Antara Dendam Dan Asmara 16
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
"Huh, siapa musuhmu itu?"
Tanya Tong Tong Lokwi dengan suara memandang ringan.
"Musuhku itu adalah Khong-Sim Sin-Kai."
Kata Ceng Ceng, teringat akan Kakek yang menolong dan membawa lari Bu Beng. Mendengar disebutnya nama ini, Tong Tong Lokwi terdiam sejenak, Ialu dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Eh, apa kau gila? Engkau memusuhi pengemis sakti itu? Apakah dia masih hidup?"
"Masih, Susiok-Kong, akan tetapi dia sudah tua sekali."
"Hemm, masih ada harapan untuk menang. Mungkin ketuaannya itu yang akan membantumu mengalahkan dia. Nah, engkau sudah sanggup membayarku setelah tamat belajar selama tiga Tahun. Mulai hari ini engkau menjadi muridku dan engkau harus menyediakan makan setiap hari untukku, juga mencucikan pakaian dan membersihkan pondok ini."
"Baik, Suhu!"
Kini Ceng Ceng menyebut Suhu dan mulai hari itu ia dibimbing mempelajari ilmu-ilmu yang amat langka dan tinggi dari Paman Kakek Gurunya. Tentu saja kepandaian Ceng Ceng meningkat dengan cepatnya. Demikianlah, pada sore hari itu Ceng Ceng duduk di atas batu menghadap Tong Tong Lokwi yang duduk atas tumpukan tengkorak manusia.
Ceng Ceng tidak merasa heran menyaksikan ilmu meringankan tubuh yang hebat dari Kakek itu yang membuat dia mampu duduk di atas tumpukan tengkorak karena ia sendiri sudah mempelajari ginkang seperti itu dan mampu pula melakukannya. Selama tiga tahun gadis itu tekun belajar dan tidak pernah meninggalkan puncak Bukit Tengkorak sehingga tentu saja ilmu kepandaiannya telah meningkat dengan hebat. Akan tetapi sore hari ini, Ceng Ceng tampak pendiam dan alisnya berkerut, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Sejak kemarin Gurunya itu sudah tidak mengajarkan ilmu lagi karena semua ilmu telah diajarkan kepadanya dan berarti ia telah tamat belajar. Dan agaknya akan tiba saatnya ia harus membayar Gurunya itu dengan menyerahkan dirinya! Tong Tong Lokwi yang duduk sambil memejamkan kedua matanya itu tiba-tiba berkata.
"Ceng Ceng, hari ini telah genap tiga tahun engkau belajar di sini dan semua ilmuku telah kuajarkan kepadamu. Pelajaranmu telah selesai."
"Teecu (murid) menghaturkan terima kasih atas semua petunjuk Suhu. Sekarang ijinkanlah Teecu turun bukit untuk mencari musuh Teecu."
"Ceng Ceng, engkau tidak boleh lupa untuk membayarku sesuai dengan janji kita dulu. Mulai malam ini, engkau harus melayani aku seperti seorang isteri melayani suaminya. Engkau baru boleh pergi meninggalkan tempat ini kalau aku sudah merasa bahwa engkau sudah cukup membayarku."
Ceng Ceng tidak mampu menjawab. Melayani satu kali saja rasanya tidak mungkin ia dapat melakukannya, apalagi harus melayani beberapa lamanya sampai Kakek itu merasa cukup! Akan tetapi, untuk melarikan diri ia belum berani. Siapa tahu Kakek aneh ini masih menyimpan ilmu rahasia sehingga akan dapat mengejar dan membunuhnya kalau ia ingkar janji? Seperti kebiasaan para Guru silat di waktu itu, tidak ada Guru silat yang mau menguras semua ilmunya untuk diberikan kepada muridnya kecuali kepada anak sendiri. Kalau ia tidak melarikan diri, ia harus menyerahkan diri, harus melayani Kakek itu untuk waktu yang entah berapa lamanya dan rasanya ia tidak akan mampu menghadapi pengalaman yang akan merupakan siksaan lahir batin itu.
"Mengapa engkau diam saja, Ceng Ceng? Katakanlah, apakah engkau hendak mengingkari janjimu kepadaku?"
Pertanyaan ini keluar dari mulut Kakek itu dengan nada marah dan ketika Ceng Ceng mengangkat muka memandang, ia bertemu dengan pandang mata Tong Tong Lokwi dan ia bergidik. Sinar mata yang cekung itu mencorong seperti berapi. Itu bukan mata manusia lagi, lebih pantas mata iblis. Ceng Ceng mengangguk dan berkata lirih.
"Teecu tidak akan mengingkari janji, Suhu."
"Bagus, engkau memang anak baik dan tidak percuma aku bersusah payah mengajarkan ilmu-ilmu padamu selama tiga tahun ini. Ceng Ceng, menurut perhitunganku sesuai dengan kedudukan bintang-bintang di langit, akan muncul Bangsa besar yang kelak akan menguasai seluruh negeri. Kerajaan-Kerajaan lain yang kini berkuasa akan jatuh satu demi satu."
"Suhu maksudkan Kerajaan Sung Kerajaan Cin akan jatuh dikalahkan Bangsa itu?"
"Ya, dua Kerajaan besar itu akan jatuh dan semua penguasa daerah yang kecil-kecil juga akan runtuh satu demi satu, dilanda kekuasaan baru yang datang bagaikan badai dari utara."
"Dari utara, Suhu? Hemm, Teecu dapat menduganya. Bukankah Kerajaan Cin juga harus meninggalkan kampung halamannya di utara karena direbut oleh Bangsa Mongol? Suhu tentu maksudkan Bangsa Mongol yang menjadi badai dari utara itu, bukan?"
"Terserah kalau engkau menduganya demikian. Hal yang belum terjadi tidak boleh diberitahukan, itu merupakan rahasia alam. Akan tetapi kalau engkau sudah mengetahui tanda-tandanya, engkau akan dapat menyesuaikan langkahmu di masa depan."
Malam itu Kakek yang usianya sudah seratus tahun lebih dan yang sudah puluhan tahun tidak pernah berdekatan apalagi berhubungan dengan wanita itu seolah berubah menjadi binatang buas atau seperti iblis, bukan manusia lagi.
Ceng Ceng tidak berani menolak atau melawan karena ia masih meragukan apakah ia mampu mengalahkan Kakek yang menjadi Gurunya itu. Kalau ia menolak dan menyerang akan tetapi tidak mampu merobohkan Tong Tong Lokwi, bukan mustahil ia sendiri yang akan terbunuh karena Kakek itu mempunyai watak aneh dan dapat berlaku kejam luar biasa. Maka Ceng Ceng mencoba untuk mematikan perasaan tubuhnya, akan tetapi ia tidak mampu mematikan perasaan hatinya yang menjerit-jerit seperti seekor domba tersiksa dalam cengkeraman harimau kelaparan. Akhirnya, menjelang tengah malam, penyiksaan lahir batin bagi Ceng Ceng itu berhenti. Tong Tong Lokwi tergolek kelelahan dan tertidur di atas pembaringan, mendengkur dengan keras sehingga pondok itu tergetar oleh suara dengkurnya.
Ceng Ceng bangkit duduk, membereskan pakaiannya dan ketika ia memandang ke arah Tong Tong Lokwi yang tertidur dl dekatnya, telentang dengan mulut terbuka, kebencian yang mendalam membuat sepasang mata gadis ltu mencorong. Akan tetapi Ceng Ceng masih dapat menahan suara tangisnya. ia menangis, air matanya berderai, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya. ia bersikap hati-hati sekali, dengan perlahan tanpa menimbulkan suara sedikit pun ia turun dari atas pembaringan, melangkahi tubuh Kakek itu. Dengan jantung berdebar karena hatinya masih ragu-ragu dan tegang, Ceng Ceng mengambi! Pek-Coa-Kiam (Pedang Ular Putih) yaitu pedangnya yang tipis dan biasanya ia pakai sebagai sabuk, dari atas meja dan menghunusnya dari sarung pedang yang terbuat dari kulit ular. Juga ia menggantung kantung Ang-Tok-Ciam (Jarum Racun Merah) di pinggangnya.
la menghampiri pembaringan dengan hati-hati Tong Tong Lokwi masih tidur mendengkur. Ceng Ceng, melupakan sakit badan dan batinnya, untuk sesaat perasaannya dipenuhi kebencian yang berkobar. Bagi seorang gadis seperti Siangkoan Cen yang sejak kecil hidup di lingkungan orang-orang sesat, ia tidak peduli tentang kesusilaan dan baginya, kehilangar keperawanannya bukan merupakan hal penting. Akan tetapi yang menyakitkan hatinya dan menimbulkan kebencian adalah karena ia harus melakukan itu dengan terpaksa. ia merasa seperti diperkosa oleh Kakek yang memiliki rupa mengerikan dan menjijikkan ini. Setelah ia mengerahkan seluruh tenaganya, ia lalu mengayun Pek-Coa-Kiam ke arah leher Tong Tong Lokwi, sedangkan tangan kirinya sudah menyiapkan segenggam Ang-Tok-Ciam. Sinar pulih berkelebat menyambar arah Leher Kakek itu ketika Ceng Ceng membacokkan pedangnya.
"Singgg... tukkk!!"
Ceng Ceng terkejut bukan main ketika melihat betapa pedangnya yang amat tajam dan digerakkan oleh tenaga yang ia kerahkan sekuatnya, ketika bertemu dengan leher yang tulangnya membayang di balik kulit itu seolah bertemu dengan baja yang amat kuat! Pedangnya terpental dan tangannya tergetar hebat. Ternyata dalam keadaan tidur Tong Tong Lokwi telah melindungi lehernya dengan kekebalan yang luar biasa. Ceng Ceng cepat menggerakkan tangan kirinya dan belasan batang jarum merah menyambar ke arah muka Kakek itu.
"Tik-tik-tik... crepp...!"
Kakek itu mengeluarkan gerengan seperti binatang buas terluka. Jarum-jarum yang mengenai mukanya runtuh terpental, akan tetapi ada sebatang jarum menancap di mata kirinya. Agaknya ketika itu dia terbangun dan mata kirinya terbuka sehingga sebatang jarum tepat memasuki rongga mata dan menancap pada biji matanya yang tidak kebal. Tentu saja dia meraung kesakitan. Ceng Ceng yang cerdik maklum bahwa saat itulah yang terbailk baginya. Dalam keadaan terkejut dan kesakitan itu, mungkin Kakek yang amat sakti itu menjadi lengah dan kekebalannya membuyar, Maka dengan gerakan yang cepat sekali, disertai pengerahan tenaga sakti ia segera menusukkan pedangnya ke arah ulu hati Tong Tong Lokwi yang sedang menggunakan kedua tangannya untuk mencabut jarum yang memasuki mata kirinya.
"Singgg.. cappp...!!"
Benar saja perhitungan Ceng Ceng, sekali ini pedangnya menusuk dan masuk ke dalam dada Tong Tong Lokwi. Cepat ia mencabutnya kembali dan Kakek itu tampak terkejut. Dia mengeluarkan gerengan yang amat dahsyat.
"Aaggghhh...!"
Kini tangan kirinya masih menutupi mata kiri dan tangan kanannya mendekap ulu hati yang tela dimasuki pedang tadi. Ceng Ceng merasa ngeri akan tetapi dendam kebenciannya membuat ia nekat dan sekali lagi Pek-Coa-Kiam meluncur cepat menjadi sinar putih dan sekali ini pedang itu menusuk lambung kiri Kakek itu.
"Blesss...!"
Ketika dengan cepat Ceng Ceng mencabut pedang yang telah menembus lambung itu, tubuh Tong Tong Lokwi jatuh terguling ke atas lantai dalam keadaan menelungkup! Dia tidak bergerak maupun bersuara lagi. Hati Ceng Ceng merasa lega. Ia berhasil membunuh Kakek sakti yang selama tiga tahun menjadi Gurunya, akan tetapi yang juga malam itu membuat ia merasa ternoda dan terhina yang amat menyakitkan hatinya.
Teringat akan apa yang telah menimpa dirinya, Ceng Ceng tak dapat menahan isak tangisnya dan ia lalu melompat dan lari keluar dari pondok menuju ke sebuah telaga kecil yang berada tidak jauh dari pondok Itu. Air telaga ini jernlh dan selama ini ia mempergunakan airnya untuk segala keperluan. Begitu tiba di tepi telaga, Ceng Ceng lalu meloncat ke dalam air tanpa membuka dan menanggalkan pakaiannya. Memang ia biasa mandi di telaga akan tetapi tentu saja belum pernah ia mandi di waktu tengah malam begini. Setelah berada dalam air, agaknya ia baru ingot bahwa ia maslh mengenakan pakaian, maka ditanggalkanlah semua pakaiannya dan ia mandi membersihkan badannya karena pada saat itu ia merasa demikian kotor dan jijiknya sehingga ia muntah-muntah sambil menangis tersedu-sedu.
Ceng Ceng seperti lupa diri dan lupa waktu. ia berendam dalam air, terkadang termenung diam lalu terkadang menangis lagi. Bermacam perasaan teraduk dalam hati dan pikirannya. Ada rasa senang dan puas kalau ia mengingat bahwa ia telah menguasai ilmu-ilmu yang tinggi sehingga kini ia telah menjadi Iihai sekali. Akan tetapi kalau ia teringat akan apa yang ia alami semalam dalam cengkeraman Tong Tong Lokwi yang berubah seperti binatang buas atau iblis ia bergidik dan merasa ngeri den jijik sekali. Akan tetapi mengingat bahwa ia telah membunuh Kakek Itu, ia merasa puas dan senang sekali. Bukan kehilangan kegadisannya yang membuat Ceng Ceng menangis. Sebagai seorang gadis liar yang tumbuh dewasa di lingkungan Beng-Kauw, hal Itu tidak dihiraukan benar.
Akan tetapi ia harus menyerahkan diri kepada seorang laki-laki yang tidak dicintanya, tidak disukainya, bahkan yang menjijikkan seperti jerangkong hidup. Inilah yang menyakitkan hatinya. Kalau saja laki-laki kepada siapa ia harus menyerahkan diri itu seorang laki-laki yang dicintainya, seperti Bu Beng, tentu saja ia tidak merasa menyesal dan marah, bahkan akan merasa senang sekali! Bu Beng, pemuda yang kehilangan ingatannya itu! Begitu teringat kepada Bu Beng, jantungnya berdebar dan sebuah senyuman muncul di bibirnya yang tadinya cemberut dan menangis. Membayangkan wajah Bu Beng, ia merasa rindu sekali. Pada saat seperti itu barulah ia menyadari bahwa sesungguhnya ia sejak dulu telah jatuh cinta kepada pemuda yang kehilangan ingatannya itu.
Ia akan mencarinya! Dan sekarang pemuda yang dicintanya itu tidak akan mampu menolaknya. Bu Beng harus menjadi miliknya, menjadi suaminya atau setidaknya menjadi kekasihnya! Pikiran ini seolah memberi semangat baru kepadanya. ia akan menggunakan kepandaiannya untuk mencapai apa yang diinginkannya, yaitu hidup mulia dan mendapatkan laki-laki yang dicinta dan di rindukannya. Tong Tong Lokwi sudah meramalkan kejayaan Bangsa Mongol maka ia mengetahui ke arah mana ia harus melangkahkan kaki untuk membonceng kejayaan itu dan menjadi orang yang berkedudukan tinggi sehingga menjadi terhormat dan mulia. Tanpa terasa kegelapan malam mulai terusir oleh cahaya fajar. Pagi telah menjelang dan baru teringat oleh Ceng Ceng bahwa ia berendam di telaga itu sejak lewat tengah malam tadi!
Ia lalu keluar dari dalam air, mengenakan pakaiannya yang basah, kemudian sambil membawa pedangnya untuk berjaga-jaga ia kembali ke pondok. Cuaca tidak segelap tadi, sudah remang-remang. Agak ngeri juga hati Ceng Ceng yang tidak pernah mengenal takut ia ketika memasuki pondok. ia melewati depan kamar Tong Tong Lokwi dan mengerling ke dalam. Mayat Kakek itu masih menelungkup di lantai kamar itu. ia bernapas lega lalu memasuki kamarnya sendiri. Cepat ia bertukar pakaian kering, lalu mengumpulkan semua pakaiannya dalam sebuah buntalan kain. Setelah itu ia melangkah keluar, kali ini tidak lagi menengok ke dalam kamar Gurunya. Begitu tiba di luar dan memandang ke arah pondok itu, bagaikan tampak di depan matanya, terbayang kembali peristiwa semalam yang amat menyiksa batinnya.
Dengan gemas Ceng Ceng lalu mengumpulkan kayu-kayu dan daun-daun kering, ditumpuknya di dalam pondok lalu dibakarnya. ia menjauhkan diri sekitar sepuluh tombak, berdiri dengan buntalan pakaiannya di punggung, memandang ke arah api yang bernyala-nyala dan yang mulai menelan pondok itu dalam kobaran api. Biarpun Tong Tong Lokwi pernah menggemblengnya dengan sungguh-sungguh selama tiga tahun dan menurunkan semua ilmu simpanannya, namun semua kebaikan Itu terhapus oleh perbuatan Kakek itu semalam terhadap dirinya, bahkan mendatangkan kebencian yang hebat. Kini, melihat pondok itu terbakar dan ia tahu bahwa mayat Tong Tong Lokwi yang berada di dalam pondok itu tentu juga terbakar habis menjadi abu, hati Ceng Ceng merasa lega dan puas. Membayangkan tubuh Kakek itu dimakan api, ada perasaan gembira yang membuat Ceng Ceng tiba-tiba tertawa!
"Hi-hi-ha-ha-ha...!"
Gadis itu tertawa-tawa sambil memandang ke arah pondok yang berkobar dimakan api. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara gerengan dari dalam kobaran api dan suara tawa Ceng Ceng berhenti. Gadis itu kini terbelalak memandang ke arah pondok. Dari pintu pondok yang bernyala itu muncul Tong Tong Lokwi! Akan tetapi keadaannya sungguh amat mengerikan. Pakaiannya terbakar dan masih terbakar sehingga tubuhnya telanjang dan tubuh itu, demikian pula mukanya, hitam hangus seperti arang! Akan tetapi dia lebih menyerupai iblis daripada manusia, melangkah dan menghampiri Ceng Ceng dengan kedua lengan dikembangkan membentuk cakar hendak menerkam!
"ihhh...!"
Ceng Ceng bergidik ngeri. Bagaimana mungkin orang yang tubuhnya bagian dada dan lambung sudah ditembusi Pek-Coa-Kiam, matanya sudah dimasuki jarum Ang-Tok-Ciam, kemudian tubuh yang sudah mati itu terbakar, kini dapat hidup kembali? Akan tetapi hanya sekejap saja Ceng Ceng merasa ngeri dan takut. ia sudah dapat menenangkan hatinya lagi dan cepat meloloskan pedangnya yang melibat pinggang. Ia sudah siap menghadapi Tong Tong Lokwi yang telah berubah menjadi iblis itu. Sambil mengeluarkan gerengan dahsyat, Tong Tong Lokwi menerkam ke arah Ceng Ceng. Gadis yang sudah siap siaga ini menyambutnya dengan tusukan pedang Pek-Coa-Kiam ke arah dadanya.
"Srokkk...!!"
Ceng Ceng merasa betapa pedangnya bukan seperti menusuk daging, melainkan menusuk arang! Akan tetapi pedangnya memasuki dada iblis itu sampai ke gagangnya. Tong Tong Lokwi bukannya roboh malah masih terus maju menerkamnya! Ceng Ceng terkejut dan merasa ngeri akan tetapi ia dapat melompat ke atas melewati kepala Tong Tong Lokwi dan terpaksa melepaskan pedangnya. Kemudian dari atas ia membalik dan turun di belakang iblis itu, lalu dengan pengerahan tenaga saktinya ia menghantamkan telapak tangan kanannya ke arah belakang kepala Tong Tong Lokwi yang hangus seperti arang itu.
"Blarrr...!"
Kepala itu pecah berantakan dan tubuh Tong Tong Lokwi roboh terpelanting. Sekali ini agaknya dia benar-benar tewas dengan kepala pecah terkena ilmu pukulan yang dia ajarkan sendiri kepada Ceng Ceng, yaitu yang disebut Toat-Beng Tian-Ciang (Tangan Halilintar Pencabut Nyawa).
Dengan wajah masih pucat dan jantung berdebar tegang, Ceng Ceng menghampiri tubuh hangus itu dan mencabut Pek-Coa-Kiam yang menembus dada, kemudian cepat-cepat ia lari meninggalkan tempat yang menyeramkan itu. Diam-diam ia harus mengakui bahwa Tong Tong Lokwi memang memiliki kesaktian yang tidak wajar seperti iblis. Akan tetapi ia tidak mau mengingat Kakek itu lagi. Dendam kebenciannya karena perbuatan Kakek terhadap dirinya semalam telah impas. Kakek itu telah dIbunuhnya dan ia telah bebas. ia memikirkan masa depannya dan teringat akan ramalan Tong Tong Lokwi. Maka ia mengambil keputusan untuk tidak kembali ke Beng-Kauw, melainkan mengejar cita-citanya dan untuk itu tempat yang tepat adalah Kotaraja. Maka ia lalu melakukan perjalanan cepat menuju Hang-Chouw, Kotaraja Kerajaan Sung.
Perahu itu kecil saja akan tetapi terapung dengan tenang di atas air sungai yang mengalir deras itu. Kalau ada orang melihat keadaan itu, dia tentu akan terheran-heran. Perahu kecil itu dapat menahan seretan air yang mengalir kuat, hanya tertahan oleh dayung yang dipegang seorang Kakek. Tampaknya Kakek itu memegang dayung sembarangan saja, hampir tidak bergerak, akan tetapi anehnya, perahu itu tertahan dan sama sekali tidak bergerak.
Padahal tidak ada lagi yang menahannya kecuali dayung kayu yang dipegang Kakek itu. Ada lagi keanehan terjadi di perahu kecil itu. Di ujung yang lain duduk seorang gadis yang menghadap ke air. ia duduk diam bagaikan patung, sepasang matanya jarang berkedip memandang ke arah air dan kadang-kadang secara tiba-tiba tangan kirinya bergerak dengan telapak tangan terbuka ia memukul ke arah air. Tangan itu tidak sampai menyentuh permukaan air, akan tetapi tiba-tiba air muncrat dan seekor ikan sebesar lengan terloncat ke atas, lalu disambar dan ditangkapnya dengan tangan kanannya dan dimasukkan ke dalam keranjang ikan yang sudah setengahnya terisi ikan bersisik kuning. Ada sepuluh ekor ikan yang berkelepakan di dalam keranjang itu.
"Suhu, sudah cukupkah?"
Gadis itu bertanya, memandang Kakek pemegang dayung.
"Sudah mendapatkan berapa ekor?"
"Ada sepuluh ekor."
"Masih kurang, tangkap lagi, pilih yang gemuk."
Gadis itu tersenyum.
"Wah, Suhu memang senang sekali makan daging ikan sisik kuning."
"Memang lezat, apalagi kalau engkau yang masak."
Kata Kakek itu sambil tertawa. Mereka melanjutkan kesIbukan mereka. Si Kakek menahan perahu dengan dayungnya sedangkan si gadis menangkap ikan secara aneh itu. Gadis itu cantik jelita. Usianya sekitar dua puluh tahun. Pakaiannya sutera serba hijau dan kulitnya putih. Bentuk wajahnya bulat telur dengan mata hidung dan mulut yang indah bentuknya, terutama sekali sepasang matanya yang bersinar seperti bintang.
Tubuhnya padat ramping. Kepalanya dilindungi caping lebar sehingga tidak tersengat panas matahari siang itu. Kakek itu bertubuh sedang, usianya sekitar enam puluh delapan lahun, akan tetapi biarpun rambutnya sudah putih semua, wajahnya tampak jauh lebih muda daripada usianya. Dia mengenakan pakaian yang serba putih bersih, bentuknya sederhana terbuat dari kain kasar. Seperti juga gadis itu, rambut putih Kakek ini pun tertutup caping lebar. Melihat cara Kakek itu menahan perahu dengan dayung dan cara gadis itu menangkap ikan dengan cara aneh, mudah diduga bahwa mereka bukan orang-orang sembarangan, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan ini memang benar karena Kakek itu bukan lain adalah Song Bun Lojin (Orang-tua Berkabung), julukan ini karena dia selalu mengenakan pakaian putih seperti orang berkabung.
Song Bun Lojin adalah seorang tokoh besar dunia persilatan atau seorang Datuk besar yang amat sakti dan dahulu amat terkenal di dunia kang-ouw, hanya sekarang lebih banyak mengasingkan diri dan tinggal di Lembah Sungai Yang-Ce (Yang-Ce-Kiang), di tepi sungai yang berhutan dan sunyi, jauh dari perkampungan nelayan. Adapun gadis itu adalah Can Pek Giok yang menjadi muridnya selama sekitar tiga tahun. Seperti telah diceritakan di bagian depan, tiga tahun yang lalu keluarga Can Gi Sun, Ayah Pek Giok, mendapat serangan dari Pek-Bin Giam-Lo, seorang Datuk besar golongan sesat Bangsa Turki. yang ingin membalas dendam karena muridnya Bu-Eng-Kwi Tok Liong Thaisu telah tewas di tangan Pek Giok dan Han Bun.
Nyaris saja keluarga Can terancam maut di tangan Pek-Bin Giam-Lo yang amat lihai. Bahkan Can Pek Giok sendiri terluka parah oleh Datuk sesat itu. Akan tetapi untung bagi keluarga Can bahwa pada saat itu muncul Song Bun Lojin. Kakek sakti ini menolong keluarga Can dan dapat mengalahkan Pek-Bin Giam-Lo sehingga Datuk sesat ini melarikan diri. Melihat keadaan Pek Giok yang terluka parah dan membahayalcan keselamatannya, Song Bun Lojin mengajak gadis itu pergi untuk diobati dan digembleng ilmu yang lebih tinggi. Gadis itu dibawa pergi Song Bun Lojin atas persetujuan orang-tuanya. Demikianlah, selama tiga tahun Pek Giok digembleng oleh Song Bun Lojin dan tentu saja gadis yang memiliki bakatnya, demikian cepat sehingga terkadang seperti terapung dan meluncur di atas permukaan air seperti terbang saja.
Setelah tiba di tempat tinggal Song Bun Lojin, perahu berhenti di tepi sungai dan ditarik ke darat. Pondok itu tidak besar, memiliki dua buah kamar dan sebuah dapur. Song Bun Lojin lalu sIbuk bersama Pek Giok mempersiapkan makan, rmenanak nasi dan memasak ikan dengan menjadikannya beberapa macam masakan. Diam-diam Pek Giok merasa heran. Baru sekali ini Gurunya mengajaknya memasak lima belas ekor ikan yang cukup besar. Biasanya hanya tiga atau paling banyak lima ekor untuk mereka berdua. Sekarang lima belas ekor ditambah dua ekor ayam hutan yang ditangkap Gurunya. Seolah Gurunya mengajaknya mengadakan pesta besar! Guru dan murid itu setelah semua masakan siap lalu makan bersama. Pek Giok senang sekali melihat Gurunya makan dengan lahapnya karena hal itu menandakan bahwa seperti biasa, masakannya amat disukai Gurunya.
Ia pun menjadi lahap karena selera makannya meningkat ditunjang rasa gembira. Benar apa yang sering dikatakan Gurunya. Memang masakan yang lezat menjadi penunjang kuat bagi selera makan, akan tetapi yang lebih mutlak adalah badan sehat perut lapar dan hati senang. Tiga keadaan inilah yang membuat orang dapat menikmati makanan apa saja, harus lengkap ketiganya karena kurang satu saja selera makan menjadi hilang. Badan sehat perut lapar akan tetapi hati tak senang membuat makanan tidak enak. Demikian pula badan sehat hati senang akan tetapi perut tidak lapar, atau hati senang perut lapar akan tetapi badan tidak sehat, sama saja membuat selera makan hilang. Karena melihat Gurunya makan lahap dan nampak senang, Pek Giok berani mengajukan pertanyaan yang selama ini ia tahan saja dalam hati karena ia khawatir kalau Gurunya tersinggung.
"Suhu, Teecu (murid) ingin mengajukan pertanyaan, akan tetapi karena ini mengenai urusan pribadi Suhu, Teecu khawatir Suhu akan tersinggung."
Song Bun Lojin minum araknya yang terakhir, lalu tersenyum lebar dan menjawab.
"Hari ini engkau boleh bertanya apa saja dan aku tidak akan merasa tersinggung, Pek Giok. Engkau bertanyalah."
"Terima kasih, Suhu. Ada beberapa pertanyaan yang sudah lama ingin Teecu dengar jawabannya. Pertama, mengapa Suhu memakai julukan Song Bun Lojin (Orang-tua Berkabung) dan selalu mengenakan pakaian putih?"
Kakek itu masih tersenyum.
"Orang-orang lain yang menyebut aku Song Bun Lojin dan aku menerimanya karena aku memang sejak dulu berkabung."
"Berkabung untuk kematian siapakah, Suhu?"
"Untuk kematian sebagian besar manusia. Jiwa mereka seolah sudah mati, yang hidup hanya nafsu-nafsu mereka belaka. Maka dunia ini lebih banyak kejahatan daripada kebaikan karena sebagaian besar manusia memiliki prilaku yang tidak lagi dibimbing jiwa yang sehat, melainkan dibimbing nafsu mereka. Untuk mereka yang kematian jiwanya itulah aku berkabung."
Pek Giok tercengang mendengar ini. Akan tetapi ia tidak berani mengomentari Kakek itu.
"Suhu mengasingkan diri tidak mencampuri urusan dunia selama puluhan tahun, hidup seperti seorang Pertapa dan Pendeta. Akan tetapi, maafkan Teecu atas pertanyaan ini, Suhu. Mengapa Suhu masih makan makanan bernyawa dan minum arak?"
"Ha-ha, tidak perlu minta maaf. Engkau boleh bertanya apa saja. Aku memang makan makanan bernyawa seperti ikan dan daging binatang. Apa salahnya? Makanan daging itu perlu bagi kehidupan manusia di dunia ini, memperkuat tenaga dan semangat hidup. Apakah kau kira mereka yang Cia-Jai (vegetarian, pemakan tumbuh-tumbuhan dan pantang daging) itu tidak makan hewan? Mungkin hewan besar tidak dimakannya, akan tetapi hewan-hewan kecil yang terdapat dalam air, terdapat pada sayur-sayuran, rIbuan banyaknya, setiap hari masuk ke perut mereka juga."
"Akan tetapi, Suhu, hewan-hewan kecil itu kan tidak sengaja dimakan, dan hanya kecil-kecil sekali, tidak tampak..."
"Ho-ho, apa bedanya hewan kecil atau besar? Apa bedanya makan daging seekor udang kecil atau ikan besar? Apa bedanya makan seekor semut atau seekor gajah? Keduanya bernyawa, bukan? Yang beda hanya badannya, besar dan kecil. RIbuan hewan dalam air atau pada sayuran itupun bernyawa. Manusia tidak mungkin bisa mengliindarkan diri dari makan makanan bernyawa, baik disengaja maupun tidak disengaja. Sesunguhnya tidak ada yang makan tidak disengaja karena semua orang juga tahu bahwa dalam air secawan dan dalam seikat sayur-sayuran terdapat rIbuan hewan kecil. Sudah tahu tetap diminum dan dimakan, berarti juga disengaja. tentang minum arak, apa pula salahnya? Yang penting dapat menyadari ukuran kekuatan diri sendiri, jangan berlebihan. Yang tidak baik tentang minum arak adalah kalau sampai melewati takaran sehingga mabok-mabokan akan tetapi kalau sekadarnya atau tidak melebihi takaran kekuatan sendiri dapat menjadi obat penguat badan. Nah, sekarang engkau mengerti mengapa aku makan makanan berjiwa dan minum arak? Lanjutkan kalau engkau ingin bertanya lagi karena ini merupakan kesempatan terakhir bagimu untuk bertanya kepadaku."
"Kalau begitu, bagaimana pendapat Suhu mengenai para Pendeta dan mereka yang pantang makan makanan berjiwa dan selama hidupnya Cia-Jai (makan tumbuh-tumbuhan)?"
"Ah, segala perbuatan manusia yang menjadi ukuran baik buruknya atau benar salahnya hanyalah pamrihnya. Kalau pamrih yang mendorong perbuatan itu baik dan benar, maka perbuatan itupun baik dan benar. Kalau orang pantang makanan berjiwa itu merupakan usahanya untuk mengurangi pengaruh nafsunya, entah hal itu akan berhasil ataupun tidak, namun pamrihnya adalah baik dan benar."
"Suhu tadi mengatakan bahwa ini merupakan kesempatan terakhir bagi Teecu untuk bertanya kepada Suhu, apa yang Suhu maksudkan?"
"Pek Giok, hari ini merupakan hari terakhir kita berkumpul. Aku sudah terlalu lama berdiam di satu tempat dan aku ingin menjelajahi tanah air kita ini sebelum mati. Engkau pun sudah tiga tahun belajar ilmu dan sudah tiba saatnya engkau kembali ke dunia ramai dan pulang ke rumah orang-tuamu."
"Akan tetapi, Suhu. Teecu merasa masih jauh daripada cukup belajar ilmu dari Suhu!"
"Ha-ha-ha, itu namanya kemurkaan, muridku! Ketahuilah bahwa kemurkaan membuat seseorang selalu merasa tidak pernah cukup. Cukup itu yang bagaimana? Seperti bertanya, ujung langit itu berada di mana? Kalau menuruti nafsu kemurkaan, selama hidupmu engkau tidak akan pernah merasa cukup! Ilmu itu tidak ada batasnya, Pek Giok. Engkau baru akan terbebas dari perasaan tidak cukup itu kalau engkau sudah melebur diri menjadi satu dengan Sumber segala ilmu itu."
"Apakah Sumber itu, Suhu?"
"Sumber itu adalah Sang Maha Pencipta, TUHAN Yang Maha Esa. Karena itu, jangan menginginkan yang lebih daripada apa yang kau miliki, akan tetapi pergunakanlah apa yang kau miliki itu untuk bertindak sesuai dengan kemampuanmu. Ilmu silat yang kau pelajari itu dapat dipergunakan untuk dua macam perbuatan, yaitu dapat kau pergunakan untuk perbuatan jahat yang mementingkan diri menuruti dorongan nafsu mengejar kesenangan tanpa mempedulikan orang lain, atau kau pergunakan untuk kepentingan orang lain, menolong mereka yang tertindas menentang mereka yang jahat, menegakkan kebenaran dan keadilan. Ilmu hanyalah alat, balk buruknya tergantung dari manusia yang mempergunakan alat itu. Dan aku yakin engkau akan memilih jalan mana, memilih jalan yang disediakan setan menjadi alat setan atau memilih jalan menurut kehendak TUHAN."
"Teecu mengerti apa yang Suhu maksudkan. Semoga TUHAN selalu memberi petunjuk dan membimbing Teecu untuk menjadi seorang yang selalu membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan dan membela yang lemah tertindas."
"Bagus, aku yakin bahwa aku tidak salah memilih murid, Pek Giok."
"Sekarang Teecu baru mengerti mengapa hari ini Suhu mengajak Teecu berpesta! Kiranya hari ini kita akan saling berpisah."
Kata Pek Giok dan ada sedikit keharuan terkandung dalam suaranya.
"Pek Giok, pertemuan harus disambut dengan pesta kegembiraan, dan perpisahan sepatutnya juga harus diantar dengan pesta kegembiraan pula. Dalam segala keadaan, manusia senantiasa patut bergembira, karena bergembira merupakan pertanda bahwa kita mensyukuri hidup ini, mensyukuri semua berkah TUHAN yang berlimpah ruah. Bermuram durja, mengeluh dan kecewa hanya berarti bahwa kita melupakan berkah itu. Senang susah hanyalah penilaian nafsu yang selalu menginginkan yang serba enak dan serba menyenangkan sehingga kita lupa bahwa kalau kita ingin mengenal enak harus merasakan dulu yang tidak enak, kalau kita ingin senang harus merasakan dulu yang tidak senang. Akan tetapi dalam keadaan yang bagaimanapun, dalam alunan antara Im dan Yang (Positive & Negative), enak atau tidak enak, senang atau susah, kita dapat selalu bersyukur dan berbahagia karena yang tidak enak sekalipun merupakan berkah yang menyembunyikan hikmah yang amat berguna bagi kita."
"Semua petunjuk dan nasihat Suhu akan selalu Teecu ingat."
Pek Giok berjanji karena selama tiga tahun ini, ia bukan hanya menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tingkat tinggi, akan tetapi juga petuah-petuah dan nasihat-nasihat tentang hidup dari Song Bun Lojin. Setelah berkemas dan berlutut memberi hormat terakhir kepada Gurunya, Pek Giok ialu meningalkan lembah Sungai Yang-Ce melalui jalan darat menuju ke selatan. Sambil berjalan santai gadis itu melamun, mengenang segala pengalamannya sebelum menjadi murid Song Bun Lojin.
Ia teringat akan permusuhan antara keluarga Ayahnya, yaltu keluarga Can dengan keluarga Song. ia teringat akan pertalian perjodohannya dengan Lui Hong yang diputus oleh pemuda itu, dan terIngat akan Song Han Bun, pemuda yang sejak semula dicintanya dan mencintainya, akan tetapi yang pinangan orang-tuanya terpaksa ditolak oleh Ayahnya karena ia telah dipertunangkan dengan Lui Hong. Semua peristiwa itu dahulu mendatangkan perasaan sakit dalam hatinya. Sakit karena pemutusan pertunangan secara sepihak oleh Lui Hong merupakan penghinaan bagi keluarganya, dan sakit karena pertalian kasihnya dengan Song Han Bun terpaksa putus. Dendam sakit hati yang menimbulkan permusuhan antara keluarga Can dan keluarga Song mengacaukan dan merusak hubungan cinta antara ia dan Han Bun.
Ia mengerti bahwa Han Bun tentu merasa kecewa dan juga terhina karena pinangan Ayahnya ditolak. Pemuda itu tentu merasa sakit hati dan bukan mustahil penolakan pinangan itu membuat cinta pemuda itu berubah menjadi benci! Ketika ia ikut Song Bun Lojin, pada bulan-bulan pertama ia masih selalu berduka kalau teringat akan pengalaman itu, teringat kepada Lui Hong dan Han Bun. Akan tetapi sekarang, biarpun ia mengenang kembali semua itu, hatinya tidak lagi merasa berduka. Tidak, menyedihi sesuatu yang telah lewat merupakan kebodohan, demikian kata Gurunya dan ia menyadari akan hal itu. Kalau ia bertemu dengan Lui Hong, ia akan menegurnya dan kalau perlu menghajarnya karena ia berani memutuskan pertunangan secara sepihak sehingga hal itu tentu saja merupakan penghinaan terhadap keluarga Can.
Bagaimana kalau ia bertemu dengan Han Bun? ia pun akan menegurnya karena pemuda yang mengaku cinta padanya itu ia anggap juga kurang bertanggung jawab. Yang melamar dan ditolak adalah Ayah pemuda itu, yang menolak pun Ayahnya, jadi urusan meminang dan menolak itu adalah urusan orang-tua mereka. Mengapa pemuda itu tidak menemuinya dan membicarakan hal itu dengannya? Padahal urusan perjodohan adalah urusan mereka berdua, dan kedua orang-tua mereka hanya akan mengesahkan saja. Kalau Han Bun menemuinya. dan membicarakan urusan itu dengannya, mungkin mereka berdua akan dapat mengatasinya sehingga berakhir dengan balk. Tidak seperti sekarang ini, ada perasaan tidak enak dalam hatinya terhadap Lui Hong maupun Han Bun.
(Lanjut ke Jilid 16)
Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 16
Akan tetapi ia tidak akan sengaja mencari dua orang pemuda itu. la hanya akan melaksanakan apa yang dipikirkan tadi kalau kebetulan bertemu mereka. Sekarang yang terpenting baginya adalah mencari musuh besar yang pernah menyerang keluarga Can dan yang hampir saja membunuh keluarga Ayahnya. Kalau tidak muncul Song-Bun Lojin yang menolongnya, ia sendiri tentu sudah tewas oleh musuh besar itu dan seluruh keluarga Ayahnya tentu akan dibinasakan. Musuh besar itu adalah Pek-Bin Giam-Lo (Raja Maut Muka Putih). Datuk sesat keturunan Turki yang sakti itu datang menyerang keluarganya untuk membalas dendam kepadanya karena keponakan muridnya yang bernama Bu-Eng-Kwi Tok Liong Taisu dulu tewas oleh ia dan Han Bun.
Akan tetapi Bu-Eng-Kwi Tok Liong Taisu adalah seorang tokoh sesat yang membela murid-muridnya yang jahat, yaitu mendiang Lee Kim Lun dan Lee Kim Lan. Bu-Eng-Kwi Tok Liong Taisu membantu dua orang muridnya itu dan telah rnenculik ia dan Han Bun dengan menggunakan bubuk racun. Akhirnya ia dan Han Bun dapat membunuh tokoh sesat itu dan dua orang muridnya. Maka kalau Pek-Bin Giam-Lo muncul hendak membinasakan keluarga Can membalas dendam kematian Bu-Eng-Kwi, maka dia adalah seorang Datuk yang jahat pula. Song-Bun Lojin pernah memberitahu kepadanya bahwa Pek-Bin Giam-Lo adalah seorang Datuk keturunan Bangsa Turki dan kabarnya dia mendukung dan membantu Kerajaan Cin (Kin) di daerah utara Sungai Yang-Ce.
Suhunya pernah mendengar bahwa Pek-Bin Giam-Lo membantu pertahanan pasukan Cin yang menjaga perbatasan di daerah An-Keng di pantai utara Sungai Yang-Ce. la akan mencari musuh besarnya itu ke sana, akan tetapi lebih dulu ia akan pulang ke Sung-Kian melihat keadaan orang-tuanya yang telah ia tinggalkan selama tiga tahun. Bukit Kera merupakan sebuah di antara banyak bukit yang berada di Pegunungan Thai-San. Dinamakan Bukit Kera karena bukit itu penuh dengan pohon-pohon yang mengeluarkan buah-buahan sehingga di situ menjadi sarang banyak kera berbagai jenis. Di puncak bukit yang datar itu terdapat sebuah pondok sederhana dari kayu dan pada pagi hari itu, di depan pondok tampak duduk seorang Kakek yang sudah tua sekali. Dia tampak tua karena kepalanya hanya diturnbuhi sedikit rambut yang sudah putih semua, demikian pula jenggot dan kumisnya sudah putih.
Biarpun wajahnya masih cerah dan kulit mukanya kemerahan tanda sehat, namun garis-garis pada mukanya menunjukkan bahwa Kakek itu sudah amat tua. Tubuhnya tinggi kurus dan dia duduk di atas sebuah bangku kayu, tangan kanannya bertopang pada sebatang tongkat berwarna putih. Usia Kakek itu tentu sudah ada seratus tahun! Di depannya tampak seorang pemuda berlutut menghadapnya dengan sikap hormat. Pemuda ini berusia dua puluh satu tahun, wajahnya tampan dan selalu terbayang senyum di mulutnya. Tubuhnya sedang namun tegap dan pemuda itu mengenakan pakaian serba putih. Berbeda sekali dengan pakaian yang dikenakan Kakek itu. Pakaian Kakek itu penuh tambalan seperti biasa dipakai para pengemis! Akan tetapi pakaian itu cukup bersih, sama bersihnya dengan pakaian pemuda yang serba putih dan terbuat dari kain kasar itu.
Kakek itu adalah Khong-Sim Sin-Kai (Pengemis Sakti Hata Kosong) dan pemuda itu bukan lain adalah Song Han Bun. Seperti kita ketahui, Song Han Bun pada tiga tahun yang lalu kehilangan ingatan dan di luar kesadarannya dia diperalat oleh Beng-Kauw. Ketika dia dengan nalurinya walaupun di luar kesadarannya, menentang Beng-Kauw, dikeroyok dan terluka. Untung baginya muncul Khong-Sim Sin-Kai yang menolongnya dan Kakek sakti ini rnembawanya pergi ke Thai-San. Di tempat sepi ini, di bukit Kera, Khong-Sim Sin-Kai rnerawatnya dan dalam beberapa bulan saja Han Bun mendapatkan kembali ingatannya yang hilang. Selain berterima icasih kepada Khong-Sim Sin-Kai, dia juga mohon agar Kakek itu suka menerimanya sebagai murid. Permintaan ini dikabulkan dan Han Bun lalu mendapatkan bimbingan dari Kakek sakti itu,
Bukan hanya bimbingan untuk memperdalam ilmu silatnya yang sudah tinggi tingkatnya, melainkan terutama sekali bimbingan tentang kerohanian dan untuk melawan ilmu-ilmu hitam dan sihir yang menggunakan kekuatan setan dan iblis. Dari Khong-Sim Sin-Kai dia mendapatkan petunjuk untuk dapat berserah diri lahir batin dan seutuhnya kepada TUHAN sehingga bukan lagi nafsu hati akal pikiran yang membimbingnya, melainkan kekuasaan TUHAN. Setelah menerima petunjuk Han Bun merasa betapa dia kini dekat sekali dengan kekuasaan TUHAN, bukan seperti dahulu pengetahuan dan kepercayaannya akan TUHAN hanya merupakan kulit dan teori saja. Kini dia benar-benar dapat merasakan betapa daya hidup yang membangkitkan jiwanya sehingga dia dapat merasakan, dapat mengalaminya betapa kekuasaan TUHAN itu bekerja dalam dirinya, membangkitkan jiwanya.
"Han Bun, saat berpisah antara kita telah tiba. Engkau telah menceritakan semua pengalaman hidupmu sampai engkau kehilangan ingatan kepadaku. Aku tahu bahwa banyak masalah telah menimpa dirimu. Sebelum kita berpisah, ingin sekali aku mengetahui akan isi hatimu. Engkau mempunyai banyak pengalaman yang menyakitkan hatimu sehingga banyak orang yang kau anggap sebagai rnusuhmu yang sepatutnya kau balas. Bukankah begitu?"
"Maafkan kalau Teecu terpaksa menyangkal, Suhu, karena sesungguhnya, saat sekarang ini Teecu sama sekali tidak mempunyai perasaan memusuhi orang lain."
Khong-Sim Sin-Kai tersenyum dan wajah tua renta itu tampak cerah dan jauh Iebih muda ketika dia tersenyum. Ternyata Kakek yang usianya sudah seratus tahun Iebih itu masih rnempunyai deretan gigi yang lengkap!
"Benarkah engkau tidak menarun dendam sakit hati kepada orang-orang yang telah berbuat jahat kepadamu? Bahkan tidak mendendam kepada Pek-Bin Giam-Lo yang nyaris membunuhmu dan melukaimu sehingga engkau kehilangan ingatan?"
Tanya Kakek itu sambil menatap tajam wajah pemuda itu. Han Bun tersenyum dan menggelengkan kepalanya, lalu berkata dengan nada serius.
"Selama ini Suhu telah memberi petunjuk sehingga hati dan pikiran Teecu terbuka dan menyadari sepenuhnya bahwa segala hal yang terjadi telah dikehendaki oleh TUHAN. Teecu akan selalu berusaha dalam hidup ini sekuat tenaga, namun semua itu dilandasi penyerahan kepada kekuasaan TUHAN yang telah menentukan segalanya. Yang terjadi kepada diri Teecu, enak atau tidak enak sudah di kehendaki TUHAN. Kalau Teecu mendendam, berarti Teecu tidak dapat menerima kehendak TUHAN. Teecu menyadari bahwa tidak ada manusia di dunia ini yang sempurna, setiap orang mempunyai kesalahan dan dosa. Teecu sendiri seorang manusia, tidak luput dari salah dan dosa. Bagaimana Teecu berani mendendam dan membenci. orang lain yang melakukan dosa terhadap diri Teecu yang juga bergelimang dosa? Tidak, Teecu tidak akan membiarkan hati ini diracuni dendam. Teecu akan selalu menentang kejahatan, akan menghalangi orang-orang yang melakukan kejahatan mengganggu orang lain, akan tetapi semua itu akan Teecu lakukan tanpa perasaan benci kepada pelakunya. Bukan hak Teecu untuk menghakimi dan menghukum orang, karena itu adalah hak TUHAN sendiri. Dia yang akan menilai, menghakimi dan menghukum orang berdosa termasuk diri Teecu."
Kakek itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan tampak senang sekali.
"Bagus, kiranya tidak sia-sia aku menghabiskan sisa waktu hidupku untuk membimbingmu, Han Bun. Sekarang tiba saatnya aku akan meningalkanmu, meninggalkan tempat ini. Aku akan menghadiri pertemuan besar antara para pimpinan Kaipang (Perkumpulan Pengemis) seluruh negeri. lni merupakan kesempatan terakhir bagiku. Nah, selamat berpisah, Han Bun."
"Suhu sudah tua, sebaiknya kalau Teecu ikut dan menemani Suhu agar ada yang melayani Suhu dalam perjalanan."
Kata Han Bun. Akan tetapi Kakek itu menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Han Bun, sebelum engkau berada di sini tiga tahun yang lalu, selama puluhan tahun aku hidup rnenyendiri. Selama engkau berada di sini aku merasa tubuhku ini. terlalu dimanja karena engkau selalu melayani semua kebuTUHANku. Sekarang aku ingin bebas dan sendiri lagi. Engkau harus rnemanfaatkan semua yang telah kau pelajari dengan sudah payah. Nah, aku pergi."
Khong-Sim Sin-Kai lalu melangkah pergi dibantu tongkat putihnya yang panjang.
"Selamat berpisah dan selamat jalan, Suhu. Terirna kasih atas segala budi kebaikan Suhu kepada Teecu!"
Kata Han Bun sambil berlutut dan memberi horrnat ke arah Gurunya itu. Akan tetapi Kakek Itu tidak menjawab dan melanjutkan langkahnya, santai saja menuruni puncak Bukit Kera.
Han Bun mengangkat muka memandang. Keharuan menyelimuti perasaannya melihat Gurunya yang sudah tua renta itu berjalan dibantu tongkatnya, tampak demikian lemah walaupun dia tahu bahwa Gurunya sama sekali bukan orang lemah. Setelah bayangan Gurunya lenyap di balik pepohonan, Han Bun menghela napas panjang. Dia menyadari bahwa segala yang diperolehnya dalam pelajaran merupakan berkat dari TUHAN, melalui diri Khong-Sim Sin-Kai yang hanya menjadi penyalur berkat TUHAN. Berkat yang benlimpah-limpah itu sudah sepatutnya kalau dia balas dengan menyalurkan berkat itu kepada orang-orang lain yang membutuhkannya. Sudah pasti demikianlah kehendak TUHAN ketika memberi berkat kepada manusia, yaitu untuk menyalurkan berkat itu kepada orang lain yang memerlukannya.
Orang yang diberkati pengertian, seyogianya rnembagi pengertian itu kepada yang tidak atau kurang mengerti. Yang diberkati kekuatan menyalurkannya dengan mempergunakan kekuatan itu untuk menolong yang lemah. Yang diberkati kekayaan menyalurkannya dengan menolong mereka yang miskin. Pendeknya, mereka yang diberkati dengan kelebihan sesuatu menyalurkannya dengan membantu mereka yang kekurangan sesuatu itu. Ini berarti membantu TUHAN dalam penyaluran berkat-Nya sehingga rnanusia patut disebut hamba atau pelayan TUHAN. Han Bun melihat ke sekeliling. Bukan main indahnya pemandangan alam di sebelah bawah, di sekeliling bukit itu. Han Bun bangkit berdiri dan memandangI semua keindahan itu, seperti setiap kali ia lakukan, sadarlah dia akan bukti kebesaran TUHAN yang menciptakan semua ini.
Inilah ciptaan TUHAN. Ciptaan, tahu-tahu ada, tahu-tahu jadI. Hanya TUHAN lah Sang Maha Pencipta, Pencipta Tunggal. Manusia dan mahluk lain tidak ada yang dapat menciptakan sesuatu. Manusia hanya dapat membuat sesuatu dengan karyanya, dIbuat dan dibentuknya sedikit demi sedikit dan akhirnya barulah jadi hasil karyanya itu. Hasil karya itupun jauh daripada sempurna. Namun ciptaan TUHAN yang tahu-tahu ada dan tahu-tahu jadi itu serba sempurna! Kalau sudah dalam keadaan demikian, tanpa disengaja, Han Bun menghela napas panjang sebagai puji syukur kepada TUHAN. Demikian besar kasih sayang TUHAN kepada manusia sehingga segala sesuatu yang diadakan atau diciptakan itu dapat dimanfaatkan manusia untuk kesejahteraan hidupnya di dunia. Tak lama kemudian Han Bun sudah menuruni Bukit Kera, menggendong buntalan pakaian.
Dia berjalan dengan santai, tidak tergesa-gesa dan mulailah dia memikirkan apa yang akan dilakukan sekarang. Selama tiga tahun ini, setelah diobati Khong-Sim Sin-Kai dan sembuh dari kehilangan ingatan, kemudian menerima bimbingan kerohanian dari Kakek itu, perasaan hatinya seolah air yang dalam dan tenang, tidak mudah diguncang suka duka dan lain emosi yang tirnbul karena ke akuan. Dia pun jarang mengenang peristiwa masa lalu yang hanya menimbulkan perasaan sedih, kecewa, marah dan sebagainya. Kini, setelah meninggalkan Bukit Kera, dia mulai membayangkan wajah orang-orang yang terdekat dengan hatinya. Wajah Ayah dan Ibunya terutama. Membayangkan wajah kedua orang-tuanya ini, Han Bun tersenyurn. Dia merasa berbahagia akan bertemu kembali dengan dua orang yang dikasihinya itu.
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia membayangkan betapa girang Ayah dan Ibunya menyambut kepulangannya, terutama sekali Ibunya yang amat menyayangnya. Setelah puas membayangkan Ayah-Ibunya, Han Bun teringat akan encinya Song Bwee Eng yang menjadi isteri Lee Kim Lun yang jahat sehingga encinya itu tewas di tangan Lee Kim Lun dan adiknya, Lee Kim Lan. Akan tetapi dia dan Pek Giok berhasil membunuh Kakak-beradik yang jahat itu. Teringat akan semua ini, sepasang alis Han Bun berkerut. Akan tetapi dia dapat menenangkan gejolak hatinya dan terbayanglah wajah Can Pek Giok! Begitu wajah gadis yang dicintanya itu terbayang, kembali Han Bun tersenyum, akan tetapi senyumnya mernbayangkan kepahitan karena sekaligus dia teringat bahwa pinangan Ayahnya kepada Can-Kauwsu untuk rnenjodohkan dia dengan Pek Giok ditolak oleh Ayah gadis itu!
Bukan itu saja, melainkan lebih menyakitkan lagi mendengar betapa gadis yang dicintanya itu telah bertunangan dengan pemuda lain. Bertunangan dengan Lui Hong, putera murid kepala perguruan Can-Kauwsu! Akan tetapi dia tidak rnerasa sakit hati, bahkan dia merasa kasIhan kepada Can Pek Giok. Dia merasa yakin bahwa gadis itu juga mencinta dia seperti dia mencintanya. Kalau gadis itu bertunangan dengan Lui Hong, hal ini pasti terjadi atas kehendak Ayah-Ibunya! Dan hal ini tidaklah mengherankan kalau dlingat bahwa Lui Hong tentu dekat dengan Pek Giok karena satu perguruan. Sudah pantas kalau orang-tua Pek Giok menjodohkan puteri mereka itu dengan Lui Hong yang dia tahu rnerupakan seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, seorang Bun-Bu Coan-Jai (ahli sastra dan ahli silat) selain itu juga masih muda dan berwajah tampan.
"Sudahlah,"
Dia mencela dirinya sendiri.
"Tidak perlu memikirkan Pek Giok. Kalau ia hidup berbahagia sebagai isteri Lui Hong, aku juga ikut rnerasa bahagla. Mungkin rnereka kini telah rnempunyai anak, untuk apa dipikirkan lagi?"
Han Bun menghapus ingatan tentang Pek Giok ini dan dia kini teringat akan Pek-Bin Giam-Lo. Dia tidak menyesal bahwa dia pernah terpukul pukulan beracun Datuk sesat itu sehingga kehilangan ingatan. Akan tetapi dia terkejut ketika mengingat bahwa Pek-Bin Giam-Lo menyerangnya untuk membalas dendam atas kematian keponakan muridnya, yaitu Bu-Eng-Kwi Tok Hong Taisu yang tewas di tangan dia dan Pek Giok.
"Ahh, jangan-jangan Datuk sesat itu juga mendatangi rumah keluarga Can untuk membalas dendam kepada Pek Giok"
Dia begitu kaget memikirkan ini sampal berhenti melangkah. Datuk sesat itu berbahaya sekali dan berhati kejam. Orang yang sesat seperti itu dapat berbuat kejahatan apa saja dan amat berbahaya, terutarna bagi Pek Giok yang bersama dia telah membunuh Bu-Eng-Kwi Tok Liong Taisu, keponakan murid Datuk sesat itu! Teringat akan kemungkinan ini, Han Bun lalu mulai menggunakan ilmunya berlari cepat dan tubuhnya berkelebat seperti bayangan terbang. Dia harus cepat tiba di Sung-Kian untuk rnelihat keadaan orang-tuanya dan keluarga Can.
Can Pek Giok memasuki kota Sung-Kian dengan jantung berdebar karena tegang dan juga gembira karena ia akan berjumpa dengan Ayah-Ibunya dan dengan para murid Ayahnya. Juga ia merasa bangga bahwa sekarang ia bukanlah Pek Giok seperti tiga tahun yang lalu. Kini la telah menguasai ilmu-ilmu yang tinggl, bukan saja ilmu silatnya, melainkan juga ilmu kesaktian untuk menghadapi ilmu hitam dan ilmu sihir yang banyak dipergunakan oleh para Datuk kang-ouw.
Kini ia tidak takut lagi menghadapi ilmu sihir Datuk macam Pek-Bin Giam-Lo yang pernah mengalahkannya dengan ilmu hitamnya itu. la merasa amat rindu kepada Ibunya, maka begitu memasuki kota Sung-Kian, ia langsung saja menuju ke rumah orang-tuanya. Ketika tiba di pekarangan rumah itu, Pek Giok merasa heran rnelihat keadaan yang sepi. Biasanya di pekarangan itu terdapat beberapa orang murid Ayahnya. Yang lebih aneh lagi, papan nama perguruan silat Ayahnya tidak tampak lagi terpasang di depan bangunan seperti biasanya. Apa yang telah terjadi? Mengapa terdapat perubahan ini, tidak ada papan nama dan keadaan depan bangunan demikian sepi? Dengan hati berdebar tegang Pek Giok berlari menuju pintu depan dan begitu rnemasuki beranda di depan, seorang wanita setengah tua menyambutnya.
"Siocia..., ahh, Siocia (Nona) mengapa baru sekarang pulang...??"
Wanita itu segera menangis tersedu-sedu.
"Bibi Lai, engkau kenapa menangis?"
Pek Glok bertanya, hatinya merasa semakin heran dan tegang.
"Nona..., Nyonya telah menunggumu..."
Wanita itu lalu lari ke dalam dan berteriak.
"Nyonya...! Nona Pek Giok pulang...!"
Pek Giok mengejar masuk dan terdengar jeritan dari dalam. la melihat Ibunya lari terhuyung-huyung keluar dan begitu bertemu dengannya, Ibunya lalu menubruk, merangkulnya sambil menangis sesenggukan.
"Ibu..., ada apakah?"
Pek Giok balas merangkul Ibunya dan hatinya merasa khawatir sekali. Akan tetapi Ibunya terus menangis, bahkan lalu terkulai lemas dan jatuh pingsan dalam rangkulan Pek Giok. Tentu saja gadis ini terkejut dan cepat ia memondong tubuh Ibunya, dibawa masuk ke kamar Ibunya dan merebahkannya di atas pembaringan. la menotok beberapa jalan darah dan mengurut bagian tengkuknya. Nyonya Can Gi Sun siuman dan begitu sadar dan melihat Pek Giok duduk di tepi pembaringan, la lalu menangis lagi dengan sedih. Biarpun bingung dan khawatir, namun Pek Giok maklum bahwa sebaiknya la membiarkan Ibunya rnencurahkan semua kesedihannya itu melalui air mata sehingga suasana hatinya dapat menjadi lega dan tenang kembali. Setelah tangis Ibunya agak lernah dan mereda, barulah la merangkul Ibunya dan bertanya dengan suara lembut.
"Ibu, harap Ibu tenangkan hati. aku sudah pulang, Ibu. Katakanlah, apa yang membuat Ibu menjadi begini sedih?"
Nyonya Can merangkul puterinya dan sambil terisak-isak Ia berkata,
"Pek Glok... Ayahmu... Ayahmu... ahh... hu-hu-huhh..."
Pek Giok terkejut.
"Ayah? Ada apa dengan Ayah? Di mana Ayah?"
"...Ayahmu... dia... dia terbunuh..."
Tentu saja Pek Giok terkejut bukan main. la melepaskan Ibunya, melompat turun dart bangkit berdiri.
"Ayah terbunuh? Siapa yang mernbunuhnya...??"
Ia berteriak, matanya mencorong dan kedua tangannya dikepal. Nyonya Can menangis dan sejenak tidak mampu bicara.
"Ibu, katakan apa yang telah terjadi dengan Ayah!"
Pek Giok mendesak Ibunya. Nyonya itu menggelengkan kepalanya.
"...Kau tanyalah kepada... Liu Siong..."
Pek Giok memandang kepada Bibi Lai, pelayan setengah tua yang telah menjadi pelayan keluarga Can sejak Pek Giok masih kecil, lalu berkata,
"Bibi Lai, cepat undang Paman Lui Siong ke sini!"
"Baik, Nona."
Pelayan itu pergi sambil mengusap air matanya. Pek Giok duduk kembali dan biarpun ia penasaran dan marah sekali mendengar Ayahnya terbunuh orang, namun ia pun merasa sedih dan ketika ia merangkul dan hendak menghibur Ibunya, ia sendiri tidak dapat menahan tangisnya. Nyonya Can saking sedihnya, tidak mampu banyak bicara dan hanya menangis.
Pek Giok tidak mau mengganggunya dengan pertanyaan karena hal itu akan membuat Ibunya semakin sedih. la harus bersabar rnenanti datangnya Lui Siong, murid pertama Ayahnya. Agaknya Lui Siong lebih mengerti akan sebab kernatian Ayahnya. Akan tetapi ada perasaan tidak enak dalam hatinya terhadap Lui Siong karena ia mengingat bahwa Lui Siong tadinya telah menjadi calon Ayah mertuanya dan kemudian Lui Hong memutuskan hubungan pertunangan dengannya. Akan tetapi karena ia ingin sekali tahu apa yang telah terjadi dengan Ayahnya, maka ia menyuruh pelayan mengundang Ayah Lui Hong itu. Kalau tidak ada urusan itu, tentu ia tidak mau bertemu dengan keluarga Lui! Tak lama kemudian Bibi Lai memasuki kamar itu dan memberitahu bahwa Lui Siong telah datang memenuhi panggilan dan menanti dalam ruangan tamu.
Karena Nyonya Can sudah menganggap Lui Siong seperti keluarga sendiri, maka ia menyuruh Bibi Lai agar mempersilakan murid pertama mendiang suaminya itu untuk memasuki kamarnya. Pelayan itu keluar lag dan tak lama kemudian Lui Siong memasuki kamar itu. Dia tampak terkejut ketika melihat Pek Giok. Bibi Lai sebagai seorang pelayan yang patuh dan setia ketika mengundangnya tadi sama sekal tidak bercerita tentang kedatangan Pek Giok, hanya mengatakan bahwa Nyonya Can mengundangnya. Lui Siong memberi hormat kepada Nyonya Can dan mengangguk kepada Pek Giok yang memandangnya. Tentu saja dia merasa tidak enak sekali bertemu gadis itu karena dia teringat akan puteranya Lui Hong, yang secara sepihak memutuskan pertunangannya dengan gadis itu.
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo