Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 19


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 19



Leng Sui tertawa dan dia merasa senang dan bangga. Calon isterinya ini masih perawan dan selain cantik jelita, dia percaya tentu memiliki kepandaian silat tinggi sehingga dipercaya Pangeran Baduchin sebagai pengawal pribadi. Kalau Ceng Ceng tidak lihai sekali, tidak mungkin Baduchin mengambilnya sebagai, pengawal pribadi karena dia tahu banyak jagoan Mongol yang tinggi ilmunya.

   "Baiklah, Ceng-moi. Aku akan menahan diri, tidak akan menggaulimu sebelum kita menikah. Akan tetapi pernikahan itu tidak mungkin dilakukan di sini, harus dilakukan di wilayah Kerajaan Cin di utara."

   "Begitupun baik, Kakanda Pangeran."

   "Kita tidak akan berhubungan sebagai suami-isteri sebelum menikah, akan tetapi kuharap engkau tidak akan menolak kalau sekadar bercumbuan, bukankah kita saling mencinta dan kita anggap saja telah bertunangan?"

   Ceng Ceng tersenyum dan mengerling genit. Melihat senyum dan kerling mata ini, Leng Sui menghampiri dan memeluknya. Kini Ceng Ceng tidak menolak dan membalas ketika laki-laki itu mencium dan mencumbunya. Demikianlah, kedua orang ini tenggelam ke dalam buaian nafsu mereka, namun Ceng Ceng yang cerdik itu tetap menjaga diri. Mereka bahkan pindah ke dalam kamar satu-satunya di perahu itu. Ketika Leng Sui hampir tidak tahan, Ceng Ceng lalu meronta lepas dan menggoda.

   "Kalau Kakanda Pangeran mampu menangkap saya, barulah saya akan menyerah!"

   Tentu saja Leng Sui menjadi girang sekali dan dia berusaha mengejar dan menubruk.

   Namun, biarpun dia telah mengeluarkan semua kepandaiannya, dia tidak mampu menyentuh ujung baju Ceng Ceng satu kalipun! Bahkan semakin dikejar, gerakan Ceng Ceng semakin cepat, bahkan terkadang gadis itu hilang dari pandangannya! Ceng Ceng memang hendak membuktikan kesaktiannya kepada Pangeran itu, agar dapat ia tundukkan dan kelak akan menuruti segala kehendaknya. Maka ia mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang ia pelajari dari med-iang Tong Tong Lokwi. Leng Sui terkejut bukan main dan terpaksa menghentikan pengejarannya dengan terengah-engah, bukan hanya terengah karena lelah namun juga karena tubuhnya seperti terbakar oleh nafsu berahi yang tak tersalurkan. Dia memandang Ceng Ceng yang juga sudah tidak bergerak, dan melihat betapa gadis itu sama sekali tidak tampak letih, masih segar dan tersenyum menggoda.

   "Ceng-moi, bukan main cepatnya gerakanmu! Dan tadi engkau hilang..., apakah engkau memiliki ilmu menghilang?"

   "Saya menguasai beberapa ilmu, cukup untuk menjaga diri dan menjaga keselamatan Paduka,"

   Leng Sui memandang penuh kagum. Baru sekarang dia melihat bukti kehebatan gadis yang membuatnya tergila-gila ini. Dia merasa berutung sekali, mendapatkan calon isteri yang tingkat kepandaiannya bahkan jauh melampainya! Akan tetapi dia masih belum puas. Dia masih ingin mengujinya, apakah benar-benar Ceng Ceng sakti dan tangguh.

   "Ceng Ceng, mari kita ke ruangan dalam yang lebih luas. Aku ingin sekali mellhat kemampuanmu bertanding silat. Aku sendiri yang akan mengujimu!"

   Ceng Ceng memang ingin memamerkan kepandaiannya. Hal ini penting untuk membuat hati Pangeran ini benar-benar tunduk kepadanya sehingga kelak mudah ia kuasai. Maka ia mengangguk dan mereka keluar dari kamar, memasuki ruangan dalam perahu Itu dan menutupkan pintunya, setelah menyuruh anak buahnya menyingkirkan dan membawa keluar meja dan kursi dari ruangan itu. Kini ruangan itu cukup lega untuk dipakai bertanding silat.

   "Awas Ceng-moi, ilmu silatku cukup tangguh, engkau harus dapat menjaga diri dengan baik,"

   Kata Leng Sui sambil memasang kuda-kuda dengan kedua lutut di tekuk dan kedua tangan di kanan kiri pinggang. Sikapnya gagah sekali karena dia pun hendak memamerkan kepandaian silatnya kepada gadls itu.

   "Kakanda Pangeran, saya memberi kesempatan kepadamu untuk menyerang saya sebanyak dua puluh jurus. Kalau saya sampai tersentuh sekali saja, saya mengaku kalah. Kalau dalam dua puluh jurus Paduka belum berhasil menyentuh saya, saya akan membalas serangan dengan satu jurus saja. Bagaimana?"

   Leng Sui terkejut dan mengerutkan alisnya.

   "Ceng-moi, bukankah ucapanmu itu terlalu sombong? ingat, bahkan para pengawal Istana Kerajaan Cin saja tidak akan mudah mengalahkan aku!"

   "Kita lihat saja buktinya, Kakanda!"

   Leng Sui merasa penasaran, akan tetapi juga ingin sekali melihat buktinya. Kalau benar terjadi seperti apa yang dikatakan Ceng Ceng, maka berarti gadis itu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!

   "Bersiaplah, Ceng-moi, aku mulai menyerangmu!"

   Katanya dan dengan cepat sekali dia menubruk. Sekali ini Ceng Ceng tidak mau menggunakan kecepatan gerakannya yang disertai ilmu sihir sehingga tubuhnya dapat lenyap lagi, melainkan ia menggunakan elakan cepat dan terkadang menangkis dari samping. Jurus demi jurus lewat dan benar saja, kedua tangan Leng Sui tidak pernah dapat mengenai sasaran. Bahkan Leng Sui juga menggunakan beberapa kali tendangan untuk membuyarkan pertahanan Ceng Ceng, namun semuanya itu sia-sia sampai akhirnya Ceng Ceng menghitung jurus terakhir yang ke dua puluh.

   "Sekarang sambut satu jurus balasanku, Kakanda!"

   Seru gadis itu. Leng Sui yang sudah kagum bukan main cepat mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk berjaga diri agar mampu menolak satu jurus serangan balasan Ceng Ceng. Akan tetapi dia hanya melihat sinar kilat menyambar ke arah pundaknya dan tahu-tahu seluruh tubuhnya menjadi kaku tak dapat dia gerakkan! Selagi dia terkejut dia mendengar suara Ceng Ceng.

   "Maaf, Kakanda Pangeran!"

   Dan jari tangan gadis itu menotok pundaknya sehingga totokan pertama yang menggunakan Tian-Ciang (Tangan Halilintar) tadi buyar dan dia dapat bergerak kembali! Kini Leng Sui berdiri bengong, seolah tidak percaya apa yang baru saja terjadi.

   "Ceng-moi, kau... kau... hebat sekali!"

   Dia berseru gembira dan takjub.

   "Agar Paduka dapat percaya benar, sekarang harap Paduka menguji saya dengan pedang Paduka itu, Kakanda!"

   Ceng Ceng mulai menyombongkan diri untuk memancing kekaguman yang lebih besar dan tentu saja agar pangecan itu kelak benar-benar tunduk dan tidak berani menyia-nyiakan dirinya.

   "Apa?"

   Leng Sui berseru.

   "Pedangku ini adalah pedang pusaka Hek-Iiong-Kiam (Pedang Naga Hitam) yang amat ampuh. Tergores sedikit saja oleh pedangku sudah cukup membunuh orang!"

   "Cabutlah dan coba serang saya, Kakanda. Saya tidak akan merusak pedang pusaka Paduka. Mari kita bermain pedang, dan seperti tadi, Paduka boleh menyerang saya selama dua puluh jurus dan saya lalu membalas serangan satu jurus saja. Serang dengan sungguh-sungguh, pedangmu tidak akan dapat melukai saya, Kakanda!"

   Karena ia mulai percaya akan kesaktian gadis itu, Leng Sui tidak ragu lagi. Dengan gembira dia mencabut pedangnya dan tampak sinar hitam mengerikan ketika Pedang Naga Hitam tercabut. Ceng Ceng sambil tersenyum lalu melolos Pek-Coa-Kiam (Pedang Ular Putih) yang melilit Pinggangnya dalam sabuk kulit putih dan ketika ia memegang gagang pedang itu dengan tangan kanan, tampak pedang putih itu tergetar seperti hidup di tangannya.

   "Saya sudah siap, Kakanda Pangeran"

   Leng Sui memandang ragu.

   "Adinda Siangkoan Ceng, pedangmu begitu tipis dan ringan, bagaimana kalau sampai rusak atau patah oleh pedangku ini?"

   "Pedangku tidak akan rusak, juga pedang Paduka tidak akan saya rusak, Kakanda. Mulailah!"

   "Awas serangan!"

   Leng Sui yang menjadi gembira menyerang dan dia tidak membatasi serangannya karena dia yakin akan kemampuan tunangannya itu.

   Dia mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh dan berbahaya. Akan tetapi gulungan sinar hitam pedangnya itu tertahan oleh gulungan sinar putih yang gerakannya gesit bukan main. Pedang Naga Hitam itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mendesak, bahkan sebelum pedang bertemu pedang, ada hawa yang kuat membuat pedang hitam tergetar atau terkadang bahkan terpental. Kalau kedua pedang sempat bertemu, terdengar suara nyaring, bunga api berpijar menyilaukan mata dan Leng Sui merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat! Akan tetapi dia melanjutkan serangannya secara bertubi dan susul menyusul, dahsyat sekali. Ceng Ceng dengan tenang menghindarkan diri dari semua serangan itu sambil menghitung jumlah serangan. Setelah genap dua puluh, ia berseru.

   "Sekarang sambut balasan saya satu kali serangan, Kakanda!"

   Leng Sui mengerahkan tenaga untuk bertahan. Ketika ada sinar putih menyambar dari samping, cepat seperti sinar, dia tidak keburu mengelak dan dengan pengerahan tenaga sekuatnya dia menangkis sambaran sinar putih itu.

   "Plakk!"

   Pedang hitam itu menempel pada pedang tipis putih dan sebelum Leng Sui sempat hilang kagetnya, tiba-tiba saja pedang hitamnya seperti terbang dengan kekuatan dahsyat sehingga terlepas dari genggamannya! Ternyata pedang itu terbawa menempel pedang putih dan kini telah berada di tangan kiri Ceng Ceng. Sambil tersenyum Ceng Ceng menyerahkan kembali Hek-Liong-Kiam itu kepada Pangeran Leng Sui. Dengan mata terbelalak penuh kagum Leng Sui menerima pedangnya dan menyarungkannya kembali, sedangkan Ceng Ceng juga mengenakan pedang itu sebagai sabuk di ikat pinggangnya.

   "Bukan main! Engkau sakti seperti Dewi! Guruku sendiri belum tentu dapat menandingimu, Ceng-moi!"

   Kata Leng Sui `Ialu dia merangkul Ceng Ceng.

   "Sungguh berbahagia dan bangga sekali hatiku, dapat memperoleh seorang tunangan sepertimu! Mahkota Permaisuri Kaisar memang pantas sekali bagimu!"

   Akan tetapi Ceng Ceng melepaskan rangkulan Leng Sui. Ia memang ingin mulai menundukkan Pangeran itu agar menghormatinya dan menganggap ia sebagai atasannya yang patut ditaati.

   "Jangan lupa, Kakanda Pangeran. Sebelum engkau memenuhi janji-janji Paduka kepada saya untuk memulangkan semua isteri dan selirmu, selanjut menikahi saya dengan resmi, kita tetap hanya sebagai calon jodoh yang tidak boleh melakukan pelanggaran susila karena saya adalah seorang gadis yang dapat mempertahankan dan menjaga kehormatan saya!"

   Leng Sui melangkah mundur dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Jangan khawatir, Ceng-moi, aku pasti tidak akan melanggar janjiku!"

   Mereka bersenang-senang di perahu sampai siang. Kemudian setelah mereka berpisah, Ceng Ceng langsung pulang ke gedung Pangeran Baduchin, sedangkan Pangeran Leng Sui pulang ke gedungnya. Pada hari itu juga dia menyuruh isterinya, Li Sian Hwa, pulang ke rumah Jaksa Li Koan bersama Leng Bu San, puteranya yang baru berusia satu tahun.

   "Karena antara kita sudah tidak ada kecocokan lagi, engkau selalu bermuka muram sehingga aku merasa bosan melihatnya, juga Ayahmu sudah tidak suka mempunyai mantu seperti aku, maka sebaiknya engkau pulang ke rumah orang-tuamu dan jangan kembali lagi ke rumahku."

   Sebetulnya Li Sian Hwa merasa girang akan dapat terlepas dari suami yang brengsek ini, akan tetapi ia mengingat betapa pada masa itu seorang janda yang dicerai merupakan wanita yang dianggap hina. Maka ia ingin mempertahankan kedudukannya yang lebih terhormat.

   "Akan tetapi, bukankah aku ini isterimu, Ibu anakmu?"

   La membantah.

   "Mulai sekarang hubungan kita putus. Engkau tidak berhak mengaku sebagai istreriku lagi. Pergilah, kereta sudah menunggu di luar. Semua pakaian dan perhiasanmu bawa!"

   Setelah berkata demikian Leng Sui lalu mendatangi lima orang selirnya dan dia pun menyuruh mereka semua pulang ke rumah orang-tua mereka. Demikianlah, karena dia senang sekali mendapatkan Ceng Ceng sebagai calon pengganti isteri, seorang gadis yang selain cantik jelita juga amat sakti sehingga mampu menjamin keselamatannya dan juga kelak akan dapat membantu dia mencapai kedudukan tertinggi, pada sore hari itu juga Leng Sui mengusir isteri dan lima orang selirnya.

   Li Sian Hwa membawa pakaian dan puteranya, keluar dari gedung, memasuki kereta dan pulang ke rumah Jaksa Li Koan. Ayah-Ibunya menyambutnya dengan terharu. Orang-tua ini tidak memarahi anaknya walaupun diceraikannya puteri mereka itu merupakan penghinaan bagi mereka. Mereka merasa kasihan kepada puteri mereka dan mereka pun tidak berani memprotes kepada Leng Sui yang memiliki hubungan dekat dengan para pembesar, terutama dengan Perdana Menteri Chin Kui. Diam-diam Jaksa Li Koan mulai menyesali dirinya sendiri mengapa dulu dia mengusir Lui Hong dan memisahkannya dari puterinya padahal Lui Hong adalah penolongnya dan dia tahu bahwa di antara Lui Hong dan puterinya terdapat hubungan cinta. Akan tetapi semua itu telah terjadi dan terlanjur.

   Dia tidak dapat berbuat apa-apa selain menghibur Li Sian Hwa dan menghibur diri dengan adanya Leng Bu San, cucunya. Biarpun Ceng Ceng belum mau pindah ke rumah Pangeran Leng Sul akan tetapi sepekan sekali ia pamit dari Pangeran Baduchin untuk libur sehari dan ia pergi berkunjung ke rumah Leng Sui. Pergaulan mereka semakin akrab akan tetapi Ceng Ceng masih bertahan, tidak mau menyerahkan diri kepada Pangeran Kin itu. Bagi Ceng Ceng memang bukan masalah untuk menyerahkan diri kepada seorang pria walaupun belum menikah, akan tetapi itu hanya mau ia lakukan kalau ia jatuh cinta, misalnya seperti cintanya kepada Bu Beng. Terhadap Pangeran Leng Sui, yang mendorongnya mau bergaul dengan laki-laki itu dasarnya adalah pamrih untuk memperoleh kedudukan, maka ia tidak mau mudah tunduk.

   la akan menanti sampai dirinya dinikah resmi. Hal ini ia lakukan sebagai jaminan masa depannya. Pada suatu malam Ceng Ceng merasa curiga karena Pangeran Baduchin mengadakan pertemuan dengan para pengawalnya tanpa setahu ia. Ia tidak dipanggil untuk ikut mengadakan rapat. Hal ini tentu saja membuat hatinya menaruh, curiga. la lalu menempelkan telinganya pada dinding karena kamarnya memang terpisah dinding dengan kamar Baduchin di mana malam itu diadakan rapat antara Baduchin dan tiga orang perwira pengawalnya yang belum lama ini datang dari Mongol. Agaknya Ceng Ceng sudah agak terlambat mengetahui akan rapat tanpa ia itu, karena ia hanya mendengar ucapan Baduchin yang terakhir dan agaknya merupakan perintah penentuan.

   "Ulan Bouw, besok malam engkau ajaklah dua orang rekanmu dan bunuh Pangeran Leng Sui. Dia jelas mempunyai niat tidak baik terhadap kita karena dia berusaha mendekati Nona Siangkoan Ceng. Kita tahu bahwa dia adalah kepala jaringan mata-mata Kerajaan Cin, maka dia amat berbahaya kalau tidak dibunuh. Laksanakan dengan baik dan jangan sampai gagal!"

   "Baik, Pangeran!"

   Setelah itu sunyi dan Ceng Ceng mendengar Iangkah kaki tiga orang pengawal baru itu meninggalkan kamar Pangeran Baduchin. Jantungnya berdebar tegang. Ia tahu bahwa seorang di antara tiga perwira pengawal tadi adalah Ulan Bouw, seorang jagoan Mongol berusia sekitar empat puluh tiga tahun, berkepala botak gundul, jubahnya merah dengan senjata sabuk rantai baja dan kabarnya memiliki tenaga gajah dan ilmu silatnya cukup lihai. Dua orang pengawal lain kabarnya juga lihai maka nyawa Pangeran Leng Sui terancam pada besok malam. Sebetulnya, membandingkan kedua Pangeran itu, dalam hatinya Ceng, Ceng merasa sama beratnya. Kalau menuruti hatinya yang membandingkan daya tarik mereka, tentu saja Ceng Ceng condong memilih Leng Sui yang lebih tampan dan lembut. Akan tetapi kalau mengingat akan ramalan mendiang Tong Tong Lokwi,

   Ia menjadi ragu karena bukankah bekas Guru yang ia bunuh sendiri itu meramalkan bahwa kelak Bangsa Mongol yang akan berjaya? Siang tadi ia sudah libur sehari, tidak enak kalau besok siang harus minta libur lagi. Maka ia lalu mengambil keputusan untuk besok malam diam-diam membayangi tiga orang pembunuh itu dan kalau perlu ia akan mencegah terbunuhnya Pangeran Leng Sui dan memusuhi Baduchin karena keduanya membayangkan harapan baik bagi masa depannya, mengingat bahwa Kerajaan Sung yang lemah, tidak dapat menjanjikan apa-apa kepadanya. Pada keesokan harinya, setelah malam tiba dan melihat tiga orang jagoan Mongol sudah meninggalkan gedung Pangeran Baduchin, diam-diam Ceng Ceng mempergunakan kepandaiannya untuk meninggalkan kamarnya dan terus membayangi tiga orang itu tanpa diketahui siapa pun.

   Hal ini dengan mudah dilakukan gadis yang kini telah menguasai, ilmu-ilmu yang hebat, di antaranya ilmu sihir dan ilmu kesaktian yang membuat dirinya pandai berkelebat seperti bayang-bayang sehingga seperti orang menghilang. Tiga orang jagoan Mongol itu adalal Ulan Bouw, tokoh Mongol yang sudah kita kenal tiga empat tahun yang lalu. Dia adalah tokoh Mongol yang dulu berhubungan dengan Pangeran Hang Tek Ong, Pangeran Kerajaan Sung yang hanya pura-pura saja mengadakan hubungan dengan orang Mongol, padahal dia adalah mata-mata Kerajaan Sung yang bertugas melakukan penyelidikan dan pemantauan terhadap Pemerintah Cin dan Pemerintah Mongol yang mengirim para utusannya ke Hang-Chouw. Ulan Bouw ini pernah bentrok dengan Pek Giok dan Han Bun sebelum kedua orang muda itu memperdalam ilmu-ilmu mereka selama tiga tahun.

   Tiga orang jagoan Mongol yang memang cukup lihai ini dengan cepat menuju ke gedung tempat tinggal Pangeran Leng Sui. Malam itu sudah cukup larut. Hawanya dingin sekali dan suasananya sepi. Dengan mudah mereka bertiga melompati pagar bagian belakang gedung melalui taman bunga yang luas. Mereka memasuki taman, lalu berindap-indap mendekati gedung, sama sekali tidak tahu bahwa mereka dibayangi sesosok bayangan yang gerakannya gesit dan tidak menimbulkan suara. Bayangan itu adalah Ceng Ceng yang berniat mencegah pembunuhan atas diri Pangeran Leng Sui. Setelah tiba di dekat gedung, tiga orang Mongol itu dengan gerakan ringan berlompatan ke atas genteng dan tak lama kemudian mereka telah dapat memasuki gedung itu dan berada di ruangan dalam yang luas.

   Mereka sudah memperoleh gambaran tentang keadaan dalam gedung itu dan sudah mendapat keterangan dari Pangeran Baduchin di mana letak kamar Pangeran Leng Sui. Pangeran Mongol itu memang mempunyai banyak kaki tangan dan dia sudah dapat mengetahui keadaan gedung tempat tinggal saingannya. Setelah tiga orang calon pembunuh Itu tiba di dalam ruangan, mereka memandang ke arah kamar Pangeran Leg Sui. Akan tetapi tiba-tiba pintu kamar yang bersebelahan dengan kamar Pangeran itu terbuka dan muncullah seorang Kakek yang keadaannya mengerikan. Kakek ini usianya sudah sekitar tujuh puluh delapan tahun, bertubuh tinggi kurus sehingga mukanya seperti tengkorak dengan kulit putih. Kepalanya yang botak Itu mengenakan sorban seperti orang berBangsa Turki. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat ular kobra yang sudah kering.

   "Heh-heh, kalian sudah bosan hidupl"

   Kata Kakek itu sambil menyeringai sehingga wajahnya amat menyeramkan. Melihat bahwa yang muncul dan mengancam mereka hanya seorang Kakek tua, Ulan Bouw dan dua orang temannya sudah mengeluarkan senjata mereka. Ulan Bouw melolos rantai bajanya yang besar dan berat, sedangkan dua orang temannya mencabut golok besar. Mereka harus segera membunuh Kakek itu sebelum dia berteriak dan akan menggagalkan niat mereka membunuh Pangeran Leng Sui. Maka, tanpa banyak cakap lagi mereka bertiga sudah menerjang dengan dahsyatnya, menyerang Kakek itu dengan senjata mereka. Akan tetapi Kakek tua bermuka tengkorak itu dengan amat tenang memutar tongkat ular kobranya dengan gerakan perlahan saja. Biarpun tampaknya per lahan, ternyata tongkat itu sekaligus dapat menangkis sambaran tiga senjata penyerangnya.

   "Trang-trang-trang...!!"

   Tiga orang Mongol itu terkejut bukan main karena mereka merasa betapa serangan mereka tertangkis oleh sebuah benda yang amat keras dan digerakkan dengan tenaga kuat sekali sehingga telapak tangan mereka yang memegang senjata terasa panas dan pedih! Mereka merasa penasaran dan juga marah, tidak dapat menerima kenyataan yang dianggapnya tak masuk akal ini. Mereka adalah jagoan-jagoan Mongol yang sudah terkenal kuat, bagaimana mungkin menghadapi seorang Kakek kurus yang kelihatan lemah ini mereka kalah tenaga? Kini mereka menyerang lagi dengan dahsyat, mengerahkan seluruh tenaga untuk membunuh Kakek itu.

   Akan tetapi Kakek itu adalah Pek-Bin Giam-Lo (Raja Maut Muka Putih), Datuk sesat yang sudah kita kenal, yang selain memiliki ilmu silat tinggi, juga seorang ahli ilmu hitam dan sihir! Begitu tiga orang lawannya menyerang dengan dahsyat, dia terkekeh dan tiba-tiba Ulan Bouw dan dua orang temannya menjadi bingung karena mereka kehilangan lawan mereka yang hilang entah ke mana. Sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba dada mereka dilanggar angin kencang dan ketiganya jatuh terjengkang! Mendadak mereka melihat lagi Kakek itu yang sambil menyeringai kini menggerakkan tongkat ular kobra untuk membunuh mereka. Tiga orang Mongol itu hanya terbelalak, tak percaya apa yang menimpa diri mereka dan merasa tidak berdaya dan tidak mungkin dapat menghindarkan diri dari maut yang sudah menjulurkan tangan lewat tongkat ular kobra itu!

   "Tranggg...!!"

   Tampak sinar halilintar menyambar. Sinar putih itu menangkis tongkat ular kobra dan Pek-Bin Giam-Lo terkejut sampai melompat jauh ke belakang. Kiranya Ceng Ceng yang menangkis tongkatnya dengan Pek-Coa-Kiam (Pedang Ular Putih) sehingga nyawa tiga orang Mongol itu dapat dihindarkan dari maut. Kini Ceng Ceng memandang ke arah tiga orang itu, kakinya menendang pinggang mereka sambil membentak.

   "Kalau masih ingin hidup, pergilah cepat!"

   Mendapatkan tendangan itu, Ulan Bouw dan dua orang temannya merasa betapa dada mereka yang sesak oleh sambaran angin tadi kini sembuh. Mereka maklum akan kelihaian lawan, maka tanpa banyak cakap lagi mereka menaati perintah Ceng Ceng dan berloncatan keluar dari gedung itu, terus pulang ke gedung Pangeran Baduchin. Sementara itu, Pek-Bin Giam-Lo kini berhadapan dengan Ceng Ceng dan sejenak mereka berdua berdiri berhadapan dan saling pandang dengan penuh perhatian. Pek-Bin Giam-Lo sungguh terkejut dan heran melihat seorang gadis muda cantik jelita mampu menangkis tongkatnya, bahkan membuat tongkatnya terpental. Dia tidak tahu siapa gadis ini hanya maklum bahwa gadis ini tentulah berpihak kepada tiga orang Mongol tadi. Sementara Ceng Ceng sendiri pun merasa heran bagaimana tiba-tiba ada Kakek ini muncul di gedung Pangeran Leng Sui, padahal kemarin Kakek itu belum ada di situ. Pek-Bin Giam-Lo yang menganggap Ceng Ceng seorang lawan yang berbahaya, tanpa banyak tanya lagi sudah menggerakkan tongkat ular kobranya dan menyerang. Gerakannya tampak le!mah dan lambat saja, namun serangan itu mendatangkan angin yang amat kuat. Ceng Ceng maklum bahwa ia berhadapan dengan lawan yang sakti, maka ia pun mengerahkan tenaga saktinya menangkis serangan itu dan balas menyerang karena walaupun Kakek ini membela Pangeran Leng Sui, akan tetapi kini tanpa tanya lagi telah menyerangnya dan serangannya amat berbahaya. Maka dua orang itu lalu bertanding dengan hebat, saling serang dan saling adu sakti. Tiba-tiba Pek-Bin Giam-Lo menggunakan ilmu sihirnya dan tubuhnya lenyap. Akan tetapi alangkah terkejut dan herannya ketika dia mendengar Cent Ceng tertawa mengejek dan masih dapat menyerangnya. Ternyata ilmunya menghilang Itu tidak mempengaruhi gadis muda ini. Pek-Bin Giam-Lo lalu mengerahkan ilmu hitam. Tongkatnya dia lontarkan ke atas dan berubahlah tongkat itu menjadi seekor ular kobra yang melayang-layang, mengangkat kepala ke atas, mendesis-desis dan mengembangkan lehernya. Mengerikan sekali! Akan tetapi Ceng Ceng tidak mau kalah. la juga melontarkan pedangnya ke atas dan pedang itu berubah menjadi seekor ular putih yang gerakannya amat gesit, menyambar-nyambar ke arah ular kobra. Terjadi pertandingan aneh di ruangan itu. Seekor ular kobra dan seekor ular putih melayang-layang dan saling terjang, saling gigit! Daun pintu kamar Pangeran Leng Sui terbuka dan Pangeran itu muncul dan terbelalak dengan muka pucat memandang perkelahian aneh itu.

   "Tahan...! Suhu, gadis ini bukan musuh!"

   Teriak Pangeran Leng Sui kepada Pek-Bin Giam-Lo. Dia pernah digembleng ilmu silat oleh Si Muka Tengkorak, maka dia menyebut suhu.

   "Ceng-moi, dia ini Guruku, harap hentikan perkelahian!"

   Balk Pek-Bin Giam-Lo maupun Ceng Ceng menarik kembali senjata mereka.

   "Pangeran, bagaimana Paduka dapat mengatakan bahwa gadis ini bukan musuh? Tadi ada tiga orang Mongol masuk ke ruangan ini, tentu dengan niat buruk terhadap Paduka. Saya sudah menjatuhkan mereka dan hendak membunuh mereka, akan tetapi gadis ini membela mereka sehingga mereka dapat melarikan diri!"

   Pek-Bin Giam-Lo melapor dengan suara penasaran. Pangeran Leng Sui kini menghadapi Ceng Ceng dan memandang dengan heran.

   "Benarkah itu, Ceng-moi? Engkau membela tiga orang Mongol yang hendak membunuhku?"

   Dengan tenang Ceng Ceng berkata.

   "Mari kita duduk dulu, nanti saya ceritakan apa yang terjadi, Kakanda Pangeran. Pek-Bin Giam-Lo, mari kita duduk."

   "Hemm, engkau sudah mengenalku? Pangeran, siapakah sebetulnya gadis luar biasa ini?"

   Tanya Pek-Bin Giam-Lo dengan heran dan juga kagum karena gadis itu tadi mampu menandinginya dalam segala ilmunya, balk ilmu silat, tenaga sakti, bahkan mampu menghadapi ilmu hitam dan sihirnya.

   "Suhu, Nona ini adalah Siangkoan Ceng, puteri dari Ketua Beng-Kauw Siangkoan Hok. Sudah lama kami berkenalan, bahkan ia telah menjadi... sahabat baikku."

   Pek-Bin Giam-Lo menggelengkan kepalanya.

   "Ah, bagaimana mungkin Siangkoan Hok dapat memiliki puteri yang demikian lihainya? Saya mengenal tingkat ilmu kepandaian Ketua Beng-Kauw, Pangeran. Tingkat kepandaian gadis ini jauh lebih tinggi!"

   "Pek-Bin Giam-Lo, memang aku telah mendapatkan gemblengan ilmu-ilmu dari mendiang Suhu Tong Tong Lokwil"

   Pek-Bin Giam-Lo terkejut dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Aih, pantas kalau begitu."

   Dan dia tidak menaruh curiga lagi. Setelah mereka bertiga duduk, Ceng Ceng lalu menceritakan apa yang terjadi. Bahwa kemarin ia mendengar percakapan antara Pangeran Baduchin dengan tiga orang pengawalnya yang baru beberapa hari tiba di Hang-Chouw dan Pangeran Mongol itu memerintahkan mereka untuk membunuh Pangeran Leng Sui pada malam hari ini.

   "Maka tadi saya lalu membayangi mereka untuk mencegah mereka melakukan pembunuhan terhadap Paduka, Kakanda Pangeran. Tanpa saya sangka, muncul Pek-Bin Giam-Lo yang menjatuhkan mereka. Ketika dia hendak membunuh mereka, saya, cepat mencegahnya dan membiarkan mereka lari sehingga timbul kesalah-pahaman antara Pek-Bin Giam-Lo dan saya."

   "Akan tetapi, Adinda Siangkoan Ceng, tiga orang Mongol itu adalah pembunuh-pembunuh yang hendak membunuhku. Mereka itu sudah sepatutnya dibasmi dan dibunuh!"

   Protes Pangeran Leng Sui. Ceng Ceng menggelengkan kepalanya dan tersenyum.

   "Kakanda Pangeran, Paduka terburu nafsu dan tidak membayangkan akibat yang lebih buruk kalau sampai mereka bertiga itu terbunuh di sini. Pemerintah Mongol melalui Pangeran Baduchin berhasil mengadakan hubungan baik dengan Pemerintah Sung, maka kalau terjadi ada orang Mongol terbunuh oleh Paduka, bukankah hal itu akan menimbulkan keadaan yang tidak menguntungkan dalam hubungan antara Pemerintah Cin dan Pemerintah Sung? Juga akan memancing permusuhan terbuka karena dendam antara Cin dan Mongol. Kalau terjadi demikian, maka Paduka tidak akan leluasa lagi melaksanakan tugas di sini. Karena itulah maka saya tadi mencegah Pek-Bin Giam-Lo membunuh mereka dan membiarkan mereka lari dan kembali melapor kepada Pangeran Baduchin. Dengan demlkian, Pangeran Baduchin pasti akan mengetahui bahwa usahanya itu sia-sia belaka."

   "Akan tetapi bagaimana kalau dia mengulang kemball usaha pembunuhan ini?"

   "Paduka tidak perlu khawatir. Dia pasti tidak berani, maklum bahwa Paduka nemiliki pelindung yang kuat. Apalagi karena saya tidak mendukung niatnya itu. Saya akan membujuk dia agar dia tidak begitu bodoh melakukan percobaan pembunuhan lagi, bahkan akan saya bujuk agar dia meninggalkan Hang-Chouw."

   "Pangeran,"

   Kata Pek-Bin Giam-Lo.

   "Apa yang dikatakan Nona Siangkoan Ceng ini memang tepat. la cerdik sekali!"

   "Kalau begitu, kukira sudah tiba saatnya engkau pindah saja ke sini, Ceng-moi."

   "Memang itulah maksud saya. Kalau Pangeran Baduchin dapat saya bujuk meninggalkan Hang-Chouw karena urusan usaha pembunuhan tadi, saya akan membantu Paduka dan pindah ke sini."

   Pangeran Leng Sui merasa gembira sekali dan Ceng Ceng lalu kembali ke gedung Pangeran Baduchin. Di situ ia disambut oleh Pangeran Baduchin dan tiga orang jagoan yang tadi melarikan diri. Pangeran Baduchin telah mendapat pelaporan tiga orang jagoannya akan kegagalan mereka membunuh Pangeran Leng Sui dan betapa mereka tentu sudah tewas di tangan seorang Kakek sakti kalau tidak ditolong oleh Nona Siangkoan Ceng. Melihat Ceng Ceng pulang dalam keadaan selamat, Pangeran Baduchin menyambut dengan gembira.

   "Ah, engkau pulang dengan selamat, Nona Siangkoan! Mereka ini telah melaporkan betapa engkau telah menyelamatkan mereka dari maut."

   Dengan sikap dingin Ceng Ceng berkata kepada Pangeran Mongol itu.

   "Pangeran, saya ingin bicara berdua dengan Paduka!"

   Pangeran Baduchin memberi isarat kepada tiga orang pengawalnya agar keluar dari kamar. Setelah mereka duduk berhadapan Ceng Ceng menegur Pangeran itu.

   "Pangeran Baduchin, Paduka telah mengangkat saya menjadi pengawal pribadi, mengapa bertindak di luar pengetahuan saya? Paduka mengutus mereka membunuh Pangeran Leng Sui dan merahasiakannya kepada saya. Mengapa, apakah Paduka tidak percaya lagi kepada saya?"

   Ditegur demikian, wajah Pangeran Baduchin berubah kemerahan.

   "Bukan tidak percaya kepadamu, Nona. Akan tetapi tugasmu adalah menjaga keselamatanku, sedangkan tugas itu adalah untuk membunuh saingan. Aku tidak ingin engkau terlibat. Akan tetapi sukurlah tidak terjadi sesuatu dan engkau telah menyelamatkan tiga orang pembantuku."

   "Hemm, Paduka kira urusan ini akan habis di sini saja? Ketahuilah, yang melindungi Pangeran Leng Sui adalah Pek-Bin Giam-Lo, seorang Datuk yang amat sakti. Pangeran Leng Sui pasti tidak akan tinggal diam saja oleh usaha pembunuhan atas dirinya itu. Kalau dia hanya ingin membalas dendam, biar dia mengutus Pek-Bin Giam-Lo untuk membunuh Paduka, masih ada saya di sini yang sanggup melindungi Paduka. Akan tetapi kalau dia melapor kepada Perdana Menteri Chin Kui, tentu Pemerintah Kerajaan Sung akan menganggap Paduka hendak mendatangkan kekacauan. Dan kalau sudah begitu, bagaimana saya dapat melindungi Paduka. Tak mungkin saya dapat menentang pemerintah."

   Pangeran Baduchin mengerutkan alisnya dan memandang khawatir.

   "Ah, tak kusangka akan begini akibatnya. Lalu bagaimana baiknya, Nona Siangkoan Ceng?"

   "Tidak ada cara lain yang lebih baik, Pangeran. Paduka sebaiknya meninggalkan Hang-Chouw dan kembali ke utara. Kelak kalau keadaan sudah membaik, dapat saja Paduka kembali ke sini."

   "Kalau begitu, mari engkau ikut bersama kami ke utara, Nona. Di sana engkau dapat membantuku!"

   Akan tetapi Ceng Ceng menggelengkan kepala.

   "Tidak, Pangeran. Saya akan tetap tinggal di sini dan melihat perkembangannya di sini. Kelak kalau saatnya tiba seperti yang telah kita sepakat bersama, saya pasti akan membantu Paduka. Sementara ini agar suasana menjadi dingin dan aman, sebaiknya Paduka lebih dulu menyingkir untuk sementara waktu."

   Deniikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Pangeran Baduchin dan para pembantunya meninggalkan Hang-Chouw dan kembali ke utara. Pangeran Mongol hanya mengirim surat kepada Perdana Menteri Chin Kui untuk pamit dan mohon maaf bahwa dia tidak dapat pamit dengan lisan karena mendapat panggilan secara tiba-tiba dari pemerintahnya. Setelah Pangeran Baduchin pergi, Ceng Ceng segera tinggal di gedung Pangeran Leng Sui di mana ia disambut dengan gembira dan dihormati. Bahkan Pek-Bin Giam-Lo yang kagum kepadanya menghormatinya apalagi setelah dia mengetahui bahwa Ceng Ceng adalah murid mendiang Tong Tong Lokwi.

   Kota An-keng merupakan kota yang berada di sebelah utara Sungai Yang-Ce dan termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Cin yang batasnya dengan Kerajaan Sung adalah sungai itu. Karena merupakan kota perbatasan, maka An-keng merupakan kota penting bagi Kerajaan Cin dan di situ terdapat sebuah benteng yang kuat untuk mempertahankan bahaya serangan dari selatan. Akan tetapi pada waktu itu, politik yang dianut Kerajaan Sung adalah lunak dan Kerajaan Sung mengambil sikap mengalah dan bersahabat dengan Kerajaan Cin yang dianggap merupakan ancaman besar.

   Semua ini diatur oleh Chin Kui yang sejak semula memang telah bersekutu dengan Bangsa Yuchen yang mendirikan Kerajaan Cin. Biarpun Bangsa Yuchen telah menguasai daratan Cina bagian utara dan mendirikan Kerajaan Cin, namun suku Bangsa minoritas yang datang dari sebelah utara Tembok Besar itu ternyata malah membaur dengan penduduk pribumi Han yang mereka jajah. Hal ini terjadi karena selain Bangsa pribumi jauh lebih besar jumlahnya, juga sesungguhnya pribumi Han memiliki kebudayaan yang jauh lebih tinggi dan maju. Para pimpinan Kerajaan Cin bertindak bijaksana dan cerdik.

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mereka membaurkan diri dengan rakyat pribumi, mengenakan pakaian pribumi, mempelajari kebudayaan dan kesusastraan mereka, bahkan mulai menggunakan bahasa mereka! Dengan politik seperti ini, rakyat pribumi tidak merasa dijajah Bangsa lain, merasa seolah para penguasa Kerajaan Cin adalah Bangsa sendiri yang mendapat wahyu TUHAN untuk memimpin rakyat jelata! Keadaan ini memperlemah semangat para patriot yang anti dan menentang Pemerintah Kerajaan Cin. Karena sikap para penguasa Kerajaan Cin seperti ini, maka kota-kota yang menjadi wilayah kekuasaan Cin tiada bedanya dengan kota-kota di selatan yang menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Sung.

   Sekolah-sekolah di daerah utara ini pun dengan giat mengajarkan kesusastraan yang bersumber kepada pelalaran Guru Besar Khong Hu Cu. Bahkan mereka yang mengikuti ujian untuk menjadi pengawai negeri, harus hafal akan isi kltab-kitab kesusastraan seperti Su-Si Ngo-Keng. Juga filsafat yang diajarkat Lo Cu dalam Agama To (Taoism) dan Agama Budha dipelajari. Kota An-keng yang merupakan kota perbatasan dan menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Cin juga tampak seperti kota-kota lain di selatan. Memang masih ada pembesar Bangsa Yuchen yang mengenakan pakaian tradisionil Yuchen, akan tetapi jumlahnya hanya sedikit dan itupun hanya mereka yang sudah tua saja yang memiliki kebanggaan akan keBangsaannya.

   Akan tetapi pada umumnya, mereka sudah berpakaian dan bersikap seperti pribumi Han sehingga sukar membedakan mana yang pribumi Han mana yang berBangsa Yuchen. Karena An-keng merupakan kota benteng, maka ada beberapa orang prajurit Cin berpakaian seragam yang sedang tidak bertugas berkeliaran di dalam kota. Bukan jarang para perajurit yang keliaran ini mendatangi toko-toko milik pribumi Han dan minta ini itu. Akan tetapi karena yang mereka minta itu hanya makanan atau sedikit uang dan mereka tidak menggunakan paksaan, maka tidak pernah terjadi keributan. Para pemilik toko maklum sendiri dan selalu menuruti permintaan mereka itu asalkan tidak terlalu banyak tuntutan mereka.

   Banyak di antara para perajurit itu melakukan hal itu sekadar memperlihatkan kekuasaan orang yang berada di atas. Dahulu sebelum Pemerintah Cin memiliki kekuasaan penuh, banyak terjadi perampokan atau perkosaan dilakukan para perajurit terhadap penduduk pribumi sehingga memancing kemarahan para pendekar. Mereka melakukan aksi gerilya, membunuh para perajurit atau pembesar Cin yang sewenang-wenang. Para penguasa Cin menyadari bahwa kelakuan para pembesar dan perajurit itu kalau dilanjutkan, hanya memancing permusuhan dari rakyat dan tentu akan merepotkan, bahkan membahayakan Kerajaan Cin. Maka para penguasa lalu mengambil tindakan tegas, menghukum berat para pelanggar kesusilaan maupun para perampok sehingga akhirnya kini keadaan menjadi aman dan kalaupun ada gangguan hanya kecil tidak berarti.

   Pada suatu pagi yang cerah, seorang gadis meninggalkan kamarnya di sebuah rumah penginapan dan ia memasuki rumah makan yang berada di depan rumah penginapan. Melihat wajahnya yang segar, sisiran rambutnya yang rapi dan pakaiannya yang bersih, mudah diketahui bahwa gadis itu tentu telah mandi, berganti pakaian lalu kini ingin sarapan di rumah makan itu. Karena masih pagi, rumah makan itupun masih sepi. Beberapa orang yang berpakaian pelayan dengan kain lap tergantung di pundak, sedang membersihkan meja kursi di ruangan yang cukup luas dengan belasan buah meja itu. Karena sepagi itu belum ada tamu lain, maka lima orang pelayan itu menengok dan mereka terpesona memandang gadis yang memasuki rumah makan dan duduk menghadapi meja di sudut. Mata laki-laki mana yang tidak akan kagum terpesona melihat gadis ini! Usianya sekitar dua puluh tahun. Pakaiannya dari sutera halus berwarna hijau. Tubuhnya padat ramping dengan lekuk Iengkung sempurna seorang gadis yang sedang mekar dewasa. Kulitnya putih. Rambutnya yang hitam itu digelung rapi bagaikan mahkota hitam di atas kepalanya. Wajahnya bulat telur dan yang amat kuat daya tariknya adalah sepasang matanya yang seperti bintang dan mulutnya yang mengembangkan senyum. Akan tetapi gadis jelita ini membawa sebatang pedang yang tergantung di punggungnya sehingga para pelayan tidak berani bersikap kurang ajar. Seorang pelayan setengah tua menghampirinya dan Can Pek Giok, gadis itu, memesan bubur ayam.

   (Lanjut ke Jilid 19)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19

   Seperti kita ketahui, Can Pek Giok pergi mencari Pek-Bin Giam-Lo, Datuk sesat yang diduga telah membunuh Ayahnya. Ia memang belum yakin bahwa Datuk itu pembunuhnya karena memang tidak ada bukti maupun petunjuk. Akan tetapi mengingat akan dendam sakit hati Datuk sesat itu kepadanya dan kepada Song Han Bun, sangat boleh jadi Datuk itu yang diam-diam telah membunuh Ayahnya dan Ayah Song Han Bun. Kalau ia teringat betapa pembunuhan atas diri Ayahnya dan Ayah Song Han Bun membuat ia dan pemuda itu kembali bentrok, hatinya terasa pedih. Untung muncul Lui Hong yang melerai, bahkan Lui Hong telah menceritakan mengapa pemuda itu memutuskan tali perjodohannya dengannya. Juga Lui Hong yang mengingatkannya bahwa besar sekali kemungkinannya bahwa yang membunuh Ayahnya, Can-Kauwsu, dan Ayah Song Han Bun, adalah Pek-Bin Giam-Lo.

   la pernah mendapat petunjuk dari Song-Bun Lojin bahwa Pek-Bin Giam-Lo menjadi pembantu Kerajaan Cin dan berada di kota An-keng di seberang utara Sungai Yang-Ce. Maka ia lalu meninggalkan rumah orang-tuanya dan sekarang berada di An-keng. Baru semalam ia tiba dan ia menyewa sebuah kamar di rumah penginapan merangkap rumah makan itu. Terdengar langkah kaki beberapa orang memasuki rumah makan dan terdengar mereka bercakap-cakap sambil tertawa. Kiranya mereka adalah empat orang berpakaian seragam perajurit yang memasuki rumah makan sambil bersendau-gurau. Seorang dari mereka melihat Pek Giok, dan setelah dia memberi tahu kepada tiga orang kawannya, empat orang itu berhenti bicara dan semua memandang ke arah Pek Giok dengan mata terbelalak kagum.

   "Wih, cantiknya...?"

   Seorang di antara mereka berseru.

   "Lihat tubuhnya hayaaa!"

   Kata yang ke dua.

   "Aduh, ingin aku menjadi bubur Bibirnya... bibirnya manis sekali!"

   "Dan ia membawa pedang, selain cantik jelita juga gagah! Mau aku menjadi suaminya!"

   Kata orang ke empat dan tanpa bersepakat lagi otomatis mereka memilih meja yang berada dekat Pek Giok. Tentu saja Pek Glok mendengar semua ucapan itu. Akan tetapi ia tidak mengacuhkan mereka. Ketika pelayan datang mengantarkan hidangan bubur ayam yarg masih mengepul panas, Pek Giok segera mulai makan.

   Ia sudah terbiasa melihat kekurangajaran kaum pria. Kalau saja empat perajurit itu mengganggunya tiga tahun yang lalu, pasti ia telah menghajar mereka. Akan tetapi kini Pek Giok telah mendapatkan gemblengan dari Song Bun Lojin, bukan saja gemblengan ilmu melainkan juga gemblengan batin sehingsa ia bersikap tenang, tidak dipengaruhi nafsu amarah. Kalau para laki-laki itu tidak keterlaluan sikapnya. Ia menganggap mereka itu seperti sekumpulan lalat saja yang tidak perlu ditanggapi. Akan tetapi empat orang perajurit itu, agaknya sebelum masuk ke rumah makan itu sudah minum arak cukup banyak sehingga mereka sudah dipengaruhi hawa minuman keras. Orang yang setengah mabok kehilangan pertimbangannya dan kenekatan serta keberaniannya meningkat. Apalagi mereka berempat.

   Biasanya, seorang laki-laki kalau berada seorang diri menghadapi wanita cantik, agak segan untuk bersikap kurang ajar. Akan tetapi kalau mereka sudah bergerombol, mereka berani bersikap di luar kesusilaan. Melihat gadis cantik itu tetap makan buburnya tanpa mempedulikan mereka, empat orang perajurit itu menjadi semakin berani. Siapa tahu gadis ini merupakan makanan empuk alias mau menanggapi godaan mereka. Setelah saling pandang dan tersenyum-senyum sepakat, mereka lalu menghampiri Pek Giok, membuat setengah lingkaran menghadapi gadis itu, terhalang meja. Pek Giok berlagak tidak tahu dan sama sekali tidak memandang mereka. la melanjutkan makan bubur ayam yang masih panas itu. Empat orang perajurit itu cengar-cengir semakin berani karena gadis itu tidak kelihatan marah.

   "Nona, kami belum pernah melihatmu, tentu engkau datang dari luar kota, bukan?"

   Tanya orang pertama..

   "Engkau cantik seperti Dewi, siapakah namamu, Nona?"

   Tanya orang, ke dua.

   "Mari kita berkenalan!"

   Kata yang ke tiga.

   "Bagaimana kalau kita makan bersama, satu meja, Nona manis?"

   Kata yang ke empat. Kini Pek Giok merasa terganggu. Tiba-tiba ia menyemburkan bubur yang berada dalam mulutnya ke arah muka empat orang perajurit itu.

   "Phuhhh...!!"

   Empat orang perajurit itu mengaduh-aduh karena merasa betapa muka mereka seperti tertusuk banyak jarum. Terasa nyeri, pedih dan panas sehingga mereka menggunakan kedua tangan untuk menutupi dan menggosok-gdsok muka mereka. Setelah rasa terutama pada mata mereka mereda, empat orims perajurit Itu menjadi marah bukan main.

   "Perempuan rendah! Berani engkau menghina tentara Kerajaan Cin?"

   Bentak yang tertua.

   "Engkau sudah bosan hidup!"

   Bentak perajurit ke dua dan empat orang perajurit itu sudah mencabut golok mereka dan berbareng mereka menyerang ke arah Pek Giok dengan bacokan golok mereka. Para pelayan rumah makan itu adalah orang-orang pribumi Han. Mereka tidak berani mencampuri dan hanya memandang dengan muka pucat, membayangkan betapa gadis cantik jelita itu akan roboh berlumuran darah dan mati seketika menjadi bulan-bulanan empat batang golok yang mengkilap saking tajamnya. Empat batang golok itu secara berbareng menyambar dari depan dan tampaknya tidak ada kesempatan lagi bagi Pek Giok untuk menghindarkan diri dari sambaran golok-golok itu!

   "Wuut-wuut-wuut-wuut... tranggg!"

   Tampak bunga api berpijar ketik empat batang golok itu saling bertemu dan beradu sendiri sedangkan Pek Giok telah melayang bersama kursinya, masih duduk di atas kursi dan masih makan buburnya. la kini duduk sekitar dua tombak dari empat orang dengan tenang masih enak-enak mendorong bubur dengan sumpitnya ke mulut! Empat orang perajurit itu terkejut dan semakin marah sedangkan para pelayan rumah makan berdiri dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, terheran-heran melihat betapa gadis jelita itu tadi "terbang"

   Bersama kursinya. Diam-diam mereka merasa kagum dan hati mereka lega. Akan tetapi empat orang perajurit itu kini bergerak hendak menyerang lagi.

   "Menyebalkan anjing-anjing ini!"

   Kata Pek Giok dan kini ia menggerakkan kedua kakinya bergantian, menendang dua buah kursi dan sebuah meja yang beterbangan menghantam empat orang perajurit itu. Hiruk pikuk suaranya dan empat orang perajurit itu sama sekali tidak mampu menghindarkan diri karena meja kursi itu melayang dengan cepat sekali. Mereka mengaduh dan roboh tak bergerak lagi. Saking kerasnya meja kursi itu menghantam mereka, tiga orang perajurit pingsan seketika dan yang seorang lagi merintih kesakitan karena tulang pundak kirinya patah! Pek Giok sudah selesai makan. Ia menggapai pelayan setengah tua lalu membayar harga bubur ayam dan air teh. Kemudian ia bangkit berdiri dan menghampiri perajurit yang masih duduk sambil memegangi pundaknya yang terasa nyeri. Tiga orang kawannya masih tak bergerak, pingsan. Melihat gadis itu menghampirinya perajurit itu menjadi ketakutan.

   "Maafkan kelancangan kami...'"

   Dia memohon.

   "Kalau aku tidak memaafkan, tentu kalian berempat sekarang sudah mati."

   Kata Pek Glok.

   "Sekarang katakan, dimana tempat tinggal Datuk Pek-Bin Giam-Lo"

   Mendengar disebutrya Datuk itu, perajurit yang patah tulang pundaknya menjadi pucat dan semakin ketakutan. Celaka, pikirnya, kiranya gadis ini mengenal Pek-Bin Giam-Lo. Kalau ia melaporkan, tentu Pek-Bin Giam-Lo yang mereka takuti itu akan menghukum mereka berempat! Dia lalu berlutut dan menyembah-nyembah.

   "Lihiap (Pendekar Wanita), ampunkan kami... kami sungguh buta, tidak mengenal Lihiap yang menjadi sahabat Lo-Cianpwe Pek-Bin Giam-Lo!"

   Sialan, pikir Pek Giok. Ia disangka sahabat Pek-Bin Giam-Lo!

   "Jangan banyak cakap, katakan di mana rumah Datuk itu!"

   "Di sebelah timur, di ujung jalan raya depan itu, Lihiap. Rumahnya gedung besar dan di depannya terdapat sebuah arca singa."

   Mendengar ini, Pek Giok lalu pergi. Yang tampak hanya bayangannya berkelebat dan tahu-tahu mereka yang berada di dalam ruangan rumah makan itu tidak melihatnya lagi. Tentu saja semua orang merasa kagum bukan main. Dibantu para pelayan, perajurit yang patah tulang pundaknya itu lalu menolong tiga orang kawannya yang ternyata juga mengalami patah tulang dan tadi pingsan saking kuatnya meja kursi itu menghantam mereka.

   Sementara itu, Pek Giok dengan cepat menuju ke rumah gedung tempat tinggal Pek-Bin Giam-Lo. Ia memang belum yakin bahwa pembunuh Ayahnya adalah Pek-Bin Giam-Lo, akan tetapi membunuh Ayahnya atau tidak, Datuk sesat itu adalah musuh besarnya yang pernah menyerang dan nyaris membunuhnya. Ia harus dapat menemukan Datuk itu dan membalas dendam, bukan hanya dendam pribadinya akan tetapi juga dendam banyak sekali orang yang pernah menderita karena kejahatan Datuk itu. Setelah menemukan rumah gedung yang dihuni Pek-Bin Giam-Lo, ternyata rumah besar itu, dijaga oleh belasan orang perajurit Cin yang berada dalam sebuah gardu penjagaan di pintu gerbang rumah gedung itu.

   Melihat seorang gadis cantik jelita memasuki pintu gerbang, lima belas orang perajurit penjaga itu segera menyambutnya dengan heran, akan tetapi juga gembira. Gedung itu merupakan tempat tinggal para perwira tinggi yang menjadi pimpinan pasukan Cin yang bertugas menjaga benteng di kota perbatasan itu. Para perwira bawahan tinggal cli dalam benteng bersama pasukan. Tak seorang pun dari lima orang perwira tinggi yang tinggal di situ membawa keluarga mereka, maka tentu saja munculnya Pek Giok di pintu gerbang itu mengherankan para penjaga. Mereka menghadang di depan Pek Giok. Pek Giok sudah terbiasa menghadapi pandang mata para pria itu. Di mana-mana ia bertemu dengan pandang mata pria seperti itu. Pandang mata kagum dan penuh gairah!

   "Nona, siapakah engkau dan apa yang kau kehendaki datang ke tempat ini?"

   Seorang perajurit tinggi besar menegur dan agaknya dia merupakan komandan regu penjaga itu.

   "Aku ingin bertemu dengan Pek-Bin Giam-Lo,"

   Jawab Pek Giok dengan singkat. Lima helas orang perajurit itu saling pandang dengan semakin heran, kemudian terdengar beberapa orang di antara mereka tertawa kecil. Seorang yang termuda. berkata mengejek,

   "Nona begini cantik jelita mengapa mencari seorang Kakek? Yang muda-muda masih banyak, dan aku sendiri masih perjaka tulen, belum menikah."

   "Cukup!"

   Pek Giok membentak.

   "Cepat beritahu Pek-Bin Giam-Lo agar keluar menemuiku. Kalau ada yang mengeluarkan kata-kata lancang dan tidak sopan, akan kurobek mulutnya!"

   Mendengar ancaman itu, para perajurit terdiam, terkejut, heran dan juga marah. Yang tertua lalu melangkah maju.

   "Katakan dulu siapa namamu dan ada keperluan apa engkau hendak bertemu dengan Lo-Cianpwe Pek-Bin Giam-Lo."

   "Kalian tidak perlu tahu namaku. Katakan saja kepadanya bahwa aku orang dari Sung-Kian datang untuk menagih hutang padanya!"

   "Aih, mana mungkin Lo-Cianpwe Pek-Bin Giam-Lo mempunyai hutang kepada seorang gadis muda cantik jelita sepertimu, Nona?"

   Seorang perajurit berseru.

   "Berapa banyak uang yang dihutangnya?"

   Tanya yang lain.

   "Dia berhutang darah dan nyawa, harus dibayar dengan darah dan nyawanya!"

   Mendengar ini, lima belas orang itu menjadi terkejut sekali dan karena mereka sedang bertugas menjaga keamanan, tentu saja mereka merasa berkewajiban untuk menentang gadis yang mengancam untuk membunuh pimpinan mereka itu.

   "Tangkap gadis mata-mata musuh yang hendak mengacau ini!"

   Bentak komandan mereka dan lima belas orang itu bersikap mengancam, maju dengan muka bengis. Pek Giok tidak ingin memancing keributan dengan mereka karena ia sengaja datang untuk membuat perhitungan dengan Pek-Bin Giam-Lo. Melihat mereka semua maju, ia lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah mereka beberapa kali.

   Angin yang kuat menerpa lima belas orang itu, membuat mereka seperti sekumpulan daun kering tertiup angin dan menabrak dinding gardu penjagaan sehingga jebol dan ambruk! Tentu saja lima belas orang perajurit tu terkejut setengah mati. Mereka tidak terluka berat, namun diterbangkan angin sampai menabrak gardu sehingga roboh, tentu saja membuat mereka babak belur dan lecet-lecet. Tiba-tiba tampak tiga orang berpakaian perwira berlari cepat dari pintu depan gedung itu. Mereka berloncatan dengan gesit sehingga Pek Giok menduga bahwa mereka adalah orang-orang yang tangguh, tidak seperti belasan orang perajurit itu. Usia mereka sekitar empat puluh tahun, dan seorang di antara mereka yang tinggi besar bermuka hitam, setelah memandang ke arah gardu yang ambruk dan lima belas orang perajurit yang mengeluh kesakitan, lalu memandang Pek Giok dan berseru.

   "Apa yang terjadi di sini?"

   Seorang perajurit, kepala regu itu, sudah bangkit dan melapor dengan suara tegas. Ciangkun (Perwira), gadis ini mata-mata musuh dan telah menyerang kami dan merobohkan gardu penjagaan.` Perwira itu mengerutkan alisnya dan bersama dua orang perwira lain kini menghadapi Pek Giok dan bertanya.

   "Nona, siapakah engkau dan kenapa engkau menyerang anak buah kami dan merobohkan gardu penjagaan. Pek Giok dengan sikap tenang menghadapi tiga orang itu dan menjawab.

   "Aku bukan mata-mata musuh Pemerintah Cin, juga tidak bermaksud melakukan pengacauan di sini. Aku datang hanya ingin bertemu dengan Pek-Bin Giam-Lo, akan tetapi para perajurit ini menyerangku. Terpaksa aku membela diri dan yang merobohkan gardu adalah mereka sendiri karena gardu itu tertabrak oleh mereka. Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian semua. Urusanku hanya dengan Pek-Bin Giam-Lo, maka beritahu agar dia keluar menemuiku!"

   Perwira muka hitam itu bertanya.

   "Siapakah engkau, Nona, dan ada urusan apakah engkau dengan Lo-Cianpwe Pek-Bin Giam-Lo?"

   "Siapa aku tidak perlu kalian ketahui, adapun urusaku dengan Pek-Bin Giam-Lo adalah urusan pribadi yang hanya dapat diselesaikan oleh kami berdua. Sekarang, Iebih baik minta Pek-Bin Giam-Lo keluar menemuiku. Karena aku tidak ada urusan dengan kalian atau lain orang kecuali Pek-Bin Giam-Lo."

   "Ciangkun. gadis ini tadi mengancam akan membunuh Lo-Cianpwe Pek-Bin Giam-Lo!"

   Kepala regu itu berseru. Perwira muda muka hitam mengerutkan alisnya yang tebal.

   "Kurang ajar! Benarkah engkau mengancam hendak membunuh Pek-Bin Giam-Lo?"

   "Benar, dia berhutang darah dan nyawa kepadaku. Cepat panggil dia keluar, ataukah dia begitu pengecut tidak berani keluar?"

   "Ha-ha-ha!"

   Si muka hitam itu tertawa.

   "Engkau ini anak kecil berani menghina Pek-Bin Giam-Lo? Dia takut padamu? Sungguh gila dan menggelikan. Dia tidak takut siapa pun, akan tetapi saat ini dia tidak berada di sini."

   "Bohong! Dia tinggal di gedung ini. Kalau kalian tidak mau memanggilnya keluar, aku yang akan menyerbu ke dalam!"

   "Agaknya engkau memang sudah gila!"

   Si Muka Hitam berseru marah.

   "Kami tidak bohong. Memang Pek-Bin Giam-Lo tidak berada di sini. Sudah beberapa hari lamanya beliau pergi ke Hang-Chouw, berkunjung ke tempat tinggal Pangeran Leng Sui di sana."

   "Bohong!"

   Pek Giok tidak mau percaya begitu saja dan hendak memasuki halaman itu untuk mencari sendiri musuh besarnya. Akan tetapi tiga orang perwira itu dengan marah lalu mencabut golok mereka, dan dengan dahsyat mereka menyerang. Pek Giok berkelebat dan tiga orang itu terkejut karena tahu-tahu gadis itu telah lenyap. Kemudian tiba-tiba saja ada tangan kecil lembut menghantam tengkuk mereka dari belakang.

   Berturut-turut tiga orang perwira itu roboh pingsan! Setelah tiga orang perwira itu roboh pingsan, Pek Giok lalu berlari cepat sehingga hanya tampak bayangan saja berkelebat dan ia sudah memasuki gedung. Rumah besar itu adalah tempat tinggal Pek-Bin Giam-Lo bersama beberapa orang perwira Pemerintah Cin. Para perwira yang melihat betapa tiga orang perwira dan lima belas orang perajurit dirobohkan dengan mudah oleh gadis cantik itu, tidak ada yang berani menghalangi, bahkan mereka menyingkir, takut akan menjadi korban amukan gadis itu. Pek Giok mencari musuh besarnya dan memeriksa semua kamar, akan tetapi ia tidak dapat menemukan musuh yang dicarinya. Akhirnya ia menangkap seorang pelayan wanita setengah tua, menempelkan pedangnya di leher wanita itu dan membentaknya dengan suara mengancam.

   "Hayo cepat katakan di mana Pek-Bin Giam-Lo, kalau berbohong pedangku ini akan memenggal lehermu!"

   Tentu saja apa yang dilakukan Pek Giok ini hanya gertakan belaka karena itu jelas tidak akan mau membunuh orang yang tidak bersalah. Tadipun sudah ternyata betapa ia merobohkan para perajurit dan perwira tanpa membunuh atau melukai mereka dengan parah. Wanita pelayan itu menggigil ketakutan.

   "Ampuni saya..., saya... tidak tahu ke mana beliau pergi, karena sudah beberapa hari ini beliau pergi meninggalkan rumah ini."

   

Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Kisah Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini