Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 24


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 24



"Jahat! Kelak aku akan membalas dendam ini. Akan kubunuh mereka berdua!"

   Tentu saja mendengar ini, Leng Sui merasa girang karena menyuruh Bu San membunuh Lui Hong dan Li Sian Hwa merupakan satu di antara cita-citanya.

   "Tentu saja, Bu San. Kita kelak akan membalas dendam kepada mereka."

   "Ibu kandungku jahat! Ibu Siangkoan Ceng juga jahat!"

   Bu San berseru seperti orang kebingungan.

   "Hushh, Bu San. Kejahatan Ibumu di sini hanya dalam mimpimu. Ia sayang sekali padamu!"

   Bantah Leng Sui.

   "Tidak, tidak! Ia juga jahat, semua Ibu jahat...!"

   Anak itu lalu lari keluar. Sejak peristiwa itu, terjadi perubahan hebat pada diri Leng Bu San. Dia jarang berada di gedung Ayahnya, lebih banyak berkeliaran di luar dan seringkali dia mengamuk. Siapa saja yang berani menentangnya akan dihajarnya dan biarpun usianya baru sebelas tahun, namun Bu San memiliki tenaga besar dan sudah pandai ilmu silat karena sejak berusia enam tahun dia telah digembleng ilmu silat oleh Ayahnya sendiri. Banyak orang dewasa yang babak belur dihajar Bu San dan mulailah penduduk Ibu kota menganggap anak itu mulai tidak beres pikirannya alias gila! Terkadang orang melihat dia tertawa-tawa lalu menangis, tanda-tanda seorang yang berotak miring! Tentu saja perubahan pada diri anak ini ada sebabnya. Bukan hanya karena berita tentang Ibu kandungnya itu mengguncang batinnya, akan tetapi yang lebih daripada itu,

   Siangkoan Ceng tidak mau bekerja setengah-setengah. Dengan ilmu hitamnya, ia mempengaruhi dan mengacaukan pikiran anak itu. la tidak mau membunuh Bu San karena hal itu tentu akan menggegerkan dan mungkin membuat suaminya curiga. Ia hanya ingin membuat anak itu menjadi gila dan minggat dari Yen-Cing. Keadaan Bu San memang payah. Dia berkeliaran di dalam kota, jarang makan sehingga tubuhnya kurus bahkan pakaiannya jarang ganti sampai lusuh dan kotor. Akan tetapi tidak ada orang berani menegurnya karena mereka mengenal putera Pangeran Leng Sui ini dan anak itu tentu mengamuk kalau ditegur. Selagi dia berjalan di jalan yang sepi pada sore hari itu, dekat pintu gerbang sebelah utara, tiba-tiba saja dia melihat Siangkoan Ceng berdiri di depannya. Wanita itu tersenyum mengejek dan tawanya terkekeh menyakitkan hati.

   "Hi-hik, anak brengsek, anak setan, engkau jahat seperti Ibu kandungmu. Aku akan membunuhmu, mencekikmu, mencabik-cabik kulit dagingmu!"

   "Iblis betina! Kau bukan Ibuku!"

   Bu San marah sekali dan dengan kedua mata berubah merah dia dengan nekat menubruk ke arah perempuan itu. Dia maklum bahwa wanita yang selama ini dia anggap sebagai Ibunya itu adalah seorang yang amat lihai, bahkan jauh lebih lihai daripada Ayahnya. Akan tetapi dia yang sudah marah dan nekat itu tidak takut dan menubruk seperti seekor harimau!

   "Brakk!"

   Muka Bu San menabrak batu besar karena tiba-tiba saja bayangan Siangkoan Ceng lenyap dan yang dIserangnya hanya sebuah batu sehingga hidungnya yang menghantam batu itu mengeluarkan darah! Ketika dia mencari-cari, memutar tubuhnya, dia tidak melihat Siangkoan Ceng. Tempat itu sepi dan tiba-tiba muncul seorang Kakek dan Kakek itu meletakkan tangannya di atas ubun-ubun kepala Bu San.

   "Kau bukan Ibuku!"

   Bu San marah dan menggunakan kedua tangannya untuk memukul tubuh Kakek itu. Akan tetapi dia terbelalak ketika tangannya seolah memukul bayangan!

   "Sadar... sadar... bersih, bersih, bersih...!"

   Terdengar Kakek itu berkata lirih. Tiba-tiba semua bayangan Ibu tirinya yang selama ini selalu mengganggunya dan pikirannya yang bingung menjadi terang. Bu San menyadari akan keadaan dirinya, pakaiannya yang kusut dan teringatlah ia akan cerita Ayahnya tentang Ibu kandungnya yang hendak membunuhnya. Tiba-tiba dia menangis! Pada saat itu, tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Siangkoan Ceng telah berdiri tak jauh dari mereka.

   "Jembel gila! Kau apakan anakku! Hayo pergi, tinggalkan dia!"

   Mendengar ini, Bu San memandang dan melihat Siangkoan Ceng, dia berseru marah.

   "Engkau bukan Ibuku! Aku bukan anakmu!"

   "Ho-ho-ha-ha-ha! Mengaku-aku Ibunya, akan tetapi anaknya menyangkal!. Permainan apa ini?"

   Kata Kakek itu. Siangkoan Ceng menjadi marah dan ia menghardik.

   "Jembel gila, engkau sudah bosan hidup! Hyaaaaattt!!"

   Wanita itu menerjang dan ketika tangannya menyambar, tampak dari telapak tangannya itu menyambar sinar kilat ke arah kepala Kakek itu. Itulah Toat-Beng Tian-Ciang (Tangan Kilat Pencabut Nyawa) yang amat dahsyat, pukulan tangan yang merupakan serangan maut yang sulit untuk dapat dihindarkan lawan.

   "Eiiittt... ganas sekali...!"

   Kakek itu berseru dan dia menangkis dengan kedua tangannya.

   "Blaaar...!"

   Tubuh Kakek itu terhuyung ke belakang, akan tetapi pukulan Siangkoan Ceng juga tertolak sehingga tangan wanita itu terpental! Siangkoan Ceng terkejut sekali. Pada masa itu, jarang ada tokoh kang-ouw yang mampu menangkis pukulannya itu! Akan tetapi pada saat itu, Kakek berpakaian jembel Itu telah berkelebat dan dia sudah menyambar tubuh Bu San dan dibawa meloncat lalu melarikan diri.

   Siangkoan Ceng mengejarnya, akan tetapi Kakek itu dapat berlari cepat seperti terbang dan saat itu, senja mulal terganti malam dan cuaca mulai gelap. Dengan gemas Siangkoan Ceng lalu menyerang dengan Ang-Tok-Ciam (Jarum Racun Merah). Tiga batang jarum merah meluncur dan tepat mengenai punggung Kakek itu, Akan tetapi agaknya Kakek itu tidak merasakannya dan terus berlari sambil memondong tubuh Bu San, menghilang dalam cuaca yang mulai gelap. Siangkoan Ceng terus mengejar, akan tetapi setelah Kakek itu keluar dari pIntu gerbang utara, ia menghentikan pengejarannya. Biarlah, pikirnya, biar Bu San dibawa pergi jembel gila itu! Memang itulah yang ia inginkan, membiarkan Bu San pergi meninggalkan Yen-Cing. Ia lalu kembali ke gedungnya dan sambil menangis melaporkan kepada Pangeran Leng Sui.

   "Celaka, Pangeran..."

   Ia terisak-isak.

   "Anak kita Bu San diculik seorang jembel yang gila dan dibawa lari keluar kota!"

   "Aihhh, mengapa tidak kau cegah?"

   Pangeran Leng Sui terkejut sekali. Dia memang sudah merasa gelisah melihat ulah Bu San selama beberapa hari ini, jarang di rumah, berkeliaran dan kelihatan bingung dan aneh.

   "Aku sudah berusaha mencegahnya, akan tetapi jembel gila itu ternyata memiliki kepandaian yang tinggi. Dia dapat meloloskan diri dari pengejaranku!"

   Mendengar ini, Pangeran Leng Sui lalu memanggil panglima pasukan keamanan lalu mengerahkan pasukan melakukan pencarian dan pengejaran. Akan tetapi semalam suntuk dia sendiri ikut mencari tanpa hasil. Pada keesokan harinya Pangeran Leng Sui memerintahkan para perwira untuk melanjutkan pencarian mereka. Akan tetapi sampai belasan hari mereka melakukan pengejaran, tetap saja tidak membawa hasil. Kakek jembel yang melarikan Bu San itu sama sekali tidak meninggalkan jejak!

   Bu San duduk di atas batu, memandang Kakek yang juga duduk di atas batu di depannya. Baru sekarang dia memandang penuh perhatian. Kakek itu berusia sekitar lima puluh tahun. Sebetulnya dia memiliki wajah yang tidak buruk, bahkan garis-garis mukanya masih ada bekas ketampanan dan kegagahan. Akan tetapi muka itu kotor, rambutnya yang masih hitam panjang itu terurai sampai ke bahu, kumis dan jenggotnya juga awut-awutan.

   Tubuhnya sedang namun kurus walaupun tampak kokoh kuat. Pakaiannya juga tidak karuan seperti pakaian seorang jembel, bahkan kedua kakinya telanjang. Kakek itu selalu kelihatan seperti orang yang sedang merasa geli, setelah terbuka mulutnya seperti orang menertawakan segala sesuatu yang dilihatnya. Bahkan sekarang ketika dia sedang duduk melenggut dengan mata terpejam, mulutnya juga setengah terbuka seperti orang tertawa. Sikap seperti inilah yang membuat Bu San, juga semua orang yang melihatnya, menganggap Kakek itu seorang yang tidak waras atau gila. Setelah agak lama Bu San mengamati Kakek itu, yang diamati agaknya dapat merasakan. Dia masih memejamkan matanya, akan tetapi dia bertanya,

   "Hei, bocah nakal! Kenapa sejak tadi engkau mengamati aku? Apakah engkau belum pernah melihat orang seperti aku?"

   Bu San merasa heran bagaimana orang yang memejamkan mata sejak tadi dapat mengetahui bahwa dia diamati orang.

   "Kakek, kenapa engkau membawa aku ke sini?"

   "Mengapa? Apa kau ingin kutinggalkan di Kotaraja dan menjadi korban keganasan iblis betina dari Beng-Kauw itu?"

   Kini Kakek itu membuka kedua matanya yang lebar, tidak sipit dan cahaya mencorong seperti mata harimau. Bu San mengerutkan alisnya dan bertanya.

   "Siapa itu iblis betina dari Beng-Kauw?"

   "Ho-ho, engkau tidak tahu? Siapa lagi kalau bukan Siangkoan Ceng yang berjuluk Ang Hwa Niocu, Ibu tirimu itu? Ia adalah puteri tunggal Ketua Beng-Kauw yang bernama Siangkoan Hok."

   "Tahukah engkau siapa Ibu kandungku?"

   Kakek itu menggelengkan kepalanya sehingga rambutnya yang riap-riapan sebahu panjangnya bergerak-gerak menyapu wajahnya. Dia lalu menggulung rambut itu dan mengikatnya menjadi gelungan di atas kepala, lalu ditusuknya gelungan rambut dengan sepotong ranting kayu.

   "Kata Ayahku, Ibu kandungku bernama Li Sian Hwa dan amat jahat, hendak membunuh aku dan Ayahku."

   "Aku tidak tahu dan tidak mengenalnya."

   "Akan tetapi, kenapa engkau melindungiku dan membawa aku pergi?"

   "Kenapa? Karena aku tidak ingin melihat engkau menjadi gila dan mati. Ang Hwa Niocu ingin membuat engkau menjadi gila dan melihat engkau memiliki bakat balk, aku ingin engkau menjadi muridku."

   "Huh, jadi muridmu? Akan kau ajari apa? Kau ajari mengemis dan menjadi orang gila?"

   "Ha-ha-ha, engkau menganggap aku orang gila dan pengemis?"

   "Tentu saja! Pakaianmu seperti jembel dan engkau pantas disebut orang gila."

   "Engkau menilai orang dari keadaan luarnya. Kau tidak akan mengatakan aku jembel gila kalau aku berpakaian mewah dan menghadapi makanan mahal?"

   "Tentu saja tidak!"

   Jawab Bu San.

   "Akan tetapi apa gunanya semua itu? Apa yang akan kau ajarkan padaku?"

   "Tentu saja ilmu kesaktian,"

   Jawab Kakek itu seenaknya.

   "Hemm, kesaktian apa?"

   "Hei, kau tidak tahu kesaktian? Ilmu silat dan lain-lain!"

   "Oh, kalau ilmu silat, sejak kecil aku sudah mempelajarinya dari Ayahku."

   "Uhu, ilmu silat apa itu? Tidak ada gunanya sama sekali."

   "Kau menghina, Kek! Biarpun usiaku baru sebelas tahun, orang dewasa jarang ada yang mampu mengalahkan aku!"

   Bu San lalu teringat betapa Kakek ini mampu membawanya lari tanpa dapat dikejar Ibu tirinva. Dia dapat menduga bahwa Kakek ini tentu seorang yang lihai, akan tetapi sampai berapa hebat kelihaiannya dan apakah sudah pantas menjadi Gurunya?

   "Tentu saja kalau orang dewasa itu lemah. Kalau engkau bertemu orang kuat, engkau pasti tidak akan menang."

   "Siapa namamu, Kek? Apakah engkau orang terkenal, tokoh dunia kang-ouw yang sakti?"

   "Kenapa kau ingin mengetahui namaku, sedangkan namamu aku belum mengetahui? Aku hanya tahu engkau putera Pangeran Leng Sui."

   "Tentu saja! Untuk menjadi muridmu, aku harus tahu lebih dulu siapa engkau dan orang macam apa engkau ini. Namaku Leng Bu San."

   "Orang-orang di utara dan barat menyebut aku Koai-Tong Mo-Kai (Pengemis Setan Bocah Aneh)."

   "Hemm, namamu cukup aneh. Tapi aku belum percaya dan tidak sudi menjadi muridmu sebelum engkau membuktikan kelihaianmu."

   "Heh-heh-heh, tadi engkau menyebut aku jembel gila karena keadaan lahiriah. Kau ingin pakaian bagus dan makanan mewah? Coba pejamkan kedua matamu sebentar!"

   Bu San ingin membantah dan tidak mau memejamkan matanya akan tetapi alangkah kagetnya ketika kedua matanya terpejam dengan sendirinya dan dia tidak berhasil untuk membukanya! Akan tetapi tidak lama kemudian terdengar suara Kakek itu, suaranya lantang dan berpengaruh.

   "Bu San, sekarang kita telah berpakaian bagus dan menghadapi makanan mewah, bukalah matamu!"

   Bu San membuka matanya dan sekali ini dengan mudah kedua matanya terbuka dan... dia terbelalak keheranan. Bukan saja Kakek itu kini berubah menjadi gagah dengan pakaian sutera indah, juga dia sendiri kini telah berganti pakaian yang indah dan baru. Bukan hanya itu, di depan mereka terbentang sehelai permadani dan di atasnya terdapat belasan mangkuk piring terisi makanan yang masih mengepulkan uap berbau sedap! Dia merasa seperti dalam mimpi! Dia memandang Kakek itu dan berkata gagap.

   "Ini... bagaimana, apa artinya semua ini...?"

   "Tak usah banyak cakap Bu San. Bukankah engkau lapar, ingin makan enak dan memakai pakaian yang indah? Nah, mari kita nikmati dulu makanan ini, baru nanti kita bicara."

   Kakek itu lalu menggunakan sepasang sumpit gading untuk makan dengan lahapnya. Karena memang perutnya lapar, Bu San juga segera makan dengan lahap. Setelah selesai makan, Koai-Tong Mo-Kai tertawa bergelak dan berkata,

   "Engkau tadi ingin melihat bukti kelihaianku, bukan? Nab, semua ini adalah satu bukti dari banyak kemampuanku yang dapat kuajarkan padamu!"

   Setelah berkata demikian dia menggerakkan tangan ke arah permadani dan sisa-sisa makanan di atasnya itu dan... tiba-tiba saja semua itu lenyap. Bu San terkejut, apalagi ketika melihat betapa kini pakaian indah yang tadi menempel di tubuhnya telah lenyap pula dan terganti pakaiannya yang tadi, pakaian yang terbuat dari bahan mahal akan tetapi karena sudah dua hari dia tidak berganti pakaian maka tampak kotor dan lusuh! Dan dia pun merasakan betapa perutnya masih amat lapar, padahal seingatnya dia tadi makan banyak sekali dengan lahapnya!

   "Jadi... jadi... semua pakaian baru... dan semua makanan mewah tadi... sesungguhnya tidak pernah ada?"

   Dia mulai dapat menduga.

   "Heh-heh-heh, itu namanya Hoat-Sut (Ilmu Sihir)! Engkau dapat mempelajarinya dariku."

   Bu San cemberut.

   "Huh, untuk apa? Apa artinya pakaian indah dan makanan mewah kalau hanya bayangan saja? Tidak mengenyangkan perut dan hanya akal-akalan saja!"

   Koai-Tong Mo-Kai tidak menjadi marah malah dia tertawa senang.

   "Bagus, memang bukan hanya itu ilmu yang akan kuajarkan kepada muridku. Engkau ingin aku membuktikan ketangguhanku dalam ilmu silat? Coba katakan, dalam keadaan perut lapar seperti sekarang ini, daging hewan apa yang ingin kau makan? Ketahuilah, di daerah ini terdapat beberapa macam binatang buas, di antaranya srigala, harimau dan biruang. Nah, kau ingin aku menangkap yang mana akan kutangkapkan untukmu dan kita panggang dagingnya!"

   Bu San merasa ngeri juga. Dia sudah mendengar bahwa di daerah luar Tembok Besar terdapat biruang yang besar dan ganas, juga harimau. Akan tetapi yang berbahaya bagi manusia adalah srigala yang biasanya maju bergerombol dan main keroyokan. Memang baik sekali untuk menguji kepandaian Kakek yang ingin menjadi Gurunya itu. Maka dia lalu berkata dengan suara menantang,

   "Aku baru percaya dan mau menjadi muridmu kalau engkau dapat menangkap seekor biruang, seekor harimau, dan seekor srigala!"

   Kakek itu tersenyum lebar.

   "Bagus, engkau memang seorang anak yang keras hati dan tidak mudah percaya. Sifat itu baik sekali, tidak membuat engkau mudah tertipu. Baik, mari ikut aku, aku tahu di mana terdapat guha harimau. Aku pernah melihatnya dua bulan yang lalu."

   Bu San mengikuti Kakek itu. Melihat anak itu agak pucat karena lapar, Koai-Tong Mo-Kai menggali akar beberapa macam tanaman yang ternyata cukup sedap untuk dimakan dan lumayan untuk mencegah kelaparan. Matahari mulai condong ke barat daya ketika Koai-Tong Mo-Kai berhenti di depan sebuah guha di perbukitan gersang. Di depan mulut guha terdapat tulang-tulang berserakan dan diam-diam Bu San bergidik. Biarpun tidak tampak ada tengkorak manusia di situ, akan tetapi siapa tahu di antara tulang-tulang berserakan itu terdapat tulang manusia yang menjadi mangsa binatang buas yang berada di dalam guha! Koai-Tong Mo-Kai melangkah maju ke mulut guha dan hidungnya kembang kempis mencium-cium. Dia lalu menoleh, memandang kepada Bu San dan berkata,

   "Bu San, kau bersembunyilah di balik batu itu. Harimaunya berada di dalam guha, kekenyangan dan tidak akan mau keluar kalau tidak kuganggu. Kalau dia marah dan keluar, dia bisa berbahaya."

   Mendengar ini, Bu San merasa ngeri juga dan dia segera berlari dan sembunyi di balik batu besar sambil mengintai ke arah mulut guha. Kini Koai-Tong Mo-Kai mengambil sepotong batu sebesar kepalan tangan, lalu mendekati mulut guha dan dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau marah! Dia tahu bahwa seekor harimau yang sudah kenyang tidak akan menyerang, akan tetapi kalau ditantang dan diganggu akan marah dan semakin ganas.

   Sampai beberapa kali dia menggereng dan mengaum. Barulah akhirnya ada sambutan dari dalam guha. Terdengar gerengan dahsyat dan muncullah seekor harimau yang besar. Harimau itu hanya berdiri, memandang Koai-Tong Mo-Kai dengan matanya yang mencorong kehijauan, menggereng memperIihatkan taring, agaknya mengancam untuk mengusir orang yang mengganggunya, belum ada tanda-tanda akan menyerang. Dari tempat persembunyiannya, Bu San mengintai dengan hati tegang. Namun ada perasaan gembira karena kini akan terpenuhi keinginan hatinya, yaitu melihat bukti kelihaian Kakek itu sebelum dia mau menjadi muridnya. Koai-Tong Mo-Kai maklum bahwa dia harus mulai mengusik harimau itu. Maka dia lalu melontarkan batu di tangannya dengan tenaga dibatasi.

   "Bukk!"

   Batu itu mengenai kepala harimau dan menjadi marah dan mengeluarkan gerengan dahsyat, lalu tubuhnya lari meluncur keluar. Dengan lompatan yang dahsyat harimau itu menerjang dan menerkam ke arah tubuh Koai-Tong Mo-Kai, cakar kedua kaki depannya terjulur keluar dan taring-taring runcing tajam di moncongnya siap untuk menggigit. Bu San menonton dengan mata tak berkedip. Dia melihat betapa Kakek itu dengan santai menanti harimau itu menubruknya, kemudian tiba-tiba dia merendahkan tubuhnya sehingga tubrukan harimau itu luput dan tubuh harimau itu lewat di atas kepalanya. Pada saat itu Bu San memandang kagum. Kakek Itu dengan santai namun gerakannya cepat sekali telah membalikkan tubuhnya dan kedua tangannya menyambar bagaikan dua ekor ular dan tahu-tahu dia telah menangkap ekor harimau yang panjang itu dengan kedua tangannya.

   Padahal, menangkap ekor harimau merupakan perbuatan yang amat berbahaya. Kalau harimau itu meronta, berbalik, dan mencakar kedua tangan yang memegangi ekornya, akan celakalah Kakek itu! Akan tetapi, sebelum harimau itu tahu apa yang terjadi, Koai-Tong Mo-Kai telah menggunakan tenaganya untuk memutar-mutar harimau itu di atas kepalanya. Demikian kuat tenaganya memutar sehingga tubuh harimau itu terputar seperti kitiran dan tentu saja binatang buas Itu tidak mampu meronta, bahkan menjadi pusing dan mengeluarkan gerengan bukan tanda marah lagi melainkan ketakutan! Koai-Tong Mo-Kai mengeluarkan suara tawa bergelak dan tiba-tiba dia melompat ke dekat batu besar di mana Bu San bersembunyi di belakangnya. Kemudian Kakek itu membanting harimau ke atas batu.

   "Prakk!"

   Harimau itu tewas seketika dengan kepala pecah! Setelah melempar bangkai harimau ke atas tanah Koai-Tong Mo-Kai berkata kepada Bu San yang sudah keluar dari balik batu besar.

   "Nah, kita sudah mendapatkan seekor harimau seperti yang kau kehendaki. Hayo bantu aku menguliti dan menyayat dagingnya. Kita butuhkan itu untuk bekal dalam perjalanan."

   Kakek itu lalu mengeluarkan dua buah pisau yang runcing dan tajam, menyerahkan sebuah kepada Bu San. Mereka lalu bekerja. Yang menguliti adalah Kakek itu sendiri, dilakukan dengan hati-hati agar tidak terobek. Bu San memotong dan mengerat daging harimau itu dan mengumpulkannya di atas daun-daun lebar yang dibentangkan berjajar di atas batu. Setelah selesai, Koai-Tong Mo-Kai mengambil garam dan bumbu lain dari perbekalan dalam buntalannya, membumbui beberapa potong daging harimau lalu memanggangnya. Setelah matang, mereka makan dan sekali ini, biarpun tidak semewah makanan yang muncul akibat sihir Kakek itu, namun benar-benar lezat dan mengenyangkan. Koai-Tong Mo-Kai lalu mencari beberapa macam daun dan akar yang dia hancurkan, dicampur dengan garam lalu diremas-remas ke dalam sisa daging harimau, membuat daging itu menjadi daging kering yang tahan lama.

   "Nah, sekarang tinggal mencari dua macam binatang yang kau kehendaki, yaitu biruang dan srigala. Sekarang sudah mulai senja, lebih baik kita berhenti dan bermalam dalam guha harimau ini karena kalau aku tidak keliru menghitung, pada waktu ini di waktu malam seringkali terdapat angin taufan di daerah ini."

   Mereka memasuki guha itu dan membuat api unggun di depan guha untuk mengusir binatang buas dan nyamuk, juga untuk mendatangkan kehangatan karena malam itu hawanya amat dingin.

   Pada keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan dan agaknya Koai-Tong Mo-Kai hafal akan daerah itu. Dia mengajak Bu San pergi menuruni bukit-bukit dan mulai memasuki daerah Gurun Gobi yang amat luas. Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di daerah di mana Kakek itu sering melihat adanya biruang. Setelah menjelajahi daerah itu selama tiga hari, pada suatu pagi barulah mereka bertemu dengan seekor biruang betina besar dengan seekor anak biruang.

   "Aku akan tangkap induknya, kau coba tangkap anaknya. Jangan khawatir, anak biruang itu masih muda sekali dan dia belum ganas, juga belum besar tenaganya. Kau pasti dapat mengatasinya."

   Biarpun jantungnya berdebar tegang karena selama hidupnya belum pernah dia berhadapan dengan biruang, Bu San mengangguk. Begitu Koai-Tong Mo-Kai dan Bu San muncul, biruang itu menggereng dan melindungi anaknya. Biruang betina yang mempunyai anak yang masih kecil memang amat galak dan ia akan melawan siapa saja demi keselamatan anaknya. Koai-Tong Mo-Kai yang memang ingin memamerkan kepandaiannya agar anak itu mau menjadi muridnya, dengan berani menghampiri biruang betina itu dari depan.

   Bu San dengan hati-hati mengikuti dari belakang, menjaga jarak agar tidak terlau dekat. Setelah tiba di depan binatang itu, Koai-Tong Mo-Kai tertawa. Biruang itu menjadi marah lalu berdiri dan siap menyerang. Tubuhnya yang besar dan tingginya satu setengah kali tinggi manusia itu sungguh mengerikan. Kedua kaki depan yang besar dengan kuku-kuku panjang itu pasti memiliki tenaga dahsyat. Kiranya tidak mungkin dapat dilawan seorang Kakek seperti Koai-Tong Mo-Kai yang tampak kecil ringkih ketika berhadapan dengan biruang itu. Koai-Tong Mo-Kai mendapat julukan Anak Aneh atau Anak Nakal karena terkadang wataknya seperti kanak-kanak. Sekarang menghadapi biruang itu, muncul watak kanak-kanaknya yang hendak mempermainkan binatang buas itu, juga dia ingin memamerkan kepandaiannya kepada Bu San yang agaknya belum percaya akan kelihaiannya.

   "Hai, engkau seperti anjing berkaki dua!"

   Dia mengejek biruang itu. Lalu dia meludah.

   "Cuh-cuh!"

   Air ludahnya meluncur dan tepat mengenai kedua mata biruang itu! Biruang itu menggerengdan menggunakan kedua kaki depan untuk menggosok kedua matanya yang terasa nyeri. Pada saat itu, Koai-Tong Mo-Kai bergerak maju dan sengaja memukul perut binatang itu dengan tangan kanannya. Akan tetapi dia membatasi tenaganya, hanya untuk membuat binatang itu kesakitan. Kini biruang itu benar-benar marah sekali. Ia menggeram berulang-ulang lalu menubruk ke depan, menyerang bertubi-tubi secara membabi buta. Namun gerakannya amat kuat sehingga tanah menjadi bergetar. Ke mana pun Kakek itu mengelak, biruang itu membuat gerakan mengejar sehingga ia menyerang susul-menyusul. Kalau yang diserang itu orang biasa atau bahkan seekor binatang buas seperti harimau misalnya,

   Begitu terpegang kedua tangan yang besar dan amat kuat itu, pasti akan dicabik-cabik kulit dagingnya dan dipatah-patahkan semua tulangnya! Akan tetapi betapa pun dahsyat dan cepatnya gerakan serangan biruang itu, Koai-Tong Mo-Kai lebih cepat lagi. Tubuhnya seolah berubah menjadi bayang-bayang yang tidak mungkin dapat ditangkap, berkelebatan dan selalu dapat menghindar dari sambaran kedua tangan biruang itu. Sambil berkelebatan mengelak, Kakek itu tertawa-tawa mengejek dan terkadang mencolek sana menampar sini, sengaja menggoda biruang itu. Sementara itu, melihat induk biruang itu sudah berkelahi dengan Koai-Tung Mo-Kai, Bu San segera mendekati anak biruang yang kini terpisah dari induknya. Anak biruang itu tampak kebingungan, mengeluarkan suara lirih dan ketika Bu San mendekatinya, dia melarikan diri.

   Akan tetapi Bu San cepat melompat mengejarnya dan menubruk, meringkusnya dari belakang. Anak biruang itu meronta dan ternyata tenaganya cukup besar sehingga rangkulan Bu San terlepas. Biruang itu membalik dan dengan kedua kaki depannya dia menyerang dan berusaha menggigit Bu San. Akan tetapi anak itu cepat menangkap kedua kaki depan itu dan mengerahkan tenaga, memutarnya. Anak biruang itu kalah kuat dan roboh terbanting, lalu diringkus dan ditelikung Bu San sehingga tidak mampu bergerak, hanya menguik-nguik seperti menjerit dan menangis. Mendengar ini, induk biruang yang mulai pening dipermainkan Koai-Tong Mo-Kai, membalikkan tubuhnya dan lari hendak menolong anaknya. Akan tetapi Kakek itu melompat dari belakangnya, kemudian tangannya menampar ke arah kepala biruang itu.

   "Plakk!!"

   Kuat sekali tamparan itu, membuat induk biruang roboh terpelanting. Ketika ia hendak bangun, Kakek itu memukul lagi dua kali, tepat mengenai kepala dan induk biruang itu roboh dan tewas dengan kepala retak! Bukan main kuatnya pukulan Koai-Tong Mo-Kai. Bu San yang masih meringkus anak biruang dapat melihat peristiwa ini dan diam-diam dia merasa kagum dan juga girang. Kakek yang dengan demikian mudahnya membunuh harimau dan biruang itu memang pantas untuk menjadi Gurunya!

   "Hai, Bu San, kenapa engkau meringkus anak biruang itu? Hayo cepat bunuh! Dagingnya akan jauh lebih enak daripada daging induknya yang sudah keras dan liat!"

   Koai-Tong Mo-Kai menegur ketika melihat anak itu masih menelikung anak biruang yang masih menjerit-jerit. Akan tetapi ketika dia meringkus anak biruang itu, Bu San merasakan kehangatan tubuh binatang itu, merasa betapa lembut bulunya dan betapa mengharukan tangisnya. Timbul rasa kasihan dan suka kepada anak binatang itu, apa-lagi melihat induknya sudah mati. Anak biruang itu kini hidup sendiri, sebatang kara. Seperti dia! Dia pun tidak mempunyai Ibu, maka dia mengambil keputusan untuk bukan saja membiarkan anak biruang itu hidup, bahkan ingin memilikinya sebagai teman!

   "Aku tidak akan membunuhnya, aku akan menjadikan dia temanku,"

   Kata Bu San. Kakek itu tertawa.

   "Heh-heh, dasar anak-anak. Kalau ingin menjadikan dia teman, harus membuat dia jinak lebih dulu agar jangan sampai dia melarikan diri dengan liar."

   Dia lalu menghampiri dan dua kali dia menotok punggung dan tengkuk anak biruang itu.

   "Nah, sekarang boleh lepaskan dia."

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bu San melepaskan biruang kecil itu dan benar saja, binatang itu kini diam saja seperti lemas, tidak meronta, tidak ganas dan tidak juga melarikan diri.

   "Hayo bantu aku. Aku yang menguliti kulit biruang itu, kita kelak membutuhkan untuk melawan hawa dingin. Engkau yang mengambil dagingnya. Akan tetapi bagian empat buah kakinya buang saja karena dagingnya sudah terlalu keras dan fiat. Ambil saja daging bagian dada dan perut."

   Mereka lalu bekerja dan anak biruang itu hanya duduk dan menonton tanpa memperlihatkan perasaan apa pun. Setelah selesai dan slap melanjutkan perjalanan, Koai-Tong Mo-Kai bertanya,

   "Bagaimana sekarang, Bu San, engkau sudah menyaksikan sendiri ketika aku membunuh harimau dan biruang memenuhi permintaanmu. Apakah engkau menganggap aku memenuhi syarat untuk menjadi Gurumu ataukah aku harus membunuh seekor srigala?"

   Bu San bukan anak bodoh. Dia tahu bahwa betapa liar dan ganas pun seekor srigala, tentu saja tidak seganas dan sekuat harimau apalagi biruang yang demikian besar. Kakek itu tentu saja akan mampu membunuh seekor atau bahkan banyak srigala dengan mudah. Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kakek itu dan berkata lantang,

   "Suhu, Teecu (murid) Leng Bu San siap untuk mentaati Suhu sebagai murid."

   Koai-Tong Mo-Kai tertawa terkekeh-kekeh dengan girang sekali.

   "Heh-heh, bagus! Sebagai seorang murid, engkau berjanji akan mentaati semua perintah dan petunjukku?"

   "Teecu berjanji!"

   "Bagus, engkau tahu bahwa seorang laki-laki pantang untuk melanggar janjinya?"

   "Teecu tahu, Suhu."

   "Baik, mulai saat ini, engkau ikut denganku menjelajahi Gurun Gobi yang luas."

   Diam-diam Bu San terkejut sekali. Gobi? Dia pernah mendengar dari Ayahnya bahwa Gurun Gobi seolah tidak ada batasnya atau sampai ke ujung dunia! Juga amat berbahaya, selain iklimnya keras dan penuh ancaman maut, juga daerah Gurun itu dihuni banyak suku Bangsa liar yang amat kejam. Akan tetapi dia sudah berjanji untuk taat dan dia menghargai kejantanan dan kegagahan. Tak mungkin dia mengingkari janjinya.

   "Balk, Suhu. Akan tetapi mengapa ke Gurun Gobi? Mengapa tidak kembali ke selatan di mana kita dapat hidup lebih menyenangkan?"

   "Tidak, aku harus mencarinya di Gurun Gobi. Ketahuilah, Bu San, sekitar dua tahun yang lalu, pada suatu malam aku melihat bintang besar turun di atas daerah Gurun Gobi. Peristiwa itu menandakan bahwa di sana lahir seorang calon pemimpin besar yang kelak akan menjadi Raja besar yang menguasai seluruh dunia! Nah, aku merasa berkewajiban untuk mendidik calon pemimpin besar itu. Kalau aku dapat menemukannya dan menjadikan dia muridku, barulah aku kelak akan dapat mati dengan damai dan bangga. Karena itulah, aku akan menjelajahi Gurun Gobi mencari calon pemimpin besar itu."

   "Hemm, kalau dia lahir dua tahun yang lalu berarti dia sekarang masih anak kecil. Bagaimana dapat menjadi murid Suhu? Pula, bukankah Suhu telah mempunyai Teecu sebagai murid? Apakah Teecu kurang memuaskan hati Suhu? Apakah Teecu kelak tidak mampu menjadi seorang Raja besar penguasa dunia?"

   "Engkau murid yang baik, Bu San. Akan tetapi untuk menjadi seorang pemimpin besar, dia harus merupakan manusia pilihan sejak lahir, bahkan kelahirannya pun ditandai turunnya bintang besar. Kelak, kuharapkan engkau yang akan menjadi pendamping dan pendukung calon Raja besar penguasa dunia itu. Menjadi pendampingnya saja sudah merupakan suatu kehormatan besar sekali bagimu."

   Bu San tidak membantah, akan tetapi diam-diam di dalam hatinya dia merasa penasaran. Kalau memang akan ada calon Raja besar penguasa dunia, mengapa bukan dia? Dia adalah putera Pangeran, keturunan Bangsawan tinggi! Dia pantas menjadi Raja besar! Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke utara. Bu San mengalungkan tali ke leher anak biruang yang kini menjadi jinak dan menurut saja diajak pergi. Bu San sayang sekali kepada binatang itu dan di sepanjang jalan dia bergaul dengan akrab sehingga binatang itu pun semakin jinak dan taat kepadanya.

   Song Han Bun dan isterinya, Can Pek Giok, hidup tenteram di Sung-Kian bersama anak tunggalnya, seorang anak perempuan bernama Song Bwee Cin. Sang waktu berlangsung amat cepatnya sehingga tanpa terasa lagi tahu-tahu Song Bwee Cin telah menjadi seorang anak perempuan berusia tujuh tahun yang lincah sekali. Bwee Cin atau yang biasa oleh Ayah-Ibu atau para kenalannya, juga kedua Neneknya, disebut Cin Cin memang sejak kecil mempunyai pembawaan yang lincah. Wajahnya mirip Ibunya, berbentuk bulat telur dan kulitnya putih mulus, kemerah-merahan di bagian tertentu. Juga sepasang matanya seperti mata Can Pek Giok, sepasang mata yang jeli dan bersinar seperti sepasang bintang.

   Juga ia memiliki kecerdikan dan keberanian, agak keras kepala seperti Ibunya sebelum menjadi isteri Ayahnya. Yang berbeda dari Ibunya hanya selera warna. Kalau Can Pek Giok suka mengenakan pakaian berwarna hijau, sejak kecil Cin Cin suka sekali mengenakan pakaian yang serba merah! Ia memiliki perasaan yang amat peka, mudah terharu dan menangis kasihan melihat penderitaan orang, mudah pula tertawa gembira. Akan tetapi juga mudah sekali marah kalau melihat ketidak-adilan. Bahkan untuk membela kebenaran, ia berani menantang orang dewasa. Ia membantah keras Ayah-Ibunya sendiri kalau ia merasa bahwa mereka tidak benar! Hal ini mungkin disebabkan karena ia terlalu dimanja oleh kedua orang Neneknya, yaitu Nyonya Can Gi Sun dan Nyonya Song Swi Kai.

   Dua orang wanita janda ini memang hanya memiliki seorang cucu itu, maka tidaklah mengherankan kalau mereka amat menyayang dan memanjakan Cin Cin. Bahkan kalau Cin Cin mendapat teguran dan kemarahan Ayah atau Ibunya, Cin Cin lalu mengadu kepada kedua orang Neneknya yang pada gilirannya menegur anak dan mantu mereka! Merasa mendapat "pembela dan pelindung"

   Yang kuat, yang ditakuti Ayah-Ibunya, Cin Cin menjadi manja. Akan tetapi karena pada dasarnya anak ini telah menerima pendidikan yang baik dari Ayah-Ibunya tentang kebenaran, juga kedua orang Neneknya selalu memberi nasihat agar ia tidak menjadi anak yang brengsek, Cin Cin tetap saja memiliki pertimbangan yang adil. Kalau ia merasa benar, ia akan mempertahankan mati-matian. Sebaliknya kalau ia menyadari bahwa ia bersalah, ia pun berani mengaku salah dan minta maaf.

   Sebagai puteri sepasang suami-isteri pendekar yang memiliki ilmu tingkat tinggi, tentu saja sejak kecil Cin Cin sudah mendapatkan gemblengan dasar ilmu silat dari Ayah dan Ibunya. Juga Ayahnya yang maklum bahwa Ibu mertuanya, Nyonya Can, adalah seorang puteri Bangsawan yang terpelajar, menyerahkan pendidikan baca tulis bagi puterinya kepada Nyonya Can. Dan ternyata Cin Cin adalah anak yang cerdik sehingga ia dapat mempelajari Bun (Sastra) dan Bu (Silat) dengan mudah. Pada suatu pagi yang cerah, ketika Cin Cin bermain-main seorang diri di depan rumah tempat tinggal Nyonya Can, dalan) pekarangan yang luas itu, iseng-iseng anak itu yang tadinya membuat gerakan menari, menghafal gerakan tari seperti yang diajarkan Nyonya Can, setelah gerakan tari selesai, tanpa disadarinya ia melanjutkan dengan gerakan silat seperti yang diajarkan Ayahnya!

   Biarpun ia hanya seorang gadis kecil berusia tujuh tahun, namun gerakannya gesit dan pukulan kedua tangannya sudah memperdengarkan angin pukulan yang lumayan. Lucu dan mungil anak itu bermain silat dan ia melakukannya dengan serius penuh perhatian sehingga ia tidak menyadari bahwa sejak tadi ada seorang laki-laki memasuki pekarangan rumah Neneknya dan menonton ia bermain silat. Laki-laki itu berusia sekitar tujuh belas tahun, wajahnya tampan dan sikapnya lembut seperti seorang terpelajar. Dia tersenyum dan memandang kagum, mengangguk-anggukkan kepalanya dan setelah Cin Cin berhenti bersilat laki-laki muda itu bertepuk tangan memuji. Mendengar ini, Cin Cin memutar tubuhnya dan memandang pemuda itu dengan alis berkerut.

   "Siapa kau? Kenapa engkau bertepuk tangan?"

   Pemuda itu tersenyum sabar lalu mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan dan menjawab lembut.

   "Namaku Liu Chu Cai dan aku bertepuk tangan karena kagum melihat gerakanmu yang indah sehingga tak tahan untuk tidak bertepuk tangan memuji."

   Mendengar jawaban dan melihat sikap sopan itu, Cin Cin tidak jadi marah. Sejak ia masih kecil pun, tiap wanita tentu akan merasa senang sekali kalau dipuji, tidak terkecuali Cin Cin. Maka ia pun tersenyum dan mengamati pendatang itu dengan penuh perhatian.

   "Ada keperluan apakah engkau memasuki pekarangan rumah Nenekku ini?"

   Tanyanya, ramah.

   "Aku telah mencari keterangan dan mendengar bahwa ini adalah rumah tinggal Pendekar Can Gi Sun. Benarkah itu, adik kecil yang manis?"

   "Can Gi Sun? Dia adalah almarhum Kakekku."

   "Almarhum? Maksudmu... Paman Can Gi Sun sudah... sudah meninggal dunia?"

   "Kakek sudah lama meninggal dunia, sebelum aku lahir, sebelum Ayah-Ibuku menikah."

   "Aahh..., dan Nenekmu, maksudku isteri mendiang Paman Can Gi Sun?"

   "Nenekku yang tinggal di rumah ini. Kenapa engkau menanyakan Nenekku?"

   "Adik kecil, tolong tanya, apakah Nenekmu, Nyonya Can Gi Sun itu, nama kecilnya adalah Bun Cui Lian?"

   "Hei, mau apa engkau menanyakan nama kecil Nenekku? Aku sendiri pun tidak tahu!"

   Cin Cin mulai tidak sabar karena orang asing ini menanyakan hal-hal yang aneh. Nama kecil Neneknya ditanyakan! Apa sih maunya? Akan tetapi pada saat itu terdengar suara lembut seorang wanita dari pintu depan.

   "Siapa yang menanyakan nama kecilku?"

   Cin Cin dan pemuda yang mengaku bernama Liu Chu Cai itu memandang dan ternyata yang bertanya itu adalah Nyonya Can Gi Sun yang melangkah lembut keluar dari pintu depan rumahnya. Pemuda itu memandang kepada Nyonya Can dan sepasang matanya terbelalak penuh keheranan dan kagum. Dia seperti melihat Ibunya sendiri, demikian mirip wajah Ibunya dengan wanita itu, hanya tentu saja Ibunya lebih muda beberapa tahun! Kemudian dia ingat akar sopan santun, maka cepat dia melangkah maju dan memberi hormat kepada Nyonya Can.

   "Mohon maaf sebanyaknya kalau kedatangan saya ini mengganggu, akan tetapi saya datang berkunjung untuk menghadap Bibi Bun Cui Lian."

   Nyonya Can tertegun dan dia mengamati pemuda itu dengan penuh perhatian.

   "Akulah Bun Cui Lian...."

   Tiba-tiba pemuda itu menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu dan berkata

   "Bibi Bun Cui Lian, saya keponakanmu. Liu Chu Cai menghaturkan hormat."

   Nyonya Can menyentuh pundak pemuda itu dan menyuruhnya bangun.

   "Bangkitlah, orang muda. Aku tidak mengenalmu, juga tidak mengenal namamu."

   "Tentu saja, Bibi karena Bibi meninggalkan rumah Kakek Bun ketika saya belum terlahir dan bahkan Ibu saya masih remaja. Bibi, kalau Bibi tidak mengenal saya, Bibi pasti mengenal lbu saya. Ibu kandung saya adalah Bun Kui Lian."

   "Apa...?"

   Nyonya Can terkejut dan membelalakkan matanya.

   "Kau... kau... anak Kui Lian? Aih, Kui Lian Si Cengeng itu sudah mempunyai anak sebesar ini'?"

   Tak terasa lagi kedua mata Nyonya Can menjadi basah air mata dan ia segera memegang kedua tangan pemuda itu.

   "Ahh... tak kusangka, anak baik, mari... mari kita masuk dan bicara di dalam!"

   La menggandeng tangan pemuda Itu dan diajaknya memasuki rumah.

   "Nek, apa aku tidak boleh ikut masuk?"

   Tiba-tiba Cin Cin berteriak, suaranya terdengar kering penuh iri!

   "Aih, anak nakal! Tentu saja engkau pun harus masuk. Mari!"

   Nyonya Can berhenti dan menanti sampai Cin Cin berlari menghampiri dan menggandeng sebelah tangan Neneknya. Mereka bertiga memasuki ruangan dalam dan duduk menghadapi meja.

   "Nah, Liu Chu Cai, sekarang ceritakan tentang Ibumu, Ayahmu, dan bagaimana pula keadaan Kakek dan Nenekmu?"

   Kata Nyonya Can dengan suara terharu. Tentu saja hatinya di liputi keharuan. Dahulu ketika masih gadis, Nyonya Can bernama Bun Cui Lian. la puteri sulung seorang Bangsawan bernama Bun Kiang dan keluarga Bun itu tinggal di Peking, Kotaraja Kerajaan Sung yang ketika itu belum pindah mengungsi ke selatan. Bun Cui Lian mempunyai seorang adik perempuan bernama Bun Kui Lian yang ketika ia berusia sembilan belas tahun adiknya itu baru berusia sebelas tahun.

   Ketika itu, Bun Cui Lian berkenalan dan saling jatuh cinta dengan seorang pendekar yang menjadi Guru silat muda bernama Can Gi Sun. Akan tetapi Ayahnya, Bangsawan Bun tidak setuju puterinya berjodoh dengan seorang Guru silat dan melarang puterinya bergaul dengan Can Gi Sun. Akan tetapi gadis yang sudah terlanjur jatuh cinta itu nekat dan ia rela meninggalkan rumah orang tuanya, minggat dan kawin lari dengan kekasihnya. Mereka menjadi suami-isteri dan, tinggal di Sung-Kian. Sejak itu, ia putus hubungan sama sekali dengan keluarga Bun. Maka, dapat dibayangkan betapa terguncang dan terharu hatinya ketika pagi hari itu, sama sekali tak disangkanya, muncul seorang pemuda yang mengaku sebagai putera adiknya yang ketika ia tinggalkan baru berusia sebelas tahun!

   "Maafkan saya kalau saya membawa berita yang tidak menyenangkan. Kakek Bun telah meninggal dunia dua tahun yang lalu dan Nenek Bun sekarang juga sakit-sakitan."

   "Ahhh..."

   Tak dapat ditahannya lagi, Nyonya Can atau Bun Cui Lian menangis tersedu-sedu. Melihat ini, Cin Cin segera mendekat dan merangkul Neneknya.

   "Jangan menangis, Nek. Bukankah Nenek sendiri yang menasihati agar kita tidak cengeng, harus tabah?"

   Mendengar ini, Nyonya Can segera menghentikan isak tangisnya, mengusap air mata dengan saputangannya dan setelah hatinya tenang, ia mencoba tersenyum kepada cucunya.

   "Kau benar, Cin Cin. Yang mati tidak ada gunanya ditangisi, dan yang sakit bukan ditangisi, melainkan diusahakan pengobatannya. Apakah penyakit Nenekmu sudah diobati, Chu Cai?"

   "Sudah, Bibi. Bahkan Guru saya sendiri, ahli pengobatan terbaik di Yen-Cing, yang menanganinya. Karena keadaan Nenek inilah maka Ibu memerintahkan saya untuk mencari Bibi di sini dan mengabari Bibi tentang keadaan keluarga di sana."

   "Aku harus ke sana! Aku harus menjenguk Ibu..."

   Kata Nyonya Can, kemudian ia dapat menenangkan hatinya dan berkata,

   "Sekarang ceritakan keadaan Ibumu. Dengan siapa Ibumu menikah? Namamu Liu Chu Cai, kalau begitu Ayahmu bermarga Liu?"

   "Benar, Bibi. Ayah saya bernama Liu Coan, akan tetapi karena ia diterima menjadi pejabat pemerintah Kerajaan Cin sebagai seorang pengurus perpustakaan Istana, maka Ayah saya mengubah marga Liu itu menjadi Yeliu. Di sana saya disebut Yeliu Chu Cai dan Ayah menjadi YeLiu Coan. Saya adalah anak tunggal Ayah-Ibu."

   "Aih, kalau begitu, engkau ini masih pamanku, Paman Yeliu Chu Cai! Nenek Can hanya mempunyai seorang anak perempuan, namanya...."

   "Can Pek Giok dan menikah dengan Paman Song Han Bun!"

   Chu Cai memotong dan menyambung.

   "Aih, engkau sudah mengenal Ayah-Ibuku?"

   Cin Cin bertanya heran.

   "Sebelum ke sini, aku sudah mencari banyak keterangan tentang keluarga Bibi Bun Cui Lian, akan tetapi aku belum mengenal namamu, keponakanku yang manis."

   "Namaku Song Bwee Cin, Paman."

   "Nama yang indah, engkau cantik, pandai dan gerakan tarian silatmu tadi indah sekali. Aku bangga mempunyai seorang keponakan sepertimu, Bwee Cin."

   "Ayah-Ibu dan Nenek memanggilku Cin Cin, Paman."

   "Aku pun akan memanggilmu Cin Cin. Aku ingin sekali bertemu dengan Kakak misan dan Kakak iparku."

   "Mari kita bersama pergi mengunjungi, mereka, Chu Cai. Aku ingin membicarakan niatku berkunjung ke Ibu dan adikku dengan mereka."

   Mereka bertiga lalu naik kereta menuju ke rumah Song Han Bun. Han Bun dan Pek Giok merasa heran melihat Cin Cin pulang naik kereta bersama Neneknya, hal ini jarang terjadi. Anak mereka memang sering bermalam di rumah Nyonya Can atau terkadang juga di rumah Nyonya Song. Akan tetapi ia lebih dekat dengan Nenek luarnya karena Nyonya Can yang ahli seni dan sastra itu mengajarinya sastra dan juga kesenian seperti tari-tarian dan lain-lain. Keheranan mereka bertambah ketika mereka melihat seorang pemuda bersama Nyonya Can dan Cin Cin. Akan tetapi setelah diperkenalkan dan Nyonya Can menceritakan akan keadaan keluarganya di Yen-Cing, Pek Giok menjadi girang.

   "Ah, Piauw-Te (Adik Misan), sungguh tidak kusangka aku mempunyai seorang adik misan sepertimu. Aku girang sekali!"

   "Piauw-Ci (Kakak Misan) Can Pek Giok, sayalah yang merasa amat berbahagia dan bangga mempunyai seorang Kakak misan seperti Piauw-Ci dan Kakak ipar seperti Cihu (Kakak Ipar) Song Han Bun yang terkenal sebagai sepasang suami-isteri pendekar besar kenamaan di Sung-Kian!"

   (Lanjut ke Jilid 24)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24

   Song Han Bun memandang penuh perhatian dan diam-diam dia kagum. Yeliu Chu Cai sungguh mendatangkan kesan yang amat baik bagi keluarga itu. Han Bun dapat menduga bahwa pemuda berusia tujuh betas tahun itu bukanlah seorang pemuda biasa, melainkan seorang pemuda remaja yang telah memiliki wawasan dan pandangan hidup yang luas sekali. Apalagi setelah mereka lama bercakap-cakap, ia mengetahui bahwa Yeliu Chu Cai telah menguasai ilmu pengobatan yang luas, juga sastra, filsafat, dan ketatanegaraan. Diam-diam dia merasa kagum terhadap adik misan isterinya itu. Setelah memperkenalkan keponakannya, Nyonya Can lalu berkata kepada puterinya.

   "Pek Giok, Chu Cai membawa kabar yang kurang menyenangkan, yaitu bahwa dua tahun yang lalu Kakekmu Bun, yaitu Ayahku telah meninggal dunia dan sekarang Ibuku, Nenekmu Bun sedang sakit-sakitan. Chu Cai disuruh oleh Ib-nya, yaitu adikku Bun Kui Lian untuk mencari aku di sini dan mengabarkan hal ini. Karena itu aku mengambil keputusan untuk ikut dengan dia, pergi ke Yen-Cing menengok Ibuku yang sakit-sakitan."

   Pek Giok mengerutkan alisnya.

   "Memang sudah semestinya kalau Ibu menengok keadaan Nenek Bun. Akan tetapi Ibu, keluarga Bun berada di Yen-Cing, Ibukota Kerajaan Cin!"

   La menoleh kepada suaminya.

   "Bun-Ko, apakah hal ini tidak akan berbahaya sekali?"

   Sebelum Han Bun yang juga harus memikirkan dan mempertimbangkan baik-baik sempat menjawab, Yeliu Chu Cai bertanya heran.

   "Maaf, Bibi Cui Lian, kalau di Yen-Cing, ada apakah? Apa yang Bibi khawatirkan di sana?"

   Cin Cin menjawab cepat.

   "Paman Chu Cai, kami mempunyai banyak musuh yang jahat di sana! Terutama pembunuh Kakek Can dan Kakek Song!"

   "Cin Cin...!"

   Pek Giok menghardik, akan tetapi ucapan itu sudah dikeluarkan dan Yeliu Chu Cai sudah mendengarnya.

   "Akan tetapi..., siapa yang telah membunuh mendiang Paman Can dan Paman Song?"

   Tanya Yeliu Chu Cai dengan heran.

   "Ceritanya panjang, Chu Cai,"

   Kata Han Bun. Dengan singkat namun jelas Han Bun lalu menceritakan apa yang telah terjadi di Sung-Kian dan di Hang-Chouw, tentang Pangeran Leng Sui dari Kerajaan Cin dan tentang Pek-Bin Giam-Lo yang telah membunuh Can-Kauwsu dan Song-Kauwsu, tentang pertempuran dengan Pangeran Leng Sui yang dibantu oleh Pek-Bin Giam-Lo sehingga mengakibatkan Pangeran Leng Sui dan semua pengikutnya meninggalkan Hang-Chouw dan kembali ke Yen-Cing.

   "Nah, dengan adanya permusuhan dengan mereka itu, maka Piauw-Ci mu khawatir akan keselamatan Ibunya kalau berkunjung ke sana."

   Han Bun menutup penjelasannya. Mendengar cerita itu, Yeliu Chu Cai termenung. Kemudian dia menghela napas panjang dan berkata,

   "Hemm, kiranya Pangeran Leng Sui yang memusuhi Bibi sekalian. Tidak mengherankan karena memang dia seorang yang licik dan jahat. Saya tahu bahwa kini dia juga telah mampu meraih kekuasaan besar di Istana karena mempengaruhi Sri Baginda. Bahkan agaknya, menurut Ayah, dia berambisi untuk kelak menggantikan kedudukan Kaisar Kerajaan Cin. Akan tetapi harap Piauw-cCi Can Pek Giok dan Cihu Song Han Bun tidak khawatir. Saya dan Ayah yang akan menjaga keselamatan Bibi Bun Cui Lian."

   "Pangeran Leng Sui mungkin tidak akan mau mengganggu Ibu, akan tetapi Pek-Bin Giam-Lo, Iblis Tua itu, dia mendendam kepada aku dan suamiku sehingga dia membunuh kedua Ayah kami. Mungkin dia akan merupakan ancaman bahaya kalau dia tahu bahwa Ibuku berkunjung ke Yen-Cing,"

   Kata Pek Giok.

   "Saya kira Piauw-Ci tidak perlu mengkhawatirkan Pek-Bin Giam-Lo. Saya mendengar bahwa Pek-Bin Giam-Lo kini telah tua sekali dan sejak beberapa tahun yang lalu Pangeran Leng Sui membuatkan sebuah pondok mungil di luar pintu gerbang utara, di atas sebuah bukit kecil. Kabarnya dia tidak pernah keluar dari pondoknya, mengasingkan diri dilayani beberapa orang pelayan. Sudah beberapa tahun tidak ada orang melihatnya memasuki Kotaraja."

   "Bagaimanapun juga, kita harus menjaga keselamatan Ibu,"

   Kata Song Han Bun.

   "Sebaiknya kalau kita berdua menemani Ibu berkunjung ke Yen-Cing."

   "Ayah, aku ikut! Aku tidak mau ditinggal sendiri di sini!"

   Tiba-tiba Cin Cin berseru lantang.

   "Baiklah, kita pergi bersama. Akan tetapi kita membuat persiapan dulu dan sementara itu, temani pamanmu Yeliu Chu Cai melihat-lihat kota kita,"

   Jawab Han Bun dan Cin Cin bersorak gembira.

   "Mari, Paman Yeliu, kuantar engkau berjalan-jalan melihat-lihat kota kami yang indah,"

   Ajak Cin Cin sambil memegang tangan pemuda itu.

   "Baik, Cin Cin. Akan tetapi lebih dulu engkau harus mengantar aku ke rumah Bibi Song, Ibu Ayahmu karena aku harus memperkenalkan diri kepada beliau."

   Hati Han Bun senang mendengar ini dan setelah Cin Cin dan pemuda itu pergi, dia memuji adik misan isterinya itu.

   "Adik kita itu akan menjadi seorang yang bijaksana dan pandai. Sekarang pun dia sudah tampak jauh melebihi para pemuda lain."

   "Aku pun pikir begitu, Han Bun,"

   Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata Nyonya Can.

   "Ibunya, adikku Bun Kui Lian memang memiliki kecerdikan dan juga perasaannya peka sekali."

   Sementara itu, Cin Cin juga merasa suka sekali kepada paman kecilnya ini. Sikapnya demikian lembut, ramah dan sopan, juga ucapannya membayangkan pengetahuan luas. Sambil menggandeng tangan Chu Cai, ia mengajak pemuda itu mengunjungi Nyonya Song. Janda Song ini menerima kunjungan Cin Cin dengan gembira dan ia ikut merasa gembira ketika diperkenalkan kepada Yeliu Chu Cai, keponakan besannya, Nyonya Can. Sikap lembut dan sopan pemuda itu menyenangkan hatinya. Setelah bercakap-cakap dengan Nyonya Song yang berwatak sabar dan halus budi itu, Cin Cin lalu mengajak Chu Cai untuk berjalan-jalan putar kota. Ketika mereka tiba di dekat pasar, mereka melihat puluhan orang bergerombol di depan sebuah toko hasil bumi yang memiliki sebuah bangunan gudang besar di sebelahnya. Toko dan gudang itu terbuka lebar pintunya dan di situ berdiri seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun dan di belakangnya terdapat belasan orang yang berpakaian ringkas membawa golok dan bersikap seperti rombongan tukang pukul. Sedikitnya tiga puluh orang yang berdiri berhadapan dengan laki-laki bersama para tukang pukul itu, tampak marah dan mereka agaknya juga siap berkelahi dan membawa senjata seadanya. Ada yang membawa linggis, pentungan dari kayu dan bambu, ada yang membawa pisau, sabit, dan lain-lain. Agaknya akan terjadi perkelahian antara mereka yang rata-rata masih muda dan berpakaian sebagai pekerja kasar dengan para tukang pukul. Cin Cin dan Chu Cai ikut menonton di antara banyak orang yang menonton dari jarak yang aman.

   "Adik Cin, apakah yang terjadi? Siapakah laki-laki tua itu?"

   Bisik Chu Cai kepada Cin Cin.

   "Dia pemilik toko dan gudang itu, saudagar hasil bumi paling kaya di Sung-Kian. Namanya Ciang Lun dan sebutannya Hartawan Ciang. Entah apa yang terjadi. Belasan orang di belakangnya itu agaknya merupakan pengawal-pengawal yang menjaga keselamatannya. Dan puluhan orang yang marah itu melihat pakaiannya, tentu para pekerja kasar yang bekerja pada Ciang Wangwe (Hartawan Ciang)."

   "Mereka kelihatan marah-marah dan mengancam. Apakah yang terjadi?"

   "Entah, Paman. Kita dengarkan saja percakapan mereka."

   Pada saat itu, Ciang Wangwe dengan suara lantang berkata kepada para pekerja yang marah itu,

   "Kalian ini mau apakah? Setiap hari kalian bekerja membongkar muatan hasil bumi dan menumpuknya dalam gudang, kemudian kalau ada kiriman keluar, kalian mengeluarkan tumpukan hasil bumi dan memuatnya di atas kereta. Untuk pekerjaan itu, kami sudah membayar tunai setiap hari. Kenapa kalian masih banyak tuntutan dan apa lagi yang kalian kehendaki?"

   Seorang yang agaknya mewakili tiga puluh orang pekerja kasar itu maju dan menjawab dengan nyaring pula,

   "Ciang Wangwe, sudah bertahun-tahun kami bekerja membanting tulang membantumu, akan tetapi engkau tidak mengacuhkan nasib kami. Entah sudah berapa banyak engkau meraih keuntungan besar dari perusahaanmu ini, bahkan baru saja kami mendengar bahwa harga beras naik tinggi. Padahal engkau memiliki simpanan beribu-ribu kati! Akan tetapi kami tetap saja berpenghasilan kecil dan tidak cukup untuk makan sekeluarga kami. Kami tidak menuntut macam-macam, hanya minta kebijaksanaanmu untuk menaikkan gaji kami dan untuk memberi ransum makanan kepada kami yang secukupnya di waktu siang dan memberi kami waktu istirahat untuk makan siang itu."

   "Hemm, gaji kalian sudah cukup besar, lebih besar daripada para kuli pasar pada umumnya. Dan kalian juga sudah kami beri makan pagi. Masih kurang apa lagi?"

   "Ciang Wangwe, kami hanya mendapatkan bubur cair yang habis dimakan sebanyak lima sendok! Mana cukup untuk menahan lapar sehari? Ciang Wangwe, kuda dan kerbau pun kalau disuruh bekerja, harus diberi makan secukupnya, apalagi kami manusia. Kami hanya menuntut kenaikan upah untuk memberi makan cukup bagi anak-isteri kami dan waktu istirahat siang dan diberi makan secukupnya."

   "Tidak mungkin! Apa kalian hendak memeras? Perampok-perampok busuk! Kalau aku menuruti permintaanmu yang tak masuk akal itu, aku akan menjadi bangkrut! Mulai sekarang, kalian semua kupecat! Aku masih mampu mendapatkan lebih banyak kuli angkut dengan gaji lebih rendah dari kalian. Kalian kupecat, pergilah!"

   Akan tetapi pemimpin pekerja kasar yang bertubuh tinggi besar itu mengamangkan tinjunya ke atas dan berteriak lantang,

   "Kawan-kawan, kita dipecat tanpa alasan, tanpa kesalahan! Karena itu, mari kita bawa pulang beras sekuat kemampuan kita untuk menghidupi keluarga kita sebelum memperoleh pekerjaan baru!"

   "Yaaaa...!!"

   Tiga puluh orang itu bersorak dan mereka bergerak hendak menyerbu ke dalam gudang.

   "Serang perampok-perampok itu!!"

   Teriak Ciang Wangwe dan belasan orang tukang pukulnya maju dengan golok di tangan dengan wajah bengis dan sikap mengancam. Melihat ini, Yeliu Chu Cai berseru,

   "Tidak boleh, tidak. boleh berkelahi!"

   Entah mengapa, seruan pamannya ini seperti perintah yang membuat Cin Cin tiba-tiba melompat. Lompatannya lincah dan ia telah melompati kepala para pekerja yang hendak mengamuk itu dan tahu-tahu ia telah berdiri di antara kedua kelompok yang siap bertarung!

   "Berhenti! Pamanku bilang, kalian tidak boleh berkelahi!"

   Katanya sambil bertolak pinggang dengan sikap garang dan gagah. Pemimpin para pekerja yang tinggi besar itu adalah seorang penduduk baru, agaknya dia belum mengenal Cin Cin. Demikian pula seorang di antara para tukang pukul Ciang Wangwe, seorang penduduk baru di Sung-Kian yang agaknya belum mengenal anak perempuan itu. Maka, kedua orang itu menjadi marah melihat ada seorang anak perempuan berani menengahi mereka dan melarang mereka berkelahi.

   "Anak nakal, kau cari penyakit!"

   Bentak Si Pekerja.

   "Bocah perempuan, pergilah!"

   Si Pekerja menjulurkan tangan kirinya yang besar hendak menangkap pundak Cin Cin sedangkan tukang pukul itu pun menjulurkan tangan untuk menangkap lengan anak itu. Akan tetapi dengan gerakan yang amat lincah, Cin Cin mengelak dengan merendahkan diri, menangkap lengan tukang pukul yang luput memegang lengannya dan menarik lengan itu dengan kuat. Karena tukang pukul itu menggunakan tenaganya ketika menubruk maju maka ketika ditarik, tubuhnya tersungkur dan menabrak tubuh Si Pekerja yang juga luput menangkap pundak Cin Cin. Kini anak perempuan itu dengan gerakan cepat menendang dua kali.

   

Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini