Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 3


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Ah, kau ganas!"

   Seru Can-Kauwsu perlahan, dan dengan tenang akan tetapi amat cepat, ia miringkan tubuhnya dan ketika tangan kirinya digerakkan, ia telah dapat menepuk pergelangan tangan gadis yang memegang pedang itu! Bwee Eng merasa betapa tangannya menjadi kaku karena tepukan perlahan itu, maka maklumlah ia bahwa kalau Guru silat itu mau, maka dalam segebrakan itu saja pedangnya sudah akan dapat terampas! ia melangkah mundur dengan kaget dan pada saat itu, tubuh Song Swi Kai sudah melayang ke atas dan ia membentak anaknya.

   "Turun kau!"

   Bwee Eng dengan muka merah lalu melompat turun. Baiknya para penonton tidak melihat gerakan Can-Kauwsu yang amat cepat tadi sehingga mereka tidak tahu bahwa dalam segebrakan saja Bwee Eng telah dikalahkan! Song-Kauwsu melihat gerakan Can-Kauwsu tadi, diam-diam memuji dan maklum bahwa lawannya ini bukanlah seorang yang boleh dipandang ringan, maka begitu berada di atas panggung, ia telah mencabut keluar senjatanya yang lihai, yakni sepasang siang-kek.

   "Can-Kauwsu, harap kau maafkan kekerasan puteriku tadi."

   "Tidak apa, kekerasan dan nafsu memang merupakan pakaian kedua dari anak-anak muda!"

   Jawab Can-Kauwsu.

   "Can-Kauwsu, mari kita tua sama tua mencari penentuan dari pIbu ini. Keluarkanlah senjatamu itu!"

   Can Gi Sun menghela napas dan mengeluarkan sepasang Poan-Koan-Pit yang tadi dipinjamkannya kepada Lui Siong. Kedua jago tua ini saling menjura, lalu berdiri memasang kuda-kuda dengan amat teguhnya. Semua penonton menahan napas, semua mata ditujukan ke atas panggung, melihat dua orang jago silat yang hendak bertanding itu.

   Semua orang maklum biarpun keduanya mempergunakan kata-kata halus, namun pertandingan yang menentukan ini pasti akan berjalan dengan hebat dan mati-matian! Memang sikap kedua jago tua ini amat menegangkan kepada para penonton. Mereka memasang kuda-kuda dengan teguh dan mereka saling pandang dengan mata tajam tanpa berkedip. Jarak di antara mereka agak jauh dan agaknya mereka saling menanti serangan lawan. Song-Kauwsu berdiri dengan kedua kaki bercabang ke kanan kiri, tubuhnya tegak lurus dan kedua lutut ditekuk rendah, sepasang siang-kek dipegang dengan tangan menempel pada pinggang di kanan kiri. Sebaliknya, kuda-kuda yang dipasang oleh Can-Kauwsu adalah kuda-kuda miring, dengan kaki kanan di belakang ditekuk rendah, kaki kiri di depan berdiri lurus, tubuh tegak dan sepasang pitnya disilangkan di depan dada.

   Untuk beberapa lamanya mereka berdiri tegak tak bergerak sedikitpun juga bagaikan dua buah patung batu. Kemudian Can-Kauwsu merobah kedudukannya dan menggerakkan kaki kanannya ke depan, menjadi kuda-kuda bercabang, pit di tangan kanan diangkat sebatas alis, sedangkan pit di tangan kiri ditaruh di atas pinggang! Melihat perubahan gerakan ini, Song-Kauwsu juga menggeser kakinya yang sebelah kiri, diangkat ke depan dan tergantung dengan paha lurus ke depan, siang-kek di kedua tangan juga dirubah, kini yang kanan dilonjorkan di depan dada, yang kiri masih tetap di pinggang! Setelah merubah kuda-kuda yang membuat jarak mereka makin dekat itu, kembali keduanya tetap dalam kuda-kuda masing-masing dan tidak bergerak sama sekali, saling menantikan serangan lawan!

   "Song-Kauwsu, kau majulah!"

   Tantang Can-Kauwsu.

   "Tidak, Can-Kauwsu, kaulah yang mulai menyerang dulu!"

   Jawab Song Swi Kai tanpa bergerak. Ini adalah sopan-santun dalam pIbu. Memberi kesempatan kepada lawan untuk bergerak lebih dulu dianggap kelakuan sopan dan penghormatan, karena pada umumnya di kalangan persilatan, yang menyerang lebih dahulu dianggap telah "menang di atas angin"

   Dan boleh juga disebut menang set.

   Akan tetapi bagi seorang ahli silat yang sudah tinggi ilmu kepandaiannya, hal ini bahkan sebaliknya. Mereka tahu bahwa sikap yang terbaik ialah menanti lawan bergerak lebih dahulu, oleh karena yang diserang dapat berlaku lebih waspada dan hati-hati, dapat melihat permulaan gerakan lawan lebih dulu dan sambil menangkis atau mengelak dapat melancarkan serangan yang tiba-tiba dan yang lebih berbahaya karena sukar terjaga oleh penyerang pertama itu. Hal ini diketahui dengan baik oleh Can-Kauwsu dan Song-Kauwsu, maka mereka menjadi ragu-ragu untuk bergerak lebih dulu. Keduanya maklum bahwa lawan yang dihadapi ini adalah orang yang berkepandaian tinggi, maka mereka saling "mengalah"

   Dan mempersilakan lawan menyerang lebih dahulu.

   "Song-Kauwsu, ingat! Kaulah penantangnya, bukan aku!"

   Mendengar ucapan ini, Song Swi Kai lalu berseru keras.

   "Baik! Awas serangan!"

   La. lalu menggerakkan kakinya dan menyerang dengan kedua siang-keknya dengan hebat sekali. Kedua siang-kek itu bergerak dengan cara bersilang dan sukar sekali ditentukan bagian manakah yang hendak diserang oleh siang-kek kiri atau kanan. Akan tetapi, ketika ia telah maju dekat dan menyerang, Can Gi Sun yang berkepandaian tinggi, tenang dan banyak pengalaman bertempur itu, dapat menangkis dengan amat baiknya.

   "Trang! Trang!!"

   Dua pasang senjata itu beradu dan mengeluarkan bunyi yang lebih nyaring daripada pertandingan kedua tadi. Song Swi Kai yang cukup berhati-hati, begitu senjata kena ditangkis, cepat melompat ke belakang untuk menghindarkan serangan balasan. Keduanya memeriksa senjata masing-masing dan menjadi lega melihat bahwa senjata mereka tidak rusak. Pertempuran senjata tadi amat dahsyatnya sehingga mereka merasa betapa telapak kedua tangan mereka tergetar hebat! Kini Can Gi Sun yang menyerang dan disambut dengan baik oleh Song Swi Kai. Keduanya lalu menggerakkan sepasang senjata masing-masing dan pertempuran berjalan dengan luar biasa hebat dan sengitnya.

   Song Swi Kai mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan ilmu silat cabang Bu-Tong-Pai, sedangkan Can Gi Sun mainkan Sin-Wan Kun-Hwat dan sepasang Poan-Koan-Pitnya bergerak-gerak dengan cepat sekali. Tubuh kedua jago tua itu makin lama makin sukar diikuti pergerakannya oleh mata para penonton dan berkelebatnya senjata-senjata itu membuat silau mata. Tak lama kemudian, dalam pandangan para penonton, lenyaplah tubuh kedua orang jago tua itu, terselimut oleh gulungan sinar senjata-senjata mereka sendiri. Bukan main ramai dan hebatnya pertempuran ini, sehingga murid-murid kedua pihak sendiri sampai menjadi pening dan amat gelisah! Belum pernah mereka saksikan kelihaian Suhu masing-masing dan kini mau tak mau mereka harus mengakui bahwa kedua orang Guru silat ini benar-benar memiliki kepandaian yang tinggi.

   Terbukalah mata mereka, bahwa sebenarnya bukan kepandaian Guru mereka yang kurang tinggi, akan tetapi adalah mereka sendiri yang kurang tekun, kurang rajin, atau memang kurang berbakat!

   (Lanjut ke Jilid 03)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03

   Kegelisahan ini tidak saja mengganggu hati para penonton dan murid-murid kedua pihak, akan tetapi juga dirasakan oleh kedua orang Guru silat yang sedang bertempur itu. Setelah bertempur puluhan jurus, mereka maklum bahwa sukarlah merobohkan lawan tanpa memberi pukulan yang mematikan dan yang berbahaya. Pertandingan pIbu itu kini bukan merupakan percobaan atau pengukuran tenaga masing-masing lagi, akan tetapi lebih tepat disebut pertempuran mati-matian yang dikendalikan oleh maksud ingin membunuh lawan!

   Mereka sudah kepalang untuk mundur, karena siapa yang mundur berarti mengaku kalah dan hal ini sama sekali tidak dikehendaki oleh dua orang Guru silat yang sedang membela nama dan kehormatan masing-masing itu. Penonton yang tadi bersorak-sorak ketika dua pasang murid kedua pihak bertempur, kini menonton dengan diam tak bergerak. Keadaan terlampau menegangkan urat syaraf untuk dapat bergembira atau bersorak. Bahkan si pemilik sawah dan si pemilik uang tadipun kini menonton dengan wajah pucat, sama sekali lupa akan taruhannya dan seluruh perhatian ditujukan ke arah dua bayangan orang yang bergerak-gerak diantara sinar senjata di atas panggung, sukar dibedakan mana Can-Kauwsu dan mana Song-Kauwsu! Tiba-tiba dari tengah-tengah penonton melayang naik dua sosok bayangan orang yang cepat sekali gerakannya.

   "Kim Lian, kau menahan Song-Kauwsu!"

   Terdengar seorang diantara kedua bayangan itu berseru dan menyambarlah dua sinar pedang yang terpecah menjadi empat ketika dua orang itu menggerakkan sepasang Siangkiam (sepasang pedang) di tangan mereka!

   Song-Kauwsu dan Can-Kauwsu merasa terkejut bukan main ketika tiba-tiba mereka melihat cahaya dari gerakan pedang yang amat cepat dan tahu-tahu sepasang pedang digerakkan dengan secara luar biasa menahan senjata mereka sehingga terpaksa mereka meloncat mundur. Ketika mereka memandang, ternyata diantara mereka berdiri dua orang muda, seorang laki-laki dan seorang wanita, yang masing-masing memegang sepasang pedang yang berkilauan! Juga para penonton memandang dengan heran dan kagum kepada dua orang yang telah berhasil memisahkan dua orang Guru silat yang sedang bertempur mati-matian itu, karena mereka ini adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah serta seorang dara yang cantik. Yang menahan senjata Song-Kauwsu dengan sepasang pedangnya adalah seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun, wajahnya cantik menarik,

   Sepasang matanya selalu bergerak lincah dan hidup, bibirnya selalu tersenyum manis dengan tarikan genit di ujungnya, rambutnya terhias oleh burung emas bermata batu merah, pakaiannya warna merah muda berkembang, ringkas dan mencetak potongan tubuhnya yang menggiurkan. Adapun pemuda yang dengan sepasang pedangnya menahan senjata Can-Kauwsu adalah seorang teruna yang juga amat tampan. Mata dan mulutnya sama bentuknya dengan gadis itu, juga pakaiannya mewah dan gagah sekali, usianya paling banyak dua puluh tahun. Baik Song-Kauwsu, maupun Can-Kauwsu, maklum bahwa kedua orang muda ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi luar biasa, karena hanya dengan sekali gerakan pedang saja telah berhasil menahan senjata mereka sehingga mereka terpaksa melompat mundur.

   "Jiwi-Kauwsu,"

   Kata pemuda itu sambil tersenyum.

   "Kalau dua ekor harimau berkelahi, pasti ada seekor yang akan tewas atau sedikitnya menderita luka hebat. Kami Kakak-beradik she Lee tidak sengaja lewat di kota ini dan mendengar tentang pIbu yang hendak jiwi adakan, maka karena gembira kami sengaja datang menonton. Akan tetapi, setelah melihat jalannya pertempuran, agaknya jiwi bukan sedang berpIbu, melainkan sedang bertempur mati-matian! Oleh karena itu, terpaksa kami melerai dan kami harap saja jiwi dapat menghabiskan pertempuran yang akan merugikan kedua pihak ini!"

   Sebetulnya, sebelum kedua orang muda ini datang, keadaan pertempuran tadi sudah amat menguntungkan Can-Kauwsu dan diam-diam Song-Kauwsu sudah merasa gelisah sekali karena harus ia akui bahwa ilmu Poan-Koan-Pit dari Guru silat tua itu benar-benar hebat dan lihai sekali dan ia telah mulai terdesak. Kalau dilanjutkan pertempuran itu, besar sekali kemungkinannya akan kalah, maka tentu saja kedatangan dua orang muda yang meleraikan pertempuran itu merupakan hal yang amat baik dan menolongnya dari kekalahan yang akan mendatangkan rasa malu. Can Gi Sun juga maklum akan kelebihannya terhadap Song-Kauwsu tadi dan ia telah merasa puas dapat memperlihatkan kepada lawannya akan kelihaiannya dan karena ia memang tidak begitu bernafsu untuk mengadakan permusuhan, maka sambil memandang tajam kepada kedua orang muda itu, ia berkata.

   "Jiwi yang masih muda ternyata memiliki kepandaian yang amat tinggi membuat aku yang tua merasa kagum, juga kata-kata yang diucapkan tadi memang ada benarnya. Lohu (aku orang-tua) berada di panggung ini sebagai tamu dan sebagai penyambut tantangan. Sekarang terserah kepada tuan rumah dan penantang, apakah akan menyudahi pIbu ini ataukah akan dilanjutkan, lohu hanya setuju saja!"

   Kata-kata ini sungguhpun terdengar amat mengalah dan sabar, namun di dalamnya mengandung pernyataan yang menantang. Sementara itu, Song-Kauwsu yang cerdik mempergunakan kesempatan baik ini untuk menolong mukanya, maka ia berkata terhadap semua penonton.

   "Cuwi sekalian! Oleh karena memandang kepada kedua orang muda yang budiman dan berkepandaian tinggi ini, maka pIbu diakhiri sampai di sini saja!"

   Terdengar seruan-seruan kecewa dari penonton, akan tetapi Song-Kauwsu tidak memperdulikan hal ini dan segera berpaling dan berkata kepada kedua orang muda itu dengan muka berseri.

   "Jiwi yang begini lihai sungguh-sungguh telah membuat aku merasa amat kagum dan bersukur dapat bertemu dan berkenalan. Silakan jiwi mampir di rumah kami untuk mempererat perkenalan!"

   Sementara itu, Song Bwee Eng sudah pula melompat ke atas panggung dan melihat nona yang cantik ini, pemuda she Lee itu memandang kagum dan menjawab undangan Song-Kauwsu dengan senyum ramah.

   "Song-Kauwsu baik sekali, tentu saja kami Kakak-beradik tidak berani menolak undangan ini. Terima kasih!"

   Adapun Can-Kauwsu ketika melihat betapa kedua orang muda yang lihai itu bercakap-cakap dengan ramah-tamah dengan Song-Kauwsu dan sama sekali tidak memperdulikannya, tidak mau berdiam di atas panggung lebih lama lagi, lalu melompat turun dan mengajak Lui Siong meninggalkan tempat itu untuk kembali ke rumahnya. Song Swi Kai lalu mengajak kedua orang muda itu bersama-sama menuju ke rumahnya. Guru silat yang cerdik ini tahu bahwa kepandaian Can-Kauwsu masih menang setingkat kalau dibandingkan dengan kepandaiannya sendiri, maka melihat dua orang muda yang lihai ini ia segera mengandung maksud untuk menarik mereka sebagai kawan!

   Seperginya kedua rombongan Guru silat yang berpIbu, penonton masih belum bubar oleh karena di situ terjadi hal yang lucu dan menarik hati mereka, yakni kedua orang yang bertaruh sawah dan uang lima puluh tail perak tadi. Mereka kini bersitegang lagi, saling tidak mau mengalah. Si pemilik sawah berkukuh menyatakan bahwa dalam pertempuran yang tertunda tadi, Song-Kauwsu lebih unggul, sebaliknya si pemilik uang dengan nekad menyatakan bahwa Can-Kauwsu yang menang! Keduanya tidak mengerti ilmu silat maka tentu saja pernyataan-pernyataan mereka ini hanya ngawur saja dan hanya berdasarkan ingin menang sendiri. Karena kini tidak ada tontonan apa-apa, para penonton yang berkumpul di situ tidak mau melerai kedua orang itu, bahkan mereka sengaja hendak mengadukan kedua orang itu!

   "Baiknya sekarang begini saja!"

   Kata seorang yang berwajah riang.

   "Karena pertempuran tadi tidak dilanjutkan sampai ada yang roboh, kalian berdua mewakili kedua Guru silat itu dan kalian berdua yang melanjutkan pIbu! Dengan demikian maka taruhan itu dapat diteruskan, siapa yang kalah harus membayar taruhannya!"

   Kedua orang yang bertaruh itu sudah "panas", maka dengan marah mereka menyatakan setuju. Maka naiklah kedua orang itu ke atas panggung diiringi oleh sorak-sorai dan tepuk tangan para penonton! Maka tak lama kemudian di atas panggung itu terjadilah perkelahian antara si pemilik sawah dan si pemilik uang dengan amat serunya! Perkelahian ini benar-benar lebih seru dan seram daripada pertempuran antara Can-Kauwsu dan Song-Kauwsu.

   Mereka saling pukul, saling tendang, kemudian bergelut, cekik-mencekik, jambak-menjambak, cakar-mencakar! Saling terkam, dorong-mendorong, terhuyung-huyung ke kanan kiri, kemudian keduanya terbanting ke atas lantai panggung, bergulingan, sebentar si pemilik sawah di bawah, sebentar pemilik uang yang ditunggangi! Bukan main senangnya hati para penonton menyaksikan perkelahian seru dan hebat ini, mereka berteriak-teriak, bersorak-sorak, bertepuk tangan membesarkan hati "jago"

   Masing-masing. Akhirnya Jin Hwat Hosiang, ketua Ban-Hok-Si, naik ke atas panggung dan minta agar kedua orang itu segera menghentikan perkelahian dan turun dari panggung. Akan tetapi kedua orang yang sudah mata gelap itu tidak mengindahkan permintaan ini dan masih terus melanjutkan perkelahian mereka.

   Akhirnya datanglah para Hwesio membawa dua ember besar penuh air yang segera disiramkan ke atas kepala kedua orang yang masih "bantingan"

   Di lantai itu. Bagaikan dua ekor anjing yang sedang berkelahi berebut tulang kemudian disiram air panas, kedua orang itu setelah gelagapan tak dapat bernapas karena tuangan air itu, terpaksa melepaskan pegangan masing-masing kepada tubuh lawan dan dibawah gelak tawa dan sorak-sorai para penonton, keduanya dengan malu dan muka merah lalu turun dari panggung dan lari pergi! Siapakah kedua orang muda yang amat lihai itu, yang dengan satu gerakan saja sudah berhasil memisahkan kedua Guru silat yang sedang bertempur mati-matian itu dan membuat mereka maklum bahwa kepandaian kedua orang muda itu amat lihai? Mereka itu adalah Kakak-beradik yang bernama Lee Kim Lun dan Lee Kim Lian.

   Tidak mengherankan apabila mereka itu amat lihai, karena mereka adalah murid-murid dari seorang Pertapa bekas bajak sungai Liao-Ho yang berjuluk Bu-Eng-Kwi Tok Liong Taisu (Iblis Tanpa Bayangan)! Tok Liong Taisu ini amat terkenal pada jaman dua puluh tahun yang lalu sebagai seorang bajak sungai tunggal yang malang-melintang di sepanjang Sungai Liao-Ho dan kekejamannya membuat banyak orang gagah merasa ketakutan! Setelah mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai bajak sungai, ia lalu menjadi Pertapa dan seringkali orang melihatnya sebagai seorang-tua berjubah Pertapa berkeliaran di sepanjang pantai sungai itu. Tok Liong Taisu terkenal sekali terutama karena keahliannya dalam ilmu pedang Ngo-Heng Kiam-Hwat. Selama beberapa tahun akhir-akhir ini, ia tidak pernah muncul, tidak tahunya ia sedang menggembleng dua orang muridnya, yakni kedua saudara Lee itu.

   Lee Kim Lun dan Lee Kim Lian ditemukan oleh Tok Liong Taisu dalam sebuah kampung yang diserang oleh semacam penyakit menular. Kedua anak yang baru berusia enam dan delapan tahun ini dan yang telah menjadi yatim-piatu, lalu dibawa oleh Pertapa itu dan selama dua belas tahun diberi pelajaran ilmu silat tinggi sehingga mereka berdua dapat mewarisi seluruh kepandaian Tok Liong Taisu! Banyak orang berpendapat bahwasannya watak seseorang itu memang sudah terbawa semenjak lahir, atau dengan lain kata, orang berwatak baik atau buruk karena sudah ada "dasar"nya semenjak lahir! Tak perlu memusingkan kepada mencari bahan bantahan atau sanggahan terhadap pendapat umum ini, dan baiklah secara singkat pendapat ini diterima berdasarkan pertimbangan bahwa memang segala apa di dunia ini mempunyai dua sifat, ada yang baik tentu ada yang buruk, ada yang buruk tentu ada yang baik.

   Tanpa adanya buruk tak mungkin akan ada yang baik dan sebaliknya. Karena itu, kalau ada dasar yang baik tentu ada pula dasar yang buruk! Biarlah andaikata benar bahwa watak yang buruk itu tergantung penuh kepada dasar yang telah dibawa semenjak lahir. Akan tetapi, seperti halnya sehelai kertas tulis atau kertas lukis yang kasar dan buruk, biarpun bahannya murah dan pada dasarnya memang kasar dan buruk, kalau pandai si penulis menuliskan huruf di atasnya atau si pelukis melukiskan gambaran indah di atasnya, maka dasar yang buruk itu akan tertutup bahkan lenyap dan berubah menjadi baik dan indah! Demikianpun dasar watak manusia, biarpun pada dasarnya buruk ketika dibawa lahir akan tetapi sudah pasti masih kosong bagaikan kertas tadi.

   Kalau kemudian oleh penulis atau pelukisnya yang dalam hal ini tentu saja pendidik, ia diisi dengan pendidikan yang baik, sudah pasti pula ia akan menjadi seorang manusia yang berwatak baik! Oleh karena pandangan inilah maka banyak orang-orang-tua yang menyatakan bahwa "dasar"

   Itu kalah oleh "ajar", atau tegasnya, pembentukan watak seseorang tergantung sepenuhnya daripada pendidikan, tidak saja pendidikan dari orang-tua, Guru, akan tetapi juga, bahkan yang amat mendalam dan mengesan, pendidikan yang diterima secara langsung dari pergaulan dan dari keadaan di sekitarnya! Hal ini pulalah yang membuat orang-orang-tua di Tiongkok selalu berusaha untuk membuat anak-anak mereka menjadi orang-orang berbakti, karena jika seseorang melakukan kejahatan itu berarti bahwa mereka melanggar kebaktian dan menjadi seorang yang puthauw (tak berbakti atau durhaka).

   Mengapa demikian? Karena menurut pandangan umum, apabila seorang muda berbuat jahat, maka orang-tuanyalah yang ditunjuk-tunjuk dan dipersalahkan karena tak dapat meng "ajar"

   Anak! Nah, dengan demikian, secara tak langsung orang itu mengakui bahwa "ajar"

   Lebih berkuasa terhadap perangai seseorang daripada "dasar"! Kim Lun dan Kim Lian semenjak masih kanak-kanak telah ditinggalkan mati oleh Ayah-bundanya, kemudian mereka dipelihara dan dididik oleh Tok Liong Taisu, seorang bekas bajak sungai yang menjadi Pertapa hanya untuk berpura-pura alim belaka, untuk menutupi dan menghIbur sesalan batinnya terhadap dosa-dosanya yang bertumpuk-tumpuk. Apalagi, selama berguru kepada Tok Liong Taisu, Kim Lun dan Kim Lian ini amat dimanja, diberi pakaian-pakaian indah, sudah tentu hasil daripada pekerjaan merampok dahulu, dan hidup tak tentu tempat tinggalnya,

   Berpindah-pindah di sepanjang Sungai Liao-Ho, bertemu dengan orang-orang jahat yang tunduk kepada Tok Liong Taisu, bergaul dengan segala bajak sungai dan perampok, dengan laki-laki kasar dan perempuan-perempuan cabul. Dalam keadaan seperti ini, betapapun murni dan bersih "dasar"

   Watak kedua anak itu, tentu akan ternoda juga! Dekatkanlah sehelai kertas putih bersih kepada segala macam kotoran dan kemudian ditulis oleh seorang yang tak berwewenang dan tak pandai, maka akan lenyaplah kebersihan dan keindahan kertas tadi! Demikian pula dengan Kim Lun dan Kim Lian. Sungguh amat sayang, kedua anak muda itu berwajah elok dan telah mewarisi ilmu silat tinggi dari Tok Liong Taisu, akan tetapi keduanya tak dapat disebut berwatak baik. Kim Lun berhati kejam dan amat sombong, sedangkan Kim Lian menjadi seorang dara yang genit dengan kepala penuh dengan lamunan-lamunan cabul.

   Setelah tamat belajar, mereka mendapat perkenan dari Suhu mereka untuk merantau dan memperluas pengalaman menambah pengetahuan. Di tengah perjalanan, keduanya tak segan-segan. untuk melakukan hal-hal yang kurang baik. Sudah banyak ahli-ahli silat sengaja mereka datangi hanya untuk mengalahkannya dan mengagulkan kepandaian sendiri. Sudah banyak pula Kim Lun mengganggu anak orang dengan cara yang biadab dan tak patut dilakukan oleh seorang gagah. Apabila mereka kehabisan uang bekal, mereka tak segan-segan untuk mencuri atau merampok tanpa memilih bulu! Kedua Kakak-beradik she Lee ini tadinya hanya mau merantau selama satu tahun saja, akan tetapi setelah merasa betapa enak dan senangnya berada di dunia ramai yang mewah itu, mereka tidak mempunyai maksud untuk kembali lagi ke tempat tinggal Suhu mereka!

   Dan akhirnya sampailah mereka di kota Sung-Kian dan menonton pIbu yang diadakan antara Song-Kauwsu dan Can-Kauwsu. Kim Lun amat kagum dan tergerak hatinya menyaksikan kecantikan Bwee Eng, dan lebih senang pula hatinya ketika melihat bahwa ilmu silat dara itu lumayan juga. Belum pernah ia bertemu dengan seorang gadis cantik yang pandai ilmu silat, selain adiknya sendiri, maka kini melihat Bwee Eng, tak terasa lagi hatinya berdebar aneh. Tentu saja pertempuran antara dua orang Guru silat itu tidak ada artinya bagi mereka dan tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dan merekapun tidak mau ambil perduli. Akan tetapi, oleh karena Kim Lun jatuh hati terhadap Bwee Eng, maka ia lalu mencari akal bagaimana agar supaya dapat berkenalan dengan gadis itu.

   Kesempatan tiba ketika ia melihat kehebatan pertempuran antara dua orang Guru silat itu, maka ia lalu mengajak adiknya untuk melompat naik dan meleraikan pertandingan itu dan alangkah girang hati Kim Lun ketika Song-Kauwsu mengajaknya mampir di rumahnya. Inilah yang ia kehendaki, agar dapat berkenalan dengan Bwee Eng! Can-Kauwsu tidak diperdulikan lagi, karena memang pada Guru silat tua ini tak ada sesuatu yang menarik hatinya. Song Swi Kai merasa girang sekali karena dapat mengikat tali persahabatan dengan dua orang muda yang lihai itu, dan dengan amat meriah ia menjamu kedua anak muda she Lee ini. Ketika ia mendengar bahwa mereka adalah perantau-perantau yang sudah yatim-piatu, maka tergeraklah hatinya. Pemuda ini cukup tampan dan amat gagah, pikirnya, pantas sekali kalau menjadi mantuku!

   Kalau ia dapat menjadi mantuku, maka kedudukanku akan menjadi kuat sekali dan aku tak perlu khawatir menghadapi orang seperti Can-Kauwsu demikian Guru silat ini berpikir. ia selalu membujuk dan menahan kedua orang muda itu agar supaya suka tinggal di rumahnya untuk sementara waktu. Lee Kim Lun tentu saja menyatakan suka, sedangkan Kim Lian sendiri juga senang tinggal di rumah gedung yang besar dan mewah itu. Song-Kauwsu cukup kaya raya sehingga mereka takkan terlantar tinggal di tempat ini. Akhirnya tercapai jugalah kehendak hati Song-Kauwsu. Ketika ia menyatakan maksud hatinya untuk menjodohkan Bwee Eng dengan Kim Lun, pemuda itu menerima dengan bersukur dan girang hati. Adapun Bwee Eng sendiri diam-diam merasa amat berbahagia mendapat jodoh seorang pemuda yang demikian tampan, gagah, dan tinggi ilmu silatnya, jauh melebihi idam-idaman hatinya!

   Sebulan kemudian, berlangsunglah pesta pernikahan antara Song Bwee Eng dan Lee Kim Lun dan semenjak saat itu, pemuda ini bersama adiknya tinggal di rumah gedung keluarga Song. Kalau Kim Lun menikmati hidup bahagia sebagai pengantin baru dengan isterinya yang cantik, adalah Kim Lian yang merasa kesunyian dan bosan menganggur saja di kota itu. Maka mulailah ia berpesiar ke sekeliling kota dan pada suatu hari, bertemulah ia dengan Gu Ma Ek, murid Can-Kauwsu itu. Kim Lian sudah pernah melihat Ma Ek dan telah tahu pula bahwa pemuda ini adalah murid kedua dari Can-Kauwsu. ia memang tertarik hatinya melihat Ma Ek yang gagah dan bertubuh tinggi besar dan kuat itu. Nafsu cabulnya timbul ketika di dalam kesunyiannya ia bertemu dengan Ma Ek di tengah jalan. ia tersenyum-senyum manis dan menegur.

   "Saudara ini bukankah Gu Ma Ek, murid Can-Kauwsu?"

   Ma Ek sudah tahu dengan siapa ia berhadapan. ia maklum bahwa kota Sung-Kian didatangi oleh dua orang muda yang lihai ini, dan bahwa nona inipun sekarang telah menjadi anggota keluarga Song, maka dengan kaku ia menjawab.

   "Benar, nona, dan apakah gerangan keperluan nona mengajak bicara seorang seperti aku ini?"

   Mendengar jawaban yang sinis ini, Kim Lian memandang dengan senyum lebar dan sepasang matanya yang genit itu mengerling lucu.

   "Eh, eh, mengapa kau merajuk, saudara Gu? Sungguh nampak lucu dan tidak pantas sekali seorang pemuda gagah perkasa seperti kau ini berkelakuan seperti seorang Nenek pemarah yang ompong!"

   Ma Ek mengangkat muka memandang dengan terheran-heran. Terkejut juga ia melihat keramahan gadis ini yang tiba-tiba berkelakar kepadanya. Akan tetapi kekecutan hatinya masih membekas, dan ia hanya menjawab sederhana.

   "Lee-Lihiap,"

   Ia menyebut Lihiap (pendekar wanita) karena maklum akan kelihaian gadis ini yang menurut penuturan Suhunya memang berkepandatan tinggi.

   "Tak perlu kiranya kau mengejek kepadaku dengan sebutan gagah perkasa itu! Semua orang tahu bahwa aku tidak mampu mengalahkan Hek-Bin-Liong, murid kedua dari Song-Kauwsu. Akan tetapi, kekalahan itu tidak kekal dan belum tentu aku takkan dapat mengatasinya lain kali, maka kekalahan ini tak perlu dijadikan bahan ejekan. Katakanlah saja, apakah keperluanmu menghadang perjalananku?"

   "Saudara Gu, bukankah sudah menjadi kewajiban tiap orang yang mempelajari ilmu silat dan menjunjung tinggi kegagahan untuk saling berkenalan dan beramah-tamah? Ketahuilah, aku ingin berkenalan dengan kau dan justru hendak membicarakan tentang kekalahanmu terhadap Hek-Bin-Liong itulah!"

   Merah wajah Ma Ek, karena menyangka bahwa ia hendak dihina dan diejek karena kekalahannya itu.

   "Aku sudah kalah, hendak apa lagi?"

   "Bodoh, kau tidak semestinya kalah"

   "Apa katamu?"

   "Memang tidak seharusnya kau kalah. Aku sendiri menyaksikan pertandingan itu dan kalau saja kau mengetahui jalannya, kau takkan kalah."

   Ma Ek teringat bahwa gadis ini memiliki ilmu silat tinggi, dan melihat sikapnya yang amat ramah dan baik itu, ia lalu bertanya dengan bernafsu.

   "Bagaimana jalannya?"

   Lee Kim Lian tersenyum manis dan melempar kerling tajam.

   "Tidak semudah itu, kawan! Ilmu silat dan gerakan serta tipu pukulan silat tidak dapat dibicarakan dengan amat mudah dan di tengah jalan besar seperti sekarang ini! Kalau kau memang menghargai persahabatan, marilah kita mencari lapangan rumput yang sunyi dan di sana akan kuberi petunjuk-petunjuk kepadamu sehingga dalam beberapa hari saja kepandaianmu akan meningkat jauh dan dengan mudah kau akan mengalahkan Hek-Bin-Liong!"

   Ma Ek adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang masih hijau, bodoh, dan karena wajahnya amat jujur, maka ia percaya saja ucapan seseorang yang bersikap baik terhadapnya.

   Dan pula, iapun hanya seorang manusia biasa, seorang jantan yang tidak lepas daripada cengkeraman nafsu dan kecantikan seorang gadis, terutama kalau gadis itu selain cantik juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pandai main mata dan bersenyum manis pula! Demikianlah, bagaikan seekor kerbau yang dituntun hidungnya, Gu Ma Ek mengikuti Kim Lian menuju ke sebuah lapangan rumput di luar kota dan di situ pemuda ini menerima latihan silat dari Kim Lian. Hubungan mereka makin erat dan Ma Ek roboh dalam perangkap Kim Lian yang hanya menganggapnya sebagai barang permainan belaka. Tepat sebagaimana dikatakan orang bahwa asap tak dapat disembunyikan, demikian Pula perbuatan-perbuatan tidak sewajarnya tidak mudah untuk disembunyikan. Perhubungan antara Ma Ek dan Kim Lian ini akhirnya diketahui orang dan sampai pula ke telinga Can Gi Sun!

   Guru silat ini semenjak kehilangan puterinya, telah menganggap Ma Ek seperti anak sendiri, maka alangkah marahnya ketika ia mendengar betapa Ma Ek seringkali mengadakan pertemuan dengan Kim Lian dan menerima pelajaran silat dari gadis itu. Hal ini masih tidak membuat ia marah, akan tetapi yang benar-benar memerahkan telinganya adalah berita bahwa muridnya itu telah bermain gila dengan Kim Lian sehingga ia tak membuang waktu lagi dan mengadakan pengintaian sendiri. Betul saja, Ma Ek dan Kim Lian berlatih silat di lapangan rumput dan sikap keduanya amat mesra bagaikan dua orang kekasih. Bukan main marahnya hati Can-Kauwsu, karena dari penglihatan ini saja ia telah dapat menduga bahwa Kim Lian bukanlah seorang gadis sopan dan baik. ia melompat keluar dari tempat sembunyi dan menegur muridnya dengan muka merah karena marahnya.

   "Bagus, Ma Ek! Sejak kapankah kau menjadi seorang rendah dan hina sehingga memalukan Gurumu?"

   Kalau ada kilat menyambar di atas kepalanya, mungkin Ma Ek tak sekaget itu. ia memandang kepada Suhunya dengan muka pucat dan tak dapat menjawab sesuatu, hanya memandang dengan mata terbelalak. Tiba-tiba Kim Lian berkata sambil tertawa mengejek.

   "Semenjak kapankah ada orang-tua begitu tidak malu untuk mencampuri urusan orang muda?"

   Can-Kauwsu memandang tajam kepada Kim Lian dan berkata dengan muka merah.

   "Aku tidak berurusan dengan nona, dan kedatanganku ini untuk bicara dengan muridku!"

   "Hm, Can-Kauwsu, kau mengandalkan apakah maka bersikap seakan-akan kau yang pandai sendiri dan patut menjadi Guru orang? Ketahuilah bahwa Ma EK juga telah menjadi muridku dan aku melarang siapapun juga untuk mengganggu latihan kami!"

   Bukan main gelisah dan malunya hati Ma Ek melihat keadaan itu.

   "Kim Lian..."

   Tegurnya, lupa bahwa dihadapan orang lain tidak seharusnya ia menggunakan sebutan mesra itu.

   "Hm, pantas betul! Di mana ada murid menyebut nama Gurunya begitu saja?"

   Kata Can-Kauwsu sambil tersenyum sindir. Merahlah wajah Kim Lian dan Ma Ek menundukkan muka tanpa berani memandang Suhunya. Akan tetapi, disamping perasaan jengah dan malu, Kim Lian juga merasa marah sekali kepada Guru silat tua itu.

   "Can-Kauwsu! Bukan menjadi hakmulah untuk mengurus tentang sebutan antara Guru dan murid orang lain! Apakah kau sudah begitu tebal muka tidak mau pergi dan masih hendak mengganggu kami? Pergilah dari sini!"

   Bukan main marahnya hati Can-Kauwsu mendengar usiran yang amat menghinanya itu, akan tetapi ia masih dapat menyabarkan hatinya. ia berpaling kepada Ma Ek dan membentak.

   "Manusia rendah budi! Kau tidak lekas pergi dari sini dan pulang?"

   Ma Ek hendak mengangkat kaki, akan tetapi tiba-tiba Kim Lian berseru.

   "Ma Ek, jangan kau pergi!"

   Suara gadis ini ternyata lebih berpengaruh terhadap pemuda itu, karena ia menahan kakinya lagi dan berdiri dengan ragu-ragu dan muka pucat.

   "Ma Ek! Kau hendak membangkang terhadap aku yang telah mendidikmu, memeliharamu dan membesarkanmu? Hayo kau pulang!"

   "Hm, hendak kulihat apakah kau benar-benar berani meninggalkan aku!"

   Terdengar pula Kim Lian berkata perlahan, akan tetapi suaranya mengandung ancaman hebat. Ma Ek makin bingung, memandang kepada Suhunya dan kepada gadis itu berganti-ganti, kemudian sambil menundukkan mukanya ia berkata dengan suara lemah kepada Suhunya.

   "Suhu, mohon kau sudi pulang dulu, Teecu nanti menghadap untuk menerima hukuman!"

   "Bangsat rendah! Kau perlu dihajar!"

   Can-Kauwsu tak dapat menahan marahnya lagi dan melangkah maju untuk menampar muka muridnya itu, akan tetapi tiba-tiba bayangan Kim Lian berkelebat dari samping dan menangkis tamparan itu sambil membentak.

   "Jangan berani mengganggu muridku!"

   Kini amarah di dalam dada Can-Kauwsu sudah meluap dan ia tak dapat menahan sabar lagi.

   "Nona Lee! Kau agaknya sengaja mencari jalan untuk bertempur dengan aku!"

   Lee Kim Lian tertawa mengejek sambil mencabut Siangkiamnya.

   "Kalau kau menganggap demikian, terserah! Aku selamanya tak pernah takut menghadapimu!"

   "Perempuan cabul! Rasakan hajaranku!"

   Seru Can-Kauwsu yang cepat mencabut keluar Poan-Koan-Pitnya dan maju menyerang. Serangannya yang hebat dapat ditangkis oleh pedang di tangan kiri Kim Lian yang segera membalas dengan tusukan pedang di tangan kanannya! Mereka bertempurlah dengan amat seru dan sengitnya! Ma Ek memandang dengan tubuh lemas dan hati bingung dan gelisah. ia merasa menyesal sekali, akan tetapi tidak tahu harus berbuat apa. ia amat bakti dan setia kepada Gurunya dan telah menganggap orang-tua ini sebagai pengganti Ayahnya sendiri,

   Akan tetapi di dalam kebodohannya ia telah jatuh betul-betul di bawah telapak kaki Kim Lian dan menganggap bahwa gadis itu mencintainya dengan sepenuh hati! Ilmu Pedang Ngo-Heng Kiam-Hwat yang dimainkan dengan dua pedang oleh Kim Lian memang benar-benar hebat dan lihai sekali. Gerakan sepasang pedangnya tidak saja cepat dan kuat, akan tetapi juga ganas dan mempunyai perubahan-perubahan yang sukar sekali diduga sehingga tiap tusukan atau bacokan pedang merupakan serangan maut yang amat berbahaya. Can-Kauwsu diam-diam harus mengakui bahwa ilmu silatnya masih kalah lihai apabila dibandingkan dengan ilmu pedang gadis ini dan hanya ketenangan dan pengalamannya saja yang membuat ia masih dapat mainkan sepasang Poan-Koan-Pitnya untuk menjaga diri dan membalas dengan serangannya.

   Namun akhirnya ia harus mengakui pula bahwa usia tua dan kedukaan telah membuat gerakannya tidak secepat ketika masih muda dulu. Gadis lawannya ini memiliki ginkang yang amat luar biasa sehingga baru bertempur tiga puluh jurus saja ia telah merasa pening kepala karena harus mengikuti pergerakan gadis yang lincah bagaikan seekor burung walet menyambar-nyambar dari berbagai jurusan itu! Can-Kauwsu terdesak hebat dan kini hanya bersilat sambil mundur dan menahan desakan lawannya yang makin lama makin ganas gerakan pedangnya. Pada saat itu, terdengar suara orang ketawa dan ternyata bahwa Lee Kim Lun, Song Swi Kai, Song Bwee Eng, dan beberapa orang murid Song-Kauwsu telah mendengar tentang pertempuran itu dan datang ke tempat itu. Melihat betapa Can-Kauwsu terdesak mundur, mereka ini mentertawakannya!

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Makin gelisah dan bingunglah hati Can Gi Sun sehingga permainan silatnya menjadi kalut dan ketika kedua pedang Kim Lian menyerang dengan hebatnya, pedang di tangan kiri masih bisa ditangkisnya, akan tetapi pedang di tangan kanan yang menusuk dada, biarpun sudah ditangkis, tetap saja masih dapat menusuk pundaknya dan pedang itu amblas di bawah tulang pundaknya! Ketika Kim Lian menarik kembali pedangnya, tubuh Can-Kauwsu terhuyung-huyung dan darah mengucur keluar dari pundaknya, membasahi seluruh baju. ia menggigit bibir dan tidak mengeluarkan keluhan sedikitpun juga. Rasa sakit di hatinya melebihi keperihan pundaknya yang terluka, apalagi ketika ia melihat betapa rombongan Song-Kauwsu memandangnya sambil tertawa mengejek. ia berdiri lurus dan tegak, menyimpan Poan-Koan-Pitnya, lalu menjura dengan kaku kepada Kim Lian.

   "Aku Can Gi Sun mengaku kalah!"

   Lalu ia membalikkan tubuh dan dengan kaki gemetar akan tetapi langkahnya masih tetap, ia meninggalkan tempat itu diiringi gelak tawa oleh Song Swi Kai dan rombongannya.

   "Suhu... !"

   Ma Ek mengejar Suhunya dan hendak menggandeng tangan Suhunya ketika dilihatnya orang-tua itu agak limbung. Akan tetapi, tiba-tiba Can-Kauwsu menggerakkan tangan kirinya menyampok dan terlemparlah tubuh Ma Ek, bergulingan di atas tanah. Can-Kauwsu melanjutkan langkahnya tanpa menengok lagi. Ma Ek melangkah bangun dan terdengar gelak tawa makin riuh yang jelas sekali mentertawakan pemuda itu. Dengan muka merah Ma Ek lalu bangun dan hendak menghampiri Kim Lian, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat gadis itu berdiri sambil memandangnya dengan senyum mengejek dan membentak.

   "Anjing buduk! Apakah kau hendak membela dan membalaskan sakit hati Gurumu?"

   Sambil berkata demikian, gadis ini menggerak-gerakkan sepasang pedangnya seakan-akan hendak menyerangnya se hingga Ma Ek terpaksa melangkah mundur dengan muka pucat.

   Semua orang tertawa bergelak dan Ma Ek merasa seakan-akan kepalanya disambar petir! Rasa malu, marah, kecewa, menyesal dan semua perasaan sakit hati menusuk-nusuk ulu hatinya, membuat mukanya menjadi pucat sekali dan sambil mengeluarkan seruan panjang yang menyeramkan ia lalu membalikkan tubuh dan berlari pergi dari situ dengan air mata bercucuran. Semenjak terjadi peristiwa itu, Can-Kauwsu jatuh sakit. Tidak saja ia rebah sakit karena lukanya, akan tetapi terutama sekali karena sakit hatinya. ia telah terhina, dan menderita malu yang hebat sekali. Belum pernah selama hidupnya ia menderita malu sedemikian rupa. Murid kepalanya, yakni Lui Siong, datang menengok Gurunya dan murid ini hanya dapat mengucurkan air mata di depan Suhunya.

   "Suhu,"

   Kata murid yang sudah berusia empat puluh tahun ini.

   "Biarlah Teecu pergi ke rumah Song-Kauwsu dan mengajak pIbu mati-matian dengan perempuan jalang itu!"

   Can-Kauwsu menggelengkan kepala.

   "Tidak ada artinya, Lui Siong, kau tak boleh mengorbankan nyawa dengan sia-sia. Dia bukan lawanmu, terlalu lihai, sedangkan aku sendiripun mengakui bahwa kepandaiannya masih lebih tinggi daripada kepandaianku. Memang nasibku yang buruk..."

   "Teringatlah Can-Kauwsu kepada puterinya yang hilang dan tak dapat dicegah lagi dua titik air mata melompat keluar dari kedua matanya. Isterinya yang semenjak ia pulang selalu menjaga dan duduk di dekatnya, telah kehabisan air mata dan kini duduk dengan muka pucat dan kedua tangan terkepal. Nyonya yang keras hati ini lalu berkata perlahan dan pasti.

   "Suamiku, karena kita tidak mempunyai... anak..., maka biarlah aku akan berlatih silat dan beberapa tahun kemudian aku sendiri yang akan membalas dendam ini!"

   Kalau saja ucapan ini dikeluarkan pada saat biasa, maka tentu akan menimbulkan tertawa, akan tetapi pada saat itu, ucapan ini membuat air mata di kedua mata Can-Kauwsu makin banyak keluar, bahkan Lui Siong sendiri menjadi sedemikian terharu sehingga ia menangis tersedu-sedu! Setelah mereka dapat menekan perasaannya, keadaan menjadi hening sejenak. Kemudian terdengar suara Can-Kauwsu.

   "Isteriku, sebagai seorang gagah, aku harus berani menerima kekalahan dan mengakui kelemahan sendiri. Akan tetapi aku tidak dapat tinggal terus di kota ini, maka biarlah kita pindah saja ke lain tempat."

   Pada saat itu, seorang murid yang masih setia dari Can-Kauwsu datang memberi laporan bahwa di luar terdapat seorang tamu yang bernama Liok Si Seng minta bertemu dengan Can-Kauwsu. Mendengar disebutnya nama itu, tiba-tiba wajah Can-Kauwsu yang tadinya muram menjadi berseri girang. ia cepat bangkit dari tempat tidurnya, akan tetapi ia merebahkan diri lagi sambil mengeluh kesakitan, karena pundaknya yang terluka terasa sakit sekali.

   "Lekas pergi sambut dia!"

   Katanya kepada Lui Siong dan isterinya.

   "Dia adalah Suhengku (kakak seperguruan)!"

   Lui Siong cepat bangkit dan menyambut tamu itu yang ternyata adalah seorang Kakek tua berpakaian compang-camping dan wajahnya selalu tersenyum-senyum. Kakek ini bernama Liok Si Seng dan terkenal di kalangan kang-ouw dengan julukan Pek-To Lo-Mo (Iblis Tua Bergolok Putih)! Memang dia adalah Suheng dari Can-Kauwsu dan sudah belasan tahun mereka tidak bertemu. Di dalam perantauan, Liok Si Seng yang hidup sebatangkara tak bersanak tak beranak ini ketika lewat di kota Sung-Kian mendengar nama Can-Kauwsu, maka ia segera mencari rumah Sutenya itu.

   "Supek,"

   Kata Lui Siong sambil memberi hormat.

   "Teecu adalah murid Suhu Can-Kauwsu, karena Suhu sedang sakit, Supek dipersilakan masuk saja ke kamar Suhu."

   Liok Si Seng menghela napas.

   "Ah, tak kusangka Sute menjadi ringkih dan mudah terserang penyakit. Itulah kalau orang berkeluarga dan tinggal di dalam rumah saja. Hidup di luar seperti aku ini jarang atau bahkan tak pernah terkena penyakit, bukankah burung di udara juga tak pernah sakit?"

   Sambil berkata demikian, ia masuk ke dalam dan langsung diantar oleh Lui Siong ke kamar Suhunya. Nyonya Can menyambutnya dengan memberi hormat dan ketika Liok Si Seng melihat Sutenya yang berbaring dengan muka pucat dan pundak dibalut, mengerutlah keningnya.

   "Sute, kau kenapakah?"

   Can Gi Sun tersenyum ketika melihat Suhengnya yang masih kelihatan gagah dan kuat itu, padahal usia Suhengnya ini sudah ada enam puluh tahun!

   "Ah, Suheng, aku selalu bernasib sial! Semenjak kita berpisah, sudah terlalu banyak kesialan dan kemalangan menimpa diriku!"

   Setelah berkata demikian, Can-Kauwsu menghela napas panjang berulang-ulang. Liok Si Seng duduk di pinggir pembaringan dan berkata dengan tegas.

   "Sute, kau terluka dan kau mengandung hati penasaran dan dendam! Katakanlah, siapa orangnya yang melukaimu dan apa sebabnya kau dianiaya orang?"

   Can-Kauwsu kembali tersenyum. Sungguh-sungguh masih seperti dulu Iblis Tua Golok Putih ini keras dan kasar! Karena ia memang mengharapkan pertolongan dan bantuan Suhengnya ini, maka diceritakanlah semua peristiwa yang terjadi, semenjak ia kehilangan puterinya sehingga berhenti menjadi Piauwsu dan bekerja sebagai Guru silat, kemudian sampai kepada permusuhannya dengan Song-Kauwsu. Ketika ia menceritakan peristiwa pertempurannya dengan Kim Lian yang baru terjadi kemarin siang, ia menghela napas dan berkata.

   "Perempuan cabul itu lihai sekali, aku tak dapat melawannya!"

   "Kurang ajar!"

   Seru si Iblis Tua Golok Putih.

   "Perempuan itu jahat dan tak tahu malu! Biar malam ini kuambil kepalanya!"

   Sungguhpun Can Gi Sun masih merasa ragu-ragu apakah Suhengnya ini akan dapat menghadapi musuh-musuh yang lihai itu, akan tetapi kata-kata besar ini menghIbur juga hatinya yang sakit.

   "Suheng, aku tidak main-main. Perempuan itu sungguhpun masih amat muda, bahkan hampir masih kanak-kanak, akan tetapi ilmu pedangnya hebat sekali. Mungkin Kakaknya masih lebih lihai lagi. Permainan Siangkiamnya benar-benar berbahaya, harap kau berhati-hati, terutama perhatikan kedua pedangnya yang selalu melakukan serangan dengan gerakan menyilang dan memecah perhatian kita kedua jurusan."

   "Jangan kuatir, Sute. Golokku masih cukup tajam dan biarlah Kakak-beradik itu maju bersama, akan kuhajar keduanya!"

   Iblis Tua Golok Putih itu menyombong. Setelah makan hidangan yang dikeluarkan oleh Nyonya Can dan mendapat keterangan tentang letak tempat tinggal keluarga Song, Liok Si Seng lalu berangkat seorang diri dengan langkah lebar menuju ke rumah Song Swi Kai. Hari telah menjelang senja ketika ia tiba di depan pintu rumah gedung Song-Kauwsu.

   "Beritahukan kepada Kakak-beradik she Lee bahwa aku datang hendak menantang mereka bertempur!"

   Katanya dengan suara galak kepada penjaga pintu sehingga pelayan ini menjadi ketakutan lalu cepat melaporkan hal itu kepada Song-Kauwsu yang kebetulan sedang makan sore bersama keluarganya, termasuk Lee Kim Lun dan Lee Kim Lian. Mendengar laporan pelayan itu bahwa ada seorang-tua yang datang menantang mereka, Kim Lun dan Kim Lian menjadi marah sekali. Mereka lalu keluar sambil membawa pedang mereka, diikuti oleh Song-Kauwsu dan keluarganya. Ketika Liok Si Seng melihat banyak orang keluar, ia tertawa bergelak dan berkata.

   "Pantas saja Guru silat she Song menjadi galak dan sombong, tidak tahunya ia mengandalkan banyak orang untuk menjagoi kota Sung-Kian. Eh, yang manakah dia yang bernama Lee Kim Lian gadis tak tahu malu yang jahat itu?"

   Kim Lian tak dapat menahan marahnya lagi. ia melompat menghadapi Kakek yang pakaiannya compang-camping itu sambil mencabut pedangnya dan menudingkan pedang kanannya ke arah muka Kakek itu.

   "Akulah yang bernama Lee Kim Lian! Kau ini tua bangka dari manakah datang-datang memaki orang?"

   Iblis Tua Golok Putih itu memandang kepada Kim Lian, lalu tertawa bergelak.

   "Hm, cantik, genit, ganas! Tiga sifat yang membuat wanita dapat menjadi makluk sejahat-jahatnya di dunia ini! Kau mau mengetahui namaku? Aku disebut Pek-To Lo-Mo dan bernama Liok Si Seng. Kau telah berlaku sewenang-wenang terhadap Suteku Can Gi Sun, bahkan telah melukainya. Perbuatan kejam ini tentu saja tak dapat dibiarkan lalu tanpa terhukum!"

   Semua orang terkejut mendengar nama itu, karena nama ini cukup terkenal. Akan tetapi, Kim Lian dan Kim Lun tidak takut sedikitpun juga, bahkan Kim Lun tertawa mengejek dan berkata.

   "Eh, eh, tidak tahunya iblis tua yang pernah dihajar jatuh bangun oleh Suhu! Pek-To Lo-Mo, masih ingatkah kau kepada Suhu kami yang bernama Bu-Eng-Kwi Tok Liong Taisu?"

   Kini Liok Si Seng yang merasa terkejut sekali. ia memang pernah bertemu dengan Bu-Eng-Kwi si Iblis Tanpa Bayangan itu dan pernah pula bertempur ketika ia mencoba untuk membasmi bajak sungai itu, akan tetapi ia telah dikalahkan dan benar seperti yang dikatakan oleh Kim Lun, ia pernah dihajar sampai jatuh-bangun!

   "Hm, jadi kalian berdua Kakak-beradik ini murid-murid di tua jahat itu? Pantas kalau begitu. Gurunya buruk muridnya pasti busuk! Kebetulan sekali, kalau begitu kau boleh sekalian membayar hutang Gurumu kepadaku!"

   Kim Lian tertawa dan menggerak-gerakkan sepasang pedangnya.

   "Suhu telah berlaku kepalang tanggung dan akulah yang akan menamatkan riwayatmu!"

   Sambil berkata demikian, gadis ini lalu maju menyerang. Liok Si Seng melompat mundur sambil mencabut goloknya yang putih berkilau bagaikan perak itu. Pertempuran terjadilah dengan amat hebatnya. Sungguhpun sepasang pedang di tangan Kim Lian benar-benar lihai dan cepat sekali, namun ketika Liok Si Seng memutar goloknya sehingga senjata itu berubah menjadi segulung sinar putih, maka sepasang pedang gadis itu sama sekali tak dapat menembus.

   Kemanapun pedangnya menyerang, selalu tertumbuk pada dinding putih yang dIbuat oleh sinar golok itu. Kim Lian menjadi penasaran dan ia mengerahkan seluruh tenaga dan semangatnya, namun si tua itu benar-benar tangguh. Sampai dua puluh jurus lebih pertempuran berlangsung, namun Kim Lian belum juga dapat menembus benteng pertahanan lawan. Sementara itu, Liok Si Seng diam-diam mengeluh karena ternyata bahwa ilmu pedang gadis itu benar-benar lihai, sungguhpun tidak selihai Bu-Eng-Kwi Tok Liong Taisu sendiri, namun gadis ini memiliki ginkang yang luar biasa. Terpaksa ia mengerahkan semangatnya dan menggerakkan goloknya yang menyambar-nyambar laksana naga perak yang garang. Melihat betapa adiknya tak dapat merobohkan lawannya, panaslah hati Kim Lun. ia mencabut sepasang pedangnya dan berkata.

   "Kim Lian, mundurlah! Biar aku sendiri menghadapi tua bangka ini!"

   Kim Lian mundur dan berdiri di dekat Bwee Eng yang nampak gelisah melihat suaminya hendak melayani Kakek yang lihai itu, akan tetapi Bwee Eng dihIbur oleh Kim Lian dengan kata-kata tetap.

   "Jangan gelisah, So-So (kakak ipar), sebentar lagi Koko tentu akan berhasil merobohkan Kakek ini!"

   Memang dugaan Kim Lian ini benar dan ia telah dapat mengetahui sebelumnya karena ia telah tahu sampai di mana kehebatan kepandaian Kakaknya, sedangkan Iblis Tua Golok Putih ini tidak banyak lebih pandai darinya sendiri. Begitu Kim Lun menggantikan adiknya, ia memutar-mutar kedua pedangnya dan sungguhpun ilmu pedang yang dimainkannya masih juga Ngo-Heng-Siang Kiam-Hwat dan sama dengan permainan Kim Lian, akan tetapi kalau dibandingkan, gerakan Kim Lun ini jauh lebih hebat dan berbahaya.

   Tidak saja Kim Lun masih lebih unggul daripada adiknya dalam hal tenaga dan kecepatan, akan tetapi juga dalam pergerakan dua pedangnya. Kim Lun lebih mahir dan lebih banyak memiliki gerak-gerak tipu yang membingungkan lawan. Hal inipun dirasakan oleh Pek-To Lo-Mo Liok Si Seng, karena begitu bergebrak ia telah dapat merasakan kehebatan serangan orang muda itu. Tentu saja hal ini membuat ia merasa terkejut sekali dan terpaksa ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk mencapai kemenangan. Namun sia-sia, pertempurannya melawan Kim Lian tadi saja sudah cukup melelahkannya, apalagi sekarang ia menghadapi Kim Lun yang jauh lebih tinggi kepandaiannya daripada Kim Lian! Setelah berhasil menghadapi sepasang pedang Kim Lun yang menyambar-nyambar membawa maut sampai dua puluh jurus,

   Akhirnya ia harus mengakui bahwa kepandaian lawan yang masih muda ini lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Sebuah tusukan pedang di tangan kiri Kim Lun tak dapat ia hindarkan dan dengan tepat pedang itu memasuki rongga dadanya sebelah kanan! Biarpun pedang itu telah hampir menembus dadanya, akan tetapi setelah dicabut, Liok Si Seng masih kuat untuk melompat jauh dan berlari pergi meninggalkan tempat itu! Bukan main heran dan kagumnya hati Kim Lun dan kawan-kawannya melihat kekuatan tubuh orang-tua itu! Song Swi Kai diam-diam menghela napas penuh kekhawatiran. Ah, makin hebat saja permusuhanku dengan Can-Kauwsu, pikirnya. Akan tetapi, untung bahwa ia mempunyai seorang mantu seperti Lee Kim Lun dan mendapat bantuan dari Kim Lian pula, kalau tidak, tentu akan berbahayalah kedudukannya.

   "Gakhu,"

   Kata Kim Lun kepada mertuanya setelah mereka semua masuk kembali ke dalam rumah.

   "Can-Kauwsu itu sungguh tak tahu malu dan masih saja berusaha memusuhi kita. Kalau dia masih terus tinggal di kota ini, kukira pertempuran tak akan habisnya. Biarlah besok aku akan pergi menemuinya dan menantang pIbu padanya dan dalam kesempatan itu akan kuhabiskan saja nyawanya agar ia tidak dapat mendatangkan kerIbutan lagi!"

   Terkejutlah hati Song-Kauwsu mendengar ini. Betapapun bencinya kepada Can-Kauwsu, akan tetapi permusuhannya dengan Guru silat tua itu tidak demikian mendalam sehingga tiada pikiran padanya untuk membunuh saingan itu. Tadipun ia telah merasa menyesal bahwa permusuhan yang terbit karena persaingan usaha itu telah mengorbankan nyawa seorang-tua yang terkenal namanya di kalangan kang-ouw, karena ia maklum bahwa Iblis Tua Golok Putih tadi akan sukar tertolong nyawanya setelah mendapat luka sedemikian rupa.

   "Hian-sai (anak mantu),"

   Jawabnya.

   "kurasa tak perlu permusuhan ini diperluas dengan bunuh-membunuh. Kalau kau hendak pergi ke sana, cukup kalau kau mengancamnya agar ia tidak berani membikin rIbut lagi di rumah kita, akan tetapi tidak perlu harus membunuhnya. ia sudah tua dan kita tak perlu takut menghadapinya, apapula dengan adanya kau dan adikmu di sini!"

   Kim Lun tersenyum dan di dalam hatinya ia menganggap bahwa mertuanya ini terlalu lemah, akan tetapi tentu saja ia tidak berani menyatakan anggapan ini dengan kata-kata.

   Pada keesokan harinya, Kim Lun dan Kim Lian berdua pergi ke rumah Can-Kauwsu, akan tetapi kedua Kakak-beradik ini tidak jadi mengajukan tantangan pIbu ketika melihat bahwa di rumah itu orang sedang sIbuk mengadakan sembahyang di depan peti mati yang diletakkan di ruang depan! Mereka dapat menduga bahwa yang mati itu tentulah Liok Si Seng yang sore hari kemarin menyerang rumah mereka, maka tanpa berbuat sesuatu, keduanya lalu pulang lagi. Lui Siong dapat melihat kedua orang ini dan bukan main marah dan sakit hatinya, akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan? Malam tadi, selagi ia masih menjaga Suhunya yang masih sakit, datanglah Liok Si Seng dengan luka parah. Orang-tua ini hanya tertawa-tawa dan hanya dapat mengeluarkan sedikit kata-kata terakhir.

   "Murid-murid Bu-Eng-Kwi terlalu kuat... Sute, sayang sekali aku gagal..."

   Setelah berkata demikian, ia roboh dan tewas di depan Sutenya! Tentu saja Can Gi Sun menjadi berduka sekali. ia menangisi mayat Suhengnya dan menjambak-jambak rambutnya, karena merasa menyesal sekali telah menarik Suhengnya dalam permusuhannya dengan keluarga Song sehingga Suhengnya itu menemui kematiannya. Setelah penguburan dilakukan sebagaimana mestinya, Can-Kauwsu lalu mengajak isterinya pindah ke luar kota, tinggal di sebuah kampung di sebelah barat kota. ia mengambil keputusan untuk menjadi petani saja di tempat itu, sungguhpun sakit hatinya terhadap Song-Kauwsu dan kedua saudara Lee itu masih saja berkobar di dalam dadanya dan membikin ia sekarang seringkali diserang penyakit. Akan tetapi, harapannya untuk dapat membalas dendam amat tipis.

   "Aku terpaksa harus membawa rasa penasaran dan dendam ini sampai ke dunia baka."

   Demikian ia sering menghela napas dan berkata perlahan kepada isterinya yang hanya dapat menggigit bibir dengan gemas. Bekas-bekas muridnya sebagian besar pindah belajar ke perguruan Song-Kauwsu sehingga perguruan itu makin menjadi besar. Song-Kauwsu sendiri bernapas lega ketika mendengar bahwa Can-Kauwsu telah meninggalkan Sung-Kian dan menganggap bahwa permusuhan itu telah habis.

   

Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini