Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 29


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 29



Cin Cin mengangguk dan membawa alat-alat untuk makan ke belakang untuk dicuci. Akan tetapi baru saja tiba di pintu Kakek itu memanggilnya.

   "Cin Cin...!"

   Gadis itu berhenti melangkah dan memutar tubuhnya. Ia melihat Kakek itu juga sudah bangkit dan sejenak mereka bertemu pandang.

   "Ada apa, Su-Kong?"

   "Cin Cin, besok pagi-pagi setelah burung-burung mulai berkicau dan kera-kera mulai bercowetan, bangun dan berkemaslah. Kemudian, kau temui aku di kamarku. Kalau engkau melihat aku ternyata sudah pergi meninggalkan raga ini, taati perintahku terakhir, bakarlah pondok ini lalu pergilah. Jangan lupa untuk membawa tongkatku ini bersamamu."

   "Su-Kong...!"

   Cin Cin menahan perasaannya yang merasa tertusuk karena ia teringat akan kekeliruannya yang tadi.

   "Hemm, apa yang hendak kau katakan?"

   Kakek itu bertanya, suaranya sudah mengandung teguran.

   "Begini, Su-Kong. Aku jadi ingin sekali mengetahui perbedaan antara cara orang mengurus jenazah. Ada yang menguburnya dalam tanah, ada pula kudengar ada yang yang melemparkannya ke lautan, dan Su-Kong tadi mengatakan, ada yang harus dibakar. Mana yang benar dan apa perbedaan antara semua cara itu?"

   Khong-Sim Sin-Kai tersenyum dan mengangguk-angguk.

   "Tidak ada bedanya dan semua itu benar saja, Cin Cin. Tubuh manusia berasal dari unsur tanah, api, air, dan hawa dan kalau Jiwa sudah meninggalkan raga, maka raga atau tubuh itu kembali kepada asalnya. Maka dikembalikan melalui tanah, air, atau api itu tidak ada salahnya dan benar saja. Nah, mau bertanya apa lagi?"

   Cin Cin menggelengkan kepalanya.

   "Tidak, tidak ada lagi, Su-Kong, aku... aku mau mencuci mangkok-mangkok ini..."

   Ia lalu pergi ke dapur untuk melakukan pekerjaannya.

   Kakek itu mengikutinya dengan pandang matanya, tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu melangkah memasuki kamarnya tanpa menutupkan daun pintunya. Setelah tiba di dapur, Cin Cin tidak mencuci mangkok melainkan duduk menangis! Ia menangis seperti anak kecil, akan tetapi menahan suaranya sehingga ia menangis tanpa suara, hanya menahan sesenggukan sambil menutup mulutnya dan air matanya jatuh berderai-derai. Ia tahu benar bahwa kesedihan dan keharuan hatinya itu tidak benar, akan tetapi ia tidak peduli. Ia merasa sedih dan harus menangis, mengapa ditahan? Maka menangislah ia menjadi-jadi, bahkan ia lalu meninggalkan dapur dan merebahkan diri di atas pembaringan di kamarnya sambil terus menangis sampai akhirnya ia tertidur. Kesedihan memang membuat orang menjadi lemah dan lelah.

   Bukit Kera itu merupakan sebuah di antara banyak bukit di Pegunungan Thai-San. Bukit itu memang dihuni banyak kera dan di situlah Khong-Sim Sin-Kai mengajak Cin Cin tinggal untuk mempelajari ilmu selama hampir sepuluh tahun. Gadis itu biarpun hanya tinggal berdua dengan Kakek Gurunya di bukit yang sunyi itu, namun ia terkadang turun bukit mengunjungi dusun-dusun di kaki bukit untuk membeli keperluan bumbu masak, pakaian dan sebagainya. Ia cukup menukar semua kebuTUHANnya itu dengan kulit binatang atau tanduk rusa, juga beberapa rempa-rempa yang dibutuhkan penduduk dusun untuk bahan obat yang mereka jual ke kota yang jauh letaknya dari situ. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali terdengar kicau burung-burung di belakang pondok sederhana itu di mana terdapat banyak pohon besar.

   Kemudian, agaknya kicau burung itu membangunkan kera-kera yang juga banyak terdapat di pohon-pohon besar sehingga mereka pun mulai sibuk cecowetan riuh. Cin Cin terbangun dari tidurnya. la bangkit duduk dan segera teringat akan pesan Kakek Gurunya. la duduk bersila, memejamkan kedua matanya dan menenteramkan hatinya. Dengan kepasrahan yang bulat manusia dapat menerima apa saja yang menimpa dirinya sendiri atau segala sesuatu di sekelilingnya. Di luar kekuasaan daya upaya dan usaha manusia, ada kekuasaan tertinggi yang bekerja, Kekuasaan TUHAN bekerja tanpa dapat ditolak oleh siapapun juga yang sudah berikhtiar sekuat tenaga. Ikhtiar merupakan tugas kewajiban setiap orang manusia untuk menyelamatkan dan menyejahterakan hidupnya. Namun keadaan tidak dapat digantungkan kepada ikhtiar semata.

   Kalau TUHAN menghendaki lain, segala macam usaha dan ikhtiar akan menemui kegagalan juga. Kalau sudah pasrah dengan sebulatnya, sepenuh jiwa raga, maka seorang manusia mampu menghadapi apa pun yang terjadi dengannya karena merasa yakin bahwa kejadian itu adalah kehendak TUHAN semata dan harus diterima dengan hati rela dan ikhlas karena segala sesuatu berada dalam kekuasaan TUHAN. Setelah merasa tenang, ia tidak segera berkemas. la harus lebih dulu menengok keadaan Kakek Gurunya. Dengan tenang ia keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar Gurunya yang daun pintunya terbuka. Bahkan ketika in melangkahi ambang pintu, ia melihat daun jendela kamar itu pun terbuka dan cahaya matahari fajar yang merah cukup menerangi kamar itu. Ia melihat Kakek Gurunya duduk bersila di atas pembaringan.

   "Su-Kong...."

   Katanya Iirih. Akan tetapi Kakek itu tidak menjawab.

   "Su-Kong, bolehkah aku masuk?"

   Tanya Cin Cin, kini ia memperkuat suaranya. Akan tetapi Kakek itu tetap diam tidak menjawab. Cin Cin lalu melangkah masuk. la sudah dapat menduga bahwa keadaan Kakek Gurunya itu tentu ada hubungannya dengan kata-katanya semalam.

   Setelah berada di depan pembaringan, ia berlutut dan menyentuh tangan Khong-Sim Sin-Kai. Tangan itu sudah dingin. Cin Cin memegang pergelangan tangan Kakek Gurunya. Tidak ada lagi detik urat nadinya. la bangkit berdiri dan menaruh telapak tangannya di depan hidung dan mulut Kakek Gurunya. Tidak ada pernapasan, sedikit pun. Yakinlah Cin Cin bahwa Kakek itu sudah tidak bernapas lagi, detik jantungnya sudah berhenti, Kakek Gurunya telah wafat, jiwanya telah meninggalkan raganya! Akan tetapi ia dapat menerima kenyataan itu dengan tenang, sepenuhnya maklum bahwa itu merupakan kehendak TUHAN, bahkan yang sudah dinanti oleh Kakek Gurunya, maka kematian Khong-Sim Sin-Kai adalah sesuatu yang wajar, seperti timbul dan tenggelamnya matahari di waktu pagi dan sore. Cin Cin menjatuhkan diri berlutut di depan Kakek Gurunya, berkata lirih,

   "Su-Kong, selamat jalan dan semoga TUHAN menerima dalam kebahagiaan abadi."

   La memberi hormat sambil berlutut dan menyentuhkan dahinya di atas lantai sampai tiga kali, lalu bangkit berdiri dan mengamati Kakek Gurunya dari rambut kepala yang sudah putih semua itu sampai ke kaki yang kurus dan duduk bersila itu. Ia merasa kagum sekali. Kakek Gurunya meninggal dunia dalam keadaan bersila dan bersamadhi yang merupakan latihan "mati dalam hidup", yaitu sewaktu bersamadhi itu, raganya masih hidup akan tetapi hati akal pikirannya seolah mati, karena sama sekali tidak bekerja.

   "Su-Kong, ijinkanlah aku melaksanakan perintah Su-Kong yang terakhir,"

   Bisiknya dan melihat tongkat bambu putih bersandar di pembaringan itu, ia lalu mengambilnya dan menyelipkan tongkat itu di balik ikat pinggangnya. Ia tahu bahwa Kakek Gurunya tidak memiliki apa-apa, bahkan selama hidup bertahun-tahun dengannya di pondok itu, Kakek itu selalu mengatakan bahwa sesungguhnya manusia itu tidak memiliki apa-apa.

   Manusia boleh mengatakan dia mempunyai keluarga, harta benda, ilmu, dan sebagainya. Namun sesunggUhnya, segala sesuatu itu adalah milik TUHAN dan berada pada manusia hanya sebagai pelengkap semasa hidup di dunia ini, hanya sementara saja. Setelah memberi hormat lagi, Cin Cin lalu menutupkan daun jendela dan pintu kamar itu, keluar dari kamar dan barulah ia pergi ke pancuran air yang berada di belakang pondok dan mandi. Setelah berganti pakaian dan mengumpulkan semua pakaiannya lalu dibungkus menjadi buntalan kain yang digendongnya di punggung, ia lalu keluar dari pondok, mengumpulkan kayu dan daun kering, menumpuknya di dalam dan di luar pondok, terutama ia menumpuk banyak kayu kering di dekat kamar Kakek Gurunya. Setelah semua siap, ia menjatuhkan diri berlutut menghadap pondok dan berbisik,

   "Su-Kong, saya akan membakar pondok sesuai dengan pesan Su-Kong."

   Setelah berkata demikian, ia lalu membakar rumput-rumput kering yang ia tumpuk bersama kayu-kayu kering di sekeliling pondok. Api mulai bernyala di sekeliling pondok dan tak lama kemudian pondok ltu pun terbakar. Muncul keharuan dalam hatinya melihat pondok di mana selama bertahun-tahun ia tinggal, dan juga jenazah Kakek Gurunya yang dihormati dan disayanginya, terbakar dalam api yang berkobar itu. Akan tetapi kesadarannya menghapus keharuan itu. Pondok itu, Kakek Gurunya, semua itu hanya masa lalu! Masa lalu itu hanya "hidup"

   Dalam ingatan, dalam kenangan dan membongkar tumpukan masa lalu hanya akan mendatangkan kekecewaan, kehilangan, dendam, dan duka.

   Demikianlah yang sering ia dengar dari Kakek Gurunya. Hidup adalah saat ini, saat demi saat, demikian ucapan Kakek Gurunya. Masa lalu sudah lewat, sudah mati, dan masa depan hanyalah bayangan harapan yang bukan lain hanya keinginan untuk mendapatkan yang serba menyenangkan. Hidup adalah saat ini. Hati akal pikiran seyogianya dipergunakan untuk menghadapi saat demi saat, menjadi sebuah kewaspadaan, waspada terhadap ulah dan tingkah laku sendiri. Ingatan seharusnya selalu ditujukan kepada kekuasaan TUHAN sehingga akan selalu mendapatkan bimbingan dan dengan demikian, maka semua tindakan yang mendapat bimbingan TUHAN sudah pasti benar, sesuai dengan kehendak-Nya yang dituangkan dalam pelajaran semua wahyu agama di dunia ini.

   Kebaikan yang sejati, yang menjadi buah dari pohon yang disiram oleh bimbingan TUHAN, didasari cinta kasih dan selalu mendatangkan kebahagiaan lahir batin. Bukan kebahagiaan semu yang sesungguhnya bukan kebahagiaan melainkan kesenangan badani yang terkadang menjerumuskan kita ke dalam prilaku yang salah. Menjelang siang, api yang membakar pondok itu pun padam. Cin Cin lalu mencari abu jenazah Kakek Gurunya. Dengan mudah ia menemukan abu jenazah yang berwarna putih setumpuk, di antara abu-abu dari bakaran pondok yang warnanya lebih hitam. Karena ia telah mempersiapkannya lebih dulu, ia lalu mengambil kain kuning dari buntalan pakaiannya dan membungkus abu jenazah itu dan memasukkannya ke dalam gendongan buntalan pakaian.

   la ingin membawa abu jenazah Kakek Gurunya itu pulang dan menyerahkan abu itu kepada Ayahnya, yang tentu akan senang mendapat kesempatan mengurus abu jenazah Gurunya. Setelah itu Cin Cin lalu menuruni Bukit Kera dan merasa seolah-olah memasuki kehidupan baru. Memang, seorang manusia seyogianya menyongsong kehidupan sehari-hari sebagai sesuatu yang baru, sesuai dengan nasihat Kakek Gurunya bahwa hidup adalah sekarang, saat ini, saat demi saat, itulah hidup! Sesuai pula dengan anjuran Khong-Cu bahwa sehari-hari haruslah baru. Akan tetapi pada umumnya manusia hidup masih terpengaruh masa lalu sehingga hidupnya seperti hanya ulangan belaka, setiap hari hanya mengulang yang kemarin, yang lalu.

   Atau terkadang juga terbius masa depan, penuh cita-cita dan harapan, seperti hidup dalam khayalan mimpi, lupa bahwa kematian selalu menghadang kehidupan, di mana saja dan kapan saja. Terkadang, sebelum mulai mendekati cita-cita yang selalu dikejar-kejarnya, kematian telah mendahuluinya sehingga seluruh masa hidupnya menjadi sia-sia, hanya untuk mengulang masa lalu atau bermimpikan masa depan. Hidup adalah sekarang ini, saat ini, saat demi saat. Kita menghadapi hidup seperti apa adanya, yakin bahwa di atas segala usaha dan ikhtiar kita, ada kekuasaan yang jauh lebih hebat, lebih besar dan yang menentukan akhir atau hasil segala sesuatu. Karena itu, apa pun yang terjadi menimpa diri kita, terjadi di luar kemampuan kita untuk mengubahnya,

   Kita terima dengan mata terbuka, dengan penuh kewaspadaan, tanpa menyalahkan siapapun juga, tetap berikhtiar sekuat kemampuan kita namun didasari kepasrahan kepada Kekuasaan Tertinggi, yaitu Kekuasaan TUHAN yang mutlak menjadi penentu terakhir dan tidak dapat diubah oleh apa dan siapa pun juga! Setiap kejadian yang menimpa diri kita merupakan buah dari pohon yang benihnya kita sendiri yang menanamnya. Kalau benihnya buruk, mana mungkin buahnya dapat baik? Nilai buah tidak terlepas dari nilai benih pohonnya, yaitu perbuatan dan prilaku kita sendiri. Kalau berbuah buruk kesalahannya terletak kepada benih pohon atau kepada prilaku kita sendiri. Jadi, kalau terjadi sesuatu yang buruk menimpa kita, carilah kesalahannya kepada diri sendiri karena hal itu merupakan rangkaian dari sebab akibat yang sudah selayaknya dan sudah seadilnya.

   Cin Cin melanjutkan perjalanannya menuju Sung-Kian di mana orang tuanya tinggal. Akan tetapi belasan hari kemudian ketika ia tiba di luar sebuah hutan, di tempat yang sunyi, ia melihat seorang pemuda dan seorang gadis sedang berkelahi dengan serunya. Ia terkejut sekali melihat betapa dua orang itu amat lihai. Pemuda itu menggunakan Siang-Kiam (sepasang pedang) dan gadis itu menggunakan pedang di tangan kanan dan sehelai sabuk merah di tangan kiri.

   Gerakan mereka selain ringan dan cepat sekali, juga mengandung tenaga sakti yang kuat sehingga senjata yang mereka gerakkan mengeluarkan bunyi yang mengejutkan. Cin Cin dapat menilai bahwa tingkat ilmu silat dua orang itu agaknya tidak jauh selisihnya dengan ilmu-ilmu yang pernah ia pelajari, dan kedua orang itu pun seimbang. Akan tetapi ia dapat menilai bahwa keduanya masih membatasi diri sehingga pertandingan itu hanya seperti menguji kepandaian masing-masing, tidak seperti orang yang bersungguh-sungguh berkelahi. Akan tetapi Kakek dan Nenek yang berdiri di luar kalangan pertandingan, saling berhadapan, menonton dengan sikap tidak puas, ails mereka berkerut, dan terutama Nenek itu kini bahkan berkata dengan suara ketus.

   "Hong Cu, serang dia dengan sungguh-sungguh dan kau kalahkan dia! Tidak untuk percuma saja aku nnenggemblengnnu selama hampir sepuluh tahun!"

   Agaknya ia berkata kepada Si Gadis.

   "Ha-ha-ha, Sin Cu,"

   Kata Kakek itu kepada pemuda yang masih bertanding.

   "Masa engkau harus kalah? Jangan bikin malu Gurumu, hayo serang ia dengan Siang-Kiammu!"

   Cin Cin yang menonton sambil menyembunyikan dirinya di balik batang pohon, kini terbelalak. Dua nama itu! Dua nama yang amat dikenalnya karena Ayahnya telah banyak bercerita tentang orang-orang yang mengkhianati Kerajaan Sung, dan mereka yang berjiwa patriot. Di antara para patriot itu, Ayahnya suka menceritakan tentang mendiang Pangeran Liang Tek Ong yang dibunuh orang sakti dalam kamarnya.

   Ia tahu bahwa Pangeran Liang Tek Ong mempunyai seorang putera bernama Liang Sun dan mempunyai dua orang cucu bernama Liang Sin Cu dan Liang Hong Cu! Dan pemuda yang bertanding melawan gadis itu bernama Sin Cu dan gadis itu Hong Cu! Apakah mereka itu Kakak-beradik cucu mendiang Pangeran Liang Tek Ong? Akan tetapi kenapa kini mereka saling bertanding? Cin Cin mengamati pemuda itu. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun, tinggi tegap berwibawa, wajahnya tampan dan anggun. Dan gadis itu pun cantik manis, usianya sekitar dua puluh satu tahun. Lalu ia memandang kepada Kakek itu. Seorang pria berusia sekitar enam puluh tahun, tubuhnya sedang dan wajahnya masih tampan gagah. Nenek itu berusia sekitar lima puluh delapan tahun, tubuhnya masih padat Iangsing dan wajahnya juga masih cantik, pakaiannya dari sutera serba putih.

   Lalu ia melihat sikap dua orang tua itu, mereka tampak kesal dan tidak puas. Ia mulai dapat menduga apa yang terjadi. Agaknya dua orang Kakak-beradik itu menjadi murid Kakek dan Nenek itu dan kini agaknya kKakek dan Nenek itu bermusuhan dan mengajukan murid masing-masing untuk mengadu ilmu dan agaknya Kakak-beradik itu tentu saja tidak mau saling melukai apalagi membunuh. Dan Kakek dan Nenek itulah yang agaknya mendesak murid masing-masing untuk memaksakan kemenangan dan hal ini kiranya baru akan terjadi kalau kedua muda-mudi itu bertanding dengan sungguh-sungguh dan mungkin saja dapat saling melukai karena agaknya tingkat mereka sebanding. Ini tidak boleh terjadi, pikir Cin Cin dan ia lalu melompat keluar ketika melihat dua orang yang ia duga Kakak-beradik itu makin mempercepat gerakan dan memperhebat serangan mereka.

   "Trang-tranggg I!"

   Bunga api bepercikan ketika tongkat putih di tangan Cin Cin bertemu dengan pedang di tangan pemuda dan gadis itu. Ia telah menerjang di tengah, di antara mereka dan menangkis pedang mereka dengan tongkat putih pemberian Kakek Gurunya. Dugaan Cin Cin memang benar. Kakek Itu adalah Thian-Te Kiam-Sian (Dewa Pedang Langit Bumi) Su Kong Pin, sedangkan Nenek itu adalah Pek I Sianli (Dewi Baju Putih) Thio Eng. Pemuda itu Liang Sin Cu yang menjadi murid Thian-Te Kiam-Sian, sedangkan gadis itu adalah Liang Hong Cu yang menjadi murid Pek I Sianli. Selama hampir sepuluh tahun kedua orang Kakak-beradik ini menjadi murid mereka. Kedua orang Kakek dan Nenek yang bersaing sejak muda itu tinggal di daerah pegunungan Luliang-San. Thian-Te Kiam-Sian tinggal di Bukit Hong, dan Pek I Sianli tinggal di Bukit Perak.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, sekitar tiga tahun yang lalu kedua orang Kakak-beradik ini bertemu dan setelah mendapat ijin Guru masing-masing, mereka pergi ke Kotaraja membantu para pendekar menyerang Perdana Menteri Chin Kui sehingga menteri lalim dan khianat itu tewas. Setelah pamit kepada Ayahnya, Liang Sun, yang tidak mau memegang jabatan dan hidup sebagai rakyat biasa, Kakak-beradik yang belum tamat belajar itu kembali ke Luliang-San dan melanjutkan belajar ilmu silat tingkat tinggi selama sekitar tiga tahun lagi. DI luar pengetahuan mereka, Pek I Sianli menemui Thian-Te Kiam-Sian dan mengajukan tantangan untuk mengadu murid mereka agar diketahui siapa di antara mereka yang lebih unggul dalam menggembleng murid! Tantangan yang dilakukan dengan nada marah ini mengesalkan hati Thian-Te Kiam-Sian yang menerima tantangan itu.

   Demikianlah, pada hari itu mereka memerintahkan murid masing-masing untuk bertanding mengadu ilmu silat untuk membela nama Guru masing-masing. Tentu saja Sin Cu dan Hong Cu tidak bisa saling melukai sehingga Guru mereka menegur dan mendesak dan ketika mereka bergerak lebih cepat, tiba-tiba Cin Cin datang dan melerai mereka. Kedua Kakak-beradik ini terkejut karena tangkisan tongkat bambu putih itu membuat senjata mereka terpental dan mereka masing-masing melompat ke belakang. Kakak-beradik itu memandang heran kepada gadis berpakaian merah yang cantIk dan lincah itu dan mereka tidak mengenal siapa gadis yang melerai mereka itu. Pek I Sianli memandang marah kepada Cin Cin. Ia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Cin Cin dan berkata dengan suara garang.

   "Bocah lancang, siapakah engkau yang lancang berani mencampuri urusan orang lain?"

   Cin Cin tersenyum. Gadis ini sungguh berbeda dengan dulu sebelum ia digembleng oleh mendiang Kakek Gurunya. Ia tidak mudah diusik hati akal pikirannya sehingga tidak mudah marah. la tersenyum manis memandang kepada Pek I Sianli, demikian wajar senyum dan Pandang matanya sehingga Pek I Sianli me-rasa rikuh sendiri.

   "Bibi yang baik,"

   Kata Cin Cin dengan suara wajar penuh kejujuran.

   "Tadi aku mendengar disebutnya nama Sin Cu dan Hong Cu. Aku pernah mendengar dua nama itu diceritakan Ayahku, yaitu bahwa mendiang Pangeran Liang Tek Ong yang berjiwa pahlawan memiliki dua orang cucu bernama Liang Sin Cu dan Liang Hong Cu. Melihat mereka tadi bertanding tanpa menyerang dengan sungguh-sungguh, maka aku semakin yakin bahwa mereka tentulah Kakak-beradik cucu mendiang Pangeran Liang Tek Ong itu. Aku merasa heran sekali, akan tetapi melihat sikap kalian Paman dan Bibi yang seperti saling bermusuhan dan membujuk murid masing-masing untuk mencapai kemenangan, aku dapat menduga bahwa tentu Paman dan Bibi saling bermusuhan. Kukira amat licik dan tidak baik menyuruh Kakak dan adiknya bertanding hanya untuk mencari kemenangan bagi sang Guru yang kejam dengan kemungkinan Kakak dan adiknya saling melukai atau membunuh. Karena itulah maka aku lalu datang melerai."

   Pek I Sianli menjadi semakin marah.

   "Engkau anak kecil lancang tahu apa? Aku, Pek I Sianli, sudah puluhan tahun bermusuhan dengan Thian-Te Kiam-Sian ini, bahkan sebelum engkau lahir di dunia kami berdua sudah saling bermusuhan. Sekarang kami mengadu murid kami untuk menentukan siapa di antara kami lebih pandai. Ada hak apakah engkau hendak melarang dan mencampuri urusan kami?"

   Cin Cin memperlebar senyumnya.

   "Aih, kiranya Paman dan Bibi adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti? Dan tentu kalian berdua adalah orang-orang bijaksana sehingga dapat menjadi Guru dua orang cucu mendiang Pangeran Liang! Bibi adalah Dewi Berbaju Putih dan Paman adalah Dewa Pedang Langit dan Bumi! Para Dewa dan Dewi adalah lambang perdamaian dan ketenteraman, bagaimana mungkin seorang Dewi bermusuhan dengan seorang Dewa? Pantasnya yang suka bermusuhan adalah setan dan iblis! Tentu kalian tidak suka kalau julukan Paman diubah menjadi Setan dan julukan Bibi diubah menjadi Iblis, bukan?"

   "Kurang ajar!"

   Pek I Sianli membentak dan sekali ia bergerak, sinar pedangnya berkelehat menyambar ke arah Cin Cin. Gadis itu segera mengangkat tongkat bambunya menangkis.

   "Tranggg...!!"

   Pek I Sianli terkejut bukan main. Pedangnya bukan pedang biasa melainkan sebatang pedang pusaka ampuh dan ia menggerakkannya dengan pengerahan tenaga sakti yang kuat. Akan tetapi gadis muda itu menangkisnya dengan sepotong bambu dah pedangnya terpental, juga ia merasakan tenaga yang amat kuat dari tangan gadis itu. Sebelum ia bergerak menyerang lagi, tiba-tiba Thian-Te Kiam-Sian melompat maju berhadapan dengan Cin Cin, memandang ke arah tongkat putih itu dan dia berkata heran,

   "Bukankah itu tongkat putih milik Locianpwe Khong-Sim Sin-Kai? Bagaimana bisa berada di tanganmu, Nona?"

   "Memang benar tongkat bambu putih ini tadinya milik Su-Kong (Kakek Guru) Khong-Sim Sin-Kai dan sekarang menjadi punyaku."

   "Bagaimana bisa menjadi milikmu?"

   Su Kong Pin Si Dewa Pedang itu bertanya.

   "Karena memang diberikan kepadaku oleh mendiang Su-Kong!"

   "Mendiang...?"

   Pertanyaan ini keluar dari mulut Su Kong Pin dan Thio Eng hampir berbareng.

   "Apakah... Locianpwe Khong-Sim Sin-Kai sudah meninggal dunia...?"

   Tanya Kiam-Sian. Cin Cin menganggukkan kepalanya, menghela napas dan menurunkan buntalan pakaiannya, mengambil buntalan kain kuning berisi abu jenazah Kakek Gurunya lalu meletakkannya di atas tanah.

   "Benar, dan ini abu jenazahnya, akan kuserahkan kepada Ayahku yang menjadi muridnya."

   Tiba-tiba Thian-Te Kiam-Sian Su Kong Pin dan Pek I Sianli Thio Eng menjatuhkan diri berlutut menghadap buntalan kain kuning itu dengan sikap hormat. Diam-diam Cin Cin merasa terharu dan juga girang melihat betapa dua orang yang saling bermusuhan itu memberi hormat kepada abu jenazah Kakek Gurunya. Setelah dua orang itu bangkit berdiri lagi, Cin Cin berkata,

   "Nah, seharusnya demikian. Paman dan Bibi damai dan rukun. Tadi Paman dan Bibi berlutut memberi hormat kepada abu jenazah Su-Kong, dan Su-Kong menyaksikan Paman dan Bibi berlutut bersama, sungguh serasi. Mengapa tidak hidup dengan rukun dan damai, sebaliknya malah membawa-bawa permusuhan kepada murid?"

   Mendengar ucapan Cin Cin, wajah Thio Eng menjadi merah sekali dan Thian-Te Kiam-Sian Su Kong Pin terbelalak dan berseru heran.

   "Ya, Tuhan, aku seolah-olah mendengar ucapan mendiang Locianpwe Khong-Sim Sin-Kai sendiri melalui mulutmu, Nona!"

   Tentu saja kedua orang yang saling bermusuhan itu merasa heran bukan main karena mereka teringat akan peristiwa sekitar dua puluh tahun yang lalu. Ketika itu mereka juga saling serang, bahkan dengan hebat sekali sehingga agaknya seorang dari mereka akan roboh dan tewas.

   Tiba-tiba muncul Khong-Sim Sin-Kai dan Kakek itu yang melerai, bahkan membuat senjata di tangan mereka terpental oleh tongkat putih itu. Mereka berdua marah dan berbalik malah mereka berdua menyerang Khong-Sim Sin-Kai yang dengan mudah mengalahkan mereka. Akhirnya mereka berdua terpaksa mengakui bahwa mereka berhadapan dengan orang sakti dan ketika keduanya mendengar bahwa Kakek itu adalah Khong-Sim Sin-Kai, mereka berdua berlutut dan minta maaf. Nah, pada waktu itu, mendengar bahwa mereka saling bermusuhan, Khong-Sim Sin-Kai mengeluarkan ucapan yang sama dengan apa yang diucapkan gadis itu, menganjurkan mereka berdua hidup rukun, bahkan mengusulkan agar mereka berdua melupakan permusuhan dan menjalin kembali cinta kasih di antara mereka yang dulu tumbuh di waktu mereka masih muda!

   "Aih, benarkah begitu? Nah, kalau begitu, aku juga ingin sekali menasihatkan Paman dan Bibi agar melupakan permusuhan dan hidup berdua sebagai suami-isteri. Bukankah itu jauh lebih baik dan menyenangkan daripada bermusuhan dan berkelahi?"

   Mendengar ucapan Cin Cin yang bersikap penuh keberanian itu, Liang Sin Cu yang sejak tadi terpesona dan merasa kagum sekali kepada Cin Cin, segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Thian-Te Kiam-Sian Su Kong Pin dan berkata,

   "Maaf, Suhu. Sesungguhnya sudah lama Teecu (murid) juga memiliki harapan yang sama, yaitu alangkah akan bahagia hati Teecu dan adik Teecu kalau Suhu dapat berdamai dengan Guru Adik Hong Cu."

   Melihat ulah Kakaknya, Liang Hong Cu juga berlutut di depan kaki Gurunya dan berkata,

   "Subo (Ibu Guru), Teecu juga akan girang sekali kalau Subo dapat menjadi jodoh Guru Kakak Sin Cu."

   Kalau di masa lalu atau pada saat lain murid mereka mengajukan usul seperti itu, tentu Su Kong Pin dan terutama sekali Thio Eng akan marah sekali. Akan tetapi aneh, sekali ini mereka berdua tidak marah, melainkan malu dan salah tingkah! Apalagi di situ hadir Cin Cin yang tersenyum-senyum. Melihat dua orang Kakak-beradik itu membujuk Guru masing-masing, Cin Cin menjadi semakin girang. Saking girangnya, Cin Cin bertepuk tangan dan memang gadis lincah lni tidak pernah menyembunyikan perasaannya.

   "Bagus sekali, Paman dan Bibi mempunyai murid yang amat balk. Usul mereka itu amat tepat dan kukira Paman dan Bibi sebagai tokoh-tokoh besar tentu akan menyambutnya dengan bijaksana. Bagaimana pendapat Paman Thian-Te Kiam-Sian tentang usul kami bertiga tadi?"

   Su Kong Pin menghela napas panjang dan karena merasa malu, dia mengalihkan percakapan dan sebaliknya malah bertanya,

   "Nona, engkau yang semuda ini telah dapat mewarisi ilmu dan tongkat putih mendiang Lo-Cianpwe Khong-Sim Sin-Kai. Siapakah engkau, Nona?"

   "Namaku Song Bwee Cin dan biasa dipanggil Cin Cin."

   Akan tetapi ia tidak melupakan pertanyaannya tadi, maka segera ia melanjutkan.

   "Paman belum menjawab pertanyaanku tadi. Bagaimana, Paman, dapatkah memenuhi harapan kami bertiga untuk berdamai dan... berjodoh dengan Bibi Pek I Sianli?"

   "Hemmm, hal itu... akan kupikirkan dulu..."

   Jawabnya agak canggung sambil matanya mengerling kepada Thio Eng. Kini Cin Cin memandang Thio Eng dan bertanya,

   "Bagaimana dengan pendapat Bibi Pek I Sianli? Tentu Bibi juga cukup bijaksana untuk mengubah permusuhan yang tidak menguntungkan itu dan berdamai, bahkan dapat hidup dengan rukun bersama Paman Thian-Te Kiam-Sian?"

   Thio Eng cemberut dan mukanya menjadi semakin merah ketika ia mengerling ke arah Su Kong Pin dan melihat pria yang dulu menjadi kekasihnya itu tersenyum kepadanya.

   "Hemm, urusan perjodohanku, siapa yang berhak mencampuri?"

   Mendengar ini, Su Kong Pin yang tidak ingin bekas kekasihnya itu marah lagi, segera berkata,

   "Nona Song, benar apa yang dikatakan Thio Eng tadi. Urusan perjodohan adalah urusan kami berdua dan akan kami bicarakan saja sendiri. Orang lain tidak berhak mencampuri."

   Cin Cin tersenyum.

   "Siapa yang ingin mencampuri? Aku tadi hanya mengusulkan agar permusuhan yang tidak menguntungkan kedua pihak itu dihentikan dan diubah menjadi kerukunan. Biarpun Paman dan Bibi belum mengatakan setuju untuk menjadi suami-isteri, akan tetapi keputusan kalian untuk membicarakan urusan perjodohan itu antara kalian sendiri, hal itu sudah merupakan kemajuan. Permusuhan hilang diganti kerukunan, dan aku percaya Paman dan Bibi akan bersikap bijaksana. Kedua orang murid Paman dan Bibi yang akan menjadi saksi. Sekarang, aku pamit, hendak melanjutkan perjalananku."

   Setelah berkata demikian, Cin Cin melangkah dan hendak pergi dari situ.

   "Berhenti dulu, Nona!"

   Terdengar seruan Liang Sin Cu dan Cin Cin menahan langkahnya lalu membalikkan tubuh menghadapi pemuda yang sudah menghampirinya dan kini berdiri di depannya. Sejenak keduanya saling pandang dan Cin Cin merasa betapa tengkuknya dingin ketika dilihatnya sinar mata pemuda itu yang ditujukan kepadanya. Demikian jelasnya tampak kekaguman terbayang pada mata itu! Bukan kekaguman yang mengandung nafsu yang kurang ajar sepertl yang ia temukan dalam pandang mata kebanyakan pemuda yang bertemu dengannya, melainkan kekaguman yang mengandung kemesraan yang mendalam! Pemuda ini bukan hanya kagum kepadanya, melainkan juga agaknya tertarik sekali dan mungkinkah dia jatuh cinta?

   "Engkau yang menahanku? Apa maksudmu?"

   Tanya Cin Cin sambil mengamati pemuda itu. Seorang pemuda yang bertubuh tinggi tegap dan wajahnya tampan gagah berwibawa. Liang Sin Cu mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat dan Cin Cin segera membalasnya.

   "Maaf kalau aku berani lancang menahanmu, Nona Song Bwee Cin. Dugaan Nona tadi benar. Aku dan adikku itu memang cucu dari mendiang Kakek Pangeran Liang Tek Ong. Namaku Liang Sin Cu dan adikku itu bernama Liang Hong Cu. Tadi Nona mengatakan bahwa Nona mendengar tentang kami dari Ayah Nona. Bolehkah kami mengetahui siapa Ayah Nona?"

   "Ayahku bernama Song Han Bun."

   "Aih, sudah kuduga!"

   Tiba-tiba Liang Hong Cu menghampiri.

   "Adik Song Bwee Cin, kalau Ayahmu Song Han Bun, tentu Ibumu bernama Can Pek Giok dan mereka tinggal di Sung-Kian, bukan?"

   Cin Cin mengangguk, memandang cucu Pangeran itu yang cantik jelita dan lincah.

   "Benar, Enci Hong Cu, bagaimana engkau dapat mengetahui tentang Ayah-lbuku?"

   "Ayah kami, Liang Sun, menceritakan kepada kami. Ayah-Ibumu adalah sepasang suami-isteri pendekar budiman yang gagah perkasa!"

   "Terima kasih atas pujianmu, Enci Hong Cu. Akan tetapi jangan sebut aku Song Bwee Cin, cukup Cin Cin saja."

   "Balk, Adik Cin Cin. Sekarang, engkau hendak pergi ke manakah?"

   "Aku baru meninggalkan Su-Kong yang telah wafat dan hendak pulang ke Sung-Kian, menyerahkan abu jenazah Su-Kong kepada Ayahku."

   Liang Hong Cu segera menghampiri Gurunya dan berkata dengan manja,

   "Subo, bolehkah Teecu juga pulang? Teecu sudah merasa rindu kepada Ayah-Ibu dan Teecu ingin pergi bersama Adik Cin Cin."

   "Teecu juga ingin kembali ke Kotaraja, Suhu,"

   Kata pula Liang Sin Cu.

   "Teecu ingin melihat perkembangan Kerajaan Sung setelah kini diperintah oleh Kaisar Liang Jin."

   Thian-Te Kiam-Sian Su Kong Pin dan Pek I Sianli Thio Eng saling pandang dan keduanya lalu mengangguk, memberi ijin kepada murid-murid mereka yang ingin pulang. Mereka berdua mempunyai urusan sendiri yang hanya dapat dibicarakan dan diselesaikan oleh mereka berdua saja. Pula, sudah tidak ada lagi yang dapat mereka ajarkan kepada murid mereka yang sudah mewarisi boleh dibilang seluruh ilmu yang mereka kuasai.

   Demikianlah, Sin Cu dan Hong Cu lalu pergi bersama Cin Cin dan di sepanjang perjalanan mereka bertiga menjadi semakin akrab. Mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing dan satu-satunya hal yang dirasakan agak mengganggu dan kurang leluasa bagi Cin Cin adalah semakin kentaranya sikap Sin Cu yang jelas menaruh hati kepadanya. ia sendiri hanya merasa kagum kepada pemuda itu yang ternyata pendiam dan sopan, menjadi kebalikan dari sikap Hong Cu yang lincah, pemberani dan cerdik, juga banyak bicaranya, sikap yang tak banyak bedanya dengan sikapnya sendiri. Setelah melakukan perjalanan selama belasan hari, akhirnya di persimpangan jaIan, mereka berpisah. Cin Cin melanjutkan perjalanan menuju Sung-Kian, sedangkan Kakak-beradik itu langsung menuju ke Kotaraja.

   Pendekar Lui Hong dan isterinya, Li Sian Hwa, yang tinggal di rumah Jaksa Li, di mana Lui-Hong membantu di kantor Ayah mertuanya, menerima kedatangan Lui Tiong Lee, putera mereka, dengan gembira. Lima tahun yang lalu, Lui Hong mengantarkan puteranya yang ketika itu berusia empat belas tahun, kepada Gurunya, yaitu Thai Kek Lojin di Bukit Hong-San. Selama lima tahun Lui Tiong Le digembleng oleh Kakek Gurunya itu dan kini dia berusia sembilan belas tahun setelah oleh Kakek Gurunya diperkenankan pulang ke rumah orang-tuanya.

   Setelah menguji ilmu silat puteranya dengan mengajaknya latihan bersama, Lul Hong merasa bangga sekali karena ternyata tingkat kepandaian puteranya itu sudah hampir sebanding dengan tingkatnya sendiri, hanya sedikit selisihnya karena tentu saja Lui Tiong Lee kalah pengalaman dibandingkan Ayahnya. Kurang lebih sebulan setelah Tiong Lee kembali ke rumah orang-tuanya, keluarga Jaksa Li kedatangan tamu. Yang datang bertamu adalah Liang Sun, putera mendiang Pangeran Liang Tek Ong yang tentu saja dikenal baik oleh Jaksa Li maupun oleh Lui Hong. Liang Sun, biarpun putera tunggal mendiang Pangeran Liang Tek Ong yang terkenal sebagai seorang keluarga dekat Istana yang berjasa besar, tidak mau memegang pangkat dan hidup sebagai rakyat biasa.

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bersama Liang Sun, ikut pula kedua orang anaknya, yaitu Liang Sin Cu dan Liang Hong Cu yang juga baru pulang setengah bulan lalu setelah menerima pendidikan ilmu silat dari guru masing-masing, yaitu Thian-Te Kiam-Sian dan Pek I Sianli. Jaksa Li yang sudah tua, didampingi Lui Hong dan Lui Tiong Lee, setelah Nyonya Jaksa Li dan Nyonya Lui Hong ikut menyambut, mengajak tiga orang tamu itu duduk di ruangan pustaka yang luas karena Lui Hong maklum bahwa kunjungan itu pasti membawa urusan yang penting. Benar saja, setelah saling memperkenalkan anak masing-masing yang baru pulang dari perguruan, Liang Sun dengan serius berkata,

   "Paman Jaksa Li, dan terutama engkau, Lui Taihiap (Pendekar Lui), kunjungan kami ini membawa kabar yang amat penting dan kami ingin minta bantuan Lui Taihiap."

   Lui Hong menatap wajah Liang Sun dengan tajam dan penuh selidik. Dia menghormati putera Pangeran yang tidak ambisius ini, yang lebih suka hidup sebagai penduduk biasa, tidak menuntut kedudukan biarpun dia masih ada hubungan keluarga dengan Kaisar. Juga dia sudah tahu bahwa putera dan puteri Liang Sun yang sekarang hadir pula di situ merupakan dua orang muda yang lihai, yang beberapa tahun lalu pernah ikut menentang Perdana Menteri Chin Kui.

   "Liang-twako (Kakak Liang), bantuan apakah yang dapat kuberikan kepadamu?"

   Tanya Lui Hong.

   "Begini, Lui Taihiap, dan Paman Jaksa Li. Seperti telah kita ketahui, beberapa tahun yang lalu, cap kebesaran kaisar telah lenyap dan biarpun itu merupakan cap kebesaran Kaisar Sung Kao Cu almarhum dan Kaisar sekarang mempunyai cap kebesaran sendiri, namun tetap saja cap kebesaran yang hilang itu selain merupakan benda pusaka Istana, juga dapat berbahaya dan disalahgunkan kalau terjatuh ke tangan orang jahat atau pihak yang memusuhi Kerajaan Sung. Pencurinya tidak meninggalkan jejak dan tidak dapat diduga siapa yang melakukannya. Akan tetapi belum lama ini, sekitar setengah bulan, kedua orang anakku, Liang Sin Cu dan Liang Hong Cu pulang dan kebetulan saja mendapat kabar bahwa cap kaisar yang hilang itu berada di tangan Baduchin, wakil Mongol yang dulu pernah berada di sini. Maka, saya akan menyuruh kedua orang anakku ini untuk melakukan penyelidikan ke utara karena kabarnya Baduchin kini menjadi seorang kepala suku Bangsa Mongol di sana. Akan tetapi, mengingat bahwa dua orang anak saya masih muda, maka saya mohon bantuan Lui Taihiap untuk membantu mereka dalam usaha merebut kembali cap kaisar itu."

   Lui Hong menjawab,

   "Akan tetapi, Liang-Twako, saya percaya bahwa dua orang putera-puterimu cukup lihai untuk dapat merampas kembali cap itu."

   Liang Sun menghela napas panjang.

   "Sesungguhnya, Taihiap, anak-anakku telah mendapatkan pelajaran dari Guru-Guru mereka yang pandai. Sin Cu sudah tamat belajar dari Thian-Te Kiam-Sian sedangkan Hong Cu sudah belajar dari Pek l Sianli. Akan tetapi mereka masih muda dan tentu saja kurang pengalaman. Maka, saya harap Taihiap suka membantu mereka agar cap Kaisar itu dapat direbut kembali."

   Lui Hong tersenyum.

   "Baiklah kalau Twako mendesak dan memang cap itu amat penting untuk dirampas kembali. Akan tetapi saya akan mewakilkan kepada anak saya ini. Lui Tiong Lee juga baru sebulan pulang setelah berguru ke-pada Sukongnya (Kakek Gurunya) Thai Kek Lojin. Biarlah tiga orang muda ini yang diberi tugas untuk merampas kembali cap itu dari tangan Baduchin."

   Liang Sun menyambut dengan gembira.

   Dia percaya sepenuhnya kepada Lui Hong. Kalau pendekar itu mengajukan puteranya untuk membantu, dia merasa yakin bahwa pemuda putera Pendekar Lui itu pasti lihai sekali. Lui Tiong Lee mentaati perintah Ayahnya, juga dia sejak pertemuan tadi sudah merasa kagum kepada Sin Cu dan Hong Cu yang tampak gagah. Apalagi mendengar bahwa mereka berdua itu murid Thian-Te Kiam-Sian dan Pek i Sianli, sudah tentu mereka itu lihai sekali. Demikianlah, setelah mereka berunding dan mendapatkan petunjuk tentang daerah Mongol dan di mana kiranya Baduchin dan anak buahnya berada, tiga orang muda perkasa itu lalu meninggalkan Kotaraja dan mulai dengan perjalanan mereka yang cukup jauh dan sukar, yaitu ke daerah Gurun Gobi menuju ke pedalaman Mongol.

   Telah dua tahun lamanya Leng Bu San dan Gurunya, Koai-Tung Mo-Kai, tinggal bersama kepala suku Yesukai, Ayah Temuchin. Selama itu Koai-Tung Mo-Kai mendidik Temuchin dengan ilmu silat, dan anak itu lebih suka mempelajari ilmu pedang di samping mencampurkan gerakan silat itu dengan ilmu gulat yang dikenal oleh semua anak Mongol sejak kecil. Dalam usianya yang empat belas tahun, Temuchin sudah kelihatan gagah dan tubuhnya kokoh kuat. Bentuk tubuhnya tinggi dan kokoh, kulitnya agak kuning, tidak gelap seperti para remaja lainnya.

   Sepasang matanya yang bersinar tajam seperti mata burung rajawali itu agak kelabu kehijauan dengan manik mata yang hitam dan mata itu tidak sipit seperti mata orang Mongol, melainkan agak lebar. Rambutnya panjang dan tidak hitam benar, bahkan agak berwarna kecoklatan. Temuchin agak pendiam walaupun kalau bicara dia selalu menyatakan hal-hal penting dan bicaranya serius. Dia bergaul dengan akrab sekali dan amat menyukai Leng Bu San yang diakuinya sebagai kakak angkatnya. Setelah dua tahun tinggal di dalam kelompok suku Yakka pimpinan Yesukai, kini Leng Bu San berusia dua puluh tiga tahun dan dia sudah pandai berbahasa Mongol. Koai-Tung Mo-Kai yang semakin yakin bahwa Temuchin kelak akan menjadi besar seperti yang telah diduganya, tinggal di dalam kelompok suku Yakka dan dipandang sebagai Guru atau "Dukun"

   Yang ampuh dan dihormati.

   Karena selain mengajarkan ilmu silat kepada Temuchin, juga Kakek ini pandai mengobati. Pada suatu pagi, Yesukai yang hendak melakukan perjalanan mengunjungi seorang kepala suku yang berada di luar lingkungan mereka, suku yang belum takluk clan tidak menjadi anak buah suku Yakka, mengajak Temuchin karena dianggapnya kini Temuchin yang berusia empat belas tahun itu telah dewasa. Temuchin merasa girang sekali dan dia minta kepada Ayahnya agar Leng Bu San diperbolehkan ikut. Yesukai memperbolehkannya dan berangkatlah mereka bertiga, diikuti oleh dua lusin pengawal Yesukai. Sebagai kepala suku Yakka yang termasuk besar dan berpengaruh, juga yang telah menundukkan beberapa kelompok suku lain yang kini bergabung dengan kelompok suku Yakka,

   Di mana-mana Yesukai diterima sebagai tamu yang dihormati. Pada suatu senja, rombongan ini tiba di perkemahan sebuah suku kecil. Mereka diterima dengan ramah dan dijamu makan malam oleh kepala suku dan keluarganya. Ketika Temuchin, Yesukai, dan Leng Bu San makan malam, yang melayani mereka adalah gadis-gadis suku itu. Temuchin yang berusia empat belas tahun itu melihat seorang gadis di antara mereka yang melayaninya. Gadis itu masih remaja, sekitar sembilan tahun usianya namun sudah tampak cantik jelita. Tanpa malu-malu atau sungkan, seperti yang menjadi watak orang Mongol, Temuchin berbisik kepada Ayahnya yang duduk di sebelahnya.

   "Ayah, aku senang sekali melihat gadis itu. Apakah aku boleh menikah dengannya?"

   Mendengar ini, Yesukai mengamati gadis itu. Usianya baru sembilan tahun, namun jelas membayangkan bahwa ia kelak akan menjadi seorang gadis yang amat cantik. Yesukai lalu bertanya kepada anak perempuan itu.

   "Siapakah namamu, anak manis?"

   Anak perempuan itu menjawab,

   "Nama saya Bourtai."

   Bourtai berarti "bermata kelabu"

   Dan hal ini mengingatkan Yesukai akan Nenek-Moyang suku Yakka yang menurut dongeng juga bermata kelabu.

   "la masih kecil,"

   Katanya berbisik kepada Temuchin. Temuchin menjawab,

   "Kalau kelak ia sudah dewasa tentu akan cocok untuk menjadi isteriku."

   Ketika dengan terus terang Yesukai menyatakan keinginan puteranya untuk mempersunting Bourtai, Ayah gadis itu menjawab,

   "Akan tetapi anak saya masih kecil."

   Biarpun dia berkata demikian, dalam hatinya dia merasa senang dan bangga karena yang melamar itu adalah kepala suku Yakka yang cukup besar kekuasaannya.

   Dia juga merasa suka kepada pemuda yang hendak dijodohkan dengan puterinya karena Temuchin memang tampak gagah dan tampan. Malam itu Yesukai dan Bokkha, Ayah gadis yang bernama Bourtai itu, merundingkan perjodohan antara Temuchin dan Bourtai. Telah disepakati bahwa pernikahan akan dilangsungkan beberapa tahun lagi sampai Bourtai menjadi gadis dewasa. Leng Bu San menjadi saksi dan pemuda ini merasa gembira dan juga merasa lucu bahwa Temuchin yang usianya baru sekitar empat belas tahun itu sudah memilih jodoh dan calon jodohnya seorang anak perempuan yang baru berusia sembilan tahun! Akan tetapi selama dua tahun hidup dalam lingkungan Bangsa Mongol dia juga mengetahui bahwa menurut kebiasaan Bangsa Mongol, seorang anak perempuan yang berusia dua belas atau tiga belas tahun sudah dianggap dewasa dan diperbolehkan menikah.

   Pada keesokan harinya, Yesukai melanjutkan perjalanan dan Temuchin bersama Leng Bu San ditinggalkan untuk memberi kesempatan kepada pemuda itu berkenalan lebih dekat dengan tunangan dan calon mertuanya. Temuchin dan Leng Bu San tinggal di perkemahan kelompok yang dipimpin oleh Bokkha. Dia merasa gembira sekali karena ternyata Bourtai biarpun baru berusia sembilan tahun, namun setelah berkenalan bersikap cukup ramah dan manis. Beberapa hari kemudian, datanglah seorang pengawal Yesukai menunggang kuda dan dengan muka pucat dia menceritakan bahwa ketika Yesukai dan rombongannya kemalaman dan bermalam di perkemahan besar suku Bangsa Taijut dan dijamu makan oleh kepala suku yang bernama Baduchin, Yesukai menderita sakit perut yang hebat dan kini sudah diangkut pulang oleh pasukan pengawal.

   "Setelah kami tiba di ordu (perkemahan), keadaan Ketua parah sekali dan beliau mengutus saya untuk cepat memberitahu hal ini kepadamu."

   Pengawal itu menutup ceritanya. Temuchin terkejut sekali mendengar ini dan segera dia pamit kepada tunangan dan orang tua Bourtai, lalu bersama Leng Bu San dia membalapkan kudanya menuju pulang. Akan tetapi setelah tiba di perkemahannya, dia terlambat karena Yesukai, Ayahnya, telah meninggal. Sambil menangis Temuchin menghadap gurunya dan menuntut.

   "Bagaimana, Guru. Kenapa Guru tidak dapat menyembuhkan ayahku?"

   Koai-Tong Mo-Kai menggelengkan kepalanya.

   "Aku sudah berusaha sedapatku, juga para Dukun (Tabib) telah berusaha mengobatinya, akan tetapi usaha kami gagal. Isi perut Ayahmu sudah terlalu parah dan rusak oleh racun."

   "Racun...??"

   Temuchin berteriak heran.

   "Suhu, apa yang telah terjadi dengan Paman Yesukai?"

   Tanya Leng Bu San.

   "Ketua Yesukai memang meninggal karena keracunan hebat. Dan setelah mendengar dari para pengawal bahwa dia dijamu makan oleh Baduchin ketua suku Taijut, aku tidak merasa heran dan yakin bahwa tentu Ketua Yesukai sengaja diracun oleh Baduchin."

   "Keparat!!"

   Tiba-tiba Temuchin berteriak marah.

   "Sejak dahulu orang-orang Taijut memang bersikap bermusuhan terhadap golongan kita! Ayahku terbunuh di sana, aku harus membalas dendam kepada Baduchin!"

   Houlun, ibu Temuchin yang cantik dan berwatak gagah, memegang tangan puteranya.

   "Temuchin, jangan ceroboh. Berhati-hatilah karena Baduchin memiliki banyak anak buah dan kedudukannya kuat, apalagi dia dibantu Ulan Bouw, tokoh dari Hu-He-Hot yang terkenal jagoan."

   "Harap Bibi jangan khawatir. Saya akan menemani Adik Temuchin untuk membalas dendam atas kematian Paman Yesukail"

   Kata Leng Bu San yang juga marah mendengar bahwa kematian Yesukai disebabkan keracunan ketika dijamu makan oleh ketua kelompok suku Taijut yang bernama Baduchin.

   Mendengar ini, legalah hati Houlun. Ia percaya sepenuhnya akan ketangguhan Leng Bu San, dan puteranya sendiri walaupun belum dewasa dan masih remaja, namun juga telah memiliki ketangkasan dan kegagahan setelah selama dua tahun digembleng ilmu oleh Koai-Tong Mo-Kai. Pada keesokan harinya, berangkatlah Temuchin dan Leng Bu San dikawal pasukan pengawal yang berjumlah seratus orang. Mereka langsung saja menuju ke perkemahan suku Taijut yang besar dan terjaga kuat. Ketika mereka tiba di dekat perkemahan suku Taijut, hari telah senja dan dalam keremangan cuaca itu Leng Bu San melihat tiga bayangan berkelebat cepat sekali mendahului mereka. Dia memberi tahu kepada Temuchin.

   "Mereka adalah tiga orang yang berilmu tinggi. Mudah-mudahan saja mereka bukan orang-orang yang memihak kepada suku Taijut karena kalau demikian kita akan menemui lawan yang amat kuat."

   Akan tetapi Temuchin sama sekali tidak merasa gentar. Dia memberi isarat agar pasukannya berhenti, lalu dengan sikap seperti seorang pemimpin pasukan yang lihai, dia berkata,

   "Kita berhenti dan bersembunyi dulu di sini sampai malam tiba. Dalam kegelapan malam kita menyerbu. Ingatlah kalian semua, kita datang bukan untuk memerangi suku Taijut karena kita jauh kalah banyak dan kalau terjadi perang, sukar bagi kita untuk menang. Kita datang untuk membalas dendam. Pembunuh Ayahku adalah Baduchin, ketua suku Taijut dan dialah yang harus bertanggung jawab. Kalau kita sudah berhasil membunuh Baduchin, kita harus cepat mundur dan kembali ke perkemahan kita."

   Setelah berkata demikian, Temuchin mengumpulkan mereka semua duduk mengelilinginya dan dia mengatur siasat penyerangan. Leng Bu San mendengarkan dengan kagum sekali. Biarpun agaknya ramalan Gurunya tidak mungkin bahwa seorang putera kepala suku yang amat sederhana dan miskin ini kelak akan menjadi Raja besar yang menguasai dunia, akan tetapi melihat anak berusia empat belas tahun itu demikian pandai dan penuh wibawa mengatur siasat untuk menyerbu perkemahan Taijut yang besar dan kuat, dia merasa kagum. Temuchin mendapatkan ilmu mengatur pasukan itu dari Ayahnya, ditambah kecerdikannya sendiri.

   Dia membagi seratus orang pasukannya menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama menyerbu untuk mengacaukan musuh dan menarik perhatian pasukan musuh ke satu tempat. Pasukan ke dua menyelinap dari belakang dan mengadakan aksi pembakaran dan kelompok ke tiga berkuda mengelilingi perkemahan untuk membantu dan melindungi dua kelompok yang lain. Seperti telah disinggung di bagian depan, kini suku Taijut dipimpin oleh Baduchin, dibantu oleh Ulan Bouw. Setelah dipimpin Baduchin, suku Taijut tampaknya amat kuat. Akan tetapi sesungguhnya di sebelah dalam kelompok terdapat pertentangan yang membuat suku itu sesungguhnya lemah. Baduchin mengambil alih pimpinan suku itu dengan cara yang kejam. Dia bahkan membunuhi para pimpinan terdahulu, dengan maksud agar tidak ada yang mendendam atau memusuhinya.

   Padahal, kekejamannya itu bahkan mendatangkan dendam yang disembunyikan, yaitu mereka yang tadinya dekat dengan para pimpinan yang dibunuh Baduchin. Diam-diam mereka menghasut sebagian anak buah untuk berpihak kepada mereka dan mulai menghimpun kekuatan mempersiapkan pemberontakan kalau saatnya sudah tiba. Pemimpin besar mereka yang diam-diam mendendam kepada Baduchin itu bernama Tagoutai. Sesungguhnya suku Taijut telah memperbesar kekuatannya dengan menaklukkan suku-suku atau kelompok-kelompok kecil dan memaksa mereka untuk bergabung dengan suku Taijut. Kekuatan mereka mencapai belasan ribu orang yang tinggal berkelompok-kelompok di suatu daerah. Kelompok terbesar adalah yang menjadi tempat tinggal Baduchin, dengan anak buah tidak kurang dari lima ribu orang!

   (Lanjut ke Jilid 29)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 29

   Temuchin bukan tidak tahu akan kekuatan musuh ini. Maka dia tadi memberi peringatan kepada anak buahnya agar tidak melakukan perang, melainkan hanya memberi kesempatan kepada Temuchin dan Leng Bu San untuk mencari dan membunuh Baduchin membalas kematian Yesukai. Setelah malam tiba dan semua kelompok mengadakan persiapan matang, mulailah Temuchin memberi isarat. Kelompok pertama, tanpa kuda, menghampiri perkemahan musuh, bersenjatakan busur dan anak panah, juga menggantungkan pedang bengkok di punggung, menyerbu dan melepaskan anak panah ke arah kemah terdekat.

   Terdengar teriakan kesakitan dan perkemahan yang tadinya sunyi itu tiba-tiba menjadi gempar. Orang-orang Taijut berlarian keluar kemah sambil membawa senjata dan semua lari ke arah datangnya penyerbuan. Terjadi perang dan biarpun jumlah kedua pihak tidak seimbang, akan tetapi anak buah suku Yakka yang dipimpin Temuchin yang melakukan serangan gerilya lebih untung. Mereka berada di tempat gelap, berlindung di balik pohon yang jarang dan batu-batu, menyerang dengan anak panah sedangkan musuh yang banyak. jumlahnya berada di tempat terang karena di depan kemah-kemah itu digantungi lampu. Tiba-tiba di arah belakang tampak cahaya terang dari api yang berkobar.

   "Kebakaran! Kebakaran!!"

   Orang-orang Taijut menjadi semakin panik. Sebagian lari ke tempat yang terbakar untuk memadamkan api, akan tetapi mereka juga disambut serangan. anak panah oleh kelompok ke dua yang menibuat kebakaran. Di bagian ini pun terjadi perang. Akan tetapi kelompok ke tiga yang berkuda, membalapkan kuda mengelilingi perkemahan untuk membantu kelompok pertama dan ke dua dengan melancarkan serangan anak panah berapi, yaitu ujung anak panah menyala. Selagi keadaan kacau-balau, Temuchin dan Leng Bu San menyelinap masuk dan dalam keadaan panik itu, mereka dapat bergerak leluasa menghampiri kemah terbesar yang berada di tengah. Sebagai seorang berbangsa Mongol, tentu saja Temuchin tahu bahwa ketua suku tinggal di kemah terbesar dan di lindungi anak buah yang membangun perkemahan mengelilingi kemah ketua suku.

   Baru saja tiba di depan kemah besar, mereka disambut bentakan dan muncul lima orang yang bertubuh tinggi besar di depan mereka. Lima orang pengawal itu setelah melihat dengan jelas bahwa dua orang yang datang itu bukan anggauta Taijut yang kini sedang diserbu musuh, tanpa banyak cakap lagi lalu menyerang Temuchin clan Leng Bu San. Melihat Temuchin masih remaja, maka yang menyerangnya hanya seorang pengawal, sedangkan empat orang menyerang. Leng Bu San. Melihat seorang Taijut tinggi besar yang kokoh kuat menyerangnya dengan sebatang golok besar yang dibacokan ke arah Iehernya, dengan gesit Temuchin melompat ke belakang sambil mencabut golok atau pedang bengkoknya, sebatang pedang pemberian Ayahnya. Lawannya merasa penasaran melihat betapa serangan pertamanya dapat dielakkan dengan mudah oleh anak itu.

   Dia melompat ke depan dan menyerang lagi, kini golok besarnya membacok kepala Temuchin dari atas. Bacokan ini mengeluarkan suara berdesing, akan tetapi Temuchin mengelak ke kiri lalu memutar tubuh ke kanan sambil menusukkan pedangnya ke arah dada kanan lawan yang terbuka. Tusukan itu cepat sekali, akan tetapi ternyata lawannya juga bukan orang lemah. Dia merupakan seorang di antara para pengawal pribadi Baduchin dan menghadapi serangan balasan itu dia melompat ke belakang dan terhindar dari tusukan. PengawaI Taijut itu semakin penasaran. Bagaimana mungkin dia tidak mampu merobohkan seorang anak-anak? Dengan marah sekali dia menyerang lagi dan terjadilah pertandingan yang aneh, seorang laki-laki dewasa tinggi besar melawan seorang anak remaja. Baru senjata mereka saja sudah berbeda banyak.

   Pedang bengkok yang dipegang Temuchin hanya setengah besarnya dibandingkan golok besar itu. Sementara itu, Leng Bu San yang dikeroyok empat orang pengawal Taijut mengamuk dengan hebat. Murid Koai-Tong Mo-Kai ini sebelum menerima hadiah sebatang pedang bengkok dari mendiang Yesukai, tidak pernah menggunakan senjata. Cukup dengan sepasang tangan dan kakinya dia sanggup mengalahkan lawan yang bersenjata, dibantu ilmu sihirnya. Kini, menghadapi empat orang pengeroyok, dia bergerak dengan cepat sekali. Tanpa menggunakan ilmu sihir dan tanpa mencabut senjatanya, dia merobohkan empat orang itu dengan tamparan dan tendangan kakinya. Dalam belasan jurus saja empat orang pengeroyok itu dapat dia rohohkan dan mereka tewas semuanya. Temuchin juga berhasiI membabat perut lawannya dengan pedangnya. Pengawal Taijut itu roboh dengan kulit perut pecah!

   "Mari kita masuk!"

   Kata Leng Bu San dan dia melompat ke dalam kemah yang besar itu, diikuti Temuchin. Setelah tiba di dalam kemah yang luas itu, mereka mendengar suara orang bertempur di bagian belakang.

   Mereka lalu mengejar ke sana dan ternyata yang bertempur adalah dua orang Kakek melawan dua orang pemuda. Pertempuran yang amat hebat karena keempatnya memiliki tingkat ilmu silat yang tinggi. Pada saat mereka datang, Leng Bu San melihat seorang gadis cantik melompat keluar dari ruangan pertempuran itu dan menyelinap ke dalam kamar besar di kemah yang luas itu. Temuchin memperhatikan mereka yang bertanding dengan pandang mata kagum. Dari pakaiannya, dia dapat menduga bahwa Kakek tinggi besar bermuka merah, bermata sipit, berusia sekitar lima puluh tahun dan bersenjata sebatang pedang lebar bengkok, tentu yang bernama Baduchin, kepala suku Taijut. Sedangkan Kakek ke dua yang lebih tua berusia sekitar enam puluh lima tahun, berkepala gundul dengan jubah merah, bersenjata rantai baja, tentu yang bernama Ulan Bouw, pembantu Baduchin.

   

Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini