Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 5


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



Akan tetapi, di atas tanah juga telah menggeletak tiga tubuh perwira yang tewas oleh pedang Kakek itu. Ketika Pek Giok memperhatikan Kakek itu, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang Kakek itu cukup lihai, akan tetapi kini gerakannya makin lemah dan dapat dipastikan bahwa sebentar lagi tentu Kakek itu takkan dapat mempertahankan diri lagi dan akan roboh di bawah tikaman lima batang golok yang bergerak ganas. Entah apa yang mendorongnya, akan tetapi di dalam hatinya, Pek Giok bersimpati kepada Kakek bertopi lebar itu dan merasa kasihan melihat ia terkurung dan terdesak sedemikian rupa. Mungkin hatinya tidak suka melihat pertempuran yang main keroyok itu, maka sekali melompat saja ia telah berada di tempat pertempuran.

   "Pengecut, jangan main keroyok!"

   Serunya dan sekali ia putar pedangnya, sekaligus ia menangkis lima golok itu dan dua diantaranya telah terbabat putus oleh pedang di tangan Pek Giok! Tentu saja kelima orang perwira itu menjadi terkejut sekali melihat kehebatan gadis muda ini sehingga mereka melompat mundur. Kesempatan itu dipergunakan oleh Pek Giok untuk menarik tangan Kakek gagah itu sambil berkata.

   "Mari, Lo-Enghiong (orang-tua gagah), mari kita tinggalkan tempat ini."

   "Tidak!"

   Jawab Kakek itu dengan suara penuh semangat.

   "Biar aku melawan sampai mati!"

   Lima orang perwira itu maju lagi, kini dibantu pula oleh beberapa orang perwira baru, akan tetapi kembali Pek Giok menggerakkan pedangnya dan kembali ada empat golok lawan terlepas dari pegangan.

   "Mundur! Kalian mundur kalau tidak ingin mati!"

   Serunya dengan suara nyaring. Benar-benar para perwira itu tercengang melihat kehebatan dara itu dan melihat betapa dalam sekali gerakan saja gadis itu berhasil meruntuhkan empat golok, mereka menjadi gentar juga. Sementara itu, Kakek bertopi lebar itu telah mulai lemas karena luka-lukanya dan ia berdiri terhuyung-huyung.

   "Hayo kita pergi!"

   Pek Giok kembali membujuk dan menarik tangan Kakek gagah itu.

   Kali ini Kakek itu tidak membantah dan mereka berdua lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu. Para perwira tidak ada yang berani mengejar, karena nona pendekar itu benar-benar telah membuat mereka merasa jerih. Ketika mereka berdua berlari sampai di dalam hutan tak jauh dari telaga itu, tiba-tiba Kakek itu mengeluh dan ia roboh di atas rumput. Pek Giok cepat berlutut dan memeriksanya. Alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa luka yang diderita oleh Kakek itu benar-benar hebat dan berbahaya sekali! Tubuhnya mendapat sekali tusukan dan tiga kali bacokan golok yang semuanya parah, terutama sekali tusukan itu yang mengenai dadanya. Sungguh mengherankan bahwa Kakek itu tadi masih kuat melawan dan masih kuat pula berlari sejauh itu. ia telah kehilangan banyak darah yang membuatnya pening dan lemas.

   "Bagaimana, Lo-Enghiong...?"

   Pek Giok bertanya dengan khawatir. Kakek itu menggelengkan kepalanya.

   "Lihiap... kau gagah perkasa dan membuat aku kagum... kau telah menolongku, maukah kau melanjutkan usahaku demi Negara dan Bangsa kita..."

   "Apa maksudmu, Lo-Enghiong? Ceritakanlah, kalau memang aku sanggup dan demi kebenaran, tentu saja akan kulakukan permintaanmu itu."

   Dengan napas terengah-engah dan menahan sakit, Kakek itu lalu menuturkan keadaannya secara singkat. ia bernama Tan Koan, seorang Hiapkek (Pendekar) pengembara yang berjiwa partiot dan ia menuturkan kepada Pek Giok bahwa Pangeran Liang Tek Ong itu datang di Koko Nor bukan semata-mata hendak berpesiar, akan tetapi mempunyai maksud tertentu, yakni mengadakan pertemuan dengan utusannya raja asing dari Mongol untuk membuat persiapan memberontak dan menggulingkan kedudukan Kaisar!

   "Telah lama pengkhianat she Liang itu bersekutu dengan orang-orang Mongol dan ia menyimpan dokumen persekutuan itu. Bahkan kini ia mengadakan rencana bersama untuk mengadakan pemberontakan karena ia mempunyai kaki tangan yang banyak jumlahnya dan pengaruh serta kekuasaannya besar sekali. Sudah lama pula aku mengikutinya dan hendak merampas dokumen itu sebagai bukti daripada pengkhianatannya. Akan tetapi ia terjaga kuat dan mempunyai perwira-perwira pengawal yang tangguh. Hari ini karena ia hendak mengadakan pertemuan dengan utusan Mongol, maka aku menjadi nekad dan berusaha membunuhnya, akan tetapi, aku dikalahkan..."

   Dengan amat susah-payah Kakek itu menuturkan keadaannya, kemudian ia mengerahkan tenaga terakhir dan berkata.

   "Lihiap, kulihat kau gagah perkasa, lihai dan kepandaianmu jauh melebihi aku. Demi tanah air dan Bangsa... kau usahakanlah untuk merampas dokumen itu, dan bawa surat-surat penting itu kepada Kaisar agar Kaisar yang hanya mementingkan pribadi itu terbuka matanya dan dapat bertindak sebelum terlambat! Kau tentu takkan suka menyaksikan tanah air kita terjajah oleh Bangsa Mongol..."

   Ia berhenti sebentar untuk mengumpulkan tenaga, wajahnya sudah pucat kebiruan dan napasnya tinggal satu-satu,

   "Cari dan rampaslah surat-surat itu... dalam peti kecil hitam terukir lukisan sepasang naga... jangan sampai terjatuh ke dalam tangan siapapun juga..."

   Setelah mengucapkan kata-kata ini, maka Tan Koan, pendekar patriot itu menghembuskan napas terakhir di dalam hutan itu! Semua penuturan ini merupakan hal baru yang sama sekali asing bagi pengertian Pek Giok, akan tetapi hati gadis ini amat tergerak dan tertarik oleh kegagahan Tan Koan, dan di dalam hatinya ia merasa yakin bahwa Kakek ini adalah seorang gagah perkasa, yang tentu takkan melakukan sesuatu perbuatan yang keliru dan jahat. Maka ia mengambil keputusan untuk memenuhi permintaan Kakek ini dan ia sendiripun ingin sekali mengetahui kelanjutan perkara ini.

   la tidak mengerti sama sekali tentang Negara dan politiknya, sama sekali tidak tahu tentang keadaan pemerintahan, akan tetapi sebagai seorang yang berjiwa gagah, ia membenci sekali segala perbuatan yang sifatnya pengkhianatan. Dengan khidmat Pek Giok lalu menggali lubang di bawah pohon dan mengubur jenazah pendekar tua itu bersama pedang orang-tua itu yang tadi dipergunakan untuk menggali tanah. Kemudian ia pergi keluar dari hutan dan menuju ke Telaga Koko Nor kembali. Ketika ia tiba di situ, ternyata bahwa Pangeran Liang Tek Ong telah membatalkan niatnya berpesiar karena adanya gangguan Tan Koan tadi dan kini rombongan Pangeran Liang itu telah kembali ke kota Sining. Menurut keterangan nelayan tua yang tadi disewa perahunya, datang pula dua orang Mongol menemui Pangeran itu dan kedua orang itu kini bahkan ikut pula ke Sining.

   Diam-diam Pek Giok membenarkan keterangan mendiang Tan Koan dan ia dapat menduga bahwa dua orang Mongol itu tentulah utusan dari Raja Mongol yang hendak mengadakan perundingan tentang rencana pemberontakan dengan Pangeran pengkhianat itu. Maka iapun cepat menyusul ke Sining. Sining adalah Ibu kota Propinsi Cing-Hai dan kota ini cukup besar dan ramai. Di kota ini terdapat sebuah benteng besar dan yang menduduki benteng besar ini adalah pasukan-pasukan yang dipimpin oleh perwira-perwira kaki tangan Pangeran Liang Tek Ong! Maka setibanya dari Telaga Koko Nor, Pangeran itu Iangsung masuk ke dalam benteng dengan para pengiringnya berikut dua orang tamu Bangsa Mongol itu. ia merasa lebih aman untuk bermalam di situ dan membicarakan segala urusan rahasia bersama dua orang utusan Mongol itu di dalam benteng yang terjaga kuat,

   Karena ia maklum bahwa selain Tan Koan yang telah digagalkan penyerangnya tadi, masih banyak orang-orang yang memusuhinya secara diam-diam dan orang-orang itu adalah orang-orang kang-ouw yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amat berbahaya. Oleh karena ini pulalah, maka kemana saja Pangeran Liang Tek Ong pergi, ia selalu dikawal oleh pasukan tentara pengawal Istana yang dikepalai oleh sedikitnya sepuluh orang perwira-perwira berkepandaian tinggi dari Istana. Ketika ditanyakan kepada seorang petani di Sining dan mendapat keterangan bahwa rombongan Pangeran itu memasuki benteng besar, Pek Giok terpaksa menunda niatnya untuk menyerbu, karena ia merasa kurang leluasa dan berbahaya untuk bergerak di siang hari. ia mengambil keputusan untuk menyelidiki malam nanti, maka ia lalu mencari sebuah rumah penginapan terbesar di kota itu.

   Ketika ia memasuki hotel Lok-Hwa yang amat besar dan mewah, tiga pasang mata memandangnya dengan kagum dan heran, akan tetapi dengan tiga macam cara pula. Yang sepasang adalah mata pelayan hotel yang menyambutnya, dan pelayan ini tidak berani terlalu lama menyatakan kekaguman dan keheranannya melihat seorang dara cantik jelita melakukan perjalanan seorang diri. Begitu pandangan matanya bertemu dengan sinar mata Pek Giok, pelayan ini menjadi bergidik dan gentar karena ia maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang gadis pendekar yang tinggi ilmu silatnya. Siapa tahu kalau-kalau orang ini adalah seorang begal wanita, pikirnya dengan ketakutan. Mata kedua adalah sepasang mata dari seorang tamu yang kebetulan keluar dari kamar dan hendak ke depan.

   Tamu ini tinggi besar dan bermuka hitam, sepasang matanya memandang dengan kagum dan mengeluarkan cahaya liar bagaikan seekor anjing kelaparan melihat tulang penuh sumsum! Akan tetapi iapun hanya memandang sekilas dan melanjutkan perjalanannya keluar dari hotel itu. Mata ketiga adalah sepasang mata dari seorang pemuda kurus tinggi yang duduk di ruang depan. Jelas sekali bahwa pemuda ini amat memperhatikan Pek Giok, akan tetapi begitu ia membalikkan tubuh, pemuda itu pura-pura tidak melihatnya dan melempar pandang ke lain jurusan. Akan tetapi sudut matanya mengerling dan ia terus mengikuti gerakan gadis itu ketika Pek Giok diantar oleh pelayan menuju ke kamarnya. Setelah Pek Giok memasuki kamarnya dan pelayan itu berjalan keluar, pemuda kurus tinggi itu menghampiri pelayan dan berbisik.

   "Kamar yang mana?"

   Pelayan itupun menjawab dengan bisikan pula.

   "Nomor tujuh, Siauwya (tuan muda)!"

   Pemuda itu lalu pergi dari hotel itu. Baik pemuda tinggi kurus maupun pelayan itu sama sekali tidak mengira bahwa perbuatan mereka itu diawasi oleh seorang pemuda lain dari balik kamarnya. Pemuda ini berpakaian serba putih, berwajah cakap sekali dan mukanya berkulit halus seperti muka wanita. Sungguhpun demikian, namun gerak-geriknya gesit sekali dan pipinya kemerah-merahan tanda bahwa tubuhnya sehat. ia mengintai gerak-gerik pemuda kurus tinggi itu dan setelah pemuda kurus dan pelayan itu pergi, pemuda baju putih yang mengintai dari balik jendela kamarnya ini lalu duduk di atas bangku dalam kamarnya dan bibirnya yang berbentuk indah dan merah itu tersenyum-senyum seorang diri. Sepasang matanya yang tajam bersinar-sinar dan wajahnya berseri.

   "Ah,"

   Ia berbisik kepada diri sendiri.

   "Akan ramailah malam ini..."

   Ia lalu duduk termenung dan seluruh pikirannya melayang dan membayangkan wajah yang cantik jelita dari Pek Giok, dara muda yang mendatangkan rasa kagum dan menarik hatinya semenjak ia melihat dara perkasa itu di dalam hutan bersama Tan Koan yang terluka. ia melihat dan mendengar semua percakapan antara kedua orang itu dari balik pohon, lalu ia melihat pula betapa gadis itu mengubur jenazah Tan Koan sehingga hatinya makin kagum. Kemudian ia mengikuti Pek Giok ke Telaga Koko Nor dan mendahului gadis itu ke kota Sining, bahkan mendahuluinya mendapatkan kamar di hotel Lok-Hwa! Dan semua gerakannya ini tidak diketahui sama sekali oleh Pek Giok. Kalau sampai ketajaman mata Pek Giok yang lihai itu tidak dapat melihat gerak-geriknya, maka dapat diduga betapa lihainya pemuda baju putih ini!

   Sebaliknya, Pek Giok tidak melihat dan mencurigai gerak-gerik pemuda tinggi kurus itu, akan tetapi ia merasa curiga kepada orang tinggi besar muka hitam yang dijumpainya di ruang depan hotel tadi, dan ia menduga bahwa si muka hitam itu tentulah bukan orang baik-baik. Oleh karena itu, ia tidak mau keluar dari kamarnya, dan hanya memesan makanan kepada pelayan dan makan di dalam kamar. Malam harinya, ia telah bersiap sedia menanti sampai sunyi untuk pergi melakukan usahanya menyelidiki keadaan Pangeran Liang Tek Ong di dalam benteng. Akan tetapi, tiba-tiba ia mendengar suara kaki di atas genteng dan sungguhpun suara kaki itu amat perlahan, tanda bahwa orangnya telah memiliki ginkang yang tinggi, namun telinga Pek Giok yang mempunyai pendengaran tajam itu dapat juga menangkapnya. Pek Giok tersenyum dan hatinya berbisik.

   "Heran sekali, belum aku pergi, sudah ada anjing yang datang minta dipukul!"

   Dengan perlahan ia menghampiri jendela kamar dan membuka daun jendelanya. Jendela kamar di seberang kamarnya masih terbuka dan ia melihat seorang pemuda pakaian putih yang tampan duduk menghadapi sebuah kitab di atas meja. Agaknya pemuda itu amat asyiknya membaca sehingga tidak mendengar dan tidak menengoknya.

   "Ah, kutu buku itu agaknya tidak tahu apa-apa yang terjadi di sekitarnya, kecuali buku dan rIbuan huruf yang menari di depan matanya."

   Pek Giok berpikir sambil tersenyum. Kemudian dengan gerakan yang amat ringan ia keluar dari jendela itu, lari ke belakang dan melompat ke atas genteng. Benar saja, ia melihat bayangan seorang laki-laki tinggi besar tengah berlutut di atas genteng dan mengintai ke dalam kamarnya. Pek Giok tersenyum geli dan dengan gerakan lincah dan ringan ia melompat ke belakang orang itu dan membentak.

   "Anjing muka hitam kau sedang mencari apakah?"

   Bukan main kagetnya orang itu karena bagaimana ada orang datang sampai ke belakangnya tanpa diketahuinya sedikitpun? ia cepat menengok dan kekagetannya bertambah ketika mendapat kenyataan bahwa yang datang dan membentaknya ini bukan lain adalah dara jelita yang kamarnya sedang diintai!

   (Lanjut ke Jilid 05)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05

   Laki-laki tinggi besar bermuka hitam ini sebetulnya adalah seorang penjahat cabul yang tertarik oleh kecantikan Pek Giok dan mencoba untuk mengganggu gadis itu. Akan tetapi Pek Giok tidak mempunyai dugaan sampai di situ dan ia hanya mengira bahwa si muka hitam ini tentulah seorang pencuri biasa saja. Kalau ia tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang Jai-Hwa-Cat yang keji, tentu gadis ini takkan mau memberi ampun dan membunuhnya di tempat dan di saat itu juga.

   "Maling rendah, kau datang hendak mencuri?"

   Sekali lagi Pek Giok memaki. Laki-laki itu saking gugup dan herannya tak dapat menjawab, dan karena ia mendapat kenyataan bahwa calon korbannya ini ternyata seorang gadis gagah perkasa, niatnya untuk mengganggu lenyap dan ia menjadi malu dan marah. Dicabutnya senjatanya, yakni sebuah ruyung berduri yang tergantung pada pinggangnya dan tanpa berkata sesuatu ia menubruk dengan pukulan ruyungnya.

   "Bangsat, kau perlu dihajar!"

   Seru Pek Giok melihat serangan dahsyat ini. Cepat ia mengelak ke kiri dan ketika ia mengulurkan tangan menyampok, si muka hitam itu memekik keras dan ruyungnya terlepas dari tangannya, jatuh menerbitkan suara nyaring di atas genteng. ia menggunakan kedua tangannya memegangi telinga kanannya yang terkena sampokan jari tangan Pek Giok dan ternyata bahwa daun telinganya telah pecah-pecah dan hanya tinggal sedikit saja yang menempel di kepalanya! Bukan main hebatnya sampokan jari tangan Pek Giok tadi.

   "Hm, aku masih mengampuni jiwamu agar kau mendapat kesempatan untuk merubah cara hidupmu!"

   Kata Pek Giok yang tidak tega untuk membunuh atau membuatnya tercacat tangan kakinya, mengingat bahwa Ayahnya sendiripun seorang perampok!

   Pada saat itu, di bawah genteng terdengar suara rIbut-rIbut dan arahnya dari dalam kamarnya, maka Pek Giok cepat melompat turun dan berlari ke kamarnya. ia melihat dua bayangan orang berkelebat keluar dengan cepat sekali sehingga tak terlihat nyata siapa orangnya. Karena heran dan tidak tahu mereka itu siapa, Pek Giok cepat memasuki kamarnya dan alangkah herannya ketika ia melihat bahwa buntalan pakaian dan pedangnya telah dicuri orang! Tadi ketika ia menemui penjahat muka hitam memang tidak membawa pedangnya karena untuk menghadapi seorang lawan yang suara kakinya masih terdengar dari bawah, tak perlu mempergunakan senjata! Dari perasaan heran dan kaget, Pek Giok menjadi marah sekali.

   "Kurang ajar!"

   Serunya dan ia cepat melompat lagi ke atas genteng karena mengira bahwa yang mencuri barang-barangnya tentulah kawan-kawan dari si muka hitam tadi. Akan tetapi ketika tiba di atas genteng, bayangan si muka hitam sudah lenyap, bahkan ruyung yang jatuh di atas genteng tadipun sudah dibawa pergi oleh Jai-Hwa-Cat yang sebelah telinganya telah putus!

   Bukan main marahnya hati Pek Giok. ia teringat bahwa dua bayangan orang yang berkelebat keluar dari kamarnya tadi menuju ke barat, maka ia lalu melakukan pengejaran ke arah itu dengan cepat, melewati rumah-rumah penduduk Sining. Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu di atas genteng-genteng itu, maka dengan hati gemas sekali ia lalu melanjutkan perjalanannya dan langsung menuju ke benteng di mana Pangeran Liang Tek Ong bermalam. Gadis ini memang tabah dan keberaniannya luar biasa di samping kekerasan hatinya. Sekali ia mempunyai niat hendak menyelidik dan kalau mungkin merampas peti hitam terisi surat-surat rahasia dari Pangeran itu, biarpun kini ia tidak berpedang lagi, ia tidak takut sama sekali! ia mempergunakan ilmu lari cepat dan tubuhnya melompat-lompat dari wuwungan demikian gesitnya bagaikan seekor burung besar melayang-layang.

   Pakaiannya yang berwarna hijau itu, di dalam gelap malam nampak kehitam-hitaman. Rambut dan ikat pinggangnya melambai-lambai tertiup angin ketika ia bergerak maju dengan cepatnya. Setelah ia tiba di dekat benteng sehingga tembok benteng itu telah kelihatan remang-remang, tiba-tiba ia melihat bayangan putih berkelebat di depan, melompat turun dari atas genteng dan berlari menuju ke tembok benteng itu! ia menjadi marah karena mengira bahwa itulah orang yang mencuri buntalan dan pedangnya, maka ia percepat larinya mengejar ke depan. Terdengar teriakan para penjaga yang menyerang si baju putih itu, akan tetapi dengan kecepatan luar biasa si baju putih itu melompat ke atas tembok yang amat tinggi itu dan lenyap! Para penjaga masih rIbut-rIbut ketika Pek Giok tiba di pinggir tembok.

   Pek Giok tidak memperdulikan mereka dan langsung ia menghampiri tembok benteng itu. Para penjaga dapat melihatnya dan segera mereka maju dengan tombak dan pedang di tangan! Akan tetapi, begitu Pek Giok bergerak dan kedua tangan dan kakinya menyerang, robohlah empat orang penjaga yang menyerang paling depan. Dara pendekar itu lalu lari menjauhi penjaga-penjaga yang mengeroyoknya dan cepat melompat ke atas tembok benteng menyusul bayangan putih tadi. Terdengar angin senjata menyambar dari bawah dan ternyata para penjaga itu telah melepaskan anak panah kepadanya. Akan tetapi, Pek Giok telah tiba di atas tembok dan dengan mudah sekali ia menggunakan kaki kirinya menendang anak panah yang menyambar ketubuhnya bagian bawah, sedangkan yang menyambar di bagian atas ia sampok dengan tangannya!

   Para penjaga di bawah dapat melihat gerakan ini dengan tegas karena pada saat itu bulan telah muncul dari balik awan yang tadi menutupinya. Tentu saja mereka berdiri bengong dan terheran-heran menyaksikan kelihaian gadis muda itu yang dengan tangan serta kakinya dapat menangkis serangan anak-anak panah sedemikian mudahnya. Pek Giok cepat melompat dari atas tembok itu ke bawah dan tiba di atas genteng bangunan yang terdekat dengan tembok. ia tidak melihat lagi si bayangan putih tadi, maka ia teringat kembali akan niatnya menyelidiki Pangeran Liang Tek Ong. Dengan berani ia lalu melompat ke atas wuwungan dari bangunan yang paling besar dan tinggi, mendekam di atas wuwungan sebentar untuk memandang ke kanan kiri bagaikan seekor burung garuda yang besar.

   Dari atas ia dapat melihat kesIbukan para penjaga yang sudah memberi laporan ke dalam dan ia bahkan melihat beberapa orang perwira bersiap untuk mencarinya. Cepat ia membuka genteng dan mengintai ke dalam bangunan terbesar. Ternyata ia telah membuka genteng yang tepat karena di bawah ia melihat seorang yang berpakaian sebagai pembesar tinggi sedang duduk menghadapi dua orang perwira Mongol yang memakai topi besi berujung runcing dan di kanan kiri pembesar itu terdapat pula lima orang perwira Kerajaan yang berdiri dengan pedang tajam di tangan! Seorang perwira masuk dari luar dan pembesar itu memandangnya dengan mata marah karena merasa terganggu perundingannya. Perwira itu memberi hormat dan berkata.

   "Maafkan hamba, Taijin. Hamba sekali-kali tak berani datang mengganggu kalau tidak ada peristiwa penting. Baru saja benteng kita telah dimasuki dua orang jahat yang berkepandaian tinggi, maka hamba datang membuat laporan agar supaya Taijin berjaga-jaga."

   Pek Giok dapat menduga bahwa pembesar itu tentulah Pangeran Liang Tek Ong sendiri, maka hatinya menjadi berdebar girang. Pangeran Liang Tek Ong menjadi terkejut mendengar ini dan tak terasa pula tangannya meraba ke atas sebuah bungkusan kain merah yang terletak di hadapannya. Bungkusan itu berbentuk segi empat.

   "Mengapa kalian tidak menangkap mereka? Apakah kalian tidak becus menghadapi dua orang bajingan kecil saja?"

   "Baik, Taijin. Kami pasti akan membekuk mereka. Kami sedang berusaha mencari mereka!"

   Perwira itu memberi hormat lagi lalu keluar dari ruangan itu karena ia tidak ingin mendapat kemarahan makian lebih lanjut. Pangeran itu memandang kepada kedua orang tamunya.

   "Bagaimana baiknya? Apakah perundingan kita, dilanjutkan saja besok pagi setelah keadaan menjadi aman?"

   Terdengar dua orang perwira Mongol itu tertawa.

   "Taijin, mengapa merIbutkan gangguan dua orang penjahat kecil? Ha, ha, ha! Biarlah mereka masuk ke sini kalau mampu, kami berdua masih sanggup membekuk batang leher dua orang penjahat itu, yakni kalau kiranya perwira-perwira pengawal Taijin tidak sanggup melakukannya."

   Ucapan ini terdengar sombong dan memandang rendah kepada para perwira pengawal, maka kelima orang pengawal yang berdiri dengan pedang di tangan itu lalu berkata.

   "Taijin, lanjutkanlah saja perundingan. Hamba berlima takkan membiarkan penjahat-penjahat kecil masuk ke ruangan ini!"

   Akan tetapi, tiba-tiba di atas genteng ruangan itu terdengar suara orang menjerit. Ternyata bahwa seorang perwira telah melihat Pek Giok mendekam di atas wuwungan. ia berseru keras memberi tanda kepada kawan-kawannya, sedangkan ia sendiri dengan golok di tangan menubruk Pek Giok yang sedang berlutut mengintai ke dalam. Gadis itu membiarkan dirinya ditusuk golok, dan ketika golok telah dekat dengan punggungnya, tiba-tiba ia menggulingkan tubuhnya dan sekali kakinya bergerak, maka kakinya telah masuk ke dalam perut perwira itu yang menjerit ngeri dan tubuhnya terpental sampai ke bawah genteng!

   Pek Giok tidak mau bersembunyi lagi, lalu dengan kakinya ia menghancurkan beberapa buah genteng sehingga pecahan genteng itu jatuh ke dalam ruangan sidang, lalu disusul oleh tubuhnya yang melompat turun! Kedatangannya mengejutkan Pangeran Liang Tek Ong yang cepat memondong bungkusan kain merah itu, sedangkan lima orang pengawal tadi lalu maju mengurung dengan pedang mereka. Adapun dua perwira Mongol itu hanya enak-enak duduk saja sambil minum arak mereka, seakan-akan yang dihadapinya adalah sebuah lelucon belaka! Lima orang perwira pengawal itu merasa terkejut sekali karena tak pernah mereka sangka bahwa yang datang adalah seorang dara muda yang cantik dan gagah. Akan tetapi seorang diantara mereka ikut menyerang Tan Koan slang tadi, maka ia mengenal gadis ini sebagai penolong Tan Koan. ia lalu berseru.

   "Dia adalah gadis kawan pemberontak di telaga tadi! Tangkap!"

   "Tidak, jangan tangkap hidup-hidup!"

   Seru Pangeran Liang dengan amat marah.

   "Bunuh dia! Bunuh perempuan durjana ini!"

   Akan tetapi Pek Giok sama sekali tidak merasa takut, bahkan ia tersenyum mengejek dan berkata kepada Pangeran Liang Tek Ong,

   "Beginikah macamnya seorang pengkhianat? Memang benar berhati kejam! Liang Tek Ong, aku datang untuk mengambil barang yang kau bawa-bawa itu!"

   Sambil berkata demikian tiba-tiba tubuhnya mencelat maju ke arah Pangeran itu, akan tetapi lima orang perwira pengawal itu cepat menyerangnya dari kanan kiri sehingga Pek Giok terpaksa harus mengelak dan hanya dapat mengirim pukulan ke arah dada Pangeran Liang Tek Ong dari jarak jauh. Namun ia telah mempergunakan ilmu pukulan Soan-Hong-Jiu atau Pukulan Angin yang mengandung tenaga khikang luar biasa sehingga biarpun ia berada di tempat jauh kira-kira dua tombak, namun angin pukulannya cukup kuat menghantam sasarannya!

   Pangeran Liang Tek Ong dengan ketakutan memeluk bungkusan kain merah itu dan tiba-tiba ia merasa ada tenaga yang keluar dari pukulan gadis itu mendorongnya sehingga benda yang dipegangnya itu terlepas dari tangannya. Kain merah terbuka dan ternyata benar dugaan Pek Giok, karena benda yang terbungkus itu ternyata adalah sebuah peti kecil hitam yang berukir dua ekor naga! Inilah peti yang dimaksudkan oleh mendiang Tan Koan, yakni peti yang berisi dokumen-dokumen atau surat-surat rahasia yang dapat membongkar pengkhianatan Pangeran itu. Sementara itu, kelima orang pengawal tadi dengan marah lalu menyerang dengan pedang mereka.

   Pengawal-pengawal ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, karena mereka ini adalah pengawal-pengawal yang tingkat kepandaiannya menduduki kelas dua dari para jago-jago Istana. Akan tetapi menghadapi Pek Giok yang bertangan kosong, mereka dipermainkan bagaikan tikus gesit mempermainkan lima ekor kucing tua ompong dan tak berkuku! Tubuh gadis itu berkelebatan di antara sambaran pedang sehingga lenyap dari pandangan para pengeroyoknya dan membuat mereka merasa pening. Baru belasan jurus saja mereka mengeroyok, dua orang pengawal telah terkena pukulan tangan Pek Giok yang ampuh dan mereka roboh tak dapat bangun lagi! Sekarang barulah kedua orang perwira Mongol itu berdiri dari tempat duduknya dan dengan tenang mereka lalu mencabut senjata mereka, yakni sebatang cambuk besi yang ujungnya dipasangi bola berduri.

   "Cuwi-Ciangkun (perwira-perwira sekalian), silakan mundur dan biarkan kami menangkap si cantik ini!"

   Setelah berkata seorang diantara mereka yang bertubuh pendek mengayun cambuknya ke arah Pek Giok.

   Terdengar suara melengking kecil ketika senjata itu menyambar dan Pek Giok menjadi kaget bukan main karena sambaran senjata itu mendatangkan angin pukulan yang hebat! ia cepat mengelak dan maklum bahwa ia sedang menghadapi lawan tangguh. Benar saja, karena cambuk itu tiba-tiba terputar-putar dan mengurungnya dengan rapat sehingga biarpun ia telah mempergunakan ginkangnya untuk mengelak, namun ia tak mendapat kesempatan sama sekali untuk balas menyerang! Baru ia merasa menyesal karena telah kehilangan pedangnya, karena kalau ia memegang senjatanya, tak mungkin ia didesak sedemikian rupa sehingga tak dapat balas menyerang sama sekali. ia mulai menjadi gelisah, apalagi ketika melihat belasan orang perwira mulai masuk seorang demi seorang dari segenap penjuru dan ia menjadi terkurung rapat!

   Tidak ada jalan keluar baginya, dan untuk mengalahkan perwira Mongol yang pendek ini bukanlah hal yang mudah! Apalagi kalau yang seorang lagi ikut menyerang, habislah riwayatnya! Tiba-tiba sesosok bayangan putih melayang turun dari atas genteng dan bagaikan seekor burung yang gesit, bayangan itu menyambar ke arah Pangeran Liang Tek Ong! Melihat gerakan ini, perwira Mongol yang kedua, yang bertubuh tinggi besar, berseru marah dalam bahasa Mongol dan menyabet dengan senjatanya yang panjang ke arah bayangan yang ternyata adalah seorang pemuda berpakaian putih yang tampan itu. Akan tetapi pemuda itu benar-benar lihai sekali, karena secepat kilat ia telah mencabut pedangnya dan menangkis sabetan itu, sementara tangan kirinya masih sempat untuk diulur dan merampas peti kecil yang dipegang oleh Pangeran Liang Tek Ong!

   "Celaka! Tangkap... bunuh..."

   Seru Pangeran itu dengan wajah pucat dan saking kaget dan gugupnya ia hanya dapat berteriak-teriak tidak karuan. Pemuda itu mundur sambil tersenyum dan berkata.

   "Pangeran Liang Tek Ong! Kalau kau tidak mengakhiri pengkhianatanmu, seluruh keluargamu akan ditangkap dan dihukum gantung!"

   la lalu tertawa bergelak dan ketika kembali perwira Mongol tinggi besar itu mengeroyok dengan cambuknya yang mengerikan, pemuda itu hanya menangkis dengan amat mudahnya. Kemudian pemuda itu melemparkan pedang yang tadi dipakai untuk menangkis ke arah Pek Giok yang diserang oleh perwira Mongol bertubuh pendek itu. Pek Giok cepat mengulur tangannya dan ketika ia memegang gagang pedang itu, hampir berteriak keras karena marah, terkejut dan heran. Pedang itu adalah pedangnya Cheng-Liong-Kiam! ia cepat menengok dan melihat bahwa bayangan putih itu adalah pemuda tampan yang tadi ia lihat membaca kitab dalam kamar di seberang kamarnya, pemuda yang disangkanya kutu buku itu! Dan yang lebih menggemaskan hatinya lagi adalah ketika ia melihat buntalan pakaiannya kini digendong di atas punggung pemuda itu!

   "Maling!"

   Seru Pek Giok marah.

   "Nanti akan datang saatnya aku memberi hajaran kepadamu!"

   Sambil berkata demikian Pek Giok menangkis datangnya sambaran cambuk lawannya.

   "Ha, ha, ha! Malingnya ada di sana!"

   Seru pemuda itu dan ketika Pek Giok menengok, ternyata pemuda itu mengelak dari serangan perwira Mongol dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke samping kiri di mana berdiri seorang pemuda yang bukan lain adalah pemuda kurus tinggi yang ia lihat berada di ruang depan hotel ketika ia mula-mula masuk ke dalam rumah penginapan itu! Pemuda tinggi kurus itu cepat menangkis serangan pemuda baju putih dengan goloknya, akan tetapi alangkah kagetnya ketika goloknya mengeluarkan suara keras dan terpotong menjadi dua oleh pedang si baju putih.! Para perwira tidak mau tinggal diam dan maju mengeroyok pemuda baju putih yang lihai itu sehingga ruangan itu penuh dengan orang-orang yang kini mengeroyok Pek Giok dan si pemuda baju putih itu.

   "Mari kita pergi!"

   Pemuda baju putih itu berseru kepada Pek Giok.

   "Tidak sudi!"

   Jawab Pek Giok merengut.

   "Aku harus robohkan dulu sekalian anjing ini!"

   "Ha, ha, bocah nakal! Kau takkan sanggup, mereka terlalu banyak dan kuat!"

   Kata pemuda itu sambil memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga para pengeroyoknya terpaksa melangkah mundur.

   "Tutup mulutmu!"

   Pek Giok membentak marah.

   "Kalau kau takut, pergilah sendiri, pengecut!"

   Kembali pemuda itu tertawa dan suara tawanya yang penuh kesabaran dan merdu itu seakan-akan menusuk hati Pek Giok karena terdengar olehnya seperti mengejeknya.

   "Baiklah, kalau berkepala batu, aku pergi membawa peti rahasia dan sekalian pakaian-pakaianmu!"

   Sambil berkata demikian, pemuda baju putih itu memutar pedang membuka jalan keluar, akan tetapi benar-benar pengeroyoknya berusaha keras untuk mencegahnya keluar, terutama cambuk perwira Mongol itu amat lihai dan merupakan penghalang yang paling kuat sekali. Sementara itu, mendengar pemuda itu menyebut-nyebut peti rahasia, teringatlah Pek Giok bahwa kedatangannya ialah bukan lain hanya dengan maksud merampas peti itu. Kini peti itu telah berada di tangan pemuda baju putih yang kurang ajar, dan pakaian-pakaiannyapun akan dibawa pergi pula! ia teringat akan pesan mendiang Tan Koan bahwa ia harus menjaga agar peti itu jangan sampai dirampas orang lain. Maka ia berseru keras.

   "Kau hendak lari ke mana? Tinggalkan dulu peti dan buntalan!"

   "Ha, ha, ha! Kalau sanggup, kejarlah!"

   Demikianlah, sambil bercekcok mulut, Pek Giok memaki-maki dan pemuda itu memperolok-oloknya, kedua orang muda yang amat lihai itu memutar pedang mereka dengan hebat. Pedang Pek Giok berubah menjadi segulung sinar kehijauan, bagaikan seekor naga hijau yang benar-benar hidup dan menyambar-nyambar sehingga beberapa orang perwira telah terluka dan mengundurkan diri.

   Sedangkan pedang di tangan pemuda baju putih itu menjadi segulung sinar keputihan bagaikan perak, juga tidak kalah hebat dan ganasnya sehingga ia berhasil merobohkan beberapa orang dan bahkan cambuk besi di tangan perwira Mongol tinggi besar itu telah terbabat putus! Sepak-terjang Pek Giok dan pemuda itu benar-benar membuat hati para pengeroyok menjadi gentar sekali dan mereka merasa lebih takut ketika melihat betapa Pek Giok berhasil merobohkan perwira Mongol yang pendek dengan sebuah pukulan tangan kiri yang disertai tenaga lweekang, sedangkan pemuda baju putih itu setelah membuat putus cambuk perwira Mongol tinggi besar yang lihai, telah merobohkan dua orang perwira pengawal yang paling tangguh pula! Para pengeroyok mundur dan kepungan mengendur.

   "Aku pergi dulu!"

   Seru pemuda baju putih itu dan tubuhnya digenjot naik ke atas dan tepat sekali memasuki lobang di genteng yang dIbuat oleh Pek Giok tadi! Pek Giok ikut melompat dan ketika beberapa orang perwira maju hendak menghalanginya tiba-tiba dari atas genteng menyambar turun potongan-potongan genteng bagaikan hujan lebat. Potongan-potongan genteng itu menyambar dengan cepat sekali ke arah para perwira yang hendak menghalangi Pek Giok sehingga terpaksa mereka menjaga diri dan mengurungkan niatnya hendak menyerbu dan menghalangi gadis itu, karena biarpun hanya pecahan genteng, namun karena disambitkan dengan tenaga yang luar biasa, kalau mengenai kepala maka kepala bisa pecah atau sedikitnya bocor karenanya! Pek Giok berhasil melarikan diri dengan selamat dan ketika ia menerobos lobang di atas itu, ia membentak.

   "Aku tidak membutuhkan pertolonganmu!"

   Akan tetapi pemuda baju putih itu hanya tertawa bergelak dan cepat mendahului Pek Giok melompat ke arah wuwungan bangunan dekat tembok. Pek Giok menyusul dan mencoba mengejar pemuda itu yang ternyata memiliki ilmu ginkang yang luar biasa sekali. Ketika mereka tiba di atas wuwungan itu, tiba-tiba dari belakang menyambar puluhan batang anak panah dan senjata rahasia lain yang dilepaskan oleh para pengejar. Mereka berdua lalu menggunakan pedang untuk menangkis semua senjata yang terbang menyambar.

   "Ambil jalan ini!"

   Seru pemuda baju putih itu kepada Pek Giok sambil melompat ke atas tembok benteng. Bukan main cepatnya gerakan pemuda itu, akan tetapi Pek Giok tidak mau kalah cepat, ia mengejar dan dengan sekali lompatan saja ia telah tiba pula di atas tembok. Pada saat itu, dari depan dan kanan kiri menyambar puluhan batang anak panah ke arah Pek Giok! Ternyata bahwa pemuda itu melompat di atas tembok yang terhalang oleh bangunan, sedangkan Pek Giok melompat di atas tembok yang terbuka, maka dialah yang dijadikan sasaran anak panah.

   Gadis itu terkejut sekali karena tembok benteng itu atasnya dibikin tajam dan kecil sekali sehingga sukarlah untuk melakukan gerakan mengelak. Untuk menangkis sambaran senjata yang datang dari depan, kanan kiri, dan juga dari belakang karena para pengejar masih menghujankan senjata rahasia, amatlah sukarnya. ia memutar pedangnya sedemikian rupa, dan berhasil menangkis semua senjata, akan tetapi gerakan yang cepat dan bertenaga ini membuat ia kehilangan keseimbangan tubuh dan ia terguling ke bawah dari tempat yang amat tinggi. Pada saat itu, tiba-tiba tangannya terpegang dengan kuatnya oleh pemuda baju putih yang sudah melompat ke atas tembok di mana tadi ia berdiri dan sekali tarik saja Pek Giok sudah berdiri lagi di atas tembok. Saat itu, kembali ratusan anak panah dari empat penjuru menyambar.

   "Lompat ke sana!"

   Seru pemuda itu sambil menunjuk ke arah wuwungan yang berada di bawah tembok, yakni wuwungan penjaga di luar benteng. Akan tetapi, karena gerakannya menolong Pek Giok tadi, ia kurang cepat melompat dan sebatang anak panah masih mengenai punggungnya sebelah atas. Harus diketahui bahwa tembok yang mereka lalui untuk melarikan diri ini berbeda dengan tembok dari mana mereka tadi masuk. Ketika mereka tadi memasuki benteng, mereka masuk dari depan yang temboknya tidak tinggi karena di depan penuh dengan penjaga. Akan tetapi sekarang, karena tidak ingin bertemu dengan banyak penjaga, pemuda itu mengambil jalan dari belakang yang temboknya luar biasa tingginya dan tak mungkin melompat turun dari tempat setinggi itu tanpa membahayakan keselamatan diri.

   Pemuda baju putih itu menggigit bibirnya menahan rasa sakit dan bersama Pek Giok dapat melompat ke wuwungan rumah penjaga itu dengan Baik. Kemudian dari situ mereka melompat ke bawah. Puluhan orang penjaga sudah siap menanti kedatangan mereka, akan tetapi penjaga ini hanyalah orang-orang biasa saja dan sekali putar pedang mereka, Pek Giok dan pemuda itu telah merobohkan empat orang penyerbu! Kemudian keduanya berlari cepat dan menghilang di dalam bayangan pohon. Pek Giok yang masih mendongkol kepada "maling"

   Ini, hendak cepat-cepat sampai di tempat sunyi untuk menyerangnya, akan tetapi ketika bulan menyinarkan cahayanya, ia melihat betapa di punggung pemuda baju putih itu menancap sebatang anak panah.

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, kau terluka!"

   Teriak Pek Giok terkejut sekali dan pada saat itu lenyaplah semua kegemasannya, terganti oleh rasa kekhawatiran besar. Akan tetapi pemuda itu berlari terus dan tidak menjawab kata-katanya, sehingga Pek Giok hanya memandangnya saja sambil berlari cepat, menurut saja kemana si baju putih itu menuju. Setelah malam berganti fajar dan mereka tiba di dalam sebuah hutan, barulah pemuda baju putih itu berhenti. ia mengeluh, melemparkan peti kecil yang dirampasnya dari Pangeran Liang Tek Ong ke atas tanah, melepaskan pula sarung pedang dan buntalan pakaian dari punggungnya,

   Kemudian ia duduk di atas rumput dengan tubuh kelihatan lemah dan muka meringis kesakitan. Tanpa bicara sesuatu kedua tangannya meraba anak panah yang masih menancap di punggung dan mencoba untuk mencabutnya. Akan tetapi karena anak panah itu menancap di tubuh belakang, agak sukarlah untuk mencabutnya. Tadinya Pek Giok hanya memandang terheran-heran melihat pemuda itu melemparkan peti rahasia, pedang dan buntalan begitu saja ke atas tanah tanpa khawatir kalau-kalau ia akan merampasnya. Kemudian melihat pemuda itu bersusah-payah hendak mencabut anak panah, timbul perasaan kasihan dalam hatinya. ia melangkah maju, berlutut di belakang pemuda yang duduk di atas tanah itu dan berkata.

   "Diam dan jangan bergerak! Biar aku cabutkan anak panah ini!"

   Pemuda itu diam saja dan duduk tak bergerak, kedua tangannya menekan kedua pundak sendiri dan mengerahkan tenaga untuk menjaga aliran darah agar jangan terganggu oleh luka itu. Pek Giok lalu menggulung kedua lengan baju sehingga lengannya yang berkulit putih halus itu tampak. ia pergunakan tangan kanan memegang anak panah, sedangkan tangan kirinya digunakan untuk menahan punggung orang.

   "Tahankan, hendak kucabut!"

   Katanya dan dengan gerakan cepat mencabut.

   "Aduh...!"

   Pemuda itu berseru perlahan, akan tetapi anak panah telah tercabut oleh Pek Giok. Cara mencabut anak panah membutuhkan tenaga yang ahli, karena kalau dicabut begitu saja mengandalkan tenaga kasar, banyak sekali bahayanya kepala anak panah yang meruncing ke belakang di kanan kiri itu akan mengait dan tertinggal di dalam daging. Pek Giok telah mempelajari cara mencabut anak panah dan senjata rahasia lain dari Kiok Sin Sianli, maka sekali cabut saja ia dapat menarik keluar anak panah itu dengan Baik. Setelah anak panah dicabut, rasa sakit lebih hebat lagi maka pemuda itu menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit.

   "Tolong balutkan luka itu,"

   Katanya kepada Pek Giok dengan suara seakan-akan mereka telah menjadi sahabat karib semenjak waktu lama.

   "Nanti dulu, harus diberi obat dulu."

   Kata Pek Giok sambil bangun berdiri.

   "Di mana ada obat dalam hutan seperti ini?"

   "Tunggulah saja!"

   Pek Giok lalu pergi dari tempat itu dan tak lama kemudian ia membawa segenggam bunga rumput warna merah yang kecil-kecil.

   "Bunga rumput merah merupakan obat darurat yang baik untuk mencegah bengkak, membersihkan luka dan menghilangkan rasa sakit,"

   Katanya dan tanpa menanti jawaban pemuda itu, ia meremas-remas bunga kecil-kecil itu sampai hancur dan berair. Kemudian ia balutkan obat itu kepada luka di punggung setelah merobek baju pemuda itu di bagian punggung. ia menekan dengan Ibu jarinya sehingga sebagian, obat itu masuk ke dalam luka tadi, kemudian ia bertanya.

   "Mana kain pembalutnya?"

   "Aku tidak membawa pakaian untuk dipakai sebagai kain pembalut, biar pakai ini saja!"

   Pemuda itu lalu memegang bajunya yang sudah terobek bagian punggung untuk dirobeknya lagi dan digunakan sebagai kain pembalut.

   "Bodoh!"

   Kata Pek Giok mencegahnya, lalu gadis ini mengambil buntalan pakaiannya yang tadi dibawa oleh pemuda itu, membukanya dan mengeluarkan sehelai kain ikat pinggangnya dari sutera kuning.

   "Buka bajumu itu!"

   Katanya memerintah seperti kepada seorang anak kecil. Pemuda itu menurut, akan tetapi ketika ia menggerakkan kedua lengannya, urat-urat di sekitar lukanya ikut bergerak dan ia mengaduh karena bukan main sakitnya.

   "Aku... aku tak dapat membukanya."

   Katanya dan peluh berkumpul di jidatnya karena menahan sakit.

   "Hm..."

   Hanya demikian suara yang keluar dari mulut Pek Giok, akan tetapi kedua tangannya lalu bekerja dan dengan cekatan jari-jari tangannya membuka baju pemuda itu sehingga tubuh bagian atas telanjang. Kemudian, tanpa berkata sesuatu, Pek Giok lalu membalutkan ikat pinggangnya, menutup luka punggung terus dibelitnya ke dada dan diikat erat-erat. Tadinya, setelah membalut luka itu, ia tidak mempunyai niat untuk memakaikan kembali baju pemuda itu yang sudah robek, akan tetapi melihat betapa pemuda itu kedinginan karena tubuh bagian atasnya tidak terlindung sama sekali, kembali ia menggumam.

   "Hm...!"

   Dan tanpa bicara sesuatu ia lalu mengambil baju itu dan mengenakannya kembali di tempat asal. Bagian punggung yang robek kini terganti oleh balut dari ikat pinggang itu sehingga kelihatan seperti tambalan dari dalam!

   "Bagaimana rasanya sekarang? Masih sakitkah?"

   Tanyanya kemudian acuh tak acuh. Pemuda itu tersenyum. Agaknya obat darurat itu telah mulai menunjukkan kasiatnya, karena lukanya tidak terasa sakit lagi, bahkan terasa dingin dan enak. ia menggeleng kepala.

   "Sungguh tak terasa sakit lagi. Terima kasih, kau baik sekali!"

   "Hm... siapa yang baik? Aku melakukan ini bukan karena baik hati kepadamu, akan tetapi karena kau terluka dalam usahamu membantuku, sungguhpun aku sama sekali tidak membutuhkan bantuanmu!"

   "Kau... nona cantik jelita yang kasar! Kasar dan berkepala batu!"

   Kata pemuda itu, akan tetapi mulutnya masih tersenyum dan sepasang matanya memandang kagum dan berseri. Marahlah Pek Giok.

   "Dan kau... kau maling!"

   "Kepala batu!"

   Pemuda itu balas memaki dengan hati geli karena ia merasa betapa lucunya gadis cantik yang menarik hatinya semenjak ia melihatnya di hotel itu.

   "Maling!"

   Pek Giok balas memaki, kemudian tiba-tiba ia berdiri dan menyambar buntalannya dan peti kecil itu.

   "Hei...! Jangan kau ambil peti itu!"

   "Aku menyerbu benteng untuk mengambil peti itu!"

   Bantah Pek Giok sambil memandang tajam dan menantang.

   "Aku telah melakukan perjalanan rIbuan li untuk peti itu!"

   Pemuda baju putih membantah.

   "Tapi aku yang masuk dalam ruang itu lebih dulu."

   Kata Pek Giok.

   "Benar, tapi aku yang merampas peti itu!"

   "Kalau kau tidak datang mengganggu, tentu aku yang akan dapat merampasnya!"

   Kembali Pek Giok membantah.

   "Kau... kau tak berhak! Hayo kembalikan, jangan kau main-main!"

   "Siapa yang main-main? Yang lebih pandai berhak atas peti ini, kalau kau mampu, coba rampas dariku!"

   Pek Giok menantang.

   "Kepala batu!"

   "Maling!"

   Dan Pek Giok lalu melompat pergi dan berlari cepat meninggalkan pemuda yang menjadi marah itu. Si baju putih juga cepat mengambil sarung pedangnya, menggantungkannya di pinggang dengan tangan kaku karena pergerakannya masih amat terganggu oleh lukanya, kemudian ia lalu lari mengejar. Pek Giok berlari cepat sambil mengerahkan ilmu lari cepat Keng-Sin-Sut, dan kalau ia terus berlari seperti itu, tak mungkin pemuda itu akan dapat mengejarnya, karena pemuda itu masih belum sembuh dari lukanya sehingga gerakannya masih amat terhalang. Akan tetapi, sungguh aneh, tiba-tiba gadis itu menengok ke belakang dan ketika ia melihat si baju putih itu mengejarnya dengan susah-payah, timbul perasaan yang amat aneh dalam hatinya dan ia tak sengaja telah mengendurkan tindakan kakinya!

   Entah apa yang terjadi di dalam dadanya, akan tetapi ia benar-benar merasa tidak tega untuk meninggalkan pemuda yang mengejarnya itu, bahkan wajah pemuda itu selalu terbayang di depan matanya. Pandangan mata yang berseri, mulut yang tersenyum-senyum, dan suara makian "kepala batu"

   Itu selalu terbayang dan terdengar, membuat hatinya berdebar aneh dan menimbulkan perasaan"

   Girang! Oleh karena itu, maka si baju putih itu selalu masih dapat melihat bayangan orang yang dikejarnya, sungguhpun ia tak sanggup untuk menyusulnya. Kalau saja lukanya tidak mengganggu, mungkin akan dapat menyusul, karena ilmunya berlari cepat juga sudah mencapai tingkat tinggi. Pemuda ini sambil berlari mengejar, tidak habisnya mengagumi dara itu, dan juga timbul keinginan hatinya untuk menguji ilmu pedang gadis itu yang amat lihai.

   Ia menduga-duga siapakah dara jelita itu dan murid siapa gerangan dara muda yang luar biasa ini. Pek Giok yang berlari ke depan dan biarpun tidak berlari cepat namun selalu menjaga agar jangan sampai tersusul, juga mempunyai pikiran yang serupa. ia ingin pula mencoba kepandaian pemuda itu. Sayang pemuda itu terluka, kalau tidak, tentu ia akan berhenti berlari dan menantang untuk mengadu kepandaian guna memperebutkan peti kecil yang dipegangnya itu! Menjelang tengah hari, Pek Giok tiba di tepi sungai yang menjadi anak sungai Huang-Ho (Sungai Kuning). Di tepi sungai melihat seorang nelayan sedang menjemur jala dan perahunya yang kecil diikat pada sebatang pohon. Karena sungai itu mengalir menuju ke timur, maka Pek Giok lalu menghampiri nelayan itu dan bertanya.

   "Lopek (Paman tua), sungai ini terus mengalir kemanakah?"

   Nelayan itu menunda pekerjaannya dan memandang dengan kagum kepada nona muda yang bertanya kepadanya. Akan tetapi melihat pedang yang tergantung di pinggang Pek Giok, sikapnya berubah menjadi menghormat karena ia maklum nona ini tentulah seorang pendekar wanita yang berkepandaian silat tinggi.

   "Li-Enghiong (Nona Pendekar), sungai ini terus mengalir ke timur dan masuk ke Sungai Huang-Ho, kemudian mengalir terus dengan sungai besar itu ke kota Lancouw!"

   Pek Giok menjadi girang, oleh karena tujuan perjalanannyapun ke kota Lancouw untuk kemudian terus ke timur. Maka ia lalu bertanya.

   "Lopek, aku telah. melakukan perjalanan jauh dan telah lelah. Maukah kau mengantarkan aku ke Lancouw? jangan khawatir, berapa saja biayanya akan kubayar."

   Nelayan itu menjadi girang, karena memang pada waktu itu penghasilan menjala ikan tidak banyak dan ia sudah mulai putus harapan.

   "Boleh, boleh, nona! Biayanya tidak banyak, biasanya hanya tiga tail perak, akan tetapi karena hanya kau sendiri, akan rugilah kalau aku mengantarkan nona dengan biaya sebanyak itu."

   "Biarlah kubayar sepuluh tail, dan lekas antarkan aku."

   Nelayan itu menjadi makin girang dan ia tak pernah mengimpi akan mendapat rejeki sebesar ini. Cepat ia menggulung jalanya dan melemparkannya ke dalam perahu, kemudian ia melepaskan ikatan perahunya.

   "Marilah, nona. Akan tetapi..."

   Ia merasa ragu-ragu dan memandang kepada Pek Giok dengan penuh perhatian, terutama kepada pedang yang tergantung di pinggang nona itu.

   "Ada apa, Lopek?"

   "Aku mendengar kabar bahwa di tapal batas Propinsi Kansu dan Cing-Hai, sering kali muncul bajak sungai. Aku sendiri sih tidak takut apa-apa, karena bajak-bajak sungai tak nanti mau menggangguku yang miskin dan tidak akan suka pula merampas perahu dan jalaku yang tidak berharga ini. Akan tetapi, kalau mereka mengganggu kau..."

   Pek Giok tersenyum.

   "Jangan takut, Lopek. Mereka takkan berani menggangguku, atau kalau mereka mengganggu juga, mereka itu hanya akan mencari mampus sendiri!"

   "Li-Enghiong benar-benar tabah!"

   Nelayan itu memuji.

   "Dan bukannya aku tidak percaya akan kegagahanmu, akan tetapi kalau sampai nona dirampok habis-habisan... dan uang nona pun diambil semua... bagaimana dengan biaya itu...?"

   Pek Giok menjadi mendongkol, akan tetapi geli juga.

   "Apakah kau menghendaki agar aku membayar dulu uang sepuluh tail itu?"

   Merahlah wajah si tukang perahu.

   "Sekali lagi bukan aku tidak percaya kepadamu, nona... akan tetapi..."

   "Sudahlah! Kau boleh terima uang itu lebih dulu. Akan tetapi, kalau uang itu kuberikan kepadamu dan kemudian kita diganggu bajak sungai, apa kau kira uang itu tidak akan dirampasnya pula darimu?"

   Nelayan itu tertawa.

   "Tidak mungkin, nona. Karena uang itu tidak akan ada bersamaku."

   "Bagaimana maksudmu?"

   "Uang itu akan kutinggalkan di rumah, kuberikan kepada isteriku untuk bekal hidup selama aku belum pulang, dan aku hanya akan membawa sedikit bekal saja. Rumahku tidak jauh, nona, itu di hilir, kira-kira dua li dari sini. Aku akan singgah sebentar untuk memberikan uang itu kepada isteriku, baru kita akan melanjutkan pelayaran."

   Pek Giok mengangguk-angguk mengerti dan sambil tersenyum ia berkata.

   "Baiklah, mari kita berangkat. Nanti kalau kau sampai di rumahmu, akan kuberikan uang itu."

   Si nelayan menjadi girang dan pada saat ia hendak masuk ke dalam perahu, tiba-tiba ia melihat seorang baju putih berlari-lari ke arah mereka dan berteriak-teriak.

   "Hei, tukang perahu! Tunggu dulu... Aku ikut..."

   Pek Giok diam-diam tersenyum geli melihat bahwa yang datang itu adalah pemuda baju putih yang mengejarnya. Tukang perahu itu ragu-ragu, akan tetapi ia masih belum mendayung perahunya dan memandang kepada pemuda yang datang itu dengan penuh perhatian.

   "Kau mau apa, Kongcu?"

   Tanyanya ketika pemuda baju putih itu telah berada di situ. ia menyebut Kongcu karena memang pemuda itu pakaiannya seperti seorang terpelajar, sedangkan kini pedangnya tidak kelihatan, agaknya disembunyikan di bawah bajunya.

   "Aku mau ikut!"

   Katanya.

   "Tidak bisa, Kongcu, perahuku telah disewa oleh nona ini. Kami hendak pergi berlayar jauh, sampai ke Lancouw."

   "Memang akupun hendak pergi ke Lancouw!"

   Kata pemuda itu dengan girang. Kembali si tukang perahu menggelengkan kepala.

   "Tidak bisa, Kongcu. Perahuku ini telah diborong sepuluh tail perak oleh nona ini."

   "Aku berani membayar sepuluh tail perak! Perahumu cukup besar, tidak akan terguling ditumpangi oleh tiga orang!"

   Mendengar bahwa pemuda itu berani pula membayar sepuluh tail perak, tergeraklah hati tukang perahu itu. Kalau saja ia dapat menerima tambahan sepuluh tail lagi, ah, alangkah akan senangnya. bininya di rumah! ia mengerling ke arah Pek Giok yang duduk sambil menundukkan muka seakan-akan tidak kenal dan tidak mendengar percakapan itu.

   "Kongcu, seperti kukatakan tadi. Perahuku telah diborong oleh nona ini dan hanya nona inilah yang berhak untuk memutuskan apakah aku boleh menerima penumpang lain atau tidak. Tentang kekuatannya, jangankan baru tiga orang, biar ada sepuluh orangpun, perahuku ini akan kuat membawanya!"

   "Kalau begitu, coba kau tanyakan kepada nona penumpangmu itu. Kurasa ia tidak begitu kejam hatinya untuk membiarkan seorang lain ditinggalkan di tempat sunyi ini, karena perahumu hanya satu-satunya yang berada di sini,"

   Kata pemuda baju putih itu.

   "Bagaimana, nona?"

   Tanya tukang perahu kepada Pek Giok.

   "Bolehkah Kongcu ini ikut naik ke dalam perahu?"

   Karena Pek Giok telah duduk di dalam perahu yang tertutup bilik bambu, maka ia lalu menjenguk ke dalam dan menambahkan dengan suara perlahan.

   "Nona, dia kelihatan orang baik-baik, muda, tampan, terpelajar dan sopan santun... dan..."

   "Sukamulah!"

   Jawab Pek Giok dengan suara keras.

   "Aku tidak perduli siapa saja yang hendak ikut, asalkan kau jaga benar-benar bahwa ia bukan seorang laki-laki ceriwis dan kurang ajar!"

   Tukang perahu itu menjadi girang sekali. ia berkata kepada si baju putih dengan mata berseri.

   "Naiklah, Kongcu, akan tetapi kuharap Kongcu jangan mengganggu nona yang memborong perahu ini. Kalau Kongcu melanggar kesopanan, terpaksa aku akan mendorongmu keluar dari perahu!"

   "Dan membiarkan aku terjungkal ke dalam air?"

   Tanya si baju putih sambil naik ke dalam perahu.

   "Ya,"

   Jawab si tukang perahu.

   "kalau kau berani kurang ajar terhadap nona di dalam perahu, kau akan kudorong keluar dengan dayungku ini!"

   Pemuda itu tersenyum, karena biarpun mulut si tukang perahu itu berkata demikian, namun matanya dipejamkan sebelah dengan lucunya.

   "Tidak, Lopek, aku takkan berani berbuat demikian. Aku akan duduk diam seperti patung batu!"

   Perahu lalu didayung ke hilir dan karena air sungai itu mengalir cepat, maka ditambah dengan dorongan dayung, perahu itu meluncur dengan lajunya. Kurang lebih dua li di sebelah hilir, tukang perahu minggirkan perahunya dan ternyata mereka tiba di sebuah dusun kecil di tepi sungai. Di dalam dusun inilah tempat tinggal si tukang perahu bersama isteri dan tiga orang anaknya. ia menerima uang sepuluh tail dari Pek Giok dan sepuluh tail pula dari pemuda itu. Sambil berlari-lari girang tukang perahu meninggalkan mereka dan pulang untuk menyerahkan uang itu kepada isterinya. Setelah berada berdua saja, barulah Pek Giok membuka mulut kepada si baju putih itu.

   "Apakah kau sengaja hendak mengikuti perjalananku?"

   Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pemuda itu tersenyum.

   "Aku sendiripun hendak ke Lancouw, siapa yang mengikuti perjalananmu? Betapapun juga, peti itu harus kau berikan kepadaku!"

   "Sombong! Coba saja kalau kau bisa. Kau seorang maling, seorang ahli mencuri, coba saja kau curi barang ini dari tanganku kalau kau sanggup!"

   "Hm, kaulah yang sombong. Kalau lukaku sudah sembuh sama sekali, apakah sukarnya merampas barang itu dari tanganmu?"

   "Baik, aku tunggu sampai kau sembuh. Hendak kulihat kau dapat berbuat apa kepadaku!"

   

Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini