Antara Dendam Dan Asmara 17
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
"Paman Lui Siong, silakan duduk,"
Kata Pek Giok yang tidak menaruh dendarn atau marah kepada murid pertama Ayahnya itu karena ia sudah mendengar bahwa putusnya pertunangannya dengan Lui Hong itu bukan kehendak Lui Siong melainkan kehendak Lui Hong sendiri sehingga Lui Siong rnarah kepada puteranya. Lui Siong mengambil ternpat duduk di sebuah kursi dan Nyonya Can lalu berkata,
"Lui Siong, Pek Giok pulang dan ia ingin sekali mengetahui apa yang terjadi sehingga Ayahnya terbunuh. Aku tidak kuasa menceritakannya dan karena engkau yang lebih mengetahui akan peristiwa itu, maka kuharap engkau yang menceritakan kepadanya."
"Peristiwa yang terjadi sebulan yang lalu itu memang aneh sekali, Sumoi (Adik Seperguruan),"
Kata Lui Siong. Karena dia murid Ayah Pek Giok, maka dia menyebut gadis itu adik seperguruan. Kalau gadis itu menjadi mantunya, tentu sebutannya akan berubah. Akan tetapi pertalian jodoh itu telah putus, maka dia menyebut Pek Giok sebagai Sumoinya walaupun gadis itu menyebutnya paman.
"Ceritakanlah, Paman, ceritakan selengkapnya karena aku ingin sekali mengetahui siapa yang rnembunuh Ayahku dan mengapa dia dibunuh."
Lui Siong lalu menceritakan semua yang terjadi sebulan yang lalu.
Pada suatu siang, karena Can Gi Sun atau Can-Kauwsu tidak berada di rumah karena Guru silat Ini sedang pergi mengunjungi kenalan di kota Sin-Coan yang jauhnya sekitar lima puluh li (mil) dari Sung-Kian sehingga Lui Siong setelah mengurus perusahaan ekspedisinya lalu pergi ke rumah Gurunya untuk mewakili Gurunya mengawasi latihan para murid, datanglah belasan orang ke perguruan Can-Kauwsu.
Mereka adalah murid-murid Song Swi Kai atau Song-Kauwsu yang dipimpin oleh Tan Siang dan adiknya, Tan Kui Hok. Mereka berdua itu merupakan murid tingkat pertama dari perguruan Song-Kauwsu. Tan Siang berjuluk Ui-Bin-Liong (Naga Muka Kuning), berusia sekitar tiga puluh tiga tahun, tinggi kurus dan mukanya pucat. Adapun Tan Kui Hok berjuluk Hek-Bin-Liong (Naga Muka Hitam), berusia sekitar dua puluh delapan tahun, tinggi tegap dengan kulit muka kehitaman. Mereka berdua dan tiga belas orang saudara seperguruan mereka tampak marah dan ketika datang sudah jelas menunjukkan sikap permusuhan!
"Mana Can-Kauwsu? Hayo keluar menemui kami kalau memang jagoanl"
Terdengar Tan Kui Hok berteriak dengan sikap menantang. Lui Siong yang dilkuti belasan orang murid Can-Kauwsu keluar menyambut mereka. Dengan tenang dan sabar Lui Siong berkata.
"Kalian semua datang hendak bertemu dengan Suhu Can Gi Sun, ada keperluan apakah?"
"Kami hendak mengadu nyawa dengan dia! Kami akan membunuhnya atau dia harus membunuh kami semua!"
Kata Tan Siong sambil mencabut sepasang goloknya dengan sikap menantang dan mengancam. Lui Siong mengerutkan alisnya akan tetapi dia masih bersikap tenang dan menahan kesabarannya. Tentu saja dia tidak takut kepada Kakak-beradik she Tan ini karena dahulu, beberapa tahun yang lalu, dalam pertandingan antara pihak Can-Kauwsu melawan pihak Song-Kauwsu, dia pernah mengalahkan Tan Siang dengan mudah.
"Hemm, ucapanmu terlalu gegabah dan sombong! Kalian hendak membunuh Suhu kami? Mengapa kalian begini marah seperti kesetanan? Bukankah di antara Suhu dan Suhu kalian sudah tidak ada lagi permusuhan?"
"Memang tidak ada permusuhan, akan tetapi ternyata diam-diam Can-Kauwsu, bertindak curang dan licik. Suhu Song Swi Kai dibunuh orang semalam. Siapa lagi pembunuhnya kalau bukan pihak Can-Kauwsu? Maka kami harus menuntut balas, kalau perlu dengan taruhan nyawa kami!"
Bentak Tan Siang dengan marah sekali. Kini Lui Siong terbelalak, hampir dia berseru keras. Tentu saja dia tidak percaya sama sekali kalau Gurunya membunuh Song-Kauwsu. Bukankah di antara mereka sudah tidak ada permusuhan lagi, bahkan selama ini Can-Kauwsu lebih banyak rnengalah kepada Song-Kauwsu yang berperangai keras?
"Apa? Song-Kauwsu terbunuh...?"
"Tidak perlu berpura-pura lagi! mungkin engkau tidak tahu. Sekaranp panggil Can-Kauwsu keluar untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya yang kejil"
"Suhu tidak berada di rumah. Sejak pagi tadi beliau pergi berkunjung ke rumah kenalannya dan mungkin besok pagi baru pulang."
"Jangan bohong!"
"Siapa bohong? Suhu pagi tadi pergi ke kota Sin-Coan."
"Hemm, itu tandanya dia telah membunuh Suhu kami yang sedang tidur dalam kamarnya. Setelah membunuh, pagi tadi dia kabur melarikan diri"
Bental, Tan Kui Hok si rnuka hitarn.
"Bohong!"
Tiba-tiba Gu Ma Ek, murid ke dua Can-Kauwsu yang baru saja keluar dan mendengarkan pertengkaran itu membentak. Pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwatak keras ini, yang sejak kecil yatim piatu dan dianggap anak angkat oleh Can-Kauwsu, marah mendengar Gurunya dituduh membunuh lalu melarikan diri.
"Suhu tidak mungkin membunuh dengan curang, kalaupun dalam perkelahian sampai lawannya terbunuh juga, Suhu tidak mungkin melarikan diri! Kalian menuduh orang asal membuka mulut seenaknya saja!"
"Keparat!"
Tan Kui Hok memaki sambil mencabut sepasang goloknya. Kakak-beradik Tan itu selama ini melatih ilmu sepasang golok yang menjadi andalan mereka.
"Gurumu rnembunuh Guru karni dan engkau hendak membelanya? Kalau begitu, biar kubalas dendam kepadarnu dulu!"
Tan Kui Hok lalu menerjang dan menyerang Ma Ek. Gu Ma Ek juga telah meningkatkan ilmu silatnya dengan permainan Siang-Kiam (sepasang pedang). Melihat dia diserang, cepat dia melompat ke belakang sambil mencabut sepasang pedangnya dan dua orang itu mulai saling serang dengan sengit! Lui Siong mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Gurunya pasti tidak suka dan akan rnarah kepada mereka kalau mereka berkelahi dengan para murid Song-Kauwsu yang dikabarkan mati terbunuh orang. Dia tahu bahwa Sutenya (adik seperguru-annya) Gu Ma Ek berwatak keras, maka dia cepat berseru.
"Gu Sute, awas, jangan sampai membunuh orang,"
Akan tetapi seruan ini oleh Tan Sian dianggap sebagai sikap memandang rendah adiknya, maka dia pun segera bergerak menyerang Lui Siong sambil membentak.
"Adikku benar, kami akan membasrni rnurid-muridnya, baru akan membinasakan Gurunya!"
Dia menyerang dengan hebat sehingga terpaksa Lui Siong mencabut pedang untuk membela diri. Melihat ini para murid Song-Kauwsu yang berjumlah tiga belas orang juga maju menyerang disambut oleh para murid Can-Kauwsu Terjadilah perkelahian hiruk-pikuk dan seru di halaman rumah Can-Kauwsu. Akan tetapi, setelah bertanding selama belasan jurus saja, Tan Siang dan Tai Kui Hok, dua Kakak-beradik murid utama Song-Kauwsu itu terdesak hebat oleh Lu Siong dan Gu Ma Ek. Akan tetapi karena tadi Lui Siong sudah rnemperingatkan Ma Ek agar jangan membunuh lawan maka murid ke dua dari Can-Kauwsu inipun membatasi serangannya. Tiba-tiba seorang wanita setengah tua, berusia sekitar empat puluh tiga tahun, cantik dan anggun, keluar dalam rumah dan melihat pertempuran itu, ia berseru dengan suara nyaring.
"Tahan semua senjata! Jangan berkelahi, mundur semua!"
Seruannya itu lembut namun lantang dan berwibawa. Tiga belas orang murid Can-Kauwsu dan dua orang murid utama itu segera berloncatan ke belakang, menghentikan perkelahian mereka. Biarpun murid Can-Kauwsu jumlahnya banyak, namun yang maju melayani para murid Song-Kauwsu yang menyerbu hanya tiga belas orang bersama Lui Siong dan Gu Ma Ek. Mereka memegang teguh kesopanan dalam adu kepandaian, yaitu satu lawan satu, tidak mengandalkan jumlah yang lebih banyak. Karena tadinya mereka memang terdesak, maka melihat pihak Can-Kauwsu menghentikan perkelahiani kedua Kakak-beradik Tan itupun berhenti dan Tan Siang memberi isarat kepada param Song-Kauwsu untuk berhenti. Tan Siang kini melangkah menghampiri Nyonya Can. Menghadapi isteri Can-Kauwsu, dia bersikap hormat dan berkata.
"Maafkan kami, Can-Hujin. Kami datang untuk minta pertanggungan jawab kepada Can-Kauwsu atas kematian Guru kami, Suhu Song Swi Kai!"
Nyonya Can Gi Sun terkejut. la tadi keluar mendengar kerIbutan dan cepat ia melerai perkelahian rombongan itu. Baru sekarang ia mendengar bahwa Song-Kauwsu telah mati, maka ia berseru kaget.
"Song-Kauwsu telah mati...??"
"Benar, Guru kami terbunuh dalam kamarnya sernalam!"
Kata Tan Siang sambil menatap tajam wajah nyonya itu.
"Eh, Gurumu mati terbunuh mengapa kalian datang mengamuk di sini? Apa maksud kalian?"
Nyonya Can rnenegur sambil mengerutkan alisnya.
"Hemm, tadinya kami hendak menemui Can-Kauwsu, akan tetapi murid-muridnya ini membela dan menentang kami. Kalau Guru kami terbunuh, siapa lagi pembunuhnya kalau bukan Can-Kauwsu? Dialah satu-satunya musuh besar mendiang Suhu. Karena itu, kami minta Can-Kauwsu keluar untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya!"
"lh, kalian ngawur! Mana mungkin suamiku membunuh Song-Kauwsu. Tidak ada lagi permusuhan di antara keluarga Can dengan keluarga Song. Akan tetapi boleh saja kalian menuduh suamiku, hanya saja suamiku sejak pagi tadi telah pergi ke Sin-Coan. Tidak boleh kalian menuduh secara membabi buta lalu menyerbu ke sini. Tunggulah sampai besok, setelah suamiku pulang dia pasti akan datang ke rumah keluarga Song untuk memberi penjelasan. Nah. sekarang kalian pergilah, tunggu saja sampai besok, setelah suamiku pulang sernua perkara pasti akan dapat dijelaskan."
Agaknya Kakak-beradik Tan itu dapat rnempertimbangkan kebenaran ucapan Nyonya Can. Pula, mereka tahu bahwa menggunakan kekerasan tidak akan menguntungkan mereka karena selain para murid Can-Kauwsu memang tangguh dan jumlah mereka Iebih banyak, juga tanpa adanya Can-Kauwsu di situ maka urusan tidak akan dapat diselesaikan.
"Baik, kami akan menunggu dan Can-Kauwsu harus datang dan menjelaskan kepada keluarga Song. Kalau tidak, kalian tunggu saja, kalau Song-Kongcu (Tuan Muda Song) pulang, dia pasti akan membalas dendam atas kematian Ayahnya dan kalian semua pasti akan dibinasakan seluruhnya!"
Setelah berkata dengan nada mengancarn Tan Siang dan Tan Kui meninggalkan halaman rumah keluarga Can, diikuti para murid Song-Kauwsu. Sampai di sini kisah yang diceritakan Lui Siong, membuat Pek Giok merasa tidak sabar lagi.
"Akan tetapi, Paman Lui Siong, sejak tadi Paman hanya menceritakan tentang kematian Song-Kauwsu. Bukan itu yang ingin kuketahui, akan tetapi tentang kematian Ayahku. Siapa pembunuhnya dan mengapa Ayahku dibunuh?"
"Biar aku yang melanjutkan ceritanya, Pek Giok,"
Kata Nyonya Can yang kini sudah dapat menguasai perasaannya. Sebetulnya Nyonya Can yang dahulu bernama Bun Cui Lan ini memiliki hati yang keras dan tabah. la adalah puteri seorang Bangsawan yang kawin Iari bersama Can Gi Sun.
"Ceritakanlah, Ibu, aku sudah tidak sabar lagi untuk mendengarnya."
Kata gadis itu yang kedua matanya masih basah.
"Tidak banyak yang dapat kuceritakan. Cerita Lui Siong tentang penyerbuan murid-rnuricl mendiang Song-Kauwsu mungkin ada hubungannya dengan kematian Ayahmu. Setelah terjadi peristiwa yang diceritakan Lui Siong tadi, tentu saja kami menunggu kedatangan Ayahmu, dengan tidak sabar. Akan tetapi pada keesokan harinya, ada beberapa orang penduduk dusun luar kota datang mendorong sebuah kereta yang terisi... jenazah Ayahrnu."
Sampai di sini Nyonya Can berhenti seolah lehernya tercekik karena kembali kesedihan menyelubungi dirinya.
"Siapa yang mernbunuhnya dan kenapa, Ibu?"
Pek Giok mendesak.
"Biarlah saya yang melanjutkan, Nona,"
Kata Lui Siong.
"Menurut orang-orang dusun itu, ketika pagi itu mereka rnemasuki hutan dekat jalan raya untuk mencari rumput makanan ternak dan kayu kering, mereka menemukan Suhu sudah rebah di atas tanah dalam hutan dalam keadaan sudah tewas. Saya mengikuti mereka untuk melihat tempat di mana mereka menemukan jenazah Suhu, akan tetapi saya tidak dapat menemukan tanda-tanda yang dapat saya pergunakan untuk menyelidiki siapa yang membunuh Suhu. Saya lalu pulang dan saya memeriksa jenazah Suhu. Tidak terdapat luka, akan tetapi pada dada Suhu terdapat tanda tapak jari merah dan pukulan itulah agaknya yang menewaskan Suhu."
"Hemm, Ang-Tok-Ciang (Tangan Racun Merah)?"
Gumam Pek Giok.
"Lalu, apakah selama satu bulan ini engkau tidak dapat, menemukan titik terang siapa yang sekiranya membunuh Ayah, Paman Lui Siong?"
Lui Siong menghela napas dan menggelengkan kepalanya.
"Alangkah rnenyesal hati saya, Nona. Agaknya kemampuan saya masih terlalu rendah untuk dapat membuka tabir rahasia kematian Suhu. Melihat tanda tapak tangan rnerah itu, dan melihat kenyataan bahwa Suhu tewas tanpa terluka senjata tajam, sudah pasti bahwa pembunuhnya itu memiliki kepandaian tinggi. Saya masih terlalu bodoh untuk dapat..."
"Sudahlah, Paman Lui Siong. Aku tidak mencela Paman yang belum dapat menangkap pembunuhnya. Akan tetapi menurut pendapatku, hanya di satu tempat keadaan pembunuh itu dapat diselidiki."
"Di mana itu, Pek Giok?"
Tanya Nyonya Can.
"Di mana lagi, Ibu, kalau bukan di perguruan Song-Kauwsu? Bukankah mereka yang menuduh bahwa Song-Kauwsu terbunuh oleh Ayah dan mereka mengancam akan membunuh Ayah untuk membalas dendam? Tak salah lagi, pembunuhnya sudah pasti mereka!"
"Nona Pek Giok, tadinya saya juga menyangka dernikian akan tetapi Subo melarang saya untuk menanyakan dan menuntut mereka."
Kata Lui Siong.
"Ingat, Pek Giok. Mereka baru saja tertimpa musibah. Song-Kauwsu baru saja mati terbunuh orang dan mereka sendiri sedang berduka cita. Seperti juga kita, mereka belum mengetahui siapa pembunuh Song-Kauwsu. Mereka menduga Ayahmu yang membunuhnya dan kita sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengetahui apakah dugaan itu benar ataukah tidak."
"Aih, Ibu menduga bahwa Ayah membunuh Song Kauwsu?"
"Hush, jangan mengambil kesimpulan ngawur begitu, Pek Glok. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kalau mereka menduga bahwa Ayahmu yang membunuh Song-Kauwsu. hal itu tidaklah terlalu mengada-ada. Aku bahkan hampir yakin bahwa Ayahmu tidak membunuh Song-Kauwsu. akan tetapi kemungkinan itu selalu ada, karena mungkin saja dendam kebencian masa lalu masih membekas di hati."
"Ibu, aku yakin bahwa yang membunuh Ayah pasti ada hubungan dengan keluarga Song-Kauwsu!"
"Tadinya aku juga berpikir demikian, karena pihak keluarga Song menduga Ayahmu pembunuh Song-Kauwsu dari mereka menaruh dendam. Akan tetapi setelah kupertimbangkan, rasanya tidak mungkin mereka yang melakukan pembunuhan. Song-Kauwsu sendiri belum tentu dapat membunuh Ayahmu, apalagi membunuh tanpa melukai. Apalagi para muridnya, mana mungkin dapat mengalahkan Ayahmu? Karena itu aku melarang Lui Siong yang akan enuduh mereka."
"Akan tetapi apakah Ibu telah lupa bahwa mungkin sekali pihak Song-Kauwsu mencari orang lain yang berilmu tinggi untuk membunuh Ayah? Kita tidak dapat melupakan bahwa dahulupun, ketika bersaing dan bermusuhan dengan Ayah, pihak Song-Kauwsu tidak segan minta bantuan Kakak-beradik Lee Kim Lun dan Lee Kim Lian yang jahat itu!"
Pek Giok bangkit berdiri.
"Pendeknya, sekarang juga aku akan mengunjungi keluarga Song dan aku akan paksa mereka menunjukkan siapa yang telah membunuh Ayahkul"
"Pek Giok...!"
Nyonya Can memanggil. akan tetapi gadis itu seolah tidak mendengar dan ia sudah berlari keluar. Lui Siong mengejarnya dan ketika tiba di halaman dia berkata,
"Nona Pek Giok, biarkan kami ikut denganmu!"
Dia memberi isarat kepada para murid dan lebih dari dua puluh orang murid sudah siap untuk menemani Pek Giok. Akan tetapi Pek Giok membalikkan tubuh menghadapi mereka dan berkata dengan suara tegas kepada Lui Siong.
"Paman Lui Siong, jangan ikuti aku dan jangan mencampuri urusan ini. Ini adalah urusan keluargaku, urusan pribadi. Kalian semua, jangan ikuti aku!!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja gadis itu lenyap dari pandang mata Lui Siong dan para murid perguruan Can-Kauwsu! Tentu saja mereka semua menjadi terkejut dan heran, bahkan Lui Siong yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada mereka, bengong dan diam-diam merasa ngeri melihat gadis itu lenyap begitu saja! Itulah satu di antara ilmu yang didapatkan gadis itu dari gemblengan Song-Bun Lo-Jin selama tiga tahun. Dengan ilmunya yang hebat, sebentar saja Pek Giok telah tiba di halaman rumah Song-Kauwsu. Di halaman rumah itu terdapat Tan Siang dan Tan Kui Hok, mereka berdua sedang memberi petunjuk kepada tujuh orang murid yang sedang latihan silat. Setelah Song-Kauwsu tewas, tentu saja para murid banyak yang meninggalkan perguruan itu. Hanya ada tujuh orang murid selain Kakak-beradik Tan yang masih tinggal.
Mereka adalah murid-murid yang dekat dengan mendiang Song-Kauwsu, yang mempertahankan perguruan itu dan juga yang menaruh iba kepada Nyonya Song yang selalu bersikap lembut kepada mereka. Sembilan orang murid ini merasa tidak tega untuk meninggalkan Nyonya Song seorang diri. Selain itu, mereka masih mengharapkan kembalinya Song Han Bun yang mereka tahu memiliki kepandaian amat tinggi. Song Han Bun tentu suka mengajarkan ilmu kepada mereka kalau pulang ke rumah. Tiba-tiba mereka semua menghentikan kesibukan berlatih silat karena tahu-tahu seorang gadis cantik telah berdiri di situ, memandang ke arah mereka dengan sikap marah. Tan Siang dan Tan Kui Hok terkejut ketika mengenal gadis itu, demikian pula para murid lain.
Tentu saja mereka mengenal Can Pek Giok, puteri Can-Kauwsu yang arnat sakti itu dan diam-diam mereka merasa gentar. Para murid Song-Kauwsu yang tadinya menduga bahwa Can-Kauwsu yang membunuh Guru mereka semula marah dan mendendam kepada Can-Kauwsu, akan tetapi setelah mereka mendengar bahwa Can-Kauwsu juga mati terbunuh dalam hutan, kemarahan mereka mereda. Mereka bahkan mulai meragu apakah benar Can-Kauwsu yang membunuh Guru mereka, Song-Kauwsu. Mereka hanya mengharapkan pulangnya Song Han Bun agar pemuda yang sakti itu dapat menyelidiki siapa yang telah membunuh Song-Kauwsu. Kini melihat munculnya Can Pek Giok, mereka menjadi terkejut dan juga gelisah. Tan Siang segera menyambut dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada.
"Can-Siocia (Nona Can), selamat datang. Apa yang dapat kami bantu kepadamu? Keperluan apakah yang memawa Siocia datang ke sini?"
Biarpun Tan Siang bersikap hormat dan bicara dengan halus, tetap saja Pek Giok memandang dengan sinar mata berapi.
"Jangan banyak cakap, cepat kalian katakan siapa yang telah membunuh Ayahku!!"
Suaranya tajam seperti mengiris jantung para murid Song Kauwsu. Tan Siang menjawab.
"Can Siocia, kami sama sekali tidak tahu siapa yang telah membunuh Can-Kauwsu. Sungguh, kami sama sekali tidak tahu."
"Hemm, enak saja berputar lidah menyangkal. Bukankah kalian yang datang ke rumah keluarga kami dan mengancam hendak membunuh Ayahku? Setelah kalian mengancam hendak membunuh Ayahku, esoknya Ayahku mati terbunuh! Sudah pasti kalian yang melakukannya!"
"Aduh, sungguh mati, Can-Siocia. Memang tadinya kami menduga bahwa Can-Kauwsu yang membunuh Guru kami Song-Kauwsu, maka kami hendak menuntut balas. Akan tetapi kemudian kami mendengar bahwa Can-Kauwsu juga terbunuh tanpa diketahui siapa pembunhnya."
"Herm, kalian dahulu menuduh Ayahku membunuh Song-Kauwsu, padahal tidak ada alasannya sama sekali. Sekarang, Ayahku terbunuh dan aku menuduh kalian yang melakukannya dengan alasan bahwa kalian pernah menyerbu kesana dan mengancam hendak membunuh Ayahku!"
"Ah, Can-Siocia, bagaimana mungkin kami sanggup membunuh Can-Kauwsu. Baru melawan para muridnya saja tidak mudah bagi kami untuk dapat menang. Tidak mungkin kami dapat membunuh Can-Kauwsu yang tingkat ilmu silatnya jauh tinggi daripada kami."
"Aku juga tidak percaya kalian mampu membunuh Ayahku, akan tetapi tentu kalian mendapatkan bantuan orang yang pandai. Sekarang kalian harus mengaku siapa yang telah membunuh Ayahku."
"Kami sungguh tidak tahu..."
"Aku akan memaksa kalian untuk mengaku!"
Setelah berkata demikian, tubuh gadis itu berkelebatan menyambar-nyambar. Terdengar teriakan mengaduh susul menyusul dan tubuh para rnurid Song-Kauwsu itu terpelanting roboh satu demi satu. Mereka merintih-rintih, karena semua menderita luka patah tulang. Ada yang tulang pundaknya patah, ada lengannya atau kakinya. Tidak ada seorang pun yang dilewatkan dan sernbilan orang murid Song-Kauwsu itu roboh semua. Sambil bertolak pinggang Pek Giok berkata kepada mereka.
"Aku hanya memberi peringatan kepada kalian. Kalau dalam waktu lima hari ini kalian belum juga mau mengatakan siapa yang telah membunuh Ayahku, aku akan datang lagi dan akan kubunuh kalian semua!"
Setelah berkata demikian, gadis itu berkelebat dan lenyap dari depan mereka. Ketika Nyonya Song yang rnasih berkabung mendengar akan peristiwa itu, ia merasa menyesal sekali dan menegur Tan Siang dan Tan Kui Hok. Setelah menghela napas panjang berulang kali, ia berkata.
"Semua ini adalah akibat dari permusuhan antara keluarga Can dan keluarga Song. Tidak perlu dibicarakan lagi urusan itu karena keduanya sudah meninggal dunia. Akan tetapi kemarahan Can Pek Giok itu disebabkan karena kesalahan kalian berdua. Tentu kalian tidak lupa bahwa dahulu ketika kalian menuduh Can-Kauwsu sebagai pembunuh dan hendak menyerbu ke sana aku sudah melarang dan memperingatkan bahwa menuduh tanpa bukti itu rnerupakan fitnah. Akan tetapi kalian nekat dan akhirnya menjadi begini. Ah, mengapa malapetaka menimpa keluargaku secara bertubi-tubi begini? Dahulu dua saudara Lee mengacau sehingga anakku Song Bwee Eng menjadi korban, dan sekarang...!"
Wanita itu menangis dan para murid hanya saling pandang dan merasa menyesal akan penyerbuan mereka ke rumah Can-Kauwsu sebulan yang lalu. Mereka kini menyddari bahwa dahulu itu mereka tertalu menuruti nafsu amarah karena kematian Guru mereka. Dengan memberanikan diri Tan Siang yang merasa bersalah itu bertanya kepada Nyonya Song setelah tangis wanita itu mereda.
"Subo (Ibu Guru), Nona Can memberi waktu lima hari kepada kami untuk memberi tahu siapa yang membunuh Can-Kauwsu. Kalau sampai lima hari kami belum dapat memberi keterangan, ia akan datang dan membunuh kami semua. Apa yang harus kami lakukan, Subo?"
Dengan tenang dan lembut Nyonya Song menjawab,
"Kalau kalian sembilan orang takut dibunuh, pergilah, dari sini. Kalau nanti Nona Can datang, biar aku yang akan menjawab dan menghadapinya, kalau ia mau membunuh, biar ia membunuh aku!"
Sembilan orang murid itu lalu berlutut menghadap Nyonya Song, dengan suara riuh rendah mereka menyatakan akan mempertanggungjawabkan perbuatan mereka dan tidak mau melarikan diri, kalau perlu siap mati bersama Nyonya Song. Akan tetapi, pada keesokan harinya kedukaan yang dirasakan seluruh penghuni rumah keluarga Song terhibur dengan munculnya Song Han Bun! Han Bun terharu akan tetapi juga heran ketika kedatangannya disambut ratap tangis Ibunya yang merangkulnya sambil menangis tersedu-sedu.
"Ibu, apakah yang terjadi? Mengapa Ibu menangis sedih menyambut kepulanganku? Di mana Ayah?"
Nyonya Song akhirnya dapat menenangkan hatinya dan setelah melepaskan rangkulannya dan menghentikan tangisnya, ia berkata dengan lembut.
"Han Bun, duduklah dan tenangkanlah hatimu. Ada peristiwa buruk menimpa keluarga kita. Sekitar sebulan yang lalu, Ayahmu... Ayahmu pada suatu malam kedapatan tewas dalam kamarnya..."
Han Bun terbelalak.
"Ayah tewas...? Akan tetapi kenapa, Ibu? Sakitkah dia?"
Nyonya Song rnenggelengkan kepalanya dengan sedih.
"Sama sekali dia tidak sakit, Han Bun. Dia... dia mati terbunuh dalam kamarnya..."
"Terbunuh? Siapa yang membunuh Ayah dan mengapa, Ibu?"
"Sampai sekarang pun aku dan para murid tidak tahu siapa yang membunuh dan mengapa. Malam itu Ayahmu tidur seorang diri dalam kamar samadhinya. Tidak terdengar suara aneh malam itu, aku tidak mendengar sesuatu, demikian pula Tan Siang dan Tan Kui Hok yang tidur di kamar sebelah. Akan tetapi pagi itu kami mendapatkan Ayahmu telah tewas. Tidak ada jejak pembunuh, hanya jendela kamar itu terbuka."
Nyonya itu menangis lagi akan tetapi ia menahan suara tangisnya, hanya terisak dengan air mata bercucuran.
"Tapi... setidaknya tentu ada bekasnya kalau memang Ayah dibunuh orang. Bagaimana... bagaimana keadaannya ketika dia ditemukan, Ibu? Apakah kamar itu tidak tampak ada bekas perkelahian? Karena kalau memang dia mati terbunuh, Ayah tentu rnengadakan perlawanan."
Ibunya menghapus air matanya.
"Kalaupun Ayahmu melakukan perlawanan, agaknya tidak terjadi perkelahian seru dalam kamar itu. Kamar tidak tampak kacau dan kami menemukan Ayahmu telah rebah telentang di lantai kamar, dalam keadaan sudah tewas..."
"Luka-lukanya...?"
"Tidak ada luka sama sekali. Akan tetapi kulit dadanya menghitam seperti hangus..."
"Ahh..., Hek-Tok-Ciang (Tangan Racun Hitam), itu agaknya pukulan Hek-Tok-Ciang!"
Seru Han Bun.
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan tetapi, urusan yang merupakan malapetaka bagi kita ini masih berekor, bahkan ekornya lebih hebat dan amat menyedihkan hatiku. Untung engkau pulang, Han Bun, clan mudah-mudahan engkau yang akan dapat menyelesaikan urusan ini dengan damai dan baik."
"Eh, apakah yang lbu maksudkan?"
Setelah rnenghela napas panjang beberapa kali untuk menenangkan hatinya yang diliputi kedukaan dan kekhawatiran, Nyonya Song berkata.
"Ketika menemukan jenazah Ayahmu, Tan Siang dan Tan Kui Hok bersama tujuh orang murid lain menduga keras bahwa pembunuh Ayahmu tentu Can-Kauwsu. Mereka hendak nuntut balas dan nekat pergi ke runah keluarga Can biarpun sudah kucoba untuk mencegah mereka. Terjadilah keributan dan bahkan perkelahian antara para murid kita dan para murid Can-Kauwsu. Untung tidak berlanjut karena dilerai Nyonya Can yang mengatakan bahwa Can-Kauwsu sedang keluar kota dan kalau sudah pulang, Can-Kauwsu akan menjawab tuduhan keluarga Song itu. Akan tetapi, ahh..."
Nyonya Song menghentikan ceritanya dan menangis lagi. Han Bun membiarkan Ibunya menangis sejenak, setelah reda dia bertanya.
"Kuatkanlah hatimu, Ibu. Selanjutnya bagaimana? Apa yang terjadi maka lbu tampak demikian khawatir?"
"Begini, Han Bun. Setelah para murid mendatangi keluarga Can itu, pada keesokan harinya kami semua terkejut mendengar berita bahwa Can-Kauwsu juga terbunuh orang dalam sebuah hutan di luar kota. Agaknya Can-Kauwsu hendak pulang dari Sin-Coan dan di tengah jalan dia dibunuh orang."
"Ahh...!!"
Han Bun terkejut bukan main. Sungguh peristiwa yang amat hebat. Ayahnya mati terbunuh dalam kamar tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya, dan pada hari berikutnya Can-Kauwsu juga dibunuh orang dalam hutan!
"Siapa yang membunuhnya, Ibu?"
"Tidak ada yang tahu, Han Bun. Akan tetapi akibatnya sungguh hebat. Agaknya Can Pek Giok, puteri Can-Kauwsu itu pulang dan mendengar Akan semua peristiwa itu, dua hari yang lalu ia datang ke sini. la marah karena dulu murid-murid kita menuduh Ayahnya membunuh Ayahmu dan Tan Siang pernah mengatakan hendak membalas dendam dengan membunuh Ayahnya. Kini ia berbalik menuduh bahwa yang membunuh Ayahnya adalah pihak kita. la menghajar sembilan orang murid kita sehingga murid-murid itu mengalami luka patah tulang. Lalu mengancam bahwa ia memberi waktu lima hari agar kita memberi tahu siapa yang telah membunuh Can-Kauwsu dan mengancarn kalau kita tidak mau memberi tahu, Ia akan membunuh kita semua. Ah, Han Bun..., aku khawatir sekali...!, Aku menganjurkan agar Para murid pergi melarikan diri dan aku yang akan menghadapi Pek Giok, akan tetapi sembilan orang murid itu tidak mau dan siap menerima kematian di tangan Pek Giok. Ahh, semua Ini akibat permusuhan antara keluarga Song dan keluarga Can yang dulu dimulal oleh Ayahmu..."
"Sudahlah, Ibu. Tidak baik mengungkit perkara lama dan menyalahkan orang yang sudah rneninggal dunia. Agaknya, keluarga Can dan keluarga kita mengalami cobaan hidup yang sama, dan kalau tidak hati-hati menanganinya memang dapat saja menimbulkan permusuhan dan bentrokan antara keluarga Can dan keluarga kita. Biarlah, kalau tiga hari lagi Nona Can Pek Giok datang, aku yang akan rnemberi penjelasan kepadanya. Sekarang aku hendak mengunjungi makam Ayah."
Han Bun meninggalkan Ibunya lalu menemui sembilan orang murid Ayahnya yang berkumpul di ruangan belakang yang luas karena ruangan Ini biasanya dipergunakan untuk berlatih silat. Mereka sudah tahu akan datangnya Han Bun dan mereka merasa lega, gembira dan juga takut. Lega karena pemuda itu tentu akan mampu menghadapi ancaman Can Pek Giok, gembira karena keberadaan Han Bun memperkuat pihak mereka, akan tetapi juga takut akan mendapat teguran pemuda itu. Maka begitu melihat Han Bun memasuki ruangan, Tan Siang yang diikuti delapan orang murid lain menyambut dan memberi horrnat, lalu Tan Siang berkata.
"Song-Sute (Adik Seperguruan Song),"
Tan Siang menyebut Han Bun Sute karena dia adalah murid pertama Ayah Han Bun.
"Kami semua minta maaf atas kesalahan kami telah terburu nafsu menuduh Can-Kauwsu dan membikin ribut di sana."
"Sudahlah, biar yang sudah terjadi merupakan pengalaman yang mengandung pelajaran bagi kalian. Terburu nafsu menuruti amarah ternyata merugikan diri sendiri. Biar kuperiksa luka-luka kalian."
Han Bun memeriksa dan ternyata mereka tidak menderita luka yang parah dan berbahaya, hanya luka patah tulang. Dan para murid itu telah mengobatkan luka mereka pada seorang tabib yang telah memberi obat minum dan param untuk mempercepat pulihnya tulang yang patah atau retak. Kemudian, setelah mendapat keterangan bahwa jenazah Ayahnya dikubur di pemakaman umum, Han Bun meninggalkan rumah menuju ke taman pemakaman di pinggir kota Sung-Kian. Taman pemakaman itu letaknya di tepi kota Sung-Kian yang sepi, jauh dari rumah penduduk.
Sudah lajim di mana-mana bahwa tanah pekuburan itu selalu dijauhi orang karena dianggap angker dan menyeramkan. Tanah kuburan dianggap sebagai tempat setan kuburan, yaitu orang-orang yang mati penasaran, yang arwahnya rnasih gentayangan belum mendapatkan tempat yang layak. Apalagi di waktu malam hari, jarang orang berani berada di situ, bahkan lewat pun orang lebih suka mengambil jalan memutar asalkan jauh dari tanah kuburan. Bahkan di waktu siang pun, kalau tidak ada keperluan penting, orang segan memasuki taman pemakaman itu. Kecuali tentu saja pada hari Ceng-Beng, yaitu hari pada waktu mana keluarga mengunjungi makam orang-tua atau keluarga mereka, bersembahyang dan ada yang memakai upacara memberi hidangan masakan dan buah-buahan yang menjadi kesukaan si mati di kala masih hidup.
Semua ini tentu saja berdasarkan rasa bakti dan sayang para keluarga pada si mati sehingga sembahyangan itu selain mendoakan kebahagiaan bagi si mati juga untuk memperlihatkan bahwa mereka tidak melupakan si mati sehingga keluarga atau orang-tua yang mati akan merasa senang bahwa keluarganya atau anak-cucunya berbakti kepada mereka walaupun sudah mati. Semua kebiasaan bersumber dari pelajaran Para bijaksana jaman dahulu seperti Khong-cu dan yang lain-lain bahwa kewajiban utama bagi seorang manusia adalah berbakti. Berbakti kepada TUHAN dan berbakti kepada orang-tua atau Ayah-Ibu. Maka muncullah unjuk rasa kebaktian berupa persembahyangan dengan segala macam masakan dan buah-buahan kesukaan si mati yang dianggap sebagai bukti kebaktian mereka.
Tentu saja banyak yang melakukan semua itu hanya agar dipandang sebagai anak berbakti saja, bahkan pada dasarnya mengandung pamrih agar arwah si mati akan merasa senang dan memberkati mereka! Padahal, disembahyangi dengan korban masakan dan buah-buahan yang bagaimana mahal dan lezat sekalipun, tetap saja yang mati tidak dapat menikmatinya. Yang makan juga mereka-mereka yang mengadakan sembahyangan itu sendiri! Yang lebih lucu dan menyedihkan lagi, sewaktu orang-tuanya masih hidup, tidak pernah anaknya itu memberi makanan yang enak, akan tetapi setelah mati, disembahyangi dengan korban makanan mahal dan lezat! Sungguh membentuk munafik-munafik besar! Padahal, yang dimaksudkan dengan Hauw (Berbakti) kepada leluhur itu bukan menyuguhkan makanan kepada si mati, melainkan menyuguhkan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar.
Perbuatan atau perilaku kehidupan yang baik dan benar dari anak cucu inilah yang akan mengangkat dan membersihkan nama leluhur yang sudah mati. Sebaliknya, perilaku yang buruk dan jahat dari anak cucu akan mencemarkan nama dan kehormatan leluhur yang mati. Orang-tua mana, baik dia masih hidup atau sudah mati, yang akan senang melihat anak-cucunya biarpun kaya-raya akan tetapi dicaci-maki orang karena perilaku mereka jahat? Sebaliknya, orang-tua atau leluhur, baik masih hidup atau sudah mati, pasti akan merasa berbahagia melihat anak cucunya biarpun hidup miskin akan tetapi disayang dan dihormati orang karena perilakunya yang baik. Pagi hari itu, karena hari biasa, bukan hari Ceng-Beng, di pekuburan itupun sepi. Dengan langkah lebar Han Bun memasuki tanah kuburan melalui pintu gerbangnya. Dia sudah mendapat petunjuk dari Tan Siang di mana letak makam Ayahnya.
Dengan hati terharu Han Bun langsung menuju ke makam Ayahnya. Dia mendengar kesibukan beberapa orang di ujung lain tanah pekuburan itu, agaknya ada keluarga yang sedang melakukan sembahyangan di makarn leluhur mereka. Akan tetapi Han Bun tidak menaruh perhatian, apalagi makam Ayahnya terpisah semak-semak dari tempat keluarga itu bersembahyang. Setelah menemukan makam Ayahnya yang masih baru, gundukan tanah kemerahan yang belum ditumbuhi rumput, dia lalu melakukan sembahyangan dengan sederhana. Dia hanya membawa Hio-Swa (dupa lidi) dan setelah membakar ujung dupa, dia bersembahyang, menancapkan Hio-Swa di depan makam, lalu dia berlutut memberi hormat kepada bayangan Ayahnya dalam benaknya. Teringat akan Ayahnya, tanpa dirasakannya, beberapa butir air mata mengalir keluar dari sepasang matanya.
"Ayah, harap Ayah tenang di alam baka, dan jangan membawa rasa penasaran karena anakmu ini pasti akan rnencari orang yang telah membunuhmu dan menuntut pertanggungan jawab atas perbuatannya."
Setelah itu, dia duduk bersila di depan makam itu dan bersamadhi untuk mengenang Ayahnya dan untuk menenteramkan hatinya yang nyaris digoda oleh nafsu amarah dan penasaran karena Ayahnya dibunuh orang tanpa ada yang mengetahui siapa pembunuhnya.
Juga dia ingin menenangkan hatinya yang agak terguncang karena dia merasa betapa kejamnya Can Pek Giok. Memang sembilan orang murid Ayahnya itu bersalah melakukan tuduhan secara ngawur tanpa bukti apalagi mengeluarkan ancaman akan membunuh Can-Kauwsu. Akan tetapi sembilan orang saudara seperguruannya itu tidak melukai orang, sedangkan Pek Giok bukan hanya mematahkan tulang sembilan orang itu, bahkan juga mengancam akan membunuh mereka semua kalau tiga hari lagi tidak mengaku siapa yang membunuh Can-Kauwsu. Bagaimana para murid Ayahnya itu dapat mengaku kalau memang mereka itu sama sekali tidak tahu, bahkan menduga saja tidak dapat?
(Lanjut ke Jilid 17)
Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17
Han Bun sama sekali tidak pernah menduga bahwa rombongan keluarga yang didengar suaranya tadi adalah rombongan dari keluarga Can Pek Giok dan Iibunya ditemani Gu Ma Ek dan belasan orang murid Can-Kauwsu, sedang melakukan upacara sembahyang di makam mendiang Can-Kauwsu. Lui Siong tidak ikut karena selain mengurus pekerjaannya sebagai perusahaan pengawal kiriman barang, dia juga merasa agak rikuh bertemu dengan Can Pek Giok, teringat akan perbuatan puteranya yang memutuskan hubungan tali pertunangannya dengan gadis itu. Seorang murid secara kebetulan berjalan-jalan setelah ikut bersembahyang dan dia melihat adanya Han Bun di depan makam Song-Kauwsu. Memang murid ini ingin menjenguk dan mengetahui dimana adanya makam Song-Kauwsu. Dia terkejut sekali mengenal Song Han Bun yang duduk bersila dengan kedua mata terpejam di depan makam itu.
Tergesa dia mendekati Gu Ma Ek dan bisikkan bahwa Song Han Bun berada di depan makam Song-Kauwsu. Tentu Gu Ma Ek terkejut sekali dan cepat melaporkan hal ini kepada Pek Giok. Begitu mendengar bahwa Song Han Bun berada di tanah kuburan itu, seketika wajah Pek Giok menjadi merah, matanya mencorong dan tanpa berkata sesuatu ia lalu berjalan cepat menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Gu Ma Ek. la melihat Han Bun duduk bersila menghadap sebuah makam yang seperti juga makam Ayahnya, masih baru. Beberapa batang hio masih mengepulkan asap, tertancap di depan makam. Seketika nafsu amarah Pek Giok berkobar, teringat akan Ayahnya yang dibunuh orang, yang pembunuhnya ia duga tentu berpihak kepada keluarga Song, dan teringat pula akan semua permusuhan yang lalu antara Ayahnya dan Song-Kauwsu.
"Bagus, engkau berada di sini, Han Bun"
Bentak Pek Giok sambil berdiri tegak di belakang pemuda itu. Han Bun terkejut mendengar bentakan yang tiba-tiba ini karena tadi dia sedang bersemadhi. Dia segera bangkit dan setelah memutar tubuh dan mengenal siapa yang membentaknya, dia mengerutkan alisnya dan menatap wajah gadis itu dengan tajam. Kesan pertama yang memasuki benaknya ketika melihat Pek Giok adalah bahwa wanita di depannya ini telah menjadi isteri orang lain dan bahwa wanita telah bertindak kejam terhadap sembilan orang murid mendiang Ayahnya. Hatinya juga merasa penasaran akan tetapi dia teringat bahwa Pek Giok juga kematian Ayahnya, maka dia lalu mengangkat kedua tangan depan dada lalu berkata.
"Ah, kiranya engkau..., Nona Can. Aku ikut berduka cita mendengar akan kematian Ayahmu."
"Huh, tidak perlu berpura-pura! siapa percaya omongan palsu itu? Aku yakin bahwa engkau pasti merasa senang sekali karena kematian Ayahku. Bahkan pihak keluargamu yang mengusahakan pembunuhan terhadap Ayahku! Mungkin juga, tanganmu sendiri yang membunuhnya!"
"Can Pek Giok!"
Han Bun berseru marah.
"Menuduh orang sembarangan tanpa bukti adalah fitnah! Kami tidak membunuh Can-Kauwsu!"
Pek Giok tersenyum mengejek Han Bun yang marah itu sejenak merasa jantungnya terguncang melihat senyuman yang pernah membuat dia tergila-gila dan jatuh cinta itu.
"Bagus, memang mudah membuka mulut menggoyang lidah asal bicara!"
Kata gadis itu dengan suara mengejek.
"Kalau aku kau anggap menuduh sembarangan dan mengucapkan fitnah, lalu apa yang dilakukan sembilan orang murid perguruan Ayahmu itu benar? Mereka datang menyerbu perguruan kami, menuduh kami yang membunuh Song-Kauwsu, bahkan mengeluarkan ancaman hendak menuntut balas dan membunuh Ayahku! Kemudian ternyata pada keesokan harinya Ayahku benar-benar dibunuh orang, siapa lagi kalau bukan kalian yang membunuh Ayahku? Hayo jawab!!"
Han Bun merasa terpukul dan serba salah, akan tetapi dia teringat akan perbuatan Pek Giok melukai sembilan orang saudara seperguruannya dan dia jawab lantang.
"Memang aku mengakui bahwa tindakan murid-murid perguruan kami itu salah karena mereka terlalu dibakar nafsu amarah dan dendam karena duka kematian Guru merelca. Akan tetapi tindakan mereka itu tidak sampai melukai atau mencelakakan orang. Sebaliknya, engkau bertindak demikian kejamnya melukai sembilan orang saudara seperguruanku sampai mereka mengalami patah tulang, bahkan engkau mengancam akan membunuh mereka semua. Ini sudah keterlatuan!"
"Pecluli amat! Aku memang mengancam mereka bahwa dalam lima hari mereka harus memberi tahu siapa yang membunuh Ayahku. kalau sampai lewat lima hari, jadi tinggal tiga hari lagi mereka tidak mau memberi htahu akan membunuh mereka semua!"
"Gila! Mereka sama sekali tidak tahu siapa yang membunuh Can-Kauwsu, bagaimana mereka dapat memberi tahu kepadamu?"
"Masa bodoh! Aku tidak percaya. Pasti ada orang di pihak mereka yang melakukan pembunuhan itu. Mereka pasti minta bantuan seorang yang tinggi ilmu silatnya untuk membunuh Ayahku. Mungkin engkau sendiri yang melakukan pembunuhan itu karena pinangan Ayahmu ditolak Ayahku!"
"Can Pek Giok, bicaramu ngawur! Kalau engkau menuduh kami yang membunuh Ayahmu, aku juga bisa menuduh engkau yang membunuh Ayahku!"
"Baik! Memang sejak dulu keluarga kita sudah saling bermusuhan, dimulai oleh pihakmu yang brengsek dan jahat. Daripada saling menuduh, sebaiknya kita selesaikan. Mari kita lanjutkan dan selesaikan dendam di antara keluarga Can dan keluarga Song. Cabut pedangmu!"
Pek Giok menantang dan ia sudah meraba gagang pedang di punggungnya dan tiba-tiba tampak sinar hijau berkelebat.
Tahu-tahu tangan kanannya sudah memegang Ceng-Liong-Kiam. Han Bun menghela napas panjang. Dia juga penasaran dan marah, akan tetapi mana dia tega untuk berkelahi melawan wanita yang pernah dicintanya dan masih dicintanya itu? Dia menjadi serba salah. menolak tantangan, tentu dikira takut. Menerima, dia tidak tega. Juga dia merasa bahwa kini gadis ini bukan lawannya lagi setelah dia mendapatkan gemblengan dari Khong-Sim Sin-Kai. Dulu memang tingkat kepandaian mereka tidak berselisih jauh, akan tetapi sekarang, tentu Pek Giok bukan lawannya lagi. Maka dia menghela napas panjang beberapa kali, baru menjawab sambil memandang kepada rombongan keluarga Can yang kini sudah datang mendekat, bahkan dia melihat pula Nyonya Can yang memandang dengan mata bersinar mengandung kemarahan.
"Can Pek Giok, mengapa kita harus berkelahi? Apakah tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan urusan ini?"
"Hemm, kalau engkau takut, katakan sajal Aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi kalau sembilan orang yang dulu menyerbu tempat kami dan mengancam hendak membunuh Ayah itu tidak mau memberi tahu siapa yang melakukan pembunuhan terhadap Ayahku, dalam waktu tiga hari lagi aku akan datang ke sana dan membunuh mereka semua!"
Tentu saja Han Bun menjadi penasaran dan marah juga.
"Can Pek Giok, engkau sungguh keterlaluan. Baiklah, kalau engkau hendak membunuh sembilan orang murid mendiang Ayahku itu, nah, biar aku mewakili mereka. Bunuhlah aku!"
"Enak saja! Aku membunuhmu lalu semua orang di dunia kang-ouw memaki aku sebagai seorang pengecut yang membunuh seorang yang tidak berani melawanku? Aku tidak sudi membunuh pengecut yang tidak berani melawan. Kalau engkau ingin mewakili sembilan orang itu untuk mati di tanganku, nah, lawanlah aku dan cabut senjatamu!"
Tantang Pek Giok. Wajah Han Bun menjadi pucat, lalu merah kembali bahkan semakin merah karena bagaimanapun juga, tantangan yang sekaIigus penghinaan itu memanaskan perasaan hatinya. Akan tetapi dia tersenyum.
"Can Pek Giok, untuk melawanmu aku tidak perlu menggunakan pedang, cukup kulayani dengan kedua tanganku saja!"
Pek Giok mengerutkan alisnya, mukanya juga berubah merah dan ia cepat menyarungkan kembali pedangnya.
"Song Han Bun, untuk membunuhmu aku juga tidak perlu menggunakan pedang, cukup dengan tanganku saja! Nah, bersiaplah untuk mati!"
Setelah berkata demikian, Pek Giok diam-diam mengerahkan tenaga saktinya, lalu menerjang sambil membentak nyaring.
"Hyaaaattt...!!"
Tubuhnya berkelebat seolah berubah menjadi bayangan dan begitu ia mendorongkan tangan kanan memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Han Bun, terdengar bunyi angin menderu.
Han Bun terkejut buka main melihat ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan sinkang (tenaga sakti) yang demikian hebat dari Pek Giok. Sama sekali tidak pernah disangkanya gadis itu memiliki gerakan secepat itu sehingga tubuhnya berubah menjadi bayangan dan pukulannya sedahsyat itu sehingga mendatangkan angin menyambar kuat dan ada hawa panas menyambar dengan sangat dahsyat! Sekejap saja maklumlah Han Bun bahwa ternyata Pek Giok kini tidak dapat disamakan dengan Pek Giok tiga tahun yang lalu! Agaknya gadis itu telah memperdalam ilmu-ilmunya sehingga dia harus hati-hati. Cepat dia pun mengerahkan tenaga saktinya, miringkan tubuh dan dari samping dia menangkis dengan dorongan tangan kiri.
"Wussss...!!"
Kini Pek Giok yang terkejut bukan main. Tadinya ia memandang rendah kepada Han Bun karena ia merasa bahwa setelah menerima gemblengan selama tiga tahun dari Song-Bun Lojin, kepandaiannya sudah meningkat tinggi dan Han Bun pasti bukan merupakan lawannya lagi. Akan tetapi ketika pemuda itu menangkis dengan dorongan hawa sakti dari samping, tubuhnya terguncang! Ini membuktikan bahwa Han Bun kini jauh lebih kuat daripada tiga tahun yang lalu! Ia menjadi penasaran dan sambil mengeluarkan seruan nyaring ia menyerang lagi dengan lebih hebat, mengerahkan seluruh tenaganya.
Akan tetapi Han Bun yang kini maklum akan ketangguhan Pek Giok, juga mengerahkan tenaga dan mengimbangi gerak gadis itu. Terjadilah pertandingan yang seru dan dahsyat. Yang menonton pertandingan itu hanyalah Nyonya Can, GU Ma Ek, dan belasan orang murid. Mereka berdiri agak jauh dari tempat pertandingan dan kini mereka semua memandang dengan mata terbelalak, mulut ternganga dan hati tegang karena mereka tidak mampu membedakan lagi mana Pek Giok dan mana Han Bun yang menjadi lawannya. Mereka hanya melihat bayangan orang, bukan hanya dua orang melainkan banyak saking cepatnya dua orang itu bergerak. Juga para penonton itu sama sekali tidak dapat menilai siapa yang mendesak dan siapa yang terdesak. Hebatnya, pohon-pohon di sekitar tempat perkelahian itu bergoyang-goyang seperti diterjang angin dan banyak daun yang rontok.
Bahkan mereka yang berdiri cukup jauh, terkadang merasa ada angin menyambar, terasa kadang-kadang panas dan kadang-kadang dingin ketika menerpa kulit mereka dan membuat pakaian mereka berkibar! Setelah bertanding dengan seru, saling serang dengan kecepatan kilat dan tenaga dahsyat, baik Pek Giok maupun Han Bun diam-diam merasa terkejut, heran dan juga kagum sekali. Keduanya sama sekali tidak pernah menyangka bahwa lawan yang telah dikenal tingkat kepandaiannya tiga tahun yang lalu itu kini telah menjadi seorang yang memiliki kesaktian hebat! Mereka telah mempergunakan jurus-jurus terampuh, akan tetapi selalu serangan mereka masing-masing dapat disambut dan digagalkan lawan. Pek Giok yang lebih dulu merasa penasaran. Ia melompat ke belakang sambil mencabut Ceng-Liong-Kiam.
"Mari kita Ianjutkan dengan pedang!' tantangnya. Kini Han Bun maklum bahwa melawan gadis itu yang bersenjata pedang dengan tangan kosong saja, pasti dia akan kalah. Dia memang sama sekali tidak ingin melukai apalagi membunuh Pek Giok, akan tetapi dia pun tentu saja tidak mau dibunuh karena dia tidak merasa bersalah. Maka dia pun mencabut Thian-Hong-Kiam dari punggungnya dan tampak sinar putih berkelebat.
"Engkau masih penasaran dan menantang bertanding pedang? Baik, aku hanya melayanimu, jangan dikira aku takut,"
Jawab Han Bun.
"Bagus, nah, sambutlah ini!"
Benta Pek Giok clan ia lalu menyerang dengan pedangnya. Gerakannya cepat sekali dan begitu Han Bun mengimbangi gerakannya dan menangkis, mereka lalu saling serang.
Kini mereka yang menjadi penonton menahan napas saking tegangnya. Dua orang itu kini tidak tampak lagi, hanya kadang-kadang saja bayangan mereka tampak, akan tetapi bayangan itu dibungkus gulungan sinar pedang hijau dan putih. Amat indah tampaknya, seperti permainan kembang api, akan tetapi mereka semua tahu bahwa keindahan itu mengandung bahaya maut dan tidak aneh kalau sewaktu-waktu mereka melihat seorang di antara mereka akan roboh mandi darah dan tewas! Maka, mereka merasa tegang bukan main, terutama sekali Nyonya Can yang tentu saja mengkhawatirkan keselamatan puterinya. Akan tetapi ia seorang wanita yang tabah dan keras hati, maka ia menggigit bibir dan mengepal kedua tangan, diam-diam seperti berdoa agar puterinya memperoleh kemenangan.
Tiba-tiba tampak gulungan sinar lain menyambar clan masuk ke dalam pergumulan antara sinar putih dan sinar hijau itu. Sinar pedang ini warnanya biru langit dan gerakannya cepat seperti kilat menyambar-nyambar. Terdengar bunyi berdencing nyaring beberapa kali dan tiga gulung sinar pedang itu terpencar lalu tampak tiga orang berlompatan ke belakang dan kini mereka berdiri saling pandang. Baik Pek Giok maupun Han Bun memandang kepada orang ke tiga yang tadi datang melerai dengan menggunakan pedangnya yang bersinar biru. Mereka berdua tentu saja mengenal orang ke tiga ini, seorang pemuda yang bukan lain adalah Lui Hong! Melihat pemuda ini, wajah Han Bun berubah keras dan matanya mengeluarkan sinar mencorong.
"Bagus, Lui Hong! Engkau datang hendak mengeroyok aku bersama isterimu? Majulah, aku tidak takut menghadapi pengeroyokan kalian berdua!"
"Lui Hong, engkau keparat! Dulu sudah menghinaku clan sekarang engkau berani mencampuri urusanku? Apakah ini berarti engkau menantangku?"
"Nona Can, harap jangan salah mengerti, aku... aku..."
Kata Lui Hong gugup.
"Tak usah banyak cakap. Sambutlah seranganku ini!"
Pek Giok yang memang sedang marah karena merasa penasaran sekali bahwa ia tidak mampu mengalahkan Han Bun, kini menumpahkan kemarahannya kepada Lui Hong dan menyerangnya dengan hebat.
"Tranggg...!!"
Bunga api berpijar ketika dua batang pedang bertemu dan keduanya terkejut. Lui Hong terkejut ketika merasa betapa tangannya tergetar menandakan bahwa tenaga sakti gadis itu kini luar biasa kuatnya. Di lain pihak Pek Giok juga terkejut karena tak disangkanya kini Lui Hong demikian kuatnya. la menyerang lagi dengan bertubi-tubi, akan tetapi perlu diketahui bahwa kini Lui Hong telah menguasai ilmu pedang yang amat luar biasa, yaitu Thian-To Kiam-Sut.
Selain itu, memang Lu Hong memiliki keunggulan dalam ilmu pedang, mengingat betapa Gurunya yang pertama adalah Sin-Kiam Kai-Ong (Raja Pengemis Pedang Sakti) kemudian Gurunya yang kedua adalah Thai Kek Lojin Maka, ketika Pek Giok menyerangnya secara cepat dan bertubi-tubi, dia dapat melindungi dirinya dengan baik. Sementara itu, Han Bun masih berdiri tertegun. Pek Giok memaki dan menyerang Lui Hong dan pemuda itu menyebutnya Nona Can! lni berarti bahwa mereka berdua bukan suami-isteri! Disamping keheranannya, ada rasa gembira dalam hatinya lalu disusul rasa khawatir melihat betapa sinar pedang hijau dari Pek Giok kini saling libat dengan gulungan sinar pedang biru yang tidak kalah lihainya. Cepat dia menggerakkan pedangnya dan melompat ke tengah diantara mereka, melerai seperti yang dilakukan Lui Hong ketika melerai pertandingan antara dia dan Pek Giok tadi.
"Trang-cringg...!"
Bunga api berpijar dan terdengar seruan Han Bun.
"Harap kalian menahan senjata dulu!"
Lui Hong melompat ke belakang dan Pek Giok tidak mengejarnya.
"Maafkan aku, Nona Can, sungguh aku tidak ingin bertanding denganmu. Kalau aku tadi melerai perkelahian Nona melawan Saudara Song Han Bun, karena aku melihat bahwa hal itu sama sekali tidak benar dan tentang kematian Can-Kauwsu dan Song-Kauwsu perlu kita bicarakan dengan tenang untuk dicari siapa pembunuhnya."
Han Bun menganggukkan kepalanya dan berkata.
"Saudara Lui Hong, engkau benar, bicaralah dan kemukakan pendapatmu."
Setelah mereka bertiga menyimpan dan menyarungkan kembali pedang mereka, Lui Hong menghadap ke arah Nyonya Can dan menjura dengan hormat.
"Harap Subo sudi memaafkan saya yang lancang mencampuri urusan ini."
Nyonya Can tidak menjawab, hanya mengangguk karena hatinya masih terguncang karena ketegangan ketika menyaksikan perkelahian mati-matian antara puterinya dan Song Han Bun tadi. Lui Hong lalu berkata kepada Pek Giok dan Han Bun.
"Nona Can Pek Giok dan Saudara Song Han Bun, aku baru saja pulang ke rumah orang-tuaku dan mendengar akan kematian Suhu Can Gi Sun dan juga kematian Song-Kauwsu. Aku telah mendengar tentang permusuhan yang kembali timbul antara keluarga Can dan keluarga Song akibat dari peristiwa terbunuhnya Can-Kauwsu dan Song-Kauwsu. Mendengar bahwa keluarga Can-Kauwsu melakukan upacara sembahyang di sini, maka aku segera menyusul untuk ikut bersembahyang. Dan melihat kalian berdua bertanding, terpaksa aku melerai karena apa yang kalian lakukan itu sungguh keliru sama sekali."
Dahulu, Han Bun mempunyai perasaan tidak suka kepada Lui Hong yang menjadi sebab kegagalan perjodohannya dengan Pek Giok yang sudah ditunangkan dengan pemuda itu. Akan tetapi melihat sikap Lui Hong yang jelas membuktikan bahwa dia sama sekali tidak menjadi suami Pek Giok, sudah menghapus rasa tidak sukanya itu. Mendengar ucapan Lui Hong, dia lalu bertanya.
"Saudara Lui Hong, apa alasannya engkau mengatakan bahwa kami keliru?"
Pek Giok yang masih mendendam karena ia anggap Lui Hong menolaknya dan memutuskan perjodohan sepihak itu ia anggap menghina keluarganya, membentak.
"Lui Hong, kalau engkau lupa bahwa mendiang Ayahku adalah Guru Ayahmu dan engkau tidak mau membela kematian Ayahku, pergilah dan jangan banyak cakap, atau kau boleh saja memihak keluarga Song dan mengeroyok aku!"
Lui Hong memandang dengan muka pucat, lalu berubah merah dan dia menjura kepada Pek Giok.
"Maaf, Nona Can, sama sekali aku tidak memihak. Sejak dulu aku sudah merasa senang sekali melihat bahwa permusuhan antara keluarga Can dan keluarga Song telah dihentikan. Dari Ayah aku telah mendengar akan penyerangan yang dilakukan Pek-Bin Giam-Lo tiga tahun yang lalu terhadap keluarga Can dan keluarga Song. Maka, mendengar bahwa Can-Kauwsu dan Song-Kauwsu tewas terbunuh orang sebulan yang lalu, kukira kalian berdua terlalu terburu nafsu dan keliru kalau saling menuduh. Aku mengenal baik watak Can-Kauwsu sebagai seorang pendekar gagah perkasa. Saudara Song Han Bun, aku yakin bahwa bukan Can-Kauwsu yang membunuh Song-Kauwsu. Can-Kauwsu bukan orang yang sudi melakukan penyerangan secara curang. Kalau dia ingin bertanding, tentu dia akan melakukan tantangan dan bertanding dengan adil dan gagah, bukan malam-malam datang membunuh orang dalam kamarnya lalu pergi tanpa meninggalkan bekas! Jelas, bukan Can-Kauwsu yang membunuh Song-Kauwsu. Kemudian, pada keesokan harinya, Can-Kauwsu terbunuh orang di dalam hutan. Nona Can, aku pikir bahwa bukan pihak Song-Kauwsu yang membunuh Ayahmu, karena para muridnya tidak mungkin dapat menandingi Can-Kauwsu. Maka, menurut pendapatku, pembunuhnya sudah pasti Pek-Bin Giam-Lo atau temannya. Aku mendengar bahwa dulu nyaris Pek-Bin Giam-Lo membunuh kalian berdua untuk membalas kematian Bu-Eng-Kwi Tok Liong Taisu. Bagaimana menurut pendapat kalian berdua?"
Memburu Iblis Karya Sriwidjono Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo