Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 30


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 30



Adapun dua orang pemuda itu tidak dikenalnya, akan tetapi melihat pakaian mereka, dia tahu bahwa mereka adalah dua orang pemuda pribumi Han dari selatan. Ilmu silat dua orang pemuda itu amat hebat sehingga mampu menandingi kelihaian Baduchin dan Ulan Bouw dan Temuchin yang maklum bahwa kemampuannya masih jauh lebih rendah daripada tingkat mereka, hanya menonton dan tidak mau turun tangan. Dua orang pemuda itu bukan lain adalah Liang Sin Cu dan Lui Tiong Lee. Adapun gadis cantik yang tadi meninggalkan ruangan itu adalah Liang Hong Cu. Seperti kita ketahui, tiga orang muda perkasa ini mendapat tugas dari Liang Sun dan Lui Hong untuk merampas kembali cap Kaisar yang dicuri oleh mendiang Gobi Lo-Mo atas suruhan Baduchin.

   Ketika mereka tiba di perkemahan suku Taijut yang dipimpin. oleh Baduchin, kebetulan sekali malam itu Temuchin datang menyerang dengan pasukannya. Melihat kekacauan itu, tiga orang muda itu mendapatkan kesempatan baik. Mereka berhasil memasuki kemah Baduchin yang luas dan bertemu dengan Baduchin dan Ulan Bouw sehingga terjadi perkelahian. Melihat Kakaknya dan Lui Tiong Lee mampu mengatasi dua orang lawannya, Liang Hong Cu lalu meninggalkan mereka dan memasuki kamar Baduchin untuk mencari cap kebesaran Kaisar Sung yang dicuri Baduchin itu. Ketika Liang Hong Cu memasuki kamar besar yang berisi perabotan mewah itu, ia melihat tiga orang wanita cantik, yaitu para selir Baduchin, berada di situ dengan sikap tenang namun wajah mereka yang cantik itu tampak agak pucat.

   "Jangan takut! Aku tidak akan mengganggu kalian bertiga, asalkan kalian memberitahu kepadaku di mana Baduchin menyimpan cap kebesaran Kaisar Sung yang dicurinya. Kalau kalian berbohong dan tidak mau mengaku, terpaksa aku akan bunuh kalian!"

   Dengan suara gemetar, seorang diantara mereka berkata,

   "Kami tidak tahu apa-apa tentang cap kebesaran Kaisar, akan tetapi semua barang berharga disimpan dalam almari itu."

   Ia menunjuk ke arah sebuah almari besar yang berdiri di sudut kamar.

   Mendengar ini, Liang Hong Cu yang maklum bahwa ia harus bekerja secepatnya karena berada dalam perkampungan Taijut itu amatlah berbahaya, lalu cepat menghampiri almari itu dan membuka pintu almari. Memang banyak barang berharga dan senjata pusaka di situ. Akan tetapi ia melihat cap kebesaran Kaisar Sung itu berada di atas sebuah baki emas! Segera diambilnya cap kebesaran itu, akan tetapi agaknya melekat pada baki. Ia mengerahkan tenaganya dan berhasil melepaskan cap itu dari baki. Akan tetapi pada saat cap itu terlepas dari baki, terdengar bunyi menjepret dan ada sinar hitam meluncur cepat dari dalam almari ke arah dadanya! Karena tangan kanannya memegang cap kebesaran, dan tidak ada kesempatan untuk mengelak, Liang Hong Cu menggunakan tangan kiri menangkap sinar hitam itu dari samping.

   Ternyata yang ditangkapnya itu adalah sebatang paku besar berwarna hitam yang tadi meluncur dari alat rahasia dalam almari yang bekerja setelah ia memaksa dan mengambil cap kaisar itu dari atas baki. Agaknya untuk menjaga agar jangan ada yang dapat mengambil cap itu, Baduchin telah memasang paku hitam itu untuk membunuh siapa saja yang berani mengambil cap Kaisar! Tiba-tiba Hong Cu berseru kaget ketika merasa betapa telapak tangannya yang menggenggam paku hitam itu gatal dan panas. Tahulah ia bahwa paku itu diolesi racun! Pada saat itu ia melihat gerakan dan tiga orang yang berpakaian sebagai perwira pengawal muncul dari balik almari besar. Mereka memegang sebatang golok besar dan Hong Cu cepat menyambitkan paku yang digenggam tangan kirinya ke arah seorang di antara tiga musuh itu.

   "Syuuuttt... capp... aughhh...!"

   Paku itu menancap di leher perwira pengawal itu yang roboh dan berkelojotan sebentar lalu terdiam, tewas. Akan tetapi Hong Cu menggosok-gosok telapak tangan kirinya yang warnanya berubah hitam kehijauan dan terasa panas sekali. Pada saat itu, dua orang perwira pengawal yang melihat tewasnya kawan mereka, lalu menerjang dan menyerang Hong Cu dengan marah.

   Gadis itu melompat ke belakang, cepat menyimpan cap kebesaran ke balik ikat pinggangnya dan kini tangan kirinya sudah mencabut sebatang kebutan dan tangan kanannya mencabut pedang. Akan tetapi kini lengan kirinya terasa panas sehingga ketika dua orang lawan itu menyerangnya, gerakannya terganggu dan tidak leluasa. Bahkan lewat sepuluh jurus, kepalanya terasa pening. la dapat menduga bahwa racun itu dari telapak tangan kirinya telah menjalar dan membuat ia merasa pusing dan tubuhnya mulai terasa panas. la masih melawan sekuatnya, akan tetapi kepeningan kepalanya dan rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya membuat gerakannya kacau. Dua orang pengawal itu dengan dahsyatnya menyerang dari kanan kiri. Golok besar mereka menyambar dan Hong Cu menggunakan pedang dan kebutannva untuk menangkis.

   "Tranggg... trakkk!!"

   Kebutan di tangan kirinya terlepas karena telapak tangannya nyeri dan panas, juga kehilangan tenaga. Kaki pengawal itu terayun dan tepat mengenai pinggang kiri Hong Cu.

   "Bukk...!"

   Hong Cu terpelanting roboh. Dua batang golok besar itu menyambar ke arah tubuh gadis itu. Sinar putih meluncur bagaikan kilat menangkis dua batang golok itu.

   "Trang-cringgg...!!"

   Dua orang pengawal itu terkejut karena golok mereka terpental. Akan tetapi Leng Bu San yang tadi menyelamatkan Hong Cu dengan tangkisan pedang bengkoknya kini menyerang dengan cepat sekali. Dua orang pengawal itu berusaha menghindar, akan tetapi hanya dua tiga kali saja mereka dapat mengelak karena pedang bengkok di tangan Leng Bu San menyambar dahsyat dan mereka berdua roboh dan tewas seketika. Hong Cu yang masih pening itu sudah bangkit berdiri dan memandang Leng Bu San dengan kagum, heran dan berterima kasih. Ia tahu benar bahwa tanpa adanya pertolongan pemuda tinggi besar dan tampan itu, ia pasti sudah tewas tercincang dua batang golok lawan. Maka ia lalu menjura penuh hormat dan berkata,

   "Saudara yang gagah perkasa, aku Liang Hong Cu berterima kasih sekali atas pertolonganmu."

   Ia melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan bengong. Ia tidak tahu apakah pemuda itu mengerti kata-katanya atau tidak. Kalau melihat pakaian yang dipakainya, jelas dia memakai pakaian pemuda Mongol, akan tetapi melihat bentuk wajahnya dia lebih pantas seorang pemuda dari sebelah selatan Tembok Besar, Bangsa Kerajaan Cin atau lebih selatan lagi, seorang pribumi Han. Melihat pemuda itu seperti bengong, Hong Cu lalu membungkuk untuk mengambil kebutannya yang tadi terlepas dari tangannya. Akan tetapi ketika ia membungkuk hendak mengambil senjata itu, tiba-tiba kepalanya pusing sekali dan ia terhuyung dan tentu jatuh kalau saja pemuda itu tidak memegang lengannya.

   "Nona, engkau keracunan! Cepat duduk bersila, aku akan mengobatimu!"

   Kata Leng Bu San ketika melihat telapak tangan kiri gadis itu menghitam dan tubuhnya ada tanda-tanda warna hitam, tanda keracunan. Hong Cu yang memejamkan matanya karena pusing itu percaya kepada pemuda yang menolongnya, maka ia lalu menjatuhkan diri duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya. Leng Bu San mengambil sebutir pel dari bungkusan dalam sakunya dan memberikannya ke tangan Hong Cu.

   "Telanlah pel ini, Nona."

   Hong Cu menurut dan menelan pel kecil itu. Kemudian Leng Bu San duduk di belakang Hong Cu, menempelkan kedua tangannya ke punggung gadis itu dan mengerahkan tenaga saktinya, membantu Hong Cu mendorong keluar hawa beracun yang menjalar di tubuhnya. Hong Cu dapat merasakan betapa ada hawa yang amat kuat membantunya, maka ia pun mengerahkan tenaga saktinya dan dalam waktu singkat saja hawa beracun itu keluar dari tubuhnya sehingga warna hitam itu menghilang. Bahkan telapak tangannya juga pulih menjadi putih kemerahan kembali. Leng Bu San melepaskan tempelan kedua tangannya dari punggung gadis itu dan Hong Cu bangkit berdiri. Ia pulih kembali dan sekali lagi ia menjura sambil mengucapkan terirna kasih.

   "Sudahlah, jangan sungkan, Nona. Lebih baik kita bantu dua orang teman Nona yang bertanding di bagian depan,"

   Kata Leng Bu San yang teringat akan Temuchin yang juga berada di ruangan depan menonton perkelahian itu.

   Hong Cu segera teringat kepada Kakaknya, Liang Sin Cu dan Lui Tiong Lee, maka ia mengangguk dan cepat melompat keluar diikuti oleh Leng Bu San. Mereka tiba di ruangan di mana Sin Cu dan Tiong Lee bertanding melawan Baduchin dan Ulan Bouw, sedangkan Temuchin berdiri di sudut ruangan, menonton dengan kagum. Temuchin belum menguasai ilmu silat secara mendalam dan matang namun dia dapat mengetahui dengan jelas bahwa baik Baduchin maupun Ulan Bouw terdesak hebat oleh dua orang pemuda yang amat lihai itu. Pada saat Hong Cu dan Bu San memasuki ruangan itu, Lui Tiong Lee berhasil melukai pundak kanan Baduchin dengan pedangnya. Mereka telah bertanding puluhan jurus dengan seru dan akhirnya Tiong Lee dapat melukai pundak lawan. Baduchin terpaksa melepaskan pedangnya yang lebar dan bengkok.

   Pada saat itu dia terkena sambaran kaki Tiong Lee sehingga roboh terpelanting. Melihat pembunuh Ayahnya roboh, Temuchin cepat melompat ke dekat tubuh Baduchin dan sekali dia menggerakkan pedang bengkoknya sehingga tampak sinar berkelebat, leher Baduchin terpenggal dan Temuchin menjambak rambut kepala Baduchin yang tergantung dengan leher masih meneteskan darah! Pada saat berikutnya, hampir berbareng dengan robohnya Baduchin, Ulan Bouw juga roboh setelah pedang kiri di tangan Liang Sin Cu membacok pundak kanan dan pedang kanannya memasuki dada kiri. Wan Bouw menjerit, dan roboh tewas seketika. Melihat betapa kakaknya dan Tiong Lee sudah merobohkan dua orang lawannya, dan cap Kaisar telah berada di balik ikat pinggangnya, biarpun dia merasa heran melihat seorang pemuda remaja Mongol membawa kepala Baduchin, Hong Cu berseru,

   "Cepat kita pergi sebelum ribuan perajurit mengepung kita!"

   Mereka semua termasuk Temuchin, berlari keluar. Pertempuran masih terjadi dengan kacau-balau di luar dan lima orang itu, Liang Hong Cu, Liang Sin Cu, Lui Tiong Lee, Leng Bu San, dan Temuchin segera menerobos keluar dari kampung perkemahan suku Taijut. Setelah mereka tiba di luar, Temuchin segera memberi isarat kepada para pembantunya untuk mundur sambil melepaskan dan menghujankan anak panah berapi ke perkampungan lawan.

   Temuchin sudah membawa kepala pembunuh Ayahnya dan hal ini sudah cukup baginya. Semua orang menunggang kuda meninggalkan daerah itu. Ketika Liang Hong Cu, Liang Sin Cu, dan Lui Tiong Lee mendengar dari Bu San bahwa Temuchin adalah putera kepala suku Yakka yang membalas dendam atas kematian Ayahnya dan yang kini memimpin pasukan Yakka, mereka merasa kagum sekali. Bagaimana seorang pemuda remaja mampu menjadi pemimpin Bangsa Mongol yang terkenal keras dan setengah liar itu? Sin Cu, Hong Cu dan Tiong Lee segera memisahkan diri, mengambil jalan sendiri, pulang ke selatan. Temuchin, Bu San dan sisa pasukannya kembali menuju perkemahan mereka. Akan tetapi, tanpa diketahui orang lain, telah terjadi sesuatu yang luar biasa dalam hati dua orang, yaitu hati Liang Hong Cu dan terutama sekali hati Leng Bu San.

   Pertemuan antara gadis dan pemuda itu mendatangkan kesan yang amat mendalam. Hati Hong Cu tertarik, kagum dan merasa berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada Bu San. Sebaliknya, dalam hati Bu San timbul perasaan cinta yang mendalam, yang belum pernah dia rasakan selama ini. Sayang dia tidak mendapatkan banyak kesempatan untuk mengenal gadis itu lebih dekat. Dalam perjumpaan sebentar itu dia hanya mendapatkan pengakuan bahwa gadis itu bernama Liang Hong Cu, datang bersama Kakaknya yang bernama Liang Sin Cu. Dan satunya lagi yang masih muda, dia tidak begitu memperhatikan, kalau tidak salah ingat namanya Tiong Lee, nama marganya dia lupa lagi, kalau tidak Li entah Lu atau lain lagi. Dia tidak mau mengingatnya lagi, yang dia ingat dan kenang adalah ketika dia mengobati Hong Cu.

   Masih terasa olehnya kelembutan dan kehangatan punggung gadis di balik sutera tipis itu, seolah kedua telapak tangannya melekat dengan kulit punggung dan dia merasakan ada getaran aneh yang membangkitkan seluruh hasrat berahinya. Sebuah keputusan yang tetap dan teguh tumbuh dalam hatinya. Dia harus mendapatkan Hong Cu sebagai isterinya atau setidaknya sebagai kekasihnya. Selama dua tahun hidup di antara Bangsa Mongol dengan banyak sukunya yang memiliki kebiasaan aneh, dia mengenal sebuah suku yang tidak terikat kuat dengan pernikahan. Pria wanita boleh saja hidup bersama asalkan sama sukanya. Ketika tiba di perkemahan suku Yakka, Leng Bu San lalu menghadap Gurunya dan menyatakan keinginan hatinya untuk kembali ke selatan dengan alasan bahwa dia rindu kepada Ayah dan Ibunya.

   Koai-Tong Mo-Kai setuju setelah Bu San berjanji kelak akan kembali ke utara dan membantu Temuchin. Temuchin juga setuju dengan adanya janji itu. Berangkatlah Leng Bu San ke selatan, tentu saja bukan untuk melepaskan rindu kepada Ayahnya, melainkan untuk menyusul dan mencari Hong Cu! Bagaimana mungkin dia merindukan Ibu tirinya, Siangkoan Ceng, yang hendak membunuhnya? Dia bahkan mendendam kepada Ceng Ceng, juga marah kepada Pangeran Leng Sui, ayah kandungnya. Dia juga sudah makan fitnah Leng Sui bahwa Ibu kandungnya, Li Sian Hwa, telah meninggalkan Ayah kandungnya, menikah dengan pacar lama. Dia juga membenci Ibu kandung dan Ayah tirinya itu. Dalam dada dan kepalanya hanya dipenuhi dendam kebencian, kecuali kepada Hong Cu yang amat dicintanya.

   Kedatangan Temuchin yang membawa kepala Baduchin disambut dengan gembira oleh suku Yakka. Mereka merasa bangga sekali dan kepala musuh besar itu lalu menjadi pelengkap upacara sembahyang kepada arwah Yesukai yang diharapkan dapat menjadi tenang di alam sana melihat dendamnya telah impas! Akan tetapi dalam setiap peristiwa, pasti ada yang setuju dan yang menentang. Banyak di antara kelompok yang bergabung dalam suku Yakka merasa khawatir akan datangnya pembalasan dari suku Taijut dengan adanya penyerbuan Temuchin dan terbunuhnya Baduchin dan Ulan Bouw.

   Terutama sekali kelompok-kelompok kecil yang dulu ditaklukkan oleh Yesukai. Sebagian besar dari mereka tidak percaya bahwa Temuchin yang usianya baru lima betas tahun itu, bahkan belum genap lima belas tahun, akan mampu memimpin dan melindungi mereka sebagai pengganti Yesukai. Diam-diam lebih dari separuh jumlah kelompok yang takluk kepada suku Yakka mengadakan pertemuan dan perundingan rahasia dan akhirnya mereka mogok tidak mau lagi memberi upeti sebagai tanda takluk kepada suku Yakka yang kini dipimpin Temuchin. Mereka tidak percaya akan kemampuan Temuchin yang masih muda remaja itu untuk memimpin mereka dan mereka hendak mencari pemimpin baru yang akan dapat melindungi keluarga dan ternak mereka.

   Mereka mengundurkan diri dan menjauhkan diri dari kelompok Yakka yang tadinya menjadi pusat. Melihat keadaan yang amat buruk dan membahayakan persatuan suku Yakka, ibu Temuchin, yaitu Houlun yang gagah berani, membuang semua kedukaan atas kematian suaminya, lalu ia berusaha sekuat tenaga untuk mencegah perpecahan kelompok yang dipimpin suku Yakka. la membawa panji suku Yakka yang terdiri dari sembilan utas ekor binatang yak (semacam lembu berambut panjang), menunggang kuda dan dikejarnya kelompok-kelompok yang tidak setia dan yang hendak melepaskan diri dari kelompok induk Yakka. Wanita gagah ini berunding dengan mereka, membujuk beberapa keluarga agar mereka membawa kembali ternak dan kendaraan perkemahan mereka kembali ke kelompok Yakka.

   "Mengapa kalian tiba-tiba kehilangan nyali dan keberanian? Di manakah kegagahan kalian yang selama ini diajarkan oleh mendiang suamiku, Ketua Yesukai yang gagah perkasa? Apakah kalian tidak melihat betapa anakku, Temuchin, yang baru berusia lima belas tahun, telah mampu membalas dendam kematian Ayahnya dan membawa kepala musuh besarnya? Betapa gagahnya Temuchin dan dia pasti bisa menggantikan kedudukan Ayahnya untuk memimpin suku Yakka yang gagah perkasa. Kalau kita bersatu, di bawah pimpinan Temuchin, kelak kita pasti akan menjadi Bangsa yang besar dan mulia!"

   Sikap dan ucapan Houlun yang penuh semangat kegagahan itu sedikit banyak. mempengaruhi beberapa keluarga. Beberapa kelompok keluarga menurut dan mau kembali, bergabung kembali dengan kelompok induk. Akan tetapi tidak terlalu banyak yang kembali bergabung. Biarpun kemudian oleh para anggauta kelompok itu Temuchin dinyatakan menggantikan kedudukan Ayahnya, menjadi Khan (Ketua atau Kepala), akan tetapi pengikutnya tidaklah terlalu banyak. Sebagian besar para pimpinan kelompok kecil yang dulu ditaklukan Yesukai, tidak percaya kepada Temuchin yang masih remaja, bahkan banyak di antara mereka bermaksud untuk membalas dendam kepada putera Yesukai, yaitu Temuchin.

   Suku Yakka sejak dahulu, sejak di-pimpin oleh Yesukai bahkan oleh para pendahulunya, menguasai bagian utara Gurun Gobi. Mereka memilih bagian-bagian terbaik dari tanah yang terbentang luas antara Danau Baikal dan pegunungan sebelah timur yang disebut Pegunungan Khing-An di perbatasan Mancuria dan yang merupakan tanah yang subur, dapat ditumbuhi rumput dan tanaman. Memang tanah bagian ini terletak di antara dua buah sungai, yaitu Sungai Kerulon dan Sungai Onon. Dua buah sungai itu mengalir melalui lembah-lembah yang subur tanahnya. Bukit-bukit di sekitarnya ditumbuhi hutan lebat, penuh binatang buruan.

   Air yang berasal dari salju tebal di puncak-puncak gunung berlimpah ruah. Keadaan yang amat baik dan menguntungkan ini diketahui benar oleh para pimpinan kelompok yang dulu tunduk kepada Yesukai. Kini setelah Yesukai tidak ada, timbul keinginan hati mereka untuk merebut daerah yang amat menguntungkan ini dan merampas segala milik Temuchin yang masih muda. Mulailah terjadi pemberontakan kecil-kecilan terhadap Temuchin, dilakukan oleh para pimpinan kelompok yang melepaskan diri dari kelompok induk Yakka. Mereka itu sesungguhnya merasa masih jerih menghadapi Temuchin, karena biarpun kini Leng Bu San tidak berada lagi di situ menemani Temuchin, namun di sana masih ada Koai-Tong Mo-Kai yang amat lihai dan ditakuti orang.

   Mereka itu menjadi berani karena mereka telah mengadakan hubungan dengan suku Taijut yang setelah kematian Baduchin dan Ulan Bouw kini dipimpin oleh Targoutai, seorang kepala suku Taijut yang dulu dikalahkan dan dipaksa menaluk kepada Baduchin yang mengambil alih pimpinan. Targoutai ini amat membenci Temuchin karena dahulu, ketika masih muda dalam sebuah pertandingan kegagahan dia pernah dikalahkan oleh Yesukai. Kini, dengan bekerja sama dibantu para kepala kelompok kecil bekas taklukan Yesukai, dia mulal mengerahkan kelompoknya untuk melakukan pengejaran terhadap Temuchin yang dia anggap sombong dan berani membunuh Baduchin. Dengan para pengikutnya yang tidak berapa banyak, tentu saja Temuchin menjadi repot menghadapi gangguan dan serangan mereka.

   Akan tetapi dengan adanya bantuan dan perindungan dari Koai-Tong Mo-Kai, sampai sedemikian lamanya Temuchin masih dapat bertahan. Sesungguhnya, Bangsa Mongol, sungguhpun oleh Bangsa yang tinggal di selatan dianggap sebagai Bangsa liar dan bahkan biadab, sejak belasan abad telah menjadi Bangsa yang besar dan kuat karena memang kehidupan mereka memaksa mereka untuk memperkokoh dan memperkuat diri menghadapi kehidupan yang sulit dan keras. Sungai Ergun yang besar dan indah merupakan sebuah buaian atau ayunan bagi Bangsa Mongol. Terdapat sebuah dongeng yang menyebut tentang gunung-gunung yang melebur dan mencair di daerah itu, yang menggambarkan bahwa Bangsa Mongol adalah rakyat gagah perkasa yang berjalan keluar dari gunung-gunung yang besar.

   Bahkan sejak abad ke tujuh Sebelum Masehi Bangsa Mongol telah mulai bergerak menuju ke padang rumput Mongol bagian barat. Pada masa remajanya Temuchin itu, suku-suku Mongol telah menyebar dan memenuhi batas-batas Ernen, Sungai Kelulun dan Sungai Tula, dan bagian timur dari Pegunungan Kent.

   Suku-suku pun bermunculan, diantaranya suku Shi-Yan, Shadalan, dan Taichi-Wu. Selain Bangsa Mongol di daerah itu terdapat pula Bangsa Tartar, Wonji-Ci, Miarshi, Huyi-Ci, Keli, Naiman dan Wang-Gu, yang tinggal di sekitar padang rumput Mongol dan tanah berhutan di sekeliling Telaga Baikal. Bangsa-bangsa ini saling berbeda, baik mengenai kemajuan ekonomi maupun kebudayaan mereka. Pada mulanya memang Bangsa Tartar yang seolah paling kuat dan berkuasa, namun hal ini lambat laun berubah karena Bangsa Mongol merupakan Bangsa yang tidak mau tunduk dan memiliki keangkuhan tinggi, menganggap diri mereka tidak kalah oleh Bangsa lain. Memang harus diakui bahwa selama berabad-abad Bangsa Mongol seolah tidak pernah memperoleh kemajuan dalam kehidupan mereka.

   Masih saja berkelompok sebagai Bangsa Nomad (pengembara), tidak memiliki rumah tetap, hanya tinggal dalam perkemahan kelompok, dan selalu berpindah-pindah mencari tempat baru di mana rumput dan tanaman lain masih subur, meninggalkan padang rumput yang telah gundul karena setiap hari dimakan ternak mereka. Setiap tahun, hanya dalam bulan Juli dan Agustus saja padang rumput ditumbuhi rumput subur dan di mana-mana terdapat bunga dan daun-daun hijau segar. Bangsa Mongol merupakan Bangsa yang suka kekerasan. Menunggang kuda, memanah, bergumul dan berkelahi merupakan kesibukan mereka sehari-hari. Juga mereka gemar menari dan bernyanyi, dan kebanyakan orang Mongol dapat dipercaya karena mereka selalu memegang janji dan siapa yang tidak jujur dan suka mengkhianati pasti mendapat hukuman berat dan dibenci semua orang.

   Karena pada jaman itu, abad ke dua belas, agama-agama Buddha, Kristen, dan Islam sudah mulai tersebar sampai ke daerah Gobi, maka bangsa Mongol juga sudah mulai mendengar dan percaya akan adanya Yang Maha Kuasa, yang mereka anggap sebagai Raja Langit yang tak terbatas, di mana terdapat Dewa-Dewa langit yang dapat membantu manusia. Memang apa yang dimiliki Temuchin yang masih remaja itu amat didambakan dan merupakan barang-barang yang tidak ternilai harganya dari Bangsa Nomad (kelana) itu. Padang rumput yang subur dan karenanya ternak mereka makin menjadi banyak dan ini merupakan sumber kehidupan mereka. Hewan ternak itu menghasilkan banyak bulu yang baik untuk membuat bulu kempa dan tali untuk mengikat kemah-kemah,

   Juga tulang untuk membuat mata panah, kulit untuk membuat pelana kuda, pakaian kuda dan kantong-kantong untuk menyimpan makanan yang amat penting bagi mereka, yaitu kumiss (susu yang telah meragi). Juga iklim daerah itu baik sekali, dalam musim dingin suhu udara tidak demikian rendah sehingga dapat tertahan oleh mereka. Inilah yang menyebabkan para ketua kelompok kecil yang dibesarkan nyalinya oleh Targoutai pemimpin suku Taijut yang baru selalu memusuhi dan mengejar-ngejar Temuchin untuk merampas semua miliknya. Temuchin yang mendapat serangan dan gangguan dari sana-sini tentu saja merasa sedih. Sesungguhnya dia dapat saja membawa kelompoknya melarikan diri dan mencari tempat yang lebih aman. Akan tetapi dia memiliki watak yang keras dan pemberani, tidak mau mengakui kelemahan apalagi kekalahannya,

   Memang dia merasa sedih sekali melihat betapa bekas taklukan Ayahnya kini berkhianat dan memusuhinya. Teringat betapa dia masih remaja harus menanggung semua beban yang berat, melindungi Ibu-Ibunya dan saudara-saudaranya, juga anak buahnya, terkadang dia merasa betapa berat tugas yang harus dipikulnya. Pagi itu Temuchin sudah duduk termenung di dalani kemahnya. Semalam suntuk dia tidak tidur karena pikirannya penuh dengan permasalahan yang dihadapinya. Tiga hari berturut-turut dia harus menghadapi serangan dan gangguan mereka yang memberontak kepadanya. Akan tetapi dengan gagah berani, dibantu para adiknya dan para anak buahnya suku Yakka yang gagah berani, terutama sekali dibantu Gurunya, Koai-Tong Mo-Kai, dia memukul para penyerangnya dan berhasil mengusir mereka.

   Dalam pertempuran ini dia kehilangan beberapa orang anak buah, akan tetapi dia dan para pengikutnya juga telah menewaskan banyak musuh. Mengingat akan kematian Ayahnya dan penderitaan Ibunya, tak dapat ditahannya lagi Temuchin menangis. Akan tetapi dia pantang menangis mengeluarkan suara, hanya air matanya saja yang keluar dari pelupuk matanya dan mengalir turun di kedua pipinya. Dia merasa sedih kalau-kalau dia tidak akan mampu melindungi Ibunya dan adik-adiknya, juga tidak mampu mempertahankan keutuhan suku Yakka. Langkah kaki yang lembut memasuki kemah itu dan Temuchin yang sedang bersedih tidak mendengar langkah kaki ibunya. Houlun yang anggun dan gagah, wanita berusia sekitar empat puluh tahun, masuk dan ia berdiri di belakang Temuchin dengan alis berkerut dan mata memandang penuh penasaran.

   "Temuchin, apa yang kulihat ini? Ksatria gagah perkasa berhati singa, menangis seperti seorang anak perempuan yang cengeng?"

   Temuchin terkejut mendengar teguran Ibunya. Dia cepat bangkit, memutar tubuhnya dan menghapus air matanya dengan ujung lengan bajunya.

   "Ibu, aku penasaran dan sedih mengingat akan perbuatan para pengkhianat dan pengecut yang memberontak terhadap kita."

   "Hemm, apakah anakku yang berhati singa itu kini telah berubah menjadi seekor anak domba yang lemah? Seekor singa akan menggeram dan meraung, mengaum menggetarkan seluruh padang rumput kalau marah, bukan mengembik dan menangis seperti anak domba yang lemah!"

   "Ibu, apakah Ibu tidak bersedih ditinggal mati Ayah dan kini dimusuhi bekas anak buah?"

   "Mengapa mesti sedih? Kalau aku menyedihi kematian Ayahmu maka sesungguhnya aku bersedih bukan karena Ayahmu, melainkan sedih karena iba diri, suatu tanda kelemahan. Ayahmu sudah senang, dapat melihat musuh besarnya terbalas. Dan aku seperti semua manusia lain di dunia, tidak mungkin terbebas dari susah senang. Menerima senangnya hidup saja tanpa siap menerima susahnya adalah sikap seorang pengecut. Baik susah maupun senang merupakan pelengkap hidup, anakku, dan yang terpenting adalah tetap bersikap gagah, baik di waktu susah maupun di waktu senang. Bangkitlah, anakku, dan meraunglah, mengaumlah menentang segala kesukaran ini bagaikan seekor singa yang gagah perkasa, agar aku Houlun, Ibumu, dapat merasa bangga mempunyai seorang putera sepertimu!"

   Dibangkitkan semangatnya oleh sikap dan ucapan Houlun, tiba-tiba Temuchin yang bangkit berdiri itu lalu mengeluarkan raungan yang amat dahsyat, auman yang nienggetarkan seluruh perkemahan di tempat itu. Pagi hari yang sunyi itu menjadi gempar, semua orang berlompatan mendengar auman itu dan keluar dari kemah masing-masing. Ketika mereka mendengar bahwa suara itu adalah raungan Temuchin yang marah karena pengkhianatan sebagian anggauta kelompoknya, semua orang terdiam dan merasa kagum. Mereka dapat merasakan bahwa raungan sedahsyat itu tidak mungkin keluar dari dada seorang pemuda remaja biasa saja! Setelah tenang kembali, Temuchin memandang Ibunya dengan sinar mata kagum.

   "Baiklah, Ibu. Sekarang aku menyadari kesalahan dan kelemahanku. Padahal Guruku, Koai-Tong Mo-Kai sudah seringkali memberi nasihat agar aku tidak pernah mau menyerah kepada keadaan. Akan tetapi, kebencian Targoutai kepadaku, ditambah lagi dengan para kepala kelompok kecil yang kini menakluk dan membantunya memusuhiku, sungguh membuat aku merasa penasaran sekali."

   "Jangan khawatir, anakku. Bagaimanapun juga, Targoutai adalah seorang keturunan suku Bourchikoun pula, seketurunan dengan Ayahmu, yaitu termasuk suku Bangsa yang matanya berwarna abu-abu. Memang dia merasa penasaran dan ingin menguasai suku Yakka kita, akan tetapi bagaimanapun juga, engkau yang telah membunuh Baduchin setidaknya berjasa baginya. Dengan kematian Baduchin, dia kembali menjadi Ketua Taijut. Dia juga menaruh hormat kepadaku, maka andaikata dia dapat menangkapmu, aku yakin dia tidak akan membunuhmu, hanya ingin memaksa engkau takluk kepadanya."

   "Ibu, aku tidak sudi takluk kepadanya!"

   Kata Temuchin dengan gagah dan tegas.

   "Ha-ha-ha, tidak semestinya calon Raja besar takluk kepada orang lain!"

   Terdengar suara bercampur tawa dan mendengar suara ini, Ibu dan anak itu bangkit berdiri, memutar tubuh menghadapi pintu kemah dari mana muncul seorang Kakek berusia enam puluh tahun lebih. Wajah kakek itu sebenarnya cukup tampan, akan tetapi jenggot, kumis dan rambutnya kotor acak-acakan, juga pakaiannya tambal-tambalan seperti seorang Jembel gila. Dia tertawa-tawa aneh, tawa yang tidak normal seorang yang miring otaknya, karena suara tawanya terkadang bercampur suara keluhan atau tangis.

   "Guru...!"

   Temuchin maju dan menjura dengan hormat. Biarpun pemuda remaja ini tahu benar bahwa Koai-Tong Mo-Kai adalah seorang yang otaknya tidak waras alias setengah gila, namun dia menghormatinya seperti setiap orang Mongol menghormati Gurunya yang dia tahu amat sakti. Houlun juga menghormati Koai-Tong Mo-Kai yang telah terbukti selalu melindungi puteranya. Setelah membungkuk tanda hormat, ia lalu bertanya,

   "Koai-Tong,"

   Kakek ini memang minta agar orang-orang, termasuk Houlun, menyebutnya Kaoi-tong (Anak Aneh), sebutan yang lucu akan tetapi bahkan menyenangkan hatinya.

   "Sudah seringkali engkau menyebut puteraku Temuchin sebagai seorang calon Raja besar. Akan tetapi melihat betapa setelah Ayahnya meninggal, hidupnya selalu terancam, apakah engkau yakin akan kebenaran ramalanmu itu?"

   "Ha-ha-ha-heh-heh!"

   Koai-Tong Mo-Kai tertawa terkekeh-kekeh lalu menjatuhkan dirinya di atas permadani, bergulingan seperti seorang anak kecil tidak dapat menahan geli hatinya dan tertawa-tawa.

   "Nyonya Houlun, apakah engkau masih meragukan kehebatan dan ketepatan ramalanku?"

   Kembali dia tertawa terkekeh-kekeh.

   "Sesungguhnya aku percaya sepenuhnya kepadamu, Koai-Tong. Akan tetapi melihat bahaya yang selalu mengancam puteraku, aku menjadi ragu. Kalau memimpin kelompok kita sendiri saja dia menemui rintangan yang amat besar, bagaimana mungkin dia akan dapat menjadi seorang Raja besar yang menurutmu akan menguasai seluruh dataran Gobi?"

   "He-he-he, engkau masih ragu dan tidak percaya? Bagaimana, Temuchin, apakah engkau juga masih ragu dan tidak percaya kepadaku seperti ibumu?"

   Temuchin memandang wajah gurunya.

   "Aku percaya, Guru. Akan tetapi aku tidak menyalahkan keraguan Ibuku karena memang keadaanku seperti ini, rasanya sedikit saja harapan bagiku untuk dapat terkabul keinginanku seperti yang engkau ramalkan."

   "Huh, kalian semua bodoh. Nah, sekarang, Nyonya Houlun dan engkau Temuchin, suruh semua orang keluar dari kemah ini dan tutupkan pintunya, jangan biarkan sinar matahari masuk. Aku akan memperlihatkan kepada kalian apa yang akan terjadi!"

   Temuchin yang mentaati gurunya lalu menyuruh keluar semua orang dari dalam kemah sehingga kini tinggal mereka bertiga yang berada di dalam. Ruangan kemah itu agak gelap karena sinar matahari pagi tidak dapat masuk setelah semua lubang ditutup.

   "Sekarang kalian berdua duduklah bersila dan menghadap ke sudut yang gelap itu. Satukan perhatian dan Iihatlah apa yang akan tampak di sana!"

   Kata Koai-Tong Mo-Kai dengan suaranya yang aneh dan agak gemetar, mengandung wibawa yang amat kuat. Dia lalu duduk bersila dan mengangkat kedua tangan ke atas, mengerahkan kekuatan sihirnya diarahkan kepada bagian yang hitam gelap dari sudut ruangan itu. Tiba-tiba saja Ibu dan anak itu terbelalak dan melihat bayangan yang tiba-tiba muncul di atas bagian kemah yang gelap itu. Ibu dan anak itu dengan jelas sekali melihat seorang pemuda yang tak salah lagi adalah Temuchin,

   Duduk di atas sebuah singgasana mengenakan pakaian perang yang gagah, dengan topi baja yang atasnya meruncing, pakaian luarnya dilapis baja dan tangan kanan memegang sebatang pedang Mongol yang bengkok dan mengkilat saking tajamnya, dikelilingi pasukan berkuda yang amat besar jumlahnya! Tak salah lagi, itulah Temuchin sebagai seorang panglima perang, atau seorang Raja besar, dengan sepasang mata mencorong tajam seperti mata seekor biruang kutub sedang marah! Houlun mengeluarkan isak tertahan, lalu sujud menyembah ke arah gambar itu dan menangis. Belum pernah wanita perkasa ini menangis sehingga tangisnya mengejutkan hati Temuchin yang segera merangkulnya dan menghiburnya. Gambar itu hilang dan Koai-Tong Mo-Kai membuka kain penutup kemah sehingga ruangan kemah itu kini menjadi terang, dimasuki sinar matahari pagi.

   "Koai-Tong, maafkan kami!"

   Houlun menghapus air matanya dan berseru kepada Guru puteranya itu.

   "Sekarang kami percaya sepenuhnya kepada ramalanmu. Akan tetapi, Koai-Tong, apakah engkau berani menjamin bahwa puteraku akan selamat dari pengejaran Targoutai?"

   "Ha-ha-ha, jangan khawatir. Semalam aku melihat bintang puteramu masih cemerlang. Memang, ada saja awan hitam yang lalu di bawahnya seolah menutupi sinarnya, akan tetapi bintang baru nampak kecermelangannya setelah berulang-kali terhalang awan gelap. Halangan dan hambatan justeru merupakan ujian dan menambah cemerlangnya bintang itu. Memang, aku juga melihat bahwa bencana akan datang bertubi-tubi menimpa puteramu, namun halangan-halangan itu bahkan akan semakin memperkuat dirinya sehingga kalau tiba saatnya kelak, dia akan menjadi seorang jantan yang sudah matang. Temuchin, engkau bersiap dan berhati-hatilah. Semalam aku melihat awan gelap berbentuk srigala mengancam bintangmu. Sekali ini engkau harus menghadapi semua bahaya itu seorang diri dan aku sendiri tidak boleh mencampurinya sebelum tiba saatnya. Engkau harus mengandalkan kecerdikan, kemampuan, dan juga nasib hidupmu sendiri. Nah, sekarang aku hendak pergi dan jangan engkau mencariku karena sebelum tiba saatnya aku tidak akan menemuimu."

   Biarpun merasa khawatir sekali, Temuchin dan Houlun tidak berani membantah dan pagi hari itu Koai-Tong Mo-Kai menghilang dari perkemahan Temuchin. Temuchin lalu mengumpulkan sisa anak buahnya yang masih setia kepadanya, yang jumlahnya hanya tinggal beberapa ribu orang saja! Padahal ketika Yesukai, ayahnya, masih hidup dan berkuasa, jumlah anak buah suku Yakka dan taklukannya tidak kurang dari empat laksa orang.

   "Kalian semua dengarlah baik-baik,"

   Temuchin bicara dengan suara lantang.

   "Targoutai kepala suku Taijut, berkeras untuk menangkap aku dan kalau terjadi penyerbuan, harap kalian semua meninggalkan tempat ini dan mencari selamat masing-masing, tidak perlu melawan karena kita kalah banyak. Aku akan menyelamatkan diriku sendiri, jangan hiraukan aku dan kelak, kalau keadaan membaik, aku akan kembali kepada kalian."

   Bencana yang datang memang tidak dapat dihindarkan lagi. Baru beberapa hari kemudian setelah Koai-Tong Mo-Kai pergi, pada suatu pagi datanglah suku Taijut, dipimpin sendiri oleh Targoutai menyerang perkemahan itu dan benar seperti yang dikatakan Houlun, Targoutai tidak mengganggu Houlun, karena yang diincar untuk ditangkap dan ditaklukkan hanyalah Temuchin. Para pasukan Taijut menyerbu dan menggiring ternak bangsa Mongol untuk merampasnya, tidak melakukan pembunuhan semena-mena dan Targoutai langsung saja menuju perkemahan di mana berkibar panji kekuasaan Temuchin, yaitu terdiri dari sembilan utas ekor Yak.

   Akan tetapi Targoutai tidak dapat menemukan Temuchin yang lebih dulu telah pergi menyelamatkan diri. Dia hanya mengerahkan pasukannya untuk melakukan pencarian dan pengejaran, tidak tergesa-gesa karena Bangsa di daerah itu merupakan pencari-pencari jejak yang amat pandai. Mereka dapat mencari dan menemukan seekor kuda yang hilang. Mereka dapat mengikuti jejak sampai berhari-hari dan merasa yakin bahwa kalau yang diburu tidak mendapatkan tunggangan baru yang segar, maka yang diburu tidak akan dapat berlari jauh dan akhirnya akan tertangkap juga. Temuchin mengajak saudara-saudaranya melarikan diri sebelum Targoutai menyerbu perkemahan mereka. Yang merupakan pelindung utamanya adalah Kassar, saudara Temuchin yang merupakan seorang ahli panah yang pandai.

   Dengan panahnya Kassar melindungi saudara-sau-daranya. Terkadang dalam pelarian mereka yang dipimpin Temuchin, mereka turun dari kuda untuk menebang pohon-pohon agar merintangi pengejaran Targoutai dan pasukannya. Setelah melarikan diri selama beberapa hari dan kuda-kuda mereka sudah kelelahan, Temuchin maklum bahwa mereka tentu akan sulit untuk membebaskan diri dari kejaran musuh. Dia amat prihatin kalau mengingat keadaan adik-adiknya, terutama adik-adik perempuan. Dia lalu mengajak mereka mendaki sebuah bukit di mana dia menemukan sebuah guha. Temuchin memerintahkan adik-adiknya bersembunyi dalam sebuah guha besar. Kemudian, untuk menyebar jejak agar membingungkan para pengejarnya, Temuchin berpisah dari adik-adiknya.

   Kassar disuruh pergi ke jurusan lain dan kemudian mengambil jalan memutar untuk kembali ke perkemahan Ibu mereka karena Kassar diberi tugas melindungi Ibu mereka. Temuchin sendiri lalu mengambil jalan lain, mendaki sebuah bukit berikutnya di mana dia bersembunyi sampai berhari-hari lamanya. Akan tetapi bukit di mana dia bersembunyi itu tidak menyimpan sesuatu yang dapat dia makan sehingga setelah berhari-hari menahan lapar, terpaksa dia keluar dari tempat persembunyiannya dan menuruni bukit untuk pergi ke tempat lain di mana dia bisa mendapatkan makanan. Akan tetapi, pasukan Taijut yang sudah dapat menduga bahwa Temuchin bersembunyi ke bukit itu, telah menanti dan begitu Temuchin tampak menuruni lereng bukit, dia segera dikepung! Temuchin merasa terlalu lemah dan kelaparan untuk dapat melawan.

   Karena melawan sama dengan bunuh diri, maka dia membiarkan dirinya ditangkap dan dihadapkan Targoutai. Kepala suku Taijut ini girang melihat anak buahnya menangkap Temuchin. Dia memang tidak membunuhnya karena dia masih merasa khawatir untuk membunuh putera Yesukai itu dan akan merasa cukup puas kalau Temuchin suka takluk kepadanya. Akan tetapi untuk mencegah agar Temuchin tidak dapat melarikan diri, dia memerintahkan anak buahnya untuk memasangkan alat kang (belenggu pada leher dan kedua lengan) pada. Temuchin. Dibelenggu dengan kang, Temuchin sama sekali tidak berdaya dan dia digiring dengan hanya dikawal seorang perajurit karena dianggap tidak berbahaya dan tidak mungkin dapat melarikan diri. Dia diberi makan minum secukupnya dan dengan muka tunduk pemuda ini dikawal seorang perajurit.

   Ketika malam tiba dan cuaca amat gelap, Temuchin yang cerdik dan yang tubuhnya sudah kuat kembali tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dalam kegelapan, dia menggerakkan belenggu kang dan memukulkannya ke arah kepala perajurit yang mengawalnya. Perajurit itu roboh tersungkur dan pingsan! Temuchin lalu melarikan diri, mengambil jalan yang tadi dilalui anak buah Targoutai. Dia memasuki semak-semak di tepi sungai yang kemarin dilalui suku Taijut. Ketika pada keesokan harinya beberapa kelompok pasukan Taijut melakukan pencarian ke tempat itu, Temuchin lalu bersembunyi ke dalam air, hanya kepalanya yang tersembul, tertutup tumbuh-tumbuhan di dekat tepi. Temuchin mengintai dari dalam rumpun tumbuh-tumbuhan itu dan terkejut melihat bahwa seorang di antara para perajurit yang mencarinya, agaknya melihat dirinya!

   Di samping kekagetannya, Temuchin juga merasa heran dan girang karena perajurit itu agaknya sengaja diam saja dan tidak menceritakan penemuannya kepada para perajurit lain. Bagaimanapun juga, kalau belenggu kang itu belum terlepas dari lehernya, dia sama sekali tidak berdaya dan tentu saja tidak akan mampu lari jauh dan membebaskan diri dari pengejaran mereka itu. Dengan kecerdikan luar biasa ditambah keberaniannya, diam-diam Temuchin keluar dari tempat persembunyiannya dan mengikuti pasukan itu yang menuju ke perkemahan mereka. Setelah tiba di perkemahan mereka Temuchin lalu memasuki kemah di mana tinggal perajurit yang tadi melihatnya namun tidak melaporkannya. Ketika Temuchin yang masih basah kuyup itu tiba-tiba muncul di depannya, perajurit itu terkejut bukan main dan merasa lebih ketakutan daripada Temuchin sendiri.

   "Saudara yang baik, aku tidak ingin mengganggumu, aku datang untuk berterima kasih atas pembelaanmu,"

   Kata Temuchin. Ternyata kemudian bahwa perajurit itu bukanlah orang Taijut, melainkan seorang dari suku lain yang kebetulan saja ikut menjadi perajurit suku Taijut. Dia merasa iba melihat Temuchin, apalagi dia memang seorang pengagum mendiang Yesukai sehingga timbul keinginannya untuk menolong Temuchin, pemuda remaja yang gagah berani itu.

   Tanpa banyak cakap lagi perajurit itu lalu membelah kang yang mengalungi leher Temuchin, membakar kayu bekas kang itu lalu menyembunyikan Temuchin dalam sebuah gerobak di bawah tumpukan bulu domba. Dapat dibayangkan betapa tersiksa dan sengsara Temuchin yang bersembunyi di bawah tumpukan bulu domba itu. Apalagi setelah hari bertambah panas. Tempat persembunyian itu panas bukan main dan ketika beberapa orang perajurit yang masih mencari Temuchin menggeledah kemah dan menusuk-nusukkan lembing mereka ke dalam tumpukan bulu domba, kaki Temuchin sempat tergores dan terluka. Akan tetapi dia selamat dan setelah mendapatkan kesempatan laki-laki penolongnya itu mengeluarkannya dari dalam gerobak, memberinya makanan dan minuman susu, juga memberinya sebuah busur dengan dua batang anak panah, lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh,

   "Aku dan keluargaku akan mati seandainya mereka tadi menemukanmu. Sekarang pergilah ke tempat Ibumu dan saudara-saudaramu."

   Temuchin merasa terharu dan dia mencatat nama perajurit itu. Kelak, orang ini dapat dia temukan dan dia beri kedudukan yang tinggi dalam pasukannya. Akhirnya Temuchin dapat menemukan perkemahannya. Tempat itu telah porak poranda, ternaknya hilang dilarikan musuh, sedangkan Ibu dan adik-adiknya telah melarikan diri. Dengan tekun dia mencari mereka dan akhirnya dia menemukan keluarganya. Ibunya masih tegar dan gagah, selalu dikawal oleh Kassar yang pemberani dan Belgutai, adik se Ayah yang amat sayang kepadanya.

   Keadaan mereka amat sengsara karena selama ini mereka harus menyembunyikan diri dan menderita kelaparan. Setelah Temuchin kembali dalam keadaan selamat, hati Houlun dan para saudara Temuchin menjadi besar. Bagi mereka kini mulai terasa bahwa kehadiran Temuchin benar-benar memberi semangat kepada mereka dan di dalam hati mereka terdapat keyakinan akan kebenaran ramalan Koai-Tong Mo-Kai bahwa kelak Temuchin akan menjadi seorang Raja besar dari Bangsa Mongol! Hal ini terasa benar oleh mereka, bahkan Kassar yang gagah perkasa itu diam-diam menaruh hormat dan rasa takut yang berlebihan kepada Temuchin. Penghidupan mereka sengsara sekali. Keluarga itu hanya mempunyai delapan ekor kuda dan mereka hanya dapat melakukan perjalanan di malam hari menuju ke daerah di mana tinggal kelompok teman yang tidak memusuhi mereka.

   Selama mengungsi ini mereka terpaksa harus makan daging hewan perburuan yang dalam pandangan mereka merupakan makanan yang hina seperti marmot, kelinci dan sebagainya. Karena tidak ada daging domba, maka mereka harus puas dengan makan ikan saja. Dengan pimpinan Temuchin yang cerdik, walaupun mereka dikejar-kejar dan dicari oleh Targoutai dan pasukannya, mereka mampu menghindarkan diri. Sampai Hampir dua tahun lamanya Temuchin dan keluarganya menjadi buruan Targoutai. Sesungguhnya, kalau dia mau, Temuchin dapat menyelamatkan diri dengan pergi meninggalkan tanah yang tadinya menjadi daerah kekuasaan sukunya. Akan tetapi Temuchin tidak rela meninggalkan tanahnya. Dia mengunjungi para kelompok yang dulu takluk kepada suku Yakka dan menuntut dari mereka upeti yang telah menjadi haknya, agar dia dapat menghidupi keluarga ibunya.

   Juga Temuchin menahan diri untuk minta pertolongan pihak lain. Bourtai yang telah menjadi tunangannya masih menunggunya. Ayah Bourtai merupakan seorang kepala suku yang memiliki kekuasaan cukup besar, memiliki pasukan besar dan tentu saja dia akan mau menolong bakal menantunya. Akan tetapi Temuchin memiliki harga diri dan keangkuhan, tidak mau minta tolong kepada calon Ayah mertuanya. Selain Ayah Bourtai, terdapat pula Toghrul, kepala suku Karait yang telah lanjut usianya serta besar pula pengaruhnya. Toghrul ini pernah bersumpah setia bersama Yesukai dan perjanjian semacam itu memberi hak kepada Temuchin, apabila dia mau, dia dapat minta pertolongan Toghrul karena kepala suku ini boleh dibilang telah menjadi Ayah angkatnya.

   Sebetulnya hal ini amat mudah dilakukan karena untuk dapat mencapai tempat tinggal suku Karait, tinggal melalui padang rumput dan tak jauh dari sana terdapat kota-kota tempat tinggal suku Karait yang dikelilingi tembok-tembok tinggi. Suku Karait termasuk suku yang kaya, memiliki harta benda yang indah-indah buatannya, bahkan kemah-kemah mereka ada yang dibuat dari kain bersulam emas. Suku Karait ini mengakui kekuasaan seorang Pendeta Kristen dan banyak di antara mereka yang mencampurkan agama tradisionil mereka dengan paham keagamaan Kristen. Akan tetapi Temuchin tidak mau minta bantuan kepala suku Karait yang menjadi Ayah angkatnya melalui sumpah bersama mendiang Yesukai.

   "Kalau seseorang datang kepada orang lain dengan tangan hampa seperti orang minta-minta, dia akan dihina dan tidak akan disambut dengan rasa persaudaraan,"

   Kata Temuchin yang sama sekali tidak mau dianggap atau dipandang rendah walaupun sesungguhnya keadaan keluarganya amat membutuhkan pertolongan orang lain. Temuchin tetap dengan pendiriannya itu, bukan karena sungkan atau malu, melainkan karena memang demikianlah cara berpikir bangsa Yakka Mongol yang memiliki harga diri tinggi. Kepala suku Karait itu terikat oleh sumpahnya dan berkewajiban untuk menolongnya, akan tetapi Temuchin tidak minta bantuannya, kalau dia tidak dapat datang berkunjung sebagai seorang sekutu yang terhormat.

   Dia tidak sudi datang sebagai seorang pelarian yang mencari perlindungan! Dalam kepribadian Temuchin tampak pula kebajikan dan kekejaman yang terkadang mengerikan bagi Bangsa lain. Dia amat membenci orang-orang yang berwatak lemah dan dia selalu mencurigai segala sesuatu yang datang dari luar kelompok atau sukunya. Dia belajar mempergunakan tipu muslihat terhadap musuh-musuhnya, akan tetapi janjinya kepada para pengikutnya selalu dipegang teguh dan dipenuhinya. Temuchin memiliki pendirian bahwa : "Mengingkari atau mengubah janji adalah sifat paling buruk yang dapat dimiliki seorang pemimpin! Pagi hari itu udara tampak gelap."

   Matahari bersembunyi di balik awan hitam dan Temuchin yang berada di luar kemahnya memandang ke arah awan hitam itu dengan alis berkerut.

   Dia tidak terlalu percaya akan tahyul, akan tetapi menurut kepercayaan suku Bangsanya sejak Nenek-Moyangnya, awan gelap yang menyembunyikan matahari itu membawa atau menunjukkan datangnya hal yang buruk atau tidak menguntungkan. Kini dengan alis berkerut dia memandang ke arah awan hitam dan kerut alisnya semakin mendalam ketika dia melihat bahwa awan itu membentuk sebuah wajah besar yang amat menyeramkan, seperti wajah seorang raksasa atau iblis jahat yang mengangakan mulut, siap mencaplok siapa saja yang akan dijadikan korbannya. Temuchin melihat seolah dia yang akan dijadikan korban awan hitam berbentuk kepala iblis itu. Akan tetapi tiba-tiba rasa ngeri itu berubah menjadi kemarahan, seolah dia ditantang. Dia mengangkat kedua tangannya ke atas, dikepal dan diacungkan ke arah awan itu dan berseru,

   "Aku, Temuchin, tidak takut akan ancamanmu! Turunlah dan mari kita lihat siapa yang lebih kuat di antara kita!"

   Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan seorang laki-laki yang berwajah pucat melompat turun dari atas kudanya lalu menghampiri Temuchin.

   "Celaka! Sekali ini mati kita semua...!"

   Kata laki-laki itu dengan suara gemetar. Temuchin memandang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu dengan sinar mata tajam dan marah. Melihat orang yang berpenampilan takut membuat dia merasa muak. Orang ini adalah seorang di antara anak buah kelompok yang masih setia kepadanya.

   "Mengapa engkau begitu ketakutan seperti seorang pengecut? Apa yang telah terjadi?"

   Temuchin menegur marah.

   "Celaka! Targoutai mengamuk, mulai membunuhi suku Yakka kita!"

   Orang itu berseru. Temuchin menggelengkan kepalanya, tidak percaya.

   "Targoutai hanya mengejar aku dan tidak pernah membunuhi anak buahku. Dia hanya membakar perkemahan dan merampas ternak!"

   "Akan tetapi sekarang lain. Dia... dia membunuh dengan kejam, menganggap kita semua musuh besarnya. Agaknya karena selama ini Targoutai tidak berhasil menangkapmu, dia menjadi marah dan kini dia dibantu oleh Gobi Hek-Mo (Iblis Hitam Gobi) membantai semua orang yang dia anggap setia kepadamu."

   Terkejut juga hati Temuchin mendengar bahwa Targoutai kini dibantu Gobi Hek-Mo, seorang Datuk yang terkenal sebagai Dukun atau manusia iblis yang amat sakti. Pernah dikabarkan Gobi Hek-Mo yang menjadi adik seperguruan Gobi Lo-Mo (Iblis Tua Gobi) hilang atau sudah mati. Kiranya sekarang muncul sebagai pembantu Targoutai dan membunuhi anak buah suku Yakka. Dia teringat akan mendung hitam berbentuk kepala iblis itu dan dia lalu memandang ke arah awan itu dan kembali dia mengepal tinju dan menantang.

   "Aku tidak takut Iblis Hitam Gobi! Turunlah dan aku akan menghancurkanmu!!"

   Ucapan yang disertai geraman marah itu membuat pelapor itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi wajah Temuchin berseri ketika dia melihat betapa awan hitam itu mulai membuyar dan bentuk kepala iblis itu pun mulai menghilang! Dia merasa menang dan menjadi gembira sekali.

   (Lanjut ke Jilid 30 - Tamat)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 30 (Tamat)

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba-tiba pada saat itu terdengar orang bersuara dengan nada naik turun seperti orang berdeklamasi atau membaca sajak.

   "Siapakah remaja yang mampu mengalahkan Iblis Hitam Gobi yang sakti kecuali Si Calon Raja Gobi sejati?"

   Temuchin cepat memutar tubuhnya dan di lain saat dia sudah memberi hormat kepada Koai-Tong Mo-Kai sambil berseru girang,

   "Guru...!!"

   Koai-Tong Mo-Kai yang sudah sekitar dua tahun nenghilang, kini muncul dan keadaannya masih aneh seperti dulu, hanya dia tampak lebih tua.

   "Temuchin, aku merasa girang sekali melihat betapa selama dua tahun ini engkau mampu mempertahankan dirimu dari berbagai ancaman yang gawat. Hal ini membuktikan bahwa apa yang aku lihat melalui bintangmu ternyata tidak salah. Aku datang untuk membelamu yang terakhir kali karena sekali ini tanpa bantuanku engkau tidak mungkin akan dapat menghindarkan diri dari cengkeraman maut."

   "Apakah Guru maksudkan ancaman dari manusia iblis yang bernama Iblis Hitam Gobi itu? Aku tidak takut, Guru, karena aku percaya penuh akan ucapan Ibu bahwa manusia hidup ada yang menghidupkan dan sewaktu-waktu akan mati karena ada yang mematikan. Kalau yang menghidupkan aku belum menghendaki aku mati, maka apapun juga di dunia ini, jangankan hanya Iblis Hitam Gobi, tidak akan mampu membunuhku."

   "Ha-ha-ha-heh-heh!"

   Koai-Tong Mo-Kai memperdengarkan suara tawanya yang khas.

   "Ibumu benar, Temuchin, akan tetapi engkau harus menyadari bahwa untuk mematikan atau menghindarkan manusia dari kematian, Yang Maha Kuasa memerlukan bantuan yang akan menjadi sebab dari kehidupan ataupun kematian itu. Kematian bisa disebabkan oleh perbuatan manusia lain, atau oleh penyakit, musibah kecelakaan dan sebagainya. Untuk dapat terhindar dari kematian pun harus ada penyebabnya, dan mungkin Yang Maha Kuasa sudah menunjuk aku untuk menyebabkan engkau terhindar dari ancaman maut."

   Pada saat itu, Houlun muncul dari kemah. Wanita ini mengenal suara tawa Koai-Tong Mo-Kai dan ia segera keluar dan memberi hormat. Agaknya wanita itu masih dapat mendengar sebagian ucapan kakek itu. Ia menjura dan berkata dengan suara mengandung penuh harapan seorang Ibu.

   "Koai-Tong, kami merasa berbahagia sekali melihat kedatanganmu. Kuharap engkau akan dapat melindungi puteraku Temuchin."

   "Jangan khawatir, selembar nyawaku akan kupertaruhkan untuk melindunginya."

   Setelah berkata demikian, Koai-Tong Mo-Kai lalu menganjurkan Temuchin membawa ibu dan saudara-saudaranya ke sebuah bukit tak jauh dart situ. Anak buahnya yang tinggal sekitar lima ratus orang dan yang telah bersumpah setia kepadanya, juga oleh Koai-Tong Mo-Kai diatur agar menjadi pengawal keluarga itu. Setelah mereka mendaki bukit kecil itu, atas petunjuk Koai-Tong Mo-Kai, mereka mendirikan perkemahan untuk Houlun sekeluarga. Kemudian, lima ratus orang itu disuruh mengumpulkan batu-batu besar yang diletakkan sekeliling perkemahan, di puncak bukit itu. Setelah semua pekerjaan selesai dilakukan menurut petunjuk Koai-Tong Mo-Kai, Kakek itu lalu berdiri di atas batu terbesar dan bicara kepada semua orang.

   "Menurut perhitunganku, Targoutai dengan pasukannya akan mengejar sampai di sini dan mengepung puncak bukit ini. Dia membawa pasukan yang amat banyak jumlahnya, mungkin ada sepuluh kali jumlah pasukan kita. Selain itu, kalau tidak ada perubahan, mereka akan ditemani pula oleh seorang tokoh yang amat sakti, yaitu Gobi Hek-Mo. Oleh karena itu, apa pun yang terjadi, kalian sama sekali tidak boleh turun dari puncak untuk menyambut mereka dalam sebuah pertempuran karena hal itu hanya akan merupakan bunuh diri saja. Kekuatan kalian harus dibagi, ada bagian yang menggunakan anak panah untuk menyerang ke bawah, ada pula yang dapat menggunakan batu-batu untuk digulingkan ke bawah menerjang mereka. Jangan kalian takut, karena aku sendiri yang akan menemui dan menghalangi mereka. Gobi Hek-Mo akan kuhadapi sendiri dan yakinlah bahwa aku akan dapat mengatasi mereka."

   Setelah berkata demikian Koai-Tong Mo-Kai lalu mengatur dan membagi tugas. Temuchin sendiri ditugaskan untuk mengawasi semua kegiatan anak buahnya, terutama yang menggunakan batu untuk melawan atau menyerang musuh, sedangkan Kassar memimpin barisan anak panah. Houlun, ibu yang gagah perkasa itu menjadi pusat untuk memperbesar semangat para anak buah. la berdiri di atas batu sambil memegang lambang suku Yakka.

   

Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini