Antara Dendam Dan Asmara 4
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Kita tinggalkan dulu keadaan Can Gi Sun yang merana karena tak berdaya membalas dendam, dan keadaan Song Swi Kai yang makin membesar perguruan silatnya itu. Marilah kita mengikuti pengalaman seorang dara yang akan merupakan tokoh terpenting dalam cerita ini. Dara ini ialah Can Pek Giok, anak perempuan yang semenjak berusia lima tahun telah diculik dan dibawa pergi oleh seorang penjahat bernama Liu Bo Cin itu.
Semenjak kecil, Pek Giok telah merupakan seorang anak yang mungil dan potongan wajahnya yang menyerupai Ibunya itu menunjukkan bahwa kelak ia akan menjadi seorang dara yang cantik sekali. Tidak hanya dalam hal kecantikan, bahkan wataknyapun sama dengan Ibunya, yakni tabah dan keras hati. Ketika ia diculik oleh Liu Bo Cin, ia berteriak-teriak dan meronta-ronta, melawan dengan pukulan dan gigitan sehingga penculik itu terpaksa menggunakan sehelai ikat pinggang Sutera untuk diikatkan di depan mulut anak itu dan mengikat pula kaki tangannya sehingga Pek Giok sama sekali tak dapat berdaya, bahkan tak dapat berteriak karena suara yang ia keluarkan hanya sampai di tenggorokan saja.
Demikianlah, penculik yang sesungguhnya memang sengaja mencari kesempatan pada waktu Can Gi Sun tidak ada di rumah ini, membawanya pergi jauh dari rumah orang-tuanya. Liu Bo Cin memiliki kepandaian silat yang lumayan, akan tetapi ia seorang yang berwatak pengecut. Agaknya ia maklum bahwa ia takkan dapat menangkan Can Gi Sun yang gagah perkasa, maka untuk membalas dendamnya karena Kakaknya yang bernama Liu Lang terbunuh oleh Can Gi Sun, ia sengaja mencari ketika dan setelah mendapat tahu bahwa orang she Can itu sedang melakukan pekerjaannya sebagai Piauwsu dan pergi ke luar kota, ia lalu datang untuk membalas dendamnya kepada keluarga Can! Tadinya ia hendak membunuh anak isteri musuhnya, akan tetapi ketika ia melihat Pek Giok yang cantik dan mungil bagaikan kuncup bunga botan, ia tidak tega untuk membunuhnya.
Timbul pada pikirannya bahwa dengan jalan menculik anak ini, ia berhasil membalas dendam dengan lebih hebat pula karena ia dapat mendatangkan kesedihan besar pada musuhnya itu! Oleh karena itu, Liu Bok Cin lalu membuat surat untuk Can Gi Sun, kemudian pada malam harinya datang dan berhasil menculik Pek Giok dan meninggalkan surat untuk musuhnya. Penjahat yang berhati curang dan keji ini memang berhasil baik dalam usahanya menghancurkan hati keluarga Can, akan tetapi ia harus membayar mahal untuk kecurangannya ini. Beberapa hari kemudian, ketika ia membawa lari Pek Giok yang selalu melawan itu melalui sebuah hutan, tiba-tiba ia dikepung oleh segerombolan perampok yang dikepalai oleh seorang kepala rampok tinggi besar bercambang-bauk bernama Siok Kong dan bergelar Sam-Thouw-Coa atau Ular Kepala Tiga.
"Sahabat, tahan dulu!"
Seru Siok Kong dengan bengisnya.
"Tinggalkan dulu buntalan dan semua barang, baru boleh melanjutkan perjalanan!"
Sambil berkata demikian Siok Kong mencabut goloknya dan memandang kepada Pek Giok yang pucat dan yang masih terikat kaki tangannya dan digendong oleh Liu Bo Cin. Liu Bo Cin sendiri adalah keluarga perampok di daerah lain, maka ia lalu tertawa dan berkata.
"Tai-Ong, kau salah sangka! Kita sama-sama orang liok-lim (rimba hijau) dan aku berusaha di hutan-hutan sebelah utara. Harap kau jangan mengganggu, mengingat akan hubungan kawan segolongan!"
"Ha, ha, ha!"
Siok Kong tertawa bergelak.
"Sungguh Tee-Tauw-Coa (Ular setempat) berlaku kurang hormat, tidak tahu akan kedatangan Kiang-Liong (Naga tangguh) karena Kiang-Liong tidak mengeluarkan Liong-Cu (Mustika Naga)?"
Ucapan ini penuh dengan kata-kata rahasia yang biasa dipergunakan oleh para berandal dan perampok. Yang dimaksudkan dengan "ular setempat"
Adalah sebutan merendah terhadap diri sendiri yakni tuan rumah, dan Kiang-Liong atau Naga Tangguh adalah sebutan untuk tamu yang dihormati. Mustika Naga merupakan lambang kekuasaan Naga atau dalam hal ini adalah bendera rombongan perampok atau setidak-tidaknya Tek-Pai (surat bambu tanda pengaruh) yang biasa dimiliki oleh para kepala rampok yang besar kekuasaan dan pengaruhnya. Liu Bo Cin tentu saja mengerti akan maksud kata-kata itu, akan tetapi ia adalah seorang perampok tunggal yang tidak mempunyai tanda-tanda seperti yang ditanyakan oleh Siok Kong itu, maka terpaksa ia menjawab.
"Tai-Ong, ketahuilah bahwa aku hanya seorang perampok tunggal belaka, dan sama sekali bukan seorang besar yang patut disebut Kiang-Liong (Naga Tangguh) atau Sin-Liong (Naga Sakti). Kuharap saja Tai-Ong suka percaya kepadaku agar jangan sampai orang segolongan mencabut senjata!"
Ucapan ini biarpun terdengar merendah, akan tetapi sebenarnya mengandung ancaman dan tantangan. Siok Kong merasa ragu-ragu. ia mau mempercaya omongan Liu Bo Cin, akan tetapi perhatiannya semenjak tadi tertarik oleh Pek Giok, maka ia bertanya.
"Sahabat, biarlah kami anggap saja ucapanmu itu benar dan tidak bohong. Akan tetapi, siapakah anak ini dan mengapa pula kau ikat kaki tangannya?"
Liu Bo Cin merasa gelisah, akan tetapi ia menetapkan hatinya dan menjawab.
"Tai-Ong, dia ini adalah setangkai bunga yang indah dan harum, kiranya Tai-Ong tentu maklum apakah maksudku mengambilnya dari pohon!"
Inipun termasuk ucapan rahasia, karena yang dimaksudkan bunga adalah seorang dara dan sudah menjadi kebiasaan para penjahat untuk menculik anak-bini orang, dan penjahat macam ini biasanya disebut Jai-Hwa-Cat (penjahat pemetik bunga). Akan tetapi, Liu Bo Cin sama sekali tidak tahu bahwa biarpun Siok Kong seorang kepala perampok, namun ia adalah seorang gagah yang amat benci akan pekerjaan terkutuk ini!
"Jadi kau seorang Jai-Hwa-Cat yang rendah?"
Liu Bo Cin terkejut mendengar ini. Belum pernah ada perampok yang memaki seorang Jai-Hwa-Cat dan mengatakan rendah! Akan tetapi, ia tidak mau mencari urusan dan hanya mengangguk. Tiba-tiba Siok Kong tertawa bergelak sehingga Liu Bo Cin merasa makin tidak enak, karena suara ketawa kepala rampok ini mengandung ejekan.
"Kawan, jangan kau membohongi aku! Yang kau bawa itu belum menjadi bunga, baru merupakan kuntum, dan belum pernah aku mendengar seorang Jai-Hwa-Cat memetik kuntum bunga!"
"Akan tetapi beberapa tahun lagi ia akan menjadi bunga yang indah dan harum!"
Liu Bo Cin membantah.
"Lagi-lagi bohong! Belum pernah selama hidupku, aku mendengar tentang seorang Jai-Hwa-Cat yang begitu sabar menanti seorang kurbannya sampai bertahun-tahun! Lagi pula kau kejam, anak kecil kau ikat kaki tangannya. Katakan saja terus terang!"
Liu Bo Cin menghela napas. Kepala rampok ini terlalu cerdik.
"Baiklah, kalau kau mendesak, Tai-Ong. Sebetulnya hal ini bukan urusanmu, akan tetapi agar kau puas, baiklah kuceritakan terus terang. Memang sesungguhnya aku bukanlah seorang Jai-Hwa-Cat dan anak ini kuculik, karena dia adalah anak seorang musuh besarku, yakni seorang Piauwsu she Can!"
Mendengar disebutnya Piauwsu, semua liauwlo (anak buah perampok) yang berada di situ mengeluarkan suara seruan karena semua perampok amat membenci golongan Piauwsu yang menjadi musuh besar mereka. Pekerjaan Piauwsu adalah melindungi barang-barang kiriman, sedangkan pekerjaan perampok adalah merampok barang-barang itu, tentu saja kedua golongan ini selalu bermusuhan. Akan tetapi Siok Kong mengangkat tangan memberi tanda kepada anak buahnya agar supaya berdiam.
"Mengapa kau menculik anaknya kalau kau bermusuhan dengan Ayahnya?"
Tanyanya sambil memandang tajam.
"Ayahnya sedang pergi dan... terus terang saja... Can-Piauwsu terlalu kuat hingga aku tidak berani melawannya secara berterang. Maka aku menculik anaknya agar ia menderita."
"Pengecut!"
Tiba Siok Kong memaki. Kepala rampok yang kasar ini memang amat benci kepada semua orang yang berhati pengecut dan curang.
"Lepaskan anak itu, baru aku mau memberi ampun kepadamu."
Liu Bo Cin adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, tentu saja ia tak dapat menahan kesabarannya lebih lama lagi menerima hinaan-hinaan ini dari seorang kepala rampok lain. ia menurunkan Pek Giok dengan kasar sehingga anak itu terguling di atas tanah, kemudian ia mencabut pedangnya.
"Kau sombong sekali!"
Serunya marah.
"Kau kira aku takut kepadamu?"
Akan tetapi, Siok Kong tidak menanti sampai ia banyak mengeluarkan makian dan terus menyerang dengan goloknya. Kepala rampok ini memiliki kepandaian tinggi juga dan ilmu goloknya adalah ilmu golok dari cabang pantai sungai Huang-Ho. Liu Bo Cin menangkis dan mereka lalu bertempur hebat. Kepandaian mereka ternyata setingkat dan pertempuran itu berjalan sampai puluhan jurus dengan amat sengitnya. Selain lihai ilmu goloknya, Siok Kong juga terkenal dengan kepandaiannya mempergunakan senjata rahasia yang disebut Touw-Sim-Teng (Paku Penembus Jantung) yang berbentuk paku hitam kira-kira satu jari panjangnya. Melihat bahwa lawannya cukup lihai, kepala rampok ini lalu mengeluarkan senjata rahasianya dan membentak.
"Terimalah senjata rahasiaku!"
Tangan kirinya bergerak dan beberapa batang paku meluncur ke arah Liu Bo Cin. Penjahat ini cepat mengelak dan menyampok dengan pedangnya, akan tetapi sebuah diantara paku-paku itu dengan tepat sekali menancap di dadanya dan menyerang jantung sehingga ia berteriak ngeri dan roboh, berkelojotan sebentar kemudian tewas di saat itu juga! Siok Kong lalu menghampiri Pek Giok yang masih rebah dalam keadaan terikat kaki tangannya, dan dengan goloknya kepala rampok ini membacok putus tali-tali pengikat kaki tangan anak itu. Pek Giok merangkak berdiri, kemudian tiba-tiba anak kecil ini ketika melihat tubuh Liu Bo Cin rebah tak berkutik, lalu menghampiri dan menendang tubuh itu beberapa kali dengan mata memancarkan kebencian besar! Siok Kong tertawa terbahak-bahak melihat hal ini. ia lalu mengelus-elus rambut anak itu dan berkata kepada anak buahnya.
"Anak ini mulai sekarang menjadi anakku dan siapa saja yang berani mengganggunya, boleh melihat bangkai binatang ini!"
Ia menuding ke arah mayat Liu Bo Cin.
"Aku mau pulang!"
Tiba-tiba dengan suaranya yang nyaring Pek Giok berkata kepada Siok Kong tanpa merasa takut sedikitpun juga.
"Antarkan aku pulang ke rumah Ayahku!"
Siok Kong tersenyum dan menggelengkan kepada.
"Tidak, anak manis! Ayahmu adalah aku dan kau tidak boleh pergi kemana-mana!"
"Kalau tidak mau mengantar, aku akan pulang sendiri!"
Kata Pek Giok dengan berani sungguhpun ia tidak tahu harus ke mana kalau pulang, karena ia telah berada jauh sekali dari rumah orang-tuanya.
(Lanjut ke Jilid 04)
Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
"Ha, Ha, Ha! Alangkah beraninya anak ini. Patut menjadi anakku! Kau mau pergi sendiri? Bagaimana kalau bertemu dengan penjahat seperti orang tadi? Kau akan diculiknya!"
Mendengar ini, Pek Giok menjadi ragu, memandang kepada Siok Kong dengan sepasang matanya yang lebar dan bagus, kemudian ia memeluk kepala rampok itu dan menangis! "Anak baik... anak baik""
Siok Kong memondongnya dan memandang dengan penuh kasih sayang. Kepala rampok ini pernah mempunyai isteri, akan tetapi isterinya itu meninggal dunia bersama bayi pertama yang dilahirkannya. Semenjak itu, Siok Kong tidak mau mengambil isteri lagi dan tentu saja dalam usianya yang sudah empat puluh tahun lebih itu, ingin sekali mempunyai anak. Melihat Pek Giok, sekaligus hatinya penuh cinta kasih seorang Ayah terhadap anaknya.
"Anak baik,"
Katanya lagi.
"Siapakah namamu?"
"Namaku Can Pek Giok,"
Jawab anak itu yang tahu bahwa kepala rampok inilah yang telah menolongnya.
"Nama yang baik sekali, akan tetapi mulai sekarang nama keluargamu bukan Can lagi, akan tetapi Siok!"
Demikianlah, semenjak hari itu, Pek Giok dirawat dan dididik oleh Siok Kong.
Mula-mula Pek Giok masih sering menangis minta pulang, akan tetapi oleh karena Ayah angkatnya pandai menghIbur, akhirnya ia tidak rewel lagi dan beberapa tahun kemudian, Pek Giok telah lupa sama sekali akan orang-tuanya yang sejati. Para liauwlo berlaku hormat dan manis terhadapnya dan ia mendapat didikan ilmu silat dari Siok Kong dan anak buahnya terdiri dari orang-orang kasar yang buta huruf, maka Pek Giok yang memang pada dasarnya berwatak keras kini menjadi lebih keras dan kasar lagi! Lima tahun ia berada dalam rawatan dan didikan Siok Kong dan anak yang baru berusia sepuluh tahun ini telah pandai mainkan golok dan pandai pula melepas senjata rahasia Touw-Sim-Teng! Bahkan kini ia mulai ikut dengan Ayahnya melakukan perampokan pada para pelancong atau rombongan yang melewati daerah itu!
Betapapun juga, masih ada sifat baik pada diri Siok Kong, karena biarpun ia kasar dan keras, akan tetapi ia jujur dan tidak mau melakukan sesuatu yang sifatnya curang. Bahkan ia sama sekali melarang anak buahnya untuk membunuh para korban yang dirampok, terutama mereka yang lemah. Siok Kong hanya mau membunuh orang yang dihadapinya dalam sebuah pertempuran yang adil dan jujur! Sifat inipun ia tekankan dalam jiwa Pek Giok sehingga anak itu tidak menjadi seorang anak yang kejam, sungguhpun kekerasan hatinya melebihi batu karang! Pada suatu hari, gerombolan perampok yang dipimpin oleh Siok Kong menahan serombongan orang yang lewat di dekat hutan itu. Ternyata bahwa rombongan itu adalah sekeluarga kaya yang pindah dari kampung ke kota dan mereka dikawal oleh lima orang Piauwsu.
Pertempuran hebat terjadi antara kelima orang Piauwsu itu dengan Siok Kong dan kawan-kawannya, sedangkan Pek Giok yang berpakaian seperti seorang anak laki-laki itu, tidak mau tinggal diam dan membagi-bagikan Paku Penembus Jantung ke arah kelima orang Piauwsu yang dikeroyok itu. Lima orang Piauwsu itu tidak tahan menghadapi Siok Kong dan kawan-kawannya, maka mereka lalu melarikan diri meninggalkan keluarga itu! Keluarga itu terdiri dari dua orang laki-laki setengah tua dan empat orang wanita, diantaranya seorang wanita yang remaja puteri dan cantik. Empat orang wanita ini duduk di dalam sebuah kendaraan yang ditarik oleh empat orang. Tentu saja girang sekali hati Siok Kong dan kawan-kawannya ketika mendapat kenyataan bahwa rombongan itu benar-benar merupakan hasil yang besar karena mereka membawa barang-barang berharga yang cukup banyak.
Saking girangnya memeriksa dan mengambil barang-barang, Siok Kong kurang memperhatikan sepak terjang anak buahnya yang mengurung rombongan itu. Tangis terdengar riuh rendah ketika empat orang wanita itu melihat dengan ketakutan betapa barang-barang mereka dirampas. Seorang anggota perampok melihat kecantikan gadis di dalam kereta dan timbul hati busuknya. ia mengulurkan tangan hendak memeluk dan membawa pergi gadis yang ketakutan itu, akan tetapi tiba-tiba liauwlo itu menjerit kesakitan karena tangannya yang hendak memeluk tadi telah tertembus oleh sebatang paku! ia menengok dan melihat Pek Giok berdiri sambil bertolak pinggang dan memandangnya dengan marah, lalu terdengar bentakan anak itu.
"Jangan mengganggu dial"
Pada saat para perampok sedang mengumpulkan barang-barang berharga itu, dan perampok yang dilukai tangannya oleh Pek Giok segera pergi dan dengan muka merah, tiba-tiba muncullah seorang Kakek Pendeta yang berjubah panjang warna kuning, ternyata dia adalah seorang Tosu yang kebetulan lewat di tempat itu dan mendengar suara tangis sehingga cepat ia mengeluarkan kepandaiannya dan menghampiri tempat itu. Tosu ini bukanlah orang sembarangan, karena dia adalah seorang diantara Kun-Lun Sam-Sian (Tiga Orang Dewa di Kun-Lun), yakni orang kedua yang bernama Beng Tek Sianjin! Sebagaimana telah dituturkan di depan Pek Giok yang baru berusia sepuluh tahun ikut dengan Ayah angkatnya yang memimpin para anggota perampok untuk merampok serombongan keluarga hartawan yang lewat di hutan.
Dalam kekacauan itu, Pek Giok berhasil melukai tangan seorang anggota perampok yang hendak berbuat kurang ajar terhadap seorang wanita muda dalam rombongan yang dirampok. Dan pada saat itu, muncul seorang Tosu yang amat terkenal karena saktinya dan karena ia adalah orang kedua dari Kun-Lun Sam-Sian (Tiga Orang Dewa di Kun-Lun) yang pada waktu itu merupakan tokoh-tokoh persilatan yang amat tinggi kedudukannya. Beng Tek Sianjin, Tosu itu, dapat melihat perbuatan Pek Giok yang menolong nona muda tadi, maka ia menjadi terheran-heran. Bagaimana dalam rombongan perampok terdapat seorang anak perempuan seperti itu? Para perampok melihat kedatangan Tosu ini, maka semua mata memandangnya dengan penuh kecurigaan. Siok Kong sendiri dengan golok di tangan lalu menghampiri Tosu ini dengan langkah lebar.
"Siancai, siancai!"
Beng Tek Sianjin berkata perlahan.
"Kalau Negara sedang kacau, maling dan rampok muncul di mana-mana!"
Siok Kong yang sudah berhadapan dengan Tosu itu, lalu membentak.
"Totiang, kau seorang Pertapa jangan mencampuri urusan dunia! Kami memang perampok dan sedang melakukan pekerjaan, Totiang pergilah dari sini dengan aman. Kami tidak biasa mengganggu Pendeta dan Pertapa!"
"Aneh, orang kasar dan kejam masih memperdengarkan suara dari hati nurani."
Tanpa memperdulikan Siok Kong, Tosu itu lalu melangkah lebar ke arah barang-barang yang sudah ditumpuk di atas tanah oleh para perampok, dan tanpa banyak cakap kedua tangan Tosu itu bergerak mengambil kembali barang-barang itu ditaruh kembali ke dalam kereta, lalu katanya kepada penarik-penarik kereta.
"Jalankan kereta dan lanjutkan perjalananmu!"
Iapun memberi tanda kepada anggota-anggota keluarga laki-laki untuk melanjutkan perjalanan. Tentu saja para perampok yang tadinya memandang heran itu menjadi marah sekali. Mereka maju mengancam tukang kereta, akan tetapi sebelum mereka dapat mendekati penarik-penarik kereta rombongan itu, Beng Tek Sianjin telah menghadang di depan mereka dan berkata.
"Jangan ganggu orang!"
Para perampok itu masih merasa segan kepada kepala mereka untuk menyerang Pertapa ini dengan senjata tajam, maka mereka lalu menggunakan tangan mendorong Tosu itu ke samping. Akan tetapi, alangkah heran dan kaget hati mereka ketika dorongan-dorongan itu tidak membuat si Tosu berguling bahkan mereka sendiri yang tertolak ke belakang oleh tenaga mendorong yang membalik ketika tangan mereka menyentuh tubuh Tosu itu! Sementara itu, Siok Kong merasa heran dan juga marah sekali melihat betapa anak buahnya kini hanya berdiri memandang kepada Tosu itu dengan muka bengong. ia maju dan membentak.
"Tosu siluman, jangan kau mengganggu kami!"
Lapun mendorong dengan tangan kanannya. Dorongan Siok Kong ini kuat sekali, melebihi tenaga dorongan lima orang biasa, akan tetapi kembali terjadi keanehan karena para perampok itu melihat betapa Siok Kong terpental ke belakang, terhuyung-huyung hampir roboh! Adapun kepala rampok itu menjadi terkejut sekali karena ketika tadi ia mendorong, tiba-tiba tangannya terasa kaku dan dari tubuh Tosu yang mendorongnya itu keluar tenaga yang bukan main hebatnya sehingga tenaga dorongannya sendiri terpental kembali dan membuatnya terhuyung-huyung ke belakang. ia maklum bahwa Tosu ini adalah seorang yang lihai, maka ia lalu menggerakkan goloknya dan berkata.
"Tosu siluman, kau agaknya sengaja mencari perkara!"
"Kalau kalian mengganggu orang, Pinto tak dapat membiarkan begitu saja"
Kata Tosu itu sambil memandang tajam.
"Bagus, agaknya kau mengandalkan kepandaianmu. Boleh kau rasakan tajamnya golokku!"
Sambil berkata demikian, Siok Kong menyerang dengan goloknya ke arah leher Tosu itu! Beng Tek Sianjin miringkan tubuhnya dan ketika golok itu menyambar cepat dekat tubuhnya, ia menggerakkan tangannya dan... tahu-tahu jari-jari tangannya telah menjepit belakang golok itu. Siok Kong mengerahkan tenaga untuk membetot goloknya dan,
"Krek!"
Golok itu patah di bagian yang terjepit oleh jari tangan Tosu itu! Siok Kong menjadi bengong saking terkejut dan herannya, akan tetapi kekerasan hatinya membuat ia tidak mau menyerah begitu saja. ia memukul dengan kepalan tangannya ke arah dada Tosu itu. Si Tosu yang lihai ini sama sekali tidak mengelak atau menangkis, hanya memandang senyum dikulum seakan-akan seorang-tua menghadapi seorang kanak-kanak yang nakal!
"Buk!"
Dan lagi-lagi terjadi hal yang amat aneh karena Siok Kong mengaduh-aduh kesakitan sambil memegangi kepalan tangan kanannya yang menjadi bengkak dan merah! ia adalah seorang ahli silat yang pandai dan tenaga lweekangnya cukup tinggi, maka bukan main kagetnya ketika pukulannya pada dada Tosu itu diterima seenaknya dan kemudian ternyata tangannya sendiri yang menjadi bengkak! Maklumlah ia bahwa Tosu ini benar-benar seorang-tua yang amat sakti dan luar biasa tinggi tingkat kepandaiannya. Pada saat itu, Pek Giok yang melihat betapa Ayah angkatnya mengaduh-aduh kesakitan, menjadi marah sekali. ia mengambil beberapa buah pakunya, lalu berseru keras.
"Kakek siluman jangan kau berani menyakiti Ayahku!"
Kedua tangannya bergerak dan lima batang paku melayang ke arah tubuh Kakek itu. Beng Tek Sianjin membalikkan tubuh dan sekali ia mengebutkan lengan bajunya, semua paku itu terpukul runtuh.
"Pek Giok, jangan berani kurang ajar!"
Tiba-tiba Siok Kong menegur anaknya dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan Tosu itu sambil menggendong tangannya yang bengkak di depan dada.
"Totiang, mohon dimaafkan kedua mataku yang seakan-akan buta tidak melihat seorang Lo-Cianpwe lewat di sini."
Melihat kelakuan Ayahnya ini, Pek Giok menjadi terheran-heran dan ia lalu melompat ke dekat Ayahnya.
"Ayah, mengapa kau bersikap begini penakut? Biarpun kalah, tak perlu merendahkan diri sampai demikian rupa. Mari kita lawan lagi, masa dengan berdua kita takkan dapat merobohkan Kakek tua ini?"
Setelah berkata demikian, Pek Giok memandang kepada Beng Tek Sianjin dengan kedua tangan terkepal dan mata memancarkan api kemarahan hebat. Ketika baru datang tadi, Beng Tek Sianjin telah dibikin kagum oleh sikap Pek Giok yang menolong dara muda yang diganggu oleh seorang anggota perampok, kini Pendeta itu merasa makin heran dan kagum.
"Anak ini memiliki kegagahan dan bertulang pendekar,"
Pikirnya sambil memandang kagum, karena anak perempuan yang berwajah demikian cantik jelita ini tidak pantas menjadi anak kepala perampok yang demikian kasar. Mungkin Ibunya yang cantik jelita, pikir Beng Tek Sianjin.
"Berdirilah,"
Kata Pendeta itu kepada Siok Kong.
"Biar aku menyembuhkan tanganmu."
Siok Kong bangun berdiri dan mengulurkan tangannya dengan muka penuh peluh karena ia menahan rasa sakit yang luar biasa. Beng Tek Sianjin lalu memegang nadi lengan kepala rampok itu, dan beberapa kali urut dan ketok saja bengkak pada tangan itu lenyap dan rasa sakitpun hilang. Siok Kong menjura dan berkata.
"Bolehkah kiranya Teecu mengetahui nama Totiang yang mulia?"
Beng Tek Sianjin tersenyum dan kini pandangannya kepada kepala rampok itu berubah.
"Pinto bernama Beng Tek Sianjin."
Siok Kong memandang kepada Tosu itu dengan pandang mata kurang percaya ketika ia mendengar nama Beng Tek Sianjin ini.
"Teecu pernah mendengar nama Beng Tek Sianjin sebagai seorang diantara ketiga Kun-Lun Sam-Sian... apakah... apakah Totiang ini..."
Beng Tek Sianjin mengangguk sambil tersenyum. Siong Kong lalu memegang tangan Pek Giok dan mengajak anaknya itu berlutut di depan Beng Tek Sianjin dan mengangguk-anggukkan kepalanya dengan penuh penghormatan.
"Ah, Teecu harus mampus! Mohon berIbu kali ampun atas kekurangajaran Teecu. Lo-Cianpwe, memang betul pertanyaan Lo-Cianpwe tadi. Anak ini adalah Pek Giok dan dia adalah anak Teecu, mohon diampunkan anak kecil yang tidak tahu apa-apa ini, Lo-Cianpwe."
Beng Tek Sianjin mengangguk-angguk dan nampaknya senang mendengar ucapan dan melihat sikap kepala rampok itu. ia pun melihat tadi bahwa Siok Kong hanya merampok saja dan tidak mau mengganggu orang-orang yang dirampoknya, berbeda dengan sikap dan kekejaman perampok-perampok lain, bahkan melihat perbuatan Pek Giok yang menolong wanita tadi, ia menduga bahwa Ayah anak ini tentu mempunyai pula sifat kegagahan.
"Siapakah namamu, Tai-Ong?"
"Teecu bernama Siok Kong."
"Apakah kau menyinta anakmu ini?"
"Tentu saja, Lo-Cianpwe. Teecu rela berkurban nyawa untuk anak Teecu ini."
Beng Tek Sianjin mengangguk-angguk lagi.
"Kau bilang sayang kepada anakmu, akan tetapi mengapa kau membiarkannya hidup di tengah hutan, diantara gerombolan perampok? Apakah kau tidak ingin melihat anakmu menjadi seorang yang berguna, seorang yang gagah dan bijaksana?"
"Itulah satu-satunya cita-cita yang terkandung di dalam hati Teecu, hanya saja Teecu tidak tahu jalannya. Mohon petunjuk dari Lo-Cianpwe."
"Kalau betul demikian cita-citamu, anakmu ini akan Pinto bawa ke Kun-Lun-San untuk mempelajari ilmu silat dan kesusasteraan. Bagaimana pendapatmu?"
Bukan main girang hati Siok Kong, akan tetapi di samping kegirangan ini, iapun merasa bingung, karena sesungguhnya amat beratlah hatinya untuk berpisah dengan anak angkat yang amat disayanginya ini.
"Bagaimana?"
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya pula Pendeta itu. Sampai lama baru Siok Kong dapat menjawab.
"Teecu merasa bahagia sekali, akan tetapi... Teecu harus berpisah dengan dia... dan..."
Ia memandang kepada Pek Giok, memang kepala rampok ini amat sayang kepada Pek Giok, kesayangan yang murni dan tidak ada keinginan lain dalam hatinya kecuali melihat gadis kecil ini kelak menjadi seorang yang gagah perkasa dan mulia, tidak seperti dia, seorang perampok hina! Maka ia menguatkan hatinya dan berkata dengan tetap.
"Baiklah, Lo-Cianpwe, Teecu menyerahkan anak ini dalam pendidikan dan pengawasan Lo-Cianpwe!"
"Tidak, tidak! Aku tidak mau!"
Tiba-tiba Pek Giok melompat bangun dan berkata marah.
"Aku tidak mau berpisah dari Ayah dan tidak mau ikut pergi dengan Tosu ini!"
Siok Kong memandang kepada Pek Giok dengan senyum girang karena ucapan anak itu yang menyatakan betapa besar kasih sayang itu kepadanya amat menyenangkan hatinya, akan tetapi ia berkata.
"Anakku yang manis, anakku yang cantik! Kau harus ikut dengan Lo-Cianpwe ini untuk belajar ilmu silat tinggi. Apakah kau tidak ingin menjadi seorang dara pendekar yang pandai kelak?"
"Di sini aku dapat belajar silat dari Ayah!"
Jawab Pek Giok.
"Ayah cukup pandai dan di daerah ini tidak ada yang dapat menandingi Ayah!"
Siok Kong tertawa.
"Anak manis, kalau dibandingkan dengan Lo-Cianpwe ini, Ayahmu sama dengan orang yang lemah dan tidak mengerti apa-apa. Lo-Cianpwe ini adalah tokoh besar yang kepandaiannya telah menggemparkan seluruh dunia persilatan! Kau akan menjadi seorang yang benar-benar disebut pandai silat kalau menjadi muridnya."
"Aku tidak percaya!"
Pek Giok menjawab pula.
"Dia tadi hanya mempergunakan ilmu sihir, aku belum melihat ia bersilat! Aku tidak ingin belajar ilmu sihir!"
Pek Giok memang cerdik dan biarpun hatinya ingin sekali mempelajari ilmu silat tinggi, akan tetapi oleh karena tadi ia belum melihat kepandaian Tosu ini, maka ia masih ragu-ragu dan ingin membuktikan dengan mata sendiri dan mendapatkan kepastian. Beng Tek Sianjin tertawa bergelak.
"Ha, ha, kau benar-benar cerdik dan teliti!"
Ia memuji Pek Giok.
"Sungguh lucu, belum pernah Pinto mendengar seorang calon murid menguji kepandaian calon Guru! Benar-benar keadaan dunia sudah berbalik! Nah, kau lihat baik-baik, Pek Giok. Lihatkah kau dua ekor burung yang terbang itu?"
Pek Giok dan juga semua perampok memandang ke atas dan memang benar, di puncak sebuah pohon beterbangan dua ekor burung kecil, berkejaran sambil bercicit-cicit dengan gembira. Pek Giok mengangguk dan masih belum mengerti apakah hubungan kedua burung itu dengan pertunjukan ilmu silat.
"Dapatkah kau menangkap kedua burung kecil itu?"
"Tentu saja dapat!"
Jawab Pek Giok dengan suara tegas. Semua orang terheran, demikian pula Beng Tek Sianjin. Bahkan Siok Kong sendiri menjadi amat heran dan kepala rampok ini yang memang tidak suka akan kesombongan kosong, lalu menegur anaknya.
"Pek Giok, bagaimana kau berani menyombong? Benar-benarkah kau dapat menangkap burung yang beterbangan di tempat tinggi itu?"
Pek Giok tersenyum.
"Mengapa tidak, Ayah? Lihatlah saja!"
Cepat sekali anak itu mengeluarkan dua batang paku Touw-Sim-Teng dari sakunya dan ketika dua tangannya bergerak, maka melayanglah dua batang paku itu ke arah kedua burung yang sedang asik beterbangan.
"Salah...!"
Teriak Tosu itu dan tahu-tahu tubuhnya telah bergerak dan lenyap, berubah menjadi bayangan yang cepat sekali melayang mengejar dua batang paku itu! Sebelum paku-paku itu mengenai burung yang sedang beterbangan, Tosu itu telah dapat menyambar dan menangkapnya, lalu dilemparkan ke tanah. Semua orang menjadi bengong menyaksikan ginkang yang luar biasa ini. Bagaimana seorang Kakek tua dapat melompat sedemikian cepatnya sehingga dapat mengejar melesatnya dua batang paku?
"Nah, itulah yang mendorong Pinto makin keras untuk membawamu ke puncak Kun-Lun-San!"
Katanya kepada Pek Giok sambil memandang dengan mata mencela.
"Kau terlalu ganas sehingga tak segan-segan untuk membunuh dua ekor burung yang sedang terbang tanpa dosa."
"Bukankah kau sendiri yang menyuruh aku menangkapnya?"
Pek Giok membela diri dengan berani.
"Memang Pinto menyuruh kau menangkapnya, bukan membunuhnya, bedanya sejauh langit dari bumi. Maksud Pinto dapatkah kau menangkapnya hidup-hidup dengan kedua tanganmu?"
Pek Giok yang masih kecil itu kelihatan berpikir-pikir. ia tadi telah menyaksikan kecepatan gerak lompat Tosu itu maka ia lalu menjawab.
"Kalau aku mempunyai kecepatan seperti kau tadi, apa susahnya menangkap burung itu?"
Beng Tek Sianjin dapat menangkap maksud anak itu yang mengira bahwa ia hendak mengandalkan ginkangnya untuk menangkap burung-burung itu, maka ia menggelengkan kepala dan berkata.
"Bukan demikian akan tetapi menangkap burung-burung itu dari sini tanpa mengangkat kaki."
Kini tidak saja Pek Giok yang memandangnya dengan heran, akan tetapi para perampok itu saling pandang dan tak mengerti bagaimana orang dapat menangkap burung-burung yang beterbangan di tempat tinggi tanpa menggerakkan kedua kaki untuk melompat atau memanjat pohon itu?
"Nah, kau lihatlah!"
Kata Beng Tek Sianjin. Tosu tua ini lalu menggerakkan kedua tangannya dan begitu kedua tangannya dipukulkan ke arah burung yang sedang beterbangan, heran sekali! Burung-burung itu seperti kena jerat kaki dan sayap-sayapnya, karena tiba-tiba lalu jatuh ke bawah bagaikan dua buah batu! Beng Tek Sianjin mengangkat kedua tangannya dan menerima dua ekor burung itu di atas kedua telapak tangan, burung menggerak-gerakkan sayap hendak terbang, akan tetapi tetap saja tak dapat terbang, seakan-akan kedua kaki mereka melengket pada kulit tangan itu. Sambil tersenyum-senyum Beng Tek Sianjin beberapa kali melepas burung itu dan menangkapnya kembali sesuka hatinya. Semua orang melongo menyaksikan kepandaian yang luar biasa ini. Akan tetapi Pek Giok masih belum puas!
"Apakah gunanya kepandaian seperti itu dalam pertempuran melawan lawan tangguh?"
Katanya mencela.
"Pek Giok!"
Siok Kong menegur anak-nya yang terlalu bandel dan keras kepala itu, akan tetapi Beng Tek Sianjin hanya tersenyum dan tiba-tiba Tosu tua itu mengeluarkan sebatang pedang yang disembunyikan di bawah jubahnya. Melihat pedang yang berkilau kehijau-hijauan itu, semua orang menjadi kagum sekali.
"Anak baik, kau lihatlah ilmu pedang ini!"
Kata Beng Tek Sianjin dan tiba-tiba saja pedangnya diputar sedemikian hebat sehingga lenyaplah tubuh si Tosu, terbungkus sinar pedang yang hijau dan yang makin lama makin besar dan kelihatan indah sekali.
"Pek Giok, kau boleh menyambit dengan paku-pakumu kalau bisa!"
Terdengar suara dari dalam gulungan sinar pedang itu yang menyatakan bahwa si Tosu itu memang masih ada di situ!
Pek Giok segera mengeluarkan paku-pakunya dan menyabit sekerasnya. Terdengar suara trang-tring-trong yang nyaring dan ternyata semua paku-pakunya telah kena terbabat putus tepat di bawah kepala dan semua runtuh kebawah. Yang hebat sekali adalah kejituan tebasan itu karena bisa rata semua dan tak sebuahpun paku yang tidak tertebas putus! Kini barulah Pek Giok mau percaya dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan sinar pedang yang masih terputar-putar itu dan menyebut nama si Tosu ini dengan nyaring.
"Suhu, Teecu sekarang percaya!"
Beng Tek Sianjin menyimpan pedangnya dan tertawa senang.
"Mungkin Pinto adalah Guru pertama yang pernah diuji oleh calon muridnya!"
Kemudian ia berpaling kepada Siok Kong dan berkata.
"Nah, sekarang Pinto akan pergi membawa anakmu. Lima atau enam tahun lagi tentu kau akan bertemu kembali dengan anakmu!"
Sebelum Siok Kong dapat menjawab, Beng Tek Sianjin memegang pergelangan tangan Pek Giok dan sekali tubuhnya berkelebat, maka Guru dan murid itu telah lenyap dari pandangan mata Siok Kong dan anak buahnya! Kepala rampok ini menghela napas karena kagum dan juga perasaan duka dan sunyi mengganggu hatinya setelah Pek Giok pergi dari situ.
Karena perasaan sedih ditinggal oleh anak angkatnya ini makin mengganggu hatinya, maka Siok Kong lalu teringat akan orang-tua yang aseli dari Pek Giok. Kalau dia yang hanya menjadi Ayah angkat telah merasa sedemikian sedih ditinggalkan oleh anak itu, apalagi Ayah dan Ibunya yang sejati! Timbul perasaan kasihan yang aneh menyelinap dalam hati kepada rampok itu. ia teringat kepada ucapan Liu Bo Cin yang telah dIbunuhnya dulu bahwa anak itu adalah puteri seorang Piauwsu yang menjadi musuh Liu Bo Cin, maka kini Siok Kong ingin sekali tahu siapa sebetulnya orang-tua Pek Giok. Pada keesokan harinya, ia meninggalkan anak buahnya untuk beberapa hari dan pergi mencari orang-tua Pek Giok untuk dapat mengetahui asal-usul anak angkatnya yang tercinta itu.
Mudah baginya untuk mencari, oleh karena ia tahu bahwa orang-tua Pek Giok she Can dan menjadi Piauwsu di Sung-Kian. Ketika ia menyelidik di Sung-Kian, maka tahulah ia bahwa Ayah Pek Giok adalah Can Gi Sun yang sekarang telah menjadi Guru silat di kota itu. Karena ia hanya ingin mengetahui orang-tua Pek Giok saja, maka ia tidak menemui Can Gi Sun dan segera kembali ke dalam hutan setelah tahu bahwa Ayah-bunda Pek Giok masih hidup, yakni Can Gi Sun yang menjadi Guru silat di Sung-Kian. Pek Giok boleh dikatakan bernasib amat baik karena pertemuannya dengan Beng Tek Sianjin, karena setelah ia dibawa oleh Kakek Pertapa itu ke puncak bukit Kun-Lun-San, ia jatuh ke dalam tangan tiga orang ahli yang sekaligus menjadi Guru-gurunya!
Tiga orang ahli itu adalah Kun-Lun Sam-Sian atau Tiga Dewa di Kun-Lun yang merupakan tiga tokoh besar dalam dunia persilatan, terutama sekali karena orang pertama dari Kun-Lun Sam-Sian ini adalah seorang Tokouw (Pendeta To wanita) yang amat ramah-tamah dan baik terhadapnya. Orang pertama dari Kun-Lun Sam-Sian ini adalah Kiok Sin Sianli, yang menjadi Suci (kakak perempuan seperguruan) dari Beng Tek Sianjin, dan orang ketiga adalah Beng Le Sianjin, seorang Tosu juga yang memiliki kepandaian tinggi. Dari Kiok Sin Sianli, Pek Giok menerima latihan lweekang, ginkang, khikang, dan ilmu batin yang meliputi hal-hal dan pelajaran tentang prikemanusiaan, tata susila, budi pekerti dan lain-lain. Dari Beng Tek Sianjin ia menerima pelajaran Cheng-Liong Kiam-Sut dan diberi pedang Cheng-Liong-Kiam (Pedang Naga Hijau) yang mempunyai sinar kehijauan itu.
Adapun dari Beng Le Sianjin, ia menerima pelajaran ilmu-ilmu silat tangan kosong, dasar-dasar gerakan kaki dan tangan, dan juga pelajaran... membaca dan menulis! Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa Pek Giok memang bernasib baik sekali ketika bertemu dengan Beng Tek Sianjin. Kalau ia berada di rumah Ayahnya sendiri, tak mungkin ia akan dapat mewarisi kepandaian yang luar biasa tingginya. Apalagi kalau ia terus bertempat tinggal di dalam hutan bersama Ayah angkatnya! Enam tahun lewat dengan amat cepatnya. Pek Giok telah menjadi seorang gadis yang benar-benar amat cantik bagaikan setangkai bunga botan yang baru mekar. Ketiga orang Gurunya amat sayang kepadanya sehingga biarpun dara ini tinggal di puncak gunung, namun ia selalu mendapat pakaian yang indah dari sutera halus.
Entah karena terpengaruh oleh pedang Cheng-Liong-Kiam yang selalu tergantung di pinggangnya, atau karena warna-warna hijau dari rumput dan daun-daun di atas bukit, dara ini amat suka warna hijau sehingga pakaiannya selalu berwarna hijau. Baik dia sendiri, maupun ketiga Gurunya, tidak tahu bahwa Pek Giok sebenarnya bukan she Siok, dan bukan anak dari kepala rampok Siok Kong, akan tetapi adalah she Can dan anak tunggal dari Guru silat Can Gi Sun. Karena itu, seringkali Pek Giok mengenangkan Ayahnya dengan hati sedih. ia telah mendapat gemblengan dari Kiok Sin Sianli sehingga kini terbukalah matanya bahwa sesungguhnya pekerjaan Ayahnya adalah pekerjaan yang buruk dan jahat. Pada suatu hari, ketiga orang Gurunya memanggilnya menghadap dan ketika Pek Giok sudah berhadapan dengan ketiga orang Gurunya, Kiok Sin Sianli lalu berkata dengan suara halus.
"Muridku, telah genap enam tahun kau belajar di sini dan sekarang tibalah waktunya bagimu untuk turun gunung karena masa janji yang diberikan oleh Suhumu Beng Tek Sianjin kepada Ayahmu telah habis. Pelajaranmu telah tamat dan kau harus dapat mempergunakan semua kepandaian yang kau pelajari di tempat ini sebagai seorang pendekar budiman sebagaimana yang kami harapkan."
"Ingat, muridku,"
Kata Beng Tek Sianjin.
"kau harus dapat menguasai hatimu dan dapat mengendalikan kekerasanmu. Ingatlah selalu bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai dan bahwa kepandaian itu tidak ada batasnya. Kau akan merasa kecewa kalau kau membiarkan dirimu dikuasai kesombongan dan menganggap diri sendiri yang terpandai, karena sepandai-pandainya orang, akan ada orang lain yang melebihinya dalam sesuatu hal. Pedang Cheng-Liong-Kiam yang kuberikan kepadamu adalah pedang suci yang semenjak dulu hanya suka minum darah orang-orang yang benar-benar keji dan jahat, dan hendaknya pedang itu kau jaga baik-baik dan jangan sekali-kali kau pergunakan untuk mengalirkan darah orang-orang tak berdosa."
"Pek Giok,"
Beng Lee Sianjin ikut pula memberi wejangan.
"Kau telah mempelajari tata susila dan kesopanan. Sebagai seorang wanita, kau harus dapat menjaga dirimu baik-baik dan jangan sampai kau tergoda oleh nafsu-nafsu jahat. Ingatlah bahwa bagi setiap orang yang berhati mulia, menjaga nama dan kehormatan adalah hal yang lebih penting daripada menjaga nyawa! Dan penjagaan nama dan kehormatan agar dipandang tinggi oleh umum, hanya dapat dilakukan dengan satu jalan, yakni kelakuan yang baik!"
Berganti-ganti ketiga orang Gurunya itu memberi nasihat-nasihat dan wejangan yang didengar oleh Pek Giok dengan penuh perhatian dan di jadikan bekal dan pegangan dalam perjalanan hidupnya yang akan ditempuhnya.
"Muridku,"
Kata Kiok Sin Sianli kemudian.
"Kalau kau turun dari Kun-Lun-San, hal apakah yang akan kau lakukan pertama-tama?"
Tanpa ragu-ragu lagi Pek Giok menjawab.
"Teecu (murid) hendak mencari Ayah dan mencegahnya melanjutkan pekerjaan merampok, agar Ayah suka cuci tangan dan selanjutnya hidup sebagai seorang baik-baik!"
Ketiga orang Suhunya mengangguk-angguk dengan girang.
"Baik sekali, Pek Giok,"
Kata Beng Tek Sianjin.
"Kau kiranya akan dapat menemukan Ayahmu itu di dalam hutan sebelah barat kota Sung-Kian. Kau tentu masih ingat akan wajah Ayahmu itu, bukan?"
Pek Giok mengangguk.
"Teecu belum pernah melupakan wajah Ayah."
Setelah menerima banyak nasihat dari ketiga orang Suhunya dan membungkus semua pakaian pemberian Guru-gurunya berikut beberapa potong uang perak ke dalam bungkusan warna merah dan mengikatkan bungkusan itu di punggungnya, Pek Giok lalu berlutut dan memberi hormat sekali lagi kepada ketiga Gurunya sambil menghaturkan terima kasih. Kemudian ia pergi dari tempat itu dan turun gunung untuk melakukan perjalanannya mencari Ayahnya.
Kun-Lun-San adalah sebuah pegunungan besar dan luas sekali di daratan Tiongkok sebelah barat, membujur dari barat ke timur amat megah dan luasnya. Perjalanan yang akan ditempuh oleh Pek Giok ini adalah perjalanan yang amat jauh dan rIbuan li jaraknya.
Tempat tinggal orang-tuanya berada di Propinsi Honan, maka untuk dapat sampai di tempat itu, ia harus melakukan perjalanan melalui propinsi-propinsi yang amat luas dan besar, yakni Propinsi Cing-Hai, Kansu, dan Sen-Si. Akan tetapi Pek Giok sama sekali tidak merasa khawatir menghadapi perjalanan yang amat jauh itu, karena ia memang seorang gadis yang bersemangat besar dan berhati tabah. Apalagi ia telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga ia percaya penuh kepada diri sendiri, dan perjalanan itupun dapat ia lakukan dengan cepat berkat ilmunya berlari cepat. ia sama sekali tidak pernah mengimpi bahwa Ayahnya yang sesungguhnya, yakni Can Gi Sun atau Can-Kauwsu di Sung-Kian, pada saat itu mulai terancam bahaya dan awan gelap dengan kedatangan seorang Guru silat lain dari Santung, yakni Song Swi Kai atau Song-Kauwsu!
Pada suatu hari ketika ia sedang berjalan melalui Propinsi Cing-Hai yang amat luas dan indah, ia mendengar tentang keindahan dan kehebatan Telaga Cing-Hai atau yang disebut juga Telaga Koko Nor di sebelah barat kota besar Sining. ia merasa amat tertarik, apalagi ketika mendengar bahwa di daerah itu terdapat banyak sekali orang-orang gagah dan sasterawan yang menghIbur diri di sekitar telaga. Pek Giok lalu menunda perjalanannya menuju ke timur dan membelok ke utara untuk singgah di Telaga Koko Nor itu. Semenjak ia memasuki dunia ramai, apalagi kalau ia tiba di kota-kota yang banyak penduduknya, ia mulai mengalami hal-hal yang amat menjemukan hatinya, akan tetapi yang diam-diam mendatangkan rasa bangga dan senang juga kepadanya. Hal ini adalah pandangan mata orang-orang di sepanjang jalan apalagi mereka bersua dan memandangnya.
Pandangan mata itu selalu menyatakan kekaguman dan keheranan, apalagi mata laki-laki yang selalu memandangnya dengan kagum dan juga kurang ajar. Akan tetapi lambat-laun hal ini tidak mendatangkan pengaruh sesuatu kepada hatinya dan ia menjadi biasa. Sesungguhnya, tak boleh terlalu dipersalahkan mata yang memandang kagum itu, karena siapakah orangnya yang tidak memandang kagum kalau melihat seorang gadis cantik-molek yang luar biasa itu? Hawa pegunungan yang sejuk membuat kulit muka Pek Giok menjadi putih bersih dan kemerah-merahan. Sungguhpun ia tak pernah menggunakan bedak dan yanci, namun kedua pipinya selalu kemerah-merahan dan bibirnya merah segar. Matanya lebar dan jernih, bersinar tajam sehingga mata laki-laki selalu menjadi gentar dan cepat ditundukkan apabila bertemu pandang dengannya.
Pakaiannya selalu berwarna hijau dengan kembang-kembang kuning atau merah. Hanya pandang mata dan pedangnya yang tergantung di pinggang itulah yang menolong Pek Giok hingga ia tidak pernah terganggu oleh orang-orang di tengah perjalanan. Memang pernah terjadi niat-niat dari beberapa orang laki-laki untuk mengganggunya, akan tetapi mereka telah mundur teratur dengan muka pucat sebelum melaksanakan niat kurang ajar itu. Pertama kali ketika Pek Giok tengah berjalan di dalam sebuah hutan yang sunyi, ia dihadang oleh lima orang laki-laki tinggi-tinggi besar yang telah cengar-cengir dan menyeringai ketika dari jauh ia jalan mendatang. Pek Giok tidak ingin banyak bercakap dengan orang-orang kurang ajar itu, maka ketika ia tiba di depan mereka, sebelum kelima orang itu membuka mulut, ia lalu menghampiri sebatang pohon besar di pinggir jalan. Sambil berpura-pura gatal tangan,
Ia menggosok-gosokkan kedua tangannya pada batang pohon yang besar itu dan... kelima laki-laki itu memandang dengan bengong dan mata terbelalak ketika menyaksikan betapa kulit pohon yang keras itu hancur dan terkupas oleh gosokan tangan Pek Giok yang kelihatannya halus dan lunak itu, sedangkan pohon itu bergoyang-goyang dan daunnya banyak yang rontok ke bawah seakan-akan digoyang-goyang oleh tenaga yang amat besar! Lima orang itu saling pandang dengan muka pucat, kemudian berlari pergi bagaikan dikejar setan di tengah hari! Gangguan kedua terjadi ketika ia berada dalam sebuah rumah makan yang besar di kota An-Tung. ia duduk menghadapi meja seorang diri dan di meja lain yang tak jauh dari tempat duduknya, duduk tiga orang laki-laki muda yang tiada hentinya memandang kepadanya dengan kagum dan sebentar-sebentar mereka saling berbisik dan tertawa-tawa!
Melihat sikap ketiga orang itu, maklumlah Pek Giok bahwa mereka adalah orang-orang yang mengerti ilmu silat, maka sikap mereka agak berani agaknya mereka tidak takut kepada pedangnya! Ketika hidangan yang dipesan oleh Pek Giok dikeluarkan oleh pelayan, gadis itu kehilangan nafsu makannya karena ketiga orang itu selalu memandangnya. ia menjadi marah dan setelah pelayan pergi, Pek Giok mengambil sebatang sumpit kayu dari atas mejanya. Ketiga orang muda itu terus memandangnya dan alangkah heran dan kaget mereka ketika melihat betapa gadis itu membawa sumpit tadi ke mulutnya dan menggigit putus sumpit itu sampai tiga kali! Benar-benarkah gadis cantik itu makan sumpit, demikian pikir mereka dengan terheran-heran. Pek Giok lalu berkata seperti bicara kepada diri sendiri.
"Alangkah menjemukan tiga ekor lalat itu! Kalian harus mampus!"
Setelah berkata demikian, gadis itu membuka sedikit mulutnya, meniup dengan tenaga khikang dan satu demi satu potongan kayu sumpit itu meluncur keluar dan menancap pada tiang yang berada di sebelah kanannya dan dekat dengan meja ketiga orang itu!
Bukan main terkejutnya hati ketiga orang itu ketika menyaksikan betapa potongan-potongan sumpit itu amblas dan lenyap ke dalam tiang, membuat tiga lobang kecil pada kayu tiang yang keras itu. Tanpa banyak membuang waktu lagi mereka lalu bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu, lupa untuk membayar makanan sehingga seorang pelayan lalu mengejar mereka dan memaksa mereka membayar dulu makanan yang mereka telah makan habis! Ketiga orang itu cepat-cepat membayar dan segera pergi sambil sebentar-sebentar menoleh ke arah gadis yang hebat itu. Gangguan ketiga yang dihadapi Pek Giok terjadi di tengah perjalanannya menuju ke Telaga Koko Nor. Beberapa orang laki-laki yang berada di pinggir jalan ketika melihhatnya segera menjadi rIbut,
Ada yang tertawa-tawa, tersenyum-senyum melagak, ada pula yang cengar-cengir seperti monyet mencium terasi. Hal ini membuat hati Pek Giok menjadi mendongkol, akan tetapi apakah yang harus ia lakukan terhadap orang banyak yang tidak melakukan sesuatu terhadapnya dan hanya berlagak menjemukan itu? ia lalu mengerahkan lweekangnya dan tak lama kemudian semua orang itu tidak memandang dengan kagum lagi, akan tetapi dengan mata terbelalak dan mulut celangap, karena mereka melihat betapa tanah yang diinjak oleh kedua kaki dara itu melesek ke dalam seakan-akan gadis itu berjalan di atas tanah lumpur yang lembek, bukan di atas tanah yang keras! Dan sebentar saja bayangan gadis itu lenyap dari pandangan mata mereka ketika Pek Giok mengerahkan ginkangnya dan mengeluarkan ilmu jalan cepat Liok-Te Hui-Teng!
Demikianlah, gangguan-gangguan kecil itu masih dapat dihadapi oleh Pek Giok yang keras hati dengan menakut-nakuti mereka dan ia masih ingat akan pesan Guru-gurunya agar jangan mencari permusuhan dan kerIbutan untuk perkara yang kecil-kecil. Telaga Koko Nor merupakan telaga benar-benar luar biasa besarnya sehingga telaga ini merupakan sebuah lautan kecil. Juga air telaga ini seperti air laut, mengandung garam. Pada hari itu banyak orang berada di pinggir telaga dan keadaan ramai sekali seakan-akan sedang diadakan pesta. Penduduk kota Sining banyak yang sengaja datang dan pembesar-pembesar kota itupun nampak dengan kendaraan masing-masing. Memang sedang diadakan pesta penghormatari pada seorang pembesar tinggi yang datang dari Kotaraja, yakni seorang Pangeran bernama Liang Tek Ong.
Pangeran ini amat berkuasa dan di Kotaraja ia merupakan saudara Kaisar yang masih terhitung saudara lain Ibu dengan dia dan Pangeran Liang Tek Ong ini mempunyai pengikut yang besar jumlahnya. Diantara para perwira-perwira Kerajaan banyak yang tunduk kepadanya, sehingga Kaisar sendiri amat menghormatinya sebagai saudara tua. Pada waktu itu, Pangeran Liang sedang mengadakan ekspedisi ke barat untuk memeriksa para pejabat tinggi yang berada di kota-kota sekitar Propinsi Cing-Hai dan Kansu. Dalam kesempatan ini, ia tertarik oleh nama Telaga Koko Nor yang terkenal dan pergi mengunjunginya sehingga para pembesar sIbuk untuk menyambutnya secara besar-besaran dan berebut untuk menonjolkan jasa-jasa baik agar Pangeran itu merasa senang dan membuat "laporan baik"
Ke Istana Kaisar!
Ketika Pek Giok tiba di pinggir telaga, Pangeran Liang Tek Ong masih belum datang di tempat itu, akan tetapi para pembesar telah mendahului dan membuat persiapan di tepi telaga. Sungguhpun pada waktu itu banyak terdapat wanita-wanita, puteri-puteri para pembesar yang ikut mengadakan penyambutan sehingga tempat itu penuh dengan wanita-wanita cantik, namun Pek Giok tetap saja merupakan daya penarik yang kuat bagi banyak mata laki-laki, karena tidak saja dara ini berpakaian lain daripada semua wanita yang berada di situ, akan tetapi juga nampak gagah perkasa dan amat cantik jelita. Pek Giok tidak memperdulikan itu semua, akan tetapi karena tertarik melihat persiapan dan banyak orang itu, ia bertanya kepada seorang nelayan tua, pesta apakah yang akan diadakan orang di tempat itu.
"Siocia,"
Jawab nelayan itu sambil memandang kagum dengan sepasang matanya yang sipit dan keriputan.
"Agaknya kau seorang Li-Enghiong (wanita gagah) perantau dari tempat jauh sehingga tidak tahu apa yang terjadi di sini. Ketahuilah, Pangeran Liang Tek Ong dari Kotaraja pada hari ini akan datang berkunjung dan berpesiar di telaga ini, sungguh merupakan kehormatan besar dan luar biasa bagi Telaga Koko Nor!"
Keterangan ini tidak berarti banyak bagi Pek Giok oleh karena ia memang tidak tahu siapa adanya Pangeran Liang Tek Ong itu. Maka ia lalu menyewa perahu nelayan tua itu untuk mengantarkan berpesiar di atas telaga. Nelayan itu menjadi girang sekali karena pada waktu itu semua orang yang datang belum ada niat untuk naik perahu,
Semua ingin menyambut dan melihat Pangeran Liang Tek Ong yang belum datang. Pangeran ini akan datang Iangsung dari kota Sining. Pek Giok duduk di atas perahu kecil yang didayung oleh nelayan tua itu, menyusur sepanjang tepi telaga. Pemandangan sungguh indah dan dara itu yang selama ini hanya melihat gunung-gunung dan hutan, merasa seakan-akan ia di dunia lain. Belum pernah ia melihat air sedemikian banyaknya. ia merasa heran dan berpikir apakah mungkin laut yang sering ia mendengar didongengkan oleh Beng Le Sianjin yang banyak merantau itu lebih lebar daripada Telaga Koko Nor ini. Perahu-perahu yang hilir-mudik di atas telaga itu tidak banyak, hanya ada beberapa buah saja, karena sebagian besar belum mendapatkan penyewa yang berkumpul di pinggir telaga menanti kedatangan tamu agung.
Kini Pek Giok telah berada jauh di tengah telaga dan orang-orang yang berkumpul di pinggir telaga itu nampak kecil dilihat dari atas perahunya yang terapung-apung di atas ombak kecil. Tiba-tiba dari tengah telaga meluncur sebuah perahu kecil yang ditumpangi seorang Kakek gagah. Kakek itu bertopi pandan yang lebar, pakaiannya seperti biasa dipakai oleh ahli silat, tubuhnya tegap dan jenggotnya panjang. Dari pantai terdengar sorak-sorai yang menggema sampai ke tengah telaga, tanda bahwa orang-orang yang menanti semenjak pagi telah menyambut kedatangan tamu agung. Kakek bertopi lebar itu lalu berdiri di atas perahu dan mencabut pedangnya yang berkilau ditimpa sinar matahari. Kemudian ia mengucapkan syair dengan suara keras sambil memegang pedang itu lurus-lurus bagaikan bersumpah:
"Rakyat miskin, kelaparan merajalela
Pedangku tak berdaya menolong mereka
Akan tetapi, sekali muncul pembesar durna
Mengantar pengkhianat ke neraka!
Koko Nor, kaulah saksi utama
Bahwa pedang tak kumiliki untuk sia-sia"
Setelah mengucapkan syair ini, Kakek itu lalu duduk kembali dan mendayung perahunya dengan cepat menuju ke tepi telaga di mana pembesar itu sedang disambut oleh orang banyak. Pek Giok melihat dan mendengar semua ini, hatinya amat tertarik dan tergerak.
"Lopek,"
Katanya kepada nelayan perahunya.
"Cepat dayung perahu ke tepi. Aku hendak melihat Pangeran itu!"
Akan tetapi nelayan ini tak dapat menyusul perahu Kakek gagah yang meluncur dengan amat cepatnya sehingga tertinggal jauh di belakang.
"Cepat, cepat!"
Pek Giok mendesak nelayan itu sambil berdiri di kepada perahu. ia melihat betapa Kakek gagah yang bertopi lebar itu telah melompat ke pantai dan tiba-tiba rIbutlah keadaan di sana seakan-akan terjadi pertempuran hebat.
"Cepat, Lopek, ada kerIbutan di sana. Cepat!"
Akan tetapi nelayan itu menjadi ketakutan melihat kerIbutan di pantai, sehingga kedua tangannya menggigil dan ia tak dapat mendayung dengan kuat. Pek Giok tak dapat bersabar lagi, lalu dimintanya dayung itu dan ia mendayung dengan cepatnya sehingga perahu itu meluncur seperti sebatang anak panah terlepas dari busurnya.
Tentu saja Kakek nelayan itu merasa terheran-heran karena bagaimana kedua lengan tangan seorang dara muda jelita ini dapat mempunyai tenaga sedemikian hebatnya? Ketika Pek Giok telah tiba di pinggir telaga, ia melihat betapa semua orang yang tadi menyambut Pangeran Liang Tek Ong telah lari cerai-berai dan hanya menonton dari jauh, sedangkan di tempat itu terjadi pertempuran hebat antara Kakek bertopi lebar yang mengucapkan syair di atas perahu tadi dengan pasukan-pasukan pengawal yang bersenjata golok. Pasukan itu terdiri dari dua puluh orang lebih, akan tetapi yang mengeroyok Kakek itu hanya lima orang perwira yang ternyata amat lihai ilmu goloknya. Jelas sekali kelihatan oleh Pek Giok betapa Kakek gagah itu terdesak hebat dan bahkan telah terluka parah karena bajunya yang putih itu telah penuh dengan darah merah.
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo