Antara Dendam Dan Asmara 2
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Suhu adalah seorang Guru silat ter-nama di kota ini,"
Kata mereka.
"Kalau memang Suhu memiliki kepandaian tinggi, mengapa ia mendiamkan saja kekurang-ajaran dan hinaan orang she Song itu?"
Beberapa hari kemudian, Song Swi Kai mendatangkan beberapa orang muridnya dari Ki-Bun, diantaranya dua orang murid kepala yang bernama Tan Siang dan Tan Kui Hok Kakak-beradik itu yang dIbujuknya pindah ke kota Sung-Kian dan membantunya membuka sebuah perguruan silat!
Song Swi Kai adalah seorang kaya, Lian-Bu-Thia (ruang tempat belajar silat) di sebelah kiri gedungnya amat luas, mentereng dan indah, juga senjata-senjata yang dipergunakan dalam latihan-latihan itu bagus dan baru, terutama karena di situ terdapat puterinya yang cantik, yaitu Song Bwee Eng yang juga ikut melatih silat, maka hal ini tentu saja menarik hati banyak pemuda di kota itu untuk berguru dan belajar silat kepadanya, bahkan sebagian besar dari murid Can-Kauwsu yang telah merasa kurang puas dan kecewa terhadap Suhu mereka, lalu pindah keperguruan baru itu! Song-Kauwsu memasang papan nama yang lebih gagah dan lebih mentereng daripada papan nama Can-Kauwsu, dan papan namanya itu dihiasi dengan huruf-huruf besar yang berbunyi:
MAHA Guru TERBAIK DISELURUH SUNG-KIAN.
Pada waktu pesta pembukaan, Song Swi Kai yang kaya raya itu mengundang semua hartawan dan pembesar, dan mengadakan pesta yang meriah sekali, akan tetapi Can-Kauwsu tidak mendapat undangan! Karena ia hartawan dan memang suka menyumbangkan uangnya, maka dalam beberapa bulan saja ia amat terkenal di kota itu, sehingga namanya menjadi makin harum. Perguruan makin besar dan mempunyai banyak murid sehingga nama Can-Kauwsu makin lama makin suram bagaikan sinar bulan yang menyuram dan lenyap dikalahkan oleh sinar matahari yang baru muncul! Hal ini mendatangkan rasa sakit hati dalam dada murid-murid Can-Kauwsu, terutama kepada isterinya yang berwatak keras. Akan tetapi Can Gi Sun tetap bersabar, bahkan sambil tersenyum berkata menghIbur isteri dan murid-muridnya.
"Orang mempunyai hak dan kemerdekaan untuk membuka perguruan silat di mana saja mengapa aku harus campur-tangan. Adapun murid-murid yang pindah belajar itu, merekapun merdeka dan aku tak berhak melarang. Hanya satu hal harus dIbuat menyesal, karena dengan berpindah-pindah perguruan itu, maka mereka memperlihatkan bahwa mereka adalah pemuda-pemuda yang tidak mempunyai kesetiaan hati dan karenanya tak dapat diharapkan orang-orang seperti itu akan memperoleh kemajuan dalam hidupnya."
Betapapun juga, tak lama kemudian, Can Gi Sun harus menelan kenyataan pahit bahwa kesabaran tidak selamanya mendatangkan ketentraman batin apabila ia mempergunakan kesabaran itu terhadap orang-orang yang tidak mengenal kebajikan,
Karena kesabaran yang diperlihatkan kepada orang-orang kasar bahkan akan membuat ia merendahkan diri sedemikian rupa sehingga orang-orang itu akan makin sombong dan makin berani menghinanya. Di dekat rumah Can Gi Sun, sebelah kiri, terdapat sebuah lapangan rumput yang kosong. Pada suatu hari, ketika Can Gi Sun sedang memberi pelajaran teori kepada murid-muridnya, menerangkan sifat-sifat sesuatu ilmu pukulan, tiba-tiba terdengar suara gembreng dan tambur dipukul sekeras-kerasnya di dekat rumah itu. Dari suara ini mereka dapat tahu bahwa di atas lapangan rumput sedang dimainkan tari Barongsai. Tentu saja suara ini amat mengganggu pelajaran yang sedang diberikan oleh Can-Kauwsu karena para murid tak dapat memusatkan pikirannya. Can-Kauwsu mengerutkan alisnya, lalu berkata kepada Lui Siong.
"Kau keluarlah dan lihat siapa yang berlatih Barongsai di lapangan rumput itu. Tegur mereka dengan baik dan minta agar supaya mereka jangan mengganggu kami. Akan tetapi berlakulah sabar dan jangan kau berkelahi!"
Lui Siong lalu keluar dan menuju ke lapangan rumput itu. Alangkah mendongkol hatinya ketika melihat bahwa yang berada di situ adalah serombongan murid-murid Song-Kauwsu yang sebagian besar adalah bekas sute-sutenya sendiri! Rombongan murid Song-Kauwsu itu sedang berlatih Barongsai di bawah pimpinan Hek-Bin-Liong Tan Kui Hok, murid kepala kedua dari Song-Kauwsu!
(Lanjut ke Jilid 02)
Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
Lui Siong maklum bahwa kalau ia sendiri yang menegur, biarpun ia sudah tua dan cukup memiliki kesabaran besar, namun tentu akan terjadi hal-hal yang tidak dihendaki Suhunya. Maka, tanpa banyak cakap ia lalu membalikkan tubuh dan menghadap Suhunya lagi.
"Suhu, mereka itu adalah murid-murid dari Song-Kauwsu yang berlatih Barongsai, dipimpin oleh murid kepala kedua dari Song-Kauwsu. Teecu tidak mau menegur karena kalau mereka menjawab kasar, sukarlah bagi Teecu untuk menahan nafsu amarah!"
Tiba-tiba suara tambur dan gembreng makin keras dipukul orang, dibarengi suara sorakan dan tertawa. Ternyata bahwa ketika tadi Lui Siong muncul, bekas-bekas sutenya memandang khawatir karena takut kalau-kalau bekas Twa-Suheng itu akan marah. Akan tetapi ternyata Lui Siong sama sekali tidak menegur dan pergi lagi, maka hal ini mereka anggap bahwa Lui Siong takut kepada Tan Kui Hok. Dugaan ini amat membesarkan hati pemuda-pemuda itu maka mereka lalu memukul tambur dan gembreng makin keras dan suasana menjadi makin gembira!
Kesabaran memang ada batas-batasnya. Seekor semut yang demikian kecil dan lemah, kalau diinjak-injak tentu akan berdaya membalas dan menggigit. Apalagi manusia! Dengan tenang dan nampak masih tersenyum akan tetapi sebenarnya di dalam dadanya telah mulai terasa panas, Can Gi Sun berdiri dari tempat duduknya dan keluar dari rumahnya, menuju ke lapangan rumput itu. Murid-muridnya diam-diam mengikuti dari belakang. Tan Kui Hok yang bergelar Hek-Bin-Liong (Naga Muka Hitam) adalah murid kedua yang didatangkan oleh Suhunya dari Ki-bun. ia adalah seorang muda berusia dua puluh enam tahun, bertubuh tinggi tegap dan kulit mukanya hitam dengan mata lebar dan bundar seperti mata panglima perang Thio Hwie yang amat terkenal dalam cerita Sam Kok itu!
Si Naga Muka Hitam ini adalah seorang ahli gwakang, yakni seorang ahli silat yang mengandalkan tenaga kasar, mengandalkan kekerasan kulit dan kekuatan urat dan tulang. ia paling suka bermain Barongsai dan di kotanya sendiri ia terkenal sebagai pemain Barongsai yang terpandai. Oleh karena itu, maka ia diminta oleh sute-sutenya yang baru untuk melatih Barongsai, yang diluluskannya dengan senang hati. Akan tetapi, latihan Barongsai membutuhkan iringan tambur dan gembreng, sedangkan untuk latihan ini tak mungkin dapat dilakukan di Lian-Bu-Thia (ruang berlatih silat) dari Suhunya, karena akan mendatangkan suara gaduh. Sute-sutenya itu lalu teringat akan lapangan rumput di sebelah kiri rumah Can-Kauwsu, maka mereka lalu memberitahukan hal ini kepada Tan Kui Hok. Maka dengan gembira mereka lalu pergi ke lapangan rumput itu untuk berlatih Barongsai.
Ketika Can Gi Sun tiba di tempat itu, si Naga Muka Hitam sedang memperlihatkan kekuatannya kepada sute-sutenya yang memandang dengan kagum. Tan Kui Hok sedang mengangkat sebuah batu besar yang terdapat di lapangan rumput itu. Batu itu beratnya paling sedikit tiga ratus kati dan pemuda muka hitam itu mengangkatnya lalu melontarkannya ke atas, diterima dengan kedua tangan dan melontarkannya kembali berkali-kali! Para sutenya bersorak dan bertepuk-tepuk tangan menyaksikan demonstrasi tenaga ini, apalagi bekas murid-murid Can-Kauwsu, karena selama mereka berguru pada Can-Kauwsu, mereka tak pernah menyaksikan demonstrasi seperti ini. Can Gi Sun memang lebih mengutamakan lweekang (tenaga halus) daripada gwakang (tenaga kasar). Dan memang sudah lazimnya, para pemuda lebih suka menyaksikan demonstrasi kekuatan yang lebih membanggakan hati ini.
Akan tetapi, tiba-tiba sorak-sorai itu berhenti seketika bagaikan kena sirep. Juga suara gembreng dan tambur tiba-tiba berhenti sehingga keadaan di situ menjadi sunyi. Ketika Hek-Bin-Liong melirik ke arah sute-sutenya dengan heran, ia melihat bahwa sute-sutenya itu berdiri diam memandang ke arah satu jurusan dan ketika ia menengok ke arah itu, ia melihat seorang-tua tinggi kurus yang bermata tajam sedang berjalan mendatangi tempat itu. Tan Kui Hok belum pernah berkenalan dengan Can-Kauwsu, akan tetapi ia pernah melihatnya dan tahu bahwa orang-tua yang datang ini adalah Guru silat she Can yang terkenal. Diantara murid-murid Song Swi Kai, Hek-Bin-Liong ini adalah seorang murid yang paling sombong dan kasar, juga mempunyai keberanian yang luar biasa.
Kini, dihadapan sute-sutenya, ia tidak mau kalah lagak, dan dengan seruan keras ia melontarkan batu yang masih diangkatnya itu ke atas dan dengan amat cepatnya batu itu meluncur turun ke arah kepala Can Gi Sun! Tan Kui Hok tidak bermaksud hendak mencelakai atau menyerang Can-Kauwsu, karena ia maklum bahwa sebagai seorang ahli silat, tentu saja Can-Kauwsu dengan mudah akan dapat mengelak sehingga tidak sampai tertimpa batu itu, dan maksudnya tak lain hanya akan mempermainkan Guru silat itu dan akan memperlihatkan kepada para sute nya bahwa ia tidak takut kepada Guru silat yang kenamaan ini! Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ia melihat betapa Guru silat she Can itu sama sekali tidak mau mengelak, seakan-akan membiarkan saja batu yang besar dan berat itu datang menimpa dan menghancurkan kepalanya!
"Awas..."
Tak terasa lagi Tan Kui Hok berseru memperingatkan dengan hati ngeri. Akan tetapi sebetulnya tak perlu ia memperingatkan, karena dengan amat mudahnya,
Tanpa memandang ke arah batu yang turun meluncur ke arah kepalanya itu, Can Gi Sun mengulur tangan kanannya ke atas dan menerima batu itu dengan mudah dan ringan seakan-akan batu besar itu hanya sebuah benda yang amat ringan! Kemudian, Guru silat tua ini melanjutkan gerakan tangan kanannya membanting batu besar itu ke atas tanah di depan kakinya dan"
Batu itu amblas ke dalam tanah! Tadinya Can Gi Sun merasa marah sekali melihat betapa si muka hitam itu melontarkan batu ke arahnya dan menganggap bahwa perbuatan ini benar-benar keterlaluan dan amat menghinanya. Akan tetapi ketika ia mendengar seruan si muka hitam yang memperingatkannya, lenyaplah sebagian besar nafsu amarahnya, karena ia maklum bahwa biarpun kasar dan kurang ajar, si muka hitam ini masih memiliki prIbudi dan tidak berhati kejam.
"Orang muda,"
Katanya dengan suara sabar dan mulut tersenyum.
"Pertunjukan tenaga gwakangmu memang mengagumkan, dan latihan main Barongsai inipun menggembirakan. Akan tetapi, janganlah berlatih di tempat ini dan harap mencari tempat lain yang lebih sunyi. Di luar kota sebelah barat terdapat sebuah lapangan rumput yang lebih luas dan di situ jauh dari rumah orang sehingga kalian dapat berlatih dengan leluasa tanpa mengganggu orang."
Hek-Bin-Liong Tan Kui Hok memandang tajam sambil bertolak pinggang, lalu katanya.
"Hm, orang-tua! Kau tentu yang disebut Guru silat nomor satu di Sung-Kian itu! Mengapa kau melarang kami bermain-main di tempat ini? Apakah lapangan rumput ini milikmu?"
"Bukan, lapangan rumput ini memang bukan milikku."
"Kalau begitu, kau mempunyai hak apakah untuk mengusir kami?"
Can Gi Sun mulai merasa tak senang. Anak muda ini benar-benar sombong dan tidak menghargai sikapnya yang halus dan mengalah.
"Anak muda, kau dengarlah! Biarpun lapangan rumput ini bukan milikku dan juga latihan-latihanmu di sini tiada sangkut-pautnya dengan aku, akan tetapi aku masih berhak sebagai penduduk tempat sekitar ini untuk menegur dan melarangmu membuat gaduh di tempat ini dan mengganggu ketentraman penduduk."
"Kalau kami tidak, mau bagaimana?"
Tantang Hek-Bin-Liong sambil mengangkat dada. Merahlah muka Can Gi Sun.
"Terpaksa aku akan menggunakan kekerasan. Sudah menjadi kewajibanku untuk menghalau setiap pengganggu penduduk sini, tak perduli siapapun orangnya!"
Hek-Bin-Liong Tan Kui Hok bukan tidak tahu bahwa Guru silat tua ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, karena baru melihat caranya menyambut batu dan membantingnya sehingga amblas di tanah itu saja sudah menunjukkan bahwa Guru silat tua ini memiliki tenaga lweekang yang luar biasa. ia maklum pula bahwa ia takkan dapat menang apabila bertanding melawan Can-Kauwsu, akan tetapi dasar ia masih muda dan pemberani, lagi pula ia terlalu mengandalkan pengaruh Suhunya, maka sambil melangkah maju ia membentak.
"Can-Kauwsu! Orang lain boleh merasa takut kepadamu, akan tetapi aku Hek-Bin-Liong dan kawan-kawanku semua ini, pendeknya kami adalah murid Bu-Tong-Pai tidak takut sama sekali kepadamu! Ingin kami lihat bagaimana kau hendak memaksa kami!"
Sepasang mata Can Gi Sun memancarkan cahaya kilat.
"Jangan kau membawa-bawa nama Bu-Tong-Pai di sini. Aku tidak memusuhi Bu-Tong-Pai, akan tetapi hendak menghajar kekurangajaranmu! Kau mau tahu bagaimana aku akan memaksa kau keluar dari sini? Nah, kau lihat dan jagalah!"
Sambil berkata demikian, Can Gi Sun menggeser maju kaki kirinya dan tangan kirinya lalu mendorong dada pemuda muka hitam itu. Hek-Bin-Liong cepat menangkis dengan keras, akan tetapi ternyata Guru silat tua itu hanya melakukan gerakan palsu belaka, karena pukulan atau dorongannya itu ditarik kembali dan kini tangan kanannya yang maju mendorong pundak orang! Hek-Bin-Liong cepat melangkah mundur, karena dorongan itu amat cepat dan sebelum tangan Guru silat tua itu sampai pada pundaknya, angin dorongannya telah terasa!
Ia tidak berani menangkis dan mengelak mundur. Akan tetapi, Can-Kauwsu terus melangkah maju mengejar sambil kedua tangannya berganti-ganti mengirim dorongan-dorongan yang keras kepada dada atau pundak pemuda itu. Hek-Bin-Liong menjadi marah dan kini ia mencoba untuk nnenangkis dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya membalas dengan pukulan dahsyat. Namun, sebelum ia dapat memukul, tangan kanannya yang menangkis itu merasa didorong oleh tenaga yang amat besar sehingga ia terhuyung mundur beberapa langkah lagi. Can-Kauwsu tetap mengejar terus dan mengirim dorongan-dorongan hingga dengan demikian tanpa terasa lagi Hek-Bin-Liong Tan Kui Hok telah mundur terus sampai di tepi lapangan rumput!
"Hayo mundur terus, keluarlah kau dari lapangan rumput ini!"
Kata Can Gi Sun yang sengaja hanya menggertak dengan mengirim berupa dorongan-dorongan karena ia tidak mau menyerang dengan sungguh-sungguh untuk merobohkan si muka hitam itu. Mendengar ucapan ini, Hek-Bin-Liong Tan Kui Hok tiba-tiba sadar bahwa orang-tua itu telah mendesaknya sampai hampir keluar dari lapangan rumput, maka ia menjadi marah dan malu sekali. Sambil berseru nyaring ia lalu mencabut goloknya yang tergantung di pinggang. Si muka hitam ini biasanya mempergunakan pedang, akan tetapi karena ia sedang melatih ilmu golok kepada sute-sutenya, maka kali ini ia membawa golok dan meninggalkan pedangnya di rumah. Melihat betapa pemuda itu mencabut golok, diam-diam Can Gi Sun merasa menyesal dan mengeluh.
"Apakah benar-benar kau hendak berusaha membunuh aku?"
Tanyanya.
"Setan tua! Jangan banyak cakap! Rasakan tajamnya golokku!"
Sambil berkata demikian, Tan Kui Hok mempergunakan kesempatan selagi Can-Kauwsu berdiri diam, menyerang dengan gerak tipu Hong-Cui Pai-Hio (Angin Meniup Daun Tua). Serangannya dilakukan dengan sepenuh tenaga sehingga suara golok menyambar sampai mengeluarkan bunyi nyaring!
"Kau kejam!"
Seru Can-Kauwsu dan cepat orang-tua ini merendahkan tubuh mengelak dari sambaran golok yang mengarah lehernya itu. Ketika golok itu menyambar di atas kepalanya, secepat kilat Can-Kauwsu mengulurkan jari tangannya menotok jalan darah Yan-Goat-Hiat yang berada di bawah pangkal lengan yang memegang golok dari pemuda muka hitam itu sehingga Tan Kui Hok menjerit keras, goloknya terlepas dan tangan kanannya menjadi kaku seperti sebatang kayu! Tangan itu tidak dapat ditekuk, tak dapat digerakkan dan tidak ada rasanya seperti mati!
"Nah, biarlah pelajaran ini membuat kau menjadi kapok!"
Kata Can-Kauwsu, akan tetapi ia sudah merasa menyesal karena meladeni seorang muda yang kepala batu itu, maka sambil melangkah maju ia berkata.
"Mari kusembuhkan lenganmu!"
Akan tetapi sambil meringis-ringis Hek-Bin-Liong sudah melompat pergi dan lari pergi dari lapangan rumput itu, diikuti oleh kawan-kawannya yang semenjak tadi sudah mengumpulkan barang-barang permainannya. Can-Kauwsu menghela napas dan ketika ia melihat betapa murid-muridnya berada di situ menyaksikan peristiwa ini dengan muka berseri gembira, ia berkata perlahan.
"Persoalan ini akan berekor panjang!"
Ia lalu pulang ke rumah dan duduk termenung, hanya mengharapkan agar bekas murid-muridnya yang kini telah menjadi murid Song-Kauwsu dan tadi menyaksikan pertempuran itu akan berhati cukup jujur dan menuturkan hal yang sebenarnya kepada Suhu mereka yang baru. Benar sebagaimana yang diduga oleh Can-Kauwsu, ketika melihat Hek-Bin-Liong pulang dengan lengan tangan kaku seperti sebatang kayu kering itu dan mendengar bahwa yang melukainya adalah Can-Kauwsu, merahlah muka Song Swi Kai. ia memulihkan jalan darah muridnya, lalu sekali lagi ia minta penjelasan dari murid-muridnya.
"Kami sedang berlatih Barongsai di dekat rumah Can-Kauwsu, yakni dilapangan rumput. Tiba-tiba ia muncul dan menegur kami, menyuruh kami pergi dari tempat itu dengan alasan kami amat mengganggu ketentraman penduduk di situ dengan suara tambur dan gembreng kami. Karena lapangan rumput itu bukan miliknya, maka Teecu menolak dan tidak mau pergi, dia memaksa dan kemudian kami berkelahi."
"Kurang ajar orang she Can itu!"
Song Swi Kai berseru keras sambil mengepal tinju.
"Ia benar-benar mengagulkan kepandaiannya! ia tidak memandang mukaku! Aku harus menebus hinaan inil"
Ketika Hek-Bin-Liong Tan Kui Hok menceritakan pengalaman ini nyonya Song juga berada di situ dan ikut mendengarkan. Berbeda dengan suaminya, nyonya ini berwatak halus dan sabar. Melihat kemarahan suaminya, ia lalu mencela dan menghIburnya.
"Urusan begitu saja mengapa harus dibesar-besarkan?"
Katanya.
"Kalau dipertimbangkan secara adil, memang muridmu bukannya tidak bersalah. Berlatih Barongsai dengan diiringi tambur dan gembreng memang amat gaduh dan mengganggu orang. Kalau sekiranya ada orang berlatih di dekat rumah kita, aku sendiripun akan menjadi pening kepala dan terganggu. Pantas saja kalau Can-Kauwsu merasa tidak senang dan berusaha mengusir orang-orang yang mengganggu dan menimbulkan gaduh. Mengapa harus rIbut-rIbut mencari permusuhan?"
Kalau dibicarakan memang sungguh amat sukar dipercaya, akan tetapi sudah menjadi kenyataan bahwa biarpun Song Swi Kai orangnya keras dan galak, akan tetapi menghadapi isterinya ia tak berdaya dan "mati kutunya"! ia amat mencinta isterinya ini dan semenjak mereka menikah, ia selalu tunduk terhadap kehendak isterinya, apalagi oleh karena biarpun isterinya ini jarang sekali bicara, namun sekali mengeluarkan kata-kata, maka ucapannya itu amat beralasan dan penuh cengli (benar dan menurut aturan). Oleh karena itu, begitu mendengar ucapan isterinya ini, ia menjadi sabar kembali, lalu menyuruh Hek-Bin-Liong mundur dan memanggil seorang murid yang tadi menyaksikan pertempuran itu.
Kepada murid inilah ia bertanya tentang jalannya pertempuran, yang diceritakan oleh murid itu dengan jelas dan sejujurnya. Hati Song-Kauwsu yang sudah menjadi sabar dan tenang kembali itu dapat menimbang dengan bijaksana ketika ia mendengar penuturan ini. ia mendengar betapa Can-Kauwsu hanya berusaha menyuruh Hek-Bin-Liong dan kawan-kawannya mencari tempat berlatih lain dan mengeluarkan kata-kata halus dan tidak menghina. Kemudian ketika ia mendengar bahwa di dalam pertempuran itu Hek-Bin-Liong mencabut golok dan dilayani dengan tangan kosong oleh Can-Kauwsu, maka diam-diam ia mengaku bahwa untuk menghadapi lawan bergolok itu, Can-Kauwsu telah melakukan totokan dan hal ini bukannya keterlaluan.
Demikianlah, berkat kebijaksanaan Nyonya Song, maka pertempuran hebat dapat dicegah. Song-Kauwsu dapat bersabar kembali dan tidak jadi mendatangi Can-Kauwsu untuk membalas penghinaan atas diri muridnya itu. Betapapun juga, perdamaian ini masih belum sempurna, karena hanya terbatas pada pengekangan nafsu masing-masing dan saling bersabar. Tidak ada usaha dari kedua fihak untuk saling mendatangi, saling minta maaf dan saling memperkenalkan diri. Baik Song-Kauwsu maupun Can-Kauwsu tidak mau merendahkan diri untuk memperkenalkan diri terlebih dulu. Bahkan mereka diam-diam seakan-akan mengadakan persaingan dalam usaha perguruan silat masing-masing. Mereka berdua memang dapat bersabar dan menghindarkan segala kemungkinan untuk bertemu atau bentrok satu kepada yang lain,
Akan tetapi mereka tidak ingat bahwa murid mereka berjumlah banyak dan murid-murid ini adalah orang muda yang berdarah panas. Sudah menjadi lazim bahwa murid-murid mengandalkan kepandaian dan pengaruh Gurunya, dan bahwa murid-murid ini tentu saja mengagulkan perguruan sendiri. Pada suatu hari, serombongan murid dari Can-Kauwsu bertemu dengan serombongan murid dari Song-Kauwsu. Mereka ini mula-mula hanya saling lirik dan saling melontarkan senyum mengejek saja, kemudian mereka menyindir-nyindir dan akhirnya saling memaki! Kedua fihak sama berani dan sama muda-muda, maka pertempuran akhirnya tak dapat dicegah lagi! Tiga orang yang mendengar tentang pertempuran ini segera menuju ke tempat itu, mereka ini ialah Song-Kauwsu, Can-Kauwsu, dan kepala kampung sendiri!
Song-Kauwsu dan Can-Kauwsu hampir berbareng tiba di tempat perkelahian itu. Melihat Suhu mereka datang, kedua fihak yang berkelahi menjadi ketakutan dan tanpa diperintah mereka menghentikan perkelahian itu. Kini kedua Guru silat itu saling berhadapan, saling pandang, bagaikan dua ekor ayam jago hendak berkelahi dan lebih dulu berlagak, menaksir dan menduga-duga kekuatan lawan! Baru kali ini kedua jago silat ini bertemu muka, dan dua pasang mata yang bertemu dan saling pandang itu memancarkan sinar yang tidak membayangkan perdamaian! Biarpun ia sedang sangat marah, Song Swi Kai masih dapat melihat bahwa Can Gi Sun lebih tua daripadanya, maka ia tidak mau dianggap sebagai orang yang tidak tahu aturan. Sambil tersenyum mengejek ia maju selangkah dan merangkapkan kedua tangan yang terkepal di depan dada untuk memberi hormat dan menjura.
"Apakah aku berhadapan dengan Can-Kauwsu yang menyebut dirinya Guru silat nomor satu di Sung-Kian?"
Akan tetapi, ia tidak menjura dengan sewajarnya, oleh karena berbareng dengan gerakan menghormat itu, ia mengerahkan tenaga khikang dan menyerang Can-Kauwsu dengan tenaga pukulan Pek-Kong-Jiu!
Pukulan ini tak perlu mengenai tubuh orang, karena memang dimaksudkan untuk memukul lawan dari jarak jauh. Orang yang berdiri sejauh setombak lebih dapat terpukul oleh angin pukulan ini dan dirobohkan! Inilah ilmu pukulan lweekang yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi! Akan tetapi Can Gi Sun berlaku waspada. ia maklum akan serangan gelap ini, maka dengan tersenyum pula iapun lalu merangkapkan kedua tangannya, digerakkan dari bawah ke atas dengan jari-jari terbuka dan dirangkap seperti biasanya pemeluk Agama Buddha memberi hormat. Inilah gerakan Heng-Pai Koan-Im (Memuja Koan Im Dengan Tangan Miring) dan tenaga gerakan dari bawah ke atas ini sekaligus dapat menangkis serangan angin pukulan yang mengarah dadanya!
"Song-Kauwsu sungguh gagah! Sayang kau kurang dapat mendidik muridmu!"
Tegur Can-Kauwsu dengan suara halus.
"Hm, bagus! Memang meneliti kesalahan orang lebih mudah daripada mencari keburukan sendiri!"
Jawab Song-Kauwsu dengan marah.
"Perkelahian dilakukan oleh kedua fihak. Kalau murid-muridku bersalah, maka murid-muridmupun tidak benar! Apakah kau mau mengulangi lagi kesombonganmu dan memberi hadiah totokan pada murid-muridku?"
"Song-Kauwsu, memang benar aku telah merobohkan muridmu si muka hitam itu dengan totokan, akan tetapi lupakah kau bahwa kaupun pernah merobohkan muridku dengan Coat-Meh-Hoat? Totokan dibalas totokan lagi, ini berarti hanya melunaskan hutang, perlu apa dibicarakan lagi?"
"Kalau begitu kita harus mencari penyelesaian sekarang juga! Sudah lama aku ingin menyaksikan kelihaian Sin-Wan Kun-Hwat! Majulah kau, Can-Kauwsu!"
Tantang Song Swi Kai dengan penuh kemarahan.
"Boleh, boleh! Akan tetapi ingat bahwa kaulah yang menantang lebih dulu, bukan aku!"
"Jangan seperti anak kecil, kau majulah kalau memang gagah!"
Kedua orang jago silat itu sudah memasang kuda-kuda dan siap hendak saling gempur ketika tiba-tiba kepala kampung datang bersama para petugas dan pengikutnya.
"Tahan, jiwi-Kauwsu (Guru silat berdua)! Kami melarang orang-orang berkelahi dan membuat rIbut di sini. Siapa yang membangkang akan ditangkap dan dituntut!"
Kepala kampung ini sudah amat tua dan biarpun ia maklum akan kelihaian kedua orang Guru silat itu, akan tetapi ia adalah seorang yang patuh akan tugasnya dan tidak mau melihat siapapun juga melanggar peraturan Negara yang sudah ditetapkan. Baik Song-Kauwsu, maupun Can-Kauwsu, merasa segan untuk melanggar larangan ini dihadapan kepala kampung, maka mereka lalu menahan nafsu amarah dan mengajak murid-murid masing-masing kembali dengan hati mendongkol. Kesabaran Can-Kauwsu sudah sampai pada batasnya dan ia kini merasa penasaran sekali terhadap Song-Kauwsu. Di dalam hatinya ia ingin memperlihatkan kepada lawannya itu bahwa ia adalah seorang yang tak boleh diperlakukan semaunya saja! Sebaliknya, Song Swi Kai menaruh hati dendam yang besar dan akhirnya ia tidak kuat menahan marahnya lagi.
Untuk mendatangi rumah Can-Kauwsu dan mengamuk ia tidak berani, karena dengan demikian berarti bahwa ia melanggar larangan pemerintah dan tentu ia yang akan dipersalahkan. Maka ia lalu mencari akal dan menghubungi pengurus-pengurus dari Kuil Ban-Hok-Si untuk meminjam tempat, lalu mendirikan panggung Lui-Tai dan mengirim surat tantangan kepada Can Gi Sun. Demikianlah asal-mulanya permusuhan antara kedua Guru silat itu dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, kedua Guru silat itu telah berangkat menuju ke pekarangan Ban-Hok-Si di mana telah didirikan sebuah panggung Lui-Tai, tempat mereka mengadu kepandaian mencari keputusan siapa diantara mereka yang lebih lihai! Akan tetapi, setelah berangkat meninggalkan rumahnya menuju ke tempat adu kepandaian itu, mulailah Can Gi Sun merasa menyesal bahwa kembali ia telah menanam bibit permusuhan dengan Song Swi Kai.
Ia tidak merasa takut, akan tetapi segala pengalaman yang sudah-sudah terbayang di depan matanya, sehingga ia berjalan sambil menundukkan muka dan tidak banyak bicara kepada kedua orang muridnya yang mengawaninya. ia teringat betapa dengan permusuhan yang ada antara ia dengan penjahat-penjahat, telah membuat ia menderita dan kehilangan puteri tunggalnya. Akibat buruk apalagikah gerangan yang akan timbul karena permusuhan dengan Song-Kauwsu ini? Lui Siong yang usianya sudah lanjut pula dan hanya lebih muda kira-kira sepuluh tahun dari Suhunya, dapat memahami dan menduga apa yang menjadi bahan pikiran Suhunya, dapat meraba apa yang mendatangkan rusuh di hati Can-Kauwsu, maka ia lalu berkata sambil menghIbur.
"Suhu, percayalah bahwa Teecu sendiri tidak suka dengan adanya kerIbutan yang timbul antara kita dengan pihak Song-Kauwsu itu. Akan tetapi, sebagai orang-orang gagah yang menjunjung tinggi keadilan dan nama kehormatan, kita harus melawan dan Teecu bersiap mengorbankan nyawa akan pembelaan nama kehormatan perguruan kita! Bukankah orang-orang bijaksana di jaman dahulu seringkali menyatakan bahwa manusia tanpa kehormatan menurun tingkatnya seperti seekor binatang? Bukankah mereka para cerdik pandai menyatakan bahwa orang harus membela nama kehormatan Negara, nama kehormatan keluarga dan nama kehormatan sendiri yang jauh lebih berharga daripada nyawa? Dan ada pula ujar-ujar kuno yang menyatakan bahwa jauh lebih baik mati sebagai seekor harimau yang gagah daripada hidup sebagai seekor babi yang hanya menjadi bahan hinaan orang lain?"
Sambil berjalan terus, Can Gi Sun mengerling kepada murid kepala ini dan mulutnya tersenyum. Keraguannya yang tadi hampir saja menenggelamkan sifat kegagahannya buyar tertiup oleh semangat kegagahan yang terkandung dalam ucapan muridnya, dan bangkit kembali semangatnya, membuat wajahnya berseri bagaikan seorang pemuda yang berangkat menuju ke pesta kawin untuk menyambut kekasihnya!
"Terima kasih, Lui Siong! Kau pandai memilih saat untuk mengeluarkan ucapan yang tepat! Akan tetapi jangan kau salah duga. Aku sama sekali tidak takut atau gentar menghadapi pIbu ini, hanya aku teringat alangkah buruknya sifat-sifat yang dimiliki oleh orang-orang gagah di dunia ini, yang hendak menonjolkan kegagahannya dengan cara menjatuhkan orang lain mengandalkan tenaganya. Sifat kegagahan macam ini kurasa hanya kosong belaka, muridku! Kalau saja yang akan kita hadapi ini seorang penjahat keji pengganggu dan pengrusak keamanan dan ketentraman rakyat, tentu aku akan berangkat dengan penuh kegembiraan. Akan tetapi, aku tahu bahwa Song-Kauwsu bukanlah seorang jahat, dan ia hanya menurutkan kata nafsu hatinya yang sombong, keras, dan tidak mau mengalah. Inilah yang tadi mengesalkan hatiku. Akan tetapi, betul juga kata-katamu tadi, kita bukan hendak merobohkan mereka untuk mencari nama, akan tetapi kita hanya menjadi tamu yang diundang, orang-orang yang ditantang dan yang berusaha membela nama dan kehormatan!"
Maka ketiga orang itu berjalan makin cepat sehingga sebentar saja mereka tiba di halaman Kuil Ban-Hok-Si yang sudah penuh dengan penonton itu! Kembali terdengar suara riuh sebagai penyambutan kedatangan Guru silat tua yang ternama ini. Melihat betapa Can-Kauwsu hanya datang bersama dua orang muridnya, dan sama sekali tidak mentereng dan gagah seperti kedatangan Song-Kauwsu tadi, maka makin lemahlah hati para orang-orang yang memihak Can-Kauwsu. Akan tetapi, orang yang bertaruh lima puluh tail perak melawan orang yang mempertaruhkan sawahnya tadi, segera menyambut Can-Kauwsu dengan seruan keras.
"Hidup Can-Kauwsu yang gagah perkasa!"
Teriakannya ini membangkitkan semangat para penonton yang bersimpati kepada Can-Kauwsu sehingga merekapun lalu bersorak-sorak girang dan gembira. Can-Kauwsu menggeleng-gelengkan kepalanya. Orang-orang macam ini bahkan memperuncing perasaan hati yang panas dari kedua belah pihak dan iapun dapat maklum dari pengalamannya bahwa diantara mereka itu sebagian besar tentu orang-orang yang bertaruh! ia hanya melambaikan tangan sebagai pembalasan hormat, kemudian dengan langkah tetap ia bersama dua orang muridnya menuju ke ruang muka Kuil itu dimana ia disambut oleh ketua Ban-Hok-Si, yakni Jin Hwat Hosiang.
"Lo-Suhu, kali ini Kuilmu benar-benar mendapat banyak pengunjung!"
Kata Can-Kauwsu kepada ketua kelenteng itu. Jin Hwat Hosiang memberi hormat dengan muka berubah merah karena merasakan sindiran dalam ucapan ini. ia sudah lama kenal Can-Kauwsu sebagai seorang yang baik budi, maka jawabnya dengan suara menyesal.
"Percayalah, Can-Kauwsu, telah berhati-hati Pinceng (aku) merasa berduka dan tak dapat tidur dengan nyenyak memikirkan hal ini. Silakan duduk!"
Can Gi Sun melayangkan pandang ke arah rombongan Song Swi Kai yang duduk di ujung ruang sebelah kiri dan ketika pandangan mata kedua orang itu bertemu, maka yang terpancar keluar dari dua pasang mata itu hanyalah sikap permusuhan!
Can-Kauwsu dan kedua orang muridnya menduduki ruang sebelah kanan di mana telah dipersiapkan tempat duduk untuk rombongannya. Para penonton berdesakan maju dan keadaan menjadi riuh karena ratusan orang penonton itu saling bicara dalam waktu yang sama. Akan tetapi ketika Song Swi Kai bangkit dari duduknya dan naik ke atas panggung, semua suara lenyap dan keadaan menjadi sunyi. Semua mata ditujukan kepada Guru silat yang tinggi besar dan bermuka merah itu. Melihat Guru silat yang berpakaian mewah dan gagah itu, mau tak mau semua orang mengakui kegagahan Guru silat ini, bahkan mereka yang tadinya mengharapkan kemenangan Can-Kauwsu, kini merasa amat ragu-ragu. Song Swi Kai menjura ke empat penjuru, lalu berkata dengan suaranya yang lantang.
"Cuwi (saudara-saudara sekalian) yang terhormat! Sebagaimana cuwi sekalian tentu sudah mendengar bahwa hari ini aku, Song Swi Kai, Guru silat baru di kota ini yang mengajarkan ilmu silat dari cabang Bu-Tong-Pai, mendirikan Lui-Tai ini untuk mengundang kepada Can-Kauwsu mengadakan pIbu terbuka agar dapat disaksikan oleh umum ilmu silat perguruan manakah yang lebih tinggi tingkatnya dan lebih aseli! Tentu nama Can-Kauwsu untuk kota Sung-Kian ini sudah amat terkenal, karena Can-Kauwsu telah mengangkal diri sendiri menjadi Sung-Kian te-it-Kauwsu Aku tidak mempunyai persoalan atau permusuhan pribadi dengan Can-Kauwsu akan tetapi tentu cuwi sekalian telah tahu pula akan bentrokan-bentrokan yang terjadi antara perguruanku dan perguruan Can-Kauwsu yang pada hakekatnya disebabkan oleh karena rasa penasaran dar saling tidak mau mengalah dari para murid kami berdua. Hal ini harus diselesaikan, dan cara terbaik bagi orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan ialah cara pIbu di atas panggung. Yang kalah harus mengakui kebodohannya dan yang menang berhak untuk melanjutkan perguruannya dan dapat disebut Sung-Kian Te-It-Kauwsu! Kami persilakan Can-kauwsi mengajukan jawabannya!"
Pidato ini mendapat sambutan tepuk tangan riuh dari mereka yang pro dengan Song-Kauwsu, terutama mereka yang bertaruh memegang Guru silat ini. Can Gi Sun berdiri dari tempat duduknya dan naik ke atas panggung dengan tindakan kaki tetap dan perlahan. Sikapnya amat sabar dan tenang, sungguhpun di dalam hatinya ia telah merasa panas. Kehadirannya di atas panggung mendapat sambutan yang meriah pula, oleh karena memang Guru silat tua ini telah dianggap sebagai pendekar oleh semua orang Sung-Kian semenjak ia membasmi gerombolan perampok beberapa tahun yang lalu. Can Gi Sun merangkapkan kedua tangan dan memberi hormat kepada Song Swi Kai yang segera membalasnya. Kemudian Can Gi Sun memberi hormat kepada semua penonton di empat penjuru, lalu berkata dengan suaranya yang nyaring akan tetapi tenang dan halus.
"Cuwi sekalian yang mulia! Cuwi sekalian tentu telah maklum bahwa aku orang-tua she Can semenjak mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai Piauwsu dan mengajar beberapa orang murid untuk menurunkan sedikit kepandaian sekalian mencari nafkah hidup, selalu menjauhkan permusuhan dan pertempuran, kecuali untuk membasmi orang-orang jahat yang mengganggu keamanan umum. Sepuluh tahun sudah, aku hidup sebagai Guru silat dengan tentram dan tak pernah bertempur, bahkan semua murid-muridku dengan keras kupesan agar supaya jangan suka berkelahi dan mengandalkan kepandaian yang rendah! Tadi Song-Kauwsu yang terhormat menyatakan bahwa aku mengangkat diri sendiri sebagai Sung-Kian Te-It-Kauwsu, dan hal ini sebagaimana cuwi ketahui tidak benar adanya, karena papan itu adalah sebuah hadiah dari kepala kampung setelah aku dan kawan-kawan serta murid-muridku berhasil membasmi perampok yang mengganggu kampung. Semenjak Song-Kauwsu datang membuka perguruan di kota ini, barulah terjadi pertempuran-pertempuran dan kerIbutan diantara anak murid kami. Dengan adanya hal ini dapatlah kiranya cuwi mempertimbangkan sendiri di mana letak kesalahan!"
Sehabis mengucapkan kata-kata ini, Can Gi Sun lalu menjura lagi kepada penonton, lalu menghadapi Song Swi Kai dengan sikap tenang. Song-Kauwsu memandang kepada Can-Kauwsu dengan senyum sindir dan berkata dengan suara keras agar terdengar pula oleh semua penonton.
"Can-Kauwsu pidatomu sungguh bagus dan agaknya kau hendak menimpakan semua kesalahan di atas pundakku! Aku tahu bahwa kau merasa iri dan tidak senang karena sebagian besar murid-muridmu lari dan berguru kepadaku. Hal ini seharusnya kau insyafi sebagai tanda bukti bahwa tingkat ilmu silat yang kuajarkan lebih baik daripada ilmu silatmu. Dan untuk membuktikan ini pula serta menyelesaikan segala perhitungan, maka aku sengaja mengundangmu untuk mengadakan pIbu ini. Kulihat kau membawa dua orang muridmu, tentu mereka itu murid-muridmu yang terbaik, maka biarlah kita sekarang menIbuktikan kepada umum, pelajaran siapa yang lebih baik dan murid siapakah yang lebih pandai. Aku akan mengeluarkan seorang murid untuk menghadapi seorang muridmu. Bagaimana, apakah kau berani menerima tantangan ini?"
Can-Kauwsu tersenyum.
"Kau adalah tuan rumah dan aku hanya seorang tamu tentu saja aku akan menyambut segala aturan dan permintaan yang kau ajukan."
Kedua Guru silat tu lalu turun dari panggung menuju ke tempat masing-masing. Song-Kauwsu lalu menyuruh muridnya Hek-Bin-Liong Tan Kui Hok untuk naik ke atas panggung. Si Muka Hitam ini sengaja naik ke atas panggung tidak melalui anak tangga, akan tetapi melompat dari ruang itu dengan gerak tipu Burung Walet Pulang ke Sarang. Tubuhnya melayang cepat dan tiba di atas panggung dengan ringan bagaikan seekor burung hinggap di atas cabang pohon. Penonton menyambut demonstrasi ini dengan tepuk tangan memuji.
"Murid-murid dari Can-Kauwsu yang mana hendak menghadapiku?"
Tanya Hek-Bin-Liong sambil memandang ke arah tempat duduk pihak Can-Kauwsu. Guru silat ini lalu menyuruh Gu Ma Ek untuk menyambut tantangan si muka hitam setelah membisiki sesuatu ke telinga anak muda itu. Gu Ma Ek juga melompat ke atas panggung dengan kedua lengan terpentang, kemudian setelah tiba di atas panggung, ia berjungkir-balik dua kali dan kakinya tiba di atas papan panggung dengan ringan. Gerakannya ini indah sekali maka kembali para penonton memuji ketangkasan pemuda itu. Begitu berhadapan dengan Tan Kui Hok, Ma Ek lalu menyampaikan pesanan Suhunya ketika ia hendak melompat ke atas panggung tadi dan berkata dengan suara nyaring.
"Menurut pesan Suhu, aku sengaja naik ke sini untuk menyambut tantangan murid Song-Kauwsu tanpa membawa senjata! PIbu ini diadakan untuk menguji kepandaian, bukan untuk berkelahi mengadu nyawa, oleh karena itu, aku hendak menerima tantangan ini dengan mengandalkan kedua kaki dan kedua tanganku. Harap fihak lawan dapat maklum akan hal ini!"
Mendengar ucapan ini, si Muka Hitam tertawa bergelak, lalu melepaskan sarung pedangnya dan melemparkannya ke arah Kakaknya. Tan Siang menerima sarung pedang itu, lalu duduk kembali di dekat Suhunya.
"Siauwko (engko cilik),"
Kata Tan Kui Hok kepada Ma Ek.
"Bukankah kau yang bernama Gu Ma Ek dan menjadi murid kepala kedua dari Can-Kauwsu?"
"Dugaanmu benar dan akupun sudah tahu bahwa kau adalah Hek-Bin-Liong Tan Kui Hok yang sombong! Karena kaupun menjadi murid kepala kedua, maka kedudukan kita boleh dibilang setingkat. Nah, tak perlu banyak cakap pula, kau majulah dan perlihatkan kelihaianmu!"
Hek-Bin-Liong memang mudah sekali marah, maka mendengar ucapan yang agaknya memandang ringan ini, ia menjadi marah sekali. Cepat ia memasang kuda-kuda, kemudian berseru.
"Awas serangan!"
Sambil menyerbu ke depan dengan pukulan Cim-Jip Houw-Hiat (Memasuki Gua Harimau). Ma Ek cepat mengelak ke samping, akan tetapi dengan amat gesitnya, Kui Hok yang bernafsu keras suntuk dapat merobohkan lawan secepatnya itu telah melanjutkan serangannya dengan tiba-tiba merendahkan tubuh setengah berjongkok dan menyambar dengan tendangan kakinya kearah lutut.
Ma Ek tidak kalah gesit dan awasnya. Menghadapi serangan tendangan yang amat cepat dan tak terduga datangnya itu, ia lalu melompat ke atas, kemudian membalas dengan serangannya sambil mempergunakan gerak tipu Pek-Ho Tok-Hi (Bangau Putih Mematuk Ikan). Kui Hok cepat menarik kembali kakinya yang menendang dan menangkis serangan lawan ini dengan keras, kemudian melakukan serangan balasan yang tak kalah dahsyatnya. Demikianlah, kedua orang muda itu mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan semua tenaga untuk dapat mengalahkan lawannya. Mereka ternyata mempunyai tingkat kepandaian yang tidak jauh bedanya, hanya kalau diadakan ukuran, si muka hitam memiliki tenaga yang lebih besar akan tetapi sebaliknya, Gu Ma Ek memiliki kegesitan yang lebih cepat.
Sampai hampir lima puluh jurus mereka berkelahi dengan seru sekali, dan keduanya telah menerima pukulan-pukulan dari lawan yang belum cukup kuat untuk merobohkannya, karena mereka keburu menangkis atau mengelak sehingga pukulan itu hanya mengenai kulit dan meleset saja. Tiba-tiba Tan Kui Hok si Naga Muka Hitam itu yang menjadi amat penasaran, merubah pergerakannya dan kini ia mainkan ilmu silatnya yang paling diandalkan, yakni Kim-Ta Sin-Na yang amat lihai itu. Ilmu silat ini tidak hanya dilakukan dengan memukul, akan tetapi lebih banyak menggunakan tangan secara mencengkeram atau memukul dengan jari-jari tangan terbuka dan mengarah urat-urat penting. Tiap pukulan disertai ilmu Coat-Meh-Hoat, yakni ilmu totok cabang Bu-Tong-Pai yang terkenal itu.
Setelah Si muka hitam mempergunakan ilmu pukulan ini, maka benar saja Gu Ma Ek menjadi terdesak hebat dan menjadi bingung menghadapi serangan-serangan yang bertubi-tubi dan sambung-menyambung datangnya itu. Setelah dapat mempertahankan diri sampai dua puluh jurus lagi, akhirnya pukulan tangan kiri dari Tan Kui Hok dapat "masuk"
Dan menghantam tulang pundak Ma Ek. Pemuda itu berseru kesakitan dan terguling di atas lantai panggung. Kui Hok yang sudah menjadi panas dan seperti orang mabok itu lupa bahwa pertandingan itu hanya pIbu belaka, dan di dalam pertempuran itu ia telah menganggap lawannya ini seorang musuh, maka ia lalu melangkah maju hendak memberi pukulan pula kepada lawan yang sudah roboh itu. Hal ini sungguh melanggar peraturan pIbu, karena di dalam pIbu, orang yang sudah roboh dan tak dapat melawan lagi, sama sekali tak boleh diserang lagi.
"Kui Hok, tahan!"
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seru Song Swi Kai melihat gerakan muridnya itu, sedangkan dari bawah panggung berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Lui Siong, murid nomor satu dari Can-Kauwsu telah berada dihadapan Kui-Hok sambil memandang marah.
"Ha, ha! Kau hendak menggantikan sutemu?"
Kata Kui Hok yang masih panas dan tiba-tiba ia mengirim pukulan kepada Lui Siong. Lui Siong miringkan tubuhnya dan tangannya tiba-tiba menyabet dari samping memukul lengan si muka hitam itu sehingga Kui Hok menjadi kaget dan terhuyung ke samping. Lengannya yang terpukul tadi terasa sakit sekali. Terkejutlah ia karena ternyata bahwa murid pertama dari Can-Kauwsu ini benar-benar lihai dan kuat.
"Kui Hok, turun kau!"
Terdengar Song-Kauwsu berseru keras dan marah sehingga si muka hitam yang sudah memperoleh kemenangan itu lalu melompat turun. Lui Siong membimbing sutenya yang terluka itu ke bawah panggung dan beberapa orang murid Can-Kauwsu yang berada di bawah panggung dan berdiri diantara para penonton, lalu maju menolong dan menggotong Ma Ek pulang untuk diobati. Lui Siong mendapat perkenan dari Gurunya untuk naik ke panggung. Sementara itu, Song-Kauwsu sudah menyuruh murid kepalanya yang bernama Tan Siang dan bergelar Oei-Bin-Liong untuk naik ke panggung. Berbeda dengan Naga Muka Hitam, Tan Siang lebih tenang dan sabar daripada adiknya, demikianpun Lui Siong lebih sabar daripada Ma Ek, maka kedua orang ini saling menjura dengan hormat.
"Adikmu sungguh gagah dan suteku memang telah kalah,"
Kata Lui Siong kepada Tan Siang.
"Marilah kita melanjutkan pIbu ini untuk menentukan keunggulan ilmu silat masing-masing."
Oei-Bin-Liong bertanya.
"Apakah kau juga merasa berkeberatan untuk mengadakan pIbu sambil mainkan senjata? Atau barangkali kau merasa ngeri melihat darah?"
Mendengar pertanyaan yang mengandung ejekan ini, Lui Siong merasa mendongkol juga. Biarpun agak pendiam, ternyata si Naga Muka Kuning ini juga mempunyai kesombongan seperti adiknya. Akan tetapi Lui Siong tidak berani mengambil keputusan sebelum mendapat ijin dari Suhunya, maka dari atas panggung ia memandang ke arah Suhunya dengan ragu-ragu. Can-Kauwsu juga mendengar pertanyaan Oei-Bin-Liong Tan Siang tadi, maka karena muridnya memang tidak membawa senjata, ia segera mengeluarkan sepasang Poan-Koan-Pitnya dan melemparkan sepasang senjata pit itu ke atas panggung.
Biarpun ia melemparkannya dengan perlahan, namun sepasang pit itu meluncur bagaikan dua batang anak panah ke arah muridnya itu. Inilah gerakan dari ilmu silat Sin-Wan Kun-Hwat yang disebut Lutung Sakti Menyambit Buah! Hanya Lui Siong seorang diantara murid-murid Can-Kauwsu yang sudah mempelajari ilmu silat Poan-Koan-Pit yang lihai dari Suhunya ini, maka melihat sepasang senjata Suhunya itu meluncur ke arahnya, yakni yang sebatang menuju ke pundak kiri dan yang kedua ke pundak kanannya, ia segera merendahkan diri dan mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambar dan menangkap dua batang pit itu. Inilah gerakan yang disebut Lutung Sakti Menyembah Dewa! Tepuk tangan memuji terdengar riuh sekali menyambut gerakan Lui Siong menangkap sepasang Poan-Koan-Pit ini, dan dengan tenang Lui Siong lalu menghadapi Tan Siang dan berkata.
"Aku sudah mendapat ijin dari Suhu dan telah memegang senjata, maka persilakan kau mengeluarkan senjatamu!"
Tanpa banyak cakap lagi Tan Siang si Naga Muka Kuning itu lalu mencabut pedangnya yang tajam berkilau, lalu ia menggerakkan pedangnya sambil berseru keras,
"Awas pedang!"
Serangan pertama dari Tan Siang ini dilakukan dengan gerakan Dewa Sakti Menunjuk Jalan dan pedangnya meluncur dengan tusukan kilat ke arah ulu hati lawan! Namun Lui Siong tak kalah cepatnya, kedua tangannya digerakkan ke atas dan sepasang Poan-Koan-Pitnya dipasang menyilang merupakan gunting dan dapat "menangkap"
Pedang itu. Gerakan ini adalah semacam gerakan yang amat lihai dari ilmu silat Poan-Koan-Pit, karena sepasang senjata yang bentuknya seperti alat tulis ini terbuat daripada baja tulen dan keras sekali.
Kalau saja ujung pedang Tan Siang dapat tertangkap dan "digunting,"
Maka besar kemungkinan ujung pedang itu akan patah! Akan tetapi, Tan Siang sudah memetik sari pelajaran ilmu silat Bu-Tong-Pai, maka tentu saja ia telah maklum akan bahaya ini. Secepat kilat ia menarik kembali pedangnya dan terus digerakkan membabat tubuh bagian bawah lawannya. Lui Siong melompat sehingga pedang lawan itu menyambar di bawah kakinya, lalu ia melakukan gerakan balasan dan menyerang dengan pitnya di tangan kanan ke arah mata lawan, sedangkan pit di tangan kiri ditusukkan ke arah jalan darah di dada kiri Tan Siang. Si muka kuning ini menghindarkan diri dari serangan lawan dengan merendahkan tubuhnya dan menggunakan pedang untuk menangkis tusukan ke arah dada.
"Trang!!"
Bunga-bunga api memercik ke kanan kiri ketika kedua senjata itu beradu dan keduanya melangkah mundur untuk memeriksa senjata dan memperbaiki posisi. Kemudian mereka melanjutkan serangannya dengan cepat sekali. Pertempuran kali ini jauh lebih hebat kalau dibandingkan dengan pertempuran pertama tadi, karena tidak saja mereka kini mempergunakan senjata, akan tetapi kepandaian mereka juga lebih tinggi daripada murid-murid kepala kedua tadi, sehingga gerakan mereka lebih gesit dan kuat. Tan Siang si Naga Muka Kuning adalah murid pertama dari Song Swi Kai dan telah mewarisi tujuh bagian kepandaian Suhunya, maka sudah tentu saja ilmu kepandaiannya cukup tinggi dan kuat. Apalagi ia paling tekun melatih diri dengan latihan napas dan samadhi sehingga tenaga lweekangnya amat kuat yang membuatnya lihai sekali.
Sebaliknya, Lui Siong juga telah menerima ilmu silat terlihai dari Suhunya, yakni permainan Poan-Koan-Pit itu, dan ditambah pula dengan pengalaman-pengalamannya bertempur bertahun-tahun selama ia menjadi Piauwsu, maka ia merupakan lawan berat bagi Tan Siang. Sementara itu, di bawah panggung terjadi hal yang menghebohkan pula. Sebagaimana diketahui, terdapat dua orang yang bertaruh dalam pertandingan ini, yakni petani yang mempertaruhkan sawahnya dan memegang Song-Kauwsu, melawan orang yang bertaruh lima puluh tail perak dan memegang Can-Kauwsu. Mereka menjadi rIbut-rIbut dan bertengkar lagi. HaI ini terjadi semenjak Ma Ek dikalahkan oleh Tan Kui Hok tadi. Si pemilik sawah menyatakan bahwa taruhan itu berlaku untuk semua pengikut pIbu, yakni dengan melihat jumlah yang menang.
"Can-Kauwsu datang bertiga, maka kita lihat saja siapa yang lebih banyak mendapat kemenangan dalam pertandingan ini! Pihak Song-Kauwsu telah menang seorang, maka kalau sekali lagi pihak Song-Kauwsu menang, biarpun Song-Kauwsu sendiri nanti kalah oleh Can-Kauwsu, tetap saja pihaknya menang dan kau harus memberikan uang taruhanmu itu kepadaku!"
"Tidak bisa!"
Bantah si pemilik uang yang tentu saja tidak mau menerima aturan ini karena dengan demikian, maka pihaknya telah menjadi lemah dan telah kalah sebagian!
"Yang kita pertaruhkan adalah pertandingan antara Can-Kauwsu melawan Song-Kauwsu, pertandingan-pertandingan lain tidak masuk hitungan!"
"Kau curang!"
Seru si pemilik sawah yang tadinya sudah merasa menang di atas angin.
"Tidak bisa, kau yang curang!"
Maka rIbutlah keduanya sehingga kalau saja jarak diantara mereka tidak penuh sesak dengan penonton-penonton lain, tentu mereka sudah berkelahi lagi!
"Sst! Diam, lihatlah pertempuran yang sedang berjalan seru!"
Penonton yang berdiri diantara kedua orang itu mencela karena merasa terganggu. Kedua telinganya sudah menjadi sakit karena serangan suara yang keluar dari kedua orang di kanan kirinya! Benar saja, pertempuran antara Lui Siong dan Tan Siang yang telah berlangsung tiga puluh jurus lebih itu kini berjalan dengan amat serunya.
Dalam pandangan para penonton yang tidak tahu akan ilmu silat, memang nampaknya kedua orang itu bergerak-gerak saling serang dan menangkis, berlompatan ke kanan kiri, depan belakang, bagaikan dua ekor burung sedang bermain-main. Akan tetapi, dalam pandangan ahli silat, terutama Can-Kauwsu dan Song-Kauwsu, jelas kelihatan betapa Lui Siang sedang mendesak dengan hebat dan Tan Siang hanya dapat bermain sambil mundur saja. Ketika mendapat kesempatan, secepat kilat pit di tangan kanan Lui Siong menusuk ke arah perut dibarengi bentakan keras. Tan Siang terkejut sekali dan cepat menggerakkan pedangnya yang tadinya di bawah digerakkan ke atas untuk menangkis. Akan tetapi, tak terduga sama sekali bahwa serangan dengan pit kanan itu hanya tipuan belaka dan sebelum Tan Siang dapat menjaga diri, pit di tangan kiri dari Lui Siong telah menusuk ke arah pundak kanan Tan Siang.
"Aduh!"
Tan Siang memekik dan pedangnya terlepas dari pegangan, terus melayang ke atas, akan tetapi ia dapat menggulingkan tubuhnya menghindarkan serangan selanjutnya dan ketika ia melompat bangun, ia berhasil menangkap pedangnya yang meluncur turun! Para penonton, terutama yang berpihak kepada Tan Siang, bertepuk tangan memuji. Akan tetapi, ketika Tan Siang yang tadi menerima pedangnya dengan tangan kiri itu memindahkan pedang ke tangan kanan, ia menjadi terkejut sekali karena merasa betapa pundak kanannya sakit sekali dan tangan kanannya tak dapat digerakkan! ia maklum bahwa jalan darahnya telah kena di "tiam" (ditotok) oleh pit dari lawan itu dan ia tak berdaya untuk melanjutkan pertempuran. Maka ia lalu menjura kepada Lui Siong dan berkata perlahan.
"Kau lihai sekali, aku menyerah kalah!"
Setelah berkata demikian, Tan Siang lalu melompat turun dan menghampiri Suhunya yang segera mengurut pundaknya yang tertotok. Bukan main girangnya petaruh yang memegang pihak Can-Kauwsu tadi. ia menyeringai kepada si pemilik sawah dan berkata.
"Ha, lihat saja! Belum tentu pihakku kalah! Kini hasilnya sudah satu-satu, dan kedua Guru silat sendiri yang akan menentukan kemenangan!"
"Dasar hati curang!"
Memaki si pemilik sawah yang merasa kecewa.
"Tadi kau tidak mau mengakui kekalahan murid Can-Kauwsu, sekarang setelah yang kedua menang, kau bergirang! Cih, tak tahu malu!"
"Jangan rIbut!"
Kata si pemilik uang sambil tertawa mengejek.
"Lihat saja, pertandingan terakhir antara kedua Guru silat itu akan menentukan. Kalau Song-Kauwsu kalah, maka kau dan anak-binimu akan kehilangan sawah dan kalian akan kelaparan!"
Marahlah si pemilik sawah, akan tetapi banyak orang melerai dan mencela mereka yang membuat gaduh sehingga mereka hanya saling pandang dengan mata melotot.
"Kalian berdua ini lagaknya seperti jago saja! Kalau memang mau adu pIbu, bukan di sini tempatnya. Naiklah kalian berdua ke atas panggung untuk mengadu kepalan, biar kami yang menonton siapa yang akan menang!"
Terdengar seorang-tua mencela dan semua orang yang mendengar ini tertawa bergelak. Pada saat itu, Can Gi Sun telah naik ke atas panggung dan berkata dengan suara nyaring.
"Dua pertandingan telah berlangsung dan dalam kedua pertandingan itu para penonton sudah melihat sendiri bahwa ilmu silat pada dasarnya sama kuat dan sama lihai, tergantung dari mereka yang belajar. Ilmu silat yang kuajarkan ada baiknya dan ada juga cacadnya, demikian pula ilmu silat yang diajarkan oleh Song-Kauwsu! Maka, tak dapat disebutkan mana yang lebih tinggi dan mana yang rendah! Kalau hal ini diinsyafi oleh Song-Kauwsu dan suka menarik kembali tantangannya, maka aku orang-tua akan merasa girang dan pertentangan ini akan dibereskan secara damai. Akan tetapi, bukan sekali-kali aku merasa takut! Kalau pihak Song-Kauwsu masih merasa penasaran dan hendak melanjutkan pIbu ini, silakan, aku selalu menunggu!"
"Orang she Can jangan sombong!"
Tiba-tiba terdengar seruan merdu dan dari bawah panggung melayanglah tubuh Song Bwee Eng dengan amat cepat dan ringannya!
"Tua bangka she Can! Keadaan kita baru satu-satu, lihat pedangku ini yang akan memutuskan kemenangan!"
"Bwee Eng... Jangan..."
Terdengar Song Swi Kai berseru, akan tetapi terlambat, gadis yang keras hati itu telah menggerakkan pedangnya menusuk ke arah perut Can Gi Sun dengan gerakan Daun Melayang Dari Cabang! Kepandaian Bwee Eng ini tingkatnya sudah sejajar dengan kepandaian Tan Siang, maka kelihaiannya juga cukup hebat ditambah pula dengan ginkangnya yang memang baik sekali, maka serangan itu cepat sekali datangnya.
Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo