Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 22


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



Panglima Kwa kini memandang kepada Pangeran Leng Sui, lalu dia bertanya,

   "Benarkah itu, Pangeran Leng Sui? Benarkah engkau menculik dan menyembunyikan anak itu?"

   Tiba-tiba Pangeran Leng Sui tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha-ha! Agaknya para Bangsawan Kerajaan Sung memang tidak tahu sopan santun, tidak tahu aturan! Di mana ada seorang Ayah menculik puteranya sendiri? Kalian dengar baik-baik! Anak itu bernama Leng Bu San, marga Leng, putera dari aku Leng Sui! Seorang anak, terutama anak laki-laki adalah menjadi hak Ayah kandungnya! Tidak ada seorang Ibu yang dapat merampas seorang putera dari Ayahnya! Ataukah di Kerajaan Sung ini orang menggunakan tata peraturan Bangsa liar? Hayo jawab, Panglima Kwa, tidak benarkah ucapanku bahwa puteraku adalah menjadi hak dan tanggung jawabku?"

   Mendengar ini, Panglima Kwa memandang kepada Pangeran Liang Tek Ong dan dia mengembangkan kedua lengannya sambil menggelengkan kepalanya. Pangeran Liang Tek Ong juga mengerti bahwa kali ini dia tidak mungkin dapat membantah karena apa yang dikatakan Leng Sui itu benar adanya! Tidak ada peraturan yang mengharuskan Leng Sui sebagai Ayah kandung seorang putera menyerahkan puteranya kepada orang lain dan seorang Ibu memang tidak pernah berhak sepenuhnya atas diri seorang puteranya. Bahkan kalau sang suami sudah meninggal dunia, anak itupun menjadi hak dari Kakek yang semarga, atau Ayah dari Ayah si anak itu! Melihat betapa tidak ada yang dapat membantah ucapannya tadi, kembali Pangeran Leng Sui tertawa bergelak dan dia lalu berkata kepada Panglima Kwa,

   "Panglima Kwa, tolong sampaikan kepada Perdana Menteri Chin Kui bahwa kami akan kembali ke utara, melapor kepada Kaisar kami yang tentu akan mengajukan protes atas peristiwa ini!"

   Setelah berkata demikian, dengan gerakan angkuh dia lalu memasuki gedungnya, diikuti pasukan pengawalnya dan menutupkan pintu gerbang. Tidak ada pilihan lain bagi Pangeran Liang Tek Ong kecuali menarik mundur pasukannya dan kembali ke Istananya sendiri. Sambil menangis Li Sian Hwa naik kereta bersama Ayahnya dan semua orang pun meninggalkan tempat itu. Tadi Lui Hong sempat melihat berkelebatnya dua bayangan orang dan tahulah dia bahwa baik Can Pek Giok, maupun Song Han Bun, telah lebih dulu meninggalkan tempat itu menuju ke luar Kotaraja.

   Dia merasa khawatir akan kedua orang itu yang mungkin masih bermusuhan, maka dia pun segera berkelebat pergi mencari mereka. Mula-mula Pek Giok yang lebih dulu berkelebat pergi dari pekarangan gedung Pangeran Leng Sul dengan marah. Gadis ini merasa penasaran dan kecewa sekali karena ia tidak mendapatkan kesempatan untuk membalas dendam kepada Pek-Bin Giam-Lo dan terutama tidak mendapat kesempatan untuk membunuh gadis cantik yang menjadi lawannya, gadis yang tentu sudah dapat ia binasakan kalau saja Song Han Bun tidak menolong dan menyelamatkannya. Juga ia merasa penasaran sekali karena tidak mendapat kesempatan untuk memaki-maki Han Bun dan menyerangnya. Pada saat itu ia merasa benci sekali kepada Song Han Bun, apalagi kalau ia mengenangkan permusuhan besar antara keluarga Ayahnya dan keluarga Song.

   Saking marah dan bencinya, ketika dia melarikan diri, air matanya menetes-netes dan napasnya agak terganggu oleh isak tangisnya. la merasa tidak berdaya, tidak dapal bebas menyerang musuh besarnya, Pek-Bin Giam-Lo karena terhalang semua pasukan itu. la merasa yakin bahwa pembunuh Ayahnya adalah Pek-Bin Giam-Lo dan ia mengambil keputusan untuk melakukan pengejaran dan pencarian terhadap Pek-Bin Giam-Lo sampai akhirnya ia berhasil membalas dendam. Akan tetapi, biarpun ia membayangkan musuh besar itu dengan penuh dendam, anehnya yang tampak di depan matanya adalah bayangan Song Han Bun yang membuat ia menjadi semakin marah. Juga sambil berlari secepat terbang, mulutnya tiada hentinya menyebut nama pemuda itu sambil memaki-maki.

   "Keparat Song Han Bun, busuk, aku benci kau, aku benci...!!"

   Ia dapat menduga bahwa Pek-Bin Giam-Lo pasti akan kembali ke seberang Yang-Ce bagian utara, kembali ke kota perbentengan Kerajaan Cin di An-keng. Maka ia pun segera keluar dari Hang-Chouw dan menuju ke Telaga Barat yang berada di luar kota. Setelah tiba di tepi telaga, Pek Giok tetap saja berlari seperti terbang. Ia mendaki perbukitan di sebelah telaga dan akhirnya ia tiba di puncak sebuah bukit yang datar dan sepi. Hari telah menjelang siang dan tempat itu amat sepi, tak tampak seorang pun manusia. Permukaan puncak yang datar itu penuh dengan lapangan rumput hijau segar dan di sana-sini tumbuh pohon yang cabang dan rantingnya melingkar-lingkar amat indahnya.

   Agaknya kesunyian tempat itu menambah kesedihannya dan akhirnya Pek Giok berhenti berlari, duduk menjatuhkan diri di atas rumput, di bawah sebatang pohon dan ia menangis. Ia sendiri tidak menyadari berapa lamanya ia menangis, bahkan tidak jelas baginya mengapa pula ia menangis. Karena hati yang gundah tanpa ia ketahui sebabnya itu membuat ia kurang waspada sehingga ia tidak tahu bahwa sejak tadi Han Bun telah mengejarnya ke situ dan kini pemuda itu bersembunyi di balik sebatang pohon dan memandangnya dengan hati sedih. Melihat gadis itu menangis seperti itu, Han Bun menjadi terharu. Ingin dia menghibur gadis itu, akan tetapi hatinya tidak berani, khawatir kalau-kalau Can Pek Giok menjadi semakin marah.

   "Aku harus menjelaskannya agar ia tidak salah sangka dan marah kepadaku,"

   Akhirnya Han Bun mengambil keputusan dan dia keluar dari balik batang pohon lalu menghampiri Pek Giok yang masih duduk di bawah pohon besar.

   "Nona Can Pek Giok, maafkan aku... akan tetapi mengapa engkau menangis dengan sedih...?"

   Akhirnya Han Bun dapat menegur dengan lembut. Pek Giok terkejut, mengangkat muka dan begitu melihat siapa yang menegurnya, seketika ia melompat berdiri, mukanya merah sekali dan sepasang matanya mencorong. la menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Han Bun dan membentak marah.

   "Kau...? Jahanam busuk, manusia berhati palsu! Kau pengkhianat...!!"

   Pek Giok tak dapat melanjutkan kata-katanya saking marahnya dan ia sudah siap untuk menerjang.

   "Tahan...!"

   Han Bun berseru.

   "Dengar dulu, Nona Can. Aku ingin memberi penjelasan karena agaknya engkau salah duga!"

   "Bohong! Penipu tak tahu malu...!"

   Pada saat itu tampak bayangan berkelebat dan Lui Hong telah berdiri tak jauh dari mereka. Pemuda ini mengerutkan alisnya dan sinar matanya memandang kepada Han Bun dengan marah pula. .

   "Song Han Bun, apa pula perlunya untuk berbohong? Sudah jelas bahwa keluarga Song merupakan orang-orang yang lemah dan mudah terpengaruh rupa cantik. Buktinya keluarga Song pernah dibantu orang-orang jahat seperti mendiang Kakak-beradik Lee Kim Lun dan Lee Kim Lian. Dan sekarang, beranikah engkau menyangkal bahwa engkau melindungi Siangkoan Ceng yang membuat engkau tergila-gila? Aku sendiri sudah melihat sikapmu yang tidak tahu malu bersama gadis sesat itu di dalam perahu ketika kalian berpesiar di telaga!"

   Han Bun terkejut dan wajahnya berubah kemerahan.

   "Saudara Lui Hong, engkau salah sangka...! Aku sama sekali bukan seperti yang kalian duga!"

   Bantahnya, akan tetapi justeru bantahan ini membuat Pek Giok menjadi semakin marah.

   "Dasar pengecut, berani berbuat tidak berani bertanggung jawab! Mampuslah!"

   Pek Giok memaki dan pedangnya telah menjadi gulungan sinar hijau yang menyambar dan menyerang Han Bun dengan dahsyat sekali.

   "Tranggg...!!"

   Han Bun terpaksa menangkis karena serangan gadis itu sungguh tidak boleh dipandang ringan. Akan tetapi Lui Hong yang juga merasa penasaran dan kasihan kepada Pek Giok yang dia anggap tentu merasa sakit hati sekali melihat sikap dan ulah Han Bun, sudah menyerang pula dengan pedangnya yang gerakannya amat berbahaya.

   Han Bun tahu bahwa percuma saja untuk menyangkal atau membela diri dengan kata-kata. Terpaksa dia melawan dan melindungi dirinya. Maka terjadilah pertandingan ilmu pedang yang amat hebat di puncak bukit yang sunyi di siang hari itu. Tiga sinar pedang saling sambar, saling belit dan sinar hijau pedang Ceng-Liong-Kiam bermain dengan lincah dibantu sinar pedang biru langit, mengeroyok sinar pedang yang seperti halilintar yang dimainkan Han Bun! Tiga orang muda yang telah memiliki tingkat ilmu pedang amat tinggi kini bertanding, dua melawan satu dan kalau ada orang berada di lereng bukit itu dan memandang ke arah puncak dia tentu akan terheran-heran melihat tiga gulungan sinar pedang yang melayang-layang bagaikan tiga ekor naga sedang bermain-main di angkasa!

   Tentu saja yang paling menderita batin adalah Song Han Bun! Dia bukan saja dianggap palsu dan berkhianat oleh Can Pek Giok yang memusuhinya dan yang berupaya sekuat tenaga untuk merobohkannya, akan tetapi juga Lui Hong yang mulai mengenalnya sebagai seorang sahabat kini juga menganggap dia lemah dan mata keranjang. Dia menyadari bahwa mereka berdua itu salah sangka. Dia sama sekali tidak tergila-gila atau jatuh cinta kepada Siangkoan Ceng. Akan tetapi dia tidak sempat menyangkal dan membela diri karena mereka berdua sudah tidak percaya dan tidak mau mendengarkannya lagi. Dia merasa serba salah menghadapi pengeroyokan dua orang muda yang sakti itu. Masih untung baginya bahwa sesungguhnya, Song Han Bun memiliki dasar ilmu silat yang lebih kuat dibandingkan Pek Giok dan Lui Hong.

   Dengan gerakan dasar dari ilmu silat Khong-Sim Sin-Kun (Silat Sakti Hati Kosong), Han Bun bergerak menurutkan naluri yang datang dari binbingan TUHAN. Selagi hati akal pikirannya kosong dan tidak mengendalikan semua gerakannya, maka gerakannya menjadi otomatis, terbimbing Kekuasaan Yang Maha Sakti sehingga membentuk perlindungan dan pertahanan yang amat rapat dan kuat. Agaknya, diserang oleh apapun juga tubuh Han Bun terlindung dan tidak mungkin dapat dilukai. Inilah inti ilmu yang telah didapatkan Han Bun dan Khong-Sim Sin-Kai, yaitu ilmu Hati Kosong clan penyerahan diri secara lengkap dan seutuhnya kepada Kekuasaan TUHAN! Setelah pertandingan aneh itu berlangsung hampir seratus jurus, tiba-tiba tampak tiga bayangan seperti awan putih meluncur dan dalam saat bersamaan, baik Han Bun, Pek Giok maupun Lui Hong mendengar suara yang amat mereka kenal.

   "Hentikan gerakanniu dan duduklah bersila di sampingku!"

   Suara itu hanya seperti bisikan saja, akan tetapi seolah dibisikkan di dekat telinga mereka. Pek Giok segera duduk bersila di sebelah kiri Song-Bun Lo-jin. Song Han Bun duduk bersila di dekat Khong-Sim Sin-Kai, dan Lui Hong juga sudah duduk bersila dekat Gurunya, Thai Kek Lojin!

   "Suhu...!!"

   Tiga orang murid itu segera memberi hormat kepada Guru masing-masing yang muncul berbareng secara aneh itu. Mereka bertiga tentu saja merasa terkejut bukan main ketika tadi mereka asyik saling serang dan mengerahkan semua tenaga dan kemampuan, tiba-tiba saja sinar pedang mereka yang melayang-layang dan menyambar-nyambar itu seolah "macet"

   Dan kehilangan daya serangnya setelah bertemu awan putih yang datang menghalang. Setelah mendengar suara bisikan, baru mereka menyadari bahwa yang datang melerai atau menghalangi mereka bertanding adalah Guru mereka masing-masing!

   Kini tiga orang muda itu duduk tenang dan memandang ke arah depan, saling pandang dengan hati terasa tegang karena mereka seolah merasa bahwa mereka masing-masing telah bertindak keliru. Terutama sekali Pek Giok dan Lui Hong. Mereka kini baru menyadari bahwa sesungguhnya mereka berdua menyerang Han Bun tadi sama sekali bukan karena hendak menegakkan kebenaran dan keadilan seperti yang diajarkan selama ini oleh Guru masing-masing, melainkan lebih banyak terdorong oleh nafsu amarah. Karena mereka hanya pernah mendengar akan nama besar tiga orang Kakek sakti itu, kecuali Guru masing-masing dan belum pernah bertemu dengan Kakek yang lain, maka kini mereka memandang dengan sikap hormat dan kagum.

   Tiga orang Kakek itu duduk bersila membentuk titik segi tiga. Khong-Sim Sin-Kai, yang tertua di antara ketiganya, berusia seratus tahun lebih, dengan tubuh tinggi kurus terbalut kain berwarna putih dihias tambalan, rambut, alis, kumis, jenggot sudah putih seperti salju, tangannya yang kurus memegang sebatang tongkat bambu putih. Tampak biasa saja, sama sekali tidak membayangkan keanehan atau tanda bahwa dia adalah seorang manusia aneh yang memiliki kepandaian dan kesaktian hebat. Kakek ini duduk bersila dengan tenang, kedua matanya terpejam dan bibir yang tertutup kumis putih itu mengembangkan senyum lembut. Dia duduk di bagian timur, menghadap ke barat dan jauh di belakangnya tampak batu gunung yang besar yang biarpun jauh seolah menjadi tempat sandarannya.

   Di bagian utara duduk Song-Bun Lojin. Di sebelah kirinya duduk Can Pek Giok yang diam-diam terkadang mencuri pandang ke arah Song Han Bun yang duduk di sebelah kiri Khong-Sim Sin-Kai. Song-Bun Lojin berusia sekitar enam puluh delapan tahun. Rambutnya yang panjang dan berwarna putih diikat kain putih dengan sederhana. Pakaiannya juga serba putih sederhana seperti yang biasa dikenakan orang yang sedang berkabung. Karena keadaannya itulah maka di dunia kang-ouw dia dikenal dengan sebutan Song-Bun Lojin (Orang-tua Berkabung). Tubuhnya sedang dan Kakek ini pun memegang sebatang tongkat bambu, hanya tongkat itu terbuat dari bambu kuning. Wajah Song-Bun Lojin amat berlawanan dengan nama sebutannya. Nama julukannya berkabung akan tetapi wajahnya selalu cerah dan riang gembiral Kakek yang ke tiga adalah Guru Lui Hong.

   Kakek ini duduk di bagian selatan dan karena bagian barat merupakan jurang yang dalam dari puncak bukit itu, maka tiga orang Kakek itu duduk bersila saling berhadapan dalam titik segi tiga yang jaraknya terpisah sekitar lima tombak. Guru Lui Hong ini adalah Thai Kek Lojin, usianya sekitar enam puluh lima tahun, tubuhnya tinggi besar dan berpakaian seperti seorang petani sederhana. Padahal, Kakek ini adalah seorang bekas panglima perang kenamaan, gagah perkasa berwibawa seperti tokoh pahlawan Kwan Kong dalam kisah Sam Kok (Tiga Kerajaan). Dia juga memiliki kesaktian luar biasa dan Datuk ini masih merupakan susiok (Paman Guru) dari mendiang Jenderal Gak Hui, panglima yang terkenal sebagai seorang pahlawan yang patriotik.

   Kakek ini selama bertapa di Bukit Hong-San telah berhasil merangkai ilmu pedang Thian-To Kiam-Sut yang membuat dia terkenal dan disegani. Tiga orang Kakek itu duduk bersila dan mereka memejamkan mata. Adapun tiga orang murid itu duduk dengan tenang dan mereka merasa suatu keanehan menyelinap dalam hati dan pikiran mereka. Suasana yang hening sekali, keheningan yang meresap ke dalam kalbu masing-masing dan mendatangkan kedamaian. Udara siang hari itu cerah, akan tetapi hawanya tidak panas karena sinar matahari dihembus angin pegunungan, mendatangkan hawa udara yang hangat menyegarkan. Segala sesuatu yang tampak penuh kecerahan dan semangat hidup. Jutaan pucuk rumput di permukaan puncak bukit itupun berseri penuh kehidupan.

   Daun-daun pohon di sekitar tempat itu pun menari-nari dan mengangguk-angguk dengan riangnya, mengeluarkan suara bisik-bisik seolah-olah para remaja puteri sedang bersendau-gurau dengan malu-malu. Burung-burung yang terbang melintas tempat itu pun tampak anggun dan beberapa ekor kupu-kupu yang beterbangan di atas bunga-bunga pohon bagaikan serombongan penari yang bergerak dengan lincah penuh pesona. Kini tiga orang Kakek itu membuka mata mereka dan yang pertama bicara adalah Khong-Sim Sin-Kai. Suaranya lembut dan halus, namun mengandung wibawa bagi Song Han Bun yang membuat dia siap untuk menjawab sejujurnya tanpa menyembunyikan sesuatu karena dia maklum benar akan kebijaksanaan dan kewaspadaan Gurunya. Tak mungkin menyembunyikan sesuatu dari Kakek ini.

   "Han Bun, melihat engkau bertanding melawan pemuda dan gadis itu tadi, sungguh janggal rasanya. Mereka berdua itu bukan musuhmu, mengapa kalian berkelahi?"

   Han Bun sambil duduk bersila merangkap kedua tangan depan dada, menghormat Gurunya dan menjawab dengan tenang pula, tanpa emosi.

   "Maafkan Teecu (murid), Suhu. Sesungguhnya Teecu sama sekali tidak ingin berkelahi melawan mereka. Mereka menyerang Teecu dan terpaksa Teecu membela diri agar jangan sampai terluka oleh mereka berdua,"

   Jawaban Han Bun ini dengan nada suara yang lembut dan sama sekali tidak mengandung penyesalan atau teguran kepada Lui Hong maupun Pek Giok yang tadi mengeroyoknya. Entah mengapa, kehadiran tiga orang Kakek itu mendatangkan suasana kedamaian yang seolah menenggelamkan semua emosi yang timbul karena nafsu. Kini Song-Bun Lojin yang bicara sambil tersenyum dan dia memandang muridnya.

   "Pek Giok, benarkah apa yang aku dengar tadi? Engkau menyerang murid Khong-Sim Sin-Kai yang bukan musuh dan juga tidak memusuhimu? Kalau benar, mengapa?"

   Sesaat lamanya Pek Giok tak menjawab karena ia harus mencari alasan dan mengatur jawabannya. Ia merasa heran sendiri mengapa saat mendengar pertanyaan Gurunya, seketika ia merasa telah melakukan kesalahan! Memang Han Bun bersikap yang tidak semestinya dan menyakitkan hatinya, akan tetapi pantaskah pemuda yang hanya mencegah ia membunuh gadis itu harus ia serang mati-matian dengan serangan maut? Pantaskah dia dihukum dengan cara membunuhnya? Ia benar-benar merasa telah bertindak keterlaluan, sama sekali tidak sejalan dengan apa yang ia pelajari dari Song-Bun Lojin selama tiga tahun ini.

   "Benar, Suhu. Teecu tadi menyerangnya dan menganggap dia musuh karena dia ternyata telah berpihak kepada musuh bahkan melindungi musuh sehingga Teecu menganggap dia berkhianat dan palsu. Maafkan kalau Teecu bertindak keliru dalam hal ini."

   Kini Song-Bun Lojin hanya tertawa dan tidak bertanya lagi. Kini Thai Kek Lojin yang juga merasa bertanggung jawab atas perbuatan muridnya tadi, bertanya.

   "Kini giliranmu, Lui Hong. Mengapa engkau tadi ikut mengeroyok pemuda murid Khong-Sim Sin-Kai?"

   Lui Hong menundukkan mukanya dengan perasaan malu. Kemudian dia memberi hormat kepada Gurunya dan menjawab,

   "Maafkan Teecu kalau bersalah, Suhu. Sesungguhnya, Teecu sudah merasa bahwa diri Teecu merupakan anggauta keluarga dari keluarga Can di Sung-Kian. Karena itu, Teecu juga menganggap Nona Can Pek Giok sebagai saudara atau adik Teecu yang sepantasnya Teecu lindungi dan bela. Teecu merasa gembira dan ikut mengharapkan Nona Can akan hidup berbahagia sebagai jodoh Saudara Song Han Bun, seperti yang dikehendaki orang-tua masing-masing. Teecu percaya bahwa antara keduanya terdapat jalinan cinta yang murni. Akan tetapi Teecu kecewa sekali melihat betapa Saudara Song Han Bun ternyata tertarik kepada seorang gadis lain dan melindunginya, padahal gadis itu adalah seorang tokoh Beng-Kauw yang terkenal sesat. Karena itu, melihat Nona Can berkelahi melawan Saudara Song, Teecu langsung saja membantu Nona Can dan mengeroyok Saudara Song."

   Sunyi setelah Lui Hong menghentikan laporannya. Agaknya di antara tiga orang Kakek itu terdapat hubungan tanpa kata yang aneh. Seolah mereka itu dapat merasakan isi hati masing-masing sehingga mereka itu tahu apabila dirinya mendapat giliran bicara! Setelah hening sejenak, kembali Khong-Sim Sin-Kai bicara dengan suaranya yang lembut dan lirih.

   "Han Bun, benarkah engkau yang mereka gambarkan itu? Engkau tertarik kepada seorang gadis Beng-Kauw dan membela serta melindunginya?"

   "Memang sesungguhnya benar, Suhu. Teecu membelanya, akan tetapi hanya dugaan yang berdasar kesalahpahaman belaka kalau dikatakan bahwa Teecu tertarik atau jatuh cinta kepadanya. Teecu membelanya dan mencegah agar jangan sampai Nona Can membunuhnya karena ia bukanlah musuh yang dicari. Kiranya Suhu masih ingat peristiwa tiga tahun yang lalu. Teecu terluka oleh Pek-Bin Giam-Lo sehingga kehilangan ingatan. Dalam keadaan hilang ingatan itulah Teecu bertemu dengan Nona Siangkoan Ceng yang menerima Teecu dengan sikap baik, bahkan memberi pekerjaan kepada Teecu. la bersikap baik sebagai seorang sahabat. Kalau ia merasa suka kepada Teecu, hal itu bukan salah Teecu, akan tetapi yang sudah pasti, Teecu sama sekali tidak merasa telah tertarik atau jatuh cinta kepada Nona Siangkoan Ceng."

   Song-Bun Lojin tertawa.

   "Heh-heh-heh, engkau masih saja belum dapat sepenuhnya mengendalikan perasaanmu yang berkobar penuh semangat, Pek Giok. Setelah semua pihak bicara secara terbuka, kukira sudah tidak ada persoalan lagi di. antara kalian orang-orang muda!"

   Thai Kek Lojin yang bertubuh tinggi besar itu berkata dengan suaranya yang lantang,

   "Menarik sekali, tiga orang muda perkasa berkumpul di tempat hening indah ini dan sempat menarik kami tiga orang Kakek hadir di sini. Khong-Sim Sin-Kai, engkau yang lebih tua dan berpengalaman daripada kami, yang lebih bijaksana, katakan, bukankah ini yang namanya jodoh dan kesempatan baik ini sekali-kali sayang kalau dilewatkan begitu saja?"

   Khong-Sim Sin-Kai tersenyum dan mengangguk-angguk.

   "Siancai, siancai, siancai (damai, damai, damai)! Engkau benar sekali, Thai Kek Lojin. Anak-anak, sekarang kalian mendapatkan kesempatan yang amat Iangka, jangan sia-siakan dan hayo ajukanlah semua keinginan tahumu dalam pertanyaan-pertanyaan. Kami tiga orang-tua merasa berkewajiban untuk menjawab semampu kami!"

   "Teecu mohon petunjuk tentang keadaan Kerajaan Sung yang semakin mundur dan lemah sehingga sebagian besar rakyat hidup dalam kesengsaraan dan kekurangan,"

   Kata Lui Hong.

   "Teecu mohon penjelasan tentang kehidupan duniawi dan apa yang harus dilakukan orang-orang yang merasa berkewajiban untuk membela kebenaran dan keadilan,"

   Kata Can Pek Giok.

   "Teecu mohon petunjuk tentang kehidupan rohani dan apa yang harus kita lakukan untuk meningkatkan kemajuan jiwa kita,"

   Kata Song Han Bun.

   "Siancai, pertanyaan kalian bertiga sudah mencakup seluruh masalah kehidupan!"

   Kata Khong-Sim Sin-Kai.

   "Masalah ketatanegaraan sudah semestinya diurai dan diterangkan oleh ahlinya, yaitu Thai Kek Lojin yang selama puluhan tahun pernah berkecimpung dalam pemerintahan. Karena itu, pertanyaan pertama tentang keadaan pemerintah Kerajaan Sung yang semakin mundur sehingga menyengsarakan rakyatnya, harap Thai Kek Lojin yang memberi penjelasan secara terbuka."

   Hening sejenak dan kini semua pandangan mata, pendengaran telinga dan seluruh perhatian mereka tertuju kepada Thai Kek Lojin. Kemudian, terdengar suara yang mantap dan tegas dari mantan pejabat tinggi pemerintah Kerajaan Sung itu yang bicara dengan lancar, diiringi desau angin dan gemersik daun-daun pohon yang saling gesek oleh tiupan angin lembut.

   "Segala sesuatu yang terjadi di dalam alam mayapada tidak terlepas dari Kekuasaan dan Kehendak Yang Maha Esa yang mengatur segalanya itu,"

   Suara Thai Kek Lojin mulai bicara. Selanjutnya ia berkata dengan tegas. Apa pun yang terjadi menimpa diri manusia merupakan bukti Kekuasaan dan Keadilan TUHAN, karena baik maupun buruknya kejadian itu merupakan akibat dari sebab yang diperbuat sebelumnya oleh si manusia sendiri.

   Sebuah Kerajaan yang menyusun pemerintahan yang mengatur Tanah Air, Negara dan Bangsa merupakan anugerah kasih sayang TUHAN kepada manusia. Balk buruknya keadaan sebuah pemerintahan merupakan akibat pula dari sebab yang berada di tangan manusia sendiri, yaitu si Bangsa, dan terutama tergantung kepada para manusia yang bertugas mengatur pemerintahan itu, ialah para penguasa, atau juga disebut pembesar, atau pejabat, juga disebut pemimpin Bangsa. Rakyat jelata memandang para penguasa seperti anak-anak memandang orang-tuanya. Oleh karena itu, sebuah pemerintahan yang baik terdiri dari para pejabat yang bijaksana, putera-putera Bangsa yang pilihan dan yang terbaik, yang lebih mementingkan dan mengutamakan sempurnanya pelaksanaan kewajibannya daripada pemenuhan haknya.

   Para pejabat atau penguasa pemerintahan seyogianya menjadi orang-tua yang mengasihi anak-anaknya, berusaha sekuat kemampuan mereka untuk mengatur agar kehidupan rakyat menjadi sejahtera. Tidak mengobral janji dan nasihat, melainkan lebih membuktikan dan menjadi tauladan yang baik daripada sekadar nasihat-nasihat yang mereka sendiri tidak mau melakukannya. Misalnya menasihatkan rakyat agar hidup berhemat dan sederhana prihatin, sedangkan mereka sendiri berfoya-foya dalam gelimang kemewahan dan kesenangan duniawi. Telah terbukti dalam sejarah sejak jaman dahulu kala, sebuah pemerintahan akan berhasil dengan baik ataukah gagal tergantung sepenuhnya kepada kebijaksanaan para pemimpinnya. Terutarna sekali berada di dalam tangan penguasa tertinggi, yaitu Kaisar atau Rajanya.

   Kaisar merupakan penentu utama bagi keberhasilan atau kegagalan pemerintah yang dipimpinnya, bagaikan akar yang menentukan hidup dan matinya, sehat atau sakitnya sebatang pohon dengan semua batang, cabang, ranting, daun, bunga maupun buahnya. Kalau Kaisarnya lalim, maka para pembantu Kaisar sulit diharapkan untuk berwatak setia dan bijak. Kalau Kaisarnya tukang korup, sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya, hanya memikirkan untuk menumpuk harta benda dan mengejar kesenangan duniawi bagi dirinya dan semua keluarganya, maka semua pembantunya, yaitu para pejabat dan pembesar, tentu akan berlumba untuk juga mengejar kesenangan, menumpuk harta, gila kekuasaan dan sewenang-wenang. Kaisar bagaikan seorang Ayah dalam keluarga, bagaikan seorang Guru dalam sekolah, menjadi sari tauladan bagi keluarga atau murid-muridnya.

   Kalau Gurunya kencing berdiri, murid-muridnya tentu kencing berlari. Kalau Ayahnya brengsek, sanak keluarga yang muda-muda tentu lebih brengsek lagi. Oleh karena itu, seorang pemimpin, sebelum dia dapat memimpin Bangsanya, haruslah lebih dulu dapat memimpin masyarakatnya, sebelum dapat memimpin masyarakatnya, haruslah dapat memimpin keluarganya, dan sebelum dapat memimpin keluarganya, haruslah lebih dulu dapat memimpin diri pribadinya sendiri! Di jaman apa pun, sebetulnya rakyat sudah bosan dengan adanya sekadar nasihat-nasihat yang diucapkan para pembesar. Hal ini terjadi karena nasihat-nasihat itu ternyata hanya merupakan bujukan dan hiburan kosong belaka, sedangkan para penguasa yang mengeluarkan nasihat itulah yang justeru menjadi pelanggar utamanya!

   Hukum-hukum diadakan para penguasa seolah hanya untuk melindungi kepentingan sang penguasa dan membelenggu kebebasan gerakan rakyat jelata. Pengadilan yang diadakan pada kenyataannya berubah menjadi penekanan, membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Yang benar sudah dapat diduga mereka yang memiliki kedudukan atau yang memiliki harta karena kedudukan atau harta itulah yang melindungi mereka dan memungkinkan mereka menang dalam perkara peradilan. Ketika Thai Kek Lojin yang bicara penuh semangat itu berhenti sebentar untuk mengatur pernapasan dan meredakan semangatnya yang berkobar, Lui Hong yang sejak tadi sudah menahan pertanyaannya di ujung lidah, berkata,

   "Mohon maaf, Suhu. Apa yang Suhu ceritakan itu memang Teecu lihat sedang terjadi dalam Kerajaan Sung kita. Akan tetapi mengapa Teecu selalu mendengar dari para penguasa, baik dari mereka yang mendukung Sri Baginda dan juga mereka yang menjadi pengikut Perdana Menteri Chin Kui, bahwa para penguasa itu menganjurkan agar rakyat membangun dan pemerintahan bertujuan untuk melakukan pembangunan besar-besaran. Di mana letak kesalahannya sehingga apa yang dinamakan pembangunan ini seolah tidak dirasakan manfaat dan hasilnya oleh rakyat kecil?"

   Pembangunan memang merupakan usaha terbaik bagi manusia, demikian Thai Kek Lojin menerangkan dengan tegas. Akan tetapi pembangunan yang utama dan terpenting adalah PEMBANGUNAN AHLAK karena ini merupakan kunci dari semua pembangunan duniawi. Dasar pembangunan terletak kepada pelaksanaan yang dilakukan manusianya, maka kalau si manusia belum dibangunkan ahlaknya sehingga bersih, jangan harap pembangunan duniawi akan dapat terlaksana dengan baik.

   Manusia pelaksana pembangunan yang ahlaknya masih kotor bahkan akan merusak dan menjegal usaha pembangunan dengan cara melakukan korupsi bagi keuntungan diri sendiri, bertindak curang, korup dan condong untuk mencuri. Oleh karena itu, pembangunan ahlak haruslah di nomor-satukan, terutama bagi para pucuk pimpinan atau para pejabat penguasa. Penguasa sejati yang baik lebih bersikap sebagai pamong yang siap melayani rakyatnya, bukan minta dilayani, siap menyejahterakan kehidupan rakyat jelata, bukan memperkaya diri sampai tak ternilai besar kekayaannya, mengumbar keangkara-murkaan, mempermainkan dan mencuri harta yang sesungguhnya adalah milik Tanah Air dan Bangsa.

   Yang ditauladani selalu adalah mereka yang duduk paling atas, dalam hal ini, yang pertama adalah Kaisar. Kalau Sang Kaisar bertangan bersih, maka para pembesar tinggi yang menjadi pembantu-pembantunya sudah pasti bertangan bersih pula. Karena kalau mereka bertangan kotor, Sang Kaisar Bertangan Bersih pasti berani dan tidak segan untuk menghukum mereka. Sebaliknya kalau Sang Kaisar bertangan kotor, para pembantunya, yaitu para penguasa kelas satu itu, tentu berani pula bertangan kotor dan Sang Kaisar atau atasan mereka tidak berani atau malu untuk menegur karena sama-sama kotor tangan mereka.

   Kalau penguasa kelas satu bertangan bersih semua, mereka juga tentu akan menjaga agar para pembantu mereka yang kelas dua semua bertangan bersih! Demikianlah, sang atasan terus menjaga agar bawahan mereka bertangan bersih seperti mereka sampai ke pejabat yang paling rendah kedudukannya. Nah, kalau semua pejabat, dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, bertangan bersih karena yang bertangan kotor pasti tidak akan terbebas dari ancaman hukuman berat, maka pemerintah menjadi sehat dan bersih. Pemerintah yang sehat bersih, adil dan bijaksana sudah pasti akan dihormati dan dicintai rakyat karena segala yang dilakukan pemerintah semata-mata demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

   Rakyat tentu akan mematuhi semua peraturan yang ditentukan pemerintah, membantu pemerintah dan kehidupan rakyat yang teratur, tertib, akan mendatangkan keadilan dan kemakmuran yang merata. Keadaan yang demikian itu barulah tepat dikatakan bahwa para penguasa adalah pemimpin, pelindung, bahkan abdi rakyat yang pantas disebut manusia-manusia yang telah menerima Thian Beng (Wahyu TUHAN) untuk memimpin Bangsanya. Tidak demikian dengan keadaan Kerajaan Sung pada waktu itu. Kaisarnya lemah, hanya mementingkan kesenangan hidup keluarganya, menumpuk harta dan gila kekuasaan. Demikian lemahnya sehingga sesungguhnya kekuasaan di istana berada di tangan para pembesar tinggi, terutama sekali Perdana Menteri Chin Kui. Para pembesar itu merupakan penjilat-penjilat yang senantiasa berusaha untuk mencari muka dan menyenangkan hati Kaisar dan keluarganya.

   "Demikianlah keadaan Kerajaan Sung sehingga rakyat menderita sengsara, tidak ada keadilan, kejahatan merajalela dan yang berkuasa adalah hukum rimba,"

   Kata Thai Kek Lojin dengan suara tegas dan berat. Tiga orang muda itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan keterangan Thai Kek Lojin itu meresap ke dalam hati dan pikiran mereka, membuat mereka menyadari benar apa yang terjadi dan mengapa Kerajaan Sung mengalami kemunduran sehingga kehilangan kejayaannya dan rakyat hidup sengsara. Mereka dapat menangkap kebenaran mutlak yang terkandung dalam semua ucapan Kakek itu, ialah bahwa yang terutama sekali dilaksanakan pada waktu itu, yang mungkin merupakan satu-satunya obat hanyalah pembangunan ahlak bagi para penguasa yang mengatur pemerintahan Kerajaan Sung sehingga terjadi perubahan total dalam sikap dan tindakan mereka mengatur pemerintahan.

   Akan tetapi mereka maklum bahwa hal itu rasanya tidak mungkin dapat dilaksanakan karena manusia manakah yang dapat dan berani menyadari bahwa langkah hidupnya menyimpang dari kebenaran? Kaisar sendiri pasti tidak merasa bahwa dia bertindak sesat, demikian pula Perdana Menteri Chin Kui dan para pembesar korup lainnya. Mereka akan merasa diri mereka benar dan akan mempertahankan "kebenaran"

   Masing-masing, kalau perlu dengan kekerasan dan dengan mempertaruhkan nyawa mereka! Lui Hong yang tadi mengajukan pertanyaan tentang keadaan pemerintah Kerajaan Sung, setelah mendengar penjelasan panjang lebar itu, kini mengajukan pertanyaan.

   "Maaf, Suhu. Kalau keadaan pemerintahan Sung demikian buruknya dan agaknya amat sukar untuk diperbaiki lagi, lalu apa yang harus dilakukan oleh orang-orang yang mempelajari ilmu dan yang telah memutuskan dalam hidupnya untuk membela kebenaran dan keadilan seperti yang Suhu sekalian ajarkan kepada kami para murid?"

   "Tugas hidup seorang pendekar tidak berubah dengan adanya keadaan Negara di mana dia hidup. Tugasnya tetap sama, yaitu membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan dan membela rakyat yang lemah dan tertindas yang menjadi korban kesewenang-wenangan kekuasaan orang-orang jahat. Setidaknya para pendekar merupakan penentang golongan penjahat dan kegiatannya dapat mengurangi terjadinya ketidak-adilan dan kejahatan. Menentang kejahatan bukan berarti balas dendam atau kebencian kepada manusianya, melainkan terdorong oleh rasa keadilan dan sayang kepada mereka yang. tidak berdaya dan mengalami penindasan."

   Thai Kek Lojin mengakhiri penjelasannya, lalu memandang kepada Khong-Sim Sin-Kai dan berkata,

   "Kalau keteranganku tadi masih kurang jelas, harap Khong-Sim Sin-Kai sudi memberi keterangan tambahan."

   Khong-Sim Sin-Kai tersenyum.

   "Siapa yang dapat memberi keterangan tentang ketata-negaraan lebih jelas daripada yang diberikan mantan pejabat dan pemimpin seperti Thai Kek Lojin tadi? Keteranganmu sudah lebih diripada cukup! Sekarang tiba saatnya menjawab pertanyaan Nona Can tentang kehidupan di dunia dan tugas manusia ketika masih hidup di dunia. Mengenai hal ini, rasanya Song-Bun Lojin yang wajib memberi jawaban terhadap pertanyaan muridnya."

   Song-Bun Lojin tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya, memandang kepada muridnya. Can Pek Giok juga menatap wajah Gurunya dengan penuh perhatian. Demikian pula Song Han Bun dan Lui Hong siap mendengarkan keterangan dari Kakek berpakaian seperti orang berkabung akan tetapi yang wajahnya selalu penuh senyum itu.

   "Tentang kewajiban seorang pendekar tadi telah dijelaskan oleh Thai Kek Lojin. Pertanyaan Pek Giok tadi memang penting diketahui semua manusia. Semua manusia diciptakan hidup di dunia ini, seperti semua mahluk ciptaan TUHAN, memang bukan sia-sia dan tentu ada maksud TUHAN menciptakan semua itu dan dihidupkan di dunia. Manusia hidup di dunia dengan perlengkapan, yaitu jasmani dan rohani atau raga dan jiwa. Keduanya amat penting dan memiliki tugas masing-masing. Biarlah aku mencoba untuk menggambarkan tugas manusia hidup di dunia dengan mengerjakan jasmaninya. Adapun tentang jiwa atau rohani, kiraku hanya Khong-Sim Sin-Kai yang paling tepat untuk memberi penjelasan nanti."

   Setelah berkata demikian Song-Bun Lojin memejamkan kedua matanya sejenak, kemudian mulailah dia bicara. Bicaranya lancar tak pernah ragu, seolah mengalirnya air yang tiada hentinya, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Can Pek Giok, Song Han Bun, dan Lui Hong. Manusia, seperti juga semua mahluk lainnya yang hidup di alam mayapada ini, baik dalam alam yang bagaimanapun, diciptakan dan dihidupkan di bawah kekuasaan TUHAN sudah pasti bukan asal hidup, melainkan disertai maksud dan manfaat yang menjadi arti dari kehidupan masing-masing. Mengenal apa yang menjadi tugas dalam keadaan hidup ini barulah anugerah kehidupan ini benar-benar ada artinya bagi manusia.

   Sesungguhnyalah bahwa manusia hidup di dunia ini karena dihidupkan, karena diatur oleh Yang Maha Pengatur, bukan karena kehendak masing-masing. Dan sudah semestinyalah bahwa sesuatu yang diadakan atau diciptakan itu ada manfaat atau kegunaannya. Ada empat macam mahluk TUHAN yang memiliki raga atau badan kasar sehingga tampak oleh mata yang hidup di dunia ini. Yang pertama adalah benda yang tidak bergerak tidak bersuara dan tampaknya seperti mati namun sesungguhnya hidup, seperti tanah, pasir, batu, logam, air, api, hawa udara. Benda itu juga mempunyai kehidupan karena merupakan ciptaan TUHAN dan karenanya diliputi zat kekuasaan TUHAN, maka benda memiliki daya kekuasaan yang tidak kalah kuatnya dengan mahluk ciptaan lainnya.

   Daya hidup benda bahkan amat kuat mempengaruhi manusia. Mahluk ke dua adalah tumbuh-tumbuhan. Biarpun tidak memiliki gerakan yang dapat diikuti dengan jelas, juga tidak mampu mengeluarkan suara, namun lebih jelas daripada benda, tumbuh-tumbuhan itu hidup dan tumbuh, akarnya dapat mencari makanan yaitu air dan batang, ranting, daun, bunga dan buahnya tumbuh dan hidup. Yang ke tiga adalah hewan atau binatang. Mahluk ini lebih lengkap daripada benda atau tumbuh-tumbuhan, dapat bergerak bebas, bersuara, memiliki alat penglihatan, pendengaran, penciuman, juga perasa. Jelas bahwa hewan itu me-miliki kehidupan dan memiliki daya hidup yang juga amat bermanfaat seperti halnya benda dan tumbuh-tumbuhan.

   Adapun mahluk ke empat adalah manusia yang serba lengkap dan jauh lebih sempurna dibandingkan mahluk lainnya, terutama sekali karena dilengkapi dengan hati akal pikiran yang membuat manusia, biarpun raganya terhitung paling lemah di antara semua mahluk, namun dengan penggunaan hati akal pikirannya manusia menjadi yang paling kuat dan berkuasa. Saking pandainya manusia sebagai mahluk yang paling dikasihi Sang Pencipta, hampir dapat dikatakan bahwa segala ciptaan lain yang berada di dunia ini dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mendatangkan kesejahteraan hidup manusia. Semua itu mungkin dilakukan karena adanya hati dan akal pikiran. Walaupun tidak dapat diketahui dengan panca indera, namun bukan hal mustahil kalau masih ada mahluk-mahluk lain kecuali yang empat itu, yang menjadi penghuni alam lain.

   "Akan tetapi seyogianya kita batasi dan bicarakan yang empat itu saja. Hal-hal yang lebih rahasia itu biarlah nanti diterangkan oleh Khong-Sim Sin-Kai. Yang terpenting kita sadari adalah apa yang sepatutnya dilakukan kita manusia yang telah diciptakan hidup di dunia ini sebagai mahluk yang paling sempurna,"

   Kata Song-Bun Lojin dan dia melanjutkan dengan suaranya yang ramah.

   "Semua mahluk itu, dari benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, sampai manusia, diciptakan dan dihidupkan di dunia mempunyai kegunaan atau manfaat, bukan hanya bagi dirinya sendiri, akan tetapi juga bagi dunia dan isinya. Segala macam benda mempunyai manfaat masing-masing, terutama sekali bagi manusia karena dengan akalnya manusia dapat membuat segala macam barang dari benda-benda itu, barang-barang yang diperlukan demi kesejahteraan hidupnya. Bahkan benda yang paling rendah nilainya pun, seperti pasir dan batu, ternyata amat berguna bagi manusia untuk membuat rumah. Apalagi benda-benda yang dinamakan logam dan batu mulia yang mahal. Jelaslah bahwa yang dinamakan benda, mahluk terendah yang tampaknya tak berdaya itu, ternyata amat besar manfaat dan kegunaannya.

   Bahkan jenis benda yang dianggap paling rendah dan kotor bahkan menjijikkan dan dijauhi manusia, yaitu kotoran dan sampah, ternyata amat besar manfaatnya sebagai pupuk yang menyuburkan tanah dan tanaman! Tumbuh-tumbuhan juga tidak kalah pentingnya, bahkan merupakan syarat mutlak bagi kehidupan manusia dan banyak hewan karena tumbuh-tumbuhan merupakan makanan yang menumbuhkan, menyehatkan, dan menghidupkan. Yang mengharukan, tumbuh-tumbuhan menyerahkan dirinya, mengorbankan dirinya untuk menghidupi mahluk lain! Bagaimana dengan hewan? Sama saja, setiap ekor hewan pasti ada manfaatnya bagi dunia dan isinya. Terutama sekali bagi manusia karena di samping tumbuh-tumbuhan sebagai makanan pokoknya, manusia juga membutuhkan hewan untuk makanannya.

   Manusia bisa saja memantang dirinya makan daging hewan yang besar dan kelihatan, akan tetapi tidak mungkin mencegah dirinya makan hewan-hewan kecil yang tak tampak yang berada dalam air atau sayur-sayuran. Terutarna sekali hewan ternak yang dipelihara manusia seperti lembu dan sejenisnya. Bukan hanya air, susunya dimanfaatkan sebagai makanan manusia, bahkan juga dagingnya, kulitnya, bahkan tulangnya dapat diambil manfaatnya bagi keperluan hidup manusia. Demikianlah, mahluk-mahluk yang tingkatnya lebih rendah itu semua diciptakan di dunia dengan mengandung manfaat bagi mahluk lain sehingga hidupnya tidak sia-sia dan ini tentu saja sudah sesuai dengan kehendak yang menciptakan, yaitu TUHAN Yang Maha Esa.

   (Lanjut ke Jilid 22)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 22

   Sekarang tinggal manusia. Manusia menganggap bahwa dirinya merupakan mahluk yang paling sempurna, paling mulia, paling pandai, yang terbaik, yang terpilih dan yang terhebat.

   Tentu saja sepantasnya manusia memiliki kelebihan daripada mahluk lain, memiliki manfaat yang lebih besar lagi. Akan tetapi kenyataannya menyedihkan. Sebagian banyak manusia sama sekali tidak mempedulikan orang lain, tidak mempedulikan lingkungan di mana dia berada. Seluruh perhatiannya ditujukan semata-mata untuk kepentingan dan kesenangan dirinya sendiri. Bukannya mendatangkan manfaat bagi pihak lain, sebaliknya malah mendatangkan kerusakan dan kesengsaraan bagi pihak lain. Bukannya membangun malah merusak dan semua itu dilakukan untuk mencari kesenangan bagi dirinya sendiri. Kalau ada manusia yang seperti itu sikap hidupnya, pantaskah dia disebut sebagai mahluk termulia? Harga dirinya bahkan lebih rendah daripada sampah, daripada rumput, atau binatang yang masih mempunyai nilai manfaat dalam hidup mereka!

   "Lihatlah di sekelilingmu,"

   Song-Bun Lojin berkata sambil mengembangkan kedua lengannya.

   "Kekuasaan Sang Maha Pencipta meliputi segala sesuatu yang diciptakan-Nya! Rumput, lumut, semut tidak akan hidup kalau tidak ada Kuasa TUHAN yang bekerja, di luar maupun di dalam segala sesuatunya itu! Itulah Hidup dan karena hidup maka bergerak, bekerja! Kekuasaan TUHAN bekerja setiap saat tiada hentinya. Sebentar saja Dia berhenti bekerja, akan binasalah semuanya. Rabalah dadamu, siapa yang menggerakkan jantung dalam dada itu sehingga hidup setiap saat? Bukan kita yang menggerakkannya. Kalau Kuasa TUHAN tidak bekerja, jantung kita akan berhenti dan kita tidak dapat hidup."

   Hidup itu bekerja, Kakek itu melanjutkan. Manusia telah diciptakan dengan alat yang lengkap untuk dipergunakan, untuk bekerja agar manusia dapat hidup sejahtera di dunia ini. Agar manusia dapat mengatur sehingga dunia menjadi tempat tinggal manusia hidup yang baik, agar semua manusia dapat hidup serba kecukupan kebuTUHANnya. TUHAN Maha Pengasih dan Maha Penyayang, terutama kepada manusia. Berkah-Nya berlimpahan, tak pernah kurang. Namun sudah menjadi kehendak TUHAN bahwa manusia harus bekerja, tidak cukup hanya menanti berkah-Nya saja.

   TUHAN sejak dahulu kala telah memberi tanah, air, hawa udara, sinar matahari, dan benih tanaman. Lima benda ini diciptakan TUHAN, sudah ada dengan segala sifatnya, dan manusia tidak dapat membuat kelimanya itu. Akan tetapi sudah cukup begitu sajakah manusia menerima semua itu? Tidak, dan belum sempurna! Semua itu masih harus disatu-padukan dengan usaha manusia, yaitu bekerja! Manusia harus mengerjakannya, mengolah tanah, mengairinya, membiarkannya terkena hawa udara dan sinar matahari, kemudian masih harus menanam benih padi yang sudah diciptakan TUHAN. Nah, perpaduan inilah baru akan menghasilkan padi yang cukup bagi manusia. Ini berarti bahwa manusia memiliki kewajiban dalam hidupnya, yaitu membantu pekerjaan TUHAN, menjadi alat TUHAN. Ini semua masih belum cukup.

   Untuk dapat membuat hasil tanaman padi menjadi makanan yang menumbuhkan jasmani dan menyehatkan, juga menghidupkan, padi itu masih harus dijadikan beras, kemudian dimasak. Bahkan kalau sudah matang, harus dimakan, dikunyah dan ditelan. Ini pun masih dilanjutkan dengan pekerjaan tubuh bagian dalam, yaitu pencernaan, pernapasan, darah dan sebagainya. Berarti, badan luar dan badan bagian dalam juga tiada hentinya bekerja dan bekerja! Jelas bahwa hidup adalah gerak dan gerak adalah bekerja! Bekerja bukan hanya demi kehidupan diri sendiri, bukan hanya demi kesejahteraan diri sendiri, melainkan untuk kesejahteraan dunia seisinya. Barulah hidup manusia ada artinya, ada manfaatnya dan dia pantas disebut sebagai mahluk paling mulia. Semua orang diam, tenggelam ke dalam lamunan masing-masing karena terkesan oleh apa yang diucapkan Song-Bun Lojin tadi.

   "Demikianlah tugas manusia di dunia dalam kehidupan jasmaninya sehingga hidupnya ada artinya sebagai alat pembantu pekerjaan TUHAN mendatangkan kesejahteraan bagi dunia seisinya. Penjelasan Iebih lanjut yang ada hubungan dengan kehidupan rohani merupakan yang teramat penting dan penuh rahasia, maka sebaiknya kalau bagian ini kita serahkan kepada Khong-Sim Sin-Kai untuk menjelas-kannya."

   Setelah menutup uraiannya, Song-Bun Lojin memejamkan math dan tak bergerak seperti dalam samadhi.

   Kini tiga orang muda itu menujukan perhatian dan pandang mata mereka kepada Khong-Sim Sin-Kai yang duduk hrrsila sambil tersenyum.

   "Siancai...!"

   Dia berkata lembut.

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Semua keterangan yang diberikan Thai Kek Lojin dan Song-Bun Lojin tadi benar dan patut dimengerti oleh kalian bertiga orang muda. Sudah menjadi watak manusia di waktu muda hanya mementingkan soal jasmani yang ada hubungannya dengan kehidupan di dunia, dan setelah tua hanya mementingkan soal rohani yang ada hubungannya dengan kehidupan akhirat atau sesudah mati. Padahal dunia akhirat tidaklah terpisah, kematian adalah kelanjutan dari kehidupan. Guru Besar Khong pernah berkata: Apabila orang tidak paham akan kehidupan, bagaimana mungkin dia dapat memahami akan kematian? Ini berarti bahwa baik kehidupan jasmani di dunia maupun kehidupan rohani sesudah mati, sama pentingnya karena keduanya itu saling berkaitan. Masalah kehidupan terlalu luas untuk diuraikan, oleh karena itu dalam kesempatan yang langka dan baik ini, sebaiknya kalau kalian bertiga mengajukan pertanyaan tentang apa yang ingin kalian ketahui, kemudian aku akan mencoba untuk memberi jawaban. Semoga TUHAN berkenan membinbingku dalam memberikan jawaban-jawabannya."

   Han Bun yang pertama kali mengajukan pertanyaan kepada Kakek yang selama tiga tahun menjadi Gurunya itu.

   "Suhu, menurut keterangan Lo-Cianpwe Thai Kek Lojin tadi, yang terpenting adalah pembangunan ahlak manusia dan setahu Teecu, pembangunan ahlak sejak jaman dahulu telah dilaksanakan manusia melalui pelajaran agama. Sekarang pun di negeri kita terdapat beberapa macam agama. Agama Khong Hu Cu, Agama To, dan Agama Buddha telah berbaur dalam kehidupan rakyat, belum lagi agama-agama yang datangnya dari Barat seperti Agama Nasrani dan Agama Islam. Akan tetapi Teecu melihat kenyataan dan juga membaca catatan-catatan sejarah bahwa justeru agama-agama itu menimbulkan perpecahan dan permusuhan. Dapatkah Suhu memberi penjelasan akan kenyataan ini?"

   Kakek itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Munculnya agama-agama itu membuktikan betapa besarnya kasih sayang TUHAN kepada manusia. Melihat kenyataan betapa manusia dengan kelebihan hati akal pikirannya terjerumus ke dalam dosa, menyimpang dari Jalan Kebenaran seperti yang dikehendaki TUHAN, tersesat karena dorongan nafsu-nafsunya, TUHAN menurunkan wahyu yang diberikan melalui manusia-manusia pilihan pada waktu-waktu tertentu di bagian dunia yang dipilih-Nya. Wahyu-wahyu itu merupakan pelajaran tentang kehidupan dunia akhirat, merupakan petunjuk-petunjuk agar manusia kembali ke jalan benar sehingga selamat dunia akhirat.

   Agama-agama itu jelas baik dan benar karena datang dari Yang Maha Benar. Akan tetapi dasar manusia itu amat lemah terhadap daya-daya rendah yang bersarang dalam hati pikiran menjadi nafsu yang amat kuat, maka agama pun mereka tarik menjadi alat untuk memperbenar akunya. Kalau agama itu sudah menjadi agama-ku, maka yang penting bukan agamanya, melainkan si-aku yang bercokol di balik agama itu sehingga muncul perasaan baik sendiri, benar sendiri, suci sendiri, dan dengan sendirinya lalu timbul konflik memperebutkan kebenaran melalui agama masing-masing. Demikian jauh manusia menyimpang dari ajaran agamanya sendiri, karena api kebencian yang sesungguhnya dilarang dalam agama masing-masing berkobar dengan ganasnya dalam hati mereka. Bahkan demikian sesatnya mereka yang mengakui TUHAN sebagai TUHANnya sendiri.

   TUHAN yang semua agama mengakui sebagai Yang Maha Esa, Maha Tunggal, Yang Tiada Duanya, diperebutkan oleh mereka, diakui sebagai hak milik mereka masing-masing, sehingga ada yang menyatakan bahwa TUHAN-ku bukan TUHAN-mu, bukan TUHAN mereka maka kaburlah pengertian TUHAN Yang Maha Esa, seolah TUHAN menjadi banyak! Masing-masing mengakui diri mereka sebagai pilihan TUHAN, sedangkan orang lain yang tidak seagama dengan mereka dianggap sebagai orang-orang terkutuk dan mereka mengajak TUHAN pula untuk mengutuk dan memusuhi mereka! Agaknya mereka lupa, atau sengaja melupakan, akan pengakuan mereka sendiri bahwa TUHAN Maha Pencipta, tidak ada pencipta lain di dunia maupun di akhirat kecuali TUHAN Yang Maha Esa.

   Mereka seperti menutup mata, tidak mau melihat kenyataan bahwa orang-orang lain itu, yang tidak seagama, adalah juga manusia, mahluk ciptaan TUHAN! Mereka juga sama mendapatkan berkah dari TUHAN, menerima segala kelengkapan hidup, tiada bedanya dengan semua orang yang menganut agama apapun juga."

   Khong-Sim Sin-Kai berhenti sebentar lalu melanjutkan. Jelaslah bahwa semua agama itu baik, karena merupakan wahyu dari TUHAN. Bukti kebaikannya, semua agama mengajarkan prilaku hidup yang baik dan benar, menentang kejahatan. Kalau ada orang beragama yang tersesat, hal itu terjadi karena orangnya yang menyimpang dari ajaran agamanya, bukan agamanya yang tidak baik. Kalau seorang yang mengaku beragama A melakukan pencurian,

   Maka sesungguhnya dia hanyalah seorang pencuri yang mengaku sebagai umat Agama A, karena kalau dia benar umat Agama A, dia tidak akan melakukan pencurian yang dilarang oleh agama itu! Demikian pula kalau ada seseorang yang mengaku beragama B melakukan kejahatan apa pun, maka sesungguhnya dia hanyalah seorang penjahat yang mengaku sebagai umat Agama B, karena kalau dia benar umat Agama B, dia tidak akan melakukan kejahatan yang dilarang oleh agamanya itu! Orang-orang seperti itu hanya mendapatkan asap dan abunya saja, akan tetapi luput mendapatkan api dari agamanya itu. Mereka itu hanya mementingkan upacara-upacaranya, tidak merasakan atau mengalami apa yang menjadi hakekat dari agamanya, yaitu senTUHAN Jiwa Besar (Kekuasaan TUHAN) dengan jiwanya yang amat tebal diselubungi nafsu dirinya.

   Perlu kita menyadari kenyataan bahwa pada hakekatnya, jiwa manusia itu ketika diturunkan ke dunia dalam jasmani manusia, tidak beragama! Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat keadaan anak-anak yang dilahirkan dalam kelompok atau masyarakat Bangsa yang tinggal di tempat terpencil dan apa yang disebut masih liar dan belum mengenal peradaban. Mereka itu pun adalah manusia yang memiliki anggauta jasmani lengkap, akan tetapi belum mengenal apa yang dinamakan agama. Maka, anak yang dilahirkan dalam kelompok itu dengan sendirinya juga tidak beragama! Hal ini adalah bukti bahwa agama sebagai wahyu yang diberikan TUHAN kepada manusia merupakan sebuah pelajaran tentang kehidupan,

   Pelajaran mengenai baik dan buruk dan pelajaran keagamaan, seperti juga ilmu-ilmu yang lain, diterima dan dipelajari oleh otak. Tentu saja merupakan kebodohan kalau kita yang beragama ini mengatakan bahwa orang yang tidak beragama seperti itu adalah orang yang kotor dan berdosa. Patut kita sadari bahwa kita ini ada karena diciptakan, kita hidup karena dihidupkan, kita menjadi seorang seperti keadaan kita ini karena ada yang mengatur, bukan atas kehendak atau permintaan kita. Kita ini hanya tinggal menerima keadaan ini. Seperti juga dengan adanya segala macam benda yang dapat dipergunakan manusia, agama juga dianugerahkan TUHAN kepada manusia dan tinggal terserah kepada manusia akan dipergunakan untuk kebaikan dan kesejahteraan hidup manusia ataukah sebaliknya untuk mencari permusuhan dan pertentangan.

   "Akan tetapi, Suhu. Kalau agama merupakan anugerah atau wahyu dari TUHAN untuk manusia, semestinya dapat menjadikan manusia baik. Mengapa kenyataannya sebagian besar manusia di dunia ini penuh dengan permusuhan dan pertentangan? Bahkan banyak terjadi agama yang satu bertentangan dengan agama yang lain?"

   "Memang amat menyedihkan kalau terjadi hal seperti itu. Akan tetapi sekali lagi harus disadari bahwa bukan agamanya yang saling bertentangan, melainkan umatnya atau manusianya. Tidaklah mungkin sama sekali kalau wahyu dari TUHAN berupa ajaran agama yang diturunkan kepada manusia mengajarkan kebencian dan permusuhan di antara manusia sendiri! Sedangkan semua manusia di dunia ini, Bangsa apa pun, adalah ciptaan-Nya yang amat dikasihi-Nya."

   "Maafkan pertanyaan saya, Lo-Cianpwe,"

   Kata Lui Hong.

   "Sejak dulu saya mendengar disebut-sebutnya dalam kitab-kitab lama tentang TUHAN Yang Maha Esa, namun keterangannya tidak jelas dan serba rahasia. Sebetulnya apa dan siapakah TUHAN Yang Maha Esa itu?"

   Mendengar pertanyaan ini, Khong-Sim Sin-Kai tersenyum dan Song-Bun Lo-Jin bahkan tertawa kecil, akan tetapi Pek Giok dan Han Bun ikut mendengarkan dengan hati tertarik sekali karena pertanyaan yang diajukan Lui Hong itu juga selalu menjadi pertanyaan dalam mereka.

   "Anak-anak, pertanyaan ini gawat sekali! Bagaimana mungkin hati akal pikiran yang hanya menjadi alat dari kita manusia dapat mengukur yang TIADA TERUKUR? Akal pikiran kita amatlah terbatas jangkauannya. Hanya jiwa yang sudah bersih saja yang mungkin dapat mengenal TUHAN yang merupakan Sumber dari mana jiwa berasal. Akan tetapi untuk sekadar menambah pengertian, dapat dikatakan bahwa TUHAN itu tidak dapat dibayangkan atau digambarkan, karena kalau dapat digambarkan itu jelas bukan TUHAN adanya! TUHAN Maha Esa atau Maha Tunggal, bukan berarti satu, seperti dalam hitungan. Aku dengan jasmani ini memang satu, saat ini aku berada di puncak ini dan aku tidak ada di bawah bukit sana. Akan tetapi tidak demikian dengan Maha Keesaan TUHAN. Maha Keesaan TUHAN berarti bahwa tidak ada duanya, tidak ada bandingannya, TUHAN mengawali dari segala yang paling awal dan mengakhiri segala yang paling akhir. Setiap saat TUHAN berada di mana-mana, di dunia, di bintang-bintang, di mana saja. Kekuasaan-Nya bekerja setiap saat, berada dalam setiap mahluk dari yang paling besar sampai yang paling kecil dan tak dapat dilihat mata, berada dalam setiap tumbuh-tumbuhan, dalam setiap benda. Tak dapat diukur, tak dapat digambarkan, tak dapat dibayangkan, karena hati akal pikiran manusia tidak mungkin dapat menjangkaunya. TUHAN Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Pencipta, Maha Benar, Maha Baik, Maha Adil, Maha Pengampun, Maha Penyayang, Maha Pembimbing. Hanya itulah yang dapat dikira-kirakan oleh akal pikiran kita. Kalau dibilang Maha Besar, nyatanya berada dalam setiap sesuatu yang paling kecil sekalipun. Kalau dibilang Maha Kecil, nyatanya alam mayapada dengan segala isinya tercakup di dalam-Nya!"

   

Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini