Antara Dendam Dan Asmara 27
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 27
Golok mereka membuat Ta-To-Tin (Barisan Golok Besar) segi lima yang melindungi sang pembesar, menghadapi serangan dua orang Kakek yang memainkan pedang. Akan tetapi dua orang Kakek itu agaknya tidak mampu menembus barisan golok besar yang amat kokoh itu sehingga Chin Kui masih terlindung dan sama sekali tidak terancam bahaya. Agaknya ruangan itu merupakan ruangan rahasia di mana Chin Kui bersembunyi dan lima orang jagoan itu adalah pengawal pribadinya yang dia andalkan. Agaknya mereka itu dapat ditemukan dua orang Kakek pendekar yang kini berusaha membunuh Chin Kui namun terhalang oleh lima orang pengawal itu. Buktinya di situ tidak terdapat pengawal lain, juga tidak terdapat penyerbu lain kecuali dua orang Kakek itu. Sin Cu dan Hong Cu tahu apa yang harus mereka lakukan.
Hanya dengan saling pandang Kakak-beradik ini tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka mencabut pedang dan bagaikan dua ekor burung rajawali mereka melayang dan menerjang ke arah lima orang pengawal itu. Serangan mereka sedemikian hebatnya, sehingga bagaikan dua sinar halilintar menyambar dan lima orang perwira pengawal itu terkejut bukan main. Mereka maklum bahwa ada dua orang yang amat lihai ilmu pedangnya menyerang mereka. Dengan cepat mereka lalu memasang barisan golok besar untuk melawan dan melindungi majikan mereka. Akan tetapi gerakan dua gulungan sinar pedang itu demikian cepat dan kuatnya sehingga To-Tin (barisan golok) lima orang itu menjadi kacau dan terpecah. Sin Cu dan Hong Cu menyerang terus dan belum sampai dua puluh jurus lima orang perwira itu telah roboh terkena pedang mereka.
Kakak-beradik itu lalu cepat mencari Perdana Menteri Chin Kui, akan tetapi mereka melihat pembesar lalim itu telah roboh terkulai di sudut ruangan dengan leher terbabat putus! Sin Cu dan Hong Cu tidak tahu siapa yang telah berhasil membunuh pembesar itu karena dua orang Kakek pendekar tadipun tidak tampak lagi di situ. Mungkin mereka yang membunuh Chin Kui atau ada lain pendekar lagi karena saat itu memang banyak pendekar yang menyerbu Istana Chin Kui. Mereka tidak ingin tahu siapa yang membunuh. Yang penting, musuh rakyat itu telah tewas. Kakak-beradik ini segera berkelebat keluar dari situ dan ternyata pertempuran juga sudah terhenti dan para pendekar sudah meninggalkan Istana itu. Agaknya tujuan mereka juga hanya untuk membunuh Chin Kui maka setelah pembesar itu tewas, mereka juga meninggalkan Istana itu.
Sedikitnya ada lima orang pendekar yang tewas dalam pertempuran itu, akan tetapi selain Chin Kui, ada puluhan perwira dan perajurit pengawal anak buah Perdana Menteri itu yang juga tewas. Ketika akhirnya Sin Cu dan Hong Cu memasuki rumah orang-tua mereka, ternyata Liang Sun dan isterinya masih belum tidur. Suami isteri ini duduk termenung dengan wajah pucat dan hati penuh kekhawatiran menanti pulangnya kedua orang anak mereka. Begitu Sin Cu dan Hong Cu muncul dalam keadaan selamat, Nyonya Liang segera bergantian merangkul mereka sambil menangis saking lega hatinya. Dengan suara lirih Sin Cu dan Hong Cu lalu menceritakan pengalaman mereka menghadap Kaisar dalam kamar tidurnya, lalu menceritakan tentang penyerbuan mereka ke Istana Perdana Menteri Chin Kui di mana ternyata banyak pendekar juga sedang menyerang sehingga akhirnya perdana menteri itu tewas.
"Akan tetapi bukan kalian yang membunuhnya?"
Tanya Nyonya Liang.
"Bukan, Ibu. Koko dan aku hanya menyerang lima orang pengawalnya yang cukup tangguh dan setelah kami dapat merobohkan mereka, tahu-tahu Perdana Menteri Chin Kui kami lihat sudah roboh dan tewas. Kami juga tidak tahu siapa yang membunuhnya, akan tetapi tidak salah lagi tentu seorang di antara para pendekar yang menyerbu itu,"
Kata Hong Cu.
"Begitulah,"
Kata Liang Sun.
"Orang jahat akhirnya pasti menerima hukumannya juga."
Tentu saja peristiwa penyerbuan di rumah Perdana Menteri Chin Kui dengan pembunuhan besar-besaran sehingga Chin Kui sendiri juga menjadi korban di samping puluhan anak buahnya itu menggegerkan Kotaraja.
Akan tetapi diam-diam banyak penduduk dan para pejabat yang setia kepada Kerajaan merayakan peristiwa hu dengan gembira. Sebaliknya para pengikut dan anak buah Chin Kui menjadi ketakutan karena merasa betapa mereka kehilangan pelindung dan bukan tidak mungkin akan datang giliran mereka mengalami nasib seperti Chin Kui! Yang paling terkejut dan terpukul hatinya adalah Kaisar Sung Kao Cu. Mendengar akan pembunuhan besar-besaran yang mengorbankan nyawa Chin Kui yang dipercayanya itu, seketika dia jatuh sakit! Kemudian, untuk menghormati pembantu utama yang amat dipercayanya Kaisar Sung Kao Cu memerintahkan agar dilakukan upacara pemakaman besar-besaran dengan membangun makam yang besar dan amat indah seperti makam para Kaisar.
Selain itu, juga Kaisar memerintahkan agar semua pejabat juga rakyat melakukan perkabungan sampai tiga bulan lamanya! Biarpun tidak ada yang berani membantah atau menentang perintah Kaisar, namun banyak orang mencibir mendengar perintah ini dan sebaliknya dari perkabungan yang hanya dilakukan di bagian luar saja, di dalam rumah diam-diam mereka merayakan kematian Chin Kui. Memang benar apa yang dikatakan orang-orang bijaksana jaman dahulu bahwa nama dan kehormatan seseorang itu jauh lebih penting daripada harta dunia atau kedudukan tinggi. Harta dan kedudukan akan berakhir setelah orangnya mati, akan tetapi nama akan terbawa sampai jauh setelah orangnya mati. Contohnya adalah dua tokoh dalam jaman Kerajaan Sung, yaitu Jenderal Gak Hui, patriot yang bijaksana dan setia, pembela Negara dan Bangsa.
Dan ke dua adalah Chin Kui, pembesar lalim pengkhianat penjual Bangsa dan Negara. Setelah keduanya mati, sampai ratusan tahun kemudian, rakyat masih ingat kepada mereka sehingga setiap orang yang kebetulan lewat di depan makam Jenderal Gak Hui, tentu memberi hormat dengan hati kagum. Sebaliknya mereka yang lewat di depan makam Chin Kui, selalu mencibir, memaki, bahkan banyak yang meludahi makam itu sehingga makam Chin Kui tampak kotor menjijikkan. Sebaliknya makam Gak Hui selalu ada yang membersihkannya setiap kali ada sedikit saja daun kering menutupinya. Bahkan kedua tokoh ini menjadi semacam dongeng dan lambang dari dua sifat yang berlawanan, yaitu makam Gak Hui menjadi lambang kebijaksanaan dan kepatriotan, sebaliknya makam Chin Kui menjadi lambang kelaliman dan pengkhianatan!
Sejak kematian Chin Kui, Kaisar Sung Kao Cu sakit-sakitan dan pemerintahan menjadi kacau. Banyak pejabat berlumba untuk memperebutkan kekuasaan yang ditinggalkan Chin Kui sehingga terjadi persaingan dan mereka saling mengirim pembunuh untuk saling bunuh! Dalam waktu beberapa bulan saja sudah ada puluhan pejabat tinggi yang terbunuh dalam perebutan itu! Mereka adalah para pejahat bekas antek Chin Kui yang memang kesemuanya merupakan pembesar yang berambisi untuk memperoleh kedudukan tertinggi! Manusia memang pandai menyemhunyikan niat yang sebenarnya, ditutupi oleh segala macam alasan yang tampaknya lebih gagah dan mulia. Seperti para pejabat itu, mereka menganggap bahwa mereka saling memperebutkan kedudukan tinggi dan kemuliaan, padahal yang tersembunyi di balik kedudukan dan kemuliaan itu adalah harta benda!
Manusia merasa malu dan rendah kalau mengaku berebutan harta benda, maka dibedakilah harta benda itu dengan kedudukan, kehormatan, kemuliaan dan sebagainya lagi, bahkan ada yang "dicat"
Dengan warna putih sebagai perjuangan untuk mengabdi Nusa dan Bangsa! Padahal, yang mereka perebutkan itu, pangkat tinggi atau kedudukan, bukan lain adalah merupakan sumber harta benda! Mana ada manusia mau memperebutkan kedudukan kalau di sana tidak ada harta benda yang akan mudah dia dapatkan setelah dia berkuasa? Berebut kekuasaan itu sesungguhnya berebut harta benda. Perang juga demikian. Yang menang mendapatkan harta, yang kalah kehilangan harta! Mana ada dua Bangsa berperang memperebutkan tanah tandus dan gersang? Tidak mungkin ada! Yang diperebutkan tentu tanah yang subur dan banyak hasilnya, berarti harta!
Kalau ada pemilihan pemimpin tanpa ada hartanya, orang saling berebut untuk MENOLAKNYA, sebaliknya kalau ada pemilihan pemimpin yang menjanjikan harta berlimpah, orang sating berebut kalau perlu saling bunuh! Melihat keadaan di Kotaraja, Sin Cu dan Hong Cu merasa muak dan mereka bersukur bahwa Ayah mereka tidak mau ikut mencari pangkat dan lebih suka berdagang kecil-kecilan, asalkan cukup untuk memenuhi kebuTUHAN hidup sehari-hari. Kakak-beradik ini lalu berpamit kepada Ayah-Ibunya untuk kembali kepada Guru-Guru mereka di Luliang-San karena menurut dua orang Guru itu mereka memang belum tamat belajar. Liang Sun dan isterinya, walaupun merasa berat, meluluskan karena mereka pun khawatir kalau-kalau kedua orang anaknya itu akan dipanggil Kaisar yang pernah mereka datangi pada malam hari.
Setelah kematian Perdana Menteri Chin Kui, keadaan di Kotaraja Kerajaan Sung sungguh kacau-balau tidak menentu. Kaisar Sung Kao Cu hanya tinggal di dalam kamarnya karena keadaan kesehatannya amat buruk dan lemah. Apalagi ketika dia mendengar betapa di antara para pejabat tinggi terjadi perebutan sampai saling bunuh, dia merasa semakin sedih. Pada waktu yang amat gawat itu, Pangeran Ciang Lun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Pangeran Ciang Lun adalah keponakan dari Permaisuri yang berdarah rakyat biasa, namun karena bibinya menjadi permaisuri, dia pun "diangkat"
Dan mendapat kedudukan tinggi.
Apalagi dia merupakan orang kepercayaan mendiang Perdana Menteri Chin Kui dan bahkan diangkat menjadi Menteri Keuangan. Dapat dibayangkan betapa mudahnya Pangeran Ciang Lun mengumpulkan harta benda. Orang yang berdekatan dengan air tentu selalu basah, yang berdekatan dengan uang tentu juga tidak pernah kekurangan uang! Apa sih sukarnya mendapatkan uang baginya? Semua catatan dia yang pegang, pemasukan dan pengeluaran uang melalui tangannya dan dia sudah dipercaya penuh oleh Chin Kui dan otomatis oleh Kaisar. Mudah saja baginya untuk memperkecil catatan pemasukan dan memperbesar catatan pengeluaran uang, dan selisihnya yang amat besar masuk ke dalam gudang hartanya sendiri!
Dengan modal harta benda yang amat banyak, Pangeran Ciang Lun segera beraksi. Setelah melihat para Bangsawan dan pejabat tinggi berebutan kekuasaan sampai saling bunuh, dia tahu bahwa kalau hal itu berlarut-larut, dia akan kehilangan banyak orang yang dapat menjadi pendukungnya karena mereka adalah para pendukung mendiang Chin Kui. Dia lalu mengumpulkan mereka, membagi-bagikan hadiah dan mengadakan rapat rahasia. Di dalam rapat itu diambil keputusan bahwa Pangeran Ciang Lun, ditemani belasan orang pejabat tertinggi akan mendatangi Kaisar dan membujuk agar Kaisar suka menandatangani surat pengangkatan Pangeran Ciang Lun sebagai Putera Mahkota atau calon pengganti Kaisar.
Banyak kemungkinan Kaisar tua itu akan mau menandatangani, mengingat bahwa sejak dulu Perdana Menteri Chin Kui memang memilih Pangeran Ciang Lun sebagai calon Kaisar dan Kaisar Sung Kao Cu juga telah menyetujuinya. Akan tetapi kalau ternyata Kaisar tua itu tidak mau menandatangani, mereka sudah mengambil keputusan untuk mengancam dan menggunakan kekerasan, memaksa Kaisar menandatangani dan mereka akan mengambil cap kebesaran Kaisar untuk mengesahkan surat persetujuan itu! Pada hari yang telah ditentukan, Pangeran Ciang Lun sudah membuat persiapan. Dia mengumpulkan pasukan untuk menjaga agar usahanya bersama para sekutunya tidak akan ada yang mengganggu.
Akan tetapi, Pangeran Ciang Lun terlalu memandang rendah para pejabat tinggi dan pendukung mereka, yaitu para pendekar patriot. Seorang diantara para perajurit pengawal yang melakukan penjagaan ketika persidangan rahasia itu diadakan, adalah seorang mata-mata penyelidik dari Pangeran Liang Jin. Pangeran Liang Jin yang berusia tiga puluh delapan tahun adalah keturunan langsung dari keluarga Kaisar, masih keponakan Kaisar Sung Kao Cu dan dialah yang oleh para pejabat tinggi yang setia dipilih sebagai calon Kaisar. Ketika terjadi kegemparan karena Perdana Menteri Chin Kui terbunuh, Pangeran Liang Jin bersikap waspada. Dia bukanlah seorang yang ambisius, bukan murka akan kekuasaan. Akan tetapi dia seorang yang setia kepada Kerajaan dan dia tahu benar bahwa mendiang Perdana Menteri Chin Kui menentukan pilihannya pada Pangeran Ciang Lun untuk kelak menggantikan kedudukan Kaisar.
Hal ini membuat dia khawatir sekali karena dia mengenal benar watak Pangeran Ciang Lun yang korup, lalim dan kejam. Pangeran Liang Jin segera mengadakan perundingan dengan para pejabat sepaham yang setia kepada Kerajaan Sung dan yang tidak ingin melihat Kerajaan Sung semakin rusak di bawah perintah seorang Kaisar lalim. Karena itu, semua gerak-gerik Pangeran Ciang Lun sebagai pengikut Chin Kui diawasi sehingga ketika Ciang Lun mengadakan persidangan rahasia untuk memaksa Kaisar Tua Sung Kao Cu menandatangani surat kekuasaan dan mengangkatnya menjadi calon Kaisar, seorang mata-mata telah mengetahui semuanya dan melaporkan kepada Pangeran Liang Jin. Di antara para pejabat yang setia kepada Kerajaan dan menjadi pendukung Pangeran Liang Jin termasuk pula Jaksa Li Koan, Ayah Li Sian Hwa yang kini menjadi isteri pendekar Lui Hong.
Jaksa Li memang terkenal karena kejujurannya. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai jaksa, dia bersikap keras dan tegas. Dia menuntut siapa saja yang memang bersalah, tidak peduli Bangsawan tinggi atau hartawan besar, kalau memang orang itu bersalah, dia tuntut sampai orang itu menerima hukuman yang setimpal dalam pengadilan. Dia tidak takut diancam, tidak bergeming pula kalau dipameri harta atau disogok, sehingga ketika Chin Kui masih berkuasa, dia termasuk pejabat yang dimusuhi dan dibenci oleh para koruptor clan para penjilat atasan. Oleh karena itu, ketika Pangeran Liang Sin mengadakan perundingan dengan mereka yang setia kepada negara, Jaksa Li Koan tentu saja juga hadir dan dengan sendirinya Lui Hong juga menghadiri perundingan itu karena dia dikenal sebagai seorang pendekar yang memiIiki ilmu kepandaian tinggi.
Pada waktu itu, Lui Hong memang tinggal di rumah Ayah mertuanya setelah dia menikah dengan Li Sian Hwa. Dia tidak mau menerima pemberian pangkat, melainkan hanya membantu pekerjaan Jaksa Li yang amat berat karena terkadang jaksa itu menerima ancaman dari para penjahat yang dituntutnya. Kalau terjadi hal seperti itu, maka Lui Hong yang turun tangan dan pendekar murid Thai Kek Lojin ini dengan mudah dapat menundukkan para penjahat yang mengancam Jaksa Li sehingga mereka terpaksa menerima saja hukuman yang di jatuhkan tanpa berani membangkang. Setelah Pangeran Liang Sin mengetahui rencana rahasia Pangeran Ciang Lun, bersama para pejabat tinggi dan para pendekar patriot dia mengadakan persiapan untuk menentang rencana busuk itu dan untuk melindungi Kaisar Sung Kao Cu yang sudah tua.
Tentu saja Lui Hong juga menerima tugas, bahkan sebagai seorang pendekar yang dapat di-andalkan, dia mendapat bagian tugas yang paling penting, yaitu bersama beberapa orang pendekar lain menjaga dan melindungi keselamatan Kaisar. Sebelum bersama para pendekar lainnya diselundupkan ke dalam Istana, Lui Hong berbincang-bincang dengan Li Sian Hwa, isterinya, di ruangan dalam. Tak seorang pun pelayan diperbolehkan masuk ruangan itu karena yang mereka bicarakan adalah urusan penting mengenai rahasia Istana. Seorang anak laki-laki yang bertubuh sedang, berwajah tampan dan lembut, berusia sekitar empat belas tahun, duduk pula mendengarkan suami-isteri itu bercakap-cakap. Anak itu adalah Lui Tiong Le, anak tunggal Lui Hong dan Li Sian Hwa. Anak itu memiliki wajah tampan dan lembut, namun matanya bersinar terang dan tajam tanda bahwa dia memiliki kecerdikan.
Lui Hong telah berusia sekitar tiga puluh tujuh tahun, masih tampak tampan halus dan kumis serta jenggotnya yang pendek terpelihara rapi membuat dia tampak gagah berwibawa. Bicaranya masih lembut dan ramah seperti ketika mudanya dahulu. Biarpun dia kini sudah menjadi mantu Jaksa Li dan namanya terkenal dan ditakuti para pelanggar hukum dan para penjahat, namun sikap Lui Hong masih tetap sederhana seperti biasa, sama sekali tidak membayangkan ketinggian hati. Li Sian Hwa yang kini berusia tiga puluh enam tahun, masih lembut dan jelita, juga darah Bangsawannya masih tampak pada wajahnya yang anggun dan sikapnya yang agung. Namun ia juga sederhana dan ramah, apalagi setelah menjadi isteri Lui Hong yang menjadi suami bijaksana yang membimbingnya. ia kini baru benar-benar dapat menikmati hidup sebagai isteri dan Ibu tercinta.
"Hong-Ko,"
Kata Li Sian Hwa kepada suaminya. Mereka duduk mengelilingi meja, bersama Lui Tiong Le.
"Apakah tugasmu itu tidak amat berbahaya? Kalau benar Pangeran Ciang Lun mempunyai rencana yang busuk dan jahat itu, pasti akan terjadi pertempuran hebat di Istana. Karena engkau mendapatkan tugas penting untuk meIindungi Sri Baginda Kaisar, maka bagaimanapun juga aku merasa khawatir, Hong-Ko."
"Aih, Ibu, mengapa mengkhawatirkan keselamatan Ayah? Kita harus percaya kepada Ayah. Aku yakin bahwa Ayah dan para pendekar pasti akan mampu meIindungi Sri Baginda Kaisar dan menghancurkan para pemberontak jahat!"
Kata Lui Tiong Le dengan sikap gagah dan dia memandang kepada Ayahnya dengan bangga Anak ini memang sejak berusia enam tahun sudah menerima gemblengan ilmu silat dari Ayahnya dan juga menerima pelajaran sastra dan seni dari Ibunya. Dalam usianya yang empat belas tahun, Lui Tiong Le telah menjadi seorang remaja yang tangguh dan kiranya tidak mudah mencari seorang laki-laki dewasa yang akan mampu mengalahkannya! Mendengar ucapan puteranya, walaupun di dalam hatinya Lui Hong merasa senang akan kepercayaan puteranya pada dirinya, namun dia membela isterinya dan berkata kepada puteranya dengan suara yang bersungguh-sungguh,
"Tiong Le, Ibumu benar. Ucapannya itu sama sekali bukan karena ia tidak percaya kepadaku, melainkan agar aku berhati-hati. Bukan hal yang aneh kalau Ibumu merasa khawatir karena engkau harus mengetahui bahwa Pangeran Ciang Lun didukung banyak pejabat korup yang memelihara banyak penjahat Iihai yang menjadi tukang pukul mereka. Lebih baik berhati-hati dan waspada karena sikap itu Iebih memperkuat diri kita daripada memandang rendah pihak lawan."
Mendengar ini Tiong Le mengangguk dan berkata lembut.
"Aku mengerti, Ayah. Ibu, maafkan aku."
"Anakku, engkau tidak perlu minta maaf karena memang Ibumu yang lemah,"
Kata Li Sian Hwa sambil tersenyum. Hubungan antara tiga orang keluarga ini memang akrab sekali, penuh dengan perasaan saling menghormati dan saling mencinta.
"Ayah, bagaimana kalau aku ikut membantu Ayah dalam tugas ini?"
Lui Tiong Le bertanya dan memandang Ayahnya dengan sinar mata penuh harapan. Lui Hong tersenyum dan menggelengkan kepa lanya.
"Tiong Le, kalau aku menghadapi pertempuran biasa, tentu engkau akan kuajak agar engkau dapat menambah pengalaman. Akan tetapi sekali ini aku bukan hanya menghadapi pertempuran biasa, melainkan menghadapi urusan yang amat penting untuk melindungi Sri Baginda Kaisar. Aku membutuhkan seluruh perhatianku untuk menghadapi urusan ini dan tidak mungkin perhatianku kubagi dengan memperhatikan keadaanmu. Tidak, Anakku. Biar lain kali saja aku akan mengajakmu pergi mengunjungi Kakek Gurumu di Hong-San. Mudah-mudahan saja Kakek Gurumu itu masih sehat sehingga dapat memberi petunjuk dan bimbingan kepadamu. Usianya sekarang tentu sudah lebih dari delapan puluh tahun."
Mendengar janji ini, Tiong Le merasa girang bukan main. Dia sudah sering mendengar Ayahnya bercerita tentang Kakek Gurunya yang berjuluk Thai Kek Lojin, akan tetapi belum pernah dia melihatnya. Dari cerita Ayahnya, dia mendengar bahwa Thai Kek Lojin merupakan seorang di antara tidak banyak manusia yang memiliki kesaktian tidak seperti manusia biasa dan tentu saja dia ingin sekali menerima petunjuk langsung dari Kakek Gurunya itu. Pada hari yang ditentukan, dengan bantuan Pangeran Liang Jin yang masih keponakan Kaisar sehingga dapat leluasa memasuki Istana tanpa ada yang berani melarangnya, para pendekar termasuk Lui Hong, diselundupkan ke dalam Istana berpakaian sebagai perajurit pengawal Pangeran Liang Jin.
Jumlah mereka ada dua lusin orang dan pasukan kecil ini tentu saja tidak mencolok dan tidak dianggap berbahaya oleh pasukan pengawal Istana yang sudah menjadi anak buah Pangeran Ciang Lun karena mereka itu adalah bekas anak buah mendiang Perdana Menteri Chin Kui. Pangeran Liang Jin didukung oleh banyak pejabat tinggi termasuk para panglima tua yang setia kepada Kerajaan Sung dan tidak ingin melihat Kerajaan Sung menjadi semakin lemah maka kalau urusan dalam Istana, menjaga keselamatan Kaisar Sung Kao Cu diserahkan kepada para pendekar yang berilmu tinggi, diam-diam para penglima yang setia mempersiapkan pasukan besar untuk menyerbu Istana dan melawan pasukan para pemberontak.
Pada senja hari yang telah direncanakan oleh Pangeran Ciang Lun itu, Pangeran Ciang Lun, ditemani oleh tujuh orang pejabat tinggi memasuki ruangan luas di mana Kaisar Sung Kao Cu sedang menghadapi hidangan minum teh dan makan hidangan ringan seperti yang setiap sore dia nikmati. Tentu saja dia merasa heran ketika melihat Pangeran Ciang Lun memasuki ruangan itu tanpa dipanggil, dan bahkan diikuti tujuh orang pejabat tinggi.
Memang Pangeran Liang Jin tidak memberi tahu sesuatu kepada Kaisar tua itu, apalagi mengatakan bahwa akan ada pemberontakan karena dia khawatir Pamannya yang sudah tua itu akan terkejut dan jatuh sakit. Biarpun delapan orang itu memasuki ruangan dan memberi penghormatan seperti biasa, Kaisar Sung Kao Cu tidak merasa terlalu heran karena orang-orang ini memang merupakan para pejabat yang dia percaya karena mereka adalah orang-orang yang dulu dekat dengan Perdana Menteri Chin Kui. Setelah meneguk air teh panas dari cawannya, Kaisar Sung Kao Cu baru menegur Pangeran Ciang Lun,
"Pangeran Ciang Lun, sore-sore begini engkau datang menghadap bersama para pejabat int tanpa kami panggil, ada urusan apakah yang akan kalian laporkan?"
Sambil berlutut, Pangeran Ciang Lun lalu maju dan dengan kedua tangannya dia menyodorkan gulungan kain yang biasa dipergunakan untuk membuat surat keputusan dari Kaisar sambil berkata,
"Sribaginda, hamba sekalian mohon maaf telah berani datang menghadap mengganggu waktu istirahat Paduka. Hamba hanya mohon agar Paduka suka mengesahkan dan menandatangani Surat Persetujuan ini."
Mendengar ini, Kaisar Sung Kao Cu menjulurkan tangannya untuk menerima gulungan kain bersurat itu. Tangannya gemetar karena Kaisar ini biarpun belum tua benar namun sudah loyo dan kedua tangannya selalu gemetar. Kaisar lalu menoleh ke belakang dan mengguncang sebuah alat pemanggil dari emas yang kecil akan tetapi setelah diguncang
kelenengan kecil itu mengeluarkan bunyi nyaring. Dari sebuah pintu di belakang muncul seorang Kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun, berpakaian sebagai seorang sastrawan dan dengan hormat dia menghampiri Kaisar dan membungkuk dengan sikap lembut.
"Baca ini!"
Perintah Kaisar Sung Kao Cu sambil menyerahkan gulungan kain itu tanpa membukanya. Kakek itu membuka gulungan kain lalu membaca dengan suaranya yang lembut dan jelas.
SURAT KEPUTUSAN
Dengan surat keputusan ini, kami Sribaginda Kaisar Sung Kao Cu, pada hari ini memutuskan bahwa kami mengangkat Pangeran Ciang Lun menjadi Pangeran Mahkota yang kelak berhak menggantikan kami sebagai Kaisar. Kerajaan Sung setelah kami mengundurkan diri atau wafat.
Tertanda
dan Cap KeKaisaran,
Kaisar SUNG KAO CU
Setelah membaca habis, Kakek itu menggulung lagi kain bersurat itu dan menyelipkannya di saku jubahnya yang besar, lalu berdiri di belakang Kaisar, tak bergerak dan tak bicara. Sementara itu, Kaisar Sung Kao Cu yang mendengar bunyi surat itu, mengerutkan alisnya dan memandang kepada Pangeran Ciang Lun, lalu berkata dengan nada menegur,
"Pangeran Ciang Lun, siapa yang membuat surat keputusan itu dan apa maksudnya?"
"Sribaginda, yang membuat adalah hamba dan para pejabat yang semua setia kepada Paduka. Hamba sekalian merasa iba kepada Paduka yang sering berada dalam keadaan tidak sehat, apa-lagi setelah Paman Perdana Menteri Chin Kui tidak ada, Paduka repot sendiri dan pemerintahan tidak terurus. Oleh karena dahulu Paduka dan mendiang Paman Chin Kui sudah setuju untuk mengangkat hamba menjadi Pangeran Mahkota, maka hamba pikir sekaranglah saatnya untuk mengesahkan keputusan itu agar hamba dapat mulai membantu dan mengatur lancarnya roda pemerintahan Kerajaan Sung."
Kaisar Sung Kao Cu menggelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Engkau lancang, Pangeran Ciang Lun! Sungguhpun dulu aku tidak menentang usul Perdana Menteri yang memilihmu, namun aku belum memberikan persetujuanku. Untuk menentukan seorang calon Kaisar aku harus meneliti lebih dulu apakah dia cukup memenuhi syarat dan bijaksana. Sikapmu saat ini yang lancang ini sudah tidak memenuhi syarat dan tidak bijaksana!"
Pangeran Ciang Lun yang sudah menduga akan penolakan ini dan sudah merencanakan tindak lanjutnya kalau tak berhasil membujuk, lalu memberi isarat dengan bertepuk tangan tiga kali. Segera belasan orang perajurit pengawal yang sudah siap di luar ruangan menyerbu masuk.
"Sri Baginda, apakah hamba terpaksa harus memaksa Paduka dengan kekerasan?"
Kemudian dia menoleh kepada para perajurit pengawal yang dipimpin tiga orang panglima.
"Cepat lari dan ambil cap keKaisaran!"
Dia sendiri bersama tujuh orang pejabat tinggi sudah menghampiri Kaisar Sung Kao Cu. Akan tetapi pada saat itu Kakek berpakaian seperti sasterawan yang tadi membaca surat keputusan buatan Pangeran Ciang Lun sudah menyambar tubuh Kaisar dan sekali berkelebat dia telah melarikan Kaisar Sung Kao Cu melalui pintu sebelah dalam.
"Kejar! Tangkap!!"
Pangeran Ciang Lun berteriak dengan marah. Akan tetapi pada saat itu, dua lusin pendekar yang berpakaian perajurit pengawal dengan tanda kain putih diikatkan di kepala sudah menyerbu memasuki ruangan dan menyambut pasukan pengawal anak buah Pangeran Ciang Lun. Terjadilah pertempuran hebat dalam ruangan itu. Bukan hanya di dalam ruangan persidangan Kaisar dalam Istana itu terjadi pertempuran hebat. Bahkan diluar Istana juga terjadi pertempuran lebih besar dan lebih hebat lagi. Kiranya pasukan pendukung Pangeran Ciang Lun yang memang sudah dipersiapkan mulai menyerbu Istana, akan tetapi pasukan besar yang telah dipersiapkan Pangeran Liang Jin dan para pengawal yang setia kepada Kaisar, menyambut dengan hebat.
Tentu saja Pangeran Ciang Lun terkejut sekali, sama sekali tidak mengira bahwa semua rencananya telah diketahui lawan dan pihak lawan telah merencanakan penyambutan yang demikian hebat. Dia sendiri mencabut pedang dan melawan mati-matian bersama para panglima sekutunya dan belasan orang pengawal pilihannya. Pertempuran mati-matian terjadi dalam ruangan Istana itu. Akan tetapi lawannya adalah dua lusin pendekar-pendekar lihai termasuk Lui Hong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kaisar Sung Kao Cu telah diselamatkan dan kini para pendekar mengamuk. Belasan orang pengawal pemberontak berikut tujuh orang pejabat tinggi termasuk Pangeran Ciang Lun akhirnya tidak dapat menghindarkan diri dan mereka semua tewas dalam ruangan itu. Di antara para pendekar hanya ada tiga orang yang tewas dan dua orang yang terluka.
Sementara itu, perang di luar Istana juga terjadi dengan hebatnya. Akan tetapi, datang bala bantuan dari pasukan yang masih setia kepada Kaisar sehingga setelah bertempur selama setengah hari, pasukan pemberontak dapat dikalahkan. Sebagian tewas dan banyak yang menyerah, akan tetapi ada pula yang melarikan diri ke Kerajaan Cin dan mengabdi kepada Kerajaan itu. Pemberontakan Pangeran Ciang Lun itu gagal sama sekali. Para pengikutnya, yang dulu merupakan pendukung anak buah Perdana Menteri Chin Kui, banyak yang melarikan diri dan selebihnya ditangkap dan dijatuhi hukuman. Ketenangan Kotaraja mulai pulih, akan tetapi peristiwa itu membuat Kaisar yang sudah tua menjadi semakin sakit-sakitan. Atas persetujuan Kaisar yang mendengarkan nasihat para pejabat tinggi yang setia, akhirnya Kaisar mengangkat Pangeran Lian Jin menjadi calon Kaisar.
Pangeran ini mulai memegang kemudi pemerintahan dibantu para pejabat tinggi dan pemerintah Kerajaan Sung mulai normal kembali. Akan tetapi, Pangeran Liang Jin, juga Kaisar Sung Kao Cu, dan para pejabat yang setia, merasa gelisah karena setelah mereka semua mencari, ternyata bahwa cap tanda kekuasaan Kaisar telah lenyap! Tidak mungkin para pemberontak yang mencurinya karena ketika Pangeran Ciang Lun dan sekutunya menyerbu dan mencari cap itu mereka juga tidak menemukannya dan akhirnya mereka semua terbunuh. Atas persetujuan Kaisar Sung Kao Cu, Pangeran Liang Jin lalu memberi pengumuman, terutama kepada para pendekar bahwa siapa yang menemukan dan mengembalikan cap tanda kekuasaan Kaisar itu, selain akan menerima hadiah harta benda besar, juga akan menerima kedudukan tinggi di Kerajaan.
Sementara itu, Lui Hong memenuhi janjinya kepada puteranya. Dia mengajak Lui Tiong Le ke Pegunungan Hong-San. Mereka mengunjungi Thai Kek Lojin, Kakek sakti bekas panglima yang menjadi Guru Lui Hong itu. Kepada Gurunya, Lui Hong mohon agar Kakek itu suka menggembleng cucu muridnya, yaitu Lui Tiong Le. Melihat bahwa pemuda remaja itu memiliki bakat yang baik, juga watak yang bersih, maka Thai Kek Lojin yang usianya sudah hampir sembilan puluh tahun itu menerimanya karena sebelum meninggalkan dunia ini dia ingin meninggalkan semua ilmu yang pernah dia pelajari kepada murid yang baik. Lui Hong memberi banyak pesan dan nasihat kepada puteranya lalu meninggalkan Lui Tiong Le di Hong-San.
Baduchin yang mengangkat dirinya sendiri menjadi Pangeran kini setelah kembali ke daerah Gurun Gobi, menguasai suku Bangsanya, yaitu suku Taijut, yang sesungguhnya bukan merupakan Bangsa Mongol, bahkan sejak dulu bermusuhan dengan Bangsa Mongol. Baduchin tadinya menjadi seorang panglima dari suku Mongol bahkan diberi kuasa untuk mengadakan hubungan dengan Kerajaan Sung dan Kerajaan Cin. Dia tinggal di Hang-Chouw sampai beberapa Iamanya. Akan tetapi setelah Baduchin bentrok dengan Pangeran Leng Sui dari Kerajaan Cin, dia terpaksa menurut bujukan Siangkoan Ceng untuk meninggalkan Hang-Chouw dan kembali ke Mongol.
Sekembalinya di Mongol, dia mendapat marah Kepala Suku dan Baduchin lalu meninggalkan Mongol dan dia bahkan berhasil menjadi kepala dari suku Taijut, mengangkat diri sendiri menjadi Pangeran atau Raja Kecil. Pada suatu pagi, Baduchin yang kini berusia hampir lima puluh tahun itu menyambut datangnya seorang sahabat dan pembantunya yang setia, yang telah membantu dia menguasai suku Taijut, yaitu Ulan Bouw. Baduchin masih tampak gagah, tinggi besar dengan muka persegi empat dan kemerahan. Adapun Ulan Bouw yang baru datang, berusia sekitar enam puluh tahun, juga tinggi besar berkepala gundul berjubah merah. Dia berasal dan sebuah suku Bangsa liar di Hu-He-Hot, Mongolia. Dia baru saja datang dari selatan sebagai orang kepercayaan Baduchin untuk menyelidiki keadaan di daerah Cin dan Sung.
Banyak hal yang amat menarik hati Baduchin dari laporan Ulan Bouw itu. Terutama sekali gagalnya pemberontakan Pangeran Ciang Lun menyusul mati terbunuhnya Perdana Menteri Chin Kui. Akan tetapi yang membuat dia terkejut dan marah besar adalah ketika mendengar akan kematian Pek-Bin Giam-Lo, Datuk besar peranakan Turki yang dulu pernah membantu Kerajaan Cin. Apalagi ketika Ulan Bouw yang berhasil menyelidiki melaporkan bahwa yang membuat Pek-Bin Giam-Lo terbunuh adalah seorang anak perempuan, yaitu puteri dari Pendekar Song Han Bun dan Pendekar Wanita Can Pek Giok. Dan semakin penasaran rasa hatinya mendengar kini Kerajaan Sung mulai bangkit di bawah pimpinan Pangeran Liang Jin yang didukung para pendekar!
"Hemm, sungguh tidak menyenangkan mendengar Sung menjadi kuat kembali. Kita harus mengatur siasat agar Sung dan Cin dapat saling bermusuhan kembali agar mereka berdua menjadi lemah sementara kita menyusun kekuatan. Yang menggemaskan adalah para pendekar yang mendukung Sung dan memusuhi Perdana Menteri Chin Kui sehingga dia tewas. Terutama sekali suami-isteri Song Han Bun dan isterinya Can Pek Giok. Aku sungguh benci mereka, apalagi mendengar bahwa anak mereka telah membunuh Pek-Bin Giam-Lo!"
"Akan tetapi bukankah Pek-Bin Giam-Lo itu Guru dan pembantu Leng Sui Pangeran Kerajaan Cin? Apa urusan kita dengan dia?"
Tanya Ulan Bouw.
"Benar, akan tetapi sejak dulu Pek-Bin Giam-Lo adalah sahabatku dan diam-diam dia pun bersikap baik kepada Bangsa kita. Pendeknya, kalau aku belum menumpas suami-isteri itu beserta puteri mereka, hatiku belum puas. Dan kematian mereka berarti juga melemahkan pendukung Kerajaan Sung!"
Kata Baduchin marah.
"Akan tetapi siapa di antara kita mampu menandingi mereka?"
Ulan Bouw membantah, karena dia memang merasa jerih terhadap suami-isteri itu.
"Siapa lagi kalau bukan Gobi Lo-Mo (Setan Tua Gurun Gobi)? Bukankah dia pula yang dengan mudah sudah mendapatkan cap kebesaran Kaisar Sung untukku?"
Kata Baduchin bangga, kemudian dia memerintahkan kepada Ulan Bouw.
"Ulan Bouw, cepat kau kunjungi tempat dia bertapa dan minta dia datang ke sini!"
Akan tetapi sebelum Ulan Bouw bangkit, dari luar tenda besar itu terdengar suara tawa.
"He-he-heh, Pangeran Baduchin sungguh terlampau tinggi jangkauannya! Apalagi yang harus dilakukan seorang tua seperti aku ini?"
Dan tiba-tiba muncul seorang Kakek kurus kering bertubuh tinggi, usianya tentu sudah lebih dari delapan puluh tahun dan dia segera duduk di atas lantai yang beralaskan permadani itu, menghadapi Baduchin dan Ulan Bouw. Ulan Bouw segera memberi hormat.
"Salam hormat saya kepada Yang Mulia Guru Besar Gobi Lo-Mo!"
Akan tetapi Kakek tua renta tinggi kurus itu hanya mengangguk kepada Ulan Bouw, lalu menghadapi Baduchin.
"Pangeran Baduchin, aku sudah mendengar tadi bahwa engkau ingin minta bantuanku akan sesuatu hal. Katakan, tugas yang bagaimana lagi itu? Bukankah cap tanda kekuasaan Kaisar Sung sudah kuserahkan kepadamu?"
"Paman Gobi Lo-Mo, aku menghadapi penasaran yang menyakitkan hati namun aku tidak berdaya karena musuh itu terlalu kuat bagiku. Satu-satunya harapanku untuk dapat membalas sakit hatiku hanya Paman, karena seperti Paman ketahui, Ayahku sudah meninggal. Siapa lagi yang kumintai bantuan selain Paman Gobi Lo-Mo.?"
Si Kakek tua renta kurus kering itu cemberut.
"Hemm, Pangeran Baduchin, engkau selalu menyebut-nyebut Ayahmu yang telah meninggal. Aku tahu engkau ingin mengingatkan aku bahwa dulu aku pernah berhutang nyawa kepada Ayahmu. Untuk membalas budinya, aku telah mencuri cap kebesaran Kaisar Sung untukmu, sekarang bantuan apalagi yang harus kulakukan?"
"Paman, aku hanya ingin engkau menculik anak kecil, puteri Song Han Bun dan Can Pek Giok di kota Sung-Kian. Tugas ini tidak berat bagi Paman, bukan?"
"Heh-heh, kalau engkau dan Ulan Bouw bersama semua pengikutmu tidak mampu melakukannya, hal itu pasti berarti bahwa tugas itu amat berat,"
Kata Kakek itu menyeringai.
"Terus terang saja, Paman. Song Han Bun dan Can Pek Giok memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Kuyakin hanya Paman yang akan mampu menculik anak perempuan mereka itu. Ketahuilah, anak perempuan itu telah membunuh Pek-Bin Giam-Lo."
Kini Kakek itu tampak terkejut.
"Apa? Berapa usia anak perempuan itu?"
"Sekitar tiga belas tahun...."
"Tiga belas tahun dan mampu membunuh Pek-Bin Giam-Lo? Tak masuk akal!"
Gobi Lo-Mo berseru heran.
"Paman, Pek-Bin Giam-Lo sudah hampir buta dan menurut para pelayan yang menyaksikannya, anak perempuan itu menjebaknya sehingga Pek-Bin Giam-Lo terjatuh ke dalam tebing yang amat curam."
"Hemm, begitukah?"
Kata Kakek itu.
"Lalu sekarang engkau ingin aku menculik anak perempuan itu dan menyerahkannya kepadamu?"
"Untuk membalaskan dendam, aku ingin membuat suami-isteri itu menderita sengsara kehilangan anak mereka dan aku akan mendidik anak itu agar kelak ia memusuhi orang tuanya sendiri!"
Sampai lama Kakek itu termenung, kemudian dia berkata dengan suara Iantang,
"Pangeran Baduchin, sudah lama aku bersumpah tidak akan melakukan hal-hal yang akan menambah besar dosa-dosaku. Akan tetapi engkau mengingatkan aku akan hutang nyawa dan budiku kepada mendiang Ayahmu, maka aku telah mencurikan cap Kaisar Sung untukmu. Sekarang engkau ingin aku menculik anak itu. Baiklah, akan tetapi dengan syarat, bahwa bantuanku yang terakhir ini ber
arti aku telah membayar lunas hutangku kepada mendiang Ayahmu dan kalau lain waktu engkau masih berani mencariku dan membicarakan tentang budi Ayahmu dan memaksa aku melakukan sesuatu untukmu, aku akan menganggap engkau ingkar janji dan aku akan membunuhmu! Bagaimana?"
"Baiklah, Paman. Bantuan menculik anak perempuan itu merupakan pelunasan hutang budi Paman kepada mendiang Ayahku dan selanjutnya aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku bersumpah untuk itu!"
"Bagus, sebaiknya kau pegang teguh sumpah itu!"
Setelah berkata demikian, Kakek itu berkelebat dan lenyap dari situ.
"Pangeran Baduchin, kenapa anak itu tidak kau suruh bunuh saja? Untuk apa dibawa ke sini? Bukankah hal ini malah akan membahayakan dan mendatangkan kesulitan saja?"
"Aih, engkau masih bodoh, Ulan Bouw. Aku mendengar bahwa puteri Song Han Bun itu cantik sekali. Tiga empat tahun lagi saja ia akan menjadi seorang gadis cantik. Kalau ia kuambil menjadi isteriku, bukankah ia akan dapat kuarahkan untuk memusuhi orang-tuanya sendiri?"
"Akan tetapi, Pangeran. Bukankah yang Pangeran inginkan sebagai isteri adalah Siangkoan Ceng yang memiliki pedang pusaka Pek-Coa-Kiam dan yang ilmu silatnya amat tinggi itu? Kalau ia menjadi isteri Pangeran, tentu akan sangat membantu."
"Huh, perempuan rendah itu! la melanggar janji dan kini bahkan menjadi isteri Pangeran Leng Sui!"
Sebetulnya Baduchin bercita-cita menjadi Raja dari seluruh suku Bangsa Mongol dan Gurun Gobi, akan tetapi pengaruh dan kekuasaannya tidak begitu besar. Banyak suku yang tidak suka padanya sehingga kini dia hanya menjadi pemimpin dari suku Taijut yang tidak begitu besar. Dia mendengar akan niat Pangeran Ciang Lun merebut kekuasaan Kaisar Sung setelah Perdana Menteri Chin Kui mati, maka dia minta bantuan Gobi Lo-Mo untuk mencuri cap kebesaran Kaisar sehingga kalau kelak Pangeran Ciang Lun menjadi Kaisar, dia dapat menekannya dengan adanya cap di tangannya itu.
Akan tetapi ternyata usaha pemberontakan Pangeran Ciang Lun gagal bahkan Pangeran pemberontakan itu tewas. Kini tidak ada lagi orang yang dapat dijadikan sekutunya di Kerajaan Sung, maka dengan nekat dia ingin menculik puteri Song Han Bun dengan rencana siasat yang lain lagi. Gobi Lo-Mo adalah seorang Datuk yang sudah puluhan tahun tidak mau muncul di dunia ramai. Dia dahulu terkenal sebagai seorang tokoh sesat di dunia kang-ouw bagian berat. Di Gurun Gobi, sampai di Pegunungan Himalaya, bahkan sampai ke Kerajaan Nepal dan Bhutan! Dia merajalela sebagai Setan berkeliaran di Gurun Gobi sehingga setelah agak tua dia mendapat julukan Gobi Lo-Mo (Setan Tua Gurun Gobi). Baru setelah para Pendeta Lama dari Tibet beramai-ramai menentangnya, dalam sebuah pertempuran keroyokan Gobi Lo-Mo terdesak, terluka berat dan terpaksa melarikan diri.
Dalam keadaan luka dan menjadi buruan antara para Pendeta Lama di Tibet, para jagoan Kerajaan Bhutan dan Nepal itu, dia ditolong, dirawat dan disembunyikan oleh Ayah Baduchin yang ketika itu menjadi seorang kepada suku yang kecil. Andaikata tidak ditolong Ayah Baduchin, tentu Gobi Lo-Mo telah tewas. Karena itulah dia merasa berhutang nyawa dan budi kepada Ayah Baduchin. Sejak itu, dia menghilang. Dia tidak mau lagi mencampuri urusan dunia ramai. Dia bertapa dan memperdalam ilmunya, bukan untuk mencari permusuhan, bahkan dia ingin menebus atau mengurangi dosa-dosanya. Dia menjadi Iihai bukan main, terutama sekali ilmu kebatinan dan sihir. Akan tetapi kehendaknya untuk menebus dosa itu agaknya tidak tercapai, TUHAN menghendaki lain.
Dia ditemukan oleh Baduchin yang membutuhkan bantuannya untuk mencuri cap kebesaran Kaisar Sung. Karena ingin membalas budi kebaikan Ayah Baduchin, Gobi Lo-Mo mau membantunya dan pencurian itu dia lakukan tanpa membunuh siapa pun. Di luar dugaannya, kini kembali Baduchin minta bantuan yang merupakan bantuan terakhir sebagai pelunasan hutang budinya kepada Ayah Baduchin, yaitu menculik seorang anak perempuan! Biarpun dengan perasaan tidak enak dan tidak senang, namun terpaksa Gobi Lo-Mo meninggalkan tempat pertapaannya dan pergi ke kota Sung-Kian untuk melaksanakan tugasnya. Semenjak pulang dari Yen-Cing mengunjungi keluarga Nyonya Can, pulang dengan terburu-buru karena Song Bwee Cin telah menyebabkan tewasnya Pek-Bin Giam-Lo, perasaan hati Song Han Bun dan isterinya Can Pek Giok, merasa tidak tenang.
Mereka berdua maklum bahwa tewasnya Pek-Bin Giam-Lo karena ulah puteri mereka, sudah pasti akan berekor panjang. Selain Pek-Bin Giam-Lo merupakan seorang Datuk sesat yang cukup berpengaruh dan banyak sahabatnya di dunia sesat, juga dia merupakan orang kepercayaan bahkan Guru dari Pangeran Leng Sui. Pangeran Kerajaan Cin itu pasti tidak mau menerimanya begitu saja dan akan berusaha keras untuk membalas dendam atas kematian Pek-Bin Giam-Lo. Karena itu, semenjak mereka kembali dari Yen-Cing, suami-isteri pendekar ini selalu waspada menjaga puteri mereka dan bahkan memesan kepada Song Bwee Cin agar jangan meninggalkan rumah kalau tidak bersama Ayah atau Ibunya. Akan tetapi dasar Cin Cin seorang gadis remaja yang bandel dan pemberani, ia membantah.
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayah dan Ibu, mengapa aku harus selalu bersembunyi seperti orang ketakutan. Aku tidak suka menjadi pengecut, dan kalau ada ancaman, aku Iebih suka menghadapinya dengan mata terbuka, bukan harus bersembunyi sambil memejamkan mata karena ketakutan! Bukankah Ayah dan Ibu selalu mengatakan bahwa seorang manusia lebih baik mati seperti seekor naga daripada hidup seperti seekor cacing? Lebih terhormat mati melawan seperti seekor harimau daripada mati tanpa melawan berkuik-kuik menjerit ketakutan seperti seekor babi?"
"Cin Cin!"
Kata Ayahnya dengan suara tegas.
"Memang benar ucapanmu tadi dan nasihat itu sampai sekarang dan selamanya masih berlaku. Akan tetapi kita ini manusia, bukan binatang yang tidak memiliki kecerdasan. Kalau kita menghadapi marabahaya yang lebih kuat daripada kita dan kita mampu menghindarkan diri, kita harus menghindar karena nekat melawan sampai mati tanpa usaha menghindar itu hal yang bodoh dan sama dengan bunuh diri. Kalau memang tidak ada jalan lain untuk menghindar, nah, kita harus mengambil sikap seperti harimau yang tersudut dan tidak ada jalan menyelamatkan diri kecuali dengan melawan mati-matian. Bela diri berarti cara menyelamatkan diri dari ancaman maut dan lari menghindar kalau tidak kuat melawan berarti juga bela diri atau usaha menyelamatkan diri, sama sekali bukan pengecut. Jangan kau membanggakan keberanianmu yang berlebihan karena hal itu dapat mendatangkan kenekatan yang bodoh dan membuat orang dapat mati konyol atau mati sia-sia."
"Ayahmu benar, Cin Cin, kegagahan bukan berarti berani mati secara nekat. Kalau kita tidak kuat melawan seekor harimau dan nekat melawan sampai kita mati, padahal di situ terdapat sebatang pohon di mana kita dapat memanjat dan menyelamatkan diri, kita tidak akan disebut orang gagah melainkan orang bodoh! Kalau di musim hujan kilat menyambar-nyambar dan kita tidak lari berlindung melainkan berdiri tegak di tempat terbuka lalu kita disambar petir sampai mati, kita tidak akan disebut pemberani melainkan bodoh dan konyol. Yang disebut gagah berani itu ada ukuran dan sifatnya juga,"
Kata Can Pek Giok.
"Ibumu benar, Cin Cin. Kami minta agar engkau lebih banyak tinggal di rumah clan kita semua bersikap waspada dan hati-hati adalah karena kami mengkhawatirkan keselamatanmu yang pasti terancam sebagai akibat dari kematian Pek-Bin Giam-Lo. Dia adalah seorang penting di Kerajaan Cin, maka kematiannya tentu akan membuat para pemhesar di sana, terutama Pangeran Leng Sui yang menjadi muridnya, akan mengerahkan orang-orangnya untuk mencarimu dan membalas kematian Pek-Bin Giam-Lo. Maka, engkau harus selalu dekat kami agar kalau ada bahaya mengancammu, kami dapat melindungimu."
Akan tetapi dasar Cin Cin memiliki watak yang bandel dan memang keberaniannya luar biasa, bukan karena merasa dirinya kuat dan menjadi sombong, hanya ia tidak begitu khawatir akan apa yang belum terjadi dan merasa yakin akan dirinya sendiri, maka setiap kali ia melihat Ayah-Ibunya agak lengah dan tidak memperhatikan dirinya, ia pun lolos keluar rumah dan bermain dengan anak-anak lain yang menjadi tetangganya.
Karena dalam beberapa hari tidak terjadi sesuatu, maka Song Han Bun dan Can Pek Giok juga menjadi lengah dan mereka mengira bahwa Pangeran Leng Sui tidak akan berani datang ke Sung-Kian untuk mencari dan membunuh puteri mereka. Beberapa hari kemudian, pada suatu siang, Cin Cin kembali berada dengan beberapa orang teman perempuannya, bermain di halaman rumah orang-tuanya. Teman-teman Cin Cin berpamit kepada Cin Cin karena waktu makan siang telah tiba. Mereka meninggalkan Cin Cin seorang diri di halaman itu. Cin Cin yang berada seorang diri di halaman itu mulai merasa bosan dan perutnya juga mulai lapar. Akan tetapi ketika ia hendak kembali ke dalam rumah, tiba-tiba muncul seorang Kakek tinggi kurus yang tahu-tahu telah berada di depannya.
"He, Kakek tinggi kurus! Engkau siapakah dan apa keperluanmu memasuki halaman rumah kami?"
Kakek itu bukan lain adalah Gobi Lo-Mo dan dia memandang Cin Cin penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, dia dapat melihat betapa anak perempuan ini memiliki bakat yang luar biasa dan akan dapat menjadi seorang murid yang sulit dicari keduanya.
"Anak kecil, menurut tata-susila sepatutnya engkau yang masih kecil memperkenalkan namamu lebih dulu kepadaku."
"Mana ada aturan begitu?"
Cin Cin membantah.
"Kalau kita bertemu di jalan dan saling berkenalan, memang seharusnya aku yang lebih dulu memperkenalkan namaku. Akan tetapi aku berada di halaman rumahku dan engkau adalah seorang pendatang, berarti aku nona rumahnya dan engkau tamunya. Bukankah seorang tamu harus memperkenalkan dirinya lebih dulu?"
(Lanjut ke Jilid 27)
Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 27
Gobi Lo-Mo membelalakkan matanya dengan heran dan kagum.
"Orang menyebut aku Gobi Lo-Mo, dan siapa namamu, anak baik?"
"Namaku Song Bwee Cin. Mendengar namamu Setan Tua Gobi, engkau tentu seorang tokoh kang-ouw, dan engkau tentu mengenal nama Ayahku Song Han Bun."
Girang sekali hati Kakek itu. Ternyata inilah bocah yang harus diculiknya dan dia merasa senang sekali kalau dapat memiliki anak perempuan luar biasa ini sebagai muridnya. kebetulan sekali, Song Bwee Cin. Memang aku datang untuk mengambil engkau sebagai muridku!"
"Aku tidak mau! Ayah-Ibuku sudah mengajarku, aku tidak sudi menjadi muridmu!"
"Mau atau tidak mau, engkau harus menjadi muridku dan ikut bersamaku!"
Kata Kakek itu sambil melangkah maju menghampiri Cin Cin. Anak ini sama sekali tidak merasa takut, bahkan ia lalu menerjang maju dan menyerang ke arah perut dan dada Kakek itu dengan gerakan yang cepat dan cukup kuat.
"Plak-plak!!"
Dua tangan anak itu tepat mengenai sasaran, akan tetapi Cin Cin terkejut bukan main karena selain Kakek itu seolah tidak merasakan apa-apa, bahkan kedua tangannya kini melekat pada perut dan dada Kakek itu, tidak dapat ia tarik kembali!
"Ha-ha, engkau harus ikut denganku, anak baik!"
Kata Gobi Lo-Mo dan sambil memanggul tubuh Cin Cin, dia melangkah pergi.
"Ayah! Ibu...!"
Cin Cin menjerit. Dua bayangan berkelebat dari dalam gedung. Mereka adalah Song Han Bun dan Can Pek Giok. Mereka berdua tadi mendengar seruan Cin Cin dan cepat memburu keluar. Akan tetapi setetah tiba di luar, yang mereka lihat hanya angin puting beliung atau angin lesus, yaitu angin yang berpusing cepat sehingga daun-daun kering dan debu ikut terbawa angin yang berpusing itu. Dan dari dalam pusingan angin itu terdengar seruan Cin Cin.
"Lepaskan aku...!!"
Mengertilah suami isteri lihai ini bahwa yang berpusing itu bukanlah angin puting beliung biasa, melainkan seorang manusia yang berilmu tinggi yang mungkin menggunakan ilmu hitam atau ilmu setan. Mereka berdua cepat meloncat dan menyerang angin berpusing itu dengan cengkeraman tangan mereka yang dipenuhi tenaga sakti. Mereka tidak berani memukul karena khawatir kalau mengenai diri Cin Cin.
"Wuuut... wuuuttt... Desss...!!"
Suami-isteri itu terpental ke belakang, akan tetapi "angin puting beliung"
Itupun terpental, dan secara luar biasa berpusing semakin kencang lalu melayang ke atas dan lenyap! Akan tetapi suami isteri pendekar yang terpental ke belakang itu
===========================================
masih mendengar suara puteri mereka.
"Gobi Lo-Mo...!"
Mereka melakukan pengejaran, akan tetapi angin berpusing yang melarikan puteri mereka itu tidak tampak lagi dan tidak meninggalkan jejak. Mereka tidak tahu ke mana puteri mereka dibawa pergi dan tidak tahu pula siapa yang membawanya.
"Cin Cin...!!"
Song Han Bun mengerahkan tenaga dari pusar dan memanggil puterinya dengan suara yang melengking tinggi dan terdengar dari jauh. Akan tetapi tidak ada jawaban dan tiba-tiba terasa oleh mereka ada angin bertiup dan di depan mereka telah berdiri seorang Kakek tua renta yang bukan lain adalah Khong-Sim Sin-Kai! Han Bun dan Pek Giok segera menjatuhkan diri berlutut dan Han Bun ber-kata,
"Suhu, mohon pertolongan Suhu agar anak Teecu (mur id) yang terculik dapat kembali kepada Teecu."
"Hemm, aku datang karena ada perasaan tidak enak yang mendorongku datang berkunjung dan kebetulan aku berada tak jauh dari sini. Apakah yang terjadi dengan anakmu?"
"Suhu, baru saja anak Teecu Song Bwee Cin diculik orang... atau setan..."
Kata Han Bun.
"Yang menculiknya berupa angin puting beliung yang berpusing dan ketika kami menyerangnya, kami berdua terpental. Akan tetapi kami mendengar suara anak kami menyebut nama Gobi Lo-Mo,"
Kata Pek Giok.
"Hemm, Gobi Lo-Mo? Jangan kalian khawatir, aku akan mengejarnya!"
Kata Kakek itu dan sekali berkelebat Khong-Sim Sin-Kai sudah lenyap dari situ. Song Han Bun dan Can Pek Giok tak dapat berbuat lain kecuali menunggu.
Mereka percaya bahwa Kakek sakti Guru Han Bun itu pasti akan dapat menolong Cin Cin. Setelah merasa sudah jauh meninggalkan Sung-Kian, Gobi Lo-Mo memperlihatkan dirinya lagi dan dia membawa pergi Cin Cin dengan memanggulnya dan menotok punggung anak itu sehingga tak mampu bergerak maupun berteriak, seperti tertidur saja. Akan tetapi menjelang sore, ketika Gobi Lo-Mo tiba di sebuah lapangan rumput, baru saja keluar dari sebuah hutan, ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri Khong-Sim Sin-Kai. Melihat Kakek yang sudah amat tua ini, bahkan jauh lebih tua daripada dia sendiri yang sudah delapan puluh lima tahun usianya, Gobi Lo-Mo mengamatinya dengan penuh perhatian. Khong-Sim Sin-Kai memandang ke arah Cin Cin yang dipanggul Gobi Lo-Mo. Hatinya lega karena anak itu dalam keadaan selamat clan tidak terluka, hanya tertotok pingsan.
"Gobi Lo-Mo, setelah puluhan tahun engkau mengasingkan diri dan tidak pernah muncul di dunia ramai, semua orang, termasuk aku, mengira bahwa engkau tentu bertapa untuk menebus semua perbuatanmu di masa lalu yang penuh penyelewengan. Akan tetapi, hari ini engkau kembali muncul di dunia ramai dan begitu muncul, engkau telah melakukan kejahatan lagi. Bagaimana aku orang tua dapat membiarkan saja terjadi kesesatan di depan mataku yang tua ini?"
Gobi Lo-Mo mengerutkan alisnya. Dahulu dia memang terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi lebih dikenal di bagian barat dan dia kurang mengenal tokoh-tokoh kang-ouw dari timur, walaupun nama mereka banyak yang sudah didengarnya.
"Saudara tua, aku merasa belum pernah mengenalmu, apalagi bermusuhan denganmu. Mengapa sekarang begitu bertemu engkau sudah menuduhku yang bukan-bukan? Siapakah engkau dan katakan dengan jelas, kejahatan apa yang kulakukan hari ini?"
"Aku hanya seorang pengemis tua yang berhati kosong..."
"Hemm, engkau Khong-Sim Sin-Kai? Bukan main! Dahulu aku pernah mendengar bahwa usiamu sedikitnya empat puluh tahun lebih tua dariku dan sekarang engkau masih hidup! Sin-Kai, sekarang katakan mengapa engkau begitu tega menjatuhkan fitnah dan mengatakan bahwa aku melakukan kejahatan?"
Khong-Sim Sin-Kai menudingkan telunjuk kirinya ke arah Cin Cin dan dia berkata.
"Engkau menculik seorang anak perempuan, bukankah itu merupakan perbuatan keji, sesat, dan jahat?"
"Ah, maksudmu anak ini, Sin-Kai? Ketahuilah, setiap perbuatan merupakan akibat dari sebab-sebab tertentu. Dan aku membawa anak ini sama sekali bukan karena niat jahat, melainkan berkaitan dengan dua sebab yang memaksa aku melarikannya."
"Hemm, kasihan anak itu tertotok dan kau panggul seperti itu. Turunkanlah dulu, biarkan dia beristirahat dan kita bicara. Ingin sekali aku mendengar sebab-sebab engkau membawa anak itu. Kalau memang engkau tidak bersalah, aku orang tua juga tidak akan mencampuri urusanmu."
Gobi Lo-Mo lalu menurunkan tubuh Cin Cin, direbahkan dengan hati-hati di atas rumput. Kemudian dia berdiri meng-hadapi Khong-Sim Sin-Kai dan berkata dengan suara tegas karena dia memang tidak merasa bersalah.
"Khong-Sim Sin-Kai, pertama aku mengambil anak perempuan ini untuk membalas budi kepada seseorang. Puluhan tahun yang lalu, ketika aku menjadi buruan para Pendeta Lama dan terancam bahaya maut, juga luka-luka, aku ditolong dan diselamatkan seseorang. Aku berhutang nyawa dan budi kepada orang itu. Kennudian, pada suatu hari puteranya minta kepadaku agar aku mengambil anak ini karena anak ini adalah anak dari musuh besarnya. Nah, alasan pertama aku mengambil anak perempuan ini adalah untuk membalas budi mendiang Ayahnya kepadaku. Bukankah sudah sepatutnya orang membalas budi orang lain yang telah menolongnya?"
Memburu Iblis Karya Sriwidjono Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo