Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 18


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 18



Sejak tadi, Pek Giok dan Han Bun mendengarkan ucapan Lui Hong yang panjang lebar itu dan diam-diam mereka baru teringat akan kemungkinan besar seperti yang diucapkan Lui Hong itu. Pek-Bin Giam-Lo itulah satu-satunya orang yang patut dicurigai! Dulu, Datuk sesat itu juga menyerang kedua keluarga namun gagal. Sangat boleh jadi dia kini mengulangi lagi balas dendamnya dan kegagalannya tiga tahun yang lalu. Karena tidak menemukan Pek Giok dan Han Bun, maka dia membalas dendam dengan membunuh Ayah dua orang muda yang membunuh muridnya itu. Pek Giok memandang Han Bun dan kebetulan pemuda itu juga sedang memandang. Dua pasang mata bertemu pandang dan sejenak saling melekat. Pek Giok mengalihkan pandang matanya lebih dulu dan ia berkata geram.

   "Si jahanam busuk Pek-Bin Giam-Lo! Engkau benar, Lui Hong. Pasti dia yang melakukan pembunuhan terhadap Ayahku! Aku tahu di mana Datuk sesat jahanam itu dan aku akan memaksanya mengaku lalu membunuhnya untuk membalas kematian Ayahku!"

   Setelah berkata demikian, tanpa menoleh lagi kepada Han Bun, Pek Giok mengajak Ibunya kembali ke makam Ayahnya, melanjutkan persembahyangan yang tadi terganggu. Para murid mengikutinya dan Lui Hong berdiri berhadapan dengan Han Bun. Han Bun tak dapat lagi menahati keinginan tahunya, maka dia lalu berkata,

   "Saudara Lui Hong, aku merasa heran sekali. Bukankah dahulu, tiga tahun yang lalu, engkau adalah tunangan Pek Giok? Bagaimana sampai sekarang kalian belum menikah dan tampak asing satu sama lain?"

   Lui Hong tersenyum dan menjawab.

   "Memang benar, Ayahku dan mendiang Can-Kauwsu bersepakat untuk menjodohkan aku dan Nona Can Pek Giok. Akan tetapi, ketika aku mengetahui bahwa ada hubungan batin penuh cinta kasih antara Nona Can dan engkau, aku tahu bahwa kalau aku melanjutkan perjodohan itu, kelak aku dan Nona Can tidak, akan dapat hidup berbahagia. Maka, aku lalu menyatakan putus tali perjodohan tiga tahun yang lalu. Keluarga Can dan juga orang-tuaku marah, maka aku terpaksa meninggalkan Sung-Kian dan pergi merantau. Baru tadi aku pulang ke rumah orang-tuaku."

   Han Bun merasa terkejut dan terharu. Dia menjulurkan tangannya dan disambut Lui Hong. Mereka berjabatan tangan.

   "Aih, maafkan aku saudara Lui Hong. Ketika lantaran Ayahku untuk menjodohkan aku dan Pek Giok ditolak Can-Kauwsu karena ia telah ditunangkan denganmu, terus terang saja aku merasa tidak suka padamu. Kuanggap engkau telah merebut gadis yang kukasihi. Akan tetapi ternyata dugaanku keliru. Engkau adalah seorang yang bijaksana, bahkan mengalah kepadaku dengan mengorbankan diri sehingga mendapatkan kemarahan dari orang-tuamu dan dari keluarga Can. Maafkan aku dan terima kasih atas kebaikanmu itu."

   "Ah, engkau terlalu memujiku, Saudara Song Han Bun. Aku memutuskan tali perjodohan itu demi kebahagiaan Nona Can dan kebahagiaanku sendiri. Kami ditunangkan atas kehendak orang-tua dan walaupun antara kami baik namun tidak terdapat rasa cinta. Nona Can Pek Giok mencintamu, Saudara Han Bun, dan aku sendiri telah jatuh cinta kepada seorang gadis lain."

   Sampai di sini Lui Hong teringat kepada Li Sian Hwa dan hatinya terasa nyeri seperti disayat teringat bahwa Sian Hwa telah ditunangkan dengan Leng Sui yang ternyata adalah seorang Pangeran Kerajaan Cin. Tentu saja dia merasa sedih sekali, membayangkan bahwa kekasihnya itu kini tentu telah menjadi isteri Pangeran itu. Melihat betapa wajah Lui Hong tampak muram, Han Bun lalu mengalihkan percakapan.

   "Saudara Lui Hong, ketika tadi engkau melerai kami, kulihat gerakan dan tenagamu dahsyat sekali. Dibandingkan tiga tahun lalu, ilmu kepandaianmu telah meningkat dengan hebat!"

   Lui Hong tersenyum.

   "Pertanyaan yang sama sebetulnya ingin kutanyakan kepadamu dan kepada Nona Can, Saudara Song. Kulihat ketika engkau bertanding melawan Nona Can, kepadaian kalian berdua juga dahsyat dan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kepandaian kalian berdua tiga tahun yang lalu. Terus terang saja, selama tiga tahun ini aku menerima petunjuk dari Suhu Thai Kek Lojin."

   "Aih, pantas engkau menjadi demikian hebat. Aku sudah mendengar tentang Lo-Cianpwe Thai Kek Lojin yang sakti seperti dewa. Engkau bahagla sekali menjadi murid orang sakti itu, Saudara Lui Hong."

   "Dan engkau sendiri, dari mana engkau memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat itu, Saudara Han Bun?"

   Melihat Lui Hong bersikap terbuka kepadanya, Han Bun lalu mengaku terus terang.

   "Akupun selama tiga tahun ini mendapatkan bimbingan dari Suhu Khong-Sim Sin-Kai."

   Kini Lui Hong yang terkejut dan dia menatap Han Bun dengan penuh kagum.

   "Wah, engkau sungguh beruntung sekali, Saudara Han Bun! Suhu Thai Kek Lojin pernah menyebut nama Locianpwe Khong-Sim Sin-Kai sebagai seorang suci yang selain arif bijaksana juga menguasai ilmu yang tak dapat diukur tingginya! Yang masih belum kuketahui, dari mana Nona Can kini dapat memiliki ilmu yang amat hebat itu?"

   "Entahlah, aku sendiri juga belum tahu. Bagaimana aku dapat bicara dengannya kalau begitu bertemu ia menyerangku mati-matian?"

   Han Bun menghela napas panjang. Biarpun dia merasa lega dan girang bahwa ternyata Pek GioI tidak menikah dan masih belum terikat dengan orang lain, namun dia merasa sedih karena gadis itu tetap saja memusuhinya, bahkan tadi berniat sungguh-sungguh untuk membunuhnya! Agaknya Lui Hong dapat membaca pikiran Han Bun ketika pemuda itu menghela napas panjang dan nampak bersedih.

   "Ah, Saudara Han Bun, harap jangan putus asa dan bersedih. Kalau tadi Nona Can menyerangmu mati-matian adalah karena dikuasai kedukaan dan dendam atas kematian Ayahnya. Akan tetapi sekarang setelah ia insaf, kuyakin ia tidak lagi marah kepadamu. Biar aku yang nanti menemuinya dan meyakinkan hatinya bahwa engkau tidak memusuhi keluarganya dan sama sekali tidak membunuh Ayahnya."

   "Sudahlah, Saudara Lui Hong, engkau sudah berbuat terlalu banyak untuk kami sehingga engkau dimarahi orang-tuamu_ dan keluarga Can. Tadi pun aku melihat engkau diserang oleh Pek Giok yang marah kepadamu."

   "Tidak mengapa, Saudara Han Bun. Aku akan menjelaskan kepadanya tentang pemutusan hubungan dariku pula, tahu bahwa ia mencintamu dan aku hanya ingin melihat kalian rukun kembali dan melanjutkan atau menyambung kembali tali percintaan kalian yang terputus karena aku."

   Han Bun merasa senang akan tetapi juga tidak enak mendengar ucapan Lui Hong itu, maka dia mengalihkan percakapan.

   "Saudara Lui Hong, setelah kau ingatkan, aku pun setuju bahwa besar kemungkinannya bahwa yang membunuh Ayahku dan Ayah Pek Giok adalah Pek-Bin Giam-Lo atau teman-temannya karena memang hanya dialah yang mempunyai dendam terhadap aku dan Pek Giok. Pek Giok tadi mengatakan bahwa ia mengetahui di mana adanya Datuk sesat itu. Aku yakin bahwa Pek Giok tentu akan segera pergi mencarinya dan Datuk sesat itu berbahaya sekali karena dia menguasai banyak macam ilmu hitam dan sihir. Tahukah engkau di mana Datuk sesat itu berada?"

   Lui Hong menjawab.

   "Pek-Bin Giam-Lo adalah seorang Datuk sesat yang datangdari barat. Aku pernah mendengar bahwa dia seorang keturunan Bangsa Turki dan ahli ilmu hitam dan sihir, akan tetapi tidak tahu dia tinggal di mana karena dia jarang muncul di dunia persilatan. Akan tetapi pernah aku mendengar bahwa dia mendukung Kerajaan Cin. untuk mendapatkan keterangan lebih jelas dapat dicari di Kotaraja Hang-Chouw."

   "Kenapa di sana dan bukan langsung dicari di utara, di Kotaraja Kerajaan Cin?"

   "Kerajaan Sung di Hang-Chouw kini dipengaruhi Perdana Menteri Chin Kui yang mengadakan hubungan baik dengan Kerajaan Cin, maka di Hang-Chouw kita pasti akan dapat memperoleh keterangan tentang Pek-Bin Giam-Lo."

   "Hemm, begitukah? Kalau begitu, aku akan mencari keterangan di sana. Nah, sekali lagi terima kasih, Lui Hong, aku merasa senang sekali dapat bicara denganmu. Selamat berpisah, aku akar segera berangkat ke Hang-Chouw."

   Han Bun memberi hormat dan Lui Hong segera membalas penghormatan.

   "Selamat jalan, Han Bun, semoga engkau berhasil."

   Dua prang pemuda itu lalu berpisah. Biarpun perasaan hatinya tegang karena khawatir diterima dengan kemarahan oleh keluarga Can, Lui Hong nekat berkunjung ke rumah Can Pek Giok. Hatinya merasa semakin gentar ketika kebetulan Nyonya Can yang berada dl ruangan depan. Wanita yang masih cantik, anggun dan tampak keBangsawanannya itu mengerutkan alis dan menyambut Lui Hong dengan suara tajam.

   "Mau apa engkau datang ke sini? Apakah hendak menghina kami lagi?"

   Dengan sedih Lui Hong cepat memberi hormat, merangkapkan kedua tangan di depan dada dan membungkuk sampai dalam, lalu berkata.

   "Mohnn maaf atas kelancangan saya datang berkunjung. Saya sama sekali tidak bermaksud buruk, saya hanya ingin bertemu dengan Nona Can Pek Glok untuk menjelaskan sesuatu yang amat pentIng."

   "Kaml sekeluarga tIdak ada urusan denganmu. Pergilah!"

   Nyonya Can berseru marah. Pada saat itu Pek Giok muncul dan la segera bertanya.

   "Ibu, ada apakah?"

   Lalu ia melihat Lui Hong dan dengan alis berkerut menegurnya.

   "Hemm, engkau? Mau apa engkau datang ke situ?"

   "Maaf, Nona, saya datang dengan niat baik, untuk menjelaskan semua kesalah pahaman antara kita. Saya hanya mohon agar Nona sudi mendengarkan penjelasan ku Ini."

   "Tidak ada yang perlu dijeluakan lagi, Pergilah!"

   Kata Nyonya Can dengan marah. Ia merasa sakit hati karena pertunangan puterinya dengan pemuda yang ia dan mendiang suaminya pilih itu diputuskan secara sepihak oleh Lui Hong dan hal ini ia terima sebagai penghinaan.

   "Biarlah, Ibu. Biar dia mengatakan apa yang hendak dljelaskan. Nah, Lui Hong. Kau hendak bicara tentang apa? Awas kalau kata-katamu mendatangkan kemarahan Ibu, engkau terpaksa akan kami usir dengan kasar!"

   Lui Hong memandang kepada Nyonya Can, lau bertanya perlahan.

   "Bolehkah saya bicara berdua saja denganmu, Nona Pek Giok?"

   Dia khawatir kalau Nyonya Can marah bila mendengar apa yang hendak dia katakan karena hal itu menyangkut urusan dia, Pek Giok dan Han Bun.

   "Kau bicaralah, Ibu bahkan harus ikut mendengarkan!"

   Kata Pek Giok. Lui Hong menghela napas panjang.

   "Baiklah kalau begitu, akan tetapi sebelumnya harap dimaafkan kalau keterangan saya yang sebenarnya ini akan menimbulkan ketidaksenangan."

   "Bicaralah!"

   Pek Giok menjadi tidak sabar karena kini ia ingin sekali mendengar apa yang akan diceritakan pemuda itu. Setelah mengumpulkan ketenangan Lui Hong berkata.

   "Dahulu, tiga tahun yang lalu, saya memutuskan tali perjodohan antara kita, Nona dan saya tahu bahwa hal itu mendatangkan kemarahan besar, bukan hanya pada orang-tua saya, melainkan juga kepada keluarga Can. Saya lakukan hal itu dengan sengaja demi kebaikan kita berdua. Nona juga mengetahui bahwa perjodohan antara kita itu atas kehendak orang-tua kita. Saya menurut saja ketika itu karena saya tidak berani menolak. Padahal, terus terang saja, ketika itu saya telah mempunyai hubungan cinta kasih dengan seorang gadis lain. Kemudian, setelah saya ketahui bahwa terdapat perasaan cinta antara Nona dan Saudara Song Han Bu saya tahu bahwa kalau perjodohan antara kita dilanjutkan, hal itu tidak akan membahagiakan kita berdua. Maka, saya lalu nekat mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Jadi, saya memutuskan tali perjodohan itu bukan karena saya menolak dan menghina, melainkan semata-mata demi kebahagiaan kita berdua. Saya tahu benar bahwa Saudara Song Han Bun satu-satunya pemuda yang pantas untuk menjadi suamimu, Nona Can Pek Giok. Nah, saya sudah mangeluarkan semua suara hati saya, terserah. kepada Nona menerima dan menanggapinya."

   Lui Hong menghentikan kata-katanya dan ketika dia memandang gadis itu, dia menjadi terharu karena kedua mata Pek Giok menjadi basah! Melihat ini, dia segera menjura dan berkata lirih.

   "Maafkan saya, Nona..."

   Pek Giok menggigit bibirnya, berkata lirih pula.

   "Kau tidak bersalah..."

   Melihat keadaan itu, setelah dengar pengakuan Lui Hong tadi, Nyonya Can sudah tanggap. la lalu memberi isarat kepada Lui Hong untuk pergi.

   "Tinggalkan kami..."

   Katanya. Lui Hong memberi hormat lagi lalu dia keluar dari ruangan itu dan langsung balik ke rumah Lui Siong, Ayahnya.

   Kepada Ayah dan Ibunya dia sudah ceritakan akan semua itu dan Ayah-Ibunya tidak marah lagi kepadanya, bahkan diam-diam mereka merasa bangga bahwa putera mereka telah mengambil tindakan bijaksana itu. Tidak lama kemudian, baik Pek Giok maupun Lui Hong sudah meninggalkan Sung-Kian. Lui Hong pergi ke Hang-Chouw untuk melihat keadaan wanita yang dicintanya, yaitu Li Sian Hwa yang mungkin kini telah menjadi isteri Leng Sui, Pangeran Bangsa Cin itu. Adapun Pek Giok tentu saja ingin mencari Pek-Bin Giam-Lo yang telah ia ketahui tempat tinggalnya, seperti yang dikatakan Gurunya, yaitu di An-keng sebelah utara Sungai Yang-Ce. Dara itu mencari Pek-Bin Giam-Lo bukan semata untuk menyelidiki siapa pembunuh Ayahnya, akan tetapi juga untuk membalas dendam karena ia pernah dilukai dan nyaris tewas oleh Raja Maut Muka Putih itu.

   Karena Kaisar Kerajaan Sung selalu menuruti politik Perdana Menteri Chin Kui yang amat dipercayainya, maka segala keputusan yang menyangkut politik pemerintahannya dikendalikan oleh Menteri Chin Kui. Dengan alasan untuk mengamankan Negara, Chin Kui melakukan hubungan persahabatan, bukan hanya dengan Kerajaan Cin yang menguasai Cina bagian utara dengan sungai Yang-Ce sebagai tapal batas dengan Kerajaan Sung yang berada di sebelah selatan sungai, akan tetapi mulai mengadakan hubungan dengan Bangsa Mongol, walaupun tidak secara resmi. Kaisar Kerajaan Sung hanya menyetujui saja, bahkan tidak keberatan ketika Menteri Chin Kui minta persetujuan masuknya seorang Pangeran Bangsa Mongol ke Kotaraja sebagai wakil Kerajaan Mongol.

   Tokoh Mongol yang mengaku sebagai Pangeran itu bernama Baduchin, seorang laki-laki bertubuh tinggi besar bermuka merah. Muka yang bentuknya segi empat itu, dengan sepasang mata yang sipit dan sinarnya tajam, tampak gagah dan jantan. Pangeran Baduchin ini resminya saja sebagai wakil Pemerintah Mongol di sebelah utara Tembok Besar, namun sesungguhnya diam-diam dia menjadi pimpinan jaringan mata-mata yan disebar oleh Pemerintah Mongol ke wilayah Kerajaan Cin dan Kerajaan Sung. Baduchin tinggal di sebuah rumah gedung di pinggir Kotaraja Hang-Chouw dan dia memiliki dua belas orang yang disebut pembantu-pembantunya mengurus rumah tangga, padahal sebetulnya mereka adalah pengawal-pengawalnya. Selain dua belas orang pembantu pria, dia juga mempunyai tiga orang pembantu wanita.

   Semua pembantunya ini tinggal di dalam gedung itu. Pada suatu pagi, Pangeran Baduchin menunggang kuda, diiringkan lima orang pengawalnya yang juga menunggang kuda. Mereka keluar dari pintu gerbang Kotaraja sebelah barat lalu menuju ke sebuah hutan yang letaknya sekitar lima belas li (mil) dari Kotaraja. Hutan ini merupakan hutan lindung tempat para kerabat Istana melakukan perburuan dan Pangeran Baduchin mendapat ijin khusus untuk berburu di sana. Rakyat biasa jangan harap dapat berburu di hutan itu karena mereka terancam hukuman berat. Karena Pangeran Baduchin memegang surat ijin khusus dari Perdana Menteri Chin Kui, maka para penjaga gerbang itu tidak ada yang berani mengganggunya. Rombongan berkuda sebanyak enam orang itu lalu membalapkan kuda menuju ke hutan lindung milik Istana itu.

   Sebetulnya Baduchin yang membawa perlengkapan berburu binatang seperti panah, tali, dan pedang itu mempunyai maksud lain. Seperti biasa dia menggunakan hutan itu untuk mengadakan pertemuan dengan para anak buahnya yang bertugas sebagai mata-mata di Kotaraja Sung. Kalau dia mengadakan pertemuan di gedungnya, dia khawatir akan menimbulkan kecurigaan karena walaupun Chin Kui merupakan jaminan bagi keamanannya di Hang-Chouw sehingga pemerintah tidak memusuhinya, dia tahu bahwa golongan pendekar patriot tidak suka akan kehadiran wakil pemerintah Bangsa Mongol di situ. Bahkan sudah beberapa kali ada seorang pendekar hendak membunuhnya, namun dia yang memiliki ilmu silat lumayan dan selalu dikawaI para jagoannya, dapat menyelamatkan diri.

   Para pendekar patriot itu tidak berani menyerangnya di tempat umum, karena perbuatan mereka itu pasti ditentang pemerintah dan dia akan ditangkap sebagai seorang penjahat. Hutan itu sepi. Karena merupakan hutan lindung, maka jarang sekali ada orang berani memasukinya karena khawatir disangka berburu binatang dan dihukum berat karena hutan itu milik Istana. Apalagi hari itu masih pagi. Ketika enam orang berkuda itu mulai memasuki hutan, binatang-binatang hutan itu seperti kijang, kelinci, dan lain-lain yang memang banyak terdapat di hutan itu karena sengaja diisi oleh para petugas, berlarian menyembunyikan diri. Sebetulnya mereka merupakan sasaran yang mudah, akan tetapi Baduchin dan lima orang pengawalnya tidak berusalia menyerang karena memang mereka tidak ingin berburu.

   Mereka menuju ke tengah hutan di mana terdapat sebuah lapangan rumput dan di situ terdapat sebuah bangunan tanpa dinding yang biasanya dipakai untuk beristirahat rombongan Bangsawan Istana yang melakukan perburuan di hutan itu. Pagi itu Baduchin mempunyai acara penting, yaitu menyambut dan berbincang dengan dua orang mata-mata yang penting karena mereka berdua adalah utusan Pemerintah Mongol yang hendak membicarakan urusan penting dengannya. Setelah tiba di depan bangunan mungil itu, mereka berloncatan turun dari atas kuda mereka. Baduchin mendahului mereka memasuki bangunan itu, akan tetapi melihat di situ sepi saja tidak tampak seorang pun manusia, dia merasa heran dan penasaran. Mengapa dua orang utusan Mongol itu belum berada di situ? Seharusnya mereka datang lebih dulu, bahkan menurut berita yang dia terima, dua orang itu melewatkan malam tadi di tempat itu.

   "Kalian berpencar, cari mereka, mungkin bersemburiyi tak jauh dari sini"

   Perintahnya. Pangeran Baduchin itu lalu duduk di atas bangku panjang yang banyak terdapat di dalam bangunan terbuku tanpa dinding itu. Lima orang pembantunya berpencar mencari dua orang utusan dari Pemerintah Mongol itu.

   "Hei!! Mereka di sini!!"

   Seorang di antara mereka berteriak ketika dia tiba di tepi lapangan rumput yang tebal. Empat orang temannya lalu berlari cepat menghampirinya dan mereka berlima melihat dengan mata terbelalak, lalu mereka berjongkok untuk memeriksa dua orang Mongol tinggi besar yang menggeletak di situ, tertutup rumput tebal dan mereka berdua sudah tewas dengan mandi darah! Agaknya belum lama mereka itu mati terbunuh. Tiba-tiba terdengar gerakan orang dan lima orang pengawal Mongol itu cepat berloncatan bangkit pada saat tiga orang yang tiba-tiba muncul sudah menyerang mereka dengan hebat! Tiga orang itu bukan lain adalah Beng-Kauw Sam-Liong (Tiga Naga Beng-Kauw),

   Bhe Kun yang berusia lima puluh satu tahun, tinggi besar dan mukanya penuh brewok, memegang siang-to (sepasang golok) sebagai orang pertama. Kedua adalah Cu Kok berusia empat puluh delapan tahun bertubuh sedang dan mukanya bopeng (bekas cacar), memegang Siang-Kiam (Sepasang pedang). Orang ketiga adalah Cu Lok berusia empat puluh tiga tahun wajahnya tampan dan tubuhnya sedang dengan senjata Siang-Kiam pula. Mereka adalah tokoh-tokoh Beng-Kauw dan merupakan murid-murid kelas satu dari Siangkoan Hok ketua Beng-Kauw. Tentu saja tingkat kepandaian mereka sudah cukup tinggi. Akan tetapi serangan mendadak mereka itu dapat dihindarkan oleh lima orang pengawal Mongol yang memiliki gerakan cukup gesit. Mereka bahkan marah sekali karena tanpa bertanya un mereka maklum bahwa tiga orang inilah yang telah membunuh dua orang utusanMongol.

   "Mata-mata Mongol busuk, kalian harus dibasmi habis!"

   Bentak Bhe Kun yang bersama dua orang adik seperguruannya sudah menyerang lagi. Akan tetapi kini lima orang Mongol itu sudah siap dan mereka sudah memegang senjata pedang Mongol yang bentuknya agak bengkok dan lebih lebar daripada pedang biasa. Mereka berlima tidak perlu banyak cakap karena mereka tahu bahwa mereka tentu berhadapan dengan tiga orang pendekar yang mengaku sebagai patriot dan yang membenci orang-orang suku lain yang dianggap pengacau dan penjajah. Terjadilah perkelahian yang seru antara lima orang pengawal Mongol ini dan tiga orang tokoh Beng-Kauw.

   Akan tetapi, biarpun lima orang Mongol itu cukup tangkas, menghadapi tiga orang Bang-Kauw Sam-Liong, mereka terdesak. Terutama sekali Bhe Kun yang memainkan sepasang goloknya dengan amat ganas, cepat dan kuat, membuat dua orang yang mengeroyoknya kewalahan. Pada saat itu muncullah Pangeran Baduchin. Tadi dia mendengar suara senjata beradu dan ketika dia keluar dari pondok dan mencari-cari, dia melihat betapa lima orang pengawalnya sedang berkelahi dengan seru melawan tiga orang yang gerakannya dahsyat Baduchin menjadi marah dan cepat dia mencabut pedangnya lalu lari menghampiri dan tanpa banyak cakap lagi dia menyerang Bhe Kun yang dillhatnya merupakan Iawan yang paling tangguh. Melihat Baduchin yang bertubuh tinggi besar itu menyerang dengan pedang yang besar dan agak melengkung, BheKun menangkis dengan golok kirinya.

   "Singg... tranggg...!!"

   Baduchin terdorong saking kuatnya golok itu menangkis pedangnya. Bhe Kun balas menyerang dan Baduchin juga menangkis. Dua orang yang sama tinggi besar itu saling serang dengan dahsyat. Kini Cu Kok don Cu Lok harus menghadapi pengeroyokan lima orang jagoan Mongol itu dan mereka segera terdesak hebat. Akan tetapi mereka melawan mati-matian sehingga terjadl pertempuran yang amat ramai dan seru.

   Cu Kok dan Cu Lok adalah tokoh-tokoh Beng-Kauw dan sebagai orang Beng-Kauw yang sudah memiliki tingkat cukup tinggi, tentu saja mereka juga mahir menggunakan senjata beracun. Melihat betapa lima orang Mongol itu amat tangguh, keduanya lalu saling memberi isarat. Pada saat itu mereka berdua dalam kepungan lima orang Mongol yang membentuk barisan segi lima dan menyerang sambil mengubah kedudukan. Gerakan ini mirip dengan ilmu barisan Ngo-Heng-Tin (Barisan Lima Unsur) yang sifatnya saling menunjang. Pada saat itu, tiba-tiba kedua saudara Cu dari Beng-Kauw itu menjatuhkan diri bergulingan dan dari tangan kiri mereka meluncur sinar-sinar hitam yang menuju ke arah tubuh lima orang Mongol. Itulah Hek-Tok-Ting (Paku Racun Hitam), senjata rahasia mereka yang amat berbahaya bagi lawan.

   "Auhh... auughh...!" terdengar jeritan dua kali dan dua orang dari lima pengawal Mongol itu roboh dengan muka berubah hitam dan tewas seketika karena masing-masing terkena paku hitam yang menancap dalam-dalam di leher mereka! Akan tetapi pada saat yang hampir bersamaan, tiga orang pengawal Mongol yang lain sudah mengirim serangan yang dahsyat kepada dua orang tokoh Beng-Kauw. Pada saat itu memang perhatian dua orang bersaudara ini terpecah ketika menyerang dengan paku hitam mereka, maka mereka tidak mampu menghindar atau menangkis dengan baik. Sebuah bacokan mengenai pundak kiri Cu Kok dan sebuah tusukan pedang mengenai paha kanan Cu Lok! Dua orang tokoh Beng-Kauw itu menggigit bibir, melompat bangkit dan mereka tidak mempedulikan luka-luka di tubuh mereka, lalu mengamuk menghadapi pengeroyokan tiga orang, pengawal Mongol!

   Akan tetapi tentu saja mereka berdua terdesak hebat karena luka mereka membuat mereka tidak leluasa bergerak. Melihat bahwa melawan mengandalkan sepasang pedangnya tidak menguntungkan dan membahayakan, Cu Lok bertindak nekat. Dia melontarkan sepasang pedangnya kepada dua orang pengeroyok, dan ketika seorang pengeroyok roboh dan pengeroyok ke dua menyarangkan pedangnya di dada Cu Lok, tokoh Beng-Kauw atau orang termuda dari Beng-Kauw Sam-Liong ini yang tangan kirinya sudah menggenggam beberapa batang paku lalu melontarkannya kepada penyerangnya dari jarak dekat. Maka robohlah mereka berdua dan tewas seketika! Kini tinggal Cu Kok seorang yang masih melawan mati-matian seorang pengawal Mongol. Sebetulnya, tingkat kepandaian silat Cu Kok masih lebih unggul.

   Dia masih menang dalam hal kecepatan gerakan atau kekuatan tenaga. Akan tetapi ka-rena pundak kirinya sudah luka terbacok, bahkan tulang pundaknya retak, tangan kiri lumpuh dan dia hanya menggunakan sebatang pedang kanan, maka tentu saja keadaan menjadi terbalik dan dia malah yang terdesak oleh jago Mongol yang menggunakan pedangnya yang besar dan berat. Tiba-tiba kaki yang besar dan panjang dari orang Mongol itu mencuat dan sebuah tendangan mengenai paha Cu Kok sehingga dia roboh terjengkang! Pada saat itu, pengawal Mongol yang merasa gembira telah merobohkan lawan segtera menubruk dan membacokkan pedangnya ke arah leher Cu Kok. Akan tetapi Cu Kok dengan sisa tenaganya masih sempat menusukkan pedangnya ke arah dada Iawan yang menubruknya!

   "Crakk... Cepp...!"

   Dua batang pedang itu dengan berbareng menemui sasarannya. Leher Cu Kok terbacok hampir putus, akan tetapi pedang tokoh BDeng-Kauw ini pun memasuki dada tokoh Mongol itu sampai tembus ke punggungnya! Mayat orang Mongol itupun roboh dan menindih mayat Cu Kok, keduanya tewas dengan berlepotan darah mereka berdua! Melihat dua orang Sutenya (adik seperguruannya) tewas, Bhe Kun terkejut, sedih, dan marah sekali. Dia memperhebat serangannya sehingga Pangeran Baduchin terdesak hebat.

   "Jahanam kau orang Mongol, bersiaplah untuk mampus! Akan kucincang tubuhmu sampai hancur untuk membalas kematian dua Suteku!"

   Kata Bhe Kun yang memperhebat serangannya.

   "Tranggg...!"

   Ketika Baduchin menangkis dengan pedangnya yang besar, pertemuan pedang dengan golok kanan Bhe Kun membuat tangan Baduchin tergetar dan pada saat itu golok kiri Bhe Kun menyambar ke arah tangan orang Mongol Itu yang memegang pedangnya.

   "Aughhh...!"

   Baduchin terpakca melepaskan pedangnya dan pergelangan tangannya terluka sehingga terasa pedih dan panas. Pada saat itu, sepasang golok Bhe Kun menyambar dan Baduchin sudah merasa tidak berdaya, mencoba untuk mengelak ke sana-sini. Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Pangeran Mongol itu, tiba-tiba berkelebat bayangan dan sinar putih bagaikan kilat menyambar ke arah Bhe Kun. Robohlah orang pertama dari Beng-Kauw Sam-Liong ini dengan dada terluka tusukan pedang bersinar putih. Dia roboh telentang, sepasang goloknya terlepas dan tangannya mendekap Luka di dadanya. Matanya terbelalak memandang bayangan itu dan dia sempat berseru.

   "Tapi... tapi kenapa...?"

   Bayangan itu menggerakkan tangan kirinya seperti mendorong dengan telapak tangan. Tampak sinar seperti kilat dan tubuh Bhe Kun terkulai dan tewas seketika. Bagian lehernya yang disambar sinar berkilat itu hangus seperti disambar petir! Pangeran Baduchin memandang dengan bengong saking kagumnya. Dia tahu bahwa gadis cantik jelita yang berdiri di depannya itu telah menyelamatkan nyawanya, maka tentu saja dia merasa girang dan juga kagum. Dia segera maju menghampiri dan mengamati wanita cantik itu dengan penuh perhatian. Gadis yang bertubuh tinggi ramping dan padat itu memang amat cantik. Rambutnya hitam subur dan digelung ke atas, dihias setangkai bunga merah.

   Mukanya bulat telur, putih kemerahan, matanya yang tidak terlalu sipit, sinarnya tajam dan jernih, kerlingnya memikat. Hidungnya kecil mancung agak ke atas bagian ujungnya seperti menantang, mulutnya memiliki daya tarik yang menggairahkan seperti matanya, dengan sepasang bibir yang kulitnya tipis lembut dan merah lagi penuh seolah akan berdarah kalau tergores sedikit saja, saat itu ia tersenyum dan tampak kilatan gigi putih rapi sehingga Pangeran Baduchin terpesona. Gadis itu tampak masih muda sekali namun pandang matanya penuh pengertian dan tampak cerdik. Tadi ia menyerang lawannya dengan pedang bersinar putih berkilat akan tetapi sekarang pedang itu tidak tampak. Baduchin diam-diam mencari dan merasa heran karena dia tidak tahu bahwa pedang yang amat tipis itu kini telah kembali dipakai sebagai sabuk oleh wanita itu! Siangkoan Ceng, gadis itu tersenyum.

   "Pangeran, mengapa paduka hanya memandang saja? Apakah bantuanku tadi tidak ada artinya bagi Paduka?"

   Baduchin semakin heran sehingga dia membelalakkan matanya yang sipit, lalu tertawa, membungkuk sebagai penghormatan dan dia berkata dengan suara heran.

   "Nona yang cantik jelita dan gagah perkasa, tentu saja aku merasa berterima kasih sekali atas bantuanmu sehingga nyawaku yang nyaris tewas ini tertolong. Akan tetapi, bagaimana engkau tahu bahwa aku adalah Pangeran Baduchin? Siapakah engkau, Nona, dan kita tidak saling mengenal, mengapa engkau menolongku dan membunuh lawanku?"

   Siangkoan Ceng, atau Ceng Ceng, memperlebar senyumnya sehingga tampak manis sekali.

   "

   Pangeran Baduchin, apa sih sukarnya untuk mengetahui bahwa Paduka adalah Pangeran Baduchin, wakil Pemerintah Mongol yang jaya? Saya bernama Siangkoan Ceng atau biasa disebut Ceng Ceng saja. Melihat Paduka terancam bahaya, maka tentu saja saya tidak bisa tinggal diam."

   "Ah, sekali lagi terima kasih, Nona Ceng Ceng. Siapakah tiga orang lihai yang menyerang kami dan bahkan telah membunuh lima orang pengawalku itu?"

   Dia menunjuk ke arah mayat tiga Beng-Kauw Sam-Liong. Dengan sinar mata tak pedulian Ceng Ceng memandang mayat tiga orang Beng-Kauw itu dan menggelengkan kepalanya.

   "Saya tidak mengenal mereka, Pangeran. Sekarang banyak tokoh sesat dunia kang-ouw dan banyak di antara mereka memiliki ilmu silat yang tinggi tingkatnya. Maka, kalau Paduka tidak memiliki seorang pengawal yang betul-betul sakti, maka keselamatan Paduka sewaktu-waktu pasti terancam seperti peristiwa tadi."

   "Ah, engkau benar, Nona Ceng Ceng. Lima orang pengawalku itu sesungguhnya sudah memiliki tingkat yang cukup tinggi akan tetapi ternyata menghadapi dua orang pembunuh tadi, mereka semua tewas walaupun mereka dapat pula membunuh dua orang pengacau. Dan yang satu orang tadi sungguh aku merasa kewalahan melawannya. Dia sakti sehingga nyaris aku tewas pula."

   "Ah, mereka itu belum seberapa, Pangeran. Masih banyak pengacau yang lebih sakti lagi yang berkeliaran di dunia ini."

   "Ih, mengerikan sekali. Biarpun aku tidak merasa takut, namun lebih bijaksana kiranya kalau aku mempunyai seorang pengawal yang dapat diandalkan menjaga keselamatanku. Kalau engkau... eh, Nona Ceng, kenapa engkau membela seorang Mongol seperti aku? Bukankah engkau seorang gadis pribumi Han?"

   "Kalau saya gadis pribumi Han, mengapa, Pangeran? Saya bukan gadis bodoh dan saya dapat melihat masa depan. Saya tahu benar bahwa Bangsa Mongol sedang menuju kejayaannya, akan berkembang dan menjadi sebuah Kerajaan besar. Karena Itu, tentu saja saya mendukung mereka yang pada akhirnya akan mendapatkan kemenangan dan memegang kekuasaan."

   Bukan main senangnya hati Baduchin mendengar inl.

   "Kalau begitu, bagaimana kalau aku menawarkan pekerjaan sebagai pengawal pribadiku, Nona Ceng?"

   "Menjadi pengawal pribadi Paduka? Hal itu mudah saja, akan tetapi apa upahnya? Apa yang akan saya peroleh?"

   "Engkau tinggal di dalam gedungku dan memiliki kekuasaan di bawah kekuasaanku, para pembantuku akan tunduk dan taat kepadamu. Engkau boleh menentukan sendiri berapa gajimu dan engkau boleh memilih pakaian dan makanan kesukaanmu. Pendeknya, engkau akan hidup serba kecukupan, mewah, clan terhormat sebagai pengawal pribadiku."

   "Belum cukup, Pangeran. Aku mau menjadi pengawalmu dan bertanggung jawab atas keselamatanmu, akan tetapi hanya dengan janji bahwa kelak kalau Pemerintah Mongol sudah berkuasa, aku harus mendapatkan kedudukan yang tinggi."

   "Ha-ha-ha, mudah diatur, Nona Ceng Ceng. Aku sendiri yang akan minta kepada Raja agar engkau diberl kedudukan tinggi."

   Setelah memperoleh janji ini, Ceng Ceng merasa lega dan puas. la telah mengorbankan Beng-Kauw Sam-Liong untuk dapat mendekati dan memperoleh , kepercayaan Pangeran Baduchin. Seperti kita ketahui, Ceng Ceng pergi ke Hang-Chouw untuk mencari tahu tentang gerakan Bangsa Mongol yang menurut mendiang Tong Tong Lokwi, kelak akan menguasai seluruh Cina. Sebelum ke Hang-Chouw ia singgah di Beng-Kauw dan minta agar Beng-Kauw Sam-Liong juga pergi ke Hang-Chouw membantu ia melakukan penyelidikan. Akhirnya ia mendengar bahwa benar saja di Hang-Chouw terdapat wakil Pemerintah Mongol, yaitu Pangeran Baduchin. la lalu mendengar bahwa pagi itu Pangeran Baduchin hendak berburu.

   Bersama Beng-Kauw Sam-Liong ia mendahului pergi ke hutan itu dan di sana ia mendapatkan dua orang Mongol sedang duduk di dalam pondok tanpa dinding itu. Ceng Ceng menangkap mereka dan setelah mereka mengaku bahwa mereka utusan Pemerintah Mongol yang akan menemui Pangeran Baduchin ia lalu membunuh mereka dan menyuruh Beng-Kauw Sam-Liong membuang mayat dua orang Mongol itu. Kemudian mereka menunggu dan Ceng Ceng memerintahkan Sam-Liong untuk menyerang Pangeran Baduchin bersama lima orang pengawalnya. Setelah dua orang dari Sam-Liong tewas dan lima orang pengawal Mongol juga tewas, tinggal Baduchin sendiri yang melawan Bhe Kun, Ceng Ceng melihat saatnya tepat untuk turun tangan dan ia membunuh Bhe Kun tanpa memberi kesempatan orang pertama dari Beng-Kauw Sam-Liong ini untuk membuka rahasianya.

   Demikianlah, dengan siasat ini, mengorbankan tiga orang pembantu Ayahnya sendiri, Ceng Ceng berhasil memikat simpati Pangeran Baduchin yang tentu saja selain berterima kasih juga amat percaya kepadanya. Pangeran Baduchin lalu mengajak Ceng Ceng keluar dari hutan menunggang kuda dan di luar Kotaraja mereka menyuruh penduduk perkampungan luar Kotaraja untuk mengubur delapan jenazah itu dengan diberi hadiah delapan ekor kuda tunggangan mereka yang tewas. Di Kotaraja Pangeran Baduchin melaporkan kepada Chin Kui bahwa di dalam perjalanan berburu binatang di hutan, dia dan lima orang pengawalnya diserang gerombolan perampok. Lima orang pengawalnya tewas akan tetapi dia pun dapat membunuh tiga orang penjahat itu.

   Semua jenazah telah dikubur olehnya, menyuruh penduduk di luar Kotaraja. Pangeran Baduchin sama sekali tidak menceritakan tentang Ceng Ceng yang telah menolongnya. Akan tetapi setelah Ceng Ceng menjadi pengawal pribadinya, ke mana pun dia pergi Ceng Ceng tentu ikut mengawalnya. Maka dia memperkenalkan Ceng Ceng kepada para pembesar Kerajaan Sung, dari Perdana Menteri Chin Kui sampai para pembantunya. Karena Pangeran Baduchin sebagai sekutu Chin Kui dipercaya, maka dia pun sudah berkenalan dengan Pangeran Leng Sui dari Kerajaan Cin dan dalam kesempatan di mana keduanya sedang mengadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri Chin Kui, Pangeran Mongol dan Pangeran Yuchen (Cin) ini saling bertemu. Dengan sendirinya Ceng Ceng sebagai pengawal pribadi Pangeran Baduchin juga diperkenalkan kepada Pangeran Leng Sui.

   Sebetulnya Ceng Ceng telah jatuh cinta kepada Bu Beng, yaitu nama Song Han Bun ketika kehilangan ingatannya dan bertemu dengan gadis itu. Akan tetapi begitu bertemu dengan Pangeran Leng Sui yang masih muda, berpakaian indah, tampan dan sikapnya lembut menarik, usianya juga masih muda, baru dua puluh tujuh tahun, ia merasa tertarik sekali. Apalagi dalam pertemuan pertama saja Pangeran Leng Sui sudah memandangnya dengan sepasang mata penuh gairah berahi! Lebih-lebih lagi ketika mendengar bahwa pemuda tampan gagah itu juga seorang Pangeran, Pangeran Bangsa Yuchen yang mendirikan Kerajaan Cin di utara! Setelah menjadi pengawal dari Pangeran Baduchin selama beberapa buIan, Pangeran Mongol itu mulai memperlihatkan keinginannya untuk mempersunting Ceng Ceng!

   "Dalam beberapa bulan ini engkau telah berjasa besar, bukan hanya telah menyelamatkan aku dari ancaman maut, akan tetapi juga menjadi pengawal pribadiku yang setia dan dapat diandalkan Ceng Ceng, aku merasa bahwa hubungan antara kita amat dekat dan terus terang saja, aku telah jatuh cinta padamu. Aku masih belum memiliki seorang isteri maka kalau sekiranya engkau setuju, aku ingin mengangkatmu menjadi isteri. Mungkin dengan bantuanmu, kelak aku dapat menjadi Raja dari Bangsa Mongol dan engkau menjadi permaisurinya."

   Sebetulnya penawaran itu menarik hati Ceng Ceng. Bukankah dulu Tong Tong Lokwi telah meramalkan bahwa Bangsa Mongol akan menguasai seluruh negeri dan menjadi Kerajaan yang jaya? Akan tetapi ramalan itu tidak menyebutkan bahwa yang akan menjadi Rajanya adalah Baduchin! Bagaimana kalau bukan dia? Pula, dia tidak tertarik kepada Pangeran ini. Usianya emang juga belum tua, baru sekitar tiga puluh tahun, akan tetapi tubuhnya yang tinggi besar dan wajahnya yang segi empat itu sama sekali tidak menarik dan tidak dapat disebut tampan. Kalah jauh kalau dibandingkan dengan Pangeran Leng Sui atau dengan Bu Beng! Pangeran Leng Sui memang sudah mempunyai isteri dan beberapa orang selir, akan tetapi apa sukarnya mengenyahkan mereka semua dan merebut kedudukan sebagai isteri pertama?

   (Lanjut ke Jilid 18)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18

   Maka, dengan senyum mengikat dan kerling mata seolah ia merasa malu-malu mendengar pinangan Pangeran Baduchin, Ceng Ceng menjawab dengan lembut.

   "Pangeran, saya telah membuat jasa dan akan membantu Paduka, tentu saja dengan harapan kelak akan mendapatkan imbalan yang sesuai dengan jasa saya. Akan tetapi, saya tidak mau mengorbankan diriku untuk sesuatu yang belum pasti. Kalau cita-cita Paduka menjadi Raja itu kelak terkabul, barulah saya akan mau menerima pinangan Paduka. Akan tetapi sekarang, saya ingin melihat dulu apakah Paduka akan berhasil. Kalau tidak, berarti pengorbanan saya sia-sia belaka. Karena itu, sebelum Paduka berhasil menjadi Raja, harap jangan bicarakan tentang pinangan itu dulu."

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ucapan gadis cantik jelita dan sakti itu lembut, namun Pangeran Baduchin dapat menangkap kepastian sikap gadis itu. Tidak akan menguntungkan kalau dia terlalu mendesak seolah memaksa, maka dia menghela napas panjang dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Baiklah, Ceng Ceng, aku akan sabar menanti sampai cita-citaku terkabul kelak."

   Demikianlah, hubungan antara Pangeran Baduchin dan Ceng Ceng berjalan biasa.

   Ceng Ceng selalu waspada menjaga keselamatan Pangeran Baduchin. Kamarnya dalam gedung itupun bersebelahan dengan kamar Baduchin sehingga kalau terjadi sesuatu, ia akan mendengarnya dan melindunginya. Tentu saja untuk melengkapi regu pengawalnya yang mati lima orang itu, Baduchin mendatangkan lagi sepuluh orang jagoan dari Mongol. Selama Para pengawal yang kini jumlahnya tujuh belas orang itu, Baduchin juga mempunyai tiga orang pembantu wanita yang masih muda dan wajahnya cantik karena para pembantu wanita ini pun bertugas melayaninya sebagai selir. Mereka semua adalah Bangsa Mongol dan selain mereka, ada pula seorang pembantu pria setengah tua berBangsa pribumi Han yang bekerja sebagai tukang kebun, mengurus dan membersihkan bagian di luar gedung.

   Tukang kebun yang dipanggil A Sam ini juga tidak bermalam di gedung itu, melainkan kalau senja pulang ke rumahnya sendiri di perkampungan belakang gedung Baduchin dan setiap pagi sekali dia sudah datang bekerja di luar gedung. Beberapa pekan kemudian sejak Pangeran Leng Sui bertemu untuk ke tiga kalinya dengan Ceng Ceng yang mengawal Baduchin, pada suatu pagi ketika A Sam memasuki halaman gedung tempat Pangeran Baduchin sambil memanggul cangkul, dia melihat Ceng Ceng pagi itu sudah bangun dan bahkan sudah mandi, sedang duduk di taman kiri bangunan. Agaknya memang gadis sedang menunggu kedatangan A Sam karena begitu melihat tukang kebun setengah tua itu, ia melambaikan tangan memanggil. A Sam menghampiri dan Ceng Ceng segera bertanya lirih.

   "Ada kabar dari Pangeran Leng Sui?"

   Kiranya dalam pertemuan terakhir, Pangeran Leng Sui mendapat kesempatan bicara dengan Ceng Ceng dan mengatakan bahwa dia akan menghubungi gadis itu melalui tukang kebun A Sam yang bekerja pada Pangeran Baduchin. Tentu saja Pangeran Leng Sui sudah menyogok A Sam dengan banyak uang sehingga A Sam menjadi semacam penyelidik di rumah Pangeran Mongol itu untuk kepentingan Pangeran Kin!

   A Sam mengangguk dan dia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kain merah dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada Ceng Ceng tanpa bicara apa pun. Setelah menyerahkan bungkusan kain merah kecil, dia pun bergegas pergi dan segera bekerja membersihkan halaman seperti biasa. Dengan hati berdebar tegang Ceng Ceng membawa bungkusan itu ke dalam kamarnya. Ketika bungkusan kain merah, dibuka, ia tersenyum dan sepasang matanya bersinar-sinar. Bungkusan itu berisi sebuah hiasan rambut berbentuk burung Hong yang terbuat dari emas dengan ukirannya indah sekali, matanya dari batu intan. la segera memasang hiasan rambut itu di sanggulnya, lalu membuka lipatan surat yang berada pula dalam bungkusan.

   Nona Siangkoan Ceng yang secant bidadari!

   Bagaimana kalau saya mengundang Nona untuk pesiar bersamaku dalam perahuku di Telaga Barat? Kalau setuju katakanlah kepada A Sam dan besok pagi setelah matahari terbit saya menunggumu di tepi telaga.

   Yang memujamu, Pangeran Leng Sui.

   Ceng Ceng merasa girang sekali Agar tidak ada yang mengetahui ia menggenggam surat itu, diremasnya sehingga hancur menjadi tepung dan membuangnya keluar jendela kamarnya. Kemudian ia segera pergi menghadap Pangeran Baduchin yang berada di ruangan dalam gedung itu. Pangeran Baduchin sedang menghadapi sarapan pagi dan melihat Ceng Ceng dia segera menyambut dengan gembira.

   "Ah, kau Ceng Ceng, mari duduk dan sarapan bersamaku!"

   Ceng Ceng duduk dan berkata manis.

   "Terima kasih, Pangeran, saya sudah sarapan tadi. Saya ingin minta ijin kepada Paduka, Pangeran."

   "Ijin? Ijin apakah?"

   Dan ia melihat hiasan rambut itu. Biasanya, Ceng Ceng hanya memakai hiasan rambut setangkai bunga merah di kepala bagian kiri, kini di bagian kanan rambut kepala yang hitam subur itu terdapat sebuah hiasan rambut burung Hong t-mas yang indah sekali.

   "Eh, dari mana kau dapatkan hiasan rambutmu yang indah itu, Ceng Ceng?"

   Ceng Ceng menyentuh hiasan itu dengan jari tangan kanannya lalu menjawab.

   "Ah, ini adalah hiasan rambut lama yang selalu kusimpan, pemberian mendiang Ibu saya, Pangeran."

   "O, begitu? Kenapa tidak pernah kau pakai?"

   "Sekarang saya pakai, Pangeran."

   "Bagus sekali, serasi untukmu. Nah, sekarang apa yang kau maksud ijin dariku itu?"

   "Pangeran, saya sudah mendengar akan keindahan Telaga Barat di luar Kotaraja. Saya ingin minta waktu sehari besok untuk pesiar di telaga itu."

   "Aha, aku sampai lupa membawamu pesiar ke telaga! Baiklah, besok kau akan kuantar ke sana, kita pesiar naik perahu!"

   "Terima kasih, Pangeran. Akan tetapi saya ingin sekali pergi sendiri. Saya ingin bebas tugas untuk sehari saja. Saya ingin pergi sendiri, harap Paduka suka mengijinkan. Paduka di rumah saja, terjaga oleh para pengawal."

   Pangeran Baduchin mengangguk-angguk, akan tetapi dia mengerutkan alisnya, tanda hatinya tak senang. Memang dia selalu merasa kecewa karena Ceng Ceng tidak pernah mau berdekatan dengannya, tidak pernah mau bersenang-senang dengannya. Sikap gadis itu kaku, hanya siap sebagai pengawal dan pelindung saja.

   "Baiklah, besok engkau boleh bebas sehari."

   "Terima kasih, Pangeran!"

   Ceng Ceng memberi senyuman manis sekali sehingga perasaan kecewa Pangeran Mongol itu mereda.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ceng Ceng sudah keluar dari halaman gedung tempat tinggal Pangeran Baduchin. Ia mengenakan pakaian baru dari sutera tipis dan halus berwarna biru dan kuning, rambutnya digelung ke atas, di sebelah kiri terhias setangkai bunga merah dan di sebelah kanan terhias burung Hong emas bermata intan. Sabuknya yang putih itu hanya tampak biasa saja, akan tetapi sesungguhnya itu adalah sabuk yang terisi Pek-Coa-Kiam, pedang pusakanya yang ampuh itu. Setelah tiba di tepi telaga, dari jauh ia sudah melihat Pangeran Leng Sui dengan pakaian yang mewah dan indah, tampan dan gagah, melambaikan tangan sambil tersenyum kepadanya.

   Dengan langkah gontai, seperti langkah seekor kuda, pinggulnya yang bulat penuh itu bergoyang-goyang seperti menari, pinggangnya yang ramping itu seperti ombak terayun ke kanan kiri, wajahnya yang cantik berseri-seri, sepasang bibir merah basah itu sedikit terbuka memperlihatkan deretan gigi putih rapi seperti mutiara, anak rambut di dahi dan pelipis melingkar dan bergerak tertiup angin, Ceng Ceng menghampiri Pangeran Kin itu. Setelah dekat, tidak seperti biasanya kalau mereka bertemu dengan resmi mereka saling memberi salam hormat dengan mengangkat kedua tangan, dirangkap di depan dada, kini Pangeran Leng Sul menjulurkan kedua tangannya, menangkap kedua tangan Ceng Ceng. Bukan main girang rasa hati Pangeran itu ketika dia merasa betapa kedua tangan yang halus dan hangat itu menyerah saja, sama sekali tidak menarik lepas dari genggamannya!

   "Marilah, Nona, kapal kita sudah menunggu!"

   Pangeran Leng Sui menudingkan telunjuknya ke sebuah perahu besar yang berlabuh di pinggir telaga. Perahu yang indah sekali, catnya masih baru, berwarna kuning dan layarnya berwarna merah mencolok. Di atas dek, berjajar belasan orang yang menjadi anak buah perahu, berpakaian seragam, berdiri dengan hormat ketika Pangeran Leng Sui dan Ceng Ceng naik tangga memasuki perahu. Langsung saja Pangeran Leng Sui mengajak Ceng Ceng masuk ke sebuah ruangan di tengah perahu dan di sana sudah terdapat sebuah meja yang bundar,

   Dua buah kursi diletakkan berdampingan setelah mereka duduk berjajar, beberapa orang pelayan segera datang membawa masakan dalam mangkok-mangkok besar. Masakan yang masih panas, mengepulkan asap yang amat sedap sehingga Ceng Ceng yang memang pagi itu belum sarapan, merasa betapa perutnya tiba-tiba menjadi lapar sekal!l Tanpa banyak basa-basi lagi, mereka lalu makan minum dan karena pandainya Pangeran Leng Sui merayu, juga karena memang hati Ceng Ceng sedang gembira dan ia juga tertarik sekali kepada Pangeran Bangsa Yuchen yang tampan dan pandai merayu itu, Ceng Ceng minum arak lebih banyak dari biasanya. Mukanya mulai menjadi merah sehingga dalam penglihatan Pangeran Leng Sui, ia tampak luar biasa cantik dan menggairahkan! Sebetulnya, Ceng Ceng tidak mungkin dapat menjadi mabok hanya oleh minum arak saja.

   Sinkang (tenaga sakti) dalam tubuhnya sudah terlalu kuat dan ia mampu menyalurkan hawa arak itu keluar melalui pori-pori tubuhnya dengan desakan sinkangnya. Akan tetapi karena hatinya gembira sekali, mukanya menjadi merah dan ia membiarkan dirinya terseret kegembiraannya sehingga sikapnya terlepas seperti orang setengah mabok. Karena mengira bahwa Ceng Ceng berada dalam keadaan setengah mabok, Pangeran Leng Sui tentu saja lebih berani. Setelah mereka makan minum dengan sikap mesra, terkadang Pangeran itu menyuguhkan sepotong daging dengan sumpitnya yang langsung didekatkan ke mulut Ceng Ceng dan gadis itu menggigit daging lalu mengunyahnya, dan sebaliknya Ceng Ceng juga berani menyuguhkan arak dengan cawannya sendiri untuk diminum Pangeran itu, Pangeran Leng Sui memegang tangan Ceng Ceng dan berkata,

   "Nona..."

   "Aih, Pangeran, rasanya janggal kalau menyebut saya nona. Nama saya biasa disebut Ceng Ceng."

   "Ha-ha-ha, bagus. Sekarang aku akan menyebutmu Ceng-moi (Dinda Ceng), akan tetapi engkau juga jangan menyebut aku Pangeran."

   "Habis bagaimana?"

   "Karena aku menyebutmu Adinda engkau juga harus menyebut aku Kakanda!"

   "Baiklah, Kakanda Pangeran."

   Kata Ceng Ceng sambil mengerling tajam dan sepasang bibir merah itu berkembang menjadi senyuman manis yang menimbulkan lesung manis di pipi kirinya, membuat Leng Sui menjadi semakin terpesona. Setelah meja dibersihkan, mereka mengobrol dengan asyiknya.

   "Ceng-moi, engkau she Siangkoan. Aku pernah mendengar akan nama besar Siangkoan Hok, Ketua Beng-Kauw. Apakah hubungannya denganmu?"

   Ceng Ceng tersenyum menggoda.

   "Paduka ingin mengetahui, Kakanda Pangeran? Lebih dulu saya ingin mengetahui bagaimana kesanmu terhadap Beng-Kauw?"

   "Beng-Kauw? Ah, baik, Beng-Kauw adalah perkumpulan orang gagah yang tidak mau tunduk begitu saja kepada penguasa yang lalim, maka Pemerintah Kerajaan Sung menganggapnya sebagai perkumpulan pemberontak."

   "Kalau begitu pendapat Paduka, saya akan membuat pengakuan. Siangkoan Hok itu adalah Ayah kandung saya."

   "Ah, bagus sekali. Pantas engkau diberi tugas sebagai pengawal pribadi Pangeran Baduchin dari Mongol itu! Tentu ilmu silatmu tinggi sekali!"

   "Hemm, dibandingkan dengan ilmu silat Paduka, agaknya saya masih harus banyak belajar."

   Senang hati Pangeran Leng Sui mendengar ini.

   "Akan tetapi aku merasa heran sekali, Ceng-moi. Mengapa seorang puteri Ketua Beng-Kauw yang cantik jelita dan lihai seperti engkau ini dapat menjadi pengawal pribadi Baduchin Itu?"

   "Betum lama ini kebetulan saya melihat Pangeran Baduchin terancam bahaya maut di tangan penjahat yang mungkin hendak merampoknya. Melihat ini saya lalu membantunya dan berhasil membunuh penjahat itu. Pangeran Baduchin berterima kasih dan mengangkat saya menjadi pengawal pribadinya."

   "Dan engkau mau menerimanya. Mengapa? Bukankah sebagai puteri Beng-Kauw derajatmu sudah tInggi dan engkau tentu tidak membutuhkan pekerjaan dan upah?"

   "Ah, saya hanya ingin mencari pengalaman, Kakanda Pangeran. Karena saya pikir hubungan Pangeran Baduchin tentu luas sekali, maka saya menerima pekerjaan itu. Dan buktinya saya mengenal banyak pembesar dan Bangsawan tinggi, termasuk Paduka!"

   Pangeran Leng Sui termenung sejenak, agaknya merasa ragu untuk mengajukan pertanyaan berikutnya, hanya menatap wajah Ceng Ceng dengan sinar mata tidak menyembunyikan rasa kagum dan gairahnya.

   "Kakanda Pangeran, mengapa engkau memandang saya seperti Ini? Apa yang hendak Paduka katakan?"

   Tanya Ceng Ceng sambil menjebikan bibirnya, menantang.

   "Kau... kau cantik jelita sekali, Ceng-moi. Apakah Pangeran Baduchin bermata buta tidak melihat kecantikanmu dan apakah dia tidak mencoba untuk merayumu?"

   Wajah Ceng Ceng berubah kemerahan dan hal ini memang sengaja ia Iakukan. Muduh saja baginya untuk mengalirkan darah Iebih banyak ke mukanya. Ia tersenyum malu-malu buatan dan berkata.

   "Ah, sebenarnya dia pernah mencoba untuk merayu saya, bahkan meminang saya untuk menjadi isterinya."

   "Hemm,"

   Pangeran Leng Sui menatap tajam wajah gadis itu.

   "Dan engkau tentu menerimanya?"

   "Aih, tidak sama sekali, Kakanda Pangeran! Saya menolaknya dan saya katakan kalau dia berani bicara tentang itu lagi, saya akan meninggalkannya dan keluar dari pekerjaan saya!"

   "Luar biasa sekali! Akan tetapi kenapa engkau menolaknya, Ceng-moi? Bukankah dia itu seorang Pangeran Bangsa Mongol yang masih muda dan gagah perkasa? Kenapa engkau menolaknya?"

   "Ah, saya tidak suka padanya, Kakanda Pangeran. Orangnya kasar dan mukanya bengis, jelek dan... pendeknya saya tidak suka."

   Leng Sui tertawa.

   "Begitukah engkau menilainya? Bagaimana kalau aku, Ceng-moi? Bagaimana engkau menilai diriku?"

   Ceng Ceng mengamati muka Pangeran Itu, lalu dengan sikap manja ia menjawab.

   "Kalau Paduka... orangnyakan lembut, sopan, dan tampan."

   "Dan engkau suka?"

   Ceng Ceng mengangguk malu-malu.

   "Tentu saja saya suka..."

   "Ha, kalau begitu, bagaimana kalau aku yang meminangmu untuk menjadi isteriku?"

   "Aih, Kakanda Pangeran Leng Sui, jangan main-main, ah!"

   "Siapa yang main-main, Adinda Siangkoan Ceng? Aku sungguh-sungguh, aku... aku telah jatuh cinta padamu! Bagaimana tanggapanmu terhadap pinanganku Ceng-moi?"

   Ceng Ceng dengan gaya manja menggelengkan kepalanya sambil tersenyum simpul.

   "Sekali lagi saya harap Paduka jangan main-main, Kakanda Pangeran!"

   "Apa maksudmu dengan menganggap aku main-main?"

   "Habis, Paduka sudah mempunyai isteri dan selir-selir, bagaimana akan meminang saya menjadi isteri Paduka? Saya malu bertemu dengan isteri dan selir-selir Paduka, dan saya sudah bertekad untuk menolak menjadi selir orang, biar dia itu Kaisar sekalipun!"

   "isteriku? huh, aku benci perempuan itu. la tidak mencintaku, la mencinta laki-laki lain. Kalau engkau mau menjadi isteriku dan tinggal di gedungku, aku akan memulangkan isteriku itu bersama anaknya ke rumah orang-tuanya! Aku sudah muak dengannya, dan kalau engkau tidak mau di madu, aku akan pulangkan semua selirku. Bagaimana, engkau mau menerima pinanganku? Ceng-moi, engkau jadilah isteriku dan aku berjanji akan menyayangmu selamanya dan siapa tahu, kelak aku dapat menjadi Kaisar Kerajaan Cin dan engkau menjadi permaisuriku!"

   Tentu saja girang sekali hati Ceng Ceng mendengar ucapan ini. Akan tetapi ia bukan gadis bodoh. Hubungan yang akan dilakukannya dengan Pangeran Leng Sui, walaupun ia juga tertarik dan terangsang nafsunya akan ketampanan dan kepandaian merayunya, namun ia anggap sebagai jual-beli yangtentu berpamrih agar ia mendapatkan keuntungan. Ia akan membeli dengan penyerahan dirinya, akan tetapi mendapatkan kemuliaan sebagai isteri sah seorang Pangeran yang kelak mungkin menjadi Kaisar! Dalam jual-beli ini, ia tidak akan menyerahkan pembayarannya sebelum mendapatkan apa yang dibelinya.

   "Saya... saya menerimanya dengan senang hati dan berbahagia sekali, Kakanda Pangeran!"

   Dengan gembira Leng Sui menjulurkan kedua lengannya merangkul Ceng Ceng, akan tetapi ketika dia hendak menciumnya, Ceng Ceng menolak dan sekali renggut, ia sudah melepaskan diri dari pelukan itu, lalu bangkit dan mundur menjauhkan diri. Akan tetapi wajahnya berseri dan senyumnya amat manis. Pangeran Leng Sui juga bangkit berdiri dan memandang heran.

   "Kenapa engkau menolak, sedangkan ucapanmu menerima, Ceng-moi? Sebetulnya engkau mau menerima pinanganku ataukah tidak?"

   "Aku terima dengan hati bahagia sekali, Kakanda Pangeran. Akan tetapi harap jangan tergesa-gesa. Saya bukan seorang wanita murahan yang menyerahkan diri begitu saja, walaupun hati saya amat menginginkannya. Saya adalah seorang gadis yang dapat menjaga kehormatan. Harap Paduka buktikan dulu janji Paduka, yaitu menyingkirkan isteri dan semua selir Paduka. Kalau sudah terbukti, barulah saya akan menerima pinangan itu dan Paduka merayakan pernikahan kita sebagaimana mestinya."

   

Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Memburu Iblis Karya Sriwidjono Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini