Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 20


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



"Katakan ke mana perginya!"

   Pek Giok menghardik.

   "Kabarnya beliau pergi ke Hang-Chouw..."

   Kini Pek Giok percaya bahwa musuh besarnya itu benar-benar telah pergi ke Hang-Chouw seperti yang dikatakan perwira muka hitam tadi. Ke Hang-Chouw berkunjung ke tempat tinggal Pangeran Leng Sui. la lalu melompat dan berkelebat keluar, meninggalkan gedung itu.

   Song Han Bun tiba di Kotaraja Hang-Chouw pada suatu siang yang cerah. Seperti kita ketahui dia bentrok dengan Can Pek Giok, bahkan berkelahi mati-matian di tanah kuburan kota Sung-Kian karena saling curiga tentang kematian Ayah mereka yang dibunuh orang. Akan tetapi untung sebelum seorang dari mereka tertuka, muncul Lui Hong yang melerai dan menurut Lui Hong, besar kemungkinan yang membunuh Can-Kauwsu dan Song-Kauwsu adalah Pek-Bin Giam-Lo. Untuk mencari musuh besar ini, Han Bun pergi ke Hang-Chouw, juga atas petunjuk Lui Hong yang memberi tahu bahwa Pek-Bin Giam-Lo membantu Kerajaan Cin dan mengingat bahwa Perdana Menteri Chin Kui bersekutu dengan Kerajaan itu, maka besar kemungkinan Pek-Bin Giam-Lo berada di sana. Begitu memasuki Kotaraja Hang-Chouw,

   Han Bun tahu kepada siapa dia harus mencari keterangan tentang musuh besar itu. Dia mempunyai kenalan yang baik dan dapat dipercaya, yaitu Pangeran Liang Tek Ong! Pangeran itu adalah seorang kepercayaan Istana Kaisar Kerajaan Sung yang bertugas sebagai penyelidik, bahkan yang pura-pura bersekutu dengar orang Mongol untuk dapat menyelidiki gerak-gerik mereka. Han Bun langsung saja mengunjungi gedung Pangeran Liang Tek Ong. Pangeran Liang yang berusia sekitar empat puluh tiga tahun itu menyambut kedatangan Han Bun dengan gembira. Dia mengenal Han Bun sebagai seorang pemuda sakti yang berjiwa patriot, setia kepada Kerajaan Sung. Setelah mereka duduk berdua di dalam ruangan tertutup di gedung tempat tinggal Pangeran itu, Han Bun mendengarkan keterangan Pangeran Liang tentang keadaan di Kotaraja. Pangeran itu bercerita dengan wajah muram.

   "Aih, melihat keadaan politik yang dijalankan Perdana Menteri Chin Kui, kita patut merasa prihatin dan khawatir, Song Taihiap (Pendekar Besar Song). Chin Kui bersekutu dengan Kerajaan Cin dan juga Kerajaan Mongol. Hal ini amat berbahaya, sama seperti memelihara harimau dan buaya. Padahal, Kerajaan Sung sampai harus melarikan diri ke selatan dan kehilangan setengah wilayahnya, yaitu bagian utara karena ulah orang-orang Yuchen yang mendirikan Kerajaan Cin. Jelas mereka itu musuh besar kita. Juga Kerajaan Mongol kabarnya sedang memperkuat diri dan Bangsa Mongol ini juga merupakan ancaman bagi negeri kita. Akan tetapi mengapa Chin Kui malah bersekutu dengan mereka? Jelaslah bahwa politik yang dilakukannya ini amat membahayakan Kerajaan Sung sendiri."

   "Maaf, Pangeran. Kalau memang demikian halnya, kenapa Paduka tidak menegur dan menentangnya?"

   Pangeran Liang menghela napas panjang lalu menggelengkan kepalanya.

   "Tidak ada gunanya sama sekali kalau aku menegur atau menentangnya, Taihiap. Pada waktu ini, Chin Kui merupakan orang nomor satu dalam pemerintahan. Yang berani menentangnya pasti akan celaka."

   "Akan tetapi, kiranya Paduka dapat melaporkan kepada Sri Baginda Kaisar!"

   Kata Han Bun.

   "Sudah sering aku melapor dan memperingatkan, akan tetapi Kaisar malah marah kepadaku, mengatakan bahwa aku masih muda kurang pengalaman. Kaisar bahkan membenarkan politik damai Chin Kui, maka aku dan para pejabat tinggi lainnya yang tidak setuju kepada Chin Kui, tidak dapat berbuat apa-apa. Aih, kalau mengingat semua itu, sungguh membuat aku sedih dan khawatir sekali akan nasib Kerajaan Sung, Song Taihiap."

   Suasana menjadi hening karena untuk beberapa lamanya, kedua orang itu hanya duduk seperti orang melamun. Hanya terkadang terdengar helaan napas panjang Pangeran Liang. Han Bun juga merasa prihatin, akan tetapi dia sama sekali tidak tahu apa yang sepatutnya dilakukan seorang pendekar yang mencintai negara dan Bangsanya, dalam keadaan seperti itu. Setelah berpikir sejenak, dia berkata dengan hati-hati.

   "Pangeran, Paduka tentu lebih me-ngerti tentang politik pemerintahan. Menurut pendapat saya, kalau memang politik yang dilaksanakan pemerintah itu membahayakan negara dan rakyat, mengapa kita tinggal diam saja? Bukankah masih banyak orang yang berjiwa patriot yang siap untuk menentang Perdana Menteri Chin Kui?"

   "Tidak mungkin, Taihiap. Menentang Chin Kui dapat diartikan memberontak terhadap Kerajaan karena Kaisar mendukungnya. Menentang kebijaksanaan Chin Kui dapat dianggap menentang kebijaksanaan Sri Baginda Kaisar. Dan usaha itu sama saja dengan bunuh diri, seperti yang dulu dialami dan dilakukan Panglima Besar Gak Hui. Dia dahulu berani menentang kebijaksanaan Chin Kui, akan tetapi akibatnya, Kaisar malah menghukumnya dengan hukuman mati sehingga Jenderal Gak Hui bunuh diri dengan minum racun."

   Han Bun mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa rakyat, termasuk para pendekar, menganggap bahwa Kaisar adalah orang yang telah mendapat wahyu dari TUHAN, sehingga kedudukannya sebagai Kaisar tidak ada yang berani mengganggu gugat!

   Setia kepada Negara berarti harus setia kepada KKaisar. Mencintai tanah air dan Bangsa berarti harus mencintai Kaisar! Karena umum menganggap Kaisar sebagai wakil TUHAN di dunia, maka segala tindakan dan keputusannya harus dianggap benar. Gurunya yang terakhir, Khong-Sim Sin-Kai, pernah mengatakan bahwa sejak dahulu kala, mati-matian orang memperebutkan kedudukan tertinggi. Yang menang dalam perebutan itu lalu memegang kekuasaan tertinggi, dan yang kuasa pasti atau harus dianggap benar dalam segala keputusannya! Bahkan segala macam peraturan dan hukum diadakan dengan alasan untuk melindungi rakyat jelata. Akan tetapi pada kenyataannya, peraturan dan hukum itu hanya diadakan untuk melindungi dan memperkuat kedudukan mereka yang berada di atas dan yang berkuasa.

   "Sunggult tidak adil!"

   Tiba-tiba Han Bun berseru sehingga mengejutkan Pangeran Liang Tek Ong.

   "Memang, di mana terdapat kekuasaan, selalu timbul ketidak-adilan. Ada yang terinjak tentu ada yang menginjak. Dan yang menginjak itu pasti yang berada di atas."

   "Kalau demikian halnya, apakah rakyat harus mandah saja hidup sengsara sedangkan para penguasa hidup bergelimang dengan kekayaan dan kemuliaan?"

   "Memang kenyataannya demikian, Taihiap. Apa yang dapat dilakukan rakyat jelata? Mereka itu walaupun jumlahnya jauh lebih banyak, namun mereka miskin dan Protes sedikit saja dapat dianggap pemberontakan dan dihukum berat. Yang berkuasa itu memiliki pasukan. Kaisar dikuasai Perdana Menteri Chin Kui yang lalim dan korup, tidak mengherankan para pembantunya, yaitu para pejabat tinggi juga korup. Akibatnya, para pejabat rendahan tentu saja tidak ada bedanya, mencontoh para atasannya. Maka rakyatlah yang menderita dan diperas habis-habisan. Mereka yang berada di atas berlumba menumpuk harta kekayaan. Makin banyak mereka peroleh dengan cara korup, makin besarlah keserakahan mereka untuk menumpuk yang lebih banyak lagi. Mereka sama sekali lupa atau sengaja menutup mata agar tidak melihat kenyataan bahwa harta benda Negara yang mereka perebutkan Itu sesungguhnya milik rakyat jelata. Sesungguhnya yang memiliki tanah air adalah rakyat jelata. Apa sih artinya seorang penguasa kalau t idak ada rakyatnya? Para pembesar itu berkhianat kepada rakyat, lupa akan asalnya karena mereka pun merupakan sebagian dari rakyat."

   Pangeran Liang Tek Ong bicara dengan semangat

   "Bukankah dahulu, tiga empat tahun yang lalu, Paduka sebagai wakil pemerintah berpura-pura mengadakan hubungan dengan orang Mongol dengan tujuan untuk menyelidiki mereka?"

   "Memang benar, dan tugasku itu telah disetujui oleh Sri Baginda Kaisar sendiri. Para pejabat yang setIa kepada Kerajaan Sung melihat adanya ancaman dari Kerajaan Cin dan Kerajaan Mongol. Keduanya kini menyusun kekuatan dan sewaktu-waktu dapat saja mereka itu merupakan bahaya dari Kerajaan Sung, Akan tetapi, Pefdana Menteri Chin Kui lagi-lagi mempengaruhi Sri Baginda dan kegiatan kami dihentikan. Bahkan Chin Kui memberi kehebasan kepada Cin dan Mongol untuk menaruh wakil mereka di sini. Aku khawatir sekali, Taihiap. Kerajaan Cin dan Kerajaan Mongol menyusun kekuatan, sebaliknya Kerajaan Sung dipimpin pembesar-pembesar yang korup, berlumba menumpuk harta benda dan tenggelam ke dalam kesenangan dan kemewahan."

   Han Bun merasa penasaran sekali. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan? Dia teringat akan urusannya sendiri, maka dia lalu mengalihkan pembicaraan.

   "Pangeran, sesungguhnya kedatangan saya ke Kotaraja ini untuk menyelidiki dan mencari pembunuh Ayah saya."

   Pangeran Liang Tek Ong terkejut.

   "Ayahmu dibunuh orang, Taihiap? Siapa yang berani melakukan kejahatan itu?"

   "Saya sendiri belum yakin siapa pembunuhnya. Hanya ada seorang yang saya curigai sebagai pembunuhnya karena orang itu sejak dahulu memusuhi keluarga saya. Saya mendengar bahwa dia adalah seorang yang membantu Kerajaan Cin, maka saya mencari keterangan di sini. Siapa tahu Paduka mungkin mengetahuinya. Dia seorang Datuk bernama Pek-Bin Giam-Lo."

   "Pek-Bin Giam-Lo?"

   Kata Pangeran itu sambil menggelengkan kepalanya.

   "Kami tidak pernah mendengar akan nama itu. Akan tetapi di sini memang ada perwakilan Kerajaan Cin yang dipimpin seorang yang di sini dikenal sebagai Leng-Kongcu, akan tetapi biarpun penampilannya seperti seorang sastrawan pribumi dan dia bahkan menikah dengan puteri seorang pejabat, namun aku mendengar dari para penyelidikku bahwa sesungguhnya dia seorang Pangeran Bangsa Yuchen dan bernama Pangeran Leng Sui. Nah, agaknya kalau engkau mencari keterangan di gedungnya, engkau akan dapat memperoleh keterangan lebih jelas tentang Datuk Kin yang kau cari itu."

   Setelah mendapat petunjuk di mana letak gedung tempat tinggal Pangeran Leng Sui, Han Bun lalu mencari sebuah rumah penginapan dan menyewa sebuah kamar. Sore hari itu dia berjalan-jalan dan lewat di depan gedung Pangeran Leng Sui. Dia melihat betapa di dekat pintu gerbang terdapat belasan orang penjaga. Setelah melakukan penyelidikan dan berjalan mengitari gedung dengan taman dan pekarangannya yang cukup luas itu, dia kembali ke rumah penginapan dan mengambil keputusan untuk malam nanti mengunjungi gedung itu dan menyelidiki tentang Pek-Bin Giam-Lo. Malam itu, setelah keadaan Kotaraja sunyi, Han Bun meninggalkan rumah penginapan.

   Dengan gerakan yang amat gesit tubuhnya berkelebat dan sebentar saja dia sudah tiba di belakang gedung tempat tinggal Pangeran Leng Sui. Ketika lewat di depan gedung tadi, dari jalan raya dia dapat melihat bahwa di gardu penjagaan dekat pintu gerbang masih terjaga belasan orang. Dia tidak ingin membikin ribut, tidak ingin bermusuhan dengan orang-orang Cin yang berada di situ. Dia hanya ingin mencari dan menemukan Pek-Bin Giam-Lo yang dia duga sebagai pembunuh Ayahnya dan Ayah Pek Giok. Dengan mudah dia melompat dan tubuhnya melayang ke atas pagar tembok. Dari atas pagar tembok dia melihat sebuah taman bunga yang luas dan di sana-sini digantungi lampu warna-warni. sehingga taman itu tampak indah. Dengan mudah dia pun melompat turun dan berjalan menuju ke bangunan gedung itu dari belakang.

   Han Bun menyelinap di antara pohon dan semak dalam taman itu dengan hati-hati. Dia tidak ingin ketahuan penjaga. sehingga usaha penyelidikannya gagal. Setelah tiba di dekat bangunan dia merasa bingung sendiri. Bagaimana dia dapat menemukan Kakek muka tengkorak dalam gedung yang demikian besar? Pula, dia belum tahu dengan pasti apakah Pek-Bin Giam-Lo berada di situ atau tidak. Akan sia-sia saja dia mencari kalau Datuk sesat itu tidak berada di situ. Sebaiknya kalau dla dapat menangkap seorang penjaga atau seorang pelayan dan dari orang ltu dia akan dapat memperoleh keterangcn apakah Pek-Bin Giam-Lo berada di geaung itu ataukah tidak. Benar, pikirnya, dia harus menangkap seseorang yang menjadi penghuni gedung itu dan memaksanya memberi keterangan itu. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Keparat, engkau sudah bosan hidup berani masuk ke sini tanpa ijin!"

   Han Bun terkejut dan lebih lagi ketika dia merasa ada sambaran angin yang amat dahsyat menyerangnya dari samping. Cepat dia mengelak dengan lompatan ke kiri. Akan tetapi orang yang tadi membentak dan menyerangnya itu sudah menyerang lagi dengan tamparan tangan. Gerakannya cepat sekali dan juga mengandung tenaga dahsyat. Han Bun yang melihat bahwa penyerangnya seorang wanita, merasa terkeiut dan kagum. Wanita ini ternyata memiliki kepandaian yang amat hebat. Dia segera menangkis dengan tangan kiri, menyambut serangan tangan kanan wanita itu.

   "Wuuutt... dukk!!"

   Han Bun terdorong ke belakang, juga penyerangnya terdorong ke belakang. Keduanya merasa terkejut dan kini mereka berdiri saling pandang di bawah sinar lampu hijau. Keduanya terbelalak dan berseru,

   "Ceng Ceng...!!"

   "Bu Beng...! Ah, benar engkau ini, Bu Beng? Betapa rindu aku padamu...!"

   Penyerang itu adalah Siangkoan Ceng atau Ceng Ceng. Seperti kita ketahui, Ceng Ceng kini tinggal di gedung Pangeran Leng Sui sebagai pengawal pribadi setelah Pangeran Baduchin kembali ke Mongol. Malam itu secara kebetulan saja ia bersantai di dalam taman dan melihat bayangan berkelebat. Maka cepat ia mendekati dan menyerang bayangan itu. Ketika melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah Bu Beng, tentu saja ia merasa girang bukan main. la tidak pernah dapat melupakan Bu Beng, satu-satunya pria yang pernah menggetarkan hatinya dan membuatnya jatuh cinta. Dengan perasaan gembira yang meluap-luap, Ceng Ceng maju dan merangkul pemuda itu. Tentu saja Bu Beng menjadi bingung ketika gadis itu memeluknya dengan ketat. Dia dapat merasakan tubuh yang lunak dan hangat itu mendekapnya. Cepat ia melepaskan rangkulan Ceng Ceng dan mundur dua langkah.

   "Ceng Ceng, Jangan begini..."

   Katanya lirih. Ceng Ceng menatap tajam. Dalam penglihatannya, kini Bu Beng bahkan lebih tampan dan gagah daripada ketika bertemu dengannya beberapa tahun yang lalu.

   "Bu Beng, ke mana saja engkau selama ini? Mari, mari kita bicara di sana."

   Ia menuding ke arah sebuah bangunan serambi kecil mungil di tengah taman itu. Ketika Ceng Ceng menggandeng tangannya dan diajak berjalan menuju ke serambi itu, Han Bun yang dikenal Ceng Ceng sebagai Bu Beng (Tanpa Nama) tidak membantah. Dia malah merasa mendapat jalan untuk mengetahui di mana adanya Pek-Bin Giam-Lo. Di dalam serambi itu terdapat bangku bangku panjang dan mereka duduk bersanding di atas bangku. Di situ tergantung empat buah lampu sehingga cukup terang untuk dapat saling pandang. Han Bun harus mengakui bahwa Ceng Ceng tampak cantik Jelita dan lebih matang dibandingkan tiga tahun yang lalu. Setelah duduk bersanding, Ceng Ceng merapatkan duduknya dan kembali la memegang tangan Han Bun.

   "Bu Beng, aku sungguh rindu kepadamu dan selama ini aku ingin sekali mencarimu akan tetapi tidak tahu ke mana engkau pergi. Selama ini ke mana saja kah engkau, Bu Beng? Ceritakanlah dan bagaimana pula malam ini engkau masuk ke sini? Ada keperluan apakah engkau memasuki tempat tinggal Leng-Kongcu?"

   Han Bun meragu untuk bercerita lebih dulu. Bagaimana kalau gadis ini berpihak kepada Pek-Bin Giam-Lo? Dia harus mengetahui keadaan Ceng Ceng lebih dulu.

   "Ceng Ceng, sebelum aku menceritakan keadaanku, lebih baik engkau menceritakan dulu bagaimana engkau berada di sini? Mengapa engkau meninggalkan Beng-Kauw dan agaknya menjadi penghuni gedung ini? Bukankah gedung ini merupakan tempat tinggal Pangeran Cin?"

   Han Bun merasa heran sekali karena kini tentu saja dia sudah tahu bahwa Beng-Kauw adalah sebuah perkumpulan yang terkenal tidak tunduk kepada Kerajaan mana pun, bahkan juga terkadang dikenal sebagai penentang kebijaksanaan Kerajaan Sung. Selain itu, juga terkenal sebagai golongan sesat yang ditakuti dan ditentang para pendekar. Mendengar ucapan Han Bun, Ceng Ceng tersenyum dan menjawab manja,

   "Aih, Bu Beng, apakah engkau lupa bahwa aku adalah gadis yang sejak pertama bertemu denganmu telah jatuh cinta kepadamu? Bukankah sejak pertama kali bertemu kita sudah bersahabat dengan baik? Mengapa sekarang agaknya engkau tidak percaya kepadaku?"

   Akan tetapi melihat pemuda itu mengerutkan alisnya, Ceng Ceng melanjutkan.

   "Baiklah, dengarkan ceritaku. Setelah engkau pergi meninggalkan Beng-Kauw, aku lalu pergi juga untuk mencarimu. Akan tetapi usahaku sia-sia saja dan akhirnya aku memperdalam ilmuku kepada Susiok-Couw (Kakek Paman Guru) Tong Tong Lokwi."

   "Hemm, pantas sekarang ilmu kepandaianmu amat hebat."

   Han Bun memuji.

   "Kulihat engkau kini juga bertambah lihai. Nah, setelah aku selesai belajar, aku lalu melanjutkan usahaku mencarimu dan akhirnya aku tiba di Kotaraja ini. Karena ingin meluaskan pengalaman, ketika aku bertemu Leng-Kongcu dan dia minta aku menjadi pengawal pribadinya, aku menerima tugas itu. Aku berada di sini baru sekitar satu bulan. Nah, begitulah keadaanku. Sekarang giliranmu, Bu Beng. Bagaimana engkau dapat datang ke sini malam-malam dan apa yang hendak kau lakukan?"

   Han Bun merasa tidak enak sekali. Ceng Ceng menjadi pengawal seorang Pangeran Bangsa Yuchen, berarti membantu Kerajaan Cin. Kalau begitu, besar kemungkinan Ceng Ceng akan membela Pek-Bin Giam-Lo yang kabarnya juga seorang pendukung Kerajaan Cin.

   "Ceritanya panjang, Ceng Ceng. Akan tetapi yang pertama kali kau perlu ketahui adalah bahwa namaku bukan Bu Beng seperti ketika aku kehilangan ingatan. Aku bernama Song Han Bun berasal dari kota Sung-Kian."

   "Song Han Bun? Hemm, nama yang bagus. Tentu Kakek sakti Khong-Sim Sin-Kai itu yang telah memulihkan ingatanmu, bukan?"

   "Benar, dan selama tiga tahun aku ikut Suhu Khong-Sim Sin-Kai memperdalam ilmu."

   "Hemm, setelah engkau sembuh dan ingatanmu pulih kembali, tentu engkau ingat bagaimana sampai engkau kehilangan ingatanmu dahulu itu, Bu Beng... eh, Han Bun?"

   "Tentu saja aku ingat. Bagaimana aku dapat melupakan si jahat yang keji itu.? Dia adalah Pek-Bin Giam-Lo"

   "Pek-Bin Giam-Lo?"

   Ceng Ceng bertanya heran.

   "Ya, dialah yang ketika itu menggunakan ilmu hitam menyerangku dan melukaiku sehingga aku kehilangan ingatan."

   "Hemm, dan engkau sekarang datang ke Kotaraja dengan niat hendak mencarinya dan membalas dendam? Akan tetapi mengapa malam-malam datang kesini, Han Bun?"

   Han Bun menggelengkan kepalanya.

   "Aku bukan seorang pendendam, Ceng Ceng, karena aku tahu benar bahwa dendam merupakan racun bagi diri sendiri. Akan tetapi telah terjadi malapetaka menimpa keluarga orang-tuaku. Ayahku terbunuh orang tanpa sebab dan aku kesini untuk melakukan penyelidikan mencari pembunuh Ayahku."

   "Dan siapakah yang engkau sangka melakukan pembunuhan itu?"

   "Aku belum yakin benar, akan tetapi besar kemungkinan yang melakukan adalah Pek-Bin Giam-Lo. Dia mendendam kepadaku karena dahulu aku telah membunuh muridnya, yaitu Bu-Eng-Kwi Tok Liong Taisu. Mungkin karena tiga tahun lalu dia gagal membunuhku karena aku dapat melarikan diri dan hanya menderita luka beracun sehingga kehilangan ingatan, dia lalu datang ke Sung-Kian dan membunuh Ayahku. Kalau benar dia yang membunuh Ayahku, dia itu jahat sekali dan membahayakan kehidupan orang yang tidak bersalah, maka aku mencarinya dan minta pertanggungan jawabnya. Aku lalu mencari ke Kotaraja ini dan aku mendengar bahwa Pek-Bin Giam-Lo adalah Datuk sesat yang membantu Pemerintah Cin. Maka, ketika aku mendengar bahwa di sini tempat tinggal seorang Pangeran Kerajaan Cin, aku datang untuk menyelidiki agar tahu di mana adanya Pek-Bin Giam-Lo. Kebetulan engkau muncul, Ceng Ceng, maka kuharap engkau suka memberi tahu kepadaku, di mana aku dapat bertemu dengan datuk sesat itu?"

   Tentu saja Ceng Ceng mengetahui siapa Pek-Bin Giam-Lo dan di mana adanya Kakek sakti itu.

   Baru tiga hari yang lalu Datuk itu datang berkunjung ke gedung Pangeran Leng Sui dan ini juga sedang berada di dalam gedung itu! Akan tetapi tentu saja ia tidak mau memberi tahu hal ini kepada Han Bun. Ia berada dalam keadaan serba salah. Untuk berpihak kepada Pek-Bin Giam-Lo dan Leng Sui, ia merasa berat untuk bermusuhan dengan Han Bun yang kini ia yakin amat dicintanya. Sebaliknya, kalau ia berpihak kepada Han Bun, tentu saja ia akan kehilangan kedudukannya dan kehilangan pula cita-cita besarnya untuk kelak menjadi seorang permaisuri atau setidaknya menjadi seorang yang memiliki kedudukan dan kekuasaan tinggi dalam sebuah Kerajaan, tidak peduli dalam Kerajaan Sung, Cin, atau kalau mungkin dalam Kerajaan Mongol yang menurut ramalan mendiang Tong Tong Lokwi akan menguasai seluruh daratan Cina.

   "Pek-Bin Giam-Lo? Hemm, aku pernah mendengar nama itu, Han Bun. Baiklah, aku akan melakukan penyelidikan untukmu. Berbahaya kalau engkau menyelidiki sendiri. Pula saat ini ia tidak berada di sini. Besok pagi, tunggulah aku di tepi Telaga Barat, aku akan menemuimu dan aku akan mencari keterangan dari orang-orang Kerajaan Cin di sini. Besok aku akan menceritakan padamu hasil penyelidikanku itu."

   Han Bun mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Baik, Ceng Ceng, dan terima kasih atas bantuanmu."

   Dia bangkit berdiri dan hendak meninggalkan taman itu. Akan tetapi Ceng Ceng segera menarik tangannya sehingga Han Bun terduduk kembali.

   "Kenapa tergesa-gesa, Han Bun?"

   Ia merangkul dan menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu.

   "Ber-tahun-tahun aku merindukan dirimu dan setelah kini kita bertemu, jangan engkau tinggalkan aku sebelum aku melepaskan rinduku padamu. Han Bun, sejak pertemuan pertama sampai sekarang aku tetap mencintamu. Aku tahu bahwa engkau pun mencintaku. Tidak senangkah hatimu bertemu denganku?"

   "Tentu saja aku senang bertemu denganmu, Ceng Ceng,"

   Kata Han Bun dengan jujur karena memang dia merasa senang dan dia mengharapkan akan memperoleh keterangan tentang Pek-Bin Giam-Lo. Benar juga ucapan Ceng Ceng tadi. Kalau dia melakukan penyelidikan sendiri di gedung Pangeran Leng Sui dan selain gagal menemukan Pek-Bin Giam-Lo juga ketahuan, berarti dia akan dianggap mengadakan kekacauan di gedung Pangeran itu. Dia tidak ingin bermusuhan dengan orang-orang. Apalagi kini ternyata Ceng Ceng menjadi pengawal disitu. Juga, biarpun dia tidak mempunyai perasaan cinta kepada Ceng Ceng, bagaimanapun juga, Ceng Ceng bersikap baik kepadanya dan ia tahu dan merasa benar bahwa Ceng Ceng, gadis yang condong memiliki watak sesat itu, memang amat mencintanya.

   "Nah, kalau begitu, jangan cepat-cepat pergi, Han Bun. Aku masih kangen padamu."

   Kini Ceng Ceng kembali merangkul dengan sikap mesra. Akan tetapi dengan lembut Han Bun melepaskan rangkulan itu. Biarpun tampaknya mereka itu bergerak lembut, namun sesungguhnya mereka mengadu tenaga sakti mereka. Ceng Ceng hendak mempertahankan rangkulannya dan Han Bun hendak melepaskannya. Tiba-tiba Ceng Ceng merasa betapa rangkulannya itu meleset dan terlepas, seolah kulit tubuh Han Bun tiba-tiba menjadi licin seperti kulit belut dan lengannya yang merangkul terasa dingin sekali. Setelah terlepas dari rangkulan itu, tubuh Han Bun berkelebat dan lenyap dari situ. Hanya suaranya saja yang terdengar, lirih namun jelas.

   "Maaf, Ceng Ceng. Aku harus pergi sekarang. Besok pagi aku menantimu di tepi Telaga Barat."

   Ceng Ceng berdiri, termenung sampai lama setelah Han Bun pergl.

   "Aih, dia semakin hebat..."

   Bisiknya dan hatinya semakin tertarik kepada pemuda ltu. Sekarang ia menyadari bahwa baru kepada Song Han Bun itulah ia merasakan betapa hatinya benar-benar telah jatuh cinta. Akan tetapi setelah ia sadar dari lamunnnya dan kembali kedalam kamarnya. la rebah dengan gelisah di atas pembaringannya. Apa yang harus ia lakukan? Tiga hari yang lalu Pek-Bin Giam-Lo datang berkunjung dan kini masih berada dalam gedung itu. Agaknya Pangeran Leng Sui hendak menahan Datuk itu agar memperkuat pengawalan dirinya. Ketika diperkenalkan kepada Datuk yang berwajah menyeramkan itu, Pek-Bin Giam-Lo yang tadinya memandang rendah kepadanya, berbalik menjadi hormat si kapnya setelah mendengar bahwa ia adalah murid Tong Tong Lokwi, dan juga puteri Ketua Beng-Kauw.

   "Wah, kalau begitu, Nona Siangkoan Ceng tentu memiliki ilmu silat yang tinggi sekali,"

   Pek-Bin Giam-Lo memuji ketika Leng Sui memperkenalkan dalam perjamuan makan bertiga.

   "Maaf, aku bersikap kurang hormat. Engkau pantas kuberi penghormatan dengan tiga cawan arak, Nona Siangkoan!"

   Setelah berkata demikian, Pek-Bin Giam-Lo mengambil cawan yang penuh arak lalu melontarkannya ke atas. Anehnya setelah tiba di atas cawan itu berubah menjadi tiga dan melayang ke atas Ceng Ceng. Kalau tiga cawan itu menumpahkan araknya berbareng dari atas, tentu akan menyiram kepala Ceng Ceng! Pangeran Leng Sui memandang dengan khawatir dan menganggap ujian yang dilakukan Pek-Bin Giam-Lo itu keterlaluan. Akan tetapi Ceng Ceng tampak tenang saja. Mendiang Tong Tong Lokwi adalah Datuknya ilmu sihir dan ilmu hitam, maka Ceng Ceng tidak merasa gentar menghadapi ujian dengan ilmu sihir ini.

   la menggerakkan tangan kirinya ke atas dan tiga buah cawan terisi arak itu berhenti melayang tepat di atasnya. Tangan kanannya menyambar sebuah cawan kosong dan memegangi di depannya. Kemudian ia menggerakkan tangan kirinya dan satu demi satu tiga cawan arak itu menuangkan araknya ke bawah, akan tetapi sedikit demi sedikit sehingga merupakan pancuran kecil dan ditampung tepat ke dalam cawan kosong di tangan Ceng Ceng. Setelah tiga cawan arak itu menuangkan semua isinya, ternyata hanya memenuhi cawan di tangan Ceng Ceng. Gadis itu lalu meniup ke atas dan tiga buah cawan yang sudah kosong itu terbang kembali ke arah Pek-Bin Giam-Lo! Kakek itu menerima tiga cawannya yang kembali berubah menjadi satu, dan dia mengangguk-angguk kagum.

   "Aku yang muda tidak berani menerima penghormatan Pek-Bin Giam-Lo yang jauh lebih tua, maka arak ini kukembalikan kepadamu, Pek-Bin Giam-Lo!"

   Ceng Ceng menyodorkan secawan arak itu dan... Pangeran Leng Sui terkejut dan terheran karena tiba-tiba saja arak dalam cawan itu menyala berkobar-kobar! Akan tetapi Pek-Bin Giam-Lo tertawa.

   "Heh-heh, ini namanya senjata makan tuan! Baik, aku harus menerima pemberian hormatmu, Nona Siangkoan Ceng. Ternyata engkau tidak mengecewakan menjadi murid Tong Tong Lokwi."

   Pek-Bin Giam-Lo menerima cawan itu dan begitu dia menerimanya, kobaran api itupun padam dan dengan enak dia minum secawan arak itu sampai habis. Setelah peristiwa uji kesaktian itu, baik Ceng Ceng maupun Pek-Bin Giam-Lo maklum akan ketangguhan masing-masing dan mereka saling menghormat karena keduanya adalah pembantu Pangeran Leng Sui. Yang merasa gembira adalah Leng Sui karena dia merasa betapa kedudukannya aman dengan adanya dua orang sakti itu di gedungnya. Demikianlah, ketika berada dalam kamarnya dan merenungkan pertemuannya dengan Han Bun yang dulu ia kenal sebagai Bu Beng, pemuda yang sejak itu dicintanya, ia merasa bingung juga.

   Kedatangan Han Bun adalah untuk mencari Pek-Bin Giam-Lo yang diduga telah membunuh Ayah Han Bun! Kalau Han Bun mengetahui bahwa Pek-Bin Giam-Lo berada di situ lalu menyerangnya, apa yang akan ia lakukan? Tentu saja Pangeran Leng Sui dan Pek-Bin Giam-Lo mengharapkan ia untuk membantu Pek-Bin Giam-Lo, hal ini tentu saja sudah wajar dan semestinya. Akan tetapi mana mungkin ia melakukan hal itu, menentang Han Bun yang dicintanya? Kalau ia membantu Bu Beng atau Han Bun, tentu ia akan mendapat kemarahan Pangeran Leng Sui dan ini berarti hubungannya dengan Kerajaan Cin putus. Lalu bagaimana dengan cita-citanya? Baru saja ia meninggalkan Pangeran Mongol dan kalau kini ia meninggalkan Pangeran Cin, berarti semua cita-citanya yang muluk akan gagal sama sekali!

   "Aih, bagaimana nanti sajalahl"

   Ceng Ceng akhirnya dapat menenangkan hatinya dan tertidur.

   See Ouw (Telaga Barat) yang berada di luar kota Hang-Chouw memang indah sekali. Banyak sudah para sastrawan dan penyair menuliskan sajak-sajak indah untuk memuji Telaga Barat ini. Bukan saja telaga itu menarik perhatian para pelancong dan menjadi tempat pesiar dan bersenang-senang naik perahu, akan tetapi juga telaga itu terkenal sekali dengan ikannya sirip kuning yang amat lezat dagingnya. Pada pagi hari itu, ketika Han Bun berjalan santai menuju ke telaga, dari jauh dia sudah melihat Ceng Ceng menunggunya. Ia mengenakan pakaian biru muda yang indah, dan seperti biasa, rambutnya dihias setangkai bunga merah.

   Ia tampak cantik jelita sehingga semua mata pria yang berada di tepi telaga tiada puas-puasnya menghirup kecantikan itu. Namun Ceng Ceng tidak peduli akan semua pandang mata kagum itu. Ketika ia melihat Han Bun datang, ia lalu menyongsongnya dengan senyumnya yang manis. Setelah bertemu, tanpa ragu lagi Ceng Ceng memegang tangan pemuda itu. Han Bun merasa sungkan mendapatkan perlakuan mesra di tempat umum, akan tetapi untuk melepaskan pegangan tangan gadis itu dia pun merasa tidak enak. Memang sejak dulu sikap Ceng Ceng selalu mesra. Gadis ini memang lain dari gadis pada umumnya yang selalu merasa malu-malu dan menjaga kesopanan. Gadis ini agaknya tidak peduli akan tata susila umum. Ia akan melakukan apa saja yang ia suka dan yang ia rasa benar. Maka Han Bun juga membiarkan saja ketika gadis itu menggandengnya dan berjalan ke arah telaga.

   "Aku girang sekali engkau datang, Han Bun. Engkau memang seorang pria yang suka memenuhi janji!"

   "Tentu saja aku datang, Ceng Ceng. Bukankah engkau akan menceritakan hasil penyelidikanmu tentang orang yang kucari?"

   "Nanti klta bicarakan hal itu. Lihat, bukankah indah sekali telaga ini?"

   Ceng Ceng menudingkan telunjuknya ke depan, ke arah telaga. Han Bun memandang dan mengangguk. Tentu saja dia pernah melihat Telaga Barat.

   "Ya, memang indah sekali."

   "Mari kita menyewa sebuah dan kita pesiar di telaga, Han Bun,"

   Kata Ceng Ceng girang dan tanpa menanti jawaban ia lalu menggandeng Han Bun menghampiri seorang tukang perahu di pantai. Sebelum Han Bun muncul, gadis itu telah memilih sebuah perahu kecil yang terbaik di tempat itu dan menyewanya. Kini mereka berdua memasuki perahu dan mendayung sendiri karena Ceng Ceng tidak ingin tukang perahu ikut dengan mereka. Ia ingin bersenang-senang berdua saja dengan pemuda yang dikagumi dan dicintanya Han Bun tidak merasa heran melihat sebuah keranjang besar berisi makanan roti dan daging kering serta seguci arak telah tersedia di dalam perahu.

   Gadis seperti Ceng Ceng tentu pandai menyiapkan semua itu. Bagaimanapun juga, biarpun gadis itu puteri Ketua Beng-Kauw yang terkenal ganas, gadis ini selalu bersikap baik sekali kepadanya. Dan dia pun ingin mendapatkan keterangan tentang Pek-Bin Giam-Lo, maka dia merasa senang dapat berperahu di telaga indah itu dengan Ceng Ceng. Mereka berperahu, berputar-putar di sepanjang pantai telaga, terkadang ke tengah dan Ceng Ceng mengalami kegembiraan yang luar biasa. Jauh bedanya dengan ketika dara ini berperahu dengan Pangeran Leng Sui dalam perahu besar dahulu. Mewah dan berpesta pora, namun kebahagiaan seperti sekarang ini tidak ia rasakan. Kini, dalam perahu kecil berdua dengan Han Bun, makan roti dan ikan kering, minum arak bersama sungguh mendatangkan perasaan bahagia yang amat mendalam. Setelah puas berpesiar, akhirnya Han Bun bertanya,

   "Nah, sekarang ceritakanlah bagaimana hasil penyelidikanmu, Ceng Ceng. Tahukah engkau di mana adanya Pek-Bin Giam-Lo?"

   "Han Bun, engkau mencari dia karena menduga bahwa dia yang membunuh Ayahmu. Bagaimana kalau bukan dia yang membunuhnya?"

   "Aku memang menduga bahwa dia pelakunya, karena itu aku akan bertemu dengan dia dan akan kutanya dia. Kalau dia yang membunuh, dia harus mengatakan mengapa dia membunuh Ayahku. Kalau dia mendendam atas terbunuhnya muridnya, seharusnya dia mencari aku, bukan Ayahku. Akan tetapi kalau memang dia tidak melakukannya, aku juga akan menantangnya untuk melanjutkan pertandingan antara kami tiga tahun lalu ketika dia melukai aku dengan ilmu hitamnya. Akan tetapi kalau dia tidak mau melanjutkan pertandingan itu, aku pun tidak akan memaksanya. Sekarang katakan, Ceng Ceng, di mana aku dapat menemuinya?"

   "Tidak mudah untuk menemuinya sekarang, Han Bun. Pek-Bin Giam-Lo memang membantu Pemerintah Cin dan dia seringkali berada di kota An-keng di seberang Sungai Yang-Ce bagian utara. Akan tetapi dia sering pergi mengunjungi benteng-benteng penjagaan pasukan Cin di sepanjang sungai sehingga sukar untuk mencarinya. Akan tetapi aku mendengar bahwa dia akan berkunjung ke sini untuk mengadakan pertemuan dengan Pangeran Leng Sui. Oleh karena itu engkau bersabarlah dan tinggallah di Hang-Chouw ini beberapa lamanya. Kalau sewaktu-waktu dia datang, aku pasti akan segera mengabarkannya kepadamu."

   Han Bun merasa agak kecewa.

   Akan tetapi dia percaya akan keterangan Ceng Ceng dan memang paling baik kalau dia menunggu pemberian tahu dari Ceng Ceng dan untuk sementara waktu dia akan tinggal di Hang-Chouw. Dalam kesempatan itu dia dapat berkunjung lagi ke Istana Pangeran Liang Tek Ong. Pangeran itu merupakan pimpinan jaringan mata-mata Pemerintah Sung, tentu dia akan dapat memberi penjelasan karena dia pasti akan lebih banyak mengetahui akan gerakan para mata-mata pihak Kerajaan lain. Dalam kunjungannya yang pertama, Pangeran itu menjanjikan akan menyelidiki lebih teliti tentang musuh yang dicarinya. Ceng Ceng bersikap mesra kepadanya, akan tetapi Han Bun tetap menjaga jarak tidak mau melayani gadis itu untuk bermesraan seperti sepasang kekasih. Dia menolak dengan lembut dan menasihati Ceng Ceng agar mereka tetap menjadi sahabat baik.

   "Mengapa, Han Bun? Aku cinta padamu, apakah engkau tidak mau menerima cintaku?"

   Hemm, gadis ini sungguh tidak mempedulikan tata-susila, prikir Han Bun. Mengatakan cintanya secara sepihak demikian terbuka, seolah hal itu bukan merupakan sikap yang tidak patut bagi seorang gadis. Dia harus menjawab dengan terus terang agar gadis itu tidak semakin nekat, pikirnya. Akan tetapi juga agar tidak menjadi sakit hatinya dan marah.

   "Ceng Ceng, terus terang saja, saat aku sama sekali tidak pernah berfikir tentang cinta dan Perjodohan. Aku memang suka kepadamu karena engkau baik terhadap diriku. Aku suka bersahabat denganmu, akan tetapi tentang cinta.? Aku tidak dapat memastikan hal itu karena aku belum pernah merasakan hal itu dalam persahabatan kita."

   Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Akan tetapi ia tidak marah, hanya agak kecewa. Bagaimanapun juga, pernyataan pemuda ini bahwa dia suka kepadanya, sudah cukup menyenangkan dan menimbulkan harapan. Bukankah rasa suka itu dengan mudah akan mendatangkan perasaan cinta? Setelah puas berpesiar dengan perahu di mana Ceng Ceng tampak bersikap mesra sekali kepada Han Bun, pemuda itu lalu mengajak ia mendarat dan kembali.

   Ceng Ceng kembali ke gedung Pangeran Leng Sui, sedangkan Han Bun kembali ke rumah penginapan. Mereka berjanji akan bertemu tiga hari di tepi telaga. Dua orang ini sama sekali tidak menyadarl bahwa ada beberapa pasang mata yang sejak tadi mengintai mereka dan melihat betapa mereka berperahu dengan sikap akrab, bahkan mesra. Sepasang dari beberapa pasang mata itu nadalah mata Lui Hong yang memandang dengan alis berkerut dan sinar mata marah dan penasaran! Hatinya merasa seperti dibakar menyaksikan Han Bun berperahu dan bersikap demikian mesra dengan seorang gadis cantik! Padahal dia tahu benar bahwa Pek Giok mencinta Han Bun, dan dia tadinya yakin bahwa Han Bun juga mencinta Pek Giok.

   Mengapa kini Han Bun bersikap demikian mesra dengan seorang gadis yang tampak genit itu? Apakah Han Bun tergolong seorang pemuda mata keranjang yang mudah berganti pacar? Dia yang di dalam hatinya menghormati dan membela Pek Giok, tentu saja merasa marah sekali. Dia yang dulu oleh orang-tua mereka ditunangkan dengan Pek Giok, sengaja memutuskan pertunangan itu, bukan saja karena dia telah mencinta gadis lain, akan tetapi terutama karena dia ingin agar Pek Giok berjodoh dengan Han Bun, pemuda yang dicinta gadis itu. Bagaimana Lui Hong dapat berada di telaga itu? Seperti kita ketahui, Lui Hong pergi ke Hang-Chouw untuk melihat keadaan gadis yang dicintanya, yaitu Li Sian Hwa, puteri Jaksa Li Koan. Dia dan Li Sian Hwa saling mencinta, akan tetapi Jaksa Li melarang Lui Hong bergaul dengan puterinya.

   Akhirnya, ketika Lui Hong berkunjung ke rumah Sian Hwa lagi, dia mendengar bahwa gadis pujaannya itu telah ditunangkan dengan Leng-Kongcu yang ternyata kemudian adalah seorang Pangeran Kerajaan Cin bernama Leng Sui. Bahkan dia nyaris tewas oleh anak buah Leng Sui kalau saja tidak ditolong Thai Kek Lojin yang kemudian menjadi Gurunya selama tiga tahun. Setelah melerai Pek Giok dan Han Bun yang berkelahi karena saling menyangka sebagai pembunuh Ayah masing-masing, Lui Hong berhasil mengingatkan gadis dan pemuda itu bahwa kemungkinan besar pembunuh Can-Kauwsu dan Song-Kauwsu adalah musuh lama mereka, yaitu Pek-Bin Giam-Lo. Kemudian, seperti kita ketahui, Pek Giok dan Han Bun meninggalkan Sung-Kian untuk mencari musuh besar itu dengan mengambil jalan sendiri-sendiri.

   Lui Hong juga meninggalkan Sung-Kian untuk pergi ke Hang-Chouw karena dia ingin melihat bagaimana keadaan Sian Hwa yang dia duga kini tentu telah menjadi Nyonya Leng Sui. Baru kemarin Lui Hong tiba di Hang-Chouw dan dia segera melakukan penyelidikan. Dia tidak mau mengunjungi gedung Pangeran Leng Sui karena tentu dia akan disambut dengan serangan dan pengeroyokan. Dia hanya ingin mendengar bagaimana keadaan wanita yang masih dicintanya itu. Alangkah kagetnya ketika dia mendengar cerita seorang tetangga yang mengetahui bahwa Li Sian Hwa atau Nyonya Leng Sui itu kini telah di pulangkan ke rumah orang-tuanya, padahal telah mempunyai seorang anak laki-laki berusia satu tahun! Tetangganya itu tidak dapat merangkan mengapa Li Sian Hwa kini dipulangkan ke rumah orang-tuanya, yaitu Jaksa Li Koan.

   Mendengar ini, malamnya Lui Hong nekat mengunjungi gedung keluarga Jaksa Li. Dia hanya ingin mengetahui mengapa Sian Hwa dipulangkan ke rumah orang-tuanya, tidak mempunyai niat lain. Maka, dengan nekat dia berkunjung secara terang-terangan, mengambil resiko dimarahi dan diusir Jaksa Li. Akan tetapi mengingat bahwa kunjungannya tidak bermaksud buruk, pula mengingat bahwa dia pernah menyelamatkan pembesar itu dan puterinya ketika dahulu diserang penjahat, dia memberanikan diri. Kepada para penjaga di depan gedung, dia memperkenalkan diri sebagai Lui Hong dan ingin bertemu dan menghadap Jaksa Li Koan. Ketika penjaga melaporkan kepada Li-Taijin akan kunjungan Lui Hong, sekali ini pembesar itu segera mempersilakan pemuda itu memasuki kamar tamu dan dia mau menyambutnya.

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
(Lanjut ke Jilid 20)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20

   Begitu bertemu, Lui Hong lalu memberi homat dan berkata dengan sopan.

   "Mohon maaf, kalau saya mengganggu dengan kunjungan saya malam ini."

   Jaksa Li Koan menggerakkan tangan mempersilakan dia duduk, dan mereka duduk berhadapan.

   "Tidak mengapa, Lui Taihiap. Engkau pernah menolong dan menyelamatkan kami. Hal itu tidak pernah kami lupakan dan tentu saja aku senang menyambut kedatanganmu. Katakanlah, apa maksud kunjunganmu ini?"

   "Maafkan saya, Taijin. Sesungguhnya saya datang ke Ibukota ini hanya ingin mendengar tentang keselamatan Taijin sekeluarga. Akan tetapi setelah saya mendengar berita yang tidak rrenyenangkan hati, saya memberanikan diri untuk menghadap Taijin dan menanyakan kebenaran berita itu."

   "Hamm, berita apakah yang kau maksudkan, Taihiap?"

   "Saya mendengar bahwa Li Siocia telah menikah dengan Leng-Kongcu dan sudah mempunyai seorang putera. Saya ikut berbahagia mendengar berita baik itu, Taijin. Akan tetapi ada berita kelanjutannya yang amat membuat saya heran dan penasaran. Berita itu mengatakan bahwa puteri Taijin kini dipulangkan kepada Taijin. Benarkah berita ini, Taijin, dan kalau benar, mengapa demikian? Apa yang telah terjadi dengan Li Siocia, Taijin?"

   Diam-diam Jaksa Li Koan merasa terharu. Biarpun tidak dapat berjodoh dengan puterinya walaupun mereka saling mencinta, agaknya Lui Hong ini masih memperhatikan keadaan puterinya itu. Pemuda ini benar-benar amat mencinta Sian Hwa, pikirnya. Kembali dia merasa menyesal mengapa dahulu dia memisahkan mereka yang kalau dijodohkan kini tentu menjadi sepasang suami-isteri yang berbabagia. SeteIah menghela napas panjang berulang-ulang dengan wajah sedih, Jaksa Li lalu berkata,

   "Ahh, Taihiap, keluarga kami memang mengalami penghinaan dan kami tidak berdaya. Kalau engkau ingin mengetahui sebab-sebabnya, biarlah kau dengar sendiri dari Sian Hwa"

   Setelah berkata demikian, Jaksa Li minta Lui Hong menunggu sebentar dan dia melangkah masuk. Lui Hong menanti dengan jantung berdebar.

   Sian Hwa akan menyambut kedatangannya dan menceritakan apa yang terjadi? Mukanya sebentar merah sebentar pucat karena dia merasa tegang dan juga girang akan dapat berhadapan dan bicara dengan wanita yang tidak pernah meninggalkan lubuk hatinya itu. Tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki lembut. Lui Hong memandang dan muncullah Li Sian Hwa, diikuti pelayan wanita setengah tua yang dulu menyerahkan titipan Sian Hwa berupa surat dan hiasan rambut kepada Lui Hong. Pelayan yang setia itu kini diajak menemui Lui Hong, tentu untuk menjaga kesopanan karena memang tidak semestinya kalau Sian Hwa yang sudah menjadi isteri orang lain mengadakan pertemuan berdua saja dengan Lui Hong. Wanita pelayan itu duduk di atas bangku di sudut, agak jauh dalam ruangan tamu itu.

   "Leng-Hujin...."

   Lui Hong mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat. Wajah Sian Hwa agak pucat dan tubuhnya kurus.

   "Aih, Lui-ko, kenapa engkau menyebut aku Nyonya Leng? Aku masih Sian Hwa yang dulu, walau sekarang menjadi seorang Sian Hwa yang menderita dan terhina. Duduklah, Ayah bilang bahwa engkau Ingin bertemu dan bicara dengan aku."

   Mereka duduk dan Lui Hong berkata,

   "Seperti yang telah kukatakan kepada Ayahmu, Hwa-moi, aku datang ke Hang-Chouw dan ingin mendengar tentang berita keadaanmu. Ketika mendengar bahwa engkau telah menikah dengan Leng-Kongcu dan dikurniai seorang putera, aku merasa ikut berbahagia. Akan tetapi kemudian aku mendengar berita bahwa engkau dipulangkan ke rumah orang-tuamu. Nah, aku menjadi penasaran sekali dan aku menghadap Li-Taijin untuk minta penjelasan. Beliau menyuruh aku mendengar sendiri darimu, Hwa-moi. Sesungguhnya, apakah yang terjadi sehingga engkau dipulangkan ke sini?"

   Sebelum menjawab, keharuan dan kesedihan memenuhi hati Sian Hwa dan tanpa dapat ditahan lagi ia pun terisak perlahan, menangis. Lui Hong menanti dengan sabar, membiarkan wanita itu melampiaskan tekanan batinnya melalui air matanya. Setelah dapat menenangkan hatinya, Sian Hwa dengan suara lirih namun tenang mulai bicara.

   "Engkau mengetahui, Lui-ko, aku terpaksa menikah dengan Leng-Kongcu walaupun hatiku tidak suka. Setelah aku menjadi isterinya, mula-mula memang dia bersikap baik. Akan tetapi setelah aku melahirkan puteraku, mulai tampaklah watak aselinya. Dia seorang suami yang amat jahat, Lui-ko, Dia pandai menyakiti hatiku dengan mendatangkan banyak wanita ke rumah dan bersenang-senang dengan mereka tanpa mempedulikan aku. Sesungguhnya, hal itu malah menyenangkan hatiku karena aku memang tidak pernah dapat mencintanya. Akan tetapi setelah sikapnya semakin buruk dan bahkan kejam kepadaku, aku melaporkan kepada Ayah. Tentu saja Ayah menegurnya, akan tetapi apa yang dia lakukan? Engkau mungkin tidak percaya, Lui-ko, dia... dia bahkan berani memaki dan menampar Ayahku!"

   "Keparat!"

   Lui Hong memaki marah.

   "Akan tetapi Ayahmu adalah seorang jaksa, beliau mempunyai kuasa yang cukup besar. Mengapa tidak menyuruh pasukan menangkapnya lalu menuntutnya?"

   Sian Hwa menggelengkan kepalanya dengan sedih.

   "Ayahku tidak berdaya, Lui-ko. Pangeran Leng Sui memiliki hubungan erat dengan para pejabat tinggi di Istana, bahkan dia bersahabat baik dengan Perdana Menteri Chin Kui yang amat besar kekuasaannya."

   "Hemm, lalu mengapa engkau dipulangkan ke rumah orang-tuamu, Hwa-moi?"

   "Bukan hanya aku yang disuruh pulang ke rumah orang-tuaku dan tidak boleh kembali ke sana, akan tetapi juga semua selirnya dipulangkan. Baru kemudian aku mendengar bahwa dia telah berhubungan dengan seorang gadis cantik yang memiliki kesaktian dan yang akan menjadi pengawal pribadinya. Menurut keterangan yang sudah kudapatkan dari pelayan di sana, gadis cantik itu kini telah tinggal di rumah Pangeran Leng Sui sebagai pengawal pribadi dan wanita itu yang menuntut agar isteri dan semua selir Pangeran Leng Sui diusir dari rumah, baru ia mau menjadi pengawal pribadinya."

   "Ah, jahanam benar mereka itu! Siapa nama gadis itu?"

   "Entahlah, menurut keterangan yang kudapatkan, Pangeran Leng Sui menyebut namanya Ceng Ceng. la memang cantik jelita dan tentang kepandaiannya, kabarnya ia sakti seperti iblis. Akan tetapi sesungguhnya, Lui-ko, aku sama sekali tidak berduka dikembalikan ke rumah orang-tuaku karena memang aku hanya menderita sengsara hidup di sana. Akan tetapi tentu saja diusirnya aku dari rumah suami merupakan penghinaan besar bagi keluarga orang-tuaku."

   Setelah menceritakan semua ini, Sian Hwa tidak dapat menahan air matanya yang kembali berlinang dan jatuh ke atas kedua pipinya yang pucat. Hati Lui Hong merasa panas sekali.

   "Hwa-moi, jangan bersedih. Tenangkan hatimu karena aku pasti akan membalas sakit hatimu terhadap Pangeran Bangsa Yuchen yang brengsek itu!"

   "Jangan, Lui-ko...!"

   Lui Hong memandang dengan alis berkerut.

   "Kau tidak ingin aku memberi hajaran kepada jahanam itu, Hwa-moi? Apakah... apakah engkau masih mencintanya?"

   "Aih, Lui-ko, kenapa engkau bertanya begitu? Aku tidak pernah mencinta laki-laki itu! Akan tetapi aku khawatir sekali kalau engkau nanti celaka di tangannya. Dahulu, ketika engkau ditangkap oleh Pangeran Leng, aku masih dapat minta agar engkau dibebaskan. Akan tetapi sekarang dia pasti tidak akan peduli dan kalau engkau berani datang ke sana, engkau pasti akan dikeroyok dan celaka. Aku sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi, Lui-ko. Jangan engkau pergi ke sana...!"

   "Jangan khawatir, Hwa-moi, aku dapat menjaga diri. Nah, aku pergi dulu. Sampaikan maaf dan hormatku kepada Ayah-Ibumu."

   Lui Hong lalu meninggalkan rumah keluarga Jaksa Li. Dia segera langsung saja menuju ke gedung tempat tinggal Pangeran Leng Sui yang sudah diketahuinya. Tiga tahun yang lalu pernah dia mengejar dua orang penjahat yang mencoba membunuhnya sampai ke gedung itu di mana dia dikeroyok dan kemudian ditangkap oleh Pangeran Leng Sui. Ketika itu, Li Sian Hwa yang minta kepada Pangeran Leng Sui untuk membebaskannya. Akan tetapi sekarang dia memasuki gedung itu dalam keadaan yang lain daripada dahulu. Kini dia telah memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi. Setelah menerima gemblengan selama tiga tahun oleh Thai Kek Lojin, kepandaian Lui Hong meningkat dengan hebat.

   Dia telah mewarisi Thian-To Kiam-Sut, ilmu pedang yang jarang keduanya pada waktu itu. Pedangnya kalau dia mainkan dengan ilmu pedang tersebut menjadi seolah halilintar yang bersinar biru dan luar biasa kuatnya. Selain itu, juga dia kini memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan sinkang (tenaga sakti) yang amat kuat. Dengan mudah saja tubuhnya berkelebat melompati pagar tembok yang mengelilingi gedung itu tanpa diketahui para penjaga. Langsung saja dia melayang ke atas wuwungan gedung dan dari sana dia melakukan pengintaian ke bawah. Akhirnya dengan girang dia melihat Pangeran Leng Sui sedang duduk seorang diri membaca kitab di dalam sebuah ruangan baca yang luas. Melihat laki-laki yang menyia-nyiakan dan menyengsarakan hidup Li Sian Hwa, satu-satunya wanita yang pernah dikasihinya, hati Lui Hong menjadi panas.

   Tidak, dia tidak mau membunuh orang secara sembarangan saja, hal ini akan ditentang oleh Thai Kek Lojin yang menggemblengnya lahir batin. Akan tetapi dia akan minta pertanggungan jawab Pangeran itu dan kalau perlu memberi hajaran keras atas perbuatannya yang jahat sebagai seorang suami dan Ayah yang menyia-nyiakan isteri dan anak tanpa sebab. Pangeran Leng Sui sedang membaca kitab dan tentu saja dia terkejut bukan main ketika melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Lui Hong sudah berdiri tak jauh di depannya! Dia melompat bangun dan memandang pemuda yang berpakaian sebagai seorang sastrawan itu. Dia segera mengenal Lui Hong, pemuda yang dia tahu dahulu adalah orang yang mengasihi Li Sian Hwa dan yang pernah ditangkapnya namun dimintakan ampun oleh Li Sian Hwa yang ketika itu baru menjadi tunangannya. Tentu saja dia marah sekali melihat pemuda lancang ini.

   "Hei! Mau apa engkau masuk ke sini seperti pencuri? Apakah kau sudah bosan hidup?"

   Bentak Leng Sui sambil mencabut Hek-Liong-Kiam (Pedang Naga Hitam) yang tadinya terletak di atas meja. Dia sama sekali tidak merasa takut karena selama ini dia telah memperdalam ilmu pedangnya di bawah petunjuk Gurunya, yaitu Pek-Bin Giam-Lo yang seringkali datang berkunjung ke Hang-Chouw, atau dia yang berkunjung ke An-keng di mana Pek-Bin Giam-Lo bertugas. Lui Hong menudingkan telunjuknya ke arah muka Pangeran Leng Sui.

   "Leng Sui, engkau seorang laki-laki yang jahanam dan jahat, seorang suami yang bertindak kejam, menyia-nyiakan isteri yang tak berdosa, seorang Ayah yang jahat, menelantarkan puteranya. Aku datang untuk menuntut pertanggungan jawabmu terhadap Li Sian Hwa dan puteranya yang menjadi tanggunganmu, akan tetapi yang kau sia-siakan dan kau usir dengan kejam! Engkau telah menghina keluarga Li dan untuk itu engkau harus bertanggung jawab!"

   "Ha-ha-ha, engkau ini laki-laki tak tahu malu. Masih juga mengejar Li Sian Hwa yang sudah memilih orang lain untuk menjadi suaminya? Li Sian Hwa adalah isteriku, aku mau berbuat apa pun terhadap ia dan anaknya, adalah urusan pribadiku. Engkau ini orang luar mau apa ikut campur? Tak tahu malu!"

   "Leng Sui, engkau boleh jadi seorang Pangeran, akan tetapi watakmu rendah seperti seorang jahanam keparat! Aku menuntut pertanggungan jawabmu. Engkau harus segera datang menghadap keluarga Li dan minta maaf atas penghinaanmu. Engkau mengajak kembali isteri dan anakmu dengan terhormat ke rumahmu, atau engkau ceraikan dia dengan hormat pula."

   "Huh, sombong! Kalau aku tidak mau, engkau bisa berbuat apa?"

   "Terpaksa aku akan menghajarmu agar engkau tidak akan mengulang perbuatanmu yang jahat!"

   "Setan, mampuslah!"

   Leng Sui lalu menerjang dengan Hek-Liong-Kiam, gerakannya ganas dan mematikan. Akan tetapi dengan tenang namun lincah Lui Hong mengelak dan mencabut pedangnya. Tampak sinar biru langit menyambar bagaikan kilat ketika dia menggerakkan pedangnya.

   "Tranggg....!"

   Leng Sui terkejut karena pedangnya terpental dan tangannya terasa tergetar hebat sampai terasa panas telapak tangannya. Namun dia menyerang lagi dan terjadilah pertandingan pedang di ruangan yang luas itu. Akan tetapi, baru belasan jurus saja, sinar biru langit menyambar dekat kepala Leng Sui dan Pangeran itu menjerit, lalu tangan kirinya mendekap kepala bagian kiri menutupi luka karena daun telinga kirinya telah putus dan terlempar entah ke mana. Darah mengucur deras dari bekas tempat daun telinga itu menempel. Lui Hong sudah mengambil keputusan untuk tidak membunuh melainkan memotong kedua daun telinga Pangeran itu. Pedangnya kembali menyambar, kini menuju ke arah telinga kanan. Akan tetapi tiba-tiba ada benda menyambar dari atas dan ternyata itu adalah seekor ular kobra yang menyambar ke arah leher Lui Hong! Tentu saja Lui Hong terkejut dan menarik pedangnya yang menyerang telinga kanan Leng Sui, lalu menangkis ke arah ular yang terbang itu.

   "Tranggg !"

   Lui Hong merasa betapa ular itu keras seperti baja dan pertemuan itu mendatangkan bunga api berpijar. Jelas itu bukan seekor ular biasa, melainkan sebatang tongkat ular kobra yang sudah menjadi senjata amat kuat.

   Dia melihat munculnya seorang Kakek yang mukanya putih seperti tengkorak, bersorban, tinggi kurus berkepala botak. Dia pernah mendengar bahwa tokoh seperti itu adalah Pek-Bin Giam-Lo, orang yang dicari-cari Han Bun dan Pek Giok dan yang menjadi tersangka pembunuhan atas diri Can-Kauwsu dan Song-Kauwsu. Kini, Kakek itu menggerak-gerakkan kedua tangannya ke arah ular kobra yang melayang-layang di atas sehingga senjata itu terus menyerang Lui Hong secara bertubi-tubi. Pangeran Leng Sui kini terduduk di kursi sambil memegangi kepala sebelah kiri. Lui Hong maklum bahwa Kakek itu mempergunakan ilmu hitam untuk menyerangnya dengan tongkat ular kobra yang seperti hidup dan terbang melayang-layang, menyerangnya dengan sambaran-sambaran yang amat dahsyat dan kuat.

   Akan tetapi dia tidak merasa takut karena sesungguhnya dia telah dibekali tenaga sakti dari Gurunya untuk menolak pengaruh ilmu hitam. Juga permainan pedangnya mendatangkan gulungan sinar biru langit yang menghadang semua serangan tongkat ular kobra itu. Dia masih ingin melanjutkan hukumannya kepada Leng Sui dengan membuntungi daun telinga kanannya, maka Lui Hong terus mendesak dan melawan tongkat ular kobra itu. Tiba-tiba tampak ada sinar putih melayang dan menyerang Lui Hong! Sinar putih ini tidak kalah cepat dan kuatnya dibandingkan tongkat ular kobra. Bagaikan kilat sinar putih itu menyambar ke arah kepala Lui Hong. Pemuda itu menangkisnya sambil mengerahkan tenaga.

   "Tranggg !!"

   Lui Hong terkejut karena merasa tangannya tergetar hebat. Dia memandang dan ternyata sinar putih itu adalah sebatang pedang yang dipegang oleh seorang gadis yang cantik jelita, berpakaian mewah.

   "Ceng Ceng, tangkap jahanam ini hidup-hidup!"

   Terdengar Pangeran Leng Sui berseru kepada gadis itu. Mendengar ini, Ceng Ceng lalu berkemak-kemik membaca mantra dan tampak asap hitam mengepul dan bergerak ke arah Lui Hong. Pemuda itu tiba-tiba mencium bau yang amat harum dan kepalanya menjadi pening. Dia terkejut karena maklum bahwa gadis yang ternyata Ceng Ceng seperti yang dia tadi dengar dari Sian Hwa, yang katanya merupakan penyebab Sian Hwa dan para selir diusir dan juga kabarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, ternyata menguasai ilmu hitam. Cepat ia mengerahkan tenaga saktinya untuk bertahan dan maklum bahwa dia menghadapi dua orang lawan yang amat tangguh, Lui Hong lalu menggunakan sinar pedangnya yang biru langit untuk melompat keluar dari ruangan itu.

   

Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini