Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 31


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 31



Tiga hari tiga malam lewat tanpa ada kejadian yang penting dan agaknya pihak musuh belum tiba di daerah itu. Akan tetapi pada hari ke empat, pagi-pagi sekali mereka yang berjaga di atas puncak melihat gerakan banyak orang di bawah bukit. Dari bendera dan lambang mereka, para anak buah Temuchin mengenal bahwa pasukan yang datang itu adalah orang-orang Taijut yang bergerak cepat dengan kuda mereka. Seperti yang dikatakan oleh Koai-Tong Mo-Kai, pasukan yang besar jumlahnya itu kini melakukan pengepungan di sekeliling bukit dan dengan demikian berarti keadaan para suku Yakka itu telah terkepung rapat dan agaknya tidak ada jalan keluar dari tempat itu dengan selamat.

   Kemudian, terjadilah sesuatu yang amat hebat dan juga amat menghebohkan, baik bagi pihak anak buah Temuchin maupun bagi pihak musuh. Dari puncak bukit itu secara tiba-tiba saja datang awan hitam yang menyelubungi seluruh puncak sehingga dari bawah, para pengepung hanya melihat puncak bukit yang hitam tertutup semacam kabut atau awan! Mereka menjadi ragu-ragu dan tidak tahu apakah mereka telah mengepung tempat yang benar. Akan tetapi, semua anak buah Temuchin maklum bahwa semua ini disebabkan oleh sihir dari Koai-Tong Mo-Kai karena mereka melihat kakek itu duduk bersila di atas batu besar dan duduknya seperti orang sedang bersamadhi.

   Pasukan Targoutai yang mengepung puncak bukit itu menjadi bingung karena puncak itu menjadi gelap dan mereka tidak tahu benar apakah Temuchin dan para pengikutnya berada di puncak. Selagi mereka kebingungan, tiba-tiba terdengar bentakan suara menggelegar dan suara itu seolah mengandung kekuatan gaib yang mendorong pergi awan atau kabut gelap yang menyelimuti puncak! Melihat ini, pasukan Taijut bersorak gembira dan timbul keberanian mereka setelah Gobi Hek-Mo menggunakan kekuatan sihir mengusir awan atau kabut yang menggelapi puncak bukit. Mereka kini mulai mendaki lereng bukit, hendak naik ke puncak mencari Temuchin dan keluarganya. Ketika pasukan Targoutai mulai mendaki sampai di lereng ke tiga, tiba-tiba saja dari atas datang hujan anak panah dan batu-batu bergulingan ke bawah!

   Tentu saja pasukan Targoutai menjadi panik. Mereka tidak menyangka akan mendapat serangan mendadak dan banyak di antara mereka yang roboh dan tewas tertusuk anak panah atau tertimpa batU besar. Akan tetapi dari dalam rombongan pasukan Taijut yang kacau-balau dan di antara mereka banyak yang roboh itu, tampak bayangan berkelebat dan bayangan ini mendaki bukit dengan gerakan yang cepat dan dia dapat menghindarkan diri dari hujan anak panah dan batu. Dari puncak, Koai-Tong Mo-Kai memandang ke bawah dan dia melihat bayangan itu. Maka dia memesan kepada Temuchin untuk tetap waspada dan kalau pasukan musuh berani mendaki lagi, agar disambut hujan anak panah dan batu.

   Dalam keadaan terlindung seperti itu di puncak, pasukan Yakka yang hanya berjumlah lima ratus orang itu akan mampu bertahan dan mengalahkan musuh yang ribuan orang jumlahnya. Setelah meninggalkan pesan itu, Koai-Tong Mo-Kai lalu berlari menuruni puncak, menyambut bayangan yang dengan lihainya mendaki ke atas dan kini sudah sampai di lereng bawah puncak. Orang yang amat lihai ini bukan lain adalah Gobi Hek-Mo. Sesuai dengan julukannya, Iblis Hitam Gobi ini adalah seorang Kakek yang berkulit hitam arang dan wajahnya tampak bengis sekali. Usianya sekitar tujuh puluh tahun dan Kakek ini adalah Sute (adik seperguruan) dari Gobi Lo-Mo. Dua orang Datuk itu memang berasal dari daratan Gobi dan mereka memperoleh ilmu dan kesaktian mereka dari Tibet.

   Karena Nenek-Moyang mereka memang berasal dari suku Taijut, maka dahulu Gobi Lo-Mo membantu Baduchin. dan kini Gobi Hek-Mo juga membantu Targoutai kepala suku Taijut. Nasihat dari Gobi Hek-Mo inilah yang membuat Targoutai mengganti siasatnya, tidak lagi mencari Temuchin untuk memaksanya takluk, kini dia ubah dengan niat membunuh dan membasmi semua suku Yakka. Ketika Gobi Hek-Mo melihat betapa puncak bukit itu diliputi awan atau kabut yang tidak wajar, tahulah dia bahwa ada orang menggunakan sihir untuk melindungi puncak itu. Dia lalu mengeluarkan kekuatan sihirnya untuk melenyapkan kabut buatan Kaoi-Tong Mo-Kai.

   Akan tetapi melihat betapa banyak korban jatuh binasa dari pasukan Ta jut, Gobi Hek-Mo menjadi marah dan dia lalu mendaki bukit untuk melihat keadaan di puncak. Ketika dia tiba di lereng bawah puncak, tiba-tiba dari atas berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu dua orang kakek itu sudah saling berhadapan! Gobi Hek-Mo berdiri tegak menantikan Koai-Tong Mo-Kai yang berdiri di depannya dan dia dapat menduga bahwa tentu orang ini yang tadi menggelapkan puncak dengan kabut buatannya. Gobi Hek-Mo sudah mendengar bahwa Temuchin dilindungi seorang sakti, yaitu Koai-Tong Mo-Kai yang sudah lama dia dengar namanya walaupun belum pernah bertemu muka.

   "Hemm, agaknya engkau yang berjuluk Koai-Tong Mo-Kai!"

   Kata Gobi Hek-Mo dengan sikap memandang rendah.

   "Ha-ha-heh-heh, dan engkau ini siapa lagi kalau bukan Gobi Hek-Mo! Sungguh tidak kusangka nama besar Gobi Hek-Mo ternyata hanya omong kosong saja. karena buktinya sekarang engkau membantu pihak yang kuat dan banyak untuk menghina yang lemah dan sedikit. Kalau engkau mempunyai rasa malu, Gobi Hek-Mo, turunlah dan pergilah dari sini agar nama besarmu tidak menjadi kotor ternoda."

   Wajah yang sudah hitam arang itu menjadi semakin hitam karena dengan cepat darah Gobi Hek-Mo naik ke atas saking marahnya mendengar ucapan Koai-Tong Mo-Kai itu.

   "Jahanam busuk!"

   Dia memaki.

   "Aku seorang Mongol dan sudah sepatutnya aku membela Bangsaku. Akan tetapi engkau, seorang Han gila mengapa datang mengacau di daerah ini? Kau yang harus pergi dari sini!"

   "Aku tidak membela bangsa, melainkan membela yang benar!"

   "Mampuslah!"

   Gobi Hek-Mo membentak dan ketika dia mendorongkan kedua tangannya ke arah Koai-Tong Mo-Kai, hawa yang amat panas meluncur dan menyerang Kakek berpakaian jembel itu bagaikan api yang menyambar ganas. Koai-Tong Mo-Kai dengan tenang juga mendorongkan kedua tangannya menyambut dan dari kedua telapak tangannya meluncur hawa sedingin air beku. Dua macam hawa yang berlawanan itu bertemu di udara dan terdengar seperti bara api dimasukkan air, dan tampaklah uap putih mengepul. Kedua orang Kakek itu seperti terdorong kekuatan yang dahsyat, membuat mereka terhuyung ke belakang. Hal ini menunjukkan bahwa mereka memiliki tenaga sakti yang berimbang kekuatannya. Agaknya Gobi Hek-Mo tidak dapat menerima kenyataan ini. Dia tidak percaya bahwa lawannya mampu mengimbangi kekuatannya.

   Maka sambil mengeluarkan suara geraman seperti binatang buas marah, dia lalu menyerang dengan kaki tangannya. Gerakannya tidaklah terlalu cepat, akan tetapi setiap gerakan tangan atau kakinya ketika menyerang, mengeluarkan suara bercuitan mengerikan dan hawa panas menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Akan tetapi Koai-Tong Mo-Kai yang maklum akan kelihaian lawannya, menyambut serangan itu dengan tenang sambil mengerahkan sinkang (tenaga sakti). Mereka berdua berkelahi dengan tangan kosong dan tampaknya mereka bergerak lambat saja. Namun jelas tampak betapa di sekeliling mereka terdapat angin menyambar-nyambar, membuat pohon-pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang dan hawa yang amat panas dan dingin saling berganti menyambar dengan dahsyat. Biarpun gerakan dasar ilmu silat tangan kosong mereka berbeda,

   Namun ternyata kedua orang kakek ini memiliki tingkat yang seimbang sehingga perkelahian itu seru dan mereka sating serang tanpa ada yang terdesak. Sementara itu, di bawah pimpinan Temuchin dan Kassar, para anak buah suku Yakka melanjutkan serangan anak panah dan batu ke arah bawah puncak dan serangan yang tidak dapat dibalas ini menjatuhkan korban yang banyak sekali di antara anak buah pasukan Targoutai. Perkelahian tangan kosong antara Koai-Tong Mo-Kai dan Gobi Hek-Mo berlangsung sampai lima puluh jurus tanpa ada yang terdesak. Hal ini membuat Gobi Hek-Mo menjadi semakin penasaran dan marah. Belum pernah dia menemukan lawan yang begini tangguh dan dia merasa kecelik karena tadinya dia memandang rendah lawan yang keadaannya seperti kanak-kanak atau seperti orang yang miring otaknya itu.

   "Jahanam, engkau layak mampus!"

   Teriak Gobi Hek-Mo dan sekali kedua tangannya bergerak, dia telah mencabut sebatang ruyung berwarna hitam, terbuat dari ekor semacam ikan yang langka. Tangan kirinya juga mencabut sebuah kebutan yang bulunya berwarna merah dan begitu senjata ini dicabut, tercium bau amis sekali, amis dan agak memuakkan seperti bau ikan yang telah membusuk. Karena maklum bahwa lawannya mengeluarkan senjata yang amat berbahaya dan mengandung racun, maka Koai-Tong Mo-Kai juga cepat mengeluarkan sepasang senjatanya yang tampaknya amat sederhana.

   Di tangan kanannya tampak sebatang tongkat bambu kuning, sedangkan tangan kirinya memegang sehelai kain biru yang tebal. Begitu dia mengelebatkan kain biru itu, ada angin menyambar dahsyat dan hal ini saja menunjukkan bahwa senjata sederhana itu amat hebat! Tanpa ada yang mengeluarkan kata-kata, dua orang kakek itu sudah saling serang dengan hebatnya. Sekali ini keduanya telah mengambil keputusan untuk bertanding mati-matian dan mereka sama-sama mengetahui bahwa untuk mencapai kemenangan, satu-satunya jalan adalah membunuh lawan karena kalau hal ini tidak berhasil dilakukan, maka dia sendiri yang akan terbunuh oleh lawan yang amat lihai itu. Setelah dua orang sakti itu berkelahi mati-matian selama hampir seratus jurus, akhirnya usia yang menentukan.

   Gobi Hek-Mo lebih tua belasan tahun dibandingkan Koai-Tong Mo-Kai, maka kalau tingkat kepandaian mereka berimbang, kini tinggal tenaga dan daya tahan tubuh saja yang menentukan. Usianya yang jauh lebih tua membuat Gobi Hek-Mo kehabisan tenaga, napasnya mulai terengah-engah dan gerakannya semakin lamban. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Koai-Tong Begitu mendapat kesempatan baik dan lawannya agak terhuyung ketika tongkat dan ruyung bertemu dengan amat kuatnya, Koai-Tong Mo-Kai menggerakkan tongkat bambunya, bukan hanya menusuk, melainkan meluncurkan dan melepaskan tongkat itu yang berkelebat bagaikan anak panah dan menancap dada Gobi Hek-Mo sehingga menembus ke punggungnya! Kakek itu terbelalak, seperti tidak percaya dan tangan kirinya melepaskan kebutan lalu memegang tongkat yang menembus dadanya.

   Kemudian dia membanting ruyung ke atas batu yang berada di depannya. Tampak cahaya api ketika terdengar ledakan itu dan ruyung itu pecah berkeping-keping dan kepingannya menyambar kemana-mana. Koai-Tong Mo-Kai cepat berusaha menghindar dengan lompatan jauh, namun tetap saja beberapa keping pecahan ruyung itu mengenai punggung dan pahanya. Dia memandang ke arah tubuh Gobi Hek-Mo yang hancur dan dia menghela napas panjang, merasa betapa pecahan ruyung yang mengenai tubuhnya itu mendatangkan rasa panas dan nyeri bukan main. Tahulah dia bahwa dia telah terluka parah, luka yang mengandung racun. Dan peristiwa ini tidak mengejutkannya karena menurut perhitungannya, dia memang sudah ditentukan menjadi korban dalam perkelahian itu.

   Tiba-tiba dia mendengar sorak-sorai yang datangnya dari bawah. Teringatlah dia bahwa bukit itu masih dikepung pasukan Taijut, maka Koai-Tong Mo-Kai lalu cepat mengerahkan sisa tenaganya untuk berlari menuruni bukit. Ketika tiba di lereng bawah, pasukan yang dipimpin Targoutai menyambutnya dengan keroyokan. Akan tetapi mereka itu bagaikan sekelompok nyamuk menyerang api. Begitu Koai-Tong Mo-Kai menggerakkan tongkat bambu yang tadi sempat dia cabut dari tubuh Gobi Hek-Mo, dan mengayun kain biru di tangan kiri, para perajurit Taijut itu jatuh berpelantingan dan tidak mampu bangkit kembali. Dia terus mengamuk dengan hebat. Pada saat itu, dari puncak hujan pula anak panah dan batu-batu sehingga korban yang jatuh di pihak pasukan suku Taijut menjadi semakin banyak.

   Mayat mereka malang melintang dan bertumpukan. Setelah lewat tengah hari, jumlah korban yang roboh dan tewas tidak kurang dari dua ribu orang! Hal ini membuat Targoutai merasa jerih juga, apalagi setelah dia mengetahui bahwa Gobi Hek-Mo yang dia andalkan juga sudah tewas! Akhirnya dia terpaksa menarik mundur sisa pasukannva dan melarikan diri meninggalkan tempat yang berbahava Itu. Sekali ini dia harus mengakui kekalahannya terhadap Temuchin! Dari puncak bukit, Temuchin dan para pengikutnya melihat betapa banyak musuh mereka tewas dan sisanya melarikan diri. Mereka merasa gembira sekali dan sambiI bersorak-sorai mereka menuruni puncak bukit. Dengan gembira Temuchin yang memimpin pasukannya berloncatan dan membunuh perajurit musuh yang terIuka dan belum tewas, di ikuti anak buahnya. Akan tetapi tiba-tiba dia berseru,

   "Guru..!!"

   Dan Temuchin lari ke arah Kaoi-Tong Mo-Kai yang duduk bersila di antara mayat-mayat orang Taijut yang berserakan di sekelilingnya. Tubuh kakek itu tampak menghitam karena keracunan dan napasnya sudah tinggal satu-satu. Melihat Temuchin berlutut di depannya, Koai-Tong Mo-Kai tersenyum.

   "Temuchin, mulai sekarang bentuklah pasukan Mongol yang besar, persatukan mereka dan engkau yang menjadi Raja Besar memimpin mereka. Kelak nama mu akan mengguncang dunia dan keturunanmu akan menjadi Raja-Raja besar. Akan tetapi untuk dapat mempertahankan kekuasaanmu, engkau harus selaIu mendekati dan menyejahterakan rakyat. Jangan sampai rakyat kecil memberontak menentangmu, karena hal itu akan menjatuhkan engkau atau keturunanmu."

   Setelah meninggalkan pesan ini, Koai-Tong Mo-Kai berhenti bernapas dan meninggal dunia. Kelak akan ternyata bahwa semua ramalannya terhadap Temuchin itu terbukti.

   Sesuai dengan pesan Gurunya, Temuchin memperabukan jenazah Kakek itu. Dia lalu memenggal leher Gobi Hek-Mo dan menggantungkan kepala bermuka hitam menyeramkan itu di depan kampung perkemahannya sehingga hal ini mendatangkan rasa kagum dan tunduk kepada para kepala kelompok-kelompok kecil. Kini para kepala suku dan kelompok mulai berdatangan dan menggabungkan diri. Semua suku di daerah Gobi membicarakan kegagahan Temuchin dan kebijaksanaannya memimpin suku Yakka yang kini menjadi besar dan semakin kuat. Setelah memiliki pengikut yang banyak, bahkan jumlahnya hampir menyamai jumlah pasukan yang dahulu dipimpin Ayahnya, Temuchin yang kini berusia tujuh belas tahun itu berkunjung ke perkemahan Bourtai, kemudian memboyong gadis itu ke perkemahannya sendiri sebagai isteri pertama.

   Kita tinggalkan Temuchin yang mulai menyusun kekuatan dan memulihkan kebesaran suku Yakka dengan lambangnya sembilan untai ekor binatang yak, dan marl kita melihat keadaan para pendekar muda yang berada di selatan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Pangeran Leng Sui yang kini telah berusia sekitar empat puluh tujuh tahun hidup makmur di Yen-Cing, Ibukota Kerajaan Cin yang wilayahnya pada masa itu juga disebut negara Kathai. Yang membangun Kerajaan Cin berasal dari suku Karait dan rajanya bernama Toghrul. Ada pula yang menyebutnya sebagai Raja Pendeta Johannes karena Bangsa Karait ini memeluk Agama Nasrani yang bercampur dengan agama tradisional Syamanisme. Setelah Kerajaan Cin berdiri di daratan Cina bagian utara dan mengusir Kerajaan Sung ke selatan,

   Kerajaan ini dapat dibilang hidup cukup makmur, walaupun sesungguhnya Kerajaan Cin terjepit antara Bangsa-Bangsa Mongol di utara dan Kerajaan Sung di selatan. Pangeran Leng Sui, dengan bantuan isterinya yang cerdik yaitu Siangkoan Ceng, mendapatkan kepercayaan dari Ayahnya, yaitu Raja Cin yang bergelar Wang Khan (Raja Segala Raja). Pangeran Leng Sui memimpin pasukan keamanan Kerajaan dan dia mendapat ijin untuk keluar masuk Istana Ayahnya setiap saat. Hal ini tentu saja mendatangkan perasaan iri dalam hati para Pangeran lainnya, terutama para Pangeran yang menjadi putera permaisuri. Bahkan Pangeran Leng Gun yang menjadi putera mahkota, amat membencinya walaupun perasaan itu tidak dia perlihatkan karena Pangeran Leng Gun maklum akan kelihaian Pangeran Leng Sui, apalagi kelihaian isterinya, Siangkoan Ceng.

   Selain itu, juga bukan rahasia lagi bahwa Wang Khan, raja Dinasti Cin, diam-diam tergila-gila kepada Siangkoan Ceng yang memang mencari perhatian raja ini demi membantu agar suaminya semakin berkuasa. Leng Sui, Pangeran yang memang tidak sepenuh hati mencinta Siangkoan Ceng, bahkan menyetujui hubungan isterinya dengan Ayahnya! Kemudian, terjadilah peristiwa yang mengejutkan dan menyedihkan keluarga Istana Kerajaan Cin ketika secara ber-turut-turut, Pangeran Mahkota Leng Cun jatuh sakit berat sampai meninggal dunia karena tidak ada Tabib yang mampu menyembuhkannya. Dan kematian putera mahkota ini disusul dua orang Pangeran lain yang sedianya menjadi pengganti kedudukan putera mahkota Leng Cun.

   Setelah secara berturut-turut dalam beberapa bulan saja tiga orang Pangeran itu mati karena penyakit aneh, dengan sendirinya hanya tinggal Pangeran Leng Sui yang berhak menggantikan kedudukan Raja di Kerajaan Cin! Tidak ada yang mencurigainya dengan kematian tiga orang saudaranya itu, padahal tentu saja kematian itu disebabkan oleh perbuatan Siangkoan Ceng! Pada suatu malam, seperti biasa kalau Raja Wang Khan memanggilnya, Siangkoan Ceng mengunjungi Raja itu untuk melayaninya. Wanita ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak semula meninggalkan bangunan di kompleks Istana yang menjadi tempat tinggal Pangeran Leng Sui, sampai ia memasuki kamar Raja Wang Khan, ada bayangan yang memiliki gerakan ringan dan cepat sekali membayanginya. Bayangan ini bukan lain adalah Leng Bu San!

   Seperti kita ketahui, Leng Bu San meninggalkan Temuchin dengan alasan rindu kepada orang-tuanya, padahal sesungguhnya dia hendak mencari Liang Hong Cu, gadis yang membuat dia jatuh cinta, bahkan tergila-gila. Akan tetapi ketika dia yang melakukan perjalanan ke selatan tiba di Yen-Cing, Kotaraja Kerajaan Cin, dia teringat kepada ibu tirinya, Siangkoan Ceng yang dulu hendak membunuhnya. Tak mungkin dia membiarkan wanita itu berbuat jahat terhadap dirinya tanpa dia balas! Kini dia telah mewarisi ilmu kesaktian dari Koai-Tong Mo-Kai dan dia merasa cukup kuat untuk menandingi ibu tirinya itu. Dia lalu melakukan penyelidikan dan ketika dia mengetahui bahwa ibu tirinya itu mempunyai hubungan rahasia dengan Raja Wang Khan, yaitu Kakeknya, dia marah sekali dan semakin membenci Siangkoan Ceng.

   Dia melihat kenyataan pahit betapa Ayahnya kini telah mempunyai beberapa orang selir dan sudah mempunyai beberapa orang putera dan puteri. Yang menyakitkan hatinya adalah ketika dia mengetahui bahwa Ayahnya tidak keberatan melihat Siangkoan Ceng mempunyai hubungan rahasia dengan Raja Wang Khan. Sungguh merupakan keluarga yang brengsek dan tidak tahu malu, pikirnya. Dia juga merasa semakin tidak suka kepada Ayahnya. Demikianlah, dia bersembunyi dan malam itu dia membayangi Siangkoan Ceng yang meninggalkan rumah menuju ke kamar Raja Wang Khan memenuhi panggilan Raja tua yang menjadi kekasih gelapnya itu. Setelah tiba di dalam kamar tidur Raja Wang Khan yang luas dan mewah, Siangkoan Ceng dan Wang Khan segera menikmati hidangan makan malam yang sudah disediakan dan masih mengebulkan uap panas.

   Selagi mereka makan minum dan dengan gaya manja dan merayu Siangkoan Ceng menyuapi Sang Raja dengan daging pilihan, dan keduanya tertawa-tawa senang, tiba-tiba daun pintu kamar itu terbuka dari luar. Seperti biasa, di luar kamar raja itu selalu ada lima orang pengawal yang berjaga. Kini begitu daun pintu terbuka, tubuh lima orang pengawal itu terpelanting ke dalam kamar dan mereka ternyata telah pingsan semua! Kemudian muncullah Leng Bu San memasuki kamar dan pemuda itu memandang kepada Siangkoan Ceng dengan sinar mata penuh kebencian dan kemarahan. Melihat masuknya pemuda yang tak dikenalnya ini dengan Iebih dulu merobohkan lima orang pengawal, tahulah Siangkoan Ceng bahwa pemuda ini pasti datang dengan niat buruk. Cepat ia menghadang di depan Raja Wang Khan dan mencabut Pek-Coa-Kiam, lalu membentak,

   "Manusia kurang ajar, siapa engkau dan mau apa engkau?"

   Melihat Raja tampak ketakutan, Leng Bu San berkata kepadanya,

   "Sri Baginda Raja, harap tenang dan jangan takut. Hamba tidak akan mengganggu Paduka. Hamba cucu Paduka, nama hamba Leng Bu San, putera dari Ayahanda Pangeran Leng Sui. Paduka agaknya tidak mengenal siapa iblis betina ini! Ia adalah puteri Ketua Beng-Kauw, perkumpulan sesat itu. Iblis betina ini telah merayu Ayahanda Pangeran Leng Sui, dan dua belas tahun yang lalu hendak membunuh hamba. Kini ia merayu Paduka sehingga Paduka jatuh ke dalam kekuasaannya. Apakah Paduka tidak tahu siapa yang membunuh tiga orang putera Paduka, tiga orang paman Pangeran yang tewas karena sakit itu? Iblis inilah yang membunuh mereka, membuat mereka sakit dan tewas. Dan suatu saat tentu Paduka yang akan dibunuhnya!"

   "Bu San, bocah setan kau!"

   Kini Siangkoan Ceng menjerit marah setelah tahu bahwa anak itu adalah Leng Bu San.

   "Sri Baginda, jangan percaya fitnah bocah setan ini. Sejak kecil dia telah menjadi anak puthouw (durhaka), melarikan diri minggat tanpa pamit. Bu San, engkau anak durhaka yang layak mampus!"

   "Sri Baginda, Kerajaan Paduka pasti akan runtuh kalau Paduka percaya kepada iblis betina Beng-Kauw ini. Apakah paduka lebih percaya padanya daripada kepada hamba cucu Paduka?"

   Saking marahnya Siangkoan Ceng sudah melompat ke depan dan menyerang dengan Pek-Coa-Kiam. Sinar putih menyambar ke arah leher Bu San. Pemuda itu sudah mencabut pedang bengkoknya, dan cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.

   "Cringgg... tranggg...!"

   Dua kali Pedang Ular Putih dan pedang Mongol bengkok bertemu dan akibatnya amat mengejutkan hati Siangkoan Ceng karena ia merasa betapa tangannya yang memegang gagang pedang tergetar hebat! Tahulah ia bahwa anak tirinya ini telah menjadi seorang pemuda yang amat kuat. Melihat Raja Wang Khan diam saja seperti orang kebingungan, Bu San menjadi penasaran.

   "Sri Baginda, kalau Paduka tidak menangkap iblis betina ini, hamba akan menyiarkan rahasia busuk ini!"

   Raja Wang Khan terkejut. Kalau dikabarkan keluar bahwa dia telah berhubungan gelap dengan mantunya sendiri, namanya tentu akan tercemar. Maka dia cepat berseru dan berteriak memanggil pasukan pengawal. Setelah para pengawal yang kebingungan muncul, Raja Wang Khan berseru,

   "Tangkap perempuan itu!"

   Dia menudingkan telunjuknya ke arah Siangkoan Ceng. Tentu saja wanita itu terkejut dan ia lalu melompat dengan cepat keluar dari kamar.

   "Iblis betina, hendak lari ke mana kau?"

   Bu San mengejar. Akan tetapi Siangkoan Ceng berlari terus dengan cepat. Bu San tetap mengejar dan ternyata wanita itu lari ke rumahnya sendiri yang masih berada dalam kompleks Istana. Bu San tidak peduli dan mengejar terus memasuki rumah Ayahnya. Setelah tiba di ruangan tengah yang dipasangi lampu besar sehingga terang sekali, Bu San berhenti dan berhadapan dengan Siangkoan Ceng yang berdiri di samping Pangeran Leng Sui! Pangeran Leng Sui yang sudah mendengar dari Siangkoan Ceng akan serangan Bu San, dengan marah menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah muka puteranya.

   "Bu San, anak durhaka! Kiranya engkau yang dulu minggat kini kembali menjadi seorang jahanam yang berani hendak mengacau dalam Istana dan mengancam Ibumu!"

   Bu San tersenyum mengejek dan rasa tidak sukanya kepada Ayahnya semakin membesar.

   "Pangeran Leng Sui, engkau tidak pantas menjadi Ayahku! Engkau telah menyia-nyiakan Ibu kandungku dan jatuh ke dalam rayuan iblis betina Beng-Kauw ini. Engkau tidak tahu atau pura-pura tidak tahu betapa belasan tahun lalu iblis betina Siangkoan Ceng ini berusaha untuk membunuhku. Dan sekarang, engkau juga membiarkan iblis betina ini berjina dengan Sri Baginda Raja, Ayahmu sendiri! Kalau engkau tidak segera mengusir iblis betina ini dari sini, aku akan membuka rahasia kotor ini kepada semua orang dan hendak kulihat, hendak kau taruh di mana mukamu?"

   Wajah Pangeran Leng Sui menjadi pucat, karena khawatir dan juga marah. Dia dapat membayangkan betapa namanya akan tercemar kalau puteranya benar-benar melaksanakan ancamannya.

   "Anak durhaka!"

   Bentaknya marah.

   "Engkau yang patut disebut anak durhaka karena engkau menyuruh iblis betina ini membunuh tiga orang Pangeran adik-adikmu sendiri. Hal ini pun akan kuceritakan kepada semua orang kalau engkau tidak mengusir iblis betina ini, atau ia akan kubunuh sekarang juga."

   "Keparat!!"

   Pangeran Leng Sui tak dapat menahan kemarahannya dan dia sudah menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi dengan mudah Bu San miringkan tubuhnva dan kaki kanannya mencuat dengan tendangan kilat yang mengenai pergelangan tangan Ayahnya.

   "Krekk!"

   Pangeran Leng Sui berseru kesakitan, pedangnya terlempar dan tulang lengannya retak disambar tendangan kilat itu. Siangkoan Ceng hendak bergerak menyerang dan ia mengerahkan ilmu sihirnya. Tangan kirinya mendorong ke depan dan keluarlah asap hitam yang berbau amis, mengebul dan menyerbu ke arah Bu San. Akan tetapi murid Koai-Tong Mo-Kai ini mengebutkan tangannya dan asap hitam itu membuyar, bahkan membalik ke arah Siangkoan Ceng yang menjadi terkejut sekali. Sebelum ia menyerang dengan pedangnya, tiba-tiba dari luar terdengar suara nyaring.

   "Siangkoan Ceng, atas nama Sri Baginda Raja Wang Khan, kami diperintahkan untuk menangkapmu. Keluar dan menyerahlah atau kami akan menyerbu!!"

   Mendengar suara ini wajah Pangeran Leng Sui menjadi pucat sekali. Kalau Ayahnya, Kaisar Kerajaan Cin sudah memusuhi Siangkoan Ceng, tentu saja dia tidak berani melindunginya. Seorang pengawal dengan muka pucat dan suara gemetar datang melapor.

   "Pangeran, di luar datang puluhan orang perajurit mengepung istana!"

   "Ceng Ceng, pergilah dan jangan kembali ke sini!"

   Kata Pangeran Leng Sui, bukan untuk menyelamatkan wanita itu, melainkan untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Mendengar ini dan melihat bahwa keadaannya kini amat berbahaya, dimusuhi oleh Kaisar dan juga ia harus berhadapan dengan Leng Bu San yang kini menjadi Iihai sekali, Siangkoan Ceng lalu melompat keluar dari gedung tempat tinggal Pangeran Leng Sui. Pasukan pengawal Istana menyambutnya dengan serangan. Akan tetapi dengan mudah Siangkoan Ceng merobohkan empat orang yang berada paling depan, lalu ia melompat jauh dan melarikan diri. Pasukan itu mengejarnya, akan tetapi setelah tiba di luar Kotaraja, wanita itu menghilang dan mereka tidak dapat menemukan jejaknya. Terpaksa mereka kembali dan membuat laporan kepada Kaisar.

   Dengan cerdik Pangeran Leng Sui lalu menghadap Ayahnya dan mohon maaf atas kejahatan Siangkoan Ceng yang menjadi isterinya. Dia mengatakan tidak tahu bahwa isterinya mempunyai watak yang jahat. Kaisar Wang Khan yang tua memaklumi dan tidak memperpanjang urusan yang menyangkut Siangkoan Ceng, mengingat bahwa selama ini dia sendiri menjadikan mantunya itu sebagai kekasihnya dan tidak ingin peristiwa itu tersiar keluar Istana. Leng Bu San tidak mau lama-lama tinggal di rumah Ayahnya. Dia. membenci Ayah kandungnya karena dia yakin bahwa Ayahnya itu sama sekali tidak mencinta dirinya, tidak mempedulikannya, dan bahkan membela ibu tirinya yang dulu hendak membunuhnya. Maka, setelah Siangkoan Ceng melarikan diri, dia pun melompat pergi dengan niat mengejar dan membunuh wanita itu.

   Akan tetapi wanita itu telah menghilang dalam kegelapan malam dan dia tidak tahu ke mana perginya. Maka dia pun meninggalkan kota Yen-Cing dan melanjutkan perjalanannya ke selatan karena dia ingin mencari Liang Hong Cu, gadis yang membuat dia tergila-gila itu. Bayangan gadis itu tak pernah meninggalkannya, selalu tampak di depan matanya dan selalu hadir dalam kenangan hati dan pikirannya. Dia tidak tahu siapa sesungguhnya gadis itu. Yang dia ketahui hanya namanya dan karena dia mendengar bahwa kedatangan orang-orang muda perkasa itu ada hubungannya dengan cap kebesaran Kaisar Sung yang dicuri mendiang Pangeran Baduchin, maka dia merasa yakin bahwa dia pasti dapat menemukan Liang Hong Cu kalau dia mencarinya ke ibu kota Kerajaan Sung di selatan.

   Lereng Lawu, medio Juli 1994.

   TAMAT

   Penerbit : CV GEMA SOLO - 1994

   Pelukis : Yohanes H.

   Sumber Image : Awie Dermawan

   Kontributor : Yon Setiono

   Convert Image to text : Cersil KPH

   Di Edit ke DOC, PDF, TXT oleh : Cersil KPH

   


Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini