Antara Dendam Dan Asmara 28
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 28
Dia berhenti dan memandang penuh selidik kepada Khong-Sim Sin-Kai. Kakek itu tersenyum.
"Lanjutkan ceritamu, apa alasanmu yang ke dua?"
"Alasanku yang ke dua, ketika aku melihat anak itu, aku suka sekali padanya dan aku ingin mengambilnya sebagai murid aku ingin mewariskan semua ilmuku kepadanya sebelum aku mati."
Setelah berhenti sebentar dia lalu bertanya menantang,
"Nah, katakan, apakah aku melakukan suatu kejahatan?"
"Gobi Lo-Mo, alasanmu ada dua dan andaikata engkau tidak menganggap dua alasan itu sebagai kejahatan, namun setidaknya kedua alasan itu adalah keliru dan salah!"
"Hemm, Khong-Sim Sin-Kai. Coba jelaskan di mana letak kesalahannya?"
"Yang pertama, engkau hendak membalas budi. Itu baik saja akan tetapi harus diteliti dulu budi yang bagaimana itu? Penolongmu menyelamatkan engkau dan itu memang dapat dikatakan budi pertolongan yang besar. Akan tetapi, kalau engkau membalas dengan pertolongan yang sama, membebaskan dia atau puteranya dari ancaman bahaya maut, itu baru benar namanya. Akan tetapi engkau membalas budi dengan cara menculik puteri musuh besarnya! Perbuatan menculik itu jelas tidak benar dan keliru, termasuk perbuatan jahat. Jadi alasanmu yang pertama untuk membalas budi orang dengan jalan melaksanakan permintaannya menculik anak orang adalah keliru! Dan alasan ke dua, engkau suka kepada anak yang kau culik itu dan ingin mengambilnya sebagai murid. Benarkah itu? Apakah benar kalau seseorang mengambil murid secara paksa? Coba, aku bertanya apakah anak itu memang suka menjadi muridmu!"
Setelah berkata demikian, Khong-Sim Sin-Kai menggerakkan tangannya ke arah tubuh Cin Cin yang rebah pingsan di atas tanah. Ada angin menyambar dari tangannya dan seketika Cin Cin tersadar dan ia segera bangkit duduk.
"Eh, anak perempuan, jawablah dengan jujur. Apakah engkau mau diambil murid Kakek yang menculikmu ini?"
Sejenak Cin Cin memandang kepada Khong-Sim Sin-Kai, lalu ia menoleh dan memandang kepada Gobi Lo-Mo dan dengan mata melotot ia menjawab,
"Tidak! Aku tidak sudi menjadi murid Gobi Lo-Mo!"
Khong-Sim Sin-Kai tersenyum.
"Nah, Gobi Lo-Mo. Mengertikah engkau sekarang? Dua alasanmu menculik anak ini semua salah belaka sehingga perbuatanmu ini termasuk kejahatan."
"Tidak, coba aku yang bertanya padanya."
Gobi Lo-Mo menghadapi Cin Cin lalu bertanya,
"Anak baik, engkau mau bukan menjadi muridku?"
Cin Cin tentu saja ingin mengatakan tidak mau dan tidak sudi, akan tetapi entah bagaimana, pikirannya berubah dan ia menjawab tegas,
"Tentu saja aku mau menjadi muridmu!"
"Heh-heh-heh, Gobi Lo-Mo. Ini merupakan kejahatanmu yang ke tiga. Aku tidak mengatakan bahwa ilmu I-Hun To-Hoat (sejenis Hypnotism) itu jahat, akan tetapi seperti juga ilmu apa pun, kalau dipergunakan untuk tujuan yang jahat, ilmu menjadi jahat. Engkau menggunakan I-Hun To-Hoat untuk memaksa anak itu mengakui hal yang berlawanan dengan kehendaknya, demi keuntunganmu sendiri. Engkau ternyata membuang waktu puluhan tahun bukan untuk membersihkan diri melainkan untuk memperkuat nafsu-nafsumu sendiri."
Marahlah Gobi Lo-Mo mendengar ucapan Kakek itu. Sepasang matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika dia memandang kepada Khong-Sim Sin-Kai. Melihat sinar berapi dari sepasang mata Kakek Gobi itu, Khong-Sim Sin-Kai berkata lembut,
"Gobi Lo-Mo, jangan biarkan nafsu amarahmu meracuni hati akal pikiranmu!"
"Khong-Sim Sin-Kai! Apa pedulimu dengan urusan pribadiku? Mengapa engkau mencampuri urusanku? Sekarang, apa yang hendak kau lakukan terhadap aku dan anak itu?"
Tanya Gobi Lo-Mo.
"Gobi Lo-Mo, andaikata yang kau culik itu anak lain, terpaksa aku pun tentu akan mengingatkanmu dan menyadarkan kesalahanmu. Apalagi anak perempuan ini adalah puteri dari muridku yang minta agar aku membawanya pulang ke rumah muridku. Maka, sudahilah niatmu yang keliru itu, pergilah dan biarkan aku membawa cucu muridku ini pulang ke rumahnya."
"Khong-Sim Sin-Kai, puluhan tahun aku tidak pernah bermusuhan, sekarang pun aku tidak pernah membunuh orang. Akan tetapi kalau niat terakhirku ini ada yang menghalangi, biar orang setua engkau pun akan kulawan!"
"Aku pun tidak mencari permusuhan, Gobi Lo-Mo. Akan tetapi kalau engkau hendak memaksa cucu muridku dan membawanya pergi, tentu saja akan kucegah."
"Bagus! Marilah kita main-main sebentar. Sudah lama mendengar akan kehebatan Khong-Sim Sin-Kai, kebetulan sekarang ada alasan dan kesempatan untuk menguji siapa di antara kita yang lebih kuat!"
Kata Gobi Lo-Mo.
"Heh-heh, kau seperti anak kecil saja. Akan tetapi kalau engkau ingin bertanding, tentu saja aku tidak dapat menolak,"
Kata Kakek tua yang dianggap sebagai Raja oleh semua Kaipang (perkumpulan pengemis) di seluruh negeri.
"Sambutlah ini!"
Gobi Lo-Mo mendorongkan dua tangannya ke arah Khong-Sim Sin-Kai yang berdiri di depannya dalam jarak sekitar tiga tombak. Suara angin dahsyat menyambar dan Khong-Sim Sin-Kai yang sejak tadi sudah siap, juga segera mendorongkan kedua tangannya ke depan untuk menyambut serangan pukulan jarak jauh yang amat hebat itu.
"Wuuuttt... plakk!!"
Seolah ada dua angin dari dua jurusan bertemu, menggetarkan sehingga rumput-rumput di sekitarnya ikut bergoyang-goyang ke kanan kiri. Kedua orang Kakek itu masih berdiri dengan kedua tangan didorongkan. Sampai lama mereka mengadu tenaga sakti yang meluncur keluar dari kedua telapak tangan mereka, akan tetapi keduanya mendapat kenyataan betapa tenaga mereka seimbang, tidak mendorong lawan mundur, juga tidak terdorong mundur. Karena merasa percuma, akhirnya keduanya menarik kembali kedua tangan mereka dan berdiri saling pandang.
"Gobi Lo-Mo, tidak ada gunanya kita bertanding ilmu. Kuharap engkau mengalah dan biarkan aku membawa cucu muridku itu pulang."
"Aku baru akan menyerahkannya kepadamu kalau aku kalah olehmu dan aku belum kalah, Khong-Sim Sin-Kai!"
Khong-Sim Sin-Kai menggerakkan tongkat putihnya.
"Kalau begitu, keluarkan tongkatmu dan mari kita mengadu kemampuan kita melalui tongkat, Gobi Lo-Mo!"
"Hemm, Khong-Sim Sin-Kai. Kita bukan orang-orang muda yang suka berkelahi menggunakan kekerasan. Tubuh kita sudah terlalu tua untuk itu. Mari kita buktikan, semangat siapa yang lebih kuat!"
Setelah berkata demikian, Gobi Lo-Mo duduk bersila dan meletakkan tongkat hitamnya di atas tanah lalu dia bersedakap, melipat kedua lengan bersilang depan dadanya dan memejamkan matanya. Melihat ini, Khong-sim Sin-kai mengerutkan alisnya dan berseru, suaranya sungguh-sungguh.
"Gobi Lo-Mo, jangan lakukan itu!"
Akan tetapi, Cin Cin yang kini sudah duduk menonton pertandingan aneh kedua orang Kakek itu, melihat betapa dari tubuh Gobi Lo-Mo yang diam tak bergerak itu muncul uap putih yang semakin tebal membubung dari ubun-ubun kepalanya ke atas dan uap itu membentuk sesosok manusia kecil yang bukan lain adalah Gobi Lo-Mo sendiri dalam bentuk seperti seorang anak yang berusia sekitar sepuluh tahun, memegang sebatang tongkat hitam! Khong-Sim Sin-Kai menghela napas panjang tiga kali, lalu dia pun duduk bersila dan bersedakap. Dari ubun-ubun kepalanya membubung pula uap dan terbentuklah seorang Khong-Sim Sin-Kai kecil yang besarnya sama dengan Gobi Lo-Mo kecil! Dua bayangan uap yang membentuk manusia itu kini tanpa suara melayang ke depan lalu bertanding menggunakan tongkat mereka!
Bukan main serunya pertandingan di udara, di tengah-tengah antara kedua orang Kakek itu duduk bersila. Anehnya, betapapun serunya mereka bertanding, betapa sering pun tongkat mereka saling bertemu, namun tidak terdengar suara sedikit pun. Cin Cin terbelalak heran, seolah mimpi melihat dua bayangan bertempur! Akan tetapi Cin Cin bukanlah anak biasa. la segera dapat menghentikan rasa kaget dan ngerinya, lalu ia teringat akan cerita Ayahnya bahwa di dunia kang-ouw terdapat orang yang memiliki kesaktian sehingga dapat memisahkan sukma dengan raganya. Agaknya dua orang Kakek itu kini menggunakan ilmu aneh seperti itu dan yang bertanding itu adalah sukma mereka, meninggalkan raga mereka yang duduk bersila, tak bergerak seperti arca! la mengikuti perkelahian aneh antara dua bayangan anak atau dua orang Kakek dalam bentuk kecil itu penuh perhatian.
Setelah pertandingan itu berlangsung cukup lama, Cin Cin melihat betapa bayangan Khong-Sim Sin-Kai mulai terdesak dan lebih banyak mengelak atau menangkis daripada menyerang dengan tongkat putihnya. Adapun tongkat hitam Gobi Lo-Mo mengamuk bagaikan seekor naga hitam. Bahkan Cin Cin melihat sudah dua kali tubuh bayangan Khong-Sim Sin-Kai terkena pukulan tongkat lawan. Kenyataan ini membuat Cin Cin menjadi marah. Kalau Kakek penolongnya itu, yang kini ia ketahui adalah Guru Ayahnya setelah tadi mendengar pengakuan Khong-Sim Sin-Kai, sampai kalah, ia tentu akan dibawa pergi Gobi Lo-Mo. Maka, cepat ia bangkit menghampiri tubuh Gobi Lo-Mo yang masih duduk bersila, menyambar tongkat hitam yang terletak di dekatnya, lalu dengan pengerahan sekuat tenaganya ia menghantamkan tongkat hitam ke arah kepala Gobi Lo-Mo dari belakang.
"Wuutt... prakkk...!!"
Tubuh Gobi Lo-Mo yang tadinya bersila itu roboh terpelanting dengan kepala retak dan dari luka di kepala itu mengalir darah dan otak! Semangat Gobi Lo-Mo yang sedang mendesak Khong-Sim Sin-Kai terkejut dan cepat melayang ke arah raganya, akan tetapi melihat raga itu telah rusak bagian kepalanya dan sudah tidak mungkin hidup lagi, sukmanya itu melayang berputaran kemudian lenyap! Semangat Khong-Sim Sin-Kai kembali ke badannya dan dia segera bangkit dan menghampiri Cin Cin yang sudah melepaskan tongkat hitam dan kini memandang ke arah mayat Gobi Lo-Mo dengan mata terbelalak.
"Hemm, anak perempuan, engkau membunuh Gobi Lo-Mo,"
Kata Khong-Sim Sin-Kai, suaranya agak mengandung teguran halus.
"Aku tidak bermaksud membunuhnya, hanya tadi melihat engkau terdesak, aku hanya ingin membantumu karena dia jahat,"
Jawab Cin Cin.
"Engkau puteri Song Han Bun, siapa namamu?"
Tiba-tiba Cin Cin menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Khong-Sim Sin-Kai dan berkata,
"Harap Su-Kong (Kakek Guru) maafkan perbuatan saya. Nama saya adalah Song Bwee Cin."
Kakek itu tersenyum.
"Hemm, aku masih ingat akan watak Ibumu Can Pek Giok di waktu ia masih muda. Agaknya engkau mewarisi wataknya. Sekarang ceritakan bagaimana engkau sampai terculik Gobi Lo-Mo."
Cin Cin lalu menceritakan betapa Kakek itu datang dan membawanya pergi, tidak dapat dicegah atau disusul Ayah-Ibunya sampai tiba di tempat itu dan muncul Kakek Gurunya yang menolongnya. Setelah dengan sejujurnya Cin Cin menceritakan betapa ia telah membuat Pek-Bin Giam-Lo tewas terjerumus ke dalam tebing, barulah Khong-Sim Sin-Kai mengangguk-angguk mengerti.
"Ah, kalau begitu tidak salah lagi. Kematian Pek-Bin Giam-Lo itu tentu ada hubungannya dengan perbuatan Gobi Lo-Mo tadi. Seingatku, seorang kepala suku di Gobi, Ayah dari Baduchin yang dulu menyelamatkannya. Kuyakin sekarang bahwa tentu dia diminta oleh Baduchin untuk menculikmu karena Baduchin tentu pernah bermusuhan dengan Ayah-Ibumu. Sekarang, karena engkau yang menyebabkan kematiannya, engkau pula yang harus menguburkan jenazahnya, Bwee Cin. Buatkan lubang kuburan yang cukup besar baginya!"
Cin Cin tidak membantah. Akan tetapi karena di situ tidak terdapat senjata atau alat untuk menggali lubang, sedapat mungkin ia menggunakan tongkat hitam milik Gobi Lo-Mo tadi untuk menggali lubang. Melihat ini, Khong-Sim Sin-Kai mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu dia pun turun tangan membantu, menggunakan tongkat putihnya. Dan sungguh luar biasa, sebentar saja sebuah lubang kuburan telah dapat tergali. Jenazah Gobi Lo-Mo itu oleh Khong-Sim Sin-Kai lalu dikubur dengan baik-baik.
"Bwee Cin, agaknya engkau memang perlu mendapat gemblengan sendiri dariku agar kelak engkau mampu menguasai gejolak liarnya nafsumu sendiri. Biarlah engkau belajar beberapa tahun baru kembali ke Sung-Kian. Bagaimana, maukah engkau ikut dan memperdalam ilmu?"
Cin Cin berpikir sejenak. Kalau ia pulang dan Ayahnya mendengar ia membunuh Gobi Lo-Mo, pasti Ayahnya akan marah sekali. Lebih baik memperdalam ilmunya dari Kakek Gurunya.
"Akan tetapi, Su-Kong, apakah Ayah dan Ibu tidak akan gelisah kalau saya tidak lekas pulang?"
"Itu mudah saja. Aku akan menyuruh seorang penduduk dusun untuk mengantarkan suratku kepada Ayah-Ibumu."
Demikianlah, mulai hari itu Cin Cin ikut Kakek Gurunya merantau dan setiap hari menerima petunjuk Kakek Gurunya tentang ilmu silat dan terutama sekali mendorong anak itu mendekati TUHAN dengan penyerahan diri sehingga Kekuasaan TUHAN mulai membimbingnya, mengendalikan nafsu-nafsunya sendiri yang mendorong manusia menyeleweng dari jalan kehidupan yang baik dan benar seperti yang dikehendaki TUHAN Sang Maha Pencipta.
Sang Waktu meluncur dengan amat cepatnya. Setelah keadaan kesehatan tubuhnya amat memburuk, Sung Kao Cu (1127-1162) meninggal dunia dalam tahun 1162 dan tentu saja yang diangkat menjadi Kaisar menggantikannya adalah Pangeran Liang Jin yang menjadi Pangeran Mahkota. Di bawah pemerintahan Kaisar Liang Jin, keamanan dalam negeri menjadi lebih balk. Para pengikut mendiang Perdana Menteri Chin Kui telah dihentikan, bahkan banyak yang dihukum karena korupsi, mencuri uang negara dan mengeluarkan peraturan-peraturan sendiri untuk menindas rakyat jelata. Kehidupan rakyat mulai teratur walaupun belum sembuh benar dari keadaan yang kacau-balau selama puluhan tahun yang lalu.
Agaknya Kerajaan Cin juga menjaga diri, menghimpun kekuatan dan tidak pernah mengadakan gangguan ke selatan karena mereka kini merasa menghadapi ancaman dari utara, yaitu Bangsa Mongol dan banyak suku Bangsa daerah Gurun Gobi yang agaknya kini mengincar daerah selatan Tembok Besar yang tanahnya subur untuk ditumbuhi makanan ternak mereka! Daerah Gurun Gobi, terutama di bagian utara, merupakan daerah yang paling sulit bagi kehidupan manusia di dunia. Daerah Gobi penuh dengan dataran-dataran yang menjulang tinggi sekali. Banyak pula danau-danau, akan tetapi yang terkenal adalah Danau Hulun di timur dan terutama sekali Danau Baikal di utara.
Danau ini besar dan luas sekali, dianggap danau keramat yang menjadi tempat tinggal para siluman dan iblis. Pada malam hari di musim dingin tampaklah cahaya aneh dari Kutub Utara naik turun seolah para malaikat atau siluman sedang bermain-main naik turun dari langit! Pada waktu itu, tahun 1167 telah tiba dan daerah di sekitar Gurun Gobi telah mengalami perubahan besar. Hal ini terjadi karena banyaknya orang daerah Gurun Gobi yang melakukan perjalanan ke selatan, melalui Tembok Besar untuk berdagang. Mereka sering membawa kulit biruang, terutama biruang es dalam jumlah banyak. Para pedagang inilah yang membeli barang-barang dari Kerajaan Cin, bahkan lebih ke selatan lagi dari Kerajaan Sung.
Mereka juga membawa banyak ilmu yang bagi Bangsa Nomad (Pengembara) di daerah Gurun Gobi sebagai ilmu yang aneh dan langka. Juga para pedagang membeli permadani, sutera dan lain-lain, bukan hanya dari Cina. Para pedagang itu bahkan ada yang sampai ke Bokkhara atau Kabul. Akan tetapi kehidupan mereka tetap sederhana. Hal ini adalah karena keadaan iklimnya yang amat dingin. Karena hidup mereka tergantung dari hasil memburu binatang dan memelihara ternak, maka mereka selalu berpindah-pindah, selain untuk mencari daerah yang masih banyak binatang buruannya, juga daerah yang tanahnya subur dan menumbuhkan banyak tanaman untuk makan ternak mereka. Di antara banyak suku di Gurun Gobi, terdapat sebuah suku yang disebut suku Yakka.
Suku Yakka termasuk kuat karena memiliki lebih dari empat puluh ribu kemah atau keluarga sehingga jumlah mereka sekitar seratus ribu orang. Yang menjadi Kepala Suku atau dalam bahasa mereka disebut Khan (semacam Raja) bernama Yesukai, seorang laki-laki yang tinggi besar dan gagah perkasa. Dia ahli menunggang kuda, ahli memanah, dan ahli berkelahi dengan ilmu gulat, juga bersemangat tinggi tahan derita dan sikapnya berwibawa, pandai memimpin sukunya dan selalu bertindak adil. Sekitar dua belas tahun yang lalu, dalam sebuah perang antar suku melawan suku Thalun yang dipimpin oleh kepala sukunya bernama Temuchin, Yesukai yang bertanding melawan Temuchin mendapatkan perlawanan yang amat gagah.
Kepala suku musuh itu tidak mau takluk dan melawan sampai titik darah terakhir bersama seluruh keluarganya. Yesukai berhasil membunuhnya dan dia merasa kagum bukan main terhadap kepala suku itu. Setelah dia membawa pasukannya pulang, tentu saja sambil merampas semua milik barang berharga, juga wanita-wanitanya yang muda, dia mendapatkan bahwa isterinya baru saja melahirkan seorang anak laki-laki. Saking kagumnya kepada kepala suku Bangsa Thalun, maka Yesukai lalu memberi nama anaknya yang baru lahir itu, Temuchin! Sebagai seorang kepala suku, Yesukai mempunyai beberapa orang isteri. Mereka tinggal dalam sebuah kemah terbuat dari kempa (bulu domba), ditangkupkan pada rangka dari kayu.
Di bagian atasnya terdapat lubang agar asap dari dalam kemah dapat keluar. Dinding kemah itu dikapur dan dihiasi dengan lukisan-lukisan. Kemah ini didirikan di atas sebuah kereta besar yang kalau berpindah ditarik oleh belasan ekor sapi. Dalam bahasa mereka kemah yang dapat berjalan dan berpindah-pindah ini disebut Yurt. Para isteri Yesukai tinggal bersama anak-anaknya di sebuah Yurt. Beberapa orang isteri itu biasanya hidup rukun karena mereka semua patuh kepada suami mereka. Perkemahan mereka mudah diubah atau dibongkar-pindahkan, dan bentuk kemah yang bundar itu tidak dapat diterbangkan angin. Mereka yang biasa berdagang, pergi berdagang dan menukar barang dagangan mereka sampai ke Negara Turki. Mereka menukar bulu-bulu binatang yang amat berharga itu dengan berbagai macam senjata seperti pedang Turki, lembing, perisai, busur gading dan anak panah.
Sejak kecil Temuchin dikenal sebagai anak yang pandai, cekatan dan pemberani. Juga tubuhnya kuat sekali menerima gemblengan alam yang keras seperti anak-anak lain. Temuchin pandai mencari ikan, pandai berburu dan dia ahli menunggang kuda. Seringkali dia berlumba naik kuda bersama teman-temannya sejauh tiga puluh kilometer. Atau mereka mempraktekkan latihan bergumul (bergulat). Biarpun Temuchin termasuk ahli memanah, namun dia tidak dapat mengalahkan saudaranya yang bernama Kassar, yang sejak muda disebut Raja Panah oleh semua orang. Namun, Kassar amat sayang, bahkan takut dan patuh kepada Temuchin karena dalam hal lain, dia kalah jauh. Akhirnya kelak mereka berdua menjadi sepasang saudara yang setia dan saling bantu. Kehidupan suku Bangsa Mongol memang keras.
Membunuh seorang yang bersalah merupakan hal biasa. Temuchin dan Kassar bersatu untuk menghadapi dan menentang saudara-saudara tirinya yang banyak dan lebih besar. Bahkan dalam usianya yang baru dua belas tahun, Temuchin sudah melakukan pembunuhan terhadap seorang saudara tirinya! Hal itu terjadi ketika Temuchin sedang mencari ikan. Hari itu sulit mendapatkan ikan dan setelah bekerja sehari penuh, dia baru memperoleh lima ekor ikan yang cukup besar. Dia merasa lelah, kedua tangannya kotor dan sebelum pulang membawa lima ekor ikan, dia turun ke air untuk membersihkan kaki tangannya. Akan tetapi dia mendengar sesuatu dan ketika dia menengok, dia melihat seorang telah melarikan diri membawa lima ekor ikan yang didapatkannya selama sehari itu.
Temuchin menjadi marah. Dia mengenal pencuri itu sebagai Albagu, seorang saudara tirinya yang memang nakal dan suka mencuri. Biarpun Albagu lebih tua dua tahun daripada dia, Temuchin tidak takut dan cepat dia melakukan pengejaran. Agaknya Albagu mengetahui bahwa dirmya dikejar. Ketika dia menoleh dan melihat siapa yang mengejarnya, dia berhenti. Daripada ribut-ribut terdengar banyak orang bahwa dia telah mencuri ikan milik Temuchin, lebih baik menyelesaikan urusan itu di sini saja, di tempat sunyi tanpa ada yang melihat mereka. Melihat Albagu berdiri di atas gundukan pasir yang seperti bukit, bertolak pinggang dan jelas bersikap menantang, Temuchin segera mempercepat larinya mendaki bukit kecil itu. Setelah mereka saling berhadapan, dengan lagak angkuh Albagu menegur.
"Temuchin, mau apa kau mengejarku?"
Sepasang mata Temuchin memandang marah. Biarpun dia kalah tua dengan selisih dua tahun, namun tubuhnya tegap dan kokoh.
"Albagu, engkau harus malu! Apakah engkau ingin menjadi pencuri? Engkau telah mencuri ikan hasil tangkapanku. Kembalikan ikan-ikan itu!"
Albagu melepaskan lima ekor ikan yang terikat di pinggangnya, meletakkan di atas pasir lalu berkata dengan suara menantang,
"Ambillah kalau engkau bisa!"
Karena lima ekor ikan itu memang miliknya, Temuchin lalu hendak mengambilnya dari atas pasir. Akan tetapi Albagu menggerakkan kakinya menendang.
"Bukk!"
Perut Temuchin tertendang dan tubuhnya terjengkang.
"Pencuri busuk!"
Temuchin memaki dan dia segera bangkit berdiri lalu me-nubruk Albagu. Mereka lalu berkelahi, bergulat dan seperti anak-anak Mongol pada umumnya, mereka mempelajari ilmu bergumul. Mereka dorong mendorong, saling tangkap dan banting membanting. Temuchin lebih cekatan dan ketika dia dapat menangkap dan memuntir lengan lawan, dia membanting Albagu melalui atas pundaknya. Tubuh Albagu terlempar dan terbanting di tepi gundukan pasir. Tanpa dapat dicegahnya, tubuhnya terguling-guling ke bawah bukit kecil itu! Temuchin cepat mengambil ikannya lalu menuruni bukit. Akan tetapi ketika melihat tubuh Albagu menelungkup di bawah bukit, tidak bergerak, dia merasa heran dan khawatir. Cepat dia menuruni bukit dan setelah berada di dekat Albagu, dia berjongkok dan membalikkan tubuh saudaranya itu. Alangkah kagetnya melihat betapa dahi anak itu berdarah.
Kiranya ketika dia terguling-guiing jatuh tadi, dahinya terbentur sebuah batu sehingga luka cukup parah. Temuchin melupakan kemarahannya. Bangsanya memang sudah terbiasa dengan hidup keras dan tidak mudah memaafkan kesalahan orang, apalagi kalau orang itu mencuri, kejahatan yang paling mereka benci. Akan tetapi, mereka terkenal pula memiliki kesetiaan terhadap saudara atau sukunya. Dengan ikan-ikan tergantung di pinggangnya, Temuchin lalu memanggul tubuh Albagu dan membawanya pulang.
Tak jauh dari situ, sekitar tiga atau empat kilometer, tampak seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun berjalan di atas Gurun pasir bersama seorang pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun. Kakek itu bertubuh sedang, wajahnya cukup tampan dan tampak lebih muda daripada usianya, akan tetapi penampilannya dan sikapnya tampak aneh.
Rambutnya dibiarkan terurai sampai ke bahu dan tidak terpelihara rapi sehingga walaupun pakaiannya cukup bersih, dia tampak seperti seorang jembel atau pengemis. Namun wajahnya riang dan mulutnya selalu terbuka seperti orang tersenyum-senyum geli dan terkadang dia bahkan tertawa-tawa! Tingkahnya seperti seorang yang tidak normal. Biarpun dia kelihatan seperti seorang Kakek gila, namun kalau ada tokoh dunia persilatan melihatnya, tokoh itu tentu terkejut dan mengenalnya sebagai seorang datuk yang dijuluki Koai-Tong Mo-Kai (Pengemis Setan Anak Aneh), julukan ini mungkin karena penampilannya seperti pengemis namun wataknya seperti seorang anak-anak yang aneh. Adapun pemuda yang berjalan di sampingnya itu bukan lain adalah Leng Bu San! Seperti kita ketahui, sekitar sepuluh tahun yang lalu,
Dalam keadaan bingung dan kacau pikirannya karena pengaruh sihir yang dilakukan Ibu tirinya, Ang-Hwa Niocu alias Siangkoan Ceng, Leng Bu San bertemu dengan Koai-Tong Mo-Kai dan dibawa pergi, lalu dijadikan muridnya dan dibawa merantau jauh ke utara. Selama sepuluh tahun, Bu San dilatih ilmu silat dan ilmu sihir oleh Koai-Tong Mo-Kai sehingga kini dia menjadi seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Tubuh Bu San tinggi besar, wajahnya tampan gagah, wataknya agak pendiam seperti angkuh. Namun dia kini telah mendengar dari Koai-Tong Mo-Kai akan riwayat Ibu kandungnya. Dia mengerti bahwa Ayahnya yang menyia-nyiakan Ibu kandungnya dan Ibu tirinya, Siangkoan Ceng adalah seorang wanita jahat yang berhasil memikat Ayahnya, Pangeran Leng Sui dan menjadi isteri Ayahnya.
Dia mendengar pula bahwa Ibu kandungnya kini telah menjadi isteri seorang pendekar bernama Lui Hong dan tinggal di Hang-Chouw, Kotaraja Kerajaan Sung. Bagaimanapun juga, ada perasaan tidak senang dalam hatinya kalau mengingat bahwa Ibu kandungnya kini menikah dengan laki-laki yang kini menjadi Ayah tirinya. Kalau Ibu tirinya demikian jahat, tentu Ayah tirinya juga bukan orang baik-baik, demikian pikirnya sehingga diam-diam Bu San merasa tidak senang, bahkan membenci dua orang, yaitu Siangkoan Ceng Ibu tirinya dan Lui Hong yang menjadi Ayah tirinya! Sudah beberapa kali Bu San minta ijin kepada Gurunya untuk kembali ke selatan, mencari Ibunya. Akan tetapi Koai-Tong Mo-Kai selalu mencegahnya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh.
"Muridku yang baik, belum waktunya engkau kembali ke selatan. Seperti yang kuceritakan kepadamu dahulu, dengan jelas aku melihat bintang kekuasaan jatuh di utara sini. Hal ini berarti bahwa ada lahir seseorang yang kelak akan menjadi Raja besar. Aku harus menemukan dia dan aku ingin agar engkau membantu dia, karena dialah yang akan dapat memberi kedudukan mulia kepadamu."
Demikianlah, dengan sabar Bu San mengikuti Gurunya menjelajahi Gurun Gobi sampai ke daerah utara dan pada slang hari itu mereka tiba di daerah Gurun di mana seringkali terjadi badai yang amat hebat. Ketika dua orang itu berjalan sampai di bagian di mana terdapat beberapa buah bukit kecil, tiba-tiba Koai-Tong Mo-Kai berhenti melangkah. Ketika Bu San menoleh, dia melihat Gurunya memandang ke atas dengan alis berkerut.
"Aha, agaknya kita akan disambut badai pertama yang hebat,"
Katanya sambil menuding ke arah utara. Bu San melihat bahwa di atas tampak gumpalan-gumpalan awan hitam melayang menuju ke selatan. Dia tidak tahu apa maksud Gurunya karena selama ini mereka lebih banyak berada di daerah selatan di mana jarang sekali terjadi serangan badai yang hebat. Biarpun tampak agak khawatir, namun wajah Kakek itu masih seperti orang tertawa gembira ketika dia berkata kepada muridnya.
"Bu San, cepat, kita harus dapat tiba di bukit depan itu, sebelum badai menyerang kita!"
Setelah berkata demikian, Kakek itu lalu menggunakan ilmunya berlari secepat terbang ke arah bukit yang tampak agak jauh di depan. Tiba-tiba Bu San terkejut sekali k-rena ada halilintar menyambar-nyambar dari atas, di bagian utara di mana awan hitam itu berarak. Dia maklum bahwa itu adalah halilintar alami yang amat berbahaya.
"Cepat, kita harus dapat tiba di bukit itu yang menjadi pelindung satu-satunya bagi kita!"
Kata Koai-Tong Mo-Kai sambil mempercepat larinya. Bu San merasa heran karena baru sekali ini dia melihat Gurunya seperti orang ketakutan walaupun wajahnya masih berseri! Akan tetapi baru saja mereka tiba di kaki bukit, badai itu telah datang menyerang. Ada tiupan angin yang luar biasa kuatnya datang dari depan, disertai debu dan pasir.
"Tiarap, cepat!"
Teriak Koai-Tong Mo-Kai dan otomatis Bu San meniru perbuatan Gurunya, bertiarap dan menelungkup di atas pasir. Mereka menyembunyikan muka mereka dengan menelungkup dan merasa betapa debu dan pasir yang mengenai kepala, leher dan lengan mereka seperti jarum-jarum yang menusuk-nusuk. Untung bahwa mereka berdua memiliki tenaga dalam yang kuat sehingga pasir-pasir itu tidak sampai melukai atau menembus kulit mereka! Ketika kekuatan badai agak berkurang, Koai-Tong Mo-Kai berkata,
"Mari merangkak maju, cari tempat berlindung pada bukit itu!"
Mereka mencoba untuk merangkak maju, akan tetapi kembali ada geloambang angin membawa pasir dan debu mendorong mereka sedemikian kuatnya sehingga biarpun mereka mengerahkan tenaga, mereka terbawa dan terguling-guling. Baru setelah mereka bertiarap lagi dan menyembunyikan muka dengan menelungkup, mereka dapat bertahan. Daerah Gurun Gobi di utara ini memang merupakan daerah yang amat sulit bagi manusia, terutama manusia dari lain daerah untuk bertahan hidup. Mereka, orang-orang dari Bangsa Mongol ini dapat dibilang setiap hari menghadapi keadaan yang amat sulit.
Mereka adalah Bangsa kelana yang menunggang kuda sambil menggembalakan ternak, di antaranya ternak rusa kutub, kuda dan sebagainya. Mereka mengenakan pakaian dari kulit binatang dan makanan mereka yang lajim setiap harinya adalah daging dan susu binatang. Mereka menggosok tubuh mereka dengan gemuk atau gajih agar dapat menahan hawa di musim dingin dan dari kelembaban. Kematian bagi Bangsa ini bukan hal aneh, karena seringkali orang mati kelaparan, kedinginan, atau dibunuh orang lain. Tidak tampak adanya kota atau dusun. Yang ada hanyalah perkemahan apabila serombongan suku Bangsa Mongol menemukan tempat di mana mereka bisa mendapatkan makanan dan air bagi mereka dan ternak mereka, untuk kemudian setelah hasil makanan berkurang, mereka pindah lagi mencari tempat yang lebih enak.
Hampir seluruh bagian tandus. Bagian yang tanahnya subur, yaitu yang dialiri sungai, sedikit sekali. Dalam perkemahan mereka selalu ada api yang bernyala dari bahan bakar kotoran sapi atau kuda. Iklimnya tidak menentu. Di tengah musim panas datang badai mengamuk disertai petir. Terkadang datang badai salju yang amat kuat sehingga orang tidak akan dapat menahan hujan salju disertai angin itu apabila dia sedang berkuda. Hawa panas sekali dan hawa dingin yang amat hebat terjadi di situ, seling menyeling. Gurun Gobi merupakan neraka bagi orang-orang yang datang dari luar daerah itu. Setelah kekuatan badai berkurang, kembali mereka merangkak ke arah bukit kecil di depan dan akhirnya mereka dapat berlindung di balik sebuah batu besar di dekat bukit.
Badai mengamuk sampai sore baru berhenti. Dengan rambut dan pakaian penuh pasir dan debu, Koai-Tong Mo-Kai dan Leng Bu San keluar dari balik batu besar. Tiba-tiba mereka berdua melihat seorang pemuda remaja memanggul tubuh seorang pemuda lain berlari keluar dari sebuah guha. Anak itu adalah Temuchin yang biarpun usianya baru dua belas tahun namun tubuhnya sudah tampak kokoh dan kini dia lari sambil memanggul tubuh Albagu yang sudah siuman dari pingsannya namun masih terlalu lemah untuk berjalan sendiri. Ketika ada badai mengamuk tadi, Temuchin membawa Albagu berlindung dalam sebuah guha di bukit itu. Dia tidak melihat adanya Koai-Tong Mo-Kai dan Leng Bu San dan berlari terus untuk membawa pulang Albagu ke perkemahan mereka.
"Agaknya mereka memerlukan pertolongan, Suhu,"
Kata Bu San kepada Gurunya.
"Mari kita kejar dan kita lihat apa yang terjadi dengan orang yang dipanggul itu. Agaknya dia terluka berat dan membutuhkan pertolongan kita."
Sampai agak lama Koai-Tong Mo-Kai tidak menjawab, bahkan dia berhenti melangkah dan menengadah ke langit yang kini jernih, seperti termenung. Akhirnya dia menghela napas panjang dan berkata,
"Tidak, Bu San. Perasaanku mengatakan lain. Mari kita bayangi saja remaja itu. Lihat, betapa kuatnya anak itu memanggul pemuda yang lebih besar sambil berlari."
Bagi Bu San, memanggul tubuh seseorang sambil berlari tentu saja bukan hal aneh atau sukar, akan tetapi dia menyadari bahwa anak yang berpakaian kulit binatang itu tentu tidak pernah belajar silat dan tidak memiliki tenaga dalam, maka memang cukup mengherankan. Mereka berdua lalu membayangi dari jarak agak jauh. Temuchin dapat berlari cepat walaupun dia memanggul tubuh Albagu. Dia harus menolong dan menyelamatkan Kakaknya itu. Kalau dia tidak terlambat, Dukun atau Tabib kelompok suku mereka pasti akan dapat mengobati Albagu. Sayang tadi terjadi badai besar sehingga tidak mungkin baginya untuk melanjutkan perjalanan, terpaksa nnembawa Albagu berlindung di sebuah guha. Dia tahu bahwa pada waktu itu, walaupun mataharinya tidak tampak, namun sinarnya akan bertahan cukup lama sehingga dia akan tiba di perkemahan sebelum gelap.
Tiba-tiba dia mendengar gerengan dari arah kiri dan dia terkejut sekali karena mengenal gerengan itu sebagai suara seekor biruang putih. Dia berhenti dan ketika menoleh ke kiri benar saja perkiraannya karena seekor biruang es besar keluar dari balik batu besar. Temuchin cepat menurunkan tubuh Albagu ke atas pasir. Dia tahu benar bahwa agaknya tidak mungkin dia dapat mengalahkan biruang yang begitu besar dan kuat. Akan tetapi dia pun maklum bahwa melarikan diri tidak ada gunanya. Biruang itu akan mengejarnya dan pasti dapat menyusulnya. Maka dia lalu men-cabut sebatang golok. Ayahnya menyita banyak senjata para suku yang telah dikalahkan dan takluk. Dia menyukai golok bengkok itu dan Ayahnya memberikannya kepadanya. Lalu dia melangkah mundur perlahan-lahan, ingin tahu apakah biruang itu akan mengejarnya. Dari tempat persembunyian mereka, Leng Bu San melihat kejadian itu.
"Suhu, anak itu terancam bahaya besar. Apakah kita tidak perlu keluar dan menolongnya?"
Koai-Tong Mo-Kai menggelengkan kepalanya dan tersenyum.
"Kita lihat saja dulu, kalau dia itu benar orang yang kumaksudkan dan selama ini kucari, pasti dia tidak akan mati oleh binatang itu. Para Dewa pasti akan melindunginya."
"Suhu maksudkan, calon Raja yang besar kekuasaannya itu?"
Kakek itu mengangguk.
"Mari kita lihat saja, kalau memang perlu baru kita akan bantu dia."
Keduanya menonton dengan hati tegang karena mana mungkin seorang Pemuda remaja, bahkan masih dapat disebut kanak-kanak, mampu melawan seekor biruang putih yang besar dan amat kuat itu? Empat orang laki-laki dewasa pun belum tentu akan mampu mengalahkan binatang itu! Agaknya setelah beradu pandang dengan Temuchin, biruang itu mengalihkan perhatiannya kepada tubuh Albagu yang rebah telentang di atas pasir. Dan tiba-tiba dia pun tidak mempedulikan Temuchin lagi, melainkan kini menghampiri Albagu. Anak muda remaja ini sudah sadar. Walaupun tubuhnya lemah, namun melihat biruang itu menghampirinya, dia berteriak ketakutan.
"Tolong...! Jauhkan dia dariku...!"
Melihat biruang itu agaknya mengancam Albagu, tiba-tiba Temuchin lari menghampiri dan pada saat biruang siap menerjang tubuh Albagu,Temuchin melompat dan hinggap di punggung biruang itu, lengan kirinya melingkari dan menjepit leher binatang yang tebal itu dan tangan kanannya sudah menghunjamkan goloknya berulang-ulang ke arah kepala biruang itu. Terjadilah perkelahian yang hebat. Biruang itu memekik-mekik dan menggereng dengan suara yang dahsyat, berusaha untuk melemparkan tubuh Temuchin yang menempel di punggungnya, merasakan kesakitan hebat ketika golok itu menembus tengkoraknya dan dari luka-luka di kepalanya mengucur darah yang banyak dan membuat bulunya yang putih menjadi merah.
Akan tetapi Temuchin tetap menempel di punggungnya seperti seekor lintah. Biruang itu tiba-tiba menjatuhkan diri ke belakang. Ini amat berbahaya bagi Temuchin karena sekali saja tubuhnya tertindih tubuh biruang yang beratnya tentu lebih dari setengah ton itu, pasti tubuhnya akan remuk dan dia akan tewas seketika. Akan tetapi Temuchin adalah anak yang amat cerdik. Biruang itu terjengkang jatuh karena lukanya atau disengaja, dia harus menghindarkan himpitan badan yang besar itu. Cepat dia menekan pundak biruang itu dan tubuhnya melompat ke belakang pada saat tubuh biruang itu roboh telentang. Akan tetapi agaknya tubuh binatang yang amat kuat itu masih belum kehilangan tenaga karena luka-luka di kepalanya.
Dia cepat bangkit berdiri dan tampak mengerikan ketika dia berdiri di atas kedua kaki belakangnya. Mukanya yang berbulu putih itu dinodai banyak darah. Matanya yang kemerahan seperti mencorong dan moncongnya yang panjang ke depan itu terbuka, memperlihatkan gigi bertaring runcing. Biruang itu menerjang ke depan, tangan kiri atau lebih tepat kaki depan kirinya yang berkuku runcing itu menyambar ke arah kepala Temuchin. Masih cepat dan kuat sekali gerakan itu. Temuchin maklum bahwa menghindarkan diri dengan mengelak amat berbahaya karena binatang itu dapat melanjutkan serangan dengan menerkam atau menubruknya. Maka dia menggerakkan goloknya, disabetkan dengan pengerahan tenaga sekuatnya untuk menangkis atau membacok lengan atau kaki depan kiri yang menyambar itu.
"Crakk!!"
Cakar kaki depan kiri biruang itu terbacok putus setengahnya, akan tetapi saking kuatnya pertemuan golok dengan kaki itu, golok di tangan Temuchin terlepas dan terlempar jauh sekali. Biruang yang kesakitan itu kini menampar dengan kaki depan kanan. Temuchin mengangkat kedua lengannya melindungi kepala dan menangkis.
"Breesss...!!"
Tubuh Temuchin terpental sampai empat meter, terbanting jatuh dan terguling-guling! Biruang itu sambil menggereng lalu mengejarnya. Temuchin yang merasa tubuhnya sakit-sakit dan kepalanya pening cepat bangkit duduk dan dia memandang ke arah biruang yang menghampirinya dengan cepat. Dia tahu bahwa tidak ada harapan lagi baginya untuk melawan, akan tetapi dia sama sekali tidak merasa ngeri atau takut, melainkan menatap muka biruang itu dengan sepasang matanya yang seperti mata burung elang. Biruang terluka yang marah itu agaknya seperti terpesona ketika bertemu pandang dengan sepasang mata Temuchin, dan sejenak dia menahan gerakannya. Akan tetapi agaknya rasa nyeri dan kemarahannya membuat dia nekat dan dia menerkam ke arah Temuchin!
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Syuuuttt...!!"
Tiba-tiba berkelebat dua bayangan. Bayangan pertama menyambar tubuh Temuchin dan membawanya pergi sebelum tersentuh kaki dan cakar biruang, dan bayangan ke dua menghantam ke arah dada biruang itu dengan tangan kanan yang terbuka.
"Bukkk...!!"
Tubuh biruang yang besar dan berat itu terjengkang dan berkelojotan sejenak lalu tak bergerak lagi. Dia mati karena luka-luka di kepalanya yang mengeluarkan banyak darah ditambah lagi pukulan yang mengandung tenaga sakti dari Leng Bu San! Temuchin sudah diturunkan di atas pasir. Dia melihat semua yang terjadi itu.
Dia melihat bayangan pertama yang membawa dia melayang dan terhindar dari terkaman biruang adalah seorang Kakek aneh yang tersenyum-senyum. Sedangkan bayangan ke dua yang memukul roboh biruang itu adalah seorang pemuda gagah perkasa dan tampan. Dia merasa heran dan juga kagum. Dia tahu bahwa mereka bukanlah tergolong suku Bangsa Mongol dan melihat kulit mereka yang kekuningan, mata mereka yang sipit dan pakaian mereka, dia menduga bahwa dua orang itu tentulah dua orang pandai yang datang dari Kerajaan Cin di sebelah selatan Tembok Besar atau dari Kerajaan Sung yang berada di jauh sebelah selatan lagi menurut dongeng orang-orang tua. Setelah merobohkan biruang, Leng Bu San kini berdiri di samping Gurunya dan memandang kepada pemuda remaja Mongol itu dengan perasaan penuh heran dan kagum.
Dia hampir tak dapat percaya melihat anak tadi demikian gagah berani melawan seekor biruang yang demikian besar dan kuatnya. Sedikit pun anak itu tidak tampak gentar, bahkan pada saat terakhir ketika nyawanya terancam. Jelas bukan anak sembarangan! Melihat betapa dua orang asing itu tadi telah menolongnya clan menyelamatkannya, Temuchin tidak mengucapkan terima kasih karena sudah menjadi kebiasaan sukunya, yaitu suku Yakka bahwa membantu atau menolong merupakan suatu kewajiban bagi setiap orang. Maka kalau dia ditolong, hal itu merupakan sesuatu yang wajar. Rasa sukurnya hanya diperlihatkan dari sikapnya yang bersahabat karena seorang penolong adalah seorang saudara atau sahabat baik.
"Paman dan Saudara Tua yang gagah perkasa. Siapakah kalian berdua dan apa pula sebabnya kalian yang jelas merupakan orang asing di daerah ini bersusah payah menolongku?"
Ucapan Temuchin ini Raja membuat kedua orang itu menjadi semakin kagum. Agaknya ucapan itu lebih pantas keluar dari mulut seorang dewasa yang memiliki harga diri dan mengandung kewibawaan. Leng Bu San tidak tahu artinya karena dia tidak mengerti bahasa Mongol, akan tetapi dia dapat merasakan keagungan sikap anak itu. Akan tetapi Koai-Tong Mo-Kai yang sudah banyak merantau ke utara dapat bicara bahasa itu dengan baik. Dialah yang menjawab pertanyaan Temuchin itu.
"Anak yang baik, orang menyebut aku Koai-Tong Mo-Kai (Pengemis Iblis Anak Aneh). Dan ini adalah muridku bernama Leng Bu San. Aku sendiri seorang perantau, entah berasal dari mana dan Bangsa apa, pendeknya aku sebangsa manusia, ha-ha-ha! Dan muridku ini adalah seorang dari Kerajaan Cin. Nah, kami telah memperkenalkan diri dan mengapa kami tadi menolongmu? Karena melihat engkau demikian gagah melindungi orang terluka yang kau panggul itu, dan melihat engkau terancam bahaya maut kami tertarik dan kagum, lalu membantumu. Sekarang giliranmu untuk memperkenalkan diri. Engkau siapakah dan apa yang terjadi sehingga orang itu terluka?"
Koai-Tong Mo-Kai menudingkan telunjuknya ke arah Albagu yang masih menggeletak di atas pasir. Temuchin memperkenalkan diri.
"Aku bernama Temuchin..."
"Aihhh...!"
Temuchin terpaksa berhenti karena Kakek aneh itu berseru girang dan wajahnya berseri, mulutnya tersenyum lebar.
"Namamu Thie-Mou-Jin?"
Dalam bahasa Cina di selatan, nama itu berarti "Manusia Berkekuasaan Besar".
"Ah, kiranya engkaulah orang yang selama ini kucari-cari!"
"Hemm, apa maksudmu, Koai-Tong Mo-Kai?"
Tanya Temuchin heran.
"Sudah lama aku mencari orang yang kelak akan menjadi penguasa yang amat besar di dunia. Kiranya engkau orangnya! Ah, hatiku girang sekali dan terimalah hormatku, Temuchin!"
Dan Kakek itu benar-benar menjura dengan hormat kepada anak itu!
"Suhu, apa artinya semua ini?"
Tanya Bu San yang tidak mengerti percakapan mereka kepada gurunya.
"Bu San, inilah orangnya yang kelak akan menjadi Raja Besar dengan kekuasaan yang hebat di dunia seperti yang pernah kuceritakan padamu! Anak inilah yang patut kau bela dan kau bantu agar kelak engkau juga memperoleh kedudukan mulia!"
Kata Kakek itu lalu dia kembali menghadapi Temuchin yang masih berdiri memandangnya dengan heran.
"Temuchin, harap engkau lanjutkan keteranganmu. Siapakah orang yang kau panggul itu dan mengapa dia terluka?"
"Mo-Kai,"
Kata Temuchin tanpa ragu.
"dia adalah Kakak tiriku, se Ayah berlainan Ibu. Namanya Albagu. Ketika tadi aku mencari ikan, dia mencuri ikan yang kudapatkan. Kami berkelahi dan dia terjatuh ke bawah bukit, kepalanya terbentur batu sehingga terluka. Aku memanggulnya untuk membawa pulang agar dia diobati Tabib suku kami. Akan tetapi kami terhalang badai besar dan Berlindung dalam guha. Selepas badai, aku melanjutkan perjalanan dan memanggul tubuh Albagu, akan tetapi dihadang biruang itu!"
Dia menunjuk ke arah biruang yang telah mati dan menggeletak telentang di atas pasir.
"Aku juga mengerti akan pengobatan, biar kuperiksa saudaramu,"
Kata Koai-Tong Mo-Kai yang lalu berjongkok memeriksa keadaan Albagu. Dia melihat betapa pemuda remaja itu telah kehabisan banyak darah. Cepat ditotoknya beberapa jalan darah dan dia membubuhi obat bubuk putih pada luka di kepala.
"Bagaimana keadaannya, Mo-Kai?"
Tanya Temuchin. Kakek itu menghela napas panjang.
"Lukanya cukup berat dan dia kehilangan banyak darah. Sebaiknya kita cepat bawa dia kepada keluargamu. Masih jauhkah tempat tinggalmu, Temuchin?"
"Perkemahan kami berada di balik bukit kecil di sana itu. Ayah kami adalah Kepala Suku Yakka, bernama Yesukai yang memimpin atas penghuni dari empat puluh ribu kemah!"
"Kalau begitu, sungguh tepat dan bagus sekali!"
Kaoi-Tong Mo-Kai berkata sambil tertawa senang karena sungguh cocok sekali kalau Temuchin adalah putera seorang kepala suku! Pantas kalau dia kelak menjadi Raja besar yang berkuasa! "Mari kita cepat bawa saudaramu pulang!"
Temuchin mengangguk dan menghampiri Albagu, akan tetapi Kakek itu cepat berkata,
"Temuchin, engkau baru saja mengeluarkan banyak tenaga ketika melawan biruang. Biar muridku yang akan memanggul saudaramu."
Mo-Kai lalu berkata kepada Bu San.
"Bu San, kita bantu dia. Kau panggullah pemuda remaja yang terluka itu karena Temuchin ini sudah mengeluarkan banyak tenaga ketika melawan biruang."
Bu San mengangguk dan dia lalu memanggul tubuh Albagu yang lemas. Temuchin tampak termangu sambil menoleh ke arah biruang.
"Sayang sekali kalau biruang itu ditinggalkan. Semua orang di perkemahan tentu akan menyambutnya dengan gembira kalau aku dapat membawanya pulang. Akan tetapi... ah, dia berat sekali, tidak mungkin membawanya..."
Kata Temuchin.
"Mengapa tidak mungkin? Aku dapat membawakannya untukmu, Temuchin. Mulai sekarang, aku akan membantumu, juga muridku Leng Bu San akan membantumu kalau engkau suka menjadi muridku dan menerima pelajaran kesaktian."
Wajah Temuchin berseri, matanya bersinar.
"Tentu saja aku suka menjadi muridmu untuk mempelajari ilmu yang dapat membuat aku sekuat dirimu, Mo-Kai!"
"Kalau begitu, mari kita berangkat!"
Kata Kakek itu dan dia lalu memegang kaki belakang kanan dari biruang itu lalu menyeretnya, dan tampaknya ringan sekali. Temuchin terbelalak keheranan, juga kegirangan karena ternyata Kakek itu memang sakti seperti yang telah dia duga tadi. Mereka bertiga tiba di perkemahan suku Yakka sebelum gelap dan Yesukai sendiri dan para isterinya menyambut kedatangan Temuchin dengan heran melihat ada dua orang asing datang bersama Temuchin dan mereka berdua memanggul tubuh Albagu dan terutama yang tua menyeret bangkai biruang putih yang besar dan amat berat itu!
Padahal mereka tahu bahwa enam orang dewasa belum tentu akan kuat menyeret bangkai binatang itu. Temuchin sibuk bercerita, menceritakan perbuatan Albagu mencuri ikannya sehingga mereka berkelahi dan Albagu terguling ke bawah bukit dan kepalanya membentur batu sehingga terluka. Juga dia menceritakan tentang badai dan biruang putih yang menyerangnya sehingga dia terancam bahaya lalu ditolong oleh Pengemis Iblis dan muridnya yang bernama Leng Bu San. Tentu saja hanya Koai-Tong Mo-Kai yang dapat mengerti percakapan itu dan dia berbisik menterjemahkannya kepada muridnya sehingga Bu San juga mengerti. Dalam perjalanan tadi Mo-Kai sudah menceritakan kepada Bu San tentang diri Temuchin dan pemuda itu merasa kagum sekali.
Mendengar cerita Temuchin, Yesukai yang dalam usianya yang hampir lima puluh tahun masih tampak tinggi besar dan gagah perkasa itu, segera memerintahkan pembantunya memanggil Tabib untuk memeriksa dan mengobati Albagu. Akan tetapi Tabib itu pun menggelengkan kepalanya melihat keadaan Albagu yang pucat itu. Yesukai membenarkan tindakan Temuchin. Mencuri merupakan perbuatan yang dianggap hina dan rendah, maka patutlah kalau Albagu menerima hukuman itu. Juga Yesukai dan para pimpinan suku yang menjadi pembantunya, merasa kagum ketika Mo-Kai menegaskan bahwa biruang itu yang membunuh adalah Temuchin. Dia berkata demikian karena Temuchin bercerita bahwa biruang itu dibunuh oleh pukulan Leng Bu San.
(Lanjut ke Jilid 28)
Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 28
"Temuchin yang membunuhnya. Lihat luka-luka di kepala biruang itu yang terkena tikaman golok Temuchin, juga kaki depan kiri yang terluka parah oleh goloknya. Muridku Leng Bu San hanya mendorong biruang itu saja. Pembunuhnya adalah Sang Anak Perkasa Temuchin!"
Segera nama Temuchin makin terkenal sebagai anak pembunuh biruang putih yang besar dan semua orang semakin kagum kepadanya. Ketika Temuchin bercerita kepada Yesukai bahwa dia kini menjadi murid Koai-Tong Mo-Kai dan Leng Bu San hendak membantu suku Yakka, kepala suku itu menerima dengan girang. Dia tahu bahwa dua orang asing itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan hal ini menguntungkan pihaknya kalau mereka mau membantu. Sejak hari itu, Koai-Tong Mo-Kai dan Leng Bu San tinggal di perkampungan suku Yakka. Untuk mereka didirikan sebuah kemah untuk tempat tinggal atau lebih tepat tempat melewatkan malam.
"Su-Kong (Kakek Guru), jangan Su-Kong, jangan mati dulu, berilah kesempatan kepadaku untuk membalas budi kebaikan Su-Kong!"
Kata Song Bwee Cin atau Cin Cin sambil berlutut dan terisak menangis lirih. Di depannya duduk Kakek tua renta Khong-Sim Sin-Kai yang bersila sambil tersenyum. Dia telah menggembleng cucu muridnya itu selama hampir sepuluh tahun, bukan hanya menggembleng ilmu silat dan kesaktian, akan tetapi iuga ilmu batin dan terutama sekali penyerahan diri lahir batin kepada TUHAN Yang Maha Kasih.
Dia tahu bahwa Cin Cin yang pada dasarnya amat pemberani dan berwatak adil dan gagah itu amat keras hati pula, akan tetapi kini anak yang kini telah menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun sudah mampu mengendalikan gejolak perasaannya dan tidak terlalu dipengaruhi nafsu-nafsunya. Akan tetapi bagaimanapun juga, Cin Cin adalah seorang wanita yang perasaannya tentu saja amat peka dan mudah terharu sehingga ketika tadi dia mengatakan bahwa sudah tiba saatnya bagi gadis itu untuk pulang ke rumah orang tuanya karena dia pun tahu bahwa sudah tiba saatnya untuk kembali ke asalnya meninggalkan dunia dalam usianya yang sudah dua kali lipat usia orang tua pada masa itu, gadis itu langsung menangis. Kata-kata yang keluar dari mulutnya itu menunjukkan betapa ia merasa amat sedih mendengar pengakuan Kakek Gurunya tadi.
"Hemm, Cin Cin, renungkan sejenak. Siapakah sebenarnya yang kau tangisi sekarang ini? Engkau menangisi aku yang sudah akan menamatkan riwayat hidupku di dunia ini, ataukah engkau menangisi dirimu sendiri?"
Cin Cin menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus air matanya dan dengan mata basah ia memandang wajah Kakek itu.
"Aku menyadari sepenuhnya, Su-Kong, bahwa dalam menghadapi kematian seseorang yang dihormati dan dicintai, sl penangis itu menangisi dirinya sendiri karena harus berpisah dari orang yang dihormati atau dicintainya itu. la menangis karena iba diri, karena dirinya yang kehilangan. Ia sama sekali tidak menangisi yang mati. Akan tetapi, Su-Kong, saya menangis bukan hanya karena harus berpisah dan Su-Kong hendak meninggalkanku, akan tetapi terutama sekali karena tiada kesempatan bagiku untuk berbakti kepada Su-Kong dan membalas segala kebaikan Su-Kong kepadaku."
"Cin Cin, engkau berarti sudah berbakti dan sudah melimpahkan segala kebaikan kepadaku kalau engkau selalu berbakti dalam hidupmu kepada TUHAN! Kalau mulai sekarang dan selanjutnya selama hidupmu engkau membiarkan dirimu dibimbing oleh TUHAN, hal ini berarti bahwa selama ini tidak sia-sia aku memberi pelajaran kepadamu. Ingatlah selalu bahwa di dalam dirimu terdapat dua kekuatan yang memperebutkan dirimu untuk diperalat, yaitu Kekuasaan TUHAN dan kekuasaan setan. Dengan akal pikiranmu sendiri, engkau tidak akan mampu melawan kekuasaan setan. Hanya kalau engkau pasrah sepenuh jiwa ragamu kepada TUHAN, maka Kekuasaan TUHAN yang akan membimbingmu dan yang akan menundukkan kekuasaan setan sehingga engkau tidak akan menjadi alat setan, melainkan menjadi alat TUHAN!"
Sampai lama Cin Cin menundukkan kepalanya. la sudah menerima pelajaran tentang semua itu dan kini inti pelajaran itu semakin meresap dalam hatinya. la menyadari sepenuhnya bahwa keinginannya untuk "menahan"
Kematian Kakek Gurunya agar ia memperoleh kesempatan membalas budi adalah juga semacam keinginan untuk dirinya sendiri! Agar dirinya dapat membalas budi dan karenanya keinginannya itu tidak akan terkabul kalau Kakek Gurunya mati, maka keharuannya yang membuat ia menangis tadi hanyalah kenyataan dari rasa kecewa dan penyesalannya!
"Aku mengerti dan menyadari, Su-Kong. Maafkan kelemahanku,"
Katanya lirih. Kakek itu tersenyum.
"Wajarlah kalau perasaanmu peka dan lemah, Cin Cin, karena engkau seorang wanita. Sekarang dengarkan baik-baik, Cin Cin. Hari ini, aku ingin menikmati masakanmu yang paling lezat dan kusuka, yaitu masakan rebung bambu naga yang manis rasanya itu. Kemudian, biarkan aku sendiri dalam kamarku dan engkau boleh tidur beristirahat karena besok pagi-pagi engkau harus turun Bukit Kera ini dan kembali kepada orang tuamu."
"Baik, Su-Kong!"
Jawab Cin Cin yang kini memperoleh kembali kelincahan dan kegembiraannya setelah menyadari akan kekeliruan sikapnya tadi dan ia bergembira untuk dapat membuatkan masakan kesukaan Kakek Gurunya. Cepat ia pergi mencari rebung Bambu Naga yang dikehendaki Kakek Gurunya itu. Bambu Naga ini bentuknya seperti tubuh seekor ular atau naga, melengkung-lengkung dan ruasnya seperti membentuk sisik naga. Rebungnya tampak biasa saja seperti rebung bambu lain, akan tetapi memang kalau dimasak rasanya lain, lebih manis dan sedap baunya. Cin Cin merasa bangga bahwa ia mempunyai bakat memasak dan masakannya, walaupun terbuat dari bahan yang biasa saja, sayur-sayuran dan terkadang ikan yang didapatinya di sungai kecil di lereng bawah atau daging kijang atau kelinci.
Kakek Gurunya selalu menikmati masakannya dan memujinya, akan tetapi masakan rebung Bambu Naga itulah yang paling disukai. Malam itu dengan gembira Cin Cin melayani Kakek Gurunya makan nasi dengan masakan Bambu Naga dan beberapa macam lauk pauk lagi. Ia gembira melihat betapa Kakek yang telah amat lanjut usianya itu makan dengan nikmat sambil minum arak yang ia sediakan di atas meja. Ia pun menemani Kakek Gurunya makan minum. Biarpun ia menyadari bahwa itulah makan bersama yang terakhlr kalinya, ia. tidak merasa sedih lagi karena hal itu adalah wajar-wajar saja. Selesai makan, Kakek itu memandang Cin Cinn dan senyumnya makin melebar.
"Wah, sungguh badan ini menikmati masakanmu, Cin Cin. Lihatlah tongkatku ini. Biarpun tampak sebagai tongkat bambu biasa, akan tetapi sesungguhnya tongkat ini adalah sebuah benda pusaka yang ampuh. Pusaka ini terbuat dari Bambu Dewa Putih, sejenis bambu berwarna putih, tidak beruas dan tidak berlubang dalamnya, yang hanya terdapat serumpun saja di bagian utara Pegunungan Himalaya. Untuk mendatangi puncak di mana terdapat serumpun Bambu Dewa Putih itu pun bukan pekerjaan mudah, penuh bahaya dan tidak dapat dilakukan sembarang orang. Tempat itu terjaga oleh makhluk-makhluk halus sebangsa jin yang berbahaya. Tongkat ini kuberikan padamu, Cin Cin, dapat membantumu untuk melindungi dirimu dari bahaya. Akan tetapi besok saja kau bawa kalau engkau akan meninggalkan pondok ini. Sekarang, pergilah beristirahat di kamarmu sendiri, aku merasa lelah dan mengantuk."
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo