatan kami karena kebetulan dia lewat malam-malam. Tidak ada hubungan apa selain persahabatan. Kanda Leng, aku minta dengan sangat agar engkau membebaskan dia. Dia adalah penolong kami, maka kalau engkau mencelakakan dia, sungguh membuat hatiku dan hati Ayahku menjadi tidak enak sekali. Anggaplah ini sebagai jasa kami kepadanya, Kanda, dan bebaskan dia."

   Suara gadis itu mengandung permohonan sehingga diam-diam Lui Hong merasa terharu.

   "Baik, akan kupertimbangkan. Mari kita kembali ke ruangan tamu."

   Leng-Kongcu mengajalt Sian Hwa meninggalkan tempat itu dan Sian Hwa hanya sempat mengerling ke arah Lui Hong yang juga memandang kepadanya. Gadis itu merasa jantungnya seperti ditusuk pedang, akan tetapi ia cepat menundukkan mukanya dan mengikuti Leng Sui kembali ke kamar tamu di mana Ayahnya masih duduk menunggu. Ternyata Leng Sui tidak mau percaya begitu saja dengan pengakuan Sian Hwa. Dia ingin mencocokkan dengan keterangan Jaksa Li, maka setelah dia mempersilakan tunangannya duduk, dia kini mengajak Jaksa Li melihat Lui Hong. Begitu melihat Lui Hong, Jaksa Li segera mengenalnya.

   "Lui Taihiap, engkau berada di sini? Dan... mengapa engkau menjadi tahanan...?"

   "Gakhu, apakah Gakhu mengenal pemuda ini?"

   "Tentu saja, dia Pendekar Lui Hong dan dia yang dulu menolong aku dan Sian Hwa dari tangan perampok."

   Lui Hong yang duduk bersila diam saja. Akan tetapi sebaliknya Leng-Kongcu merasa girang karena ternyata keterangan Sian Hwa tidak bohong. Maka sikapnya kini ketika dia mengajai Jaksa Li kembali ke kamar tamu menjadi biasa dan ramah kembali. Setelah duduk di kamar tamu, dia menjelaskan kepada Ayah dan anak,

   "Maafkan saya, Gakhu, dan engkau, Hwa-moi (Dinda Hwa). Saya terpaksa mengundang kalian berdua datang ke sini untuk mengenali pemuda yang bernama Lui Hong itu. Dia datang malam tadi menyelundup ke sini dan kami berhasil menangkapnya. Karena dia mengaku sebagai sahabat kalian, maka untuk membuktikan kebenaran keterangannya, saya mengundang kalian datang melihatnya."

   "Dia memang benar telah menolong kami ketika kami diganggu gerombolan perampok."

   Kata Jaksa Li.

   "Kongcu, dia itu orang baik-baik, maka kuharap engkau suka membebaskannya."

   Kata pula Sian Hwa.

   "Hemm, baiklah. Sekarang juga aku akan menyuruh orang-orangku membebaskannya."

   Leng-Kongcu lalu keluar dari kamar tamu dan dia segera menemui dua orang pembantunya.

   "Bawa tawanan itu keluar kota dan bunuh dia di hutan."

   Perintahnya. Setelah itu, dia kembali ke kamar tamu dan mempersiapkan makan minum untuk tunangan dan calon mertuanya.

   Dalam kesempatan itu, Leng-Kongcu juga mendesak agar pernikahannya dengan Li Sian Hwa dilaksanakan secepat mungkin. Se-telah berunding, mereka menentukan tanggalnya dan kurang lebih sebulan lagi pernikahan itu akan dilangsungkan. Baik Leng Sui maupun Jaksa Li sama sekali tidak tahu betapa Sian Hwa menerima kenyataan ini dengan hati pedih dan sakit. Akan tetapi ia tidak berani mengeluh dan dalam hatinya ada semacam hIburan bahwa kekasihnya telah diselamatkan dan dibebaskan. Biarlah ia berkorban asalkan Lui Hong bebas dan selamat, pikirnya. Setelah makan minum bertiga, Jaksa Li dan puterinya lalu kembali ke rumahnya, sama sekali tidak menyangka bahwa Lui Hong bukannya dibebaskan, malah disuruh bunuh oleh Leng-Kongcu yang masih merasa cemburu. Dengan kedua tangan masih terikat dan tubuh masih lemas kepala pening karena kehilangan banyak darah,

   Lui Hong dibawa keluar kota dalam sebuah kereta sehingga tidak nampak dari luar. Dua orang laki-laki tinggi besar dan berwajah bengis mengawalnya, seorang duduk sebagai kusir dan orang ke dua duduk dalam kereta dan menodongkan sebatang golok ke arah leher Lui Hong. Pemuda itu diam saja, tidak bertanya karena dia maklum bahwa percuma saja bertanya kepada dua orang yang agaknya menjadi tukang pukul pemuda yang ternyata tunangan Li Sian Hwa itu. Tubuhnya memang lemah dan sakit, akan tetapi tidak sesakit hatinya yang tidak dapat melupakan kenyataan pahit bahwa Sian Hwa telah bertunangan dengan seorang Pangeran yang baru saja telah menangkapnya! Akan tetapi diam-diam Lui Hong merasa curiga. Dia dibawa dalam kereta keluar dari kota, apa yang dikehendaki tunangan Sian Hwa itu darinya?

   Mudah diduga, pasti tidak mempunyai niat baik. Maka dia selalu waspada dan sudah beberapa kali dia berusaha untuk membikin putus ikatan kedua pergelangan tangannya. Akan tetapi selain dia kekurangan tenaga dan tubuhnya lemas, juga tali itu kuat sekali. Andaikata dia tidak kehilangan banyak darah, kiranya dengan pengerahan sinkang dia akan mampu membebaskan kedua tangannya dari ikatan. Dia sudah siap siaga, akan melawan semampunya, kalau perlu hanya menggunakan kedua kakinya, kalau ternyata dugaannya benar, yaitu kalau dua orang pengawalnya itu berniat untuk membunuhnya. Setelah kereta itu tiba di luar kota, di jalan umum yang sunyi karena melewati hutan dan hari masih pagi, kusir kereta menghentikan keretanya. Dua orang itu lalu turun dari kereta dan dengan suara kasar berseru agar Lui Hong turun dari kereta.

   Pemuda itu turun dan bersikap waspada. Dia menoleh ke kanan kiri. Jalan itu masih sepi, tak tampak seorang pun lewat di situ. Tiba-tiba dua orang itu menyerangnya dengan golok mereka. Lui Hong memang sudah menaruh curiga dan waspada, siap menghadapi bahaya serangan. Maka begitu melihat golok mereka menyambar dari kanan kiri, dia melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan di atas tanah. Ketika mereka berdua mengejar, tiba-tiba dia menggunakan kekuatan kakinya untuk melompat bangun dan segera menggunakan jurus tendangan Soan-Hong-Twi, yaitu tendangan berantai dengan kedua kaki bergantian, dia mendahului menyerang mereka. Gerakan Lui Hong cukup cepat dan biarpun dua orang itu mencoba menghindar, tetap saja seorang dari mereka terkena tendangan pada perutnya sehingga dia roboh terjengkang.

   Akan tetapi, karena tenaga Lui Hong hanya tinggal sebagian kecil saja, maka orang yang tertendang itu tidak mengalami luka dan dia segera dapat bangkit kembali, lalu keduanya menyerang dengan marah. Golok mereka menyambar-nyambar sehingga Lui Hong harus mengelak dengan loncatan-loncatan ke belakang. Karena kedua tangannya terikat ke belakang maka Lui Hong tak mungkin dapat bergerak dengan leluasa dan kelemahan tenaganya membuat keadaannya terancam sekali. Tiba-tiba sebuah sabetan golok yang menyambar ke arah lehernya masih mengenai pangkal lengan kanannya sehingga terluka dan mengeluarkan darah. Tubuh Lui Hong terguling dan dua batang golok menyambar dengan cepat. Lui Hong maklum bahwa dia tidak mungkin dapat menghindarkan dirt lagi, maka dia hanya menanti datangnya maut.

   "Trang-tranggg...!!"

   Dua batang golok itu terpental dan terlepas dari tangan dua orang itu dan tubuh mereka pun terpelanting roboh dan tak bergerak lagi karena mereka berdua telah roboh pingsan! Lui Hong terbelalak heran, akan tetapi pada saat itu, pandang matanya berkunang dan dia pun tidak ingat apa-apa lagi.

   Lui Hong pingsan karena Iuka-lukanya dan karena terlalu banyak kehilangan darah. Dia tidak tahu bahwa di situ muncul seorang Kakek berusia sekitar enam puluh lima tahun. Kakek yang mengenakan pakaian kasar seperti pakaian petani biasa, tubuhnya tinggi besar dan kekar, mukanya penuh brewok yang membuat dia tampak angker. Kakek yang tadi telah membuat dua orang pembunuh itu terpelanting dan pingsan kini memanggul tubuh Lui Hong yang pingsan dan membawanya pergi dari situ dengan langkah yang ringan dan cepat sekali, memasuki hutan. Ketika Lui Hong siuman kembali dari pingsannya, dia mendapatkan dirinya rebah di atas dipan bambu dalam sebuah gubuk yang berada di puncak sebuah bukit terpencil di pegunungan Hong-San. Dia mengeluh dan membuka matanya, melihat seorang Kakek tinggi besar duduk bersila di atas sebuah dipan lain.

   "Hemm, engkau sudah sadar? Bagus, bagaimana rasanya badamu?"

   Tanya Kakek itu dengan suaranya yang besar. Lui Hong bangkit duduk dan melihat betapa luka-lukanya telah dibaluri obat bubuk dan rasa nyeri luka-luka itu hilang. Hanya tubuhnya masih terasa lemah sekali.

   "Tidak ada yang terasa nyeri, hanya lemah dan agak pening. Engkau siapakah? Di mana aku berada?"

   Kemudian dia teringat akan dua orang yang menyerangnya ketika dia sudah sama sekali tidak berdaya untuk menghindarkan diri, lalu cepat disambungnya.

   "Apakah aku sudah mati dan berada di alam baka?"

   "Tidak, engkau belum mati."

   Kata Kakek itu singkat.

   "Tapi... tapi... aku ingat betapa dalam keadaan kedua tangan terikat dan tubuh lemah sekali, dua orang itu menyerangku dan tak mungkin aku dapat menghindarkan kematian..., ah, di mana dua orang, pembunuh itu?"

   "Orang muda, agaknya TUHAN belum menghendaki engkau mati. Kebetulan aku lewat dan kucegah mereka membunuhmu, lalu kubawa engkau ke sini."

   Kini Lui Hong menyadari bahwa Kakek ini telah menyelamatkannya dari ancaman maut. Tentu seorang Kakek yang berilmu tinggi. Maka dia segera turun dari dipan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kakek itu.

   "Ah, kiranya Lo-Cianpwe yang telah menolong dan menyelamatkan saya. Terima kasih, Lo-Cianpwe."

   "Sudahlah, bangkit dan ambil obat semangkok yang berada di atas meja itu. Engkau banyak kehilangan darah. Minumlah obat itu sampai habis lalu tidurlah. Nanti ada waktunya kita bicara kalau engkau sudah sehat kembali."

   Lui Hong tidak berani membantah. Diambilnya mangkok berisi obat itu dan dia meminumnya. Rasanya pahit akan tetapi dia minum sampai habis. Setelah itu ia rebah lagi dan tertidur. Selama dua hari dia menerima pengobatan Kakek itu dan pada hari ke tiga dia sudah sehat benar. Kakek itu lalu menyuruh dia memasuki bagian belakang pondok sederhana itu untuk memasak bubur. Setelah mereka berdua sarapan bubur dan minum air teh, barulah Kakek itu mengajak Lui Hong duduk di depan pondok. Pagi itu cerah dan indah sekali. Mereka duduk di atas bangku-bangku kayu yang berada di depan pondok.

   "Nah, sekarang ceritakan siapa engkau dan bagaimana engkau sampai di hutan dan hendak dIbunuh oleh dua orang itu."

   Dengan sikap hormat Lui Hong lalu menceritakan pengalamannya di Kotaraja sampai dia dikeroyok dan ditangkap oleh pemuda tampan itu. Tentu saja dia tidak mau mengaku bahwa ada hubungan cinta antara dia dan Li Sian Hwa. Dia hanya menceritakan bahwa dia pernah menolong Jaksa Li dan puterinya dari tangan perampok dan dia mengunjungi keluarga Li yang sudah dikenalnya.

   "Pemuda itu adalah calon mantu Jaksa Li dan dia mencurigai saya. Dua orang anak buahnya menyerang saya dalam taman rumah Jaksa Li. Saya mengejar mereka sampai ke gedung pemuda itu dan di sana saya dikeroyok dan ditangkap. Kemudian pada keesokan harinya dia mengundang Jaksa Li dan puteri nya, untuk membuktikan kebenaran pengakuan saya. Setelah itu, dia menyuruh dua orang anak buahnya membawa keluar kota dan mereka berniat membunuh saya. Kalau tidak ada Lo-Cianpwe yang datang menolong, tentu saya sudah tewas mereka bunuh."

   "Lui Hong, kulihat ketika engkau diserang dalam keadaan kedua tangan terikat, gerakanmu cukup baik. Kalau engkau tidak lemah kehabisan darah, tentu dengan mudah engkau dapat mengalahkan mereka walaupun kedua tanganmu terikat. Engkau juga memiliki tubuh yang kuat sekali sehingga kehabisan darah engkau masih mampu bertahan. Engkau tentu telah mempelajari ilmu silat yang lumayan. Siapakah Gurumu?"

   "Lo-Cianpwe, saya adalah seorang yang lemah dan bodoh, masih membutuhkan banyak petunjuk dari Lo-Cianpwe. Saya pernah menerima sedikit pelajaran silat dari Suhu Sin-Kiam Kai-Ong."

   "Aha! Pantas kalau begitu! Aku mengenal baik Raja Pengemis Pedang Sakti Mo Cin, bahkan aku pernah menerima petunjuk dari Gurunya, yaitu Leng Hwat Couwsu. Aih, senang sekali bahwa yang kubantu adalah muridnya. Lui Hong, ketahuilah bahwa aku adalah Thai Kek Lojin, mungkin Gurumu pernah menyebut tentang namaku!!"

   Lui Hong terkejut dan cepat menjatuhkan diri berlutut.

   "Ah, harap Lo-Cianpwe suka memaafkan kalau saya berlaku kurang hormat. Suhu pernah bercerita tentang Lo-Cianpwe Thai Kek Liojin. Akan tetapi dahulu Suhu mengabarkan Lo-Cianpwe sebagai seorang bekas panglima besar yang berjasa terhadap Negara dan Bangsa. Karena itu melihat Lo-Cianpwe berpakaian sebagai seorang petani dan hidup di puncak bukit ini, saya tidak mengenal Lo-Cianpwe."

   Kakek yang berjuluk Thai Kek Lojin itu menghela napas panjang.

   "Ahhh, kesalahan yang banyak dilakukan para patriot adalah bahwa mereka tidak setia dan berbakti kepada Nusa dan Bangsa, melainkan kepada Kaisar. Padahal, menjadi kenyataan sejarah jarang ada Kaisar yang benar-benar bijaksana, lebih banyak yang lalim dan mementingkan diri sendiri, mabok akan kekuasaan dan harta benda."

   "Akan tetapi Suhu juga bercerita bahwa Lo-Cianpwe ikut memberi petunjuk kepada mendiang Jenderal Gak Hui, patriot yang amat gagah perkasa!"

   "Itulah yang membuat aku menjadi menyesal bukan main. Gak Hui adalah keponakan muridku yang membuat kami Para pendidik dan Gurunya bangga, akan tetapi lihat bagaimana nasibnya. Semua kesetiaan dan kebaktiannya yang ditujukan kepada Kaisar ternyata bahkan membuat dia terpaksa membunuh diri! Kaisar lebih percaya kepada pengkhianat macam Chin Kui dan menghukum seorang patriot seperti Gak Hui. Sungguh penasaran! Seyogianya para patriot seperti Gak Hui tidak perlu setia kepada Kaisar Sung Kao Cu, melainkan setia kepada Nusa dan Bangsa. Kaisar yang korup dan lalim bukan merupakan pimpinan rakyat, melainkan menjadi pemeras yang menyengsarakan rakyat dan patut ditentang!"

   Lui Hong menundukkan mukanya, ikut bersedih mengingat akan nasib Jenderal Gak Hui yang terpaksa menerima hukuman mati dan menelan racun karena Kaisar Sung Kao Cu percaya akan fitnah yang dilakukan Perdana Menteri Chin Kui terhadap Jenderal Gak Hui.

   "Kalau begitu, itukah sebabnya maka Lo-Cianpwe sekarang mengundurkan diri menyepi di sini sebagai seorang petani?"

   Kakek itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Begitulah, Lui Hong. Sekarang kita bicarakan tentang peristiwa yang kau alami. Tahukah engkau siapa pemuda yang telah menangkap dan berniat membunuhmu itu?"

   "Saya hanya tahu bahwa dia adalah tunangan Nona Li Sian Hwa, puteri Jaksa Li."

   "Hemm, kukira dia bukan sekedar itu. Ketahuilah, dia adalah seorang Pangeran dari Kerajaan Cin. Suku Bangsa Yuchen yang mendirikan Kerajaan Cin itu banyak Pangeran dan Leng Komgcu itu adalah seorang Pangeran yang cerdik dan pandai. Dia merupakan tokoh Kerajaan Cin yang menjadi pemimpin dari jaringan mata-mata yang disebar pemerintah Kerajaan Cin. Aku merasa yakin bahwa secara rahasia dia mempunyai hubungan erat dengan Perdana Menteri Chin Kui."

   "Ah, kalau begitu dia itu orang berbahaya sekali bagi pemerintah, Lo-Cianpwe! Mengapa Lo-Cianpwe membiarkannya saja? Orang seperti itu sudah sepantasnya dibasmi!"

   (Lanjut ke Jilid 15)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15

   Kakek itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

   "Lui Hong, bahaya terbesar bagi sebuah Negara bukanlah musuh dari luar, melainkan musuh dari dalam sendiri. Terutama Kaisarnya. Kalau Kaisarnya bijaksana, para pembesar yang membantunya tentu akan dipilih dan ditertibkan sehingga merupakan pejabat-pejabat yang bijaksana. Dan kalau sudah begitu, kalau pemerintah dipegang oleh orang-orang bijaksana yang mementingkan kesejahteraan rakyatnya, sudah pasti rakyat akan membelanya. Pemerintah yang didukung dan dibela rakyatnya merupakan pemerintah yang amat kuat dan gangguan musuh dari luar akan mudah ditanggulangi. Contohnya Kaisar Kerajaan Sung yang lemah dan dibantu orang-orang yang korup dan brengsek. Dengan mudah Kerajaan Sung menyerahkan separuh wilayah Negaranya kepada Bangsa Yuchen yang kini mendirikan Kerajaan Cin. Apalagl Kaisar yang lemah ini dibantu manusia-manusia korup penjual Bangsa dan Negara seperti Chin Kui dan kawan-kawannyat! Untuk apa aku membantu pemerintah yang memeras rakyat? Aku tidak sudi membantu para pembesar lalim! Tidak perlu kita menjadi seperti keponakan muridku Gak Hui, membantu Kaisar malah dihukum mati sebagai pengkhianat!"

   Lui Hong termenung memikirkan keadaan dirinya. Dia kini bagaikan sebuah layang-layang tanpa tali, melayang terbawa angin tanpa tujuan, tanpa pegangan. Dia sudah mendapat kemarahan Ayah-Ibunya, juga membikin sakit hati keluarga Can. Tidak mungkin baginya untuk pulung ke Sung-Kian. Dan kini, setelah bertemu dengan Li Sian Hwa, ternyata kekasihnya itu telah ditunangkan dengan orang lain! Tidak ada harapan sama sekali baginya. Dia telah kehilangan keluarganya, kehilangan kekasihnya, kehilangan harapan. Dia mengangkat muka memandang wajah Kakek Itu dan kebetulan pada saat itu Thai Kek Lojin menatap wajahnya dengan sinar mata penuh perhatian.

   "Maaf, Lo-Cianpwe. Kalau kita tidak melakukan sesuatu bagi pemerintah, lalu apa gunanya kita mempelajari berbagai ilmu. Bertahun-tahun saya mempelajari Bun dan Bu (Sastra dan Silat), lalu untuk apa semua jerih payah itu kalau tidak dimanfaatkan dan digunakan?"

   "Gurumu tentu pernah menasihatkan tentang tugas seorang pendekar, Lui Hong. Seorang pendekar bersusah payah mempelajari ilmu agar dapat dia pergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, membela rakyat yang lemah tertindas dan menentang kejahatan. Tugas itu memang dapat dlsalurkan dengan cara membantu dan memperkuat pemerintah, akan tetapi kalau pemerintah dipimpin oleh para pembesar yang bukan melayani melainkan minta dilayani, bukan menyejahterakan rakyat melainkan memeras menyengsarakan rakyat, bukan menumpuk jasa kebijaksanaan melainkan menumpuk harta benda, maka kalau engkau membela dan membantu pemerintah yang dipimpin oleh orang-orang seperti mereka, berarti engkau bukan seorang pendekar melainkan seorang yang sesat."

   "Lalu apa yang harus saya lakukan, Lo-Cianpwe?"

   "Menolong rakyat miskin tertindas, menegakkan keadilan dan menentang kejahatan dapat kau lakukan langsung dengan terjun ke dunia ramai."

   "Akan tetapi untuk itu saya membutuhkan ilmu kepandaian yang tinggi, Lo-Cianpwe."

   "Hemm, sebagai murid Sin-Kiam Kai-Ong Mo Cin, ilmu silatmu sudah cukup kuat."

   "Saya kira belum dapat diandalkan, Lo-Cianpwe, buktinya ketika menghadapi pengeroyokan di rumah Leng-Kongcu, saya kalah dan tertawan. Mungkin saja saya akan dapat melakukan tugas sebagai seorang pembela kebenaran dan keadilan secara lebih baik kalau Lo-Cianpwe sudi menerima saya sebagai murid."

   Kakek itu termenung sejenak, lalu menghela napas panjang.

   "Sebetulnya, sejak kematian Gak Hui yang amat menyedihkan, aku sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri, bertapa di sini sampai akhir hidupku. Aku belum pernah menerima murid. Akan tetapi mengingat engkau murid Sin-Kiam Kai-Ong, aku yakin dia tidak akan marah kalau engkau berguru kepadaku. Pula, aku masih hutang ilmu kepada Kakek Gurumu Leng Hwat Couwsu. Biarlah kubayar hutangku itu dengan menurunkan ilmu yang kuperoleh darinya kepadamu. Di antara ilmu-ilmu itu, adalah ilmu pedang Thian-To Kiam-Sut ciptaan Leng Hwat Couwsu yang amat dirahasiakan. Bahkan Gurumu sendiri belum sempat mempelajari ilmu pedang itu dengan lengkap, hanya mendapatkan dasar-dasarnya saja. Nah, ilmu-ilmu yang kudapatkan dari Leng Hwat Couwsu itu akan kuberikan kepadamu, Lui Hong."

   Pemuda itu girang sekali dan sambil berlutut dia member i hormat.

   "Terima kasih, Suhu. Teecu Lui Hong akan mentaati semua petunjuk Suhu."

   Demikianlah, mulai hari itu Lui Hong tinggal di puncak bukit di Pegunungan Hong-San itu, melayani keperluan hidup Thai Kek Lojin setiap harinya dan belajar ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya dengan rajin. Karena kesIbukan ini, dia mulai melupakan penderitaan batinnya dan tekun mempelajari ilmu silat,

   Terutama ilmu pedang Thian-To Kiam-Sut yang amat hebat. Waktu berjalan cepat sekali sehingga tahun-tahun melesat tanpa disadari. Tahu-tahu tiga tahun telah lewat sejak terjadinya semua peristiwa yang telah diceritakan di bagian depan kisah ini. Pada waktu ini, sekitar tahun 1147, terjadi perubahan besar di Cina bagian utara. Bangsa Yuchen adalah terhitung saudara sepupu dari suku Khitan, keduanya merupakan suku dari Bangsa Tungus dan sebagai suku Nomad (pengembara) yang suka berpindah-pindah, mereka adalah suku Bangsa yang ulet dan sudah biasa akan kehidupan yang keras, maka setelah membentuk pasukan mereka juga merupakan pasukan berkuda yang kuat. Bangsa yang jumlahnya sedikit apabila dibandingkan dengan Bangsa prIbumi Han itu telah memperoleh seorang pemimpin besar yang hebat,

   Yaitu Akuta yang kemudian memimpin Bangsanya menyerang ke selatan sehingga berhasil menduduki Cina bagian utara sampai ke Sungai Yang-Ce sebagai perbatasan dengan Kerajaan Sung yang terdesak ke Selatan. Akan tetapi setelah Akuta meninggal, kejayaan Bangsa Yuchen yang mendirikan Kerajaan Cin (Kin) mulai menurun. Bahkan dalam tahun 1147 itu, ada suku Bangsa lain yang mulai menonjol, yaitu suku Nomad dari daerah yang paling utara. Suku ini adalah suku Mongol. Dari utara Bangsa Mongol ini menyerang ke wilayah Yuchen dan Bangsa Yuchen yang lebih memusatkan kekuatannya dalam Kerajaan baru mereka, yaitu Kerajaan Cin, terpaksa melepaskan kampung halaman mereka yang berasal dari Lembah Kerulen. Kerajaan Cin memusatkan kekuatan mereka di sebelah selatan Tembok Besar dan Kotaraja mereka adalah Yen-Ching (Peking).

   Demikianlah, dengan mulai bangkitnya Bangsa Mongol yang sudah berhasiI mengusir Bangsa Yuchen ke selatan Tembok Besar, kini terdapat tiga kekuatan yang menguasai daratan Cina. Pertama adalah Bangsa Mongol yang mulai melebarkan sayapnya di sebelah utara Tembok Besar, kemudian Bangsa Yuchen dengan Kerajaan Cin menguasai Cina bagian utara, dari Tembok Besar sampai Sungai Yang-Ce, kemudian dari Sungai Yang-Ce ke selatan dikuasai oleh Kerajaan Sung. Biarpun belum ada bentrokan perang secara terbuka antara tiga kekuatan ini, namun ada semacam perang dingin dan ketiganya memiliki jaringan mata-mata untuk saling menyelidiki. Akan tetapi yang paling lemah adalah Kerajaan Sung di selatan. Kelemahan Sung semakin tampak karena politik yang dijalankan oleh perdana menterinya, yaitu Chin Kui yang selalu mengajak damai dan selalu mengalah terhadap Kerajaan Cin.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, biarpun dalam perang Kerajaan Sung dikalahkan dan diusir dari utara, terpaksa melarikan diri dan bertahan di sebelah selatan Sungai Yang-Ce, namun kebudayaan Bangsa prIbumi Han amat kuat sehingga Bangsa Yuchen yang mendirikan Kerajaan Cin dalam belasan tahun saja sudah membaur dengan Bangsa prIbumi. Bangsa Yuchen adalah Bangsa Nomad yang tadinya besar, liar dan sederhana. Mereka hanya pandai berkelahi, akan tetapi setelah mereka menguasai Cina utara, mereka mulai melihat kebesaran kebudayaan prIbumi Han yang ratusan tahun sudah jauh lebih maju dibandingkan pengertian tentang kebudayaan mereka yang masih amat sederhana.

   Mulailah Bangsa Yuchen berubah menjadi Bangsa Han! Bukan hanya bahasanya, juga pakaiannya dan kebiasaan hidupnya, mereka dalam satu keturunan saja sudah tiada bedanya dengan prIbumi Han yang mereka jajah! Karena inilah maka biarpun dia tinggal di Hang-Chouw, tak seorang pun menduga bahwa Leng Sui atau lebih dikenal sebagai Leng-Kongcu, sebetulnya adalah seorang Pangeran Kerajaan Cin yang bertugas sebagai pusat jaringan mata-mata di selatan. Penduduk Kotaraja itu hanya mengenal Leng-Kongcu sebagai seorang sastrawan yang kaya raya, dermawan dan tampan. Padahal seluruh mata-mata dari Kerajaan Cin yang bertugas di selatan merupakan anak buahnya!

   Leng-Kongcu telah tiga tahun lamanya menikah dengan Li Sian Hwa, puteri tunggal Jaksa Li. Mereka mempunyai seorang anak laki-laki yang pada waktu itu berusia satu tahun. Tampaknya saja Li Sian Hwa hidup berbahagia dengan suaminya yang muda, tampan dan kaya raya itu. Akan tetapi bagaimanakah kenyataannya? Benarkah Li Sian Hwa hidup berbahagia sebagai isteri Leng Sui? Pada tahun pertama, Sian Hwa berusaha keras untuk melupakan kekasihnya, Lui Hong, dan untuk menerima kenyataan yang tidak dapat diubahnya, bahkan ia belajar untuk dapat membalas cinta suaminya yang tampaknya amat sayang kepadanya. Akan tetapi hal ini teramat sukar ia lakukan ketika ia mendapat kenyataan bahwa suaminya sama sekali bukan pemuda sastrawan kaya raya seperti yang ia dan keluarganya mengenalnya,

   melainkan seorang Pangeran Kerajaan Cin yang bertugas sebagai pimpinan jaringan mata-mata Kerajaan Cin! Akan tetapi semua sudah terlanjur. ia telah menjadi isteri Leng Sui dan suaminya itu mengancam akan membunuhnya kalau ia berani membuka rahasianya itu! Mulailah Li Sian Hwa hidup menderita batin yang hebat. Lebih lagi setelah setahun lebih menikah ia mengandung. Mulailah Leng Sui memperlihatkan wataknya yang sesungguhnya. Leng Sui mulai mengabaikannya, bahkan setelah ia melahirkan seorang anak laki-laki, Leng Sui sama sekali tidak mempedulikannya. Pangeran Cin itu mengambil selir sampai lima orang banyaknya dan ini pun masih belum memuaskannya. Dia ternyata seorang laki-laki mata keranjang yang selalu mengejar wanita cantik.

   Karena memang di lubuk hatinya Sian Hwa belum pernah merasakan cinta kasih yang mendalam terhadap suaminya, maka ketidakpedulian Leng Sui kepadanya bahkan melegakan hatinya. Sejak semula ia melayani suaminya itu sebagai isteri dengan hati yang terpaksa. Kini suaminya tidak lagi mempedulikannya, bahkan mengabaikannya, menganggap ia tiada bedanya dengan seorang pelayan biasa, atau bahkan ia seperti tidak ada. Hal ini sebetulnya malah menghIburnya. Akan tetapi terkadang sikap suaminya terhadapnya amat menghina. Pernah ia disuruh membantu para pelayan untuk melayani Leng Sui yang sedang pesta makan minum bersama seorang wanita cantik yang baru dia bawa masuk ke dalam gedungnya. Sian Hwa diperlakukan sebagai seorang pelayan dan hal ini tentu saja merupakan penghinaan yang amat menyakitkan hatinya.

   Karena tidak tahan menghadapi penghinaan ini, Sian Hwa melaporkan kepada Ayahnya. Jaksa Li Koan sudah lama mendengar akan keadaan puterinya dan diam-diam dia sudah merasa kecewa dan menyesal sekali telah menjodohkan puteri tunggalnya dengan seorang laki-laki seperti Leng Sui. Dia masih belum tahu bahwa mantunya itu seorang Pangeran Cin dan pemimpin jaringan mata-mata karena Sian Hwa tidak berani membuka rahasia itu. Maka ketika puterinya melaporkan tentang penghinaan yang di-terimanya, Jaksa Li menjadi marah dan langsung saja dia mengunjungi gedung mantunya. Ketika bertemu dia memarahi dan memaki mantunya yang telah menghina Sian Hwa. Akan tetapi mendapat teguran keras dari mertuanya itu Leng Sui berbalik menjadi marah sekali.

   "Sian Hwa adalah isteriku dan sebagai suaminya akulah yang berhak atas dirinya. Apa pun yang kulakukan terhadap isteriku, tidak ada orang lain yang berhak mencampuri, termasuk engkau! Kalau aku menyuruh ia melayani makan minum dan kau anggap sebagai penghinaan, habis engkau mau apa?"

   Demikian Leng Sui membentak dengan sikap menantang. Bukan main marahnya Jaksa Li. Baru sekarang mantunya itu berani bersikap dan bicara sekasar itu terhadap dirinya. Dahulu biasanya dla bersikap sopan dan halus. Saking marahnya Jaksa Li bangkit dari kursinya dan menghampiri Leng Sui sambil menggerakkan tangan menampar. Akan tetapi Leng Sui menangkis dan berbalik memukul dada Jaksa Li sehingga pembesar ini jatuh terpelanting.

   "Bodoh! Berani engkau hendak memukul aku? Apa kau sudah bosan hidup? Cepat pergi dari sini, atau aku akan minta sahabatku Perdana Menteri Chin Kui untuk memecat dan menghukummu!"

   Bentak Leng Sui. Jaksa Li terkejut, juga kesakitan dan dengan muka pucat saking malunya dia lalu keluar dari gedung itu. Jaksa Li pulang dengan hati penuh penyesalan. Dia tidak berdaya terhadap mantunya karena dia tahu bahwa mantunya bukan hanya mengeluarkan ancaman kosong belaka.

   Gertakan tadi dapat dia laksanakan karena dia sudah mendengar bahwa mantunya memiliki hubungan dekat dengan para pembesar tinggi termasuk Perdana Menteri Chin Kui! Sejak mengalami penghinaan itu, Jaksa Li menjadi sedih dan kesehatannya terganggu. Dia sering sakit dan bersama isterinya hanya dapat menderita kepahitan duka dalam hati mereka. Li Sian Hwa yang mendengar akan peristiwa yang dialami Ayahnya dari para pelayan, hanya dapat menangis dengan sedih. Satu-satunya hIburan baginya, yang membuat ia mampu bertahan dalam kesengsaraan batinnya, hanyalah puteranya yang kini berusia satu tahun. Leng Hok Bun, anak laki-laki itu, memiliki wajah mirip Ibunya dan anak inilah yang membuat Sian Hwa masih mampu bertahan untuk hidup, bagaikan secercah sinar dalam gelap gulita.

   Leng Sui telah melakukan tugasnya sebagai pimpinan jaringan mata-mata Kerajaan Cin dengan berhasil baik. Bukan saja dia telah dapat berhubungan dekat dengan para pembesar, terutama dengan Perdana Menteri Chin Kui, dia juga mengadakan kontak dan hubungan dengan Pangeran Baduchir yang merupakan tokoh pimpinan jaringan mata-mata dari Bangsa Mongol. Memang diam-diam dua orang tokoh dari Kerajaan Cin dan dari Bangsa Mongol ini saling menaruh curiga dan ada perasaan tidak senang. Hal ini disebabkan tindakan Bangsa Mongol yang telah merampas kedudukan Bangsa Yuchen di sebelah utara Tembok Besar. Akan tetapi karena kedua wakil Bangsa Mongol dan Bangsa Yuchen atau Kerajaan Cin ini berhubungan dekat dengan Perdana Menteri Chin Kui, maka keduanya terpaksa juga bersikap balk dan bersahabat.

   Gadis itu duduk di atas sebuah batu besar. Usianya tampak masih muda sekali, sekitar dua puluh tahun. Padahal sesungguhnya ia sudah berusia dua puluh dua tahun. Ia tampak cantik dan wajahnya berwibawa dan anggun, gagah. Mukanya bulat telur, manis sekali dengan kulit muka putih kemerahan. Mata dan mulutnya amat indah, memiliki daya tarik yang amat kuat merangsang. Sepasang mata itu jeli dan bentuknya indah, sinarnya tajam. Mulutnya kecil dengan sepasang bibir yang selalu basah kemerahan dan selalu mengembangkan senyum setengah mengejek dan menantang.

   Pakaiannya dari sutera mahal membungkus tubuhnya yang padat langsing. Rambutnya digelung model rambut para puteri Bangsawan dan ada setangkai bunga merah menghias sanggul rambutnya yang hitam dan subur. Gadis itu duduk dan memandang seorang Kakek yang juga duduk bersila di depannya. Akan tetapi anehnya, Kakek itu tidak duduk di atas sebuah batu besar seperti gadis itu, melainkan dia duduk bersila di atas tumpukan tengkorak manusia! Dia duduk bersila di atas sebuah tengkorak yang terletak paling atas. Melihat betapa puluhan buah tengkorak itu ditumpuk seperti itu dan dia duduk di atas tengkorak yang berada paling atas, maka bagi orang biasa hal itu kiranya tidak mungkin clilakukan karena tengkorak-tengkorak itu tentu akan runtuh berserakan ke bawah dan yang duduk di atas tentu akan terbawa jatuh.

   Akan tetapi Kakek itu duduk seenaknya seolah dirinya itu hanya seringan sehelai daun kering sehingga tumpukan tengkorak itu tidak runtuh. Jangankan runtuh, bergoyang pun tidak! Keadaan Kakek itupun membuat orang yang melihatnya akan merasa heran dan juga ngeri. Sukar ditaksir usianya, mungkin sudah seratus tahun lebih. Tubuhnya hanya tulang-tulang terbungkus kulit, seperti jerangkong (tulang kerangka manusia) hidup, kepalanya juga tinggal tempurung, gundul gersang dan hanya ada belasan helai rambut putih bergantungan panjang sampai ke pundak. Sepasang matanya cekung dengan biji mata mengintai dari dalam. Hebatnya, mulutnya masih memiliki deretan gigi yang lengkap! Kulit pipi yang menempel pada tempurung kepala itu berwarna pucat keabu-abuan. Kakek ini mengenakan pakaian dari kain serba hitam lengan panjang.

   Kedua tangan yang tersembul keluar Lengan baju itu berkuku panjang sehingga menambah keseraman penampilannya. Kalau orang bertemu dia pada malam hari di tempat sepi pasti mengira bertemu dengan setan. Gadis yang cantik itu adalah Siangkoan Ceng atau biasa disebut Ceng Ceng, puteri dari Siangkoan Hok Ketua Beng-Kauw. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng yang di dunia kang-ouw dijuluki Ang-Hwa Niocu (Nona Bunga Merah) pergi meninggalkan Beng-Kauw untuk mencari pemuda yang dikenalnya sebagai Bu Beng (Tanpa nama). Pemuda itu yang nyaris dIbunuh orang-orang Beng-Kauw, ditolong dan dibawa pergi seorang Kakek aneh yang sakti. Akan tetapi dalam perjalanan mencari Bu Beng yang sebetulnya membangkitkan perasaan cinta dalam hati Ceng Ceng, gadis ini berpikir bahwa sesungguhnya ia tidak berdaya terhadap pemuda yang kehilangan ingatan itu.

   la tahu benar bahwa Bu Beng amat lihai dan ia tidak akan mampu mengalahkannya. Apalagi pemuda itu dibawa pergi seorang Kakek yang amat sakti. Andaikata ia dapat menemukan Bu Beng, apa yang dapat ia lakukan? Pikiran ini yang membuat Ceng Ceng lalu mengubah tujuan perjalanannya. ia harus memperdalam ilmu-ilmunya sehingga ia akan mampu mengalahkan Bu Beng dan Kakek sakti yang melarikannya! ia teringat akan Tong Tong Lokwi, Susiok (Paman Guru) dari Ayahnya, seorang Pertapa sakti yang mengasingkan diri di Bukit Tengkorak. Ayahnya pernah menceritakan tentang Tong Tong Lokwi yang memiliki kesaktian luar biasa dan juga seorang yang amat aneh, juga menurut Ayahnya, Tong Tong Lokwi tidak pernah memiliki seorang murid.

   Dengan nekat Ceng Ceng mendaki Bukit Tengkorak sampai ke puncak, padahal dari bawah mulai di pedesaan sekitar kaki bukit, ia sudah mendengar bahwa Bukit Tengkorak merupakan tempat keramat yang menurut, mereka menjadi sarang mahluk-mahluk halus atau setan jahat. Tidak ada seorang pun berani mendaki bukit itu setelah beberapa kali orang yang berani mencobanya, baru di lereng pertama saja mereka telah mati dan mayat mereka dilempar kembali ke bawah bukit dalam keadaan mengerikan karena ada yang kepalanya hancur, ada pula yang tubuhnya masih utuh akan tetapi kulitnya berubah hijau kehitaman! Setelah tiba di puncak ia bertemu dengan Kakek tua renta seperti jerangkong hidup itu dan ia segera menjatuhkan diri berlutut dan memperkenalkan diri sebagai Siangkoan Ceng, puteri dari Siangkoan Hok Ketua Beng-Kauw.

   "He-eh, aku tahu. Kalau tidak, mana mungkin engkau dapat sampai di sini dalam keadaan hidup?"

   Kakek itu ber-kata.

   "Nah, katakan, apa maumu datang mencariku di sini?"

   "Susiok-Kong (Paman Kakek Guru), saya datang untuk mohon menjadi muridmu."

   Sejenak Kakek tua renta itu tidak menjawab, hanya sepasang matanya yang cekung itu mengamati gadis itu dengan penuh perhatian, kemudian dia berkata dengan suaranya yang parau dan berema seolah suara itu keluar dari dalam sebuah gua yang jauh.

   "Heh-heh, boleh-boleh. Aku akan mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu selama tiga tahun. Akan tetapi setelah selesai dalam waktu 3 tahun, engkau harus membayarnya."

   "Membayarnya? Membayar dengan apa dan bagaimana, Susiok-Kong?"

   Membayarku dengan menyerahkan dirimu. Engkau harus melayani aku sebagai seorang isteri melayani suaminya."

   Siangkoan Ceng terbelalak dengan muka pucat. Ia harus melayani Kakek yang seperti tengkorak mukanya, badannya seperti jerangkong hidup ini? Ia yang masih perawan, yang belum pernah bergaul seperti itu dengan seorang pria?

   "Bagaimana? Engkau tidak mau? Kalau begitu, engkau harus dihukum karena berani naik kesini. Engkau akan turun lagi sebagai mayat seperti yang lain!"

   Ceng Ceng teringat akan cerita para penduduk dusun di sekitar kaki bukit dan ia bergidik. Kalau ia menolak, ia akan dIbunuh dan percuma saja ia melawan. Kalau ia mau... ah, hal itu baru akan terjadi setelah ia tamat belajar selama tiga tahun, berarti masih ada waktu tiga tahun baginya untuk mencari akal menghadapi ancaman yang baginya amat mengerikan itu!

   "Susiok-Kong, mana berani saya tidak mentaati perintahmu? Tentu saja saya bersedia membayarnya, yaitu, seperti katamu tadi, setelah saya selesai belajar selama tiga tahun. Saya akan membayarnya dengan senang hati, akan tetapi harap engkau mengajarkan semua ilmu simpananmu yang paling tinggi karena saya harus mengalahkan musuh yang amat tangguh."

   

Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini