Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 21


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



"Jangan lari!"

   Bentak Pek-Bin Giam-Lo dan bersama Ceng Ceng dia melakukan pengejaran. Setibanya di wuwungan, Lui Hong terpaksa berhenti dan memutar tubuh untuk menangkis serangan dua orang lawan itu. Untungnya malam itu gelap sekali dan sinar pedangnya yang biru langit itu kini membentuk gulungan sinar yang amat lebar. Dia telah menggunakan ilmu pedang Thian-To Kiam-Sut dan dengan permainan pedang ini, serangan tongkat kobra dan pedang Pek-Coa-Kiam (Pedang Ular Putih) dari dua orang lawannya itu tidak mampu terlalu mendesaknya. Ketika mendapatkan kesempatan, Lui Hong lalu melompat jauh dan menghilang dalam lindungan kegelapan malam. Terpaksa Pek-Bin Giam-Lo dan Ceng Ceng tidak dapat mengejar karena gelap sekali. Mereka pun maklum akan kelihaian ilmu pedang lawan, maka mengejar lawan yang demikian lihai dalam malam gelap sungguh berbahaya bagi mereka sendiri.

   Maka keduanya lalu kembali ke dalam gedung dan mengobati telinga kiri Leng Sui yang buntung! Biarpun dia hanya dapat membuntungi telinga kiri Leng Sui, namun hati Lui Hong sudah agak puas dapat memberi pelajaran dan peringatan kepada Pangeran Leng Sui. Setidaknya penghinaan atas diri Sian Hwa dan keluarganya sudah agak dapat terbalas. Dia lalu mencari tempat penginapan. Karena dia tahu bahwa Leng Sui pasti akan menyebarkan orang-orangnya untuk mencarinya, maka Lui Hong tidak mau menyewa kamar di rumah penginapan. Dia lalu memasuki sebuah Kuil di mana dahulu ketika dia mempelajari sastra di Kotaraja telah dikenalnya dan dia bermalam di Kuil itu, diterima dengan senang oleh Hwesio kepala. Baru besok lusanya, pagi-pagi sekali dia keluar dari Kuil dan membaur dengan banyak orang dalam kesibukan pagi itu, lewat di depan gedung Pangeran Leng Sui.

   Kebetulan sekali pagi itu dia melihat Ceng Ceng keluar seorang diri dari gedung itu. Dia segera mengenalnya sebagai gadis cantik yang menyerangnya dengan pedang sinar putih kemarin malam, maka dia segera membayangi gadis yang dia tahu adalah gadis pengawal pribadi Pangeran Leng Sui yang namanya Ceng Ceng dan yang menurut cerita Sian Hwa menjadi penyebab diusirnya Sian Hwa dari gedung suaminya. Gadis itu ternyata pergi ke Telaga Barat. Sambil bersembunyi Lui Hong mengintai, melihat gadis itu membeli makanan dan minuman, menaruhnya dalam sebuah perahu kecil yang disewanya dari pemilik perahu. Kemudian, dengan terheran-heran dan terkejut, dia melihat gadis itu menyongsong kedatangan Song Han Bun dan menyambut pemuda itu dengan mesra!

   Dapat dibayangkan betapa marah dan panas hati Lui Hong. Bukan hanya marah karena Han Bun bermesraan dan pesiar dalam perahu bersama Ceng Ceng, gadis kaki tangan Pangeran Leng Sui yang menjadi penyebab sengsaranya Sian Hwa, melainkan karena Han Bun dianggapnya tidak setia cintanya terhadap Pek Giok. Dengan gadis mana pun Han Bun tampak bermesraan, dia pasti akan tidak merasa senang dan merasa kasihan kepada Pek Giok. Demikianlah, diam-diam Lui Hong mencatat dalam hatinya bahwa Han Bun adalah seorang pemuda yang tidak setia kepada kekasihnya, Pek Giok. Dia lalu kembali ke Kuil dan mengambil keputusan untuk malam nanti berkunjung kepada Sian Hwa. Dia tidak berani berkunjung pada siang hari, khawatir ada yang melihatnya dan akan berakibat tidak baik bagi keluarga Li.

   Diam-diam Han Bun menaruh curiga kepada Ceng Ceng. Memang harus dia akui bahwa Ceng Ceng bersikap baik sekali kepadanya dan dia tahu pula bahwa gadis puteri Ketua Beng-Kauw itu jatuh cinta kepadanya, dan kiranya tidak mungkin berbohong kepadanya. Akan tetapi mengingat akan watak gadis itu sebagai tokoh Beng-Kauw, bukan hal mustahil pula kalau ia memiliki watak aneh dan terkadang sesat. Maka dia tetap berhati-hati dan ingin menyelidiki tentang Pek-Bin Giam-Lo melalui sumber lain, yaitu melalui Pangeran Liang Tek Ong yang sudah dikenalnya dengan baik.

   Pada keesokan harinya dia berkunjung ke Istana Pangeran Liang Tek Ong. Pangeran Liang Tek Ong berusia sekitar empat puluh tiga tahun dan dia merupakan adik sepupu dari Kaisar Sung Kao Cu. Karena Pangeran Liang Tek Ong sejak mudanya memang telah berjasa besar, menjadi pejabat yang menduduki pangkat cukup tinggi dan pengaruhnya juga lumayan besar saking terbukti setia kepada Kerajaan, maka Kaisar Sung Kao Cu percaya penuh kepadanya. Dia merupakan seorang di antara para kerabat istana yang memiliki kedudukan tinggi dan yang sukar dipengaruhi Perdana Menteri Chin Kui. Kalau para pejabat tinggi lainnya sebagian besar menjadi bawahan dan tunduk kepada Perdana Menteri Chin Kui, Pangeran Liang Tek Ong tidak pernah demikian.

   Bahkan dia seringkali menyatakan ketidak-setujuannya kepada Sri Baginda Kaisar kalau Perdana Menteri Chin Kui mengambil keputusan yang dianggapnya merugikan Kerajaan Sung. Oleh karena itu, diam-diam di antara mereka terdapat suatu perasaan tidak senang, namun karena keduanya memiliki pengaruh besar terhadap Sri Baginda Kaisar, maka mereka tidak memperlihatkan pertentangan secara terbuka. Ketika Song Han Bun diperkenankan masuk menjumpai Pangeran Liang Tek Ong di ruangan tamu, Pangeran itu menyambutnya dengan gembira. Pangeran itu sedang bermain-main dengan dua orang anak-anak, seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga tahun dan seorang anak perempuan yang usianya baru setengah tahun.

   "Song Tai-hiap, selamat datang!"

   Seru Pangeran Liang Tek Ong dengan gembira.

   "Bagaimana hasil penyelidikanmu? Sudah kau temukankah Datuk yang kau kira membunuh Ayahmu itu?"

   Han Bun merasa tidak enak karena sudah dua kali dia berkunjung dan khawatir kalau-kalau mengganggu Pangeran yang sedang bersantai dengan dua orang anak kecil itu.

   "Terimalah hormat saya, Pangeran, dan harap Paduka maafkan kalau kedatangan saya mengganggu Pa-duka."

   "Ah, tidak sama sekali. Kau duduklah dan lihat mereka ini. Sehat dan manis-manis, bukan? Ini adalah cucuku, yang pertama ini laki-laki bernama Liang Sin Cu, dan yang masih kecil ini perempuan bernama Liang Hong Cu. Mereka ini anak dari putera tunggalku Liang Sun."

   Pangeran itu lalu menyerahkan dua orang bocah itu kepada dua orang pengasuh yang berada di situ. Mereka membawa dua orang anak itu keluar ruangan tamu atas isarat Pangeran Liang Tek Ong.

   "Nah, mari kita bicara, Song Taihiap. Apa yang dapat kami bantu sekarang?"

   "Pangeran, saya sudah melakukan penyelidikan ke rumah Pangeran Leng Sui, akan tetapi saya tidak menemukan Pek-Bin Giam-Lo. Saya sebaliknya bertemu dengan seorang wanita yang agaknya juga bekerja kepada Pangeran Leng Sui itu dan saya mengenal baik gadis itu. la berjanji kepada saya untuk memberi kabar kalau Pek-Bin Giam-Lo datang ke rumah Pangeran Leng Sui."

   "Hemm, siapakah nama gadis itu, Taihiap?"

   "Namanya Siangkoan Ceng, seorang gadis lihai puteri Ketua Beng-Kauw, Pangeran. Apakah Paduka mengenalnya?"

   Pangeran Liang Tek Ong mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Kami pernah mendengar bahwa ada gadis kang-ouw yang tadinya bekerja kepada wakil Bangsa Mongol lalu ia pindah bekerja kepada Pangeran Leng Sui. Hemm, orang-orang asing, terutama Cin itu semakin kurang ajar! Semua ini salahnya Perdana Menteri yang terlalu memberi hati kepada mereka! Makin lama mereka semakin kurang ajar dan tidak menghormati Bangsa kita sebagai tuan rumah. Bahkan baru-baru ini telah terjadi hal yang amat menyakitkan hatiku, Song Taihiap. Di Kotaraja ini tinggal seorang Pangeran Bangsa Cin yang lagaknya seperti seorang sastrawan kaya pribumi. Dia telah menarik hati dan berhasil menikahi puteri seorang pejabat Kerajaan. Akan tetapi baru beberapa pekan ini aku mendengar betapa dia menyia-nyiakan isterinya itu dan mengusirnya dari rumahnya tanpa sebab. lni merupakan penghinaan besar, apalagi kabarnya dia menghina pejabat itu dan memukulnya. Aku tidak akan tinggal diam, aku sedang memikirkan cara untuk bertindak dan menghukumnya, kalau perlu mengusirnya dari Kotaraja!"

   "Maaf, Pangeran, apakah Paduka mengetahui tentang Pek-Bin Giam-Lo yang sedang saya cari itu?"

   Pangeran itu menganggukkan kepalanya.

   "Aku mendengar tentang nama itu. Menurut pelaporan penyelidikku, memang belum lama ini datang seorang Kakek bersorban yang tampangnya menyeramkan, seperti tengkorak hidup dan dia menjadi tamu Pangeran Leng Sui Bangsa Yuchen itu."

   "Terima kasih, Pangeran. Kalau begitu, saya tidak akan ragu lagi untuk mencarinya di gedung Pangeran itu."

   "Hati-hati, Song Taihiap. Aku mendengar bahwa Pangeran Leng Sui memiliki jagoan-jagoan yang sakti dan berbahaya sekali. Kalau engkau pergi ke sana seorang diri, bukan mustahil engkau akan menghadapi pengeroyokan banyak orang yang berilmu tinggi. Sedangkan Kakek muka tengkorak itu saja menurut penyelidikan orang-orangku memiliki ilmu seperti iblis. Belum para pengawal lainnya."

   Han Bun teringat akan Ceng Ceng. Gadis itu juga menjadi pengawal Pangeran Leng Sui dan dia tahu bahwa kini Ceng Ceng tidak dapat dipandang ringan. Bukan Ceng Ceng tiga tahun yang lalu, melainkan seorang gadis yang sudah matang ilmunya dan tentu jauh lebih lihai daripada dahulu. Akan tetapi dia tidak khawatirkan Ceng Ceng. Gadis itu mencintanya, pasti tidak akan memusuhinya, bahkan mungkin bisa diharapkan bantuannya kalau dia sampai mengalami pengeroyokan bila hendak minta pertanggungan jawab Pek-Bin Giam-Lo.

   "Jangan khawatir, Pangeran. Saya tidak bermaksud memusuhi orang-orang Yuchen dari Kerajaan Cin, melainkan hanya ingin menemui Pek-Bin Giam-Lo dan minta pertanggungan jawabnya."

   Setelah Song Han Bun meninggalkan Istana Pangeran Liang Tek Ong, Pangeran itu tetap saja merasa tidak enak dan khawatir. Maka dia lalu mengumpulkan para perwiranya dan memerintahkan mereka memantau dengan waspada dan mempersiapkan seregu pasukan yang tangguh untuk sewaktu-waktu membantu kalau Han Bun mengalami ancaman di gedung Pangeran Leng Sui.

   Benar seperti yang dikhawatirkan Lui Hong, Pangeran Leng Sui tidak mau menerima begitu saja penghinaan pemuda itu yang telah membuntungi telinga kirinya. Dia marah sekali dan dia mengerah-kan para tukang pukul dan pengawalnya untuk mencari Lui Hong. Akan tetapi tidak ada yang dapat menemukan Lui Hong yang bersembunyi di dalam Kuil. Ketika Ceng Ceng mendengar apa yang terjadi atas diri Pangeran Leng Sui yang kehilangan daun telinga kirinya, ia terkejut dan bertanya langsung kepada Pangeran itu.

   "Pemuda jahanam itu adalah kekasih Li Sian Hwa sebelum ia menjadi isteriku. Dulu, tiga tahun yang lalu dia juga pernah mengacau ke sini dan berhasil kami tangkap, akan tetapi Li Sian Hwa yang ketika itu baru menjadi tunanganku, minta agar dia dibebaskan. Sekarang dia datang lagi, agaknya hendak membalaskan sakit hati Sian Hwa yang kuusir dari rumah ini."

   "Akan tetapi, Pangeran, saya lihat penyerang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali sehingga Pek-Bin Giam-Lo dan saya gagal mengejar dan menangkapnya!"

   Seru Ceng Ceng heran.

   "Hemm, memang benar. Agaknya selama ini dia telah memperdalam ilmunya. Sungguh aku merasa penasaran sekali kalau belum dapat membalas dendam dengan memotong lehernya!"

   Katanya sambil meraba bekas tempat daun telinga kirinya yang kini buntung itu. Dia menjadi semakin penasaran ketika orang-orangnya tidak berhasil menemukan Lui Hong.

   "Pangeran, harap jangan penasaran dan khawatir. Apa sih sukarnya menangkap pemuda itu? Saya kira tidak akan sukar!"

   "Hemm, benarkah itu, Ceng Ceng? Bagaimana engkau akan dapat menemukannya? Orang-orangku tidak berhasil menemukannya! Padahal engkau belum pernah mengenalnya, baru bertanding sekejap dan engkau juga tidak tahu namanya?"

   "Siapakah namanya, Pangeran? Percayalah, saya akan mampu menangkapnya."

   "Namanya Lui Hong. Sekarang cepat katakan, di mana dia dan bagaimana engkau akan mencari dan menemukan dia!"

   "Tidak perlu kita cari, Pangeran. Biarlah dia yang akan datang sendiri ke sini menyerahkan diri!"

   "Ceng Ceng, apa maksudmu? Jangan main-main!"

   Kata Pangeran Leng Sui. Tiba-tiba terdengar suara parau,

   "Siapa berani main-main terhadap Pangeran Leng?"

   Dan muncullah si empunya suara, yaitu Pek-Bin Giam-Lo.

   "Paman,"

   Kata Pangeran Leng Sui yang menyebut Paman kepada Kakek yang kini selain menjadi pembantu, juga menjadi Gurunya itu.

   "Nona Siangkoan Ceng ini mengatakan bahwa dia dengan mudah akan dapat membuat si jahanam Lui Hong yang menghinaku itu datang ke sini dan menyerahkan diri kepada kita!"

   Sepasang mata yang cekung bersembunyi dalam kepala itu bersinar penuh selidik ketika memandang ke arah wajah Ceng Ceng.

   "Hemm, Nona muda, kami tahu akan kelihaianmu, akan tetapi harap jangan membual seperti itu. Pemuda she Lui itu bukan seorang musuh yang lemah. Aku sendiri belum berhasil menemukannya, bagaimana engkau dapat menjanjikan bahwa dia akan datang dan menyerahkar diri?"

   "Pek-Bin Giam-Lo, ilmu silat tinggi saja terkadang tidak ada gunanya kalau tidak disertai kecerdikan. Apa yang tidak dapat tercapai oleh tenaga, dapat dicapai oleh kecerdikan. Aku yakin bahwa kalau menggunakan kecerdikanku, dalam satu dua hari saja kita akan dapat meringkus Lui Hong yang akan datang menyerahkan dirinya ke sini!"

   "Aih, Ceng-moi, cepat katakan, siasat apa yang akan kau pergunakan itu?"

   Tanya Pangeran Leng Sui penuh harapan akan segera dapat membalas dendam kepada Lui Hong.

   "Paduka adalah suami dari Li Sian Hwa dan Ayah dari puteranya, tentu dengan mudah dapat minta kepada Ayah mertua Paduka agar isteri dan anak itu dapat kembali ke sini."

   Pangeran itu mengerutkan alisnya. Dia tidak mengerti. Yang minta agar semua isteri dan selirnya diusir dari gedungnya adalah Ceng Ceng, bagaimana sekarang gadis ini malah menganjurkan dia agar menerima Sian Hwa dan puteranya kembali?

   "Ah, Ceng-moi! Ucapanmu itu sungguh tidak. kumengerti dan membingungkan. Apa sih maksudmu?"

   Tanya Pangeran itu ragu.

   "Heh-heh-heh!"

   Pek-Bin Giam-Lo memperdengarkan suara tawanya yang menyeramkan.

   "Nona Siangkoan Ceng memang cerdik sekali! Siasat yang amat bagus! Pemuda yang mati-matian mencinta wanita itu sehingga berani menyerang Paduka Pangeran, pasti akan membelanya kalau ia ditahan di sini."

   "Hemm, kiranya Pek-Bin Giam-Lo masih memiliki kecerdikan juga!"

   Puji Ceng Ceng.

   "Pangeran, setelah isteri dan putera Paduka berada di sini, lalu Paduka umumkan bahwa kalau Lui Hong tidak mau datang menyerahkan diri, maka wanita dan anaknya itu akan dihukum mati. Saya tanggung bahwa Lui Hong pasti akan datang menyerahkan diri!"

   Mendengar ini, wajah Pangeran Leng Sui berseri-seri. Akan terlaksana keinginannya membalas dendam kepada Lui Hong! Saking girangnya hampir dia lupa diri dan kalau tidak ingat bahwa di situ terdapat Pek-Bin Giam-Lo dia tentu sudah merangkul Ceng Ceng. Akan tetapi hal ini pun belum tentu dia berani melakukannya karena selama ini gadis itu tidak mau dia perlakukan sesuka hatinya. Begitu menerima usul Ceng Ceng, saat itu juga Pangeran Leng Sui segera pergi mengunjungi rumah Jaksa Li. Keluarga Li menyambutnya dengan kaget. Akan tetapi dengan sikap sopan dan wajar Pangeran Leng Sui minta maaf kepada Ayah mertuanya bahwa dalam keadaan jengkel dan mabok dia pernah menyuruh isterinya pulang ke rumah orang-tuanya.

   Dia menyatakan penyesalannya dan mohon maaf lalu mengajak anak isterinya pulang ke gedungnya. Sebetulnya, Li Sian Hwa dan Ayah-Ibunya tidak setuju, akan tetapi bagaimana mereka mampu menolaknya? Pangeran Leng Sui masih menjadi suami Li Sian Hwa yang sah. Mereka tidak pernah bercerai dan laki-laki itu berhak sepenuhnya atas diri isteri dan anaknya. Terpaksa Sian Hwa menurut saja diboyong kembali ke gedung Pangeran Leng Sui, walaupun di dalam hatinya ia merasa sedih dan khawatir. Setelah menahan Li Sian Hwa dan Leng Bu San, anak laki-laki berusia setahun itu dalam gedungnya, mulailah Pangeran Leng Sui mengeluarkan ancaman yang didengar oleh keluarga Li bahwa kalau Lui Hong tidak mau datang menyerahkan diri kepada Pangeran itu, keselamatan Li Sian Hwa tidak dijamin!

   Mendengar ini tentu saja Jaksa Li dan keluarganya menjadi gelisah sekali. Baru Jaksa Li maklum bahwa puterinya diambil hanya untuk memaksa Lui Hong datang menyerahkan diri. Bagaimana kalau pendekar itu tidak mau datang? Dia mengkhawatirkan keselamatan puteri dan cucunya! Malam itu Lui Hong datang berkunjung ke gedung Jaksa Li dan alangkah kaget dan marahnya ketika dia mendengar betapa Li Sian Hwa dan puteranya ditarik kembali oleh Pangeran Leng Sui, semacam disandera untuk memaksa dia menyerahkan diri kepada Pangeran itu. Saking marahnya, dia malam itu juga hendak mengamuk ke gedung Pangeran Leng Sui untuk membebaskan Li Sian Hwa, akan tetapi Ayah Sian Hwa melarangnya, dan Ibunya juga menangis dan mencegahnya.

   "Lui Tai-hiap, kalau engkau memaksa, anak kami pasti akan menjadi korban,"

   Demikian kata suami-isteri itu.

   "Habis bagaimana, Li Taijin? Apakah kita harus diam saja?"

   Bantah Lui Hong penasaran.

   "Tunggu sampai besok pagi, Taihiap. Aku sendiri akan minta tolong kepada Pangeran Liang Tek Ong. Hanya beliau yang akan berani menentang Leng Sui yang bersahabat dengan Perdana Menteri Chin Kui. Beliau pasti mau menolongku."

   Mendengar ini, Lui Hong menyetujui karena dia pun maklum kalau dia turun tangan, belum tentu dia dapat mengalahkan Pek-Bin Giam-Lo dan wanita lihai bernama Ceng Ceng itu dan sementara itu, bisa saja untuk memaksanya menyerah, Pangeran Leng Sui akan mengancam untuk membunuh Li Sian Hwa di depannya. Maka dia pun bersabar sampai besok dan kembali ke tempat persembunyiannya di Kuil. Pangeran Liang Tek Ong cepat menanggapi laporan dan permohonan pertolongan Jaksa Li kepadanya tentang puterinya yang seolah disandera Pangeran Leng Sui. Dia segera menghadap Kaisar melalui jalur keluarga Istana dan berhasil mendapatkan ijin dari Sri Baginda Kaisar untuk kalau perlu menindak Pangeran Kerajaan Cin yang jelas melakukan tindakan kejahatan itu.

   Kalau bukan Pangeran Liang Tek Ong, belum tentu Kaisar dapat memberikan ijin tertulis itu, Pangeran Liang Tek Ong bergegas pulang membuat persiapan dengan seregu pasukan khusus. Akan tetapi sebelum ada yang melakukan gerakan, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, di halaman gedung tempat tinggal Pangeran Leng Sui telah terjadi keributan. Seorang gadis cantik jelita berusia sekitar dua puluh tahun berpakaian serba hijau, berkulit putih mulus, wajahnya bulat telur dengan sepasang mata indah seperti bintang, tubuhnya ramping padat, menggendong pedang, dengan sikap gagah melangkah masuk pintu gerbang yang dijaga lima orang pengawal Bangsa Yuchen. Lima orang perajurit itu segera menghadangnya dengan sikap garang, akan tetapi tentu saja mereka tertarik sekali melihat gadis yang demikian cantik jelita.

   "Hei, Nona, berhenti! Siapa engkau dan siapa mengijinkan engkau memasuki halaman ini?"

   Bentak seorang di antara mereka. Can Pek Giok, gadis itu, memandang galak. Senyumnya melebar dan hanya orang yang mengenalnya dengan baik saja yang akan merasa tegang menyaksikan berkembangnya senyum ini karena itu menandakan adanya bahaya bagi orang yang menentangnya!

   "Kalian tidak perlu tahu aku siapa. Cepat kalian panggil keluar Kakek muka tengkorak Pek-Bin Giam-Lo untuk menemui aku atau aku akan masuk sendiri dan menyeretnya keluar!"

   Lima orang pengawal itu saling Pandang dan melongo dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, terheran-heran mendengar ada seorang gadis muda berani mengeluarkan ucapan yang demikian menghina dan merendahkan Pek-Bin Giam-Lo yang membuat mereka merasa ngeri kalau berhadapan.

   "Hei, Nona muda, apakah engkau sudah gila? Ataukah engkau sudah bosan hidup?"

   Bentak pemimpin regu penjaga ini sambil mencabut goloknya, diturut oleh empat orang kawannya karena sejak terjadi penyerangan atas diri Pangeran Leng Sui, mereka selalu waspada dan mencurigai gadis yang tak salah lagi bersikap menantang dan mengacau ini. Dengan sigap, mereka berlima yang bukan merupakan pengawal-pengawal biasa yang lemah telah berloncatan mengepung Pek Giok. Tanpa bergerak sedikit pun, seolah sama sekali tidak peduli bahwa ia dikepung dari depan belakang dan kanan kiri, Pek Giok berkata,

   "Kalian berlima yang gila dan kalianlah yang sudah bosan hidup kalau tidak segera kalian turuti perintahku. Hayo cepat panggil ke sini Pek-Bin Giam-Lo!"

   Marahlah lima orang itu. Mereka adalah perajurit Cin pilihan dan sekarang dipandang rendah oleh seorang gadis yang masih muda sekali, masih remaja, tentu saja mereka merasa terhina dan malu.

   "Tangkap gadis ini hidup-hidup dan seret ke depan Pangeran!"

   Bentak pemimpin regu. Mereka agaknya masih memandang ringan dan mendengar aba-aba ini, mereka menyarungkan kembali golok mereka dan seolah hendak berlumba meringkus tubuh gadis yang padat semampai itu. Sepuluh buah tangan dijulurkan dari segala penjuru hendak menangkap Pek Giok.

   Tiba-tiba tubuh gadis itu lenyap bentuknya, berubah menjadi bayangan berpusing cepat dan tahu-tahu ada angin yang amat kuat ikut berpusing dan menyambar serta mendorong lima orang pengawal itu sehingga mereka terpelanting keras ke atas tanah bagaikan sekumpulan daun kering tertiup angin kencang! Tentu saja mereka berteriak kaget dan kesakitan karena tubuh mereka terbanting. Akan tetapi mereka tidak terluka dan biarpun mereka terkejut, namun kemarahan membuat mereka seolah tidak menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang sakti! Kemarahan membuat mereka kembali mencabut golok dan kini serentak mereka mengepung lalu menyerang dengan ganas, membacokkan golok mereka dari semua jurusan ke arah tubuh Pek Giok!

   Tadinya, melihat lima orang pengeroyoknya sudah roboh terpelanting, Pek Giok sudah menghentikan pusingan tubuhnya. Kini, melihat mereka malah nekat menyerangnya dengan golok telanjang, ia menjadi marah. Tubuhnya bergerak cepat, bagaikan seekor burung yang lincah, tubuh itu berkelebatan ke kanan kiri, muka belakang, kaki tangannya bergerak cepat dan kembali lima orang perajurit itu berteriak kesakitan, golok mereka beterbangan dan tubuh mereka berpelantingan lebih keras daripada tadi sehingga kini mereka tidak mudah untuk segera bangkit karena tubuh mereka terasa nyeri semua, ada yang lecet-lecet kulitnya, ada yang memar bengkak, bahkan ada yang patah tulang lengan atau kakinya!

   Golok mereka terbang entah ke mana dan kini mereka mengeluh dan mengerang, mencoba untuk merangkak dan menjauhi gadis yang kini membuat mereka merasa ketakutan itu. Pada saat itu, dari dalam gedung tempat tinggal Pangeran Leng Sui muncul seorang gadis cantik lain. Ia adalah Siangkoan Ceng! Ketika ia pagi itu sudah siap untuk pergi mencari Song Han Bun dan sudah mandi dan berpakaian rapi, ia mendengar suara teriakan para penjaga di pintu gerbang. Maka cepat ia keluar dan melihat para penjaga itu merangkak-rangkak sambil menjauhi seorang gadis berpakaian serba hijau yang berdiri tegak bertolak pinggang, tahulah ia bahwa ada musuh datang mengacau. Sekali ia menggerakkan tubuhnya, Ceng Ceng sudah berkelebat cepat menuju ke pintu gerbang.

   Pek Giok yang sudah masuk melihat berkelebatnya bayangan orang dan tiba-tiba saja muncul seorang gadis cantik berpakaian mewah dan rambut kepalanya dihias setangkai kembang merah. Gadis cantik itu selain berpakaian sutera serba baru dan mewah, juga munculnya membawa bau harum yang menyengat hidung. Agaknya ia menggunakan minyak wangi yang terlalu banyak sehingga keharumannya berlebihan, menyengat dan bagi Pek Giok menimbulkan rasa muak! Ia tidak tahu siapa wanita ini, akan tetapi melihat kemunculannya, ia dapat menduga bahwa gadis muda ini bukan merupakan lawan yang lunak. Maka Pek Giok siap dan waspada menatap wajah Ceng Ceng. Dua orang wanita muda yang sama-sama cantik jelita ini berdiri berhadapan dalam jarak tiga tombak, saling bertukar pandang penuh selidik.

   "Siapakah engkau?"

   Ceng Ceng membentak.

   "Kalau engkau kawan Pangeran Leng Sui, bicaralah baik-baik dan mengapa engkau menyerang para penjaga? Sebaliknya, kalau engkau lawan Pangeran, bersiaplah untuk mampus di tanganku!"

   Pek Giok tersenyum, manis sekali ketika bibirnya yang penuh dan merah itu bergerak sinis, mengejek.

   "Kiranya perempuan macam engkau ini yang dikenal orang dengan sebutan siluman rase yang kalau menyamar menjadi seorang perempuan amat genit dan mewah, memakai minyak wangi berlebihan sehingga baunya menjijikkan! Aku datang tidak mempunyai urusan dengan seekor iblis betina kuntilanak macam engkau, maka enyahlah sebelum kukirim engkau kembali ke neraka tempat asalmu!"

   Sepasang mata Ceng Ceng bagaikan mengeluarkan api! Ia marah akan tetapi juga terkejut dan heran. Beraninya gadis ini! Wajahnya juga berubah merah sekali mendengar penghinaan yang belum pernah selama hidup ia alami itu. la tidak mengenal gadis itu dan tidak dapat menduga siapa ia, akan tetapi ia dapat menduga bahwa gadis itu pasti bukan orang sembarangan dan cukup lihai untuk berani bersikap seperti itu. Maka, diam-diam ia mengerahkan tenaga ke arah kedua telapak tangannya, tenaga sakti yang mengandung kekuatan sihir, lalu ia mendorongkan kedua telapak tangannya itu bergantian ke arah Pek Giok sambil mengeluarkan bentakan yang mengandung penuh wibawa.

   "Roboh kau ...!!!"

   Jarak antara mereka sejauh tiga tombak akan tetapi hawa pukulan yang terbawa oleh dorongan dua telapak tangan itu sangat kuat, bahkan mengeluarkan bunyi menderu, menerpa ke arah Pek Giok! Akan tetapi gadis ini memang sudah sejak tadi waspada, maka ia sama sekali tidak menjadi gugup menghadapi serangan yang amat dahsyat itu. Pek Giok juga dapat merasakan adanya kekuatan sihir terkandung baik dalam serangan tenaga maupun serangan suara itu. Ia mengerahkan tenaga sakti yang meluncur keluar dari Tan-Tian (pusat bawah pusar) berikut kekuatan batin yang memancar keluar dari lubuk hati, yang pertama untuk melawan serangan tenaga pukulan lawan dan yang ke dua untuk membuyarkan pengaruh kekuatan sihir lawan dengan mengeluarkan seruan pendek.

   "Haiiiihhhh...!!"

   "Wuuuttt... blahhh...!"

   Dua kekuatan yang berupa angin kuat itu bertemu di udara, terasa oleh lima orang perajurit yang merangkak dan hendak menjauhkan diri. Terkena pecahan dua tenaga yang membuyar ini saja cukup membuat mereka ber lima terlempar dan terguling-guling sampai jauh! Ceng Ceng merasa terkejut bukan main. Gadis itu bukan hanya mampu menandingi kekuatan tenaga saktinya, bahkan mampu membuyarkan serangan dengan sihirnya! Rasa kaget dan heran membuat Ceng Ceng penasaran dan membangkitkan kemarahannya. Kini ia merogoh segenggam Ang-Tok-Ciam (Jarum Racun Merah), senjata rahasia kecil-kecil yang amat berbahaya karena mengandung racun merah yang mematikan.

   Gerakan tangan kiri Ceng Ceng tidak luput dari pengamatan Pek Giok. la tahu apa yang dilakukan lawan, maka cepat ia mengambil beberapa buah Touw-Sim-Teng (Paku Penembus Jantung), senjata rahasianya berbentuk paku-paku kecil yang juga amat berbahaya dan mematikan walaupun tidak beracun. Berbareng tangan kedua orang gadis cantik itu bergerak menyambitkan senjata rahasia mereka. Tampak sinar merah meluncur dari tangan Ceng Ceng, disambut sinar putih dari tangan Pek Giok. Terdengar suara berkentringan dibarengi muncratnya bunga api ketika dua macam senjata rahasia itu bertemu di udara dan runtuh semua ke atas tanah! Lagi-lagi Ceng Ceng penasaran. Senjata rahasianya juga dapat ditangkis oleh lawan. Pek Giok tersenyum.

   "Masih ada permainan apa lagi, Siluman Rase?"

   Dengan kemarahan memuncak Ceng Ceng lalu menerjang maju, tangan kini melancarkan pukulan Toat-Beng Tian-Ciang (Tangan Kilat Pencabut Nyawa), sedangkan tangan kanan sudah meloloskan Pek-Coa-Kiam (Pedang Ular Putih) yang melilit pinggang. Dengan gerakan cepat, kuat dan ganas sekali Ceng Ceng sudah menyerang secara bertubi-tubi dengan pukulan tangan kirinya dan sambaran pedang di tangan kanannya. Akan tetapi sekali ini Ceng Ceng benar-benar bertemu tandingnya. Di bawah gemblengan terakhir selama tiga tahun oleh Kakek sakti Song-Bun Lojin, Pek Giok telah memiliki tenaga sakti yang benar-benar amat kuat. Maka tangan kirinya dapat selalu menangkis dan balas menyerang sehingga dua tangan yang sama mungil, berkulit putih halus itu seringkali bertemu dan kalau bertemu seperti dua potong baja murni bertemu!

   Dalam hal adu ilmu pedang, Pek Giok memperlihatkan kelebihannya. Gadis ini mendapatkan dasar ilmu pedang Kun-Lun Kiam-Sut oleh gemblengan Kun-Lun Sam-Sian (Tiga Dewa Kun-Lun-Pai), kemudian ilmu pedangnya menjadi amat hebat setelah ia digembleng oleh Beng Tek Sian-jin. Begitu bertanding lewat lima puluh jurus, Ceng Ceng menjadi semakin penasaran. Ia sama sekali merasa tidak mampu mendesak lawannya. Padahal ia sudah mengeluarkan semua jurus permainan pedang dan pukulan tangan kosong yang paling ampuh dan sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Namun tetap saja semua serangannya terbentur pertahanan yang amat kuat dan sebaliknya kalau lawan balas menyerang, la menjadi agak kerepotan saking hebatnya serangan lawan!

   Bagi lima orang penjaga yang kini menonton sambil berjongkok di tempat yang cukup jauh dan aman, pertandingan antara dua orang wanita cantik itu membuat mereka tertegun dan terbelalak. Mereka tidak dapat mengikuti gerakan kedua orang gadis itu, bahkan tubuh yang semampai dari keduanya menghilang, yang tampak hanya dua bayangan yang berkelebatan, itupun masih terselubung sinar hijau pedang Ceng-Liong-Kiam di tangan Pek Giok dan sinar putih pedang Pek-Coa-Kiam di tangan Ceng Ceng. Tiba-tiba terdengar Ceng Ceng mengeluarkan suara tawa berkepanjangan dan sambung menyambung, akan tetapi suara tawa itu membuat lima orang perajurit Cin yang menonton pertandingan itu cepat menutupi daun telinga dengan kedua tangan mereka karena suara tawa itu seperti benda-benda tajam menusuk-nusuk ke dalam pendengaran mereka.

   Pek Giok maklum bahwa lawan menggunakan sihir ilmu hitam, maka untuk menolak suara tawa itu ia pun lalu mengeluarkan suara melengking panjang yang akibatnya membuat lima orang itu tidak tahan lagi dan larilah mereka pontang-panting menuju gedung sambil menutupi kedua telinga mereka yang mulai mengeluarkan darah! Ceng Ceng semakin marah. Ia lalu mengeluarkan ilmu hitamnya dan tubuhnya lenyap dari penglihatan orang biasa. Inilah semacam ilmu "menghilang", sebetulnya bukanlah sungguh-sungguh menghilang, melainkan mempengaruhi orang lain sehingga menurut pemikiran dan penglihatan orang itu ia tiba-tiba dapat menghilang. Dalam keadaan tak tampak itu tentu dengan mudah ia akan dapat menyerang lawan sehingga amat berbahaya bagi lawan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Pek Giok tertawa dan mengejek,

   "Segala ilmu siluman busuk boleh kau keluarkan!"

   Pek Giok tak dapat dikelabuhi dan ia masih tetap dapat melihat lawan dengan jelas, dan kemarahan yang terus menerus dan semakin meningkat ini amat merugikan Ceng Ceng. Memang perasaan amarah yang berlebihan membuat orang menjadi lengah dan kewaspadaannya berkurang karena dikacaukan oleh nafsu amarahnya sendiri. Inilah sebabnya maka Pek Giok mulai mendesaknya dengan hebat, membuat Ceng Ceng hanya mampu melindungi diri sambil terus mundur.

   "Hyaaaaatttt...!!"

   Tiba-tiba sebelah kaki Pek Giok mencuat bagaikan kilat menyambar dan Ceng Ceng yang sudah terdesak itu kurang cepat mengelak sehingga ujung sepatu kaki Pek Giok masih mengenai sebelah kanan pinggulnya dan ia pun terpelanting roboh! Pek Giok yang maklum bahwa lawannya ini terlalu berbahaya kalau dibiarkan hidup, sudah menerjang ke depan, pedang Ceng-Liong-Kiam di tangan kanannya berkilat membacok ke arah kepala Ceng Ceng.

   "Singgg... wuuttt...!"

   Pek Giok terkejut sekali karena pedangnya yang sudah nyaris mengenai sasaran itu tiba-tiba terdorong hawa kuat dari kiri sehingga menyimpang dan tubuh lawannya disambar orang sehingga terbebas dari bacokan pedangnya. Ketika ia berdiri memandang, matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan kulit mukanya merah sekali, sepasang matanya seperti menyinarkan api dengan kemarahan yang menyala-nyala! Ia melihat bahwa yang menyelamatkan lawannya itu bukan lain adalah Song Han Bun! Kini pemuda itu malah melepaskan tubuh Ceng Ceng yang tadi disambarnya dan Ceng Ceng dengan sikap manja dan manis bergayut pada leher pemuda itu! Dengan suara gemetar, sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Han Bun, Pek Giok berseru,

   "Kau...? Kau malah... melindungi dan membelanya...??"

   Han Bun yang baru saja tiba dan tadi melihat Ceng Ceng terancam maut tanpa melihat jelas siapa yang hendak membunuhnya, kini terbelalak dengan muka pucat ketika mengenal bahwa lawan Ceng Ceng adalah Pek Giok! Dia menggeleng-gelengkan kepadanya. Baginya wajar saja kalau dia menyelamatkan Ceng Ceng karena puteri Ketua Beng-Kauw ini bukan musuhnya, bahkan dia tahu gadis itu mencintanya dan amat baik kepadanya.

   "Tidak..., ia... ia bukan musuh, Pek Giok..."

   "Jahanam busuk, engkau boleh membelanya dan mengeroyok aku. Aku tidak takut!"

   Setelah berkata demikian, ia sudah menerjang lagi ke arah Ceng Ceng. Gadis ini sudah siap dan tentu saja melawan dengan gigih. Ilmu kepandaian mereka tidak jauh selisihnya, kalau tadi ia terdesak adalah karena ia lengah dipengaruhi amarah yang amat hebat. Kini di situ ada Song Han Bun yang tadi jelas melindunginya, maka ia tidak takut dan dapat menangkis dengan baik lalu balas menyerang.

   Dua orang gadis itu sudah saling serang lagi dan Han Bun kini menonton dengan bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Tentu saja di dalam hatinya dia berpihak kepada Pek Giok, satu-satunya wanita dalam dunia ini yang dikasihinya dan dipilihnya sebagai calon jodohnya. Akan tetapi dia tidak menghendaki Ceng Ceng terbunuh dalam perkelahian mati-matian itu. Gadis itu memang puteri Ketua Beng-Kauw yang dikenal di dunia persilatan sebagai golongan hitam atau jahat, akan tetapi dalam pertimbangan pendapatnya, Siangkoan Ceng tidaklah begitu jahat. Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang seolah-olah menggetarkan tanah pekarangan itu dan mengguncang pohon-pohon yang tumbuh di sekitarnya. Han Bun memandang penuh perhatian ketika berbareng dengan suara dahsyat itu muncul sesosok bayangan orang.

   Kemunculannya seperti iblis saja, hanya merupakan bayangan, akan tetapi dalam pandangan Han Bun yang sudah memiliki kewaspadaan sehingga penglihatannya mampu menembus selubung hawa hitam yang menyamarkan tubuh itu, dia melihat jelas bahwa yang muncul adalah Kakek bermuka tengkorak putih, yaitu Pek-Bin Giam-Lo yang dia cari-cari! Dengan gerakan dahsyat, Pek-Bin Giam-Lo yang baru muncul dan melihat betapa Ceng Ceng bertanding melawan seorang gadis lihai sekali yang dia segera kenali sebagai puteri Can-Kauwsu dari Sung-Kian, dia segera menggerakkan tongkat ular kobranya menyerang Pek Giok! Akan tetapi dengan gagah Pek Giok melawan pengeroyokan dua orang lawan sakti itu. Pedang Naga Hijau di tangannya seperti hidup, berubah menjadi sinar kilat hijau berputar dan menangkis serangan tongkat ular kobra.

   "Trang-cringg...!!" Dua kali kedua senjata ampuh itu bertemu di udara, menimbulkan bunga api dan Pek-Bin Giam-Lo terkejut bukan main. Ini bukan gadis puteri Can-Kauwsu yang pernah diserangnya tiga tahun yang lalu dan dengan mudah dia robohkan, bahkan nyaris dia binasakan. Dia teringat bahwa ketika itu muncul Song-Bun Lojin, Kakek sakti seperti Dewa yang membuatnya terpaksa melarikan diri.

   Ah, tentu gadis ini sudah menerima pelajaran ilmu-ilmu tinggi dari Song-Bun LoJin! Tahu bahwa lawannya ini tidak boleh dipandang ringan maka dia segera bergerak menerjang, membantu Ceng Ceng mengeroyok Pek Giok. Puteri mendiang Can-Kauwsu ini sama sekali tidak merasa gentar. Bahkan kini ia mainkan Ceng-Liong-Kiam sedemikian rupa sehingga pedangnya berubah menjadi gulungan sinar hijau yang memancarkan kilatan ke sekitarnya, menangkis serangan Pek-Coa-Kiam dari Ceng Ceng dan tongkat ular kobra dari Pek-Bin Giam-Lo. Melihat ini, Song Han Bun menjadi penasaran dan tak dapat membiarkannya saja. Dia melompat dan mencabut pedangnya, lalu dengan jurus ilmu pedang Bu-Tong Kiam-Sut dia menangkis sinar tongkat ular kobra yang dimainkan Pek-Bin Giam-Lo untuk mengeroyok Pek Giok.

   "Tranggg...!!"

   Tangan Pek-Bin Giam-Lo tergetar dan dia cepat melompat ke belakang lalu memandang penuh perhatian.

   Ketika melihat bahwa yang menangkis tongkatnya adalah pemuda yang dikenalnya sebagai putera mendiang Song-Kauwsu, dia semakin kaget. Pemuda ini pernah dia serang dan lukai pada tiga tahun yang lalu, dan dapat melarikan diri. Padahal serangannya dahulu itu merupakan serangan maut, dia berhasil menotok tengkuk pemuda itu. Totokan yang disertai ilmu sihir dan mengandung hawa beracun. Pantasnya pemuda itu tentu tewas. Akan tetapi kini muncul dengan kepandaian semakin hebat sehingga tangkisan pedangnya mampu menggetarkan tangannya! Setelah Pek-Bin Giam-Lo meninggalkan Pek Giok, maka kini perkelahian mati-matian masih terjadi antara dua orang gadis itu. Han Bun tidak khawatir lagi akan keadaan Pek Giok dan dia menghadapi Pek-Bin Giam-Lo, lalu berkata dengan suara lantang.

   "Pek-Bin Giam-Lo, kuharap engkau tidak terlalu pengecut untuk mengakui apakah engkau yang telah membunuh Ayahku Song Swi Kai dan Guru Silat Can Gi Sun di Sung-Kian?"

   Pek-Bin Giam-Lo adalah seorang Datuk sesat yang berwatak tinggi hati dan merasa paling hebat, maka mendengar pertanyaan itu dia menyeringai.

   "Benar, aku yang membunuh mereka karena engkau, Song Han Bun, dan Can Pek Giok yang telah membunuh muridku Bu-Eng-Kwi Tok Liong Taisu tidak berada di rumah. Aku bunuh mereka, lalu engkau mau apa? Aku hanya membalas dendam, nyawa ditukar nyawa!"

   "Pek-Bin Giam-Lo, muridmu itu seorang yang amat jahat, dia membela dua orang muridnya yang kejam, menggunakan akal busuk untuk menculik aku dan Pek Giok. Dalam perkelahian dia terbunuh karena kesalahan dan kejahatannya sendiri. Sebaliknya, Ayah-Ayah kami tidak bersalah apa-apa dan engkau telah membunuhnya. Engkau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu yang sesat itu."

   Tegur Han Bun.

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Huh, aku akan mengantar engkau menyusul Ayahmu!"

   Bentak Pek-Bin Giam-Lo dan dia pun tiba-tiba menghilang dan yang tampak hanya tongkat ular kobranya saja yang melayang-layang dan menyambar-nyambar, menyerang Han Bun! Akan tetapi Han Bun dapat melihatnya, melawan dengan pedangnya. Bagi orang lain, tentu tampak lucu karena pemuda itu bersilat dan seperti bertanding melawan sebatang tongkat yang bergerak sendiri tanpa ada yang memegang atau memainkannya!

   (Lanjut ke Jilid 21)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21

   Terjadilah dua pertandingan yang bagi orang biasa tentu amat aneh dan mengagumkan. Dua orang gadis cantik itu, Siangkoan Ceng dan Can Pek Giok, bertanding mati-matian dan tubuh mereka sudah lenyap menjadi bayang-bayang terbungkus gulungan sinar pedang hijau dan putih yang mengeluarkan sinar kilat ke sekitarnya dan terdengar bunyi berdentang-dentingnya pedang beradu menimbulkan bunga api berpijar. Tak jauh dari situ tampak Han Bun bersilat pedang melawan sebatang tongkat ular kobra yang melayang-layang bergerak seperti hidup, menyambar-nyambar dengan dahsyat.

   Juga pertemuan tongkat dengan pedang di tangan pemuda itu selain mengeluarkan bunyi nyaring berdenting juga mengeluarkan kembang api yang menyilaukan mata. Ternyata dua pertandingan dilakukan oleh empat orang yang memiliki tingkat kepandaian yang tidak banyak selisihnya. Perkelahian itu seru dan saling serang dengan dahsyat, masing-masing mengeluarkan segala kemampuan mereka. Kalau dibuat perbandingan antara Song Han Bun dan Pek-Bin Giam-Lo, pemuda itu memiliki dasar yang lebih kuat karena memang dasarnya itu mendapatkan aliran yang bersih ditambah pribudi yang tinggi. Akan tetapi lawannya adalah seorang Kakek yang telah matang dalam pengalaman berkelahi dan menguasai banyak ilmu hitam dan ilmu sihir. Maka, bagaimanapun juga Han Bun lebih tegar dan lebih mantap gerakannya,

   Bagaikan seekor naga yang tenang waspada menghadapi lawan seekor binatang buas yang ganas dan curang licik dengan gerakan yang ribut. Adapun Ceng Ceng yang melawan Pek Giok juga merasa repot. Can Pek Giok kini tidaklah seperti dulu, hanya mengandalkan kelincahan, kecepatan dan tenaga sakti. Kini gadis itu lebih tenang dan matang gerakannya, tidak mudah dipengaruhi emosi sehingga ia mampu bertanding dengan tenang dan waspada. Biarpun Siangkoan Ceng amat ganas dan memiliki banyak tipu muslihat, namun menghadapi Pek Giok ia merasa seolah bertemu dengan benteng baja yang amat kuat dan sulit diterobos. Sambil berkelahi, baik Han Bun maupun Pek Giok tidak saling menegur. Bahkan kalau teringat betapa tadi Han Bun melindungi lawannya, hati Pek Giok masih panas dan marah kepada Han Bun, kemarahan yang tanpa ia sadari timbul dari perasaan cemburu!

   Akan tetapi keduanya juga diam-diam merasa heran mengapa dari dalam gedung besar Pangeran Leng Sui itu tidak ada reaksi apa pun terhadap keributan yang terjadi di pekarangan depan, seolah gedung itu kosong! Akan tetapi mereka tidak berani terlalu memecah perhatian karena lawan mereka bukanlah orang yang boleh dipandang ringan. Sesungguhnya, tidak yang seperti mereka sangka, di dalam gedung itupun terjadi peristiwa yang menggemparkan. Yang menyebabkan kekacauan itu bukan lain adalah Lui Hong! Ketika malam tadi Lui Hong berkunjung ke rumah Jaksa Li, dia mendengar bahwa Li Sian Hwa dan puteranya telah diambil kembali oleh Pangeran Leng Sui, kemudian terdengar ancaman Pangeran itu bahwa kalau Lui Hong tidak menyerahkan diri kepada Pangeran Leng Sui, keselamatan Li Sian Hwa dan puteranya tidak dijamin!

   Tadinya dia ingin mengamuk dan menolong Sian Hwa malam itu juga, akan tetapi Jaksa Li mencegahnya demi keselamatan Sian Hwa. Jaksa Li hendak minta tolong kepada Pangeran Liang Tek Ong dan terpaksa Lui Hong menahan diri dan Baru pada keesokan harinya dia nekat mengunjungi gedung Pangeran Leng Sui. Dengan ilmunya yang tinggi tidak sukar bagi Lui Hong untuk memasuki gedung itu melalui pagar tembok di belakang gedung. Dia masuk ke taman belakang lalu menyusup ke dalam gedung. Tentu saja dia tidak begitu bodoh untuk mentaati keinginan Pangeran Leng Sui agar dia menyerahkan diri. Dia tahu bahwa Pangeran Bangsa Yuchen itu mendendam kepadanya dan sekali dia menyerah, Pangeran itu pasti akan membunuhnya. Bukan dia takut mati karena untuk menyelamatkan Li Sian Hwa, kalau perlu dia rela berkorban nyawa untuk keselamatan wanita yang dicintanya itu.

   Akan tetapi dia pun maklum bahwa pengorbanannya itu tidak yakin akan menyelamatkan Li Sian Hwa dari tangan Pangeran kejam itu. Apa gunanya dia menyerah dan berkorban nyawa kalau Sian Hwa tetap ditahan dan dibikin sengsara? Tidak, dia tidak akan menyerah, melainkan dia akan berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan Sian Hwa dari tempat itu! Dengan ringan tubuhnya melayang ke atas wuwungan dan akhirnya dari atas dia melihat betapa di dalam gedung itu terdapat kesibukan. Dia melihat sedikitnya ada lima puluh orang berpakaian perajurit dan perwira Cin berkumpul di ruangan tengah yang luas dan di sana dia melihat Pangeran Leng Sui bersama Li Sian Hwa yang tampak pucat ketakutan. Agaknya mereka itu sudah menanti kedatangannya dengan seregu pasukan! Tiba-tiba dia melihat Sian Hwa yang ketakutan itu menjerit.

   "Di mana Bu San anakku...!! Lepaskan aku, aku akan mencari anakku...!!"

   Akan tetapi Pangeran Leng Sui sudah meringkusnya dan memegangi kedua pergelangan tangannya.

   "Diam kau, perempuan busuk!!"

   Bentaknya. Akan tetapi Sian Hwa meronta-ronta dan menangis.

   "Kau yang jahat! Kau gunakan aku dan anakku untuk menjebak orang baik-baik. Lepaskan aku, lepaskan...!"

   Akan tetapi melihat isterinya itu meronta, mencakar, memukul dan menggigit dengan nekat, Pangeran Leng Sui lalu menamparnya. Melihat ini, Lui Hong tak dapat menahan diri lagi. Dari atas dia menerjang atap meluncur ke bawah.

   "Braaakkkk...!!"

   Atap itu jebol dan tubuhnya menyambar ke bawah bagaikan seekor garuda menyambar dahsyat. Semua orang terkejut, terutama Pangeran Leng Sui karena bayangan Lui Hong itu menyambar ke arahnya! Tahu bahwa dia diserang dari atas, Pangeran Leng Sui menyambut serangan Lui Hong dengan Hek-Liong-Kiam (Pedang Naga Hitam). Sinar hitam mencuat menyambut tubuh Lui Hong yang menyambar dari atas.

   "Plakk...!"

   Pedang itu terpental dan tubuh Leng Sui tetap saja terdorong angin pukulan sehingga dia terpelanting.

   "Tangkap dia! Bunuh!!"

   Mulutnya sibuk memerintah dan para perajurit dan perwira Cin sudah bergerak mengepung Lui Hong dengan rapat dan menghujankan senjata mereka ke arah tubuh pemuda itu. Akan tetapi Lui Hong sudah memegang pedangnya dan tampak sinar biru langit bergulung-gulung dan menyemburkan kilat ke sana-sini ketika dia mainkan Thian-To Kiam-Sut yang amat dahsyat itu. Biarpun dikepung rapat, perhatian Lui Hong masih ditujukan kepada Li Sian Hwa. Melihat betapa Sian Hwa kini ditarik tangannya oleh Pangeran Leng Sui dan hendak dilarikan keluar dari ruangan melalui sebuah pintu, dia mengeluarkan teriakan melengking panjang yang membuat para pengepungnya terkejut dan berlompatan ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan Lui Hong untuk melayang dan mengejar ke arah Pangeran Leng Sui.

   Melihat ini, Pangeran Leng Sui yang sudah ketakutan itu melepaskan tangan isterinya dan dia melompat bersembunyi di balik beberapa orang perwira yang cepat mengangkat senjata mereka melindunginya. Akan tetapi Lui Hong tidak menyerang siapa-siapa, dia malah cepat menyambar tangan Sian Hwa dan ditariknya wanita itu untuk melarikan diri! Karena jalan menuju keluar terhalang puluhan orang perwira dan perajurit, Lui Hong menarik Sian Hwa lari melalui pintu ruangan samping kiri. Para perajurit dan perwira cepat melakukan pengejaran. Mulailah Lui Hong mengamuk, akan tetapi gerakannya itu hanya untuk melindungi dirinya dan terutama melindungi Sian Hwa. Kalau pedangnya yang menyebarkan kilat membuat para pengeroyok mundur dengan gentar, kesempatan itu dia pergunakan untuk menarik tangan Sian Hwa dan lari ke bagian tempat yang lebih aman.

   Akan tetapi terdengar teriakan Pangeran Leng Sui yang memberi perintah dengan marah kepada pasukannya untuk menangkap atau membunuh pemuda itu, maka para perajurit dan perwira tetap melakukan pengejaran ke manapun dia lari. Lui Hong mulai merobohkan mereka dengan tendangan dan dorongan tangan kiri, akan tetapi dia tidak bermaksud membunuh para pengeroyok itu. Karena melihat betapa ruangan bergerak semakin menyempit, Lui Hong lalu mengajak Sian Hwa lari menuju ke luar! Dia mengamuk lebih hebat, kini menggunakan sinar pedangnya untuk mematahkan dan menerbangkan banyak senjata para pengeroyok sehingga akhirnya dia berhasil lobos dan keluar dari gedung, masuk ke pekarangan di mana Pek Giok masih bertanding melawan Siangkoan Ceng dan Han Bun masih bertanding melawan Pek-Bin Giam-Lo!

   Pengeroyokan kini pindah ke pekarangan yang luas. Puluhan orang perajurit dan perwira itu mengepung dan pertempuran menjadi semakin ramai, terutama ramai oleh teriakan Pangeran Leng Sui dan Para perwiranya yang memberi semangat kepada pasukan itu. Setelah kini tempatnya leluasa, Lui Hong dikepung belasan orang perwira yang ternyata memiliki ilmu silat cukup tinggi dengan gerakan cukup gesit dan kuat! Dia mulai khawatir kalau-kalau tidak dapat melindungi Li Sian Hwa dengan balk. Perkelahian yang tadinya hanya dilakukan empat orang itu kini menjadi pertempuran yang seru dan ramai. Di atas jalan raya depan pekarangan rumah Pangeran Leng Sui mulailah orang-orang yang lewat menjadi tertarik dan menonton dari jarak cukup aman karena tentu saja mereka tidak ingin terlibat dalam pertempuran berbahaya.

   Selagi Lui Hong agak kebingungan karena dikeroyok puluhan perajurit dan perwira, tiba-tiba terdengar suara tambur dan dari jalan raya datang menyerbu pasukan Pemerintah Sung dalam jumlah yang banyak, tidak kurang dari seratus orang! Lui Hong melihat bahwa pasukan itu bahkan dipimpin sendiri oleh Panglima Kerajaan Sung dan di antara mereka tampak pula Jaksa Li Koan, Ayah Li Sian Hwa! Hati Lui Hong merasa girang dan cepat dia menarik tangan Sian Hwa, diajak lari mendekati Jaksa Li dan dia menyerahkan wanita itu dalam perlindungan Jaksa Li. Kemudian dia mengamuk lagi membantu pasukan Sung yang mulai bertempur melawan para perajurit Cin. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar seruan nyaring dari seorang panglima yang memimpin pasukan Istana.

   "Hentikan semua pertempuran!!"

   Melihat bahwa yang berseru ini adalah panglima yang tinggi kedudukannya, maka pasukan Sung yang melawan pasukan Cin menghentikan serangan mereka dan mundur. Juga pasukan Cin tidak berani membantah dan masing-masing menarik mundur pasukannya. Seketika suasana menjadi sunyi. Kemudian terdengar lagi suara panglima yang memimpin pasukan Istana.

   "Dengan perintah Perdana Menteri Chin Kui, atas nama Sri Baginda Kaisar, pertempuran ini tidak boleh dilanjutkan!"

   Sementara itu, melihat keadaan yang tidak menguntungkan, Siangkoan Ceng dan Pek-Bin Giam-Lo segera berlompatan dan menghilang ke dalam gedung Pangeran Leng Sui. Pek Giok dan Han Bun juga tidak berani mengejar karena selain hal itu berbahaya, mereka berdua juga harus mentaati perintah Sang Panglima kalau tidak ingin dianggap membuat kekacauan di Kotaraja. Urusan mereka dengan Pek-Bin Giam-Lo adalah urusan pribadi dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan urusan pemerintahan atau dengan Kerajaan Cin. Pada saat itu, muncul Pangeran Liang Tek Ong dari dalam pasukan Kerajaan yang diam-diam dia kerahkan untuk menyerbu tempat tinggal Pangeran Leng Sui. Pangeran ini langsung menghadapi panglima komandan pasukan Istana dan berseru dengan lantang.

   "Kwa Tai-Ciangkun (Panglima Kwa), kami terpaksa menyerbu kesini karena ternyata Pangeran Leng Sui telah melakukan kejahatan. Dia memelihara para pembunuh dan dia bahkan berani menghina keluarga Jaksa Li Koan dengan menyandera puteri Jaksa Li yang telah dia peristeri! Demi keadilan dan kehormatan pejabat pemerintah Kerajaan Sung, engkau semestinya membiarkan kami melakukan penangkapan terhadap Pangeran Leng Sui dan kaki tangannya!"

   "Maaf, Pangeran! Kami menerima perintah dari Perdana Menteri Chin Kui yang bertindak atas nama Sri Baginda Kaisar agar mencegah terjadinya pertempuran. Pangeran Leng Sui adalah utusan dan wakil dari negara sahabat Cin dan menjadi tamu di sini, maka amat tidak semestinya kalau persahabatan kedua Kerajaan itu berubah menjadi permusuhan,"

   Kata Panglima Kwa dengan suaranya yang parau dan lantang.

   "Kami sudah mendapat persetujuan tertulis Sri Baginda Kaisar sendiri!"

   Kata Pangeran Liang Tek Ong sambil melambaikan surat persetujuan itu.

   "Kami juga membawa surat kuasa dari Perdana Menteri yang ditanda tangani Sri Baginda Kaisar!"

   Kata Kwa Tai-Ciangkun.

   "Pangeran, kita tentu sepakat bahwa dua surat persetujuan itu tidak perlu dipertentangkan."

   Pangeran Liang Tek Ong menarik napas panjang. Dia maklum bahwa tentu saja Panglima Kwa memiliki kekuasaan yang lebih besar dan dia lebih berani karena mendapat dukungan Perdana Menteri Chin Kui. Tidak baik kalau memaksa lalu terjadi bentrok antara mereka.

   "Baiklah, Panglima Kwa!"

   Katanya.

   "Akan tetapi sikap Pangeran Leng Sui terhadap keluarga Jaksa Li haruslah dia pertanggung-jawabkan. Dia tidak bisa bersikap dan bertindak seenaknya saja di kota raja ini."

   Tiba-tiba muncul Pangeran Leng Sui di depan pintu dan sikapnya angkuh sekali. Dia tersenyum mengejek lalu berkata dengan suara lantang.

   "Pangeran Liang Tek Ong! Apakah para Bangsawan Kerajaan Sung begitu tidak tahu aturan sehingga suka mencampuri urusan pribadi antara suami-isteri? Li Sian Hwa adalah isteriku, bagaimana orang lain boleh mencampuri urusanku dengan isteriku?"

   Ucapan lantang ini disusul keheningan karena semua orang terkejut mendengar ucapan yang merupakan protes dan tantangan ini. Bagaimanapun juga, semua orang menganggapnya tidak semestinya dan tidak sopan kalau ada orang lain mencampuri urusan yang terjadi antara suami-isteri! Semua orang ingin sekali mendengar bagaimana Pangeran Liang Tek Ong akan menanggapi serangan ini. Pangeran Liang Tek Ong adalah seorang Bangsawan yang tentu saja tahu akan peraturan itu, dan dengan tenang namun dengan suara tegas dia menjawab.

   "Leng Sui, kalau engkau berurusan pribadi dengan isterimu, sudah pasti aku tidak akan mencampuri urusan busukmu itu! Akan tetapi ingat! Aku dilapori dann dimintai tolong oleh Jaksa Li Koan, seorang pejabat pemerintah Kerajaan Sung, bahwa engkau telah memulangkan Li Sian Hwa ke rumah orang-tuanya. Hal itu berarti bahwa engkau telah menceraikan wanita itu dan Li Sian Hwa sudah bukan isterimu lagi! Akan tetapi engkau berani menghina Jaksa Li yang pernah menjadi Ayah mertuamu dan dengan paksa engkau membawa kembali Li Sian Hwa yang telah kau ceraikan itu sebagai sandera ke rumahmu! Ini merupakan tindak kejahatan dan kami tidak dapat mendiamkannya saja. Mengerti?"

   Mendengar suara lantang tegas itu, Wajah Leng Sui menjadi merah sekali dan dia merasa kalah dalam perdebatan itu, maka dia lalu dengan sikap congkaknya berdiri tegak bertolak pinggang dan menyeringai, memandang kepada Li Sian Hwa yang berdiri di dekat Jaksa Li.

   "Hemm, kalau begitu, aku pun tidak peduli apakah Li Sian Hwa mau kembali kepadaku atau tidak! la boleh pergi meninggalkan aku kalau memang itu yang dikehendakinya karena banyak sudah gadis-gadis cantik berdiri dalam antrian slap untuk menggantikannya!"

   Dia lalu tertawa, suara tawa yang amat menyakitkan hati, terutama bagi Li Sian Hwa.

   "Leng Sui keparat jahanam!"

   Tiba-tiba Sian Hwa menjerit.

   "Kembalikan anakku! Dia telah menculik dan menyembunyikan anakku!"

   Mendengar ini, Pangeran Liang Tek Ong berseru kepada Panglima Kwa.

   "Nah, engkau mendengar sendiri, Kwa Tai-Ciangkun, betapa jahatnya Leng Sui itu! Perintahkan agar dia mengembalikan putera dari Li Sian Hwa, Ciangkun!"

   

Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini