Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 26


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 26



"Pek I Sianli, dengarlah baik-baik usulku. Kalau kita berdua melanjutkan permusuhan dan seorang di antara kita mati, hal itu tidak ada gunanya dan tidak menguntungkan siapapun juga. Juga semua ilmu yang kita pelajari akan hilang dengan sia-sia tanpa ada manfaatnya bagi manusia dan dunia. Sekarang, dengan munculnya dua orang anak ini, bagaimana kalau persaingan di antara kita itu kini diubah, yaitu kita bersaing menurunkan semua ilmu kita kepada dua orang anak ini dan kita berlumba siapa kelak yang lebih berhasil dan unggul! Aku akan mengambil Liang Sin Cu ini sebagai muricl dan engkau mengambil Liang Hong Cu sebagai murid, bagaimana? Beranikah engkau menerima tantanganku ini?"

   Su Kong Pin memang cerdik. Kalau dia tidak menggunakan kata "berani", mungkin Thio Eng masih ragu menyetujuinya. Akan tetapi ditantang seperti itu, wanita yang keras hati itu menjadi penasaran. Pula, ia tadi juga sudah merasakan betapa walaupun kini tingkatnya sudah seimbang dengan tingkat Si Dewa Pedang, namun tetap saja harus ia akui bahwa tidak mudah untuk dapat mengalahkan bekas kekasihnya itu!

   "Balk, aku terima tantanganmu itu!"

   Kata Thio Eng.

   "Aih, nanti dulu, Paman dan Bibi!"

   Tiba-tiba Liang Hong Cu berseru kepada dua orang itu dan bangkit berdiri.

   "Paman dan Bibi hendak mengambil kami sebagai murid tanpa lebih dulu bertanya apakah kami mau menjadi murid Paman dan Bibi."

   "Benar apa yang dikatakan adikku itu,"

   Liang Sin Cu juga berkata penuh semangat.

   "Kalau kami menjadi murid Paman dan Bibi, lalu apakah Paman dan Bibi mau tinggal di rumah orang tua kami?"

   "Ah, tidak! Hong Cu akan ikut denganku, dan engkau Sin Cu akan ikut Thian-Te Kiam-Sian,"

   Kata Thio Eng.

   "Wah, berat kalau begitu!"

   Kata Liang Hong Cu.

   "Berat bagi kami kalau harus meninggalkan rumah orang tua kami!"

   "Hemm, anak bodoh!"

   Thio Eng berseru.

   "Kalian tahu bahwa orang-orang di perahu besar itu hendak membunuh kalian. Kalau kalian pulang ke rumah, apakah mereka tidak dengan mudah saja mencari dan membunuh kalian? Apakah kalian sudah bosan hidup?"

   "Sin Cu, apakah engkau mengenal mereka yang berada di perahu besar yang menabrak perahu kecilmu tadi? Siapakah mereka dan mengapa mereka hendak membunuh kalian berdua?"

   Su Kong Pin bertanya kepada Sin Cu.

   "Paman, kami mengenal bendera dari perahu besar itu. Tidak salah lagi, perahu itu, melihat benderanya, pasti milik Perdana Menteri Chin Kui. Dan ketika aku terjatuh ke air aku melihat seorang panglima berjenggot putih panjang menjenguk dari perahu besar. Aku pernah melihat Panglima itu, kalau tidak salah dia bernama Gu Mo Ki,"

   Kata Sin Cu.

   "Benar, dia pasti Gu Mo Ki. Ayah dulu pernah bercerita bahwa Perdana Menteri Chin Kui mempunyai seorang panglima bernama Gu Mo Ki yang kabarnya seorang ahli pedang yang amat lihai dan berjuluk... berjuluk...."

   Agaknya Hong Cu lupa lagi akan julukan panglima itu.

   "Hemm, aku ingat manusia she Gu itu! Pernah dahulu aku bertemu dan bentrok dengan dia. Julukannya sudah pasti Cui-Beng Kiam-Mo (Iblis Pedang Pengejar Roh)!"

   Kata Pek I Sianli.

   "Benar! Sekarang aku ingat, dia berjuluk Cui-Beng Kiam-Mo dan menurut Ayah di dunia persilatan tidak ada orang yang mampu mengalahkan pedangnyal"

   Seru Hong Cu.

   "Huhh...!"

   Baik Su Kong Pin maupun Thio Eng mendengus merendahkan.

   "Akan tetapi mengapa dia hendak membunuh kalian berdua?"

   Tanya Pek I Sianli penasaran. Kembali Hong Cu yang menjawab.

   "Aku tidak percaya kalau dia yang ingin membunuh kami. Dia itu hanya orangnya Perdana Menteri Chin Kui. Kalau ada yang ingin membunuh kami, sudah pasti Chin Kui itulah dalangnya, seperti ketika Kakek kami Pangeran Liang Tek Ong dibunuh secara rahasia. Ayah kami sampai terpaksa tidak mau memangku jabatan dan menjadi rakyat biasa, semua itu dia lakukan agar keluarga kami aman. Akan tetapi agaknya Chin Kui belum puas kalau belum membasmi semua keluarga Liang kami. Aku yakin Si Jenggot Putih tadi juga ingin membunuh kami karena disuruh oleh Chin Kui!"

   "Adikku benar! Karena itu, Paman dan Bibi, kami berjanji akan suka ikut Paman dan Bibi menjadi murid, akan tetapi dengan satu syarat!"

   Setelah berkata demikian, kakak ini memandang adiknya dan Hong Cu menganggukkan kepalanya perlahan. Biarpun tanpa bicara agaknya anak perempuan itu dapat mengetahui isi pikiran Kakaknya. Memang kedua Kakak-beradik ini memiliki hubungan batin yang amat dekat. Pek I Sianli dan Thian-Te Kiam-Sian juga saling pandang. Selama ini kedua orang itu hanya sibuk memperdalam ilmu mereka untuk saling mengalahkan dan tidak pernah menerima murid. Maka sekarang untuk pertama kalinya hendak menerima murid, bukan mereka yang mengajukan syarat, bahkan si murid yang mengajukan syarat! Tentu saja mereka merasa heran, bingung, dan juga men-dongkol!

   "Apa satu syarat itu?"

   Tanya sepasang pendekar itu dengan suara berbareng. Jawaban dua orang anak itu pun berbareng walaupun tidak mereka atur atau sengaja.

   "Binasakan mereka dalam perahu yang tadi hendak membunuh kami!"

   Pek I Sianli dan Thian-Te Kiam-Sian saling pandang dan mereka tersenyum. Tugas yang dijadikan syarat murid mereka itu mereka anggap ringan saja! Cepat Su Kong Pin mencabut pedangnya dan dua kali pedangnya menyambar, dia telah mengupas kulit batang kayu besar. Kulit terkelupas empat potong sepanjang dua kaki selebar satu kaki dengan ujung meruncing, lalu pedangnya menyambar lagi, dia mengupas kulit batang kayu memanjang kecil seperti tali. Kemudian dia menyerahkan dua potong kepada Thio Eng bersama dua helai tali, kemudian mereka berdua tanpa banyak cakap lagi mengikatkan kaki mereka di atas dua potong kulit kayu,

   Kemudian keduanya melompat ke atas air, menggunakan kedua tangan digerakkan dan dengan amat cepat tubuh mereka meluncur di atas air menggunakan dua papan kulit kayu sebagai alat peluncur! Sebentar saja mereka berdua sudah melakukan pengejaran terhadap perahu besar yang menuju ke tengah telaga itu. Sin Cu dan Hong Cu adalah cucu Pangeran Liang Tek Ong. Biarpun Kakek dan juga Ayahnya bukan ahli silat, namun sebagai anak-anak keturunan Bangsawan tentu saja mereka sudah sering melihat orang-orang yang pandai bermain silat. Akan tetapi selama hidup mereka bahkan membayangkan pun belum bahwa ada orang meluncur seperti terbang di atas air telaga hanya mempergunakan dua potong kulit kayu sebagai injakan kedua kaki! Hal ini mereka anggap seperti permainan sulap atau sihir saja, membuat mereka melongo dengan takjub.

   Tentu saja Thian-Te Kiam-Sian dan Pek I Sianli sama sekali tidak mempergunakan sulap atau sihir. Akan tetapi adalah ahli-ahli ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang amat mahir dan telah memiliki tepaga sakti yang kuat sehingga gerakan kedua tangan mereka diikuti dorongan badan membuat mereka dapat meluncur seperti terbang cepatnya! Dalam waktu yang tidak terlalu lama akhirnya Su Kong Pin dan Thio Eng sudah dapat menyusul perahu besar itu. Dua orang perajurit yang berdiri di buritan melihat mereka dan segera mengenal bahwa mereka adalah dua orang yang tadi menolong dua orang cucu Pangeran maka biarpun hati mereka gentar, keduanya ingin mencari jasa, maka cepat mereka memasang anak panah pada gendewa mereka dan melepaskan anak panah itu ke arah Su Kong Pin dan Thio Eng.

   Akan tetapi perbuatan ini merupakan bunuh diri karena ketika dua batang anak panah itu meluncur dua orang pendekar itu menangkap dari samping lalu melontarkan anak panah itu ke arah penyerangnya. Dua orang pemanah itu. roboh tanpa dapat berteriak karena anak panah mereka menembus tenggorokan mereka sampai ke tengkuk! Bagaikan dua ekor burung garuda, Su Kong Pin dan Thio Eng lalu melayang dan melompat ke atas perahu. Gegerlah di atas perahu itu. Tidak kurang dari dua puluh lima orang perajurit mencabut senjata dan mengeroyok, dipimpin oleh Gu Mo Ki yang berjuluk Cui-Beng Kiam-Mo (Pedang Iblis Pengejar Arwah). Dia mengeluarkan dua batang pedang dan segera menyerang Su Kong Pin dan sambiI tersenyum mengejek Su Kong Pin menyambut dengan pedangnya.

   "Trang-cringgg...!!"

   Bukan main kagetnya hati Cui-Beng Kiam-Mo Gu Mo Ki ketika bukan saja sepasang pedangnya tertangkis, bahkan kedua telapak tangannya terasa tergetar hebat dan panas seperti dibakar. Dua puluh lebih perajurit itu pun kini mengeroyok Thio Eng, akan tetapi wanita itu tertawa cekikikan dan pedangnya berubah menjadi sinar kilat bergulung-gulung dan banyak pengeroyok roboh bergelimpangan dengan tubuh koyak dan tewas seketika! Gu-Ciangkun yang semakin terkejut melompat ke belakang dan memandang Su Kong Pin dengan penuh perhatian lalu membentak marah.

   "Pemberontak dari mana berani melawan Panglima Kerajaan Sung?"

   "Hemm, bukankah engkau ini anjing peliharaan Perdana Menteri Chin Kui yang berjuluk Cui-Beng Kiam-Mo yang dulu membunuh Pangeran Liang Tek Ong atas perintah Perdana Menteri yang lalim itu?"

   "Hemm, pemberontak! Jangan mati tanpa meninggalkan nama! Hayo katakan siapa kalian berdua!"

   "Mau kenal aku? Aku adalah Thian-Te Kiam-Sian Su Kong Pin dan ia adalah Pek I Sianli Thio Eng. Kedatangan kami untuk membinasakan seluruh isi perahu besar ini!"

   Setelah berkata demikian, Su Kong Pin menyerang dengan dahsyat dan Gu-Ciangkun terkejut seperti disambar petir. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama besar Dewa Pedang Langit Bumi itu yang kabarnya belum pernah bertemu tandingannya dalam hal kemahiran bersilat pedang! Dan dia juga sudah mengenal Pek I Sianli yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang amat lihai!

   Maka, dia maklum bahwa dia dan anak buahnya berada dalam keadaan yang amat gawat dan berbahaya. Dia menjadi nekat dan melawan mati-matian. Memang harus diakui bahwa tidak percuma Gu Mo Ki mendapat julukan Pedang Iblis Pemburu Arwah karena dia memang memiliki ilmu pedang yang amat tangguh. Namun sekali ini dia menemui lawan yang berjuluk Dewa Pedang. Maka, biarpun dia masih mampu bertahan dan membela diri, namun jelas dia lebih banyak bertahan daripada menyerang. Sementara itu, pedang di tangan Thio Eng bagaikan orang sedang menebang pohon yang lunak saja. Dua puluh orang lebih itu berpelantingan mandi darah dan mereka tewas seketika, berserakan di atas lantai perahu, tak ada seorang pun yang masih hidup! Ketika ia melihat Su Kong Pin belum juga dapat merobohkan Gu Mo Ki, hanya mendesaknya saja, ia tertawa.

   "Hi-hik, Thian-Te Kiam-Sian, kiranya selama ini engkau tidak memperoleh kemajuan sedikitpun juga. Membunuh anjing ini belum juga berhasil!"

   Setelah berkata demikian, Thio Eng menerjang Gu-Ciangkun dengan dahsyat.

   "Cringgg...!"

   Gu Mo Ki terkejut, menangkis dan pedangnya terpental. Sebelum dia dapat melindungi dirinya, sinar kilat pedang Su Kong Pin menyambar dan dia pun roboh dengan leher terbabat putus! Banjir darah di perahu besar itu. Mereka semua mati dan perahu tanpa kemudi itu berputar-putar di tengah telaga. Thio Eng dan Su Kong Pin lalu memasang lagi penampung kulit kayu dan meluncur ke atas air, kembali ke tepi telaga di mana dua orang cucu mendiang Pangeran Liang itu masih duduk menanti.

   "Bagaimana hasilnya, Paman dan Bibi?"

   Tanya Hong Cu.

   "Beres! Cui-Beng Kiam-Mo Gu Mo Ki dan hampir tiga puluh orang perajuritnya telah kami bunuh semua!"

   Mendengar ini, dua orang anak itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang itu dan Liang Sin Cu berkata dengan sikap hormat,

   "Ji-wi Suhu dan Subo, Teecu (murid) Liang Sin Cu dan Liang Hong Cu siap untuk mengikuti Ji-wi Suhu dan Subo untuk menjadi murid dan mempelajari ilmu."

   "Teecu juga, Suhu dan Subo!"

   Kata Hong Cu penuh semangat.

   "Aih, tidak, Hong Cu,"

   Kata Thio Eng.

   "Engkau menjadi muridku, bukan murid Thian-Te Kiam-Sian Su Kong Pin ini dan kelak engkau harus menjadi lebih lihai daripada Kakakmu!"

   Kata-kata ini keluar dari mulut Thio Eng dengan nada bersungguh-sungguh. Su Kong Pin berkata dengan suara mendongkol,

   "Benar, Liang Sin Cu. Engkau bukan murid Pek I Sianli Thio Eng, melainkan muridku, dan engkau kelak akan lebih lihai daripada adikmu!"

   "Huh, kita lihat saja nanti, Thian-Te Kiam-Sian!"

   Tantang Thio Eng sengit.

   "Bagus! Mulai sekarang persaingan kita harus kita alihkan kepada murid-murid kita. Siapa yang muridnya lebih lihai, berarti ia yang menang! Mari, Sin Cu, kita pergi!"

   Su Kong Pin yang marah melihat sikap bekas kekasihnya yang masih keras dan bermusuhan dengannya itu. Dia memegang lengan Sin Cu dan sekali meloncat dia telah pergi jauh tanpa Sin Cu dapat menahannya karena anak itu merasa seperti dibawa terbang.

   "Koko...!"

   Seru Hong Cu.

   "Moi-moi...!"

   Sin Cu hanya mampu memanggil adiknya tanpa dapat menahan larinya Su Kong Pin.

   "Sudah, jangan cengeng! Mari kita pergi!"

   Kini Pek I Sianli Thio Eng juga memegang tangan anak perempuan itu dan diajaknya berlari secepat terbang yang arahnya berlawanan dengan arah larinya Su Kong Pin. Demikianlah, mulai saat itu Liang Sin Cu mau tidak mau harus ikut Su Kong Pin dan menjadi muridnya, sedangkan Liang Hong Cu menjadi murid Thio Eng dan mengikuti ke mana pendekar wanita itu pergi.

   Sementara itu, melihat perahu besar terputar-putar di tengah telaga, para nelayan maklum bahwa perahu itu kehilangan kemudi dan mereka pun mengenal bahwa perahu besar itu milik pejabat tinggi, maka belasan orang segera mendayung perahu mereka mendekat. Mereka lalu naik ke perahu besar dan alangkah terkejut hati mereka melihat betapa di atas perahu itu penuh dengan mayat dan darah membanjir di mana-mana.

   Juga mereka melihat seorang berpakaian panglima telah menjadi mayat yang lehernya terpenggal. Tentu saja mereka menjadi gempar. Beberapa orang segera mengemudikan perahu, mendayung dan membawa perahu besar itu ke tepi. Semua pesiar dan nelayan di tempat itu menjadi geger, apalagi setelah ada yang mengenal bahwa perahu itu milik Perdana Menteri Chin Kui dan panglima yang mati terpenggal kepalanya itu adalah Gu-Ciangkun, panglima kepercayaan Perdana Menteri Chin Kui. Segera ada yang melapor ke Istana Perdana Menteri Chin Kui. Pembesar tinggi ini terkejut mendengar laporan itu dan segera mengutus orang-orangnya untuk memeriksa dan mengurus mereka yang tewas. Tentu saja peristiwa itu membuat Chin Kui merasa ngeri.

   Gu Mo Ki adalah panglimanya nomor satu, orang kepercayaannya yang biasa dia perintahkan melakukan hal-hal yang rahasia seperti membunuh para lawannya dalam politik. Bahkan ketika Pangeran Liang Tek Ong dibunuh secara rahasia, dialah yang menyuruh Gu Mo Ki melakukan pembunuhan itu. Kini Gu Mo Ki terbunuh bersama sekitar tiga puluh orang perajuritnya dalam keadaan mengerikan sekali. Maka, cepat Perdana Menteri Chin Kui yang tidak dapat menduga siapa gerangan pembunuh panglimanya, lalu memilih panglima-panglima yang paling tangguh untuk menjadi pengawalnya yang menjaga keselamatannya siang malam secara bergiliran. Mulai saat itu hati Chin Kui sudah tak pernah dapat tenang, setiap hari hanya dibayangi rasa takut seolah-olah malaikat maut selalu dekat dan mengancam untuk mencabut nyawanya.

   Biarpun Kerajaan Sung semakin lemah dan Kaisar Sung Kao Cu juga semakin tua, namun Kerajaan Cin (Kin) yang berada di utara tidak pernah berniat untuk menyerbu dan merampas Kerajaan Sung. Pertama karena politik yang dijalankan Perdana Menteri Chin Kui adalah politik yang mengalah dan berdamai walaupun setiap tahun harus menyerahkan upeti besar-besaran, namun juga karena Bangsa Cin yang semula merupakan Bangsa Nomad (Pengembara) tidak tertarik akan daerah pertanian di sebelah selatan Sungai Yang-Ce. Menerima upeti dianggap jauh lebih menguntungkan. Apalagi memang masih banyak terdapat perkumpulan para pendekar patriot yang membela Kerajaan Sung.

   Sementara itu, di luar Tembok Besar, di utara sekali daerah Gurun Gobi, Bangsa liar atau Bangsa Nomad semakin kuat. Bahkan daerah Kerajaan Cin di luar Tembok Besar sudah diduduki Bangsa Mongol sehingga terpaksa Bangsa Cin boyongan ke selatan dan berpusat di Yen-Cing sebagai lbukota Kerajaan Cin. Namun, untuk menyerang ke selatan melewati Tembok Besar Bangsa-Bangsa di utara itu masih belum berani karena pertahanan di Tembok Besar teramat kuat dan sukar sekali untuk dapat menerobos Tembok Besar yang amat kokoh itu.

   Sang Waktu melesat cepat melebihi apa saja kalau tidak diperhatikan. Tanpa memperhatikan jalannya waktu, orang akan merasa bahwa setahun sama dengan sehari. Kalau seorang dewasa mengingat masa kanak-kanaknya yang sudah lewat selama dua puluh tahun, rasanya baru beberapa hari saja. Akan tetapi kalau kita memperhatikan waktu, seperti kalau menanti datangnya seseorang yang sudah berjanji, satu jam saja rasanya seperti sehari dan sehari rasanya seperti setahun! Tanpa terasa, tujuh tahun telah lewat sejak Liang Sin Cu ikut Gurunya, yaitu Thian-Te Kiam-Sian, yang membawa muridnya itu ke Hong-San (Bukit Burung Hong) sebuah di antara banyak bukit di Pegunungan Luliang-San. Adapun Liang Hong Cu ikut Gurunya, Pek I Sianli ke puncak Gin-San (Bukit Perak), juga sebuah bukit yang dari jauh tampak keputih-putihan di Pegunungan Luliang-San. Kedua bukit itu tidak terpisah terlalu jauh.

   Selama tujuh tahun Kakak-beradik cucu mendiang Pangeran Liang Tek Ong ini dengan rajin dan tekun sekali menerima gemblengan ilmu silat dari Guru-Guru mereka, terutama sekali ilmu pedang, kecepatan gerak berdasarkan ginkang (ilmu meringankan tubuh), sinkang (tenaga sakti) dan khikang (tenaga murni) juga Tweekang (tenaga dalam). Kini Liang Sin Cu telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun, dan Liam Hong Cu menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun. Sin Cu menjadi seorang pemuda bertubuh tinggi tegap wajahnya tampan dan sikapnya berwibawa, tampak jelas keanggunannya sebagai seorang keturunan Bangsawan tinggi. Adapun Hong Cu amat cantik jelita seperti puteri, kulitnya putih kemerahan, mulus dan lembut, wajahnya cantik sekali dan senyumnya manis, matanya memiliki kerling tajam dan kelihatannya ramah.

   Namun gadis ini lincah dan galaknya bukan main kalau hatinya merasa tidak senang! Kedua orang Guru mereka yang dahulunya merupakan kekasih, yaitu Su Kong Pin dan Thio Eng, lalu menjadi saingan dan bermusuhan, akan tetapi setelah mempunyai murid tidak lagi bermusuhan secara terbuka hanya ingin bersaing mendidik murid, tidak pernah mengadu murid mereka yang masih Kakak-beradik itu. Akan tetapi pada suatu hari, Thio Eng menyuruh seorang penduduk bukit untuk menyampaikan surat undangan kepada Su Kong Pin dan muridnya. Tentu saja mereka datang dan Kakak-beradik yang sudah tujuh tahun tak pernah jumpa itu, tentu saja merasa gembira sekali. Mereka melepas rindu dengan saling mengobrol menceritakan pengalaman masing-masing ketika belajar silat dengan tekun.

   "Wahai, Moi-moi, engkau kini menjadi seorang gadis yang cantik jelita!"

   Seru Sin Cu gembira.

   "Hemm, dan kau sendiri? Aku sampai tidak mengenalmu lagi! Engkau, menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa!"

   Kata gadis itu sambil memegang kedua tangan Kakaknya dengan sikap manja. Akan tetapi pada saat itu, Su Kong Pin dan Thio Eng memanggil mereka. Keduanya masuk dan melihat Guru-Guru mereka duduk berhadapan, akan tetapi wajah keduanya sama sekali tidak tampak cerah, bahkan seperti orang tak senang hati.

   "Hong Cu, engkau memang adik kandung Sin Cu, akan tetapi apakah engkau tidak ingin membela nama baik Gurumu?"

   Tanya Thio Eng.

   "Sin Cu, apakah engkau tidak malu, kalau sampai engkau kalah lihai dari adikmu? Kalau begitu engkau berarti akan meremehkan segala yang telah kuajarkan kepadamu selama bertahun-tahun ini!"

   Kata Su Kong Pin. Kakak-beradik itu saling pandang. Mereka memang sudah mendengar dari cerita Guru masing-masing betapa Guru mereka itu dahulunya saling mencinta, kemudian mereka bermusuhan dan bersaing. Persaingan terakhir mereka lakukan dengan berlumba mendidik mereka agar kelak diketahui siapa yang !ebih pandai dan lebih berhasiI mendidik murid atau kasarnya, mereka akan menguji murid siapa yang lebih hebat!

   "Akan tetapi, tidak mungkin Subo menyuruh aku bertanding melawan Kakakku sendiri!"

   Hong Cu memprotes.

   "Benar, Suhu. Kalau aku harus bertanding melawan adikku, biarlah aku mengaku kalah saja. Aku tidak tega melukainya, apalagi membunuhnya. Biar Suhu membunuhku, aku tetap tidak mau berkelahi melawan adikku tersayang,"

   Kata Sin Cu.

   "Anak bodoh, bukan begitu maksudku!"

   Thio Eng menegur muridnya.

   "Aku tidak ingin kalian saling melukai, hanya ingin kalian menunjukkan siapa di antara kalian yang lebih lihai, siapa di antara kalian yang lebih dulu dapat merampungkan tugas berat yang akan kami serahkan kepada kalian!"

   "Benar!"

   Kata Su Kong Pin.

   "Kami mempunyai tugas yang harus kalian lakukan dan siapa di antara kalian yang dapat lebih dulu menyelesaikan tugas itu dengan baik, kami anggap sebagai pemenang dan berarti Gurunya lebih berhasil mendidik muridnya!"

   "Tugas apakah itu, Subo? Harap cepat katakan dan Teecu (murid) tentu akan segera melaksanakan dan akan mendahului Koko!"

   Kata Hong Cu dengan gembira.

   "Ho-ho, nanti dulu, Moi-moi Belum tentu engkau akan dapat mendahului aku!"

   Kata Sin Cu sambil tertawa untuk menggoda adiknya.

   "Cepat katakan, Subo. Apakah tugas itu?"

   Tanya Hong Cu penuh semangat perlombaan.

   "Begini, Hong Cu. Di antara keturun keluarga Kaisar Sung, kiranya hanya kalian berdua yang dapat diharapkan untuk membangun kembali Kerajaan Sung yang semakin surut dan lemah. Semua ini karena Kaisar yang masih merupakan Kakek kalian amat lemah dan terutama sekali berada di bawah pengaruh Perdana Menteri Chin Kui yang lalim. Nah, sekarang kami berdua mempunyai tugas untuk kalian berdua. Kalian harus dapat ti menemui Kaisar Sung Kao Cu yang sudah tua dan lemah itu, membujuknya agar dia menghentikan atau memecat Chin Kui yang lalim. Nah, siapa berhasil membujuk Kaisar dan melenyapkan Chin Kui lebih dulu, dialah yang menang!"

   Kata Thio Eng.

   "Sin Cu, engkau tentu tidak akan membikin malu Gurumu!"

   Hanya itu pesan Thian-Te Kiam-Sian Su Kong Pin.

   "Kapan kita harus mengerjakannya?"

   Pertanyaan ini diucapkan kedua orang Kakak-beradik itu.

   "Kapan lagi kalau tidak sekarang!"

   Jawab Thio Eng dan Su Kong Pin. Mendengar ini, Kakak-beradik itu berkelebat lenyap memasuki hutan menuju ke pondok masing-masing di bukit tempat tinggal mereka untuk berkemas, membawa buntalan pakaian dan tak lama kemudian mereka sudah berlari cepat menuruni Pegunungan Luliang-San untuk pergi ke Kotaraja Hang-Chouw! Karena kedua orang Kakak-beradik itu memiliki tingkat yang dapat dibilang seimbang, maka ketika mereka menuruni bukit tempat tinggal masing-masing, akhirnya mereka dapat juga bertemu di persimpangan jalan. Keduanya tersenyum karena dalam lubuk hati mereka, keduanya tidak mempunyai keinginan untuk saling mengalahkan!

   "Moi-moi, kalau tugas yang harus kita laksanakan itu hanya serupa dan sama, untuk apa kita bersaing dan berlumba? Bukankah lebih mudah, lebih cepat dan lebih baik kalau kita bekerja sama saling bantu sehingga tugas itu dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan mudah?"

   "Setuju, Koko! Guru-Guru kita boleh bodoh dan saling bersaing dan saling berlumba, akan tetapi kita Kakak-beradik untuk apa harus bersaing? Lebih baik bekerja sama. Mari kita pergi ke Istana Kakek Sri Baginda Kaisar dan menjumpainya!"

   "Hemm, apakah Beliau akan dapat mengenal kita?"

   Tanya Hong Cu tersenyum lucu.

   "Mungkin tidak, akan tetapi kalau kita bercerita tentang Kakek Pangeran Liang Tek Ong almarhum, mustahil Beliau tidak mengenalnya."

   Mereka lalu melanjutkan perjalanan dan menggunakan ilmu berlari cepat seperti terbang.

   Benar saja, karena Kakak-beradik ini meninggalkan Kotaraja pada tujuh tahun yang lalu ketika usia mereka baru tiga belas tahun dan sebelas tahun, tentu saja kini mereka muncul sebagai seorang pemuda dan gadis dewasa, tidak ada orang yang dapat mengenal mereka. Dapat dibayangkan betapa gembira hati dua orang Kakak-beradik itu ketika mereka memasuki pintu gerbang Kotaraja, kota kelahiran yang amat mereka kenal. Bagaikan bertemu dengan sahabat-sahabat lama, keduanya melihat-lihat setiap bangunan dan pohon yang mereka lewati ketika mereka menuju ke tempat tinggal Liang Sun, yaitu Ayah mereka, putera mendiang Pangeran Liang Tek Ong yang sejak kematian Ayahnya lalu hidup sebagai penduduk biasa dan berdagang kecil-kecilan.

   Dari jauh saja Kakak-beradik itu sudah melihat kesibukan yang terjadi di depan toko Ayah mereka. Ada beberapa orang pembeli berkumpul di sana dan dua orang pelayan Ayah mereka sedang melayani pembeli. Karena mereka tidak ingin kedatangan mereka diketahui orang dan akan tersiar kabar bahwa mereka yang hendak melaksanakan tugas rahasia itu berada di Kotaraja, Sin Cu dan Hong Cu terpaksa berhenti dan menanti sampai para pembeli itu pergi dan di depan toko kini tidak tampak ada orang lain. Barulah mereka menghampiri toko. Dua orang pelayan yang melihat mereka menyambut, mengira bahwa Kakak-beradik itu hendak membeli sesuatu. Akan tetapi Sin Cu segera berkata dengan lirih,

   "Paman Ji dan Paman Giam, lupakah kepada kami?"

   Dua orang pelayan itu terbelalak memandang pemuda dan gadis itu.

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Haya...! Kongcu dan Siocia..."

   "Sssttt, rahasiakan kedatangan kami!"

   Hong Cu menegur dan mereka berdua segera berlari memasuki rumah. Liang Sun dan isterinya sedang duduk menghadapi meja di mana terdapat minuman air teh dan kue. Mereka terkejut ketika tiba-tiba ada seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan memasuki ruangan itu dan dua orang itu langsung saja menjatuhkan diri berlutut di depan mereka. Akan tetapi kekagetan mereka segera berubah menjadi kebahagiaan yang luar biasa ketika mereka mengenal putera dan puteri mereka.

   Nyonya Liang merangkul Hong Cu sambil menangis dan Liang Sun sendiri merangkul Sin Cu. Mereka bertangis-tangisan, penuh keharuan dan kebahagiaan. Suami isteri ini sudah tahu bahwa anak-anak mereka diambil murid orang-orang sakti karena baik Su Kong Pin maupun Thio Eng telah mengirim surat kepada mereka melalui seorang penduduk dusun, menceritakan bahwa dua orang anak itu mereka ambil murid. Setelah tujuh tahun berpisah, tentu saja pertemuan itu mendatangkan kebahagiaan yang luar biasa bagi orang tua dan anak. Sin Cu dan Hong Cu segera sibuk menceritakan pengalaman mereka ketika mereka berdua hendak dibunuh oleh Panglima Gu Mo Ki dan diselamatkan oleh Guru-Guru mereka lalu diambil murid.

   "Hemm, tak salah lagi. Gu Mo Ki adalah tangan kanan Perdana Menteri Chin Kui, maka jelaslah bahwa pembesar jahanam itu yang menyuruh Gu-Ciangkun membunuhmu. Bahkan aku sudah mendengar dugaan orang bahwa yang membunuh Kakek kalian, yaitu mendiang Ayah Pangeran Liang Tek Ong, juga Gu Mo Ki atas perintah Chin Kui!"

   Kata Liang Sun dengan marah.

   "Memang dugaan Guru-Guru kami juga demikian, Ayah,"

   Kata Sin Cu.

   "Oleh karena itu, sekarang kami berdua menerima tugas rahasia yang penting dari Guru-Guru kami."

   "Tugas? Kukira kalian datang untuk pulang, akan tetapi melaksanakan tugas penting? Tugas apakah itu?"

   Tanya Liang Sun.

   "Kami harus menemui Kakek Sri Baginda Kaisar, memperingatkan Beliau agar memecat Chin Kui, yang lalim dan jahat, atau kalau hal itu tidak berhasil, kami harus membinasakan pembesar jahanam itu,"

   Jawab Sin Cu. Suami-isteri itu terbelalak dengan muka pucat, bahkan Nyonya Liang Sun langsung menubruk puterinya dan menangis.

   "Jangan, Hong Cu..., jangan lakukan itu! Ah, apakah kalian ingin bunuh diri? Bagaimana kalian dapat melakukan hal itu? Tidak mungkin...! Tidak mungkin kalian dapat membunuh Chin Kui...!!"

   "Sin Cu, apa-apaan ini? Masa Guru-Guru kalian memberi tugas gila itu? Bagaimana mungkin kalian berdua yang masih remaja akan dapat melakukan tugas yang amat berbahaya itu? Kalian tentu akan gagal, ditangkap bahkan terbunuh!"

   Kata pula Liang Sun.

   "Ibu dan Ayah, harap tenang dan jangan khawatir!"

   Kata Hong Cu dengan tersenyum.

   "Tidak percuma kami berdua digembleng ilmu oleh kedua orang Guru kami. Ketahuilah, Guruku adalah Subo Pek I Sianli Thio Eng, seorang pendekar wanita yang jarang dapat bertemu bandingannya di jaman ini! pasti akan mampu membunuh anjing keparat Chin Kui!"

   "Benar, Ayah dan Ibu,"

   Kata pula Sin Cu.

   "Guruku adalah Thian-Te Kiam-Sian Su Kong Pin, pendekar besar tanpa tanding. Aku sanggup membunuh Chin Kui untuk membalaskan kematian mendiang Kakek Pangeran Liang Tek Ong,"

   Suami-isteri itu mengerutkan alisnya dan Liang Sun duduk tegak di atas kursi, memandang dua orang anaknya yang sudah mengambil tempat duduk di depannya. Kalau bersikap seperti itu, Liang Sun tampak darah keBangsawanannya, tampak anggun berwibawa.

   "Sin Cu dan Hong Cu, sejak kecil kalian pernah mempelajari tentang peraturan manusia dalam keluarganya. Kalian masih ingat pelajaran tentang Hauw (Berbakti)? Coba katakan bagaimana tingkat-tingkatan Kebaktian itu!"

   Tanya putera Pangeran itu.

   "Aku masih ingat, Ayah!"

   Kata Hong Cu gembira.

   "Bakti pertama adalah kepada TUHAN karena Dia yang menentukan kelahiran dan kehidupan, juga kematian kita di dunia ini. Bakti ke dua adalah kepada Ayah-Ibu, karena merekalah yang semenjak kelahiran kita di dunia menjaga, memelihara, membesarkan dan memperhatikan kita. Bakti yang ke tiga adalah kepada Guru, karena Gurulah yang mendidik dan mengajarkan segala macam ilmu dan kepandaian kepada kita dan bakti ke empat adalah kepada Bangsa karena kita adalah sebagian yang tak terpisahkan dari Bangsa. Adapun bakti yang ke lima atau terakhir adalah kepada Negara karena negara yang mengatur tata tertib kehidupan kita dan yang mengatur agar kita hidup sejahtera. Bukankah begitu, Ibu?"

   "Bagus! Engkau memang anakku yang manis dan cantik, masih ingat dengan baik pelajaran itu,"

   Puji Ibunya dan hidung Hong Cu yang lucu itu mekar saking senang dan bangganya.

   "Nah, Sin Cu, adikmu saja masih ingat bahwa kebaktian yang paling utama adalah kepada TUHAN, kemudian kepada orang tua. Karena itu, kalian berdua sebagai anak-anak yang berbakti harus berbakti dan mencinta orang-tua, membuat senang hati orang-tua dengan jalan mentaati perintah orang-tua. Kini kami melarang kalian untuk melakukan tugas berbahaya perintah Guru kalian itu. Dan karena bakti kepada orang-tua lebih penting daripada bakti kepada Guru, maka kalian harus mentaati orang-tua lebih dulu."

   Mendengar ini, Liang Sin Cu yang sudah mendapat banyak pengertian dari Thian-Te Kiam-Sian Su Kong Pin, mengerutkan alisnya dan berkata dengan sikap hormat namun tegas kepada Ayah dan Ibunya.

   "Harap Ayah dan Ibu memaafkanku. Semua pengertian tentang kebaktian yang pernah Ayah ajarkan itu masih kuingat semua. Akan tetapi, Ayah, sesungguhnya bakti tidak dapat dipisahkan dari rasa cinta. Rasa cinta membuat seseorang berani berkorban dan berbakti untuk orang yang dicinta. Bakti bukan berarti menyenangkan hati orang yang dicinta. Menyenangkan dan hanya taat saja bukanlah cinta, dan bukan pula berbakti namanya."

   "Eh-eh, Sin Cu, apa yang kau katakan ini? Kalau berbakti itu bukan bermaksud menyenangkan hati orang-tua, apakah berarti engkau tidak mau menyenangkan hati kami, tidak mau menuruti keinginan kami?"

   Tegur Nyonya Liang dengan muka penasaran.

   "Ibu, harap Ibu jangan marah kepada Koko. Maksudnya benar,"

   Kata Hong Cu.

   "Hemm, kau juga, Hong Cu?"

   Tegur wanita itu.

   "Begini, Ibu. Mentaati perintah TUHAN memang mutlak karena TUHAN adalah Maha Sempurna dan Maha Benar. Akan tetapi manusia, Guru, ataupun Negara yang dipimpin manusia, belum tentu selalu benar. Dan kalau kita mentaati perintah yang tidak benar, bukankah akan merugikan yang memerintah, juga merugikan kita yang mentaati perintah yang keliru itu? Jadi, seorang yang berbakti melakukan perintah demi kebaikan orang yang dia bakti, bukan untuk menyenangkan saja walaupun akan merugikan."

   "Aih, kau bikin aku bingung, Hong Cu. Sin Cu, coba jelaskan!"

   Kata Liang Sun.

   "Begini, Ayah. Yang dikatakan Moi-moi itu benar. Misalnya begini. Seorang anak yang berbakti melihat Ayahnya tergila-gila permainan judi sampai uangnya habis, lalu minta kepada anaknya agar si anak menjual semua barang miliknya dan menyerahkannya kepada si Ayah untuk bermain judi. Nah, kalau anak itu menuruti permintaan sang Ayah untuk nyenangkan hatinya, apakah itu berbakti namanya? Apakah perbuatannya itu bukan berarti dia malah mendorong Ayahnya jatuh ke jurang kesengsaraan dan dia sendiri pun turut jatuh?"

   Kata Sin Cu.

   "Masih ada lagi, Ibu,"

   Kini Hong Cu yang bicara.

   "Misalnya seorang anak melihat Ibunya menjadi pecandu arak dan suka minum berlebihan dan mabok-mabokan sampai ia sakit parah. Kalau terus minum maka besar kemungkinan ia akan mati lalu ia menangis minta agar anaknya memberinya arak untuk diminum. Nah, si anak itu menuruti permintaannya untuk menyenangkan hatinya dan memberinya arak, apakah itu berbakti dan cinta namanya? Bukankah perbuatan anak itu malah akan membunuh Ibunya?"

   Mendengar ini, Liang Sun dan isterinya saling pandang dan mulai mengerti. Sin Cu melanjutkan.

   "Begitulah, Ayah dan Ibu. Bakti berarti Cinta, dan Cinta itu tentu bermaksud untuk kebaikan bagi yang dicinta. Kalau ada orang-tua, Guru, atau bahkan pemimpin Negara melakukan perbuatan yang tidak benar, yang pada akhirnya akan mencelakakan mereka sendiri, maka kewajiban kita yang berbakti untuk mencegah perbuatan itu, demi keselamatan orang yang kita cinta. Kalau orang-tua atau Gurunya menjadi penjahat, seorang anak atau murid yang berbakti dan baik haruslah memperingatkannya dan mencegahnya, bukan malah membantunya merampok atau berbuat jahat. Sekarang, kita melihat betapa Kerajaan Sung semakin brengsek dan lemah karena Kaisarnya dikuasai oleh Chin Kui yang jahat. Maka, kami berdua yang mencinta Bangsa dan Negara, sudah sepatutnya bertindak untuk mengubah keadaan, demi kemakmuran rakyat dan majunya pemerintahan Negara. Kami mohon Ayah dan Ibu dapat mengerti."

   "Ah, kami mengerti apa yang kalian maksudkan dan kami dapat melihat kebenarannya,"

   Kata Liang Sun.

   "Akan tetapi, Sin Cu dan Hong Cu, niat kalian memasuki Istana, apalagi menentang Chin Kui merupakan perbuatan nekat yang berbahaya sekali. Bagaimana mungkin kalian anak-anak remaja hendak melawan ratusan perajurit pengawal Perdana Menteri?"

   Hong Cu tertawa.

   "Hi-hik, Ayah-Ibu. Aku bukan lagi Hong Cu yang dulu cengeng dan lemah, Ketahuilah, sebelum kami berdua meninggalkan perguruan, Guru kami telah mengajarkan ilmu silat tinggi kepada kami dan kami percaya, dengan ilmu kepandaian kami, kami akan mampu melawan para pengawal Chin Kui. Koko, mari kita perlihatkan ilmu pedang kita kepada Ayah dan Ibu agar hati mereka dapat merasa tenteram."

   Sin Cu mengangguk. Kakak-beradik itu tiba-tiba bergerak dan Liang Sun bersama isterinya tidak melihat kapan dua orang anak mereka mencabut pedang karena tahu-tahu bayangan mereka lenyap terbungkus gulungan dua sinar yang menyilaukan mata. Sinar itu bergulung-gulung, menyambar-nyambar sehingga ruangan itu menjadi lebih terang. Mereka seperti melihat dua bola api besar berputar-putar dan melayang-layang dalam ruangan yang cukup luas itu.

   Memang pada waktu itu, tingkat ilmu pedang yang dimiliki Kakak-beradik ini sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Sin Cu adalah murid tunggal dari Dewa Pedang, sedangkan Hong Cu murid Pek Sianli yang selama puluhan tahun memperdalam ilmu pedangnya untuk menandingi Dewa Pedang, maka tentu saja tingkat ilmu pedang mereka luar biasa sekali. Liang Sun adalah putera Pangeran Liang Tek Ong, tentu saja walaupun dia sendiri bukan ahli silat, dia sudah sering melihat orang bersilat. Namun belum pernah selamanya dia melihat permainan ilmu pedang seperti yang dimainkan kedua orang anaknya itu. Maka dia menjadi takjub bukan main, juga merasa heran bagaimana anak-anak mereka yang masih begitu muda, hanya dalam waktu tujuh tahun telah memiliki tingkat ilmu pedang sehebat itu. Tiba-tiba gulungan dua sinar pedang itu lenyap dan terdengar seruan Hong Cu.

   "Ibu, di mana kami?"

   Ayah dan Ibu itu mencari-cari, memandang ke sekeliling namun tidak melihat di mana adanya Sin Cu dan Hong Cu. Tentu saja mereka heran dan Nyonya Liang berseru,

   "Hong Cu, di mana engkau?"

   Suara tawa Hong Cu menjawab dan suami-isteri itu memandang ke atas dan... kiranya dua orang anak mereka itu "menempel"

   Di langit-langit ruangan itu! Benar-benar menempel, karena punggung mereka menempel seperti melekat di langit-langit dan keduanya tersenyum.

   "Ih, anak-anak nakal! Turunlah!"

   Kata Nyonya Liang dan Kakak-beradik itu segera melayang turun. Kini hati Ayah-Ibu itu mulai tenang. Mereka sudah menyaksikan bahwa ilmu pedang dua orang anak mereka memang hebat sekali.

   "Sin Cu dan Hong Cu, kalau kalian hendak membinasakan Chin Kui, hal itu memang sudah sepatutnya karena selain dia yang mendalangi kematian Kakekmu, juga Chin Kui sudah terlalu banyak dosanya. Dia telah menyingkirkan dan membunuh banyak patriot yang setia kepada Kerajaan Sung. Bahkan seluruh rakyat tidak mungkin melupakan apa yang telah dia lakukan kepada Patriot Besar Jenderal Gak Hui yang terpaksa membunuh diri karena difitnah dan dijatuhi hukuman mati oleh Sri Baginda Kaisar. Akan tetapi anak-anakku, kalian harus ingat bahwa Sri Baginda Kaisar Sung Kao Cu adalah masih Paman Tuaku, Paman Kakek kalian. Maka tidak baik kalau kalian mengganggu apalagi mencelakai dia."

   "Kami mengerti, Ayah. Kami hanya akan menyadarkannya akan kejahatan Chin Kui yang Beliau percaya mati-matian, dan bagaimanapun juga, kita harus mengakui bahwa Beliau bukanlah seorang Kaisar yang baik. Alangkah akan baiknya bagi Bangsa dan Negara kita kalau Paman Kakek Kaisar yang sudah terlalu tua itu diganti oleh Kaisar yang lebih muda dan kuat, lebih bijaksana dan memperhatikan nasib rakyat, bukan hanya mencari kesenangan diri pribadi dan mengumpulkan harta sebanyaknya untuk anak isterinya sendiri. Akan tetapi menurut Ayah, siapakah kiranya sekarang ini ada calon Kaisar baru yang memenuhi syarat, adil, bijaksana dan tidak gila kuasa dan harta?"

   Liang Sun mengerutkan alisnya.

   "Memang tidak mudah mencari calon Kaisar yang adil dan bijaksana. Akan tetapi menurut hampir semua keluarga Istana dan juga para pejabat yang setia kepada Kerajaan Sung, hanya ada seorang saja Pangeran yang agaknya merupakan orang yang paling tepat pada waktu ini kalau menggantikan kedudukan Kaisar Sung Kao Cu yang sudah tua."

   "Siapakah dia, Ayah?"

   Tanya Hong Cu ingin tahu.

   "Kalian masih ingat paman kalian Liang Jin? Dialah orang itu,"

   Kata Liang Sun. Sin Cu dan Hong Cu memandang Ayah mereka dengan wajah berseri.

   "Ah, Paman Liang Jin? Tentu saja aku masih ingat. Dia ahli sastra yang pandai dan orangnya ramah. Dia memang orang baik!"

   Kata Hong Cu, ingat kepada seorang di antara keponakan Kaisar itu.

   "Benar, dia memang cukup baik dan usianya sekarang juga sudah hampir empat puluh tahun, sudah cukup masak dan dapat diandalkan. Hanya sayang..."

   Liang Sun menghela napas panjang.

   "Kenapa, Ayah? Mengapa Ayah kelihatan bersedih?"

   Tanya Sin Cu. Kembali Liang Sun menghela napas panjang.

   "Aih, lagi-lagi jahanam Chin Kui yang menimbulkan masalah. Dia tahu benar bahwa para keluarga Istana dan juga para pejabat tinggi yang setia kepada Kerajaan condong memilih Pangeran Liang Jin. Akan tetapi semua orang tahu bahwa dia mempunyai seorang calon lain yang kelak pasti akan dia paksakan untuk menjadi pengganti Kaisar."

   "Hemm, siapakah orang yang dipilihnya itu, Ayah?"

   "Dia adalah Ciang Lun, Pangeran Ciang Lun,"

   Jawab Liang Sun.

   "Pangeran Ciang Lun? Ah, bagaimana mungkin? Dia itu bukan darah keluarga Kerajaan! Dia hanyalah seorang anak angkat, diangkat anak oleh keponakan permaisuri, berasal dari rakyat biasa!"

   Kata Liang Sin Cu penasaran.

   "Begitulah kenyataannya. Akan tetapi, dia itu menjadi antek Chin Kui dan oleh Perdana Menteri Chin Kui bahkan telah diangkat menjadi seorang pejabat tinggi di bagian Bendahara atau Menteri Keuangan Kerajaan Sung."

   "Hayaaa...!"

   Sin Cu menghela napas panjang.

   "Kalau begitu, tidak urung pengganti Kakek Kaisar nanti juga hanya akan menjadi Kaisar Boneka dan yang berkuasa tetap Si Jahanam Chin Kui!'

   "Sudah pasti akan terjadi seperti itu,"

   Kata Liang Sun.

   "Kalau begitu, Koko, kita harus segera bertindak untuk menyelamatkan Kerajaan Sung!"

   Kata Hong Cu galak.

   "Benar, malam ini kita harus dapat menghadap Kakek Kaisar!"

   Kata Sin Cu. Malam itu udara gelap. Bulan memang belum tiba gilirannya muncul di malam itu. Hawanya dingin sekali, demikian dinginnya sehingga di dalam rumah sekalipun orang harus mengenakan baju yang tebal.

   Kecuali tentu saja mereka yang kaya karena di rumah hartawan tersedia perapian yang membakar kayu sehingga terdapat kehangatan api yang bernyala. Di Istana juga malam itu sunyi. Biarpun malam belum larut benar, Sri Baginda Kaisar Sung Kao Cu sejak tadi sudah rebah di tempat tidur. Kaisar itu telah berusia enam puluh lima tahun, akan tetapi dia tampak jauh lebih tua daripada usianya, tampak loyo, kurus dan pucat. Hal ini adalah karena Kaisar ini setiap harinya hanya menuruti dorongan nafsu-nafsunya untuk bersenang-senang. Makan makanan yang serba mahal dan lezat, berpesiar, mendengarkan dan melihat para penari muda dan cantik bernyanyi dan menari, mengumbar dan memuaskan nafsu berahinya tanpa mengenal batas, pendeknya tiada hari tanpa menuruti nafsunya untuk bersenang-senang,

   Tak pernah mempergunakan pikirannya untuk memikirkan atau bekerja, apalagi mempergunakan tenaganya untuk berolah raga, tak pernah mempedulikan usaha untuk menyehatkan badan maupun batinnya, menjadi hamba clari nafsu-nafsunya sendiri. Dua orang selir muda yang sejak dia mulai merebahkan diri di atas pembaringan tadi memijati tubuhnya kini telah pergi meninggalkannya karena Kaisar telah tidur pulas. Lampu di atas meja dikecilkan oleh dua orang selir muda sebelum mereka meninggalkan kamar itu. Kaisar memang tidak suka ditemani tidur seorang selir kecuali kalau dia yang memilih dan memerintahkan seorang atau lebih meladeninya. Agaknya malam itu dia kelelahan dan ingin tidur seorang diri tanpa diganggu. Tiga orang perwira pengawal secara bergiliran melakukan penjagaan di luar pintu kamar tidur itu.

   Mereka bukan perwira sembarangan, melainkan perwira yang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh karena mereka, seperti juga seluruh pasukan pengawal istana dan pengawal pribadi Kaisar, adalah anak buah Perdana Menteri Chin Kui. Bagaikan dua sosok bayangan yang hanya tampak berkelebat tanpa dapat terlihat jelas, Liang Sin Cu dan Liang Hong Cu sudah tiba dekat kamar Kaisar. Mereka tentu saja sudah mendapat gambaran jelas tentang letak kamar-kamar di Istana maka dengan mudah mereka dapat menemukan kamar tidur Kaisar. Dengan ginkang mereka yang sudah mencapai tingkat tinggi, dengan mudah Kakak-beradik ini melewati tembok Istana dan masuk ke dalam. Melihat ada tiga orang perwira yang duduk di atas bangku depan kamar tidur, mereka berdua bersikap hati-hati.

   "Koko, mari kita robohkan mereka..."

   Bisik Hong Cu.

   "Ssst, lupakah kau? Ayah memberi tahu bahwa setiap tiga jam, tiga orang pengawal itu digantikan orang lain. Kalau kita robohkan mereka sekarang lalu tak lama kemudian datang penggantinya, tentu akan ketahuan. Sebaiknya tunggu sampai pengganti yang baru datang sehingga kita mempunyai waktu selama tiga jam."

   Hong Cu mengangguk setuju. Kebetulan sekali, belum setengah jam mereka menanti, datang tiga orang pengganti yang bergiliran menjaga. Mereka terdiri dari tiga orang perwira lain yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan tampak kuat.

   Setelah saling memberi salam, tiga orang pengawal yang digantikan lalu berbaris pergi, dan tiga petugas baru duduk di atas bangku dengan santai. Mereka memang selalu bersikap santai karena siapa sih yang akan berani mengganggu Kaisar? Baru memasuki Istana saja sudah merupakan hal yang tidak mungkin, apalagi melewati pasukan pengawal dan tiba di tempat itu. Penjahat yang berani memasuki istana sama dengan membunuh diri karena di situ terdapat sedikitnya seratus orang perajurit pengawal yang tersebar di mana-mana! Setelah tiga orang perwira yang digantikan pergi jauh, Sin Cu dan Hong Cu membuat perhitungan lalu memutuskan bahwa Sin Cu dan adiknya akan memancing agar tiga orang penjaga itu menaruh curiga dan berpencar memeriksa keadaan.

   Hal ini perlu karena kalau mereka menyerang di tempat itu, dikhawatirkan ada seorang di antara mereka yang sempat berteriak. Tak lama kemudian, tiga orang penjaga itu terkejut dan heran mendengar jejak langkah kaki yang cukup berat terdengar di sebelah kanan dan kiri kamar. Dua orang dari mereka lalu bangkit dan memberi tahu orang ke tiga agar tetap berjaga di situ dengan waspada karena mereka herdua akan menyelidiki suara apa yang terdengar oleh mereka itu. Pengawal ke tiga bangkit berdiri dan berjaga dengan waspada, bahkan tangan kanannya sudah menempel di gagang pedang, siap mencabutnya kalau terjadi sesuatu yang mencurigakan. Dua orang perwira pengawal lainnya lalu berpencar, seorang ke kiri dan seorang lagi ke kanan.

   Mereka hendak memutari kamar Kaisar untuk melakukan pemeriksaan dengan teliti, akan tetapi begitu mereka membelok dan berada di kanan kiri kamar, tidak tampak oleh penjaga ke tiga, tiba-tiba saja mereka terkulai lemas, tak mampu bergerak dan tidak mampu bersuara karena mereka telah tertotok pingsan! Tubuh mereka tidak sampai roboh karena diterima tangan Hong Cu dan Sin Cu yang segera merebahkan mereka tanpa mengeluarkan suara. Setelah merobohkan dua orang itu, hal yang tidak sukar bagi mereka karena tingkat kepandaian dua orang perwira itu jauh selisihnya dengan tingkat mereka, Sin Cu dan Hong Cu segera menghampiri penjaga ke tiga. Sang penjaga melihat dua bayangan mendatangi dari kanan kiri, mengira bahwa mereka itu kawan-kawannya. Akan tetapi sebelum dia mengeluarkan suara bertanya, Sin Cu sudah bergerak dan penjaga ini pun terkulai roboh dan pingsan!

   (Lanjut ke Jilid 26)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 26

   Setelah membuat tiga orang penjaga itu pingsan, Sin Cu dan Hong Cu membuka pintu kamar Kaisar yang memang tidak pernah terkunci dari dalam. Sin Cu lalu menghampiri meja dan agak membesarkan nyala lampu sehingga keadaan di dalam kamar itu menjadi cukup terang. Setelah itu, dia menyingkap dan membuka kelambu tempat tidur, mengaitkan kedua ujungnya sehingga tempat tidur itu terbuka dan Kaisar yang sedang tidur mendengkur itu tampak jelas. Bagaimanapun juga, hati Sin Cu yang lembut merasa iba kepada Kaisar yang masih terhitung paman Kakeknya sendiri. Agar Kaisar itu tidak kaget, Sin Cu memijat perlahan Ibu jari kaki Kaisar itu sambil memanggil Iirih namun dengan pengerahan khikang sehingga suaranya dapat terdengar dekat telinga Kaisar itu.

   "Sri Baginda, silakan bangun, Sri Baginda!"

   Karena pijatan tangan Sin Cu itu memang menekan urat sehingga menyadarkan, dan suaranya juga terdengar jelas, maka Kaisar Sung Kao Cu seketika terbangun. Begitu dia membuka mata dan meIihat seorang pemuda dan seorang gadis cantik berdiri tak jauh dari pembaringannya, dia merasa heran akan tetapi mata keranjangnya melekat pada wajah Hong Cu yang jelita sehingga gadis itu merasa rikuh sekali. Sepasang mata itu seolah membelai wajah dan tubuhnya.

   "Sri Baginda, mohon ampun kalau hamba berdua mengganggu istirahat. Paduka!"

   Sin Cu berlutut, di ikuti oleh Hong Cu. Kini Kaisar Sung Kao Cu bangkit duduk di tepi pembaringan, kedua kakinya tergantung ke bawah, mengamati dua orang itu.

   "Siapakah kalian? Dan bagaimana kalian dapat berada di kamarku? Apa yang kalian lakukan?"

   Tanyanya, masih heran dan bingung.

   "Sri Baginda, hamba berdua adalah Liang Sin Cu dan Liang Hong Cu, masih cucu paduka sendiri. Hamba berdua bukan penjahat dan tidak berniat jahat, hanya mohon dapat menghadap dan bicara dengan Paduka."

   "Hemm, cucu-cucu kami? Kami tidak mengenal nama-nama itu. Siapa sesungguhnya kalian berdua?"

   "Sri Baginda mungkin tidak mengenal nama hamba berdua,"

   Kini Hong Cu berkata.

   "Akan tetapi hamba yakin Paduka masih ingat akan nama Kakek hamba, yaitu mendiang Pangeran Liang Tek Ong."

   "Aihh..., tentu saja kami ingat Adinda Pangeran Liang Tek Ong. Sayang... dia terbunuh penjahat..."

   "Bukan terbunuh penjahat, Sri Baginda, melainkan terbunuh oleh Panglima Gu Mo Ki, atas perintah Perdana Menteri Chin Kul!"

   Kata Sin Cu dengan tegas.

   "Ah, tidak mungkin Chin Kui berbuat sekejam itu!"

   Kaisar yang amat percaya kepada perdana menterinya membantah.

   "Hemm, Sri Baginda telah dipengaruhi dan dikuasai, tentu percaya sepenuhnya kepada jahanam itu. Tahukah Paduka bahwa tujuh tahun yang lalu hamba berdua nyaris dibunuh Gu Mo Ki juga atas perintah Jahanam Chin Kui? Untung ada orang sakti menolong hamba berdua dan jahanam Gu Mo Ki itu bersama semua perajuritnya di perahu dibunuh!"

   Kaisar tampak terkejut.

   Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ah, jadi pembunuhan besar-besaran itu dilakukan oleh orang-orang yang kalian kenal?"

   "Bukan hanya kenal. Mereka menjadi Guru-Guru hamba. Sri Baginda, kalau hamba sekarang datang menghadap, hamba berdua mohon kebijaksanaan Paduka agar menyadari keadaan. Chin Kui itu pengkhianat Bangsa, dialah yang mencelakakan dan membuat Kerajaan Sung menjadi lemah. Karena itu, hamba berdua mohon Paduka memerintahkan agar dia ditangkap dan dihukum berat!"

   Kata Sin Cu.

   "Tidak, tidak mungkin! Dia pembantuku yang paling baik. Kalau tidak ada dia, bisa kacau semua dan aku tidak sanggup membereskan semua urusan!"

   "Sri Baginda, dia jahat dan patut dihukum mati. Pula, semua pejabat setia mengharapkan agar Paduka mengangkat Pangeran Liang Jin menjadi calon Kaisar yang kelak menggantikan Paduka."

   "Keponakanku Liang Jin? Tidak, menurut Chin Kui, yang paling tepat menjadi calon penggantiku adalah Pangeran Ciang Lun!"

   "Akan tetapi dia tidak berdarah keluarga Kerajaan, Sri Baginda!"

   "Ya, akan tetapi Chin Kui...."

   "Sri Baginda!"

   Kini Hong Cu berkata agak ketus.

   "Kenapa selalu Chin Kui yang mengambil keputusan? Dia bukan Kaisar, dia itu hanya pejabat, pegawai, atau pembantu Paduka. Dia harus mentaati perintah Paduka, bukan Paduka yang harus selalu taat kepadanya!"

   "Tapi... tapi...."

   Kaisar yang lemah itu berkata dengan suara gemetar seperti orang ketakutan.

   "Kalau Paduka tidak memenuhi permohonan hamba berdua dan tetap tunduk kepada Jahanam Chin Kui, malam ini juga hamba berdua akan membunuh dia! Dia itu pengkhianat dan penjual Bangsa, dia sudah layak mampus puluhan tahun yang lalu!"

   Kata Sin Cu yang juga sudah habis kesabarannya.

   Mendengar ini, Kaisar bangkit dan membuat gerakan untuk berteriak, akan tetapi sekali menggerakkan tangannya Sin Cu telah menotoknya sehingga Kaisar rebah kembali dalam keadaan pingsan! Dengan cepat Kakak-beradik itu lalu keluar dari Istana dan berkat ginkang mereka yang hebat, dibantu malam itu yang gelap dan udara dingin yang membuat semua orang lebih suka tidur atau kalau menjaga pun melenggut penuh kantuk, dengan mudah mereka keluar dari Istana. Tengah malam telah tiba dan Kakak-beradik itu langsung saja menuju ke gedung tempat tinggal Perdana Menteri Chin Kui. Gedung ini juga amat mewah, tak banyak selisihnya dalam hal kemewahannya dengan istana Kaisar. Dari keadaan ini saja sudah dapat diduga dengan mudah bahwa pembesar ini memang seorang pejabat korup dan banyak mencuri uang Negara dan Bangsa demi kepentingan diri dan keluarganya sendiri.

   Dan ternyata oleh Kakak-beradik itu bahwa pasukan pengawal yang melakukan penjagaan keamanan di gedung Perdana Menteri bahkan jauh lebih ketat dan kuat dibandingkan pasukan pengawal di Istana Kaisar! Hal ini juga dapat dimengerti karena Perdana Menteri Chin Kui mengerti betul bahwa dirinya dibenci banyak orang, terutama sekali para patriot yang setia kepada Kerajaan Sung dan para tokoh di dunia persilatan. Ketika Sin Cu dan Hong Cu bagaikan dua ekor burung rajawali melayang ke atas pagar tembok lalu ke atas atap dan menuju ke bangunan induk, mereka berdua terkejut bukan main mendengar suara ribut dan gaduh bertemunya banyak senjata tajam dibarengi teriakan-teriakan. Jelas di sebelah dalam sedang terjadi pertempuran antara banyak orang!

   Maka, Sin Cu dan Hong Cu cepat berkelebat turun dan memasuki istana Perdana Menteri Chin Kui. Benar saja, di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara banyak perwira dan perajurit pengawal melawan sekitar dua puluh orang yang berpakaian ringkas. Dari pakaian dan keadaan mereka, ada yang berpakaian seperti pendekar silat, ada yang berpakaian seperti Pendeta To, ada pula yang berpakaian seperti Hwesio (Pendeta Buddha), dan melihat pula betapa mereka masing-masing amat lihai, dikeroyok banyak sekali perajurit, mudah diketahui bahwa mereka tentulah segolongan tokoh kang-ouw (dunia persilatan) yang agaknya menyerbu dan menyerang Istana Perdana Menteri Chin Kui. Hong Cu sudah merasa gembira dan ia ingin segera terjun membantu para pendekar, akan tetapi Sin Cu menggelengkan kepala mencegahnya.

   "Kita datang untuk membinasakan Chin Kui, bukan untuk bertempur dengan pasukan pengawalnya. Yang terpenting, mari kita cari di mama adanya jahanam itu."

   Mendengar ini, baru Hong Cu teringat akan tugasnya. la mengangguk dan mereka lalu berkelebat ke sebelah dalam, meninggalkan mereka yang sedang bertempur dan mulai mencari ke bagian dalam.

   Ternyata di bagian dalam juga terjadi pertempuran dan Kakak-beradik itu kagum karena mereka mendapat kenyataan bahwa yang bertempur di bagian dalam hanya beberapa orang pendekar tua yang dikeroyok banyak sekali perajurit namun gerakan mereka amat hebat sehingga di bagian dalam Istana itu terjadi banjir darah dan mayat berserakan di mana-mana, yaitu mayat para perajurit dan perwira! Sin Cu dan Hong Cu terus mencari ke sebelah yang lebih dalam lagi. Akhirnya, di sebuah ruangan yang luas, mereka melihat Perdana Menteri Chin Kui berdiri dengan mata terbelalak, muka pucat dan tubuh menggigil. Perdana Menteri yang sudah tua dan bertubuh genclut itu dikurung dan dilindungi lima orang perwira yang memegang golok dan mereka ini memiliki gerakan yang amat cepat dan kuat.

   

Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini