Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 6


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



Pek Giok menantang dan pemuda itu hanya tersenyum saja, sungguhpun sepasang matanya merasa amat penasaran melihat kesombongan gadis yang memandang rendah kepadanya.

   "Nona,"

   Katanya kemudian dan suaranya benar-benar terdengar halus dan merdu.

   "Mengapa kau seperti orang yang amat membenciku? Kita baru saja bertemu, tidak ada alasan bagimu untuk membenciku!"

   "Kau maling! Kau mencuri pedang dan buntalanku. Mengapa aku tidak harus membencimu?"

   Pemuda itu tersenyum mengejek.

   "Begitulah kalau orang berhati keras dan berkepala batu! Belum tahu betul sudah menyangka yang bukan-bukan! Siapa yang mencuri? Dengarlah, nona manis, yang mencuri barang-barangmu adalah mata-mata yang dikirim oleh Pangeran Liang Tek Ong! Semenjak kau membantu Tan Koan di tepi telaga itu, kau selalu diikuti dan diamat-amati, kemudian mata-mata yang kurus tinggi itu menggunakan kesempatan selagi kau menghajar Jai-Hwa-Cat di atas genteng, memasuki kamarmu dan barang-barangmu digeledah. Akan tetapi aku melihatnya dan karena tidak sempat memeriksa, ia lalu membawa semua barang-barangmu, berikut pedangmu yang bagus itu. Aku mengejarnya terus sampai ke benteng dan di depan benteng aku berhasil merampas kembali buntalan dan pedangmu, akan tetapi sayang sekali ia keburu lari ke dalam benteng sebelum kuberi hadiah! Nah, aku yang mendapatkan kembali barang-barangmu, akan tetapi apa yang kudapat darimu? Julukan maling! Alangkah tidak adilnya dunia ini!"

   Mendengar penuturan ini, merahlah wajah Pek Giok, akan tetapi diam-diam hatinya girang sekali karena ternyata pemuda yang "ceriwis"

   Ini bukan seorang maling!

   "Hm, kalau begitu, kau telah melepas budi kepadaku,"

   Katanya dengan suara mengejek.

   "Akan tetapi jangan kau kira bahwa untuk membalas budi itu aku akan suka memberikan peti ini kepadamu!"

   Sesungguhnya sikap Pek Giok memang keterlaluan, tidak saja karena terdorong oleh kekerasan hatinya, Akan tetapi juga gadis ini merasa penasaran karena seakan-akan pemuda itu memperlihatkan bahwa dialah yang lebih unggul daripadanya dan selalu menjadi pembantu, dan hatinya yang keras tidak mau kalah tidak mengijinkan ia mengakui bahwa ia "kalah muka"

   Terhadap pemuda itu. Akan tetapi, yang amat mengherankan adalah pemuda baju putih itu, karena biarpun sikap Pek Giok ini cukup untuk mendatangkan penasaran dan marah kepadanya, namun ia tetap tersenyum-senyum dan memandang wajah gadis itu dengan muka berseri.

   "Nona, aku tahu bahwa kau bersikap keras kepadaku karena kita belum berkenalan. Kalau kau sudah mengenalku dan kuberi penjelasan tentang peti kecil itu, tanpa kuminta tentu akan kau berikan kepadaku. Nah, perkenalkanlah, aku bernama Han Bun dan sheku adalah..."

   "Aku tidak ingin mengetahui namamu dan juga tidak ingin memperkenalkan namaku!"

   Pek Giok memotong dengan ketus. ia teringat akan pesan Gurunya, yakni Kok Sin Sianli untuk berlaku hati-hati terhadap pemuda-pemuda tampan yang bermulut manis, karena mereka itu merupakan penggoda-penggoda yang amat berbahaya! Oleh karena itu, tidak mau Pek Giok berkenalan sebelum mengetahui betul-betul keadaan pemuda ini, terutama sekali mengetahui sampai di mana tingkat ilmu kepandaiannya!

   "Ah, kau benar-benar kepala batu!"

   Kata pemuda yang bernama Han Bun itu.

   "Manusia sombong!"

   Pek Giok balas memaki karena marah disebut kepala batu berkali-kali.

   "Kalau aku kepala batu, kau sombong, sombong dan ceriwis!"

   Pada saat itu tukang perahu tadi datang berlari-lari dengan muka girang dan tertawa-tawa.

   "Ah, bukan main girangnya isteriku menerima uang dua puluh tail! Terima kasih, Lihiap, dan kau juga, Kongcu. Kalian berdua benar-benar sepasang orang muda yang berhati mulia!"

   Akan tetapi tiba-tiba ia melihat muka Pek Giok yang cemberut dan muka pemuda baju putih itu yang mengandung penasaran, sungguhpun mulutnya masih tersenyum.

   "He, ada apakah?"

   Tukang perahu itu memandang ke arah Han Bun dengan penuh selidik.

   "Kongcu, sudah kuperingatkan, jangan mengganggu nona ini. Apakah selagi aku pergi..."

   "Siapakah yang sudi diganggu dan siapa pula yang mau mengganggu?"

   Bentak Han Bun dengan hati mendongkol.

   "Hayo kita melanjutkan pelayaran ke Lancouw!"

   Tukang perahu lalu mendayung, sementara itu, Pek Giok diam-diam tersenyum geli. Akhirnya dapat juga ia melihat pemuda itu marah-marah. Tadinya ia telah merasa heran mengapa pemuda itu selalu tersenyum, dan menduga-duga apakah pemuda ini tak pernah marah? ia ingin sekali melihat pemuda baju putih itu marah, dan kini setelah melihat ia marah-marah dan mendongkol, ia merasa geli! Memang Pek Giok adalah seorang gadis yang aneh yang terlalu dimanja oleh Ayah angkatnya, yakni kepala rampok Sam-Thouw-Coa Siok Kong, kemudian dimanja pula oleh ketiga orang Gurunya! Akan tetapi kemudian ternyata kepadanya bahwa Han Bun adalah seorang pemuda yang tidak dapat marah-marah untuk waktu lama, karena sebentar saja ia telah tertawa-tawa lagi dan mengobrol dengan tukang perahu,

   Membicarakan keindahan pemandangan di kanan kiri sungai, dan membicarakan pula tentang keindahan kota-kota besar, terutama Kotaraja yang pernah pula dikunjungi oleh tukang perahu itu. Ketika hari telah menjadi malam, perahu mereka tiba di sebuah lereng pegunungan yang rendah di mana terdapat lapangan rumput yang indah menghijau. Bulan keluar sepenuhnya dan pemandangan sungguh indah. Tukang perahu minggirkan perahunya dan mereka mendarat, duduk di atas rumput. Tukang perahu itu lalu mengeluarkan bekal yang sengaja diberikan oleh isterinya kepadanya, yakni tepung gandum, minyak dan garam. ia lalu membuat api unggun dan mengeluarkan panci dan alat masak. Han Bun nampaknya gembira sekali karena ia lalu menyombongkan kepandaiannya memasak.

   "Biarkan aku membuat masakan yang lezat, Lopek!"

   Katanya.

   "Kongcu pandai masak?"

   "Ah, tidak akan kalah kalau dibandingkan dengan kebanyakan wanita yang pandainya hanya makan saja!"

   Jawabnya sombong dan Pek Giok diam-diam merasa tersindir karena sesungguhnya ia sendiri tak pandai masak sama sekali! ia mengambil keputusan tidak mau makan masakan pemuda itu nanti kalau andainya ditawari.

   "Tunggu dulu, aku pergi mencari bumbu!"

   Kata Han Bun dan ia lalu berlari dan lenyap di balik lereng anak bukit itu. Tak lama kemudian ia datang kembali sambil tertawa-tawa, di tangan kirinya membawa daun-daun yang biasanya dipergunakan untuk bumbu masakan sedangkan tangan kanannya memegangi sepasang telinga panjang seekor kelinci.

   "Ha, Kongcu, dari mana kau mendapat kelinci itu?"

   "Dasar perut kita bertiga sedang mendapat berkah dari dewa air!"

   Kata pemuda itu sambil memandang muka Pek Giok yang segera melengos dan cemberut.

   "Ketika aku sedang mencari bumbu, seekor kelinci yang gemuk ini sedang termenung seorang diri sambil memandang bulan. Agaknya ia teringat akan kekasihnya! Kasihan, sebentar lagi ia akan termenung di dalam perut kita!"

   Tukang perahu itu tertawa bergelak mendengar kelakar ini dan kembali Pek Giok merasa tersinggung, karena pada saat pemuda itu mengucapkan kata-kata ini, kebetulan sekali ia sedang memandang kepada bulan!

   "Nona,"

   Kata tukang perahu itu kepada Pek Giok.

   "Kau lihat, bukankah betul kata-kataku tadi? Kongcu ini orangnya baik, sopan, jenaka, dan pandai masak pula!"

   Akan tetapi Pek Giok bahkan lalu masuk ke dalam bilik perahu dan tidak keluar lagi!

   "Eh, kenapa dia?"

   Tanya tukang perahu kepada Han Bun. Pemuda itu hanya tersenyum da menggeleng kepala sambil memandang arah bilik perahu itu dengan kagum.

   "Ah, ia gagah perkasa, dan amat keras hati"

   Tanpa menjawab pertanyaan Kakek nelayan itu. Setelah bubur gandum telah masak dan daging kelinci dipanggang matang sehingga baunya yang gurih dan sedap itu sampai juga menyerang hidung Pek Giok di dalam perahu, Han Bun lalu minta kepada tukang perahu untuk menawarkannya kepada Pek Giok. Tukang perahu itu bergegas naik ke perahu dan berkata kepada Pek Giok yang masih duduk memandangi bulan purnama.

   "Nona, masakan sudah matang. Silakan kau makan, nona."

   "Aku tidak mau makan,"

   Jawab Pek Giok singkat.

   "Eh, mengapa begitu, nona? Kongcu itu sudah masak dan katanya ia berusaha keras untuk membuat masakan yang luar biasa enaknya untukmu!"

   Ia membohong lalu melanjutkannya.

   "Dan memang kelihatan enak sekali daging kelinci itu."

   Perut Pek Giok memang lapar dan asap daging kelinci ketika dipanggang tadi membuat perutnya makin terasa lapar. Kini mendengar pujian nelayan itu, tak terasa lagi ia menelan air ludahnya. Akan tetapi ia tetap menggelengkan kepalanya.

   "Aku tidak kepingin makan masakannya!"

   Dengan kecewa tukang perahu itu lalu ke darat lagi dan Han Bun hanya tersenyum ketika mendengar tentang jawaban Pek Giok yang menolak tawarannya. Benar-benar kepala batu, pikirnya.

   "Biar aku membawakan masakan untuknya."

   Ia berkata dan ia telah memotong daging yang paling empuk, lalu membawa daging itu bersama semangkok bubur ke dalam perahu.

   "Bu-beng Siocia (Nona Tak Bernama),"

   Katanya jenaka.

   "Hamba datang mengantarkan makan malam, silakan Siocia menikmatinya."

   Ia menaruh makanan itu di depan Pek Giok dengan lagak seorang pelayan.

   "Makanlah sendiri!"

   Kata Pek Giok ke-tus.

   "Aku tidak doyan makan masakanmu. Tentu rasanya tidak karuan!"

   "Ha, ha, Bu-beng Siocia! Belum merasai sudah mencela. Coba saja kau makan, kalau tidak enak boleh kau buang ke dalam air!"

   "Aku tidak sudi!"

   Han Bun menghela napas.

   "Kau benar-benar keras kepala, mengingatkan aku akan..."

   "Akan siapa?"

   Tiba-tiba gadis itu memandangnya dengan mata tajam. Ketika mata mereka bertemu pandang, Han Bun tersenyum lagi. Dari sinar mata dara itu, ia maklum bahwa sesungguhnya nona itu tidak marah atau membencinya, dan bahwa semua sikapnya itu hanya terdorong oleh keangkuhan belaka. Maka ia lalu berkata.

   "Aku pernah melihat patung Dewi Kwan Im yang besar, terbuat dari pada batu pualam di daerah selatan. Indah sekali, cantik jelita, raut wajahnya membayangkan pribadi yang tinggi dan welas-asih, akan tetapi angker dan gagah, seperti... seperti kau inilah! Sayang..."

   "Ya...? Teruskan!"

   "Sayang amat dingin dan berjiwa batu, seperti kau pula!"

   Han Bun lalu meninggalkannya dan melompat ke darat untuk makan bersama tukang perahu.

   Termenunglah Pek Giok seorang diri di dalam perahunya. Kata-kata yang diucapkan oleh pemuda itu masih menggema di telinganya. ia hendak marah, akan tetapi tidak bisa, karena bukankah di samping celaannya, pemuda itu telah memuji-mujinya? Dipersamakan dengan Dewi Kwan Im adalah pujian yang tertinggi dan terindah bagi seorang wanita. Heran sekali mengapa hatinya tidak karuan rasanya dan tidak dapat tentram lagi semenjak pertemuannya dengan pemuda yang bernama Han Bun ini? Pek Giok memandang kepada daging yang terletak di atas piring itu. Memang harum dan sedap baunya. Keangkuhannya melarangnya untuk menjamah daging itu, bahkan kekerasan hatinya mendorongnya untuk membuang makanan itu keluar dari perahu.

   Akan tetapi keinginan-tahuannya lebih besar. ia menjenguk keluar dan melihat betapa pemuda itu sedang makan dengan enaknya bersama tukang perahu itu sambil bercakap-cakap. Api unggun masih bernyala terang di dekat mereka. Pek Giok mengulur jari telunjuknya dan meraba-raba daging itu. Masih hangat dan benar-benar empuk. Warnanya yang kekuning-kuningan karena terpanggang api itu mendatangkan selera. ia menengok lagi dan setelah merasa pasti bahwa mereka tidak sedang memandang ke arahnya, ia lalu mengambil sedikit daging dan dimasukkan ke mulutnya. Alangkah sedap, gurih dan manisnya! Tak terasa tangannya diulur dan mengambil lagi, mengambil lagi sehingga daging itu sebentar saja hanya tinggal tulangnya saja.

   Kelezatan daging itu menambah rasa laparnya, maka iapun lalu mengambil mangkok itu dan makan bubur gandum dengan lambat-lambat. ia sengaja menggeser tempat duduknya ke dalam bilik agar jangan sampai terlihat dari luar! Tiba-tiba Pek Giok mendengar pemuda itu bernyanyi. Suaranya merdu dan pemuda itu bernyanyi memuji keindahan bulan, bernyanyi tentang kegagahan pahlawan-pahlawan kuno, dan terdengarlah suara tukang perahu memuji-muji pemuda itu setelah nyanyian berhenti. Diam-diam Pek Giok juga merasa kagum dan ia merasa heran sekali bagaimana dalam nyanyiannya pemuda itu terdengar amat bergembira dan berbahagia. Siapakah pemuda itu dan dari mana pula? Murid siapakah dia? Diam-diam ia makin mengenangkan pemuda itu dan dalam renungannya penuh dengan bayangan pemuda yang aneh dan menarik hatinya ini.

   "Mengapa melamun saja, nona?"

   Tiba-tiba suara pertanyaan ini membetotnya kembali ke dunia dari alam mimpi dan menung. ia cepat memandang dan wajahnya menjadi kemerah-merahan ketika melihat bahwa yang menegurnya adalah orang yang tadi menjadi buah lamunannya.

   "Ada perlu apakah kau datang lagi?"

   Tanyanya ketus.

   "Aku hendak tidur."

   Kata-kata terakhir ini merupakan pengusiran halus.

   "Tidak ada apa-apa, nona. Jangan khawatir, aku bukan datang hendak mencuri petimu dan pakaianmu. Aku pasti akan mendapatkan peti itu, bukan dengan jalan mencuri, akan tetapi karena kau memberikannya kepadaku secara suka rela, atau dengan mengalahkan pedangmu! Aku hanya hendak bertanya bagaimana rasanya masakanku tadi."

   Pek Giok merasa mukanya menjadi panas karena jengah. ia cepat melirik ke arah mangkok dan piringnya yang sudah kosong. Baiknya sisa tulang kelinci tadi ia buang ke dalam air, maka ia mengira bahwa pemuda itu hanya menduga saja bahwa makanan telah masuk ke dalam perutnya. Dengan gagah ia menjawab.

   "Siapa sudi makan masakanmu yang tidak enak? Kulihat daging itu setengah matang dan bubur itu terlalu encer!"

   "Betulkah? Akan tetapi mangkok dan piring itu kosong..."

   "Tentu saja! Sudah kulempar ke dalam air. Melihatnya saja sudah menimbulkan muak dalam perutku!"

   Tiba-tiba pemuda itu tertawa terbahak-bahak sehingga Pek Giok cepat menatap mukanya, khawatir kalau-kalau pemuda itu benar-benar melihat ia tadi makan bubur dan daging itu. Akan tetapi tak mungkin karena ia tahu betul bahwa ketika ia makan, pemuda itu bersama tukang perahu sedang makan pula dan tempat duduknya terhalang oleh bilik, maka ia membentak marah.

   "Mengapa kau mentertawakan aku?"

   "Bukan, bukan kau yang menerbitkan geli di hatiku, akan tetapi ikan itu!"

   "Ikan??"

   Han Bun memandang ke arah air sungai dan berkata perlahan.

   "Aku tahu siapa yang menghabiskan daging dan bubur masakanku."

   "Siapa?"

   "Seekor ikan! Ikan yang bagus dan indah sekali. Sisiknya daripada emas yang bercahaya, sepasang matanya daripada bintang kemilau, bibirnya manis dan merah. Ah, ikan bermata bintang... kau telah menghabiskan masakanku dan aku tahu bahwa kau menikmati masakan itu dan memuji kepandaianku memasak! Sayang kau tidak bisa menyatakan dengan kata-kata, atau... kau malu untuk menyatakan itu...?"

   Sungguhpun kata-kata ini diucapkan sambil matanya memandang ke arah air, akan tetapi cukup membuat Pek Giok memerah muka sampai ke telinganya!

   "Cukup, kau gila! Pergilah dan jangan menggangguku, atau... akan kuberitahukan kepada tukang perahu bahwa kau kurang ajar!"

   Pemuda itu bangun dan melompat ke darat sambil tertawa-tawa. Kembali ia memandang ke arah air di bawah tempat duduk gadis itu dan berkata.

   "Ikan bermata bintang, selamat tidur. Setelah kenyang, tentu kau akan tidur nyenyak dan kita akan bertemu dalam mimpi!"

   Lalu ia melangkah menuju ke tukang perahu yang telah tidur mendengkur di bawah pohon dekat api unggun.

   Pek Giok tetap duduk melamun. Tak disengaja ia memandang ke air yang tadi dipandang oleh Han Bun ketika pemuda itu berkata-kata kepada ikan dan terkejutlah ia ketika melihat bahwa bayang-bayangnya berada di air itu! Dengan demikian, maka pemuda tadi bicara yang ditujukan ke arah bayangannya! Kembali ia merasa mukanya panas dan entah mengapa, tanpa disengaja lagi tangannya meraba ke buntalannya dan ia mengeluarkan sebuah cermin kecil untuk bercermin! Apakah yang mendorongnya untuk bercermin dan memeriksa mukanya? Entah, ia sendiripun tidak tahu. Akan tetapi ketika ia melihat wajahnya dalam cermin yang diterangi oleh cahaya bulan, hampir ia menjerit kaget. Di sudut bibirnya sebelah kiri terdapat sebutir bubur yang tadi dimakannya!

   Celaka! Kalau begitu, pemuda itu tentu telah tahu bahwa tadi ia telah makan habis bubur dan daging itu! Tak terasa lagi Pek Giok melepaskan cerminnya hingga pecah di atas lantai perahu dan ia tidak perduli, terus menggunakan kedua tangannya menutupi mukanya, seakan-akan pemuda itu telah berada di situ dan memandangnya dengan senyum menggoda! Sampai lama nona itu berada dalam keadaan seperti itu, kemudian sambil menghela napas berulang-ulang ia menjatuhkan diri di atas tikar yang dipasang di situ, akan tetapi ia tidak dapat tidur. Cahaya bulan yang menembus celah-celah bilik itu baginya seakan-akan sinar mata pemuda itu yang memandangnya dengan senyum dan yang membuatnya merasa malu sekali. Sementara itu, pemuda baju putih itupun tidak dapat tidur. ia merasa amat tertarik kepada Pek Giok dan hal ini menggelisahkan dan membuatnya terheran dan berkhawatir.

   Telah banyak ia bertemu dengan gadis-gadis cantik semenjak ia turun gunung, bahkan ketika ia mendapat tugas dari Suhunya dan membuat ia pergi ke Kotaraja, telah banyak ia melihat puteri-puteri Bangsawan yang selain cantik jelita bagai bunga botan, juga amat tinggi ilmu kepandaiannya dalam kesusasteraan dan kerajinan tangan. Akan tetapi belum pernah hatinya begitu berdebar penuh bahagia seperti kalau ia memandang dan bertemu pandang mata dengan Pek Giok! ia telah tergila-gila kepada gadis yang namanya saja belum ia ketahui itu. ia tahu bahwa gadis itu berkepandaian tinggi, keras hati dan gampang marah, akan tetapi sungguh aneh sekali, bahkan sifat-sifat inilah yang amat menarik hatinya, yang membuatnya tiap kali terkenang kepada gadis itu merasa geli dan suka!

   (Lanjut ke Jilid 06)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06

   Siapakah sesungguhnya pemuda baju putih yang tampan, sabar, lemah-lembut, jenaka dan berkepandaian tinggi ini? Agar pembaca tidak selalu menduga-duga dan merasa penasaran, baiklah kita mengenal pemuda ini lebih dekat.

   Mungkin juga sudah dapat diduga lebih dahulu bahwa pemuda ini sesungguhnya adalah anak kedua dari Song Swi Kai atau Song-Kauwsu yang bermusuh dengan Can Gi Sun atau Can-Kauwsu Ayah Pek Giok! Sebagaimana pernah dituturkan di bagian depan, Song Swi Kai mempunyai dua orang anak, yang sulung adalah Song Bwee Eng, gadis cantik dan gagah yang kemudian menikah dengan Lee Kim Lun. Adapun Song Han Bun atau pemuda baju putih itu, adalah putera kedua atau putera bungsu yang usianya lebih muda dua tahun dari Song Bwee Eng. Semenjak kecil, oleh Ayahnya Han Bun dikirim ke puncak Pegunungan Bu-Tong-San untuk belajar silat. Song Swi Kai sendiri adalah seorang murid Bu-Tong-Pai yang pandai dan Song-Kauwsu ini lalu mengirim puteranya itu kepada Gurunya sendiri di Bu-Tong-Pai,

   Yakni yang bernama Kwan Tek Losu, tokoh kedua dari Bu-Tong-Pai. Kwan Tek Losu tinggal berdua dengan Suhengnya, yakni tokoh pertama dari Bu-Tong-Pai yang jarang sekali keluar dari kamar samadhinya, yakni yang bernama Bun Tek Thaisu, seorang berusia hampir seratus tahun yang berilmu tinggi. Dengan amat tekun Han Bun mempelajari ilmu silat tinggi di puncak Bu-Tong-San, dilatih sendiri oleh Kwan Tek Losu dan kadang-kadang mendapat petunjuk dari Bun Tek Thaisu. Karena Han Bun memang berbakat baik dan amat rajin, maka selain Kwan Tek Losu menjadi gembira untuk menurunkan kepandaiannya, juga Bun Tek Thaisu yang di waktu mudanya menjadi seorang terpelajar itu lalu berkenan turun tangan dan mengajar pemuda itu dalam ilmu kebatinan dan kesusasteraan,

   Sehingga pemuda itu selain menerima pendidikan ilmu silat tinggi, juga menjadi seorang yang pandai dalam ilmu kesusasteraan. Sepuluh tahun lamanya ia digembleng di puncak Bu-Tong-San sehingga menjadi seorang pemuda berusia lima belas tahun yang amat pandai dan lihai. Han Bun seringkali berkunjung ke dusun-dusun yang banyak terdapat di lereng Bu-Tong-San dan bergaul dengan penduduk dusun. Dari mereka yang amat suka kepada pemuda yang lemah-lembut dan jenaka ini ia mempelajari banyak nyanyian-nyanyian karena ia memang suka sekali bernyanyi dan memiliki suara yang cukup merdu. Pada suatu hari, ketika ia sedang berlatih seorang diri di atas lapangan rumput, memutar-mutar pedangnya dengan cepat sehingga tubuhnya tertutup oleh gundukan sinar pedang, tiba-tiba ia mendengar suara orang berkata.

   "Bagus, bagus! Memang ilmu pedang Bu-Tong-Pai bagus dilihat dan pertahanannya amat kuat, akan tetapi sayang sekali kurang daya serang sehingga kalau menghadapi lawan tangguh, akan mengecewakan!"

   Tentu saja Han Bun terkejut sekali mendengar ini, karena biasanya, biarpun ia sedang berlatih silat, apabila ada orang lain yang datang mendekatinya, tentu ia akan mengetahuinya. Anehnya orang yang bicara ini tidak ia ketahui kedatangannya dan tahu-tahu sudah berada di situ, dan dari ucapannya tadi menyatakan bahwa orang itu sedikitnya mencela permainan ilmu pedangnya!

   Ia cepat menghentikan permainannya dan menengok. ia melihat seorang Tosu (Pendeta To) berdiri di belakangnya. Pendeta itu usianya sepantar dengan Suhunya, kira-kira enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan jenggotnya panjang. Pakaian Pendeta itu kuning bertambal-tambal putih di sana sini, di punggungnya nampak gagang pedang dan di pinggangnya tergantung sebuah Ciu-Ouw (tempat arak). Pendeta itu berdiri dan tersenyum memandangnya. Han Bun adalah seorang pemuda yang sabar dan sopan-santun, apalagi ia telah menerima banyak pendidikan batin dan tata susila dari Bun Tek Thaisu, maka ia maklum bahwa yang berhadapan dengan dia adalah seorang Pertapa yang sakti. ia cepat menjura memberi hormat dan berkata.

   "Maaf, Totiang, Teecu tidak melihat kedatangan Totiang sehingga masih enak-enak saja bermain pedang yang amat buruk dan salah. Teecu adalah Song Han Bun, murid dari Kwan Tek Losu. Bolehkah kiranya Teecu bertanya siapa Totiang yang pandai ini?"

   Tosu itu agaknya tertegun melihat kesopanan pemuda itu, kemudian ia tertawa bergelak.

   "Ha, ha, ha! Kwan Tek Losu Gurumu itu benar-benar beruntung dan dapat memilih murid yang tepat! Kau ternyata tidak mewarisi adatnya yang kaku, ataukah... barangkali Bun Tek Thaisu yang terhormat membimbingmu sendiri?"

   "Sesungguhnya, Totiang Supek Bun Tek Thaisu berkenan mengajar Teecu pula."

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bagus, bagus! Seperti kukatakan tadi, ilmu pedang hanya kuat dalam bertahan, akan tetapi kurang daya serang. Aku akan merasa puas kalau dapat menurunkan ilmu pedangku kepada seorang muda seperti kau!"

   "Banyak terima kasih atas kemuliaan hati Totiang, akan tetapi, Teecu belum tahu siapakah Totiang ini dan sebelum Teecu menerima petunjuk dari Totiang, sudah sewajarnya kalau Teecu mendapat perkenan dari Suhu dan Supek lebih dulu."

   "Anak bodoh,"

   Tiba-tiba terdengar suara orang.

   "Kau berhadapan dengan Cin Po Yang Cu, dewa pedang yang berjuluk It-Ci-Sian (Dewa Jari Satu), dan kau tidak lekas-lekas berlutut menghaturkan terima kasih?"

   Tosu itu tertawa bergelak sambil memandang kepada Kwan Tek Losu yang tiba-tiba muncul keluar dari belakang pohon, sedangkan Han Bun amat terkejut mendengar nama Cin Po Yang Cu yang sudah seringkali disebut-sebut oleh Suhu dan Supeknya itu. Mendengar suara Gurunya tadi, ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan Tosu sakti itu.

   "Kwan Tek Losu, benar-benarkah kau rela menyerahkan muridmu ini kepadaku? Sungguh hebat perubahan yang terjadi kepadamu. Agaknya hawa sejuk di pegunungan ini telah berhasil melembutkan hatimu yang dulu amat kaku itu!"

   Kata Cin Po Yang Cu kepada Guru Han Bun yang juga tersenyum.

   "Cin Po Yang Cu, manusia menjadi makin tua tidak percuma. Rambut yang hitam Iambat-laun menjadi putih, masa hati akhirnya takkan dapat menundukkan nafsu dan menjadi lemah pula? Muridku Han Bun memang sudah tamat belajar di sini dan aku tak mempunyai kepandaian apa-apa lagi untuk diberikan kepadanya. Kalau kau orang-tua sudi membimbingnya dan membawanya ke dunia ramai, aku dan Suheng tentu saja percaya sepenuhnya kepadamu."

   Demikianlah, semenjak hari itu, Han Bun turun gunung dan ikut Suhunya yang baru ini. Sambil membawa muridnya merantau sampai ke Kotaraja dan kemudian kembali ke daerah barat, Cin Po Yang Cu melatih ilmu pedang Thian-Hong Kiam-Sut kepada muridnya ini dan memang Thian-Hong Kiam-Sut adalah ilmu pedang yang lihai dan luar biasa sekali.

   Sebaliknya daripada Bu-Tong Kiam-Hwat yang lebih mementingkan pertahanan daripada serangan, ilmu pedang Thian-Hong Kiam-Sut ini memusatkan gerakannya pada serangan sehingga merupakan ilmu pedang yang amat ganas. Tiga tahun lamanya Cin Po Yang Cu melatih Han Bun sehingga pemuda itu mendapatkan kemajuan yang amat pesat dan dapat menguasai Thian-Hong Kiam-Sut seluruhnya. Juga di dalam perantauan mereka inilah, Cin Po Yang Cu dapat mencium rahasia tentang Pangeran Liang Tek Ong yang mengandung maksud berkhianat dan memberontak terhadap Kerajaan. Cin Po Yang Cu sendiri tidak suka mencampuri urusan Kerajaan ini, akan tetapi betapapun juga, hatinya tak mengijinkan Pangeran itu memberontak dan menjual Negara kepada Bangsa asing. Maka ia lalu memanggil muridnya dan berkata.

   "Han Bun, aku sudah tua dan hendak kembali ke tempat Pertapaanku di Bukit Thangla. Akan tetapi kau yang masih muda dan sudah menjadi kewajibanmu sebagai seorang gagah untuk membela kepentingan Negara, kau harus mewakili aku untuk menyelidiki keadaan Pangeran Liang Tek Ong itu. Pangeran Liang itu hendak mengadakan perjalanan ke barat, dan aku merasa pasti bahwa di samping tugas memeriksa para pembesar di daerah barat, tentu ia mempunyai maksud lain yang belum dapat kukatakan. Oleh karena itu, kau ikutilah perjalanannya dan selidiki keadaannya baik-Baik, akan tetapi ingat, jangan kau mengganggunya, karena Pangeran itu mempunyai banyak sekali pengikut dan kaki tangan. Kewajibanmu hanya menjaga jangan sampai Pangeran itu berhasil mengadakan persekutuan rahasia dengan orang-orang Mongol, dan juga jangan sampai terjadi perpecahan dan perang saudara di Kotaraja yang akibatnya hanya akan membuat rakyat menderita saja."

   Demikianlah, Guru dan murid ini lalu berpisah. Cin Po Yang Cu kembali ke Pegunungan Thangla, sedangkan mulai saat itu, Han Bun lalu mengikuti perjalanan Pangeran Liang Tek Ong dan mengadakan penyelidikan dan pengintaian tanpa diketahui oleh Pangeran Liang atau para perwira yang mengawalnya. Akhirnya ia mengetahui bahwa Pangeran itu memang betul telah mengadakan persekutuan dengan Bangsa Mongol, bahkan kini hendak mengadakan pertemuan dengan para utusan Mongol di Telaga Koko Nor. ia mendapat tahu pula bahwa Pangeran itu menyimpan surat-surat pernyataan bersekutu dan perjanjian dengan Raja Mongol, maka ia mengambil keputusan untuk merampas peti kecil berisi surat-surat penting itu dan untuk mempergunakan peti rahasia itu guna mencegah pengkhianatan Pangeran Liang Tek Ong.

   Dan di dalam perjalanannya inilah ia bertemu dengan Pek Giok yang melanjutkan usaha mendiang Tan Koan patriot tua yang gagah dan yang tewas karena keroyokan para perwira pengawal itu. Dan demikianlah riwayat singkat dari pemuda baju putih Song Han Bun yang secara aneh telah menarik hati Pek Giok dan membuat dara perkasa itu tak dapat tidur! Pada keesokan harinya, ketika bertemu dengan Han Bun, Pek Giok tidak berani memandang muka pemuda itu dan tiap kali ia mencoba mengerling dari sudut matanya dan bertemu pandang sekejap dengan pemuda itu, tak terasa lagi seluruh wajahnya menjadi merah. ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu akan terus menggodanya tentang makanan malam tadi, akan tetapi ternyata Han Bun adalah seorang pemuda yang pandai melihat keadaan.

   Kalau sekiranya gadis itu belum sadar bahwa ia mengerti tentang kenyataan bahwa gadis itu telah makan masakannya, tentu ia akan menggoda terus. Akan tetapi, pagi hari itu ketika ia masuk ke dalam perahu, ia melihat pecahan cermin di lantai perahu, maka ia dapat menduga bahwa gadis itu tentu telah pula melihat sisa makanan yang berada di sudut bibirnya! Dan oleh karena ini, Han Bun menutup mulut sama sekali tidak mau menyebut lagi tentang makanan. Perahu didayung lagi dan pagi-pagi benar tukang perahu telah berangkat melanjutkan pelayaran menuju ke Lancouw. Ketika perahu tiba di perbatasan Propinsi Kansu dan Cinghai, hari telah menjelang siang. Tiba-tiba, pada sebuah tikungan dalam hutan, ketika perahu kecil itu memasuki hutan, di depan terlihat sebuah perahu kecil lain yang ditumpangi oleh seorang laki-laki tinggi besar. Tukang perahu itu menjadi pucat dan berbisik.

   "Kita telah memasuki daerah Kansu, jangan-jangan yang di depan itu adalah anggota bajak sungai!"

   Pek Giok teringat bahwa tukang perahu itu pernah menceritakannya sebelum mereka berangkat kemarin, bahwa di perbatasan ini kabarnya seringkali muncul bajak sungai, maka ia lalu memandang penuh perhatian.

   "Jangan takut, teruskan perahumu. Kalau ia berani mengganggu, serahkan saja kepadaku!"

   Baru saja ucapan ini keluar dari mulutnya, terdengar orang di atas perahu itu bersuit keras dan tahu-tahu dari balik alang-alang yang banyak tumbuh di tepi sungai, keluar meluncur enam buah perahu, masing-masing ditumpangi oleh tiga orang! Menggigillah tubuh tukang perahu melihat ini.

   "Lopek, dayung perahumu ke darat!"

   Tiba-tiba Han Bun berkata.

   "Apakah kau takut?"

   Pek Giok tersenyum mengejek, akan tetapi pemuda itu berkata dengan sungguh-sungguh.

   "Kau tidak tahu akan kelihaian bajak sungai. Kalau mereka menggunakan siasat menggulingkan perahu, apakah kau dapat melawan mereka?"

   Terkejutlah hati Pek Giok mendengar ini. Memang tadi ia tidak memikir sejauh itu dan ia membayangkan bahwa kalau memang bajak sungai itu menggulingkan perahunya, ia takkan berdaya sama sekali. Maka iapun lalu memberi perintah kepada tukang perahu.

   "Benar, Lopek. Lekas dayung perahu ke pinggir!"

   Tukang perahu yang sudah amat ketakutan itu lalu mendayung perahu secepatnya ke pinggir.

   Pada saat itu, dari perahu bajak meluncur sebatang anak panah yang menuju ke tubuh tukang perahu itu! Akan tetapi sebelum anak panah itu mengenai tukang perahu dan sebelum Pek Giok menangkis senjata itu, tiba-tiba meluncur sehelai tali jala yang menyampok anak panah itu. Ternyata bahwa Han Bun dengan kecepatan luar biasa telah menggunakan tali jala yang berada di dalam perahu, dipergunakan sebagai cambuk dan memukul anak panah itu! Diam-diam Pek Giok menjadi kagum melihat ketangkasan dan tenaga lweekang ini, akan tetapi tukang perahu yang amat ketakutan itu sama sekali tidak tahu bahwa nyawanya tadi telah berada di ujung rambut. Tidak tahu bahwa anak panah datang menyambar dan tidak tahu pula bahwa pemuda yang dianggapnya lemah itu telah menolong nyawanya dari bahaya maut!

   Sementara itu, para bajak sungai yang melihat betapa calon korban mereka lari ke pantai, sambil bersorak-sorak dan tertawa-tawa karena melihat bahwa perahu itu membawa seorang gadis muda yang cantik, segera mendayung perahu mereka mengejar, bahkan karena mereka dapat mendayung lebih cepat, telah mendahului perahu Pek Giok dan telah mendarat lebih dulu sebelum perahu itu sampai di tepi sungai! Tentu saja tukang perahu menjadi makin ketakutan, akan tetapi dengan tenang dan tabah Pek Giok mendesaknya agar supaya perahu cepat dipinggirkan. Ketika tukang perahu itu memandang kepada Han Bun, ia melihat dengan heran betapa pemuda itu tetap tersenyum-senyum dan kelihatannya "Ayem-ayem"

   Saja! Setelah perahu tiba di tepi, Pek Giok berkata kepada tukang perahu.

   "Lopek, jagalah barang-barangku, terutama peti kecil itu, jangan sampai diganggu orang!"

   Kemudian ia melompat ke darat tanpa membawa pedangnya. Bagaimanapun juga, dalam menghadapi golongan perampok atau bajak, Pek Giok selalu masih teringat akan Ayahnya. yang juga seorang kepala rampok, maka ia belum tega untuk berlaku keras. Melihat gadis muda yang cantik itu melompat seorang diri ke darat dengan gagahnya, sedangkan dua orang yang berada di dalam perahu tidak ikut mendarat, para bajak menjadi heran dan kepala bajak lalu menyambut gadis itu. Kepala bajak ini berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tegap bermuka kuning dan memegang sepasang senjata yang bentuknya seperti tongkat akan tetapi ujungnya bengkok dan runcing.

   "Apakah kau kepala bajak di sungai ini?"

   Tanya Pek Giok mendahului kepala bajak itu dengan suaranya yang nyaring.

   "Benar, nona. Kau gagah dan berani sekali, benar-benar jarang terdapat seorang gadis seperti kau! Karenanya, kami takkan mengganggumu, dan kau boleh melanjutkan perjalanan asalkan kau meninggalkan semua barang-barangmu. Akan tetapi dua orang laki-laki itu, mereka lebih baik kami bunuh, karena tidak ada harganya untuk hidup! Mereka membiarkan nona seorang diri menyambut kami, sungguh memalukan!"

   Pek Giok tersenyum dan ia merasa suka melihat kejujuran bajak ini yang ternyata tidak begitu jahat seperti yang disangkanya semula.

   "Sahabat baik, jangan kau bicara sembarangan. Kawan-kawanku di perahu itu tidak mendarat bukan karena takut kepada kalian, akan tetapi karena mereka menganggap bahwa aku seorangpun sudah cukup untuk membereskan persoalan dan gangguan ini. Kalau kau menurut nasihatku, janganlah kau mengganggu orang-orang perantau seperti kami, karena selain kami tidak mempunyai banyak barang berharga, juga hal ini hanya akan merugikan kalian saja!"

   Kepala bajak itu merasa penasaran dan itu, mendengar kesombongan gadis... dan biarpun ia dapat menduga bahwa gadis ini tentu memiliki sedikit ilmu silat, akan tetapi tidak seharusnya bicara sesombong itu.

   "Hm, agaknya kau pernah mempelajari beberapa ilmu pukulan! Akan tetapi, kau seorang diri saja mana bisa mampu untuk menghadapi kami? Nona, lebih baik kau kembali ke perahumu dan suruhlah dua orang itu menerima kematiannya di ujung senjataku!"

   Kini Pek Giok tak dapat menahan sabar lagi.

   "Kau kira kau ini siapakah? Apakah artinya senjata seperti yang kau pegang itu? Mungkin berguna untuk menangkap ikan di sungai, akan tetapi untuk bertempur... hm, kukira sedikitpun tiada gunanya!"

   Merahlah kedua mata kepala bajak itu. Gadis ini telah berlebih-lebihan dan perlu dihajar, pikirnya.

   "Tangkap bocah perempuan bermulut lancang ini!"

   Serunya dan anak buahnya segera menubruk maju dengan kedua tangan terpentang, karena mereka berebut hendak menangkap dara jelita itu. Akan tetapi, segera terdengar pekik kesakitan dan keheranan karena begitu Pek Giok menggerakkan kaki tangannya, enam orang bajak terpental jauh bagaikan rumput kering terhembus angin! Kepala bajak itu memandang dengan mata terbelalak. ia heran dan marah sekali.

   "Ah, tidak tahunya kau memiliki sedikit kepandaian! Awas senjataku!"

   Teriaknya sambil menyerang dengan pukulan berbareng dari kanan kiri ke arah kepala Pek Giok.

   "Pergilah kau menangkap ikan!"

   Seru Pek Giok dan secepat kilat tubuhnya melejit ke kiri dan sebelum kepala bajak itu dapat mencari di mana menghilangnya lawan di depannya, tiba-tiba ia merasa tubuhnya menjadi lemas dan lambungnya sakit. Ternyata Pek Giok telah berhasil menggunakan jari tangan untuk mengirim totokan yang membuat tubuh kepala bajak itu menjadi lemas dan cepat pula tendangan kakinya menyusul sehingga bajak itu terlempar ke dalam sungai! Kini terbukalah mata semua anggota bajak dan mereka tidak berani maju lagi, hanya cepat menolong kepala bajak yang terlempar ke dalam sungai itu.

   "Biarlah kali ini aku memberi ampun kepada kalian!"

   Kata Pek Giok.

   "Dan lain kali janganlah sembarangan merampok dan menghina orang!"

   Setelah berkata demikian, Pek Giok lalu melompat ke perahu kembali di mana tukang perahu menyambutnya dengan muka berseri dan mata penuh kekaguman.

   "Kau hebat, Lihiap, kau hebat!"

   Berkali-kali ia memuji sambil mengacung-acungkan Ibu jarinya, akan tetapi Pek Giok dengan wajah muram berkata.

   "Lekas jalankan perahu!"

   Semenjak itu, Han Bun yang semenjak tadi memandang pertempuran itu sambil tersenyum, berkata perlahan.

   "Ikan mas bermata bintang masih merasa kasihan terhadap segala cacing sungai, sungguh mengagumkan!"

   Pek Giok tidak menjawab, hanya duduk diam pura-pura membetulkan rambutnya yang terurai karena pertempuran tadi. Tukang perahu merasa heran mendengar ucapan Han Bun, maka ia bertanya.

   "Kongcu, kau tadi berkata apakah? Ikan mas bermata bintang? Ah, Kongcu, coba saja lihat Lihiap ini! Seorang diri meninggalkan pedang menghadapi bajak-bajak laut yang liar itu dengan tangan kosong! Hebat sekali! Kalau tidak ada dia, kau dan aku mungkin telah menjadi makanan ikan di sungai! Bajak-bajak dan perampok-perampok memang amat liar, bukan merupakan manusia lagi dan..."

   "Diam""

   Tiba-tiba Pek Giok membentak. Tukang perahu cepat berpaling dan alangkah heran dan terkejut hatinya melihat gadis itu memandangnya dengan mata marah.

   "Lihiap... mengapa... apa salahku...?"

   "Diam!"

   Kembali Pek Giok membentak.

   "Dan jangan bicarakan lagi tentang bajak dan perampok!"

   Tukang perahu itu kaget dan terdiam, bahkan Han Bun sendiri lalu termenung karena sikap gadis ini benar-benar tak pernah disangkanya. Mengapa ia begitu lunak terhadap bajak-bajak jahat? Dan mengapa pula wajahnya yang biasanya berseri riang itu menjadi muram, dan kini, mengapa pula ia marah-marah ketika tukang perahu menyebut-nyebut tentang bajak dan perampok?

   Memang Pek Giok sedang merasa tak senang hati. Entah mengapa, baru sekarang ia merasa tidak senang dengan kenyataan bahwa ia adalah seorang anak kepala rampok! Diam-diam ia berpikir, alangkah akan malunya kalau pemuda itu mengetahui bahwa Ayahnya adalah seorang kepala rampok. Karena itu, ketika tukang perahu memaki-maki bajak dan perampok, ia menjadi marah. Matahari telah mulai turun ke barat ketika perahu mereka tiba di kota Lancouw. Ketika tukang perahu minggirkan perahunya di tempat pemberhentian perahu yang pada waktu itu telah sunyi, Pek Giok dan Han Bun terkejut. Ternyata di tepi sungai itu telah menanti belasan orang dan diantara mereka terdapat dua orang perwira Mongol yang mereka jumpai di dalam benteng di kota Sining dulu!

   "Nona, bersiaplah!"

   Kata Han Bun perlahan dan sepasang mata pemuda ini mengeluarkan cahaya yang berpengaruh dan tajam, beda sekali dengan biasanya. Wajahnya yang selalu berseri itu kini menjadi tegang dan bersungguh-sungguh, amat gagah dalam pandangan Pek Giok. Gadis inipun lalu mengikatkan buntalan pakaiannya ke punggung dan melihat gadis itu membawa peti kecil yang diperebutkan, Han Bun berkata.

   "Kurang leluasa membawa peti itu sambil menghadapi lawan tangguh, biarlah untuk sementara aku yang membawa benda itu."

   Sambil berkata demikian ia mengulurkan kedua tangan kepada Pek Giok. Aneh sekali, gadis itu memberikan peti dengan penuh kepercayaan, akan tetapi mulutnya berkata perlahan.

   "Ingat, hanya untuk sementara waktu saja, kelak harus dikembalikan kepadaku."

   Han Bun menjawab.

   "Hal itu kita bicarakan kemudian."

   Kemudian pemuda ini berpaling kepada tukang perahu.

   "Lopek, aku dan nona ini sedang menghadapi musuh. Kau lihat perwira di pinggir sungai itu? Nah, lebih Baik kau segera memutar perahumu dan meninggalkan tempat ini secepatnya agar kau jangan terbawa-bawa dalam persoalan ini."

   Setelah berkata demikian ia mendahului Pek Giok melompat ke atas darat yang masih terpisah kurang lebih tiga tombak dari perahu. Pek Giok juga lalu melompat dengan ringan sekali, sedangkan tukang perahu yang ketakutan itu segera memutar kembali perahunya dan pergi mendayung perahu meninggalkan tempat berbahaya itu.

   Rombongan yang menanti di pinggir sungai itu memang benar adalah rombongan para perwira yang diperintah oleh Liang Tek Ong untuk mengejar dan merampas kembali peti hitam yang terampas oleh Han Bun dan Pek Giok. Para perwira ini dapat mengetahui bahwa kedua orang muda itu melarikan diri dengan mengambil jalan sungai, maka diam-diam mereka mengawasi dan membuat persiapan untuk menghadang mereka apabila perahu mereka meendarat. Rombongan itu terdiri dari sepuluh orang perwira pilihan yang berkepandaian tinggi, ditambah pula dengan dua orang perwira Mongol yang kini datang bersama Susiok (Paman Guru) mereka, yakni seorang Pendeta Mongol berjubah merah dan berkepala gundul. Pendeta ini berkepandaian tinggi, berasal dari kota Hu-Hehot di Mongol dan namanya Ulan Bauw.

   "Sing-Gan Kim-Hi, (Ikan Emas Bermata Bintang),"

   Kata Han Bun kepada Pek Giok ketika mereka telah berhadapan dengan para perwira itu.

   "Kita mendapat penghormatan besar sekali. Lihat! Pangeran Liang Tek Ong telah mengirim perwira-perwiranya untuk menyambut kedatangan kita!"

   Pek Giok merasa gemas dan juga geli sebutan Han Bun kepadanya Karena belum mengetahui namanya, pemuda itu memberi nama Ikan Emas Bermata Bintang kepadanya. Alangkah jenakanya pemuda ini, akan tetapi mendengar nama itu, tak terasa lagi ia teringat akan peristiwa masakan yang ia makan di atas perahu sehingga mukanya menjadi merah dan ia mengerling ke arah pemuda itu depgan gemas, akan tetapi ia menjawab juga.

   "Mereka menyambut dengan mulut tersenyum akan tetapi tangan meraba gagang pedang. Alangkah palsunya!"

   Dua orang Mongol yang bertempur dengan mereka di dalam benteng lalu melangkah maju dan sambil tersenyum menjura dan berkatalah seorang diantaranya.

   "Jiwi Enghiong (kedua orang gagah), kami sebagai wakil dari Negara Mongol, dan juga sebagai tamu-tamu terhormat dari Pangeran Liang Tek Ong, mengharap dengan hormat sukalah kiranya jiwi jangan mempermainkan kami. Ketahuilah, bahwa peti hitam yang jiwi ambil itu berisi surat-surat pribadi dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan orang lain, terutama kepada jiwi. Mengapa jiwi mengganggu kami dan mengambil peti itu? Kami masih memandang hubungan antara orang-orang gagah sedunia, maka kalau jiwi sudi mengembalikan peti itu, kami akan menganggap perkara ini habis sampai di sini saja. Akan tetapi kalau jiwi berkeras, terpaksa kami juga melakukan kekerasan pula."

   Ucapan ini biarpun dikeluarkan dengan suara kaku, akan tetapi cukup halus, tanda bahwa perwira Mongol itu telah mempelajari bahasa Han dengan baik, dan biarpun ucapan itu terdengar seakan-akan merendah, namun jelas mengandung ancaman hebat. Han Bun yang telah membungkus peti itu dengan saputangan dan kini telah mengikat benda itu di atas punggungnya, tersenyum ketika menjawab.

   "Kalian ini orang-orang Mongol mempunyai keperluan apakah di negeri kami? Lebih baik kalian pulang ke negerimu sendiri dan jangan bikin rIbut di negeri orang lain. Jangan kira kami tidak tahu bahwa Rajamu mempunyai niat buruk atas Negara kami! Kalian adalah perwira-perwira, tentu saja cukup mengerti bahwa orang-orang gagah takkan membiarkan saja Negaranya hendak dijajah oleh Bangsa lain!"

   Kedua orang perwira Mongol itu lalu bicara dalam bahasa mereka sendiri kepada Ulan Bauw. Tiba-tiba Pendeta ini tertawa bergelak dan menjawab pula dalam bahasa Mongol. Seorang diantara perwira Mongol yang pandai berbahasa Han lalu berkata kepada Han Bun.

   "Pendeta ini adalah Susiok kami yang bernama Ulan Bauw. Untuk negeri kami, beliau adalah seorang yang terpandang dan terhormat sekali. Tadi Susiok kami menyatakan bahwa beliau mengharapkan pula kebijaksanaanmu untuk mengembalikan peti itu, karena Susiok kami paling tidak suka mengadu kepandaian dengan segolongan orang gagah dari Bangsa apapun juga. Jiwi berdua bukan perwira Kerajaan dan tidak ada hubungannya pula dengan urusan ini, oleh karenanya, tidak semestinya kalau jiwi hendak berkukuh dan mengganggu kami dan Pangeran Liang Tek Ong!"

   Seorang perwira Kerajaan yang mengawal Pangeran Liang Tek Ong melangkah maju dan ikut bicara kepada Han Bun.

   "Sahabat yang gagah, aku mendapat pesan dari Liang-Taijin bahwa apabila kau suka mengembalikan peti itu, Liang-Taijin akan membalas jasamu dengan serIbu tail perak."

   Pek Giok yang semenjak tadi mendengarkan percakapan itu, tidak sesabar, Han Bun. ia memandang kepada perwira itu dengan muka merah dan ketika perwira pengawal itu selesai bicara, ia melangkah maju dan membentak.

   "Cih...! Pengkhianat, penjual Negara! Kau harus rnampus!"

   Gadis itu lalu memukul dengan tangan kanannya, dibarengi dengan pengerahan tenaga khikangnya yang hebat. Perwira itu terkejut dan ia cepat melompat ke belakang, akan tetapi biarpun pukulan Pek Giok tidak mengenai sasaran, namun angin pukulannya masih menyerang hebat dan tubuh perwira itu terlempar sampai dua tombak ke belakang!

   Baiknya iapun bukan seorang lemah dan angin pukulan yang dahsyat itu tidak rnelukainya hingga ia dapat merangkak bangun dengan muka pucat. Pendeta Mongol itu mengeluarkan seruan marah dalam bahasa Mongol dan tiba-tiba tangannya meraba ke punggungnya dan ketika tangan itu ditarik, ternyata ia telah memegang sehelai rantai baja warna hitam yang panjang. ia pegang rantai itu di tengah-tengah sehingga senjata itu merupakan sepasang senjata di kedua tangan yang panjang dan lemas. Han Bun maklum bahwa perdamaian tak mungkin diadakan dengan orang-orang ini, maka iapun lalu mencabut keluar pedangnya dari balik baju. Pek Giok sudah tadi-tadi mencabut keluar Cheng-Liong-Kiam dan telah bersiap sedia.

   "Serbu!"

   Tiba-tiba perwira pengawal yang terpukul tadi berseru keras dan menyerbulah kawan-kawannya bagaikan segerombolan serigala yang kelaparan. Han Bun maklum akan kelihaian Pendeta Mongol itu, maka ia lalu menyambut serbuan senjata rantai itu. Benar dugaannya, Pendeta Mongol itu lihai sekali dan sambaran sepasang rantainya itu mengandung tenaga yang bukan main besarnya. Lebih-lebih karena kedua perwira Mongol yang bersenjata cambuk panjang itu lalu membantu Susiok mereka karena merekapun sudah kenal akan kelihaian pemuda baju putih itu. Han Bun terpaksa mengerahkan seluruh tenaganya dan mainkan ilmu pedang Thian-Hong Kiam-Sut dengan hebatnya untuk menyerang sedangkan apabila ketiga orang lawannya mendesak,

   Ia lalu mainkan ilmu pedang Bu-Tong-Pai untuk menjaga diri. Di waktu menyerang dengan Thian-Bong Kiam-Sut, pedang pemuda itu menyambar-nyambar laksana petir di hari hujan, sedangkan kalau ia mainkan ilmu pedang Bu-Tong-Pai, maka pedangnya berputar-putar merupakan benteng baja yang amat kuatnya sehingga jangan kata senjata tajam, bahkan rIbuan anak panahpun sukar untuk menembus pertahanan dan mengenai tubuhnya! Sementara itu, Pek Giok mengamuk bagaikan seekor naga betina. Pedangnya benar-benar lihai dan ia mainkan Cheng-Liong Kiam-hoat dengan hebatnya sehingga sepuluh orang perwira pengawal yang menghadapinya merasa gentar! Akan tetapi, karena mereka itu berjumlah banyak dan kepandaian mereka rata-rata juga tinggi, maka tentu saja Pek Giok menghadapi perlawanan yang sengit.

   Senjata-senjata para perwira itu datang bagaikan hujan yang kesemuanya selalu dapat ditangkisnya dengan baik. Akan tetapi, karena selalu harus menjaga diri, data pendekar itu tidak mendapat kesempatan banyak untuk mendesak seorang dua orang lawan. Akhirnya gadis itu menjadi marah dan penasaran. ia berseru keras dan pedangnya berkelebat merupakan gundukan sinar kehijauan dan menjeritlah seorang pengeroyok dan tubuhnya terguling roboh mandi darah karena pundaknya hampir terbabat putus oleh pedang Cheng-Liong-Kiam! Namun, selain perasaan terkejut, dan jerih yang dirasai oleh sembilan orang perwira lain ketika melihat seorang kawan mereka roboh itu, juga mereka menjadi hati-hati sekali dan apabila gadis itu melakukan serangan, mereka lalu maju menangkis bersama, saling menjaga sehingga kedudukan mereka kuat sekali.

   Akan tetapi, oleh karena itu, daya serang mereka banyak berkurang sehingga Pek Giok tak perlu terlalu bersusah payah menjaga diri. Demikianlah, pertempuran itu berjalan dengan seru dan sengit. Kalau dilihat dari jauh, pedang Han Bun berubah menjadi segunduk sinar putih yang menghadapi keroyokan ketiga jago Mongol itu sedangkan pedang di tangan Pek Giok merupakan seekor naga hijau yang berbelit-belit dan menyambar-nyambar. Akan tetapi kedua pendekar muda ini diam-diam maklum bahwa pertempuran akan berlangsung lama karena sungguhpun mereka tidak terdesak, akan tetapi juga amat sukar bagi mereka untuk menjatuhkan pengeroyok mereka yang terdiri dari orang-orang gagah dan jagoan-jagoan pilihan. Bagi Pek Giok yang keras hati dan luar biasa tabahnya itu, tidak ada pikiran lain kecuali bertempur terus sampai berhasil merobohkan semua lawannya.

   la rela mengorbankan nyawa dalam setiap pertempuran untuk mencapai kemenangan! Akan tetapi Han Bun adalah seorang pemuda yang berpemandangan jauh dan lebih suka mempergunakan pertimbangan dan kecerdikan. ia maklum bahwa ia sendiripun sukar merobohkan tiga orang lawannya yang amat tangguh, apalagi Ulan Bauw, Pendeta Mongol yang benar-benar sakti dan yang memiliki kepandaian tinggi itu. ia tidak mempunyai permusuhan langsung dengan orang-orang Mongol ataupun perwira-perwira itu, maka apa gunanya bertempur mati-matian? Usahanya hanya berdasarkan merampas surat-surat penting itu untuk dipergunakan sebagai kendali dan mengekang kehendak Pangeran Liang Tek Ong yang akan berkhianat. Sekarang peti kecil itu telah berada di tangannya, untuk apa mengadu nyawa di tempat itu?

   "Sing-Gan Kim-Hi! Mari kita tinggalkan tempat ini!"

   Ajaknya kepada Pek Giok.

   "Tidak!"

   Jawab dara itu sambil putar-putar pedangnya.

   "Kalau kau merasa takut, pergilah sendiri!"

   Han Bun mendongkol juga. Gadis ini benar-benar berkepala batu, pikirnya. ia mendapat akal, lalu berkata lagi.

   "Baik, aku akan pergi membawa peti ini!"

   Setelah berkata demikian, ia mengirim serangan hebat kepada Ulan Bauw sehingga Pendeta Mongol itu merasa terkejut dan melompat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Han Bun untuk mempergunakan ginkangnya dan melompat jauh, lalu berlari cepat! Benar sebagaimana dugaan pemuda itu, ketika Pek Giok mendengar ucapannya yang terakhir itu, Pek Giok teringat akan peti kecil yang dititipkan kepada Han Bun, maka ia berseru keras.

   "Maling! Kau hendak berlaku curang?"

   Lalu iapun melompat jauh dan mengejar Han Bun yang sudah berlari cepat merupakan bayangan putih yang berkelebat bagaikan terbang!

   "Kejar!"

   Perwira-perwira itu berseru, akan tetapi hal inipun sudah masuk dalam perhitungan Han Bun. Tadi sebelum mengambil keputusan untuk melarikan diri, ia telah memperhatikan gerakan para musuhnya dan mendapat kenyataan bahwa sungguhpun dalam ilmu lweekang dan ilmu silat, mereka itu cukup tinggi tingkatnya,

   Akan tetapi gerakan kaki mereka masih bersuara, tanda bahwa ginkang mereka masih belum tinggi. Maka kini setelah para perwira itu bersama ketiga jago Mongol mengejar, tentu saja mereka tidak dapat menyusul Han Bun dan Pek Giok yang memiliki ilmu lari cepat luar biasa hebatnya. Sebentar saja bayangan Han Bun dan Pek Giok sudah lenyap dari pandangan mata mereka. Han Bun memasuki kota sambil berlari cepat dan ketika ia tiba di tempat yang ramai, ia lalu menahan kakinya dan berjalan seperti biasa. Oleh karena itu, dengan cepat Pek Giok dapat mengejarnya, akan tetapi gadis ini juga tidak berani rIbut-rIbut di tempat ramai itu karena malu. ia hanya memandang kepada Han Bun yang hanya menengok sambil tersenyum-senyum.

   "Kau tentu mengira aku akan lari sungguh-sungguh, bukan?"

   Pek Giok cemberut dan menjawab.

   "Laripun aku tidak khawatir, karena aku akan dapat mengejarmu!"

   Akan tetapi, tiba-tiba matanya melihat betapa baju pemuda itu yang berwarna putih, di bagian punggungnya kembali menjadi merah, tanda bahwa lukanya yang belum sembuh betul itu ketika dipakai bertempur tadi, telah berdarah pula.

   "Kau... kau belum sembuh, lukamu berdarah lagi..."

   Katanya penuh kecemasan, dan suaranya yang terdengar penuh khawatir dan amat memperhatikan itu sungguh-sungguh keluar tanpa disadarinya.

   "Tidak apa, hanya sakit sedikit,"

   Jawab Han Bun, akan tetapi Pek Giok tidak percaya keterangan ini karena wajah pemuda itu nampak pucat sekali.

   "Kita harus bermalam di kota ini,"

   Katanya dan kembali ucapannya ini tidak disadarinya, tidak ingat bahwa ia sama sekali tidak ingin bersama-sama pemuda itu.

   "Kau harus beristirahat dan mendapatkan. obat yang tepat. Kalau tidak, lukamu itu menjadi berbahaya."

   "Tidak apa,"

   Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jawab pula Han Bun.

   "bukankah kau mengajak berlomba lari?"

   "Mengapakah kau menghendaki peti itu?"

   Tanya Pek Giok perlahan.

   "Belum waktunya kuberitahukan kepadamu, di sini banyak orang yang tak boleh mendengar keterangan itu,"

   Jawab Han Bun.

   "Kau harus beristirahat dan besok baru melanjutkan perjalanan."

   "Dan kau membiarkan aku membawa lari ini?"

   Pek Giok menggeleng kepalanya.

   "Tak mungkin! Kau takkan mau pergi melarikan diri."

   "Bukankah aku maling katamu tadi?"

   "Pergilah kalau kau suka, aku tidak perduli. Aku mau beristirahat dan bermalam di rumah penginapan dalam kota ini,"

   Kata pula Pek Giok dan karena mereka telah tiba di tengah kota di mana banyak terdapat rumah penginapan, gadis itu lalu masuk ke dalam sebuah rumah penginapan yang besar. Pek Giok sebenarnya tidak lelah, akan tetapi ia berpura-pura ingin beristirahat untuk memberi kesempatan kepada pemuda agar dapat beristirahat pula!

   Han Bun bukanlah orang bodoh dan ia maklum akan hal ini, maka diam-diam ia merasa girang sekali. Apalagi memang ia merasa amat lelah dan pundaknya seperti mati sebelah karena sakit yang menjalar dari luka di punggungnya. Akan tetapi ia. tidak mau memperlihatkan kelemahan di depan Pek Giok dan berpura-pura tidak merasa sakit. Melihat Pek Giok telah mendapatkan sebuah kamar, iapun lalu minta sebuah kamar kepada pelayan dan setelah masuk ke dalam kamarnya, ia lalu membaringkan tubuhnya dan sebentar saja ia tertidur tanpa menutup pintunya. ia benar-benar merasa lelah dan sakit. Baru saja ia tertidur, ia mendengar pintu kamarnya diketuk orang dan ketika ia membuka matanya, ternyata Pek Giok telah berdiri di ambang pintu. ia hendak bangun, akan tetapi Pek Giok berkata perlahan.

   

Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini