Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 7


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Kau sembrono sekali, tidur tanpa menutup daun pintu! Aku hendak pergi, kau tutuplah pintu kamarmu baik-baik. Bagaimana kalau ada orang masuk dan mengambil barang itu?"

   Baru Han Bun teringat bahwa dialah yang membawa peti kecil itu maka ia merasa malu akan kesembronoannya.

   Ia lalu berbangkit dan menutupkan daun pintu, setelah gadis itu pergi lagi. Peti kecil itu ia masukkan ke bawah bantal, kemudian pemuda itu lalu merebahkan dirinya kembali. Haripun telah menjadi gelap karena senja telah menghilang, terganti malam gelap karena bulan belum juga muncul. Tak lama kemudian, Han Bun terjaga kembali dari tidurnya dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya panas dan punggungnya yang terluka terasa sakit sekali. ia terjaga karena merasa ada sesuatu menimpa dadanya ketika ia tertidur telentang tadi. Sebagai seorang ahli silat yang pandai, setiap gerakan atau suara yang sedikit saja cukup untuk membangunkan dari tidurnya. Ketika ia membuka matanya, ia melihat sebuah bungkusan kertas kuning terletak di atas dadanya dan dari luar ia mendengar suara Pek Giok.

   "Mereka yang mengejar telah sampai di kota, akan tetapi mereka tidak mengira bahwa kita berada di tempat ini. Mereka melanjutkan pengejaran terus ke tirnur. Pakailah obat itu agar lukamu sembuh!"

   Lalu terdengar langkah kaki gadis itu memasuki kamarnya sendiri yang berada di seberang kamarnya. Han Bun diam-diam merasa berterima kasih sekali kepada gadis yang belum diketahui namanya itu. ia teringat betapa dulu gadis itu mencabut anak panah yang menancap di punggungnya, kemudian mengobatinya dan membalutnya. Kini ternyata gadis itu telah mencarikan obat untuknya. Diam-diam ada perasaan yang amat berbahagia di dalam dadanya. ia menyinta gadis itu, menyinta dengan aneh dan dengan sepenuh hatinya, dan ia yakin bahwa perasaannya ini tidak sia-sia, karena betapapun gadis itu bersikap kasar terhadapnya,

   Namun ia dapat menduga bahwa gadis itupun cinta, atau sedikitnya suka kepadanya! Memang benar dugaan Han Bun. Pek Giok sengaja berhenti dan bermalam di kota itu untuk memberi kesempatan kepada Han Bun beristirahat, bahkan ia lalu keluar dari hotel dan membeli obat di rumah obat yang banyak terdapat di kota itu. Ketika ia sedang mencarikan obat untuk Han Bun, ia melihat rombongan perwira yang tadi bertempur dengan dia. Cepat ia bersembunyi dan menyelidiki gerak-gerik mereka. Ternyata bahwa rombongan perwira itu terus melakukan pengejaran ke timur, karena mereka mengira bahwa tak mungkin kedua orang muda yang merampas peti itu akan berani bermalam di kota itu. Mereka tidak mau membuang waktu untuk mencari di kota dan andaikata mereka mendahului perjalanan kedua orang muda itu,

   Mereka masih dapat menghadang perjalanan mereka, karena rombongan perwira itu dapat menduga bahwa kedua orang muda itu tentu akan membawa surat-surat rahasia itu kepada Kaisar! Hanya satu hal saja yang dapat membuat kedudukan Pangeran Liang Tek Ong berada dalam bahaya, yakni kalau surat-surat itu terbaca oleh Kaisar. Oleh karena itu, mereka hendak menghadang perjalanan kedua orang muda itu dan menghalanginya agar jangan sampai dapat memberikan surat-surat itu kepada Kaisar. Akan tetapi mereka tetap singgah di rumah pembesar setempat dan memesan agar supaya pembesar itu menyelidiki apakah ada dua orang muda berada di kota Lancouw, dan kalau ada, agar supaya berusaha merampas kembali sebuah peti kecil yang dicuri oleh kedua orang muda itu.

   Han Bun cepat rnenggunakan obat itu untuk ditempelkan pada luka di punggungnya, dan ia merasa girang sekali ketika merasa betapa rasa sakit di punggungnya banyak mengurang setelah obat itu ia pergunakan. Benar-benar manjur sekali obat itu dan ia makin merasa berterima kasih kepada gadis yang disebutnya Ikan Emas Bermata Bintang itu! Malam hari itu tidak terjadi sesuatu, akan tetapi pada keesokan harinya, ketika Pek Giok keluar dari kamarnya, ia melihat bayangan dua orang berkelebat di depan kamar Han Bun dan sikap orang itu amat mencurigakan. Kedua orang itu ketika melihat Pek Giok hendak melarikan diri, akan tetapi sekali melompat saja, Pek Giok telah berhasil membekuk mereka dan dengan dua kali mengirim serangan ia berhasil menotok pundak mereka sehingga kedua orang itu roboh dengan lemas!

   "Apa yang kau perbuat di sini? Mengakulah kalau tak ingin kupatahkan batang lehermu!"

   Gadis itu mengancam dengan suara perlahan. Terdengar pintu terbuka dan Han Bun telah berdiri di situ dan ia nampak banyak lebih sehat daripada kemarin.

   "Mereka semenjak pagi tadi telah mengintai kamarku,"

   Katanya. Kedua orang itu merasa ketakutan dan biarpun mereka telah tertotok tak berdaya, namun mereka masih dapat bicara.

   Seorang diantara mereka diam saja, dan ketika kawannya hendak membuka mulut, ia memandang dengan melotot sehingga kawannya itu tidak berani dan tidak jadi membuka mulutnya. Pek Giok menjadi marah sekali. ia menggerakkan tangan dan menepuk perlahan di punggung orang yang menutup mulutnya itu sehingga orang itu terkena pukul jalan darahnya. Bukan main hebatnya tepukan perlahan ini karena orang itu lalu meringis-ringis kesakitan. Untuk mengeluarkan suara ia tak dapat dan ia hanya menggigit-gigit bibir menahan sakit sampai bibirnya berdarah dan luka-luka tergigit oleh giginya sendiri! ia menggulingkan tubuh di lantai dan bergulingan bagaikan seekor babi disembelih! Han Bun tidak tega melihat siksaan ini dan ia lalu melangkah maju lalu menendang punggung orang itu yang segera terbebas dari penderitaan yang luar biasa.

   "Nah, kau tentu sadar bahwa tak guna kau menutup mulut terus,"

   Kata pemuda itu.

   "Katakan apakah maksudmu mengintai kami dan siapa yang menyuruhmu?"

   Terpaksa orang itu tidak berani menutup mulutnya terus.

   "Ampun, jiwi Taihiap, hamba berdua hanya pesuruh saja. Malam tadi datang serombongan perwira dari Kotaraja yang memberi perintah kepada Taijin di kota ini agar supaya menyelidiki keadaan jiwi Taihiap. Hamba berdua kebetulan sekali mendapatkan jiwi di hotel ini dan... harap sudi memberi ampun, karena hamba hanya menjalankan tugas belaka."

   "Usaha apa lagi yang dikerjakan oleh majikanmu untuk memenuhi perintah perwira-perwira itu?"

   "Pasukan besar telah disiapkan untuk menangkap jiwi apabila seorang diantara para penyelidik dapat mengetahui tempat bermalam jiwi Taihiap,"

   Kata orang itu. Han Bun dan Pek Giok saling pandang dan pada saat itu, para pelayan hotel yang mendengar rIbut-rIbut telah datang bersama beberapa orang tamu.

   "Kita pergi!"

   Kata Pek Giok kepada Han Bun yang mengangguk. Mereka lalu mengambil pakaian dan buntalan masing-masing, dan ketika mereka keluar dari kamar, ternyata dua orang penyelidik itu telah dirubung banyak orang yang bertanya-tanya.

   "Ini uang sewa kamar!"

   Kata Pek Giok sambil memberi beberapa potong uang kepada pelayan. Ketika pelayan itu menerima uang tadi, ia berseru kaget karena uang itu telah hancur dalam genggaman tangan Pek Giok! Dengan wajah pucat pelayan itu melangkah mundur, dan Pek Giok lalu berkata kepada semua orang yang melihat hal itu dengan mata terbelalak.

   "Siapa berani membuka mulut membikin rIbut sebelum kami berdua pergi, akan kuhancurkan kepalanya seperti uang ini!"

   Pek Giok dan Han Bun lalu keluar dari hotel itu dengan cepat dan semua orang masih saja berdiri melongo dan tak berani bergerak! Ketika mereka telah berlari sampai jauh dan kini berada di tepi Sungai Wei-Ho, matahari telah naik tinggi. Pek Giok lalu berkata kepada Han Bun.

   "Sekarang kembalikan peti itu dan kita harus berpisah, melanjutkan perjalanan masing-masing."

   Han Bun benar-benar nampak terkejut. ia memang sudah menduga bahwa mereka takkan dapat berjalan terus bersama-sama, akan tetapi setelah hal ini diucapkan oleh gadis itu, ia merasa amat terkejut dan kecewa. Akan tetapi ia menetapkan hatinya dan menindas perasaannya. Tak mau ia memperlihatkan kelemahan hatinya.

   "Apakah yang hendak kau lakukan dengan peti ini?"

   Tanyanya tiba-tiba sambil memandang tajam.

   "Hendak kubawa ke Kotaraja dan kuserahkan kepada Kaisar agar supaya pengkhianat Liang Tek Ong itu terhukum!"

   Han Bun menggelengkan kepalanya.

   "Dengarlah, Sing-Gan Kim-Hi! Kau tidak mengerti sedalam-dalamnya tentang hal ini, dan kau hanya melanjutkan usaha patriot she Tan itu. Sungguhpun hal ini kupuji dan menimbulkan kagumku, akan tetapi kalau kau lanjutkan usahamu ini, kau takkan dapat membereskan hal ini dengan baik, bahkan akan mendatangkan kerIbutan belaka."

   Han Bun lalu menceritakan betapa ia telah mendapat tugas dari Suhunya untuk menyelidiki hal ini dan untuk merampas peti kecil itu. Betapa telah berbulan-bulan ia mengikuti perjalanan Pangeran Liang Tek Ong sehingga akhirnya ia berhasil merampas peti itu.

   "Kebetulan sekali kaupun datang menyerbu, kalau tidak mendapat bantuanmu, belum tentu aku akan berhasil,"

   Kata pemuda itu.

   "Ketahuilah, peti dengan isinya yang amat berharga ini sekali-kali tidak boleh diberikan kepada Kaisar oleh kita sendiri, karena selain amat sukar untuk menghadap Kaisar, juga kaki tangan Pangeran Liang amat banyaknya tersebar di Kotaraja. Karena itu, kita yang sudah mereka kenal, agaknya takkan mungkin menghadap Kaisar, karena mereka pasti akan mengerahkan seluruh tenaga dan pengaruh untuk menghalangi kita. Dan lagi, tidak ada perlunya benda ini diberikan kepada Kaisar, karena hal itu hanya akan menimbulkan perpecahan dan kerIbutan di Kotaraja. Kalau Pangeran Liang sampai tertangkap dan dihukum, pengikut-pengikutnya tentu akan memberontak dan hal ini akan melemahkan keadaan Kotaraja sehingga orang-orang Mongol itu akan lebih mudah datang menyerang selagi Negara terpecah belah dan kacau-balau."

   Pek Giok yang sama sekali tidak mengerti tentang keadaan Negara, tentu saja menjadi bingung sekali. ia memandang kepada pemuda itu dengan mata bodoh, lalu bertanya.

   "Kalau begitu, mengapa kau merampas peti itu? Untuk apakah?"

   Han Bun tersenyurn.

   "Pangeran Liang Tek Ong bermaksud memberontak dan mengadakan persekutuan dengan orang-orang Mongol. Kalau surat-surat ini tidak berada di tangannya, maka ia selalu akan menjadi gelisah dan takut kalau-kalau rahasianya ini diketahui oleh Kaisar. Hal ini akan melemahkan semangatnya dan akan mencegahnya bertindak terlebih jauh. Aku akan memberi surat ancaman kepadanya dan surat-surat ini akan kujadikan kendali untuk mengikat hidungnya agar ia jangan dapat bergerak dan biarlah ia selalu berada dalam kegelisahan. Sementara itu, aku akan mencari seorang pembesar di Kotaraja yang benar-benar merupakan seorang Tiongsin (menteri setia) agar dapat menyampaikan surat-surat ini kepada Kaisar. Karena kalau surat-surat ini sampai terjatuh ke tangan seorang Kansin (menteri durna), maka segala jerih payah kita akan sia-sia belaka."

   Pek Giok benar-benar menjadi pening memikirkan hal yang amat ruwet baginya itu. ia menghela napas dan berkata.

   "Hm, bagianmulah pekerjaan Itu! Aku tidak tahu bagaimana harus berbuat kalau surat-surat itu berada di tanganku. Biarlah, kau boleh bawa barang celaka itu. Hanya sedikit kusayangkan..."

   "Apakah itu?"

   "Dengan adanya penuturanmu ini, aku tidak mempunyai alasan untuk berkeras, dan kau terlalu enak, dapat menerima peti itu begitu saja!"

   "Nona, urusan ini adalah sebuah urusan yang besar dan amat penting sekali. Aku tahu bahwa kau tidak suka mengalah begitu saja dan ingin... mencoba kepandaianku lebih dulu sebelum memberikan peti ini kepadaku, bukan?"

   Merahlah muka Pek Giok mendengar dugaan yang tepat ini. ia sudah terlalu sering mendengar pemuda ini mengeluarkan dugaan-dugaan yang tepat tentang apa yang sedang terkandung dalam hati-nya! Maka ia lalu membalikkan tubuh dan berkata.

   "Sudahlah! Kau bawa pergi benda itu dan kita berpisah di sini!"

   "Nona tunggu dulu!"

   Pek Giok menengok dan ia melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan muka sedih.

   "Benar-benarkah kau hendak meninggalkan aku?"

   Tanya pemuda itu.

   "Tentu saja! Kita tidak mempunyai hubungan sesuatu, tidak ada kepentingan apa-apa, mengapa tidak berpisah?"

   "Nona, demikian kerasnya hatimu? Kita sudah melakukan perjalanan bersama, sudah menghadapi bahaya bersama, menghadapi lawan-lawan tangguh berdua dan kau... kau belum juga memberitahukan kepadaku siapakah namamu, darimana kau datang dan di mana tempat tinggalmu!"

   Kini Pek Giok tersenyum dan berdebarlah jantung Han Bun melihat betapa cantik jelita dan manisnya kalau gadis itu tersenyum.

   "Bukankah kau sudah mengetahui namaku? Kau selalu menyebutku Ikan Emas Bermata Bintang. Nah, itulah namaku! Perlu apa kau ingin mengetahui tempat tinggalku dan lain-lain? Aku... aku seorang perantau, tak bertempat tinggal. Kita hanya kebetulan saja bertemu, biarlah kuanggap sebagai pertemuan dalam mimpi. Selamat tinggal!"

   Gadis itu lalu menggerakkan kakinya dan melompat jauh. Akan tetapi Han Bun mengejarnya.

   "Nanti dulu, nona... Pertemuan kita tidak seremeh itu! Kau telah berkali-kali menolongku, tak mungkin hubungan kita akan terputus sedemikian saja. Bagiku bukan merupakan sebuah mimpi, aku... aku takkan dapat melupakan kau, nona. Beritahukanlah sebelum kau pergi, ke mana aku harus menyusulmu kelak, di mana kita dapat bertemu lagi..."

   "Di... alam mimpi juga! Sudahlah, Han Bun, tak patut seorang pemuda bersikap lemah dan berlaku ceriwis! Kalau... kalau ada jodoh kita tentu akan bertemu kembali!"

   Setelah berkata demikian, dengan muka merah karena jengah, Pek Giok lalu mempercepat gerakan kakinya dan berlari sepanjang Sungai Wei-Ho menuju ke utara! Han Bun tak jadi mengejar dan hanya berdiri memandang sampai bayangan gadis yang telah menawan hatinya itu lenyap di balik pohon. Kata-kata terakhir dari Pek Giok mendatangkan debar aneh dalam hatinya. Kalau berjodoh... Ah, ia tahu bahwa gadis itu juga mengandung perasaan suka kepadanya, dan kini tinggal terserah dalam tangan gadis itu apakah kelak mereka akan bertemu kembali atau tidak! Kalau ada jodoh... Han Bun menarik napas panjang berkali-kali, kemudian ia juga melanjutkan perjalanannya.

   Pek Giok berlari cepat, melanjutkan perjalanannya dengan hati girang. ia takkan dapat melupakan, ah, alangkah merdunya kata-kata ini! Sesungguhnya, ia akan merasa gembira sekali apabila dapat berada di dekat pemuda itu, dapat melakukan perjalanan bersama. Alangkah senangnya dapat berada disampingnya untuk selamanya! Tiba-tiba mukanya terasa panas ketika ia berpikir demikian. Ah, ia tidak boleh begitu lemah. ia bukan seorang gadis yang mudah tunduk begitu saja, tak mudah menyerahkan hatinya kepada seorang yang baru saja ditemuinya begitu saja! Ketika Han Bun bertanya tentang nama dan asal usulnya, hatinya ingin sekali mengaku terus terang, akan tetapi ia teringat akan keadaan Ayahnya. Alangkah akan malunya kalau pemuda itu mengetahui bahwa Ayahnya adalah Sam-Thouw-Coa Siok Kong, kepala perampok yang terkenal kasar dan kejam!

   Tentu saja ia tidak dapat mengaku bahwa Ayahnya adalah seorang perampok besar dan bahwa tempat tinggalnya adalah di tengah hutan yang dijadikan sarang oleh Ayahnya dan anak buah perampok! Perjalanan yang ditempuh Pek Giok amat jauh, menyusur sepanjang Sungai Wei-Ho yang menjadi anak Sungai Huang-Ho, melalui dusun-dusun dan kota-kota besar seperti Sian, Loyang di Propinsi Sensi dan Honan. ia melakukan perjalanan dengan amat cepatnya, kadang-kadang menyewa perahu mengambil jalan air, kemudian setelah bosan ia lalu berjalan cepat melalui daratan. Akhirnya, pada suatu pagi sampailah ia di hutan sebelah barat kota Sung-Kian, di mana Ayahnya tinggal bersama kawan-kawan perampok! Hatinya berdebar girang dan ia telah mernbayangkan betapa Ayahnya akan menyambut kedatangannya dengan girang.

   Telah hampir tujuh tahun ia meninggalkan Ayahnya dan wajah Ayahnya masih diingatnya benar. ia masih ingat bahwa Ayahnya membangun sebuah pondok kayu di dalam hutan itu sebelah utara, dekat anak sungai yang mengalirkan air jernih. Setelah memasuki hutan dan melihat pohon-pohon liar, bunga-bunga dan burung-burung yang berkicau di pagi hari itu, hatinya menjadi gembira sekali. Teringatlah ia betapa senang hidupnya di dalam hutan ini tujuh tahun yang lalu. Setelah memasuki hutan, maka ia teringat kembali akan keadaan di dalam hutan yang tidak banyak berubah, maka dipercepatlah tindakan kakinya menuju ke bagian utara, untuk mencari pondok Ayahnya. Tiba-tiba dari sebelah kiri menyambar tiga batang anak panah yang menancap di batang pohon yang berada di depannya.

   Kemudian terdengar orang bersorak dan kaki berlari-lari mendatang. Pek Giok merasa heran sekali. Cara perampokan macam ini tidak biasa dilakukan oleh Ayahnya. Kalau hendak merampok, Ayahnya keluar begitu saja tanpa menyerang orang dengan anak panah... Tak lama kemudian, dari belakang pohon-pohon keluarlah belasan orang perampok yang dipimpin oleh seorang perampok muda yang bermuka hitam dan bermata liar. Pek Giok masih dapat mengenal beberapa muka anak buah perampok, akan tetapi ia tidak melihat Ayahnya. Juga pemimpin perampok yang masih muda ini belum pernah dilihatnya. dahulu. Ternyata bahwa perampok-perampok yang dulu ikut Ayahnya, tidak mengenalnya lagi dan Pek Giok juga tidak mau mernperkenalkan diri, hendak dilihatnya apakah yang mereka akan perbuat terhadap dirinya dan pula, ia merasa terheran karena tidak melihat Ayahnya.

   "Kalian mau apakah?"

   Tanyanya dengan suara keren. Pemimpin perampok muda itu tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan nona muda yang cantik ini. Lagak dan ketawanya tidak menyedapkan hati Pek Giok.

   "Lihatlah, ha, ha, ha!"

   Pemimpin perampok itu berkata kepada kawan-kawannya.

   "Tidakkah nona manis ini pantas sekali menjadi isteriku? Nona, kau manis dan cantik sekali, telah lama kurindukan seorang seperti kau!"

   Bukan main marahnya Pek Giok mendengar ucapan ini. ia bertolak pinggang dan membentak.

   "Bangsat kurang ajar! Dari manakah datangnya anjing seperti kau di tempat ini? Dahulu, kawanan liok-lim di tempat ini adalah orang-orang gagah yang tidak mau menghina wanita, akan tetapi sekarang mengapa pemimpinnya seorang hina-dina macam kau? Hayo cepat katakan, di mana adanya Siok-Tai-Ong yang dulu!"

   "Ha, ha, ha! Kau sudah kenal Siok-Tai-Ong? Ah, bukankah aku lebih gagah daripadanya? Ada yang muda dan kuat, mengapa kau mencari yang tua dan lemah?"

   Pek Giok tak dapat menahan sabarnya lagi. Tangan kanannya bergerak maju dan "Plak!"

   Muka yang hitam itu kena ditamparnya keras sekali.

   "Aduh...!"

   Pemimpin perampok muka hitam itu terhuyung ke belakang dan memegang pipinya yang menjadi bengkak. Dari mulutnya keluar darah karena dua buah giginya telah copot! ia menjadi marah dan dari sepasang matanya yang liar seakan-akan keluar api.

   "Babi betina! Kau berani menghinaku?"

   Kepala rampok ini lalu mencabut goloknya dan menyerang dengan hebat.

   "Anjing hina-dina! Binatang macam kau tak perlu menjual lagak di depan nonamu!"

   Seru Pek Giok dan cepat ia mengelak ke kanan dan ketika kaki kirinya mengirim tendangan kilat yang tepat menyambar pergelangan kepala rampok itu sehingga goloknya terlempar, si muka hitam itu berteriak kesakitan dan Pek Giok menyusul dengan sebuah tamparan pula yang mengenai telinganya dan membuat tubuhnya terlempar dan bergulingan di atas rumput tak dapat bangun lagi! Kepala rampok itu merasa kepalanya seakan-akan hendak pecah saking sakitnya.

   "Kurang ajar! Hayo lekas katakan di mana adanya Ayahku, Siok Kong?"

   Mendengar bahwa nona ini adalah Pek Giok, nona kecil yang menjadi anak kepala rampok Siok Kong, terkejutlah beberapa orang perampok tua bekas anak buah Siok Kong, akan tetapi perampok-perampok baru yang menjadi anak buah si muka hitam tadi, lalu maju menyerbu. Akan tetapi beberapa kali menggerakkan kaki tangannya, Pek Giok telah menyapu mereka sehingga terdengar pekik kesakitan dan mereka itu roboh seorang demi seorang! Tiba-tiba seorang perampok tua yang masih dikenal oleh Pek Giok sebagai seorang bekas anak buah Ayahnya, melompat maju dengan pedang di tangan dan sebelum dapat dicegah, perampok ini membacok kepala rampok muda bermuka hitam itu sehingga lehernya menjadi putus! Kemudian perampok itu menjatuhkan diri berlutut di depan Pek Giok dan... menangis! Perampok-perampok lainnya juga berlutut di samping perampok tua itu.

   "Bukankah kau Teng-Pekhu?"

   Tanya Pek Giok. Perampok itu mengangguk-angguk sambil menahan tangisnya.

   "Siocia, kau telah menjadi seorang yang berkepandaian tinggi! Ah, alangkah akan senangnya hati Ayahmu kalau ia masih hidup..."

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   Pucatlah muka Pek Giok mendengar ini.

   "Apa katamu...??? di mana Ayahku? Mengapa dia...??"

   Perampok she Teng itu lalu bangun berdiri, memberi perintah kepada kawan-kawannya untuk mengurus mayat kepala rampok muka hitam itu dan mengobati lain perampok yang terluka, lalu ia mengajak Pek Giok menuju ke pondok Ayahnya dahulu. Setelah mereka masuk ke dalam pondok dan Pek Giok telah mengambil tempat duduk, perampok itu lalu menceritakan peristiwa yang terjadi kurang lebih setahun yang lalu.

   "Si muka hitam itu tadinya adalah seorang perampok tunggal, akan tetapi karena ia terkenal kejam dan suka mengganggu anak bini orang maka Ayahmu tidak suka kepadanya sehingga diantara mereka terdapat permusuhan. Pada suatu hari, ia datang menantang Ayahmu dan dalam sebuah pertempuran hebat, Ayahmu telah dibinasakan olehnya! Kami tidak berdaya karena si muka hitam itu benar-benar tangguh sehingga terpaksa kami dengan hati dendam menjadi anak buahnya dan sudah setahun ini ia mengepalai kawan-kawan di hutan ini, bahkan ia lalu mendatangkan anggota-anggota baru yang sama jahatnya. Telah lama kami mengandung niatan untuk melarikan diri atau memberontak, akan tetapi seperti kukatakan tadi, kami tidak kuat menghadapinya. Dan hari ini, secara tak tersangka-sangka, kau datang, nona, dan dapat membalaskan sakit hati Ayah angkatmu."

   Pek Giok tadinya merasa marah sekali mendengar bahwa Ayahnya terbunuh oleh si muka hitam tadi, akan tetapi mendengar ucapan terakhir ia membelalakkan matanya dan bertanya setengah membentak.

   "Apa maksudmu dengan Ayah angkatku???? Siapa Ayah angkatku?"

   Perampok tua itu menghela napas panjang dan berkata lagi.

   "Sesungguhnya aku takkan berani mengeluarkan ucapan itu kalau tidak mendapat pesan dari mendiang Siok-Tai-Ong. Ketika ia telah terluka hebat oleh si muka hitam dan kurawat, ia meninggalkan pesan yang harus kusampaikan kepada Siocia apabila aku dapat bertemu denganmu."

   "Bagaimana pesannya? Lekas katakan!"

   Tanya Pek Giok dengan hati berdebar.

   "Dia meninggalkan pesan yang singkat dan maksudnya hanya memberitahu bahwa sesungguhnya nona bukanlah anaknya. Mendiang Ayah angkatmu ini merampasmu dari tangan seorang jahat yang menculikmu dari kedua orang-tuamu yang asli."

   Maka perampok tua itu lalu menceritakan riwayat Pek Giok yang terbawa oleh penculik Liu Bo Cin. Betapa Liu Bo Cin lewat di dalam hutan ini dan kemudian dapat terbunuh oleh Siok Kong yang selanjutnya mengaku anak kepada Pek Giok.

   "Ketika hal itu terjadi, kau masih amat kecil dan ketakutan serta telah mengalami banyak penderitaan, maka mungkin sekali hal itu tak teringat lagi olehmu, nona. Akan tetapi karena aku sendiri ketika itu berada pula di sini, maka dapat aku menceritakan semua hal ini kepadamu. Adapun pesan Ayahmu itu adalah pesan yang amat penting, karena sebelum menghembuskan napas terakhir, ia memberitahukan siapa adanya orang-tuamu yang sesungguhnya!"

   Semenjak mendengar penuturan tadi, wajah Pek Giok menjadi muram, ia mengerutkan kening dan dari kedua matanya tak terasa lagi mengalir turun air mata. Kini mendengar ucapan terakhir ini, ia mengangkat mukanya dan memandang dengan mata terbelalak kepada perampok tua itu.

   "Teng-Pekhu, lekas katakan, siapakah mereka itu? Siapakah orang-tuaku yang sesungguhnya? Kini aku teringat sedikit tentang peristiwa penculikan itu setelah kau menceritakannya kepadaku. Memang, aku kini teringat bahwa aku bukanlah anak Ayah Siok Kong. Aku teringat bahwa aku dibawa lari dan diikat kaki tanganku oleh seorang laki-laki yang bermuka kuning dan bermata liar. Akan tetapi, aku tidak ingat lagi siapakah adanya Ayah-Bundaku. Lekas kau sebutkan nama mereka, Teng-Pekhu!"

   "Menurut pesan Ayah angkatmu, orang-tuamu itu adalah seorang Guru silat bernama Can Gi Sun yang tinggal di kota Sung-Kian, tak jauh dari hutan ini, di sebelah timur."

   Pek Giok meramkan kedua matanya dan wajahnya menjadi pucat. ia duduk sambil memejamkan mata, kedua tangannya diangkat dan meraba jidatnya. ia mengerahkan ingatannya dan kini terbayanglah kembali peristiwa di waktu ia masih kecil. ia melihat wajah seorang wanita yang cantik jelita, yang menimang-nimangnya dengan penuh kasih sayang, terbayang pula wajah seorang laki-laki yang tinggi kurus dan yang amat baik terhadapnya. Terbayang pula sebuah bangunan rumah di kota Sung-Kian, rumah yang mempunyai pekarangan lebar. Teringat olehnya betapa laki-laki tinggi kurus itu seringkali pergi meninggalkan rumah, pergi jauh mengirimkan gerobak terisi barang-barang sambil menunggang kuda dengan gagahnya, meninggalkan ia dalam pangkuan wanita cantik jelita itu.

   "Aku teringat... aku teringat..."

   Bisik Pek Giok, sedangkan perampok tua itu memandang dengan terharu. Pek Giok membuka matanya dan ternyata bahwa matanya telah menjadi basah. Butiran-butiran air mata mengalir turun di sepanjang pipinya.

   "Teng-Pekhu kini teringatlah olehku. Memang benar, Ayah-Ibuku masih hidup... mereka tinggal di Sung-Kian, dalam sebuah rumah sederhana yang lebar pekarangannya. Dan Ayah angkatku itu... ah, sungguh kasihan dia! Belum ada kesempatan bagiku untuk membalas budinya, ia telah menolongku, telah melepaskan aku dari bahaya maut ketika aku diculik Bangsat itu. Ah, Teng-Pekhu, antarkan aku ke makamnya!"

   Pek Giok lalu diantar oleh perampok itu ke makam Siok Kong, sebuah makam sederhana yang merupakan segunduk tanah saja. Pek Giok menjatuhkan diri berlutut dan memeluk gundukan tanah itu.

   "Ayah..."

   Bisiknya dengan air mata bercucuran.

   "betapapun juga... kau kuanggap seperti Ayahku sendiri kau seorang mulia... semoga arwahmu mendapat tempat yang baik, Ayah..."

   Pek Giok lalu memasang hio dan bersembahyang, berdiam di tempat itu, membersihkan rumput dan berpesan kepada perampok she Teng itu untuk merawat rnakam ini, memberinya uang guna membeli batu nisan dan memperbaiki kuburan itu. Sampai setengah hari ia berada di situ, kemudian ia meninggalkan hutan, menuju ke timur, ke kota Sung-Kian, di mana orang-tuanya, yakni Can Gi Sun dengan isterinya, tinggal!

   Telah lama sekali kita meninggalkan Can-Kauwsu dan Song-Kauwsu, dua Guru silat yang saling bermusuhan itu. Marilah kita menengok keadaan mereka dan melihat apakah yang terjadi selama ini, karena sesungguhnya selama kita mengikuti pengalaman-pengalarnan Pek Giok dan Han Bun, banyak hal telah terjadi antara kedua orang Guru silat yang saling mendendam itu.

   Sebagaimana telah kita ketahui di bagian pertarna, semenjak Suheng dari Can Gi Sun yang bernama Link Si Seng dalam usahanya membalas sakit hati Sutenya itu tewas dalam tangan Lee Kim Lun, Can-Kauwsu menjadi putus harapan untuk dapat membalas dendam. ia lalu membawa isterinya pindah ke sebuah dusun kecil tak jauh dari Sung-Kian dan hidup menanggung penasaran hati di dusun itu. Yang menjadi hIburan satu-satunya adalah Lui Siong, murid kepala yang amat setia itu. Lui Siong yang bekerja sebagai Piauwsu, seringkali mengunjungi Suhunya, membawa oleh-oleh dari perjalanannya, menghIbur hati Suhunya dengan cerita-cerita pengalamannya di waktu melakukan perjalanan mengantar barang-barang ke kota dan daerah lain. Pada suatu hari Lui Siong datang mengunjungi Suhunya dengan wajah berseri. Begitu bertemu dengan Suhunya, ia berkata.

   "Suhu, benar-benar Thian amat adil. Orang jahat walaupun amat kuat dan berkuasa, akhirnya dapat juga pembalasannya dari Thian!"

   "Lui Siong, apakah maksud kata-katamu"

   "Musuh kita, Song Swi Kai itu, kini baru merasa betapa sengsaranya dIbuat sakit hati!"

   Murid yang usianya sudah empat puluh tahun lebih ini tertawa bergelak.

   "la telah mengandalkan bantuan Kakak-beradik she Lee untuk menindas kita, tidak tahunya ia telah memasukkan dua ekor srigala di dalam rumahnya. Ha, ha, ha!"

   Can-Kauwsu makin tertarik mendengar ini dan mendesaknya agar supaya segera menceritakan hal itu.

   "Seperti Suhu ketahui pula,"

   Lui Siong mulai bercerita.

   "si sombong Lee Kim Lun itu diambil mantu oleh Song-Kauwsu, juga perempuan cabul Lee Kim Lian tinggal pula di rumahnya. Dan sekarang terlihatlah benar-benar sifat-sifat buruk mereka. Lee Kim Lun hanya menikah dengan puteri Song-Kauwsu karena terpikat oleh kecantikan dan kekayaannya. Kini Bangsat muda itu selain menghamburkan uang mertuanya, juga menyakiti hati isterinya. Jarang sekali berada di rumah dan pekerjaannya hanya pelesir membuang-buang uang belaka, mengunjungi perempuan-perempuan lacur, bahkan kabarnya memelihara banyak bini muda di luar! Song-Kauwsu tentu saja merasa sakit hati, akan tetapi ia tidak berdaya menghadapi mantunya yang tinggi ilmu kepandaiannya itu! Ha, ha, ha! Kekayaan keluarga Song sekerat demi sekerat habis digerogoti oleh bajingan itu!"

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lui Siong tertawa senang mengenangkan keadaan musuh besarnya yang menyedihkan itu.

   "Dan apa pula yang dilakukan oleh perempuan jahat Lee Kim Lian itu?"

   Bertanya Nyonya Can yang ikut merasa gembira mendengar keadaan keluarga Song yang dibencinya.

   "Perempuan cabul itu merupakan penggoda kedua yang merusak hati Song-Kauwsu. Tidak hanya menyakiti dan merusak hatinya, akan tetapi merusak nama dan kehormatannya pula! Semenjak dahulu sudah kita ketahui bahwa perempuan itu berwatak buruk dan cabul serta tak tahu malu. Kini ia lebih berani lagi. ia bermain gila dengan semua anak murid Song-Kauwsu, menghamburkan uang dan membuat rumah Song-Kauwsu seperti sebuah rumah pelacuran! Ha, ha, ha! Dan Song-Kauwsu si tua bangka yang sornbong itu hanya dapat rnenghela napas menyesali nasibnya! Itulah pembalasan Thian atas dosa-dosanya terhadap Suhu!"

   "Lui Siong, jangan kau berkata demikian,"

   Tiba-tiba Can-Kauwsu berkata dengan suara sungguh-sungguh hingga membuat isteri dan muridnya memandang heran.

   "Sepatutnya kita ikut merasa menyesal mendengar keadaan Song-Kauwsu sedemikian itu! Sesungguhnya, aku merasa kasihan kepadanya mendengar keadaannya seburuk itu."

   "Akan tetapi, Suhu! Bukankah ia musuh besar kita dan ia pula yang telah mendatangkan malapetaka kepada Suhu?"

   "Benar, akan tetapi kekalahanku dalam pIbu mendatangkan sakit hati yang lain lagi sifatnya. Sakit hatiku baru dapat terbalas kalau kita menangkan pihaknya dengan kepandaian silat pula. Terus terang saja, aku tidak membenci Song-Kauwsu, hanya penasaran karena tidak dapat mengalahkannya, atau rnengalahkan orang-orang yang membantunya. Malapetaka yang menimpa keluarganya bagiku bukanlah merupakan pembalasan yang memuaskan hatiku, bahkan mendatangkan rasa kasihan kepadanya."

   "Ah, kau memang berhati lemah,"

   Mencela isterinya.

   "Bagiku, orang macam dia yang sombong dan jahat memang sudah sepatutnya mendapatkan hukuman dari Thian. ia telah menghancurkan kehidupan kita, bahkan telah menewaskan Liok-Twako, sungguhpun yang menewaskan itu adalah mantunya. Percayalah, sekarang Song-Kauwsu mendapatkan hukuman dari Thian, dan mantunya serta perempuan cabul itu kalau tidak mendapat pembalasan dari orang gagah lain, pasti akan menerima kutukan dari Thian Yang Maha Adil pula."

   Can-Kauwsu menghela napas panjang dan berkata perlahan.

   "Isteriku, kau tidak tahu tentang kegagahan..."

   Beberapa hari kemudian, Lui Siong datang lagi dan kali ini ia datang dengan muka girang luar biasa. ia datang bersama seorang pemuda yang bermuka putih dan tampan, seorang pemuda yang berpakaian seperti seorang pelajar dari Kotaraja, sikapnya halus, tutur sapanya sopan-santun, sehingga bertemu sekali saja dengannya orang akan merasa suka dan tertarik.

   "Suhu, ini adalah anakku Lui Hong yang baru datang dari Kotaraja!"

   Lui Hong lalu memberi hormat sambil berlutut kepada Guru Ayahnya, sehingga Can-Kauwsu cepat membangunkan pemuda itu. ia melihat betapa sepasang mata pemuda itu amat tajam sehingga diam-diam ia merasa heran karena ia pernah mendengar dari Lui Siong bahwa anak muridnya ini adalah seorang pelajar. Mengapa sepasang matanya seperti seorang ahli lweekeh? "Suhu, sekarang kita dapat membalas dendam kepada Song-Kauwsu dan semua kaki tangannya!"

   Lui Siong berkata dengan muka girang sekali.

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Gurunya dengan tenang.

   "Kita telah mempunyai seorang jago yang akan sanggup menghadapi mereka, Suhu!"

   "Siapakah yang kau maksudkan?"

   Gurunya mernandang tajam dengan ragu-ragu.

   "Bukan lain orang ialah anakku ini sendiri. Lui Hong sanggup untuk menghadapi mereka semua, sanggup untuk mengalahkan seorang demi seorang!"

   Terkejutlah Can-Kauwsu mendengar ini. ia memandang kepada pemuda itu, dan ia merasa ragu-ragu. Pemuda itu paling banyak baru berumur sembilan belas tahun dan sikapnya demikian lemah-lembut. Andaikata pernah mempelajari ilmu silat, akan tetapi mungkinkah akan dapat menghadapi Kim Lian dan Kim Lun kedua saudara Lee yang lihai itu?

   "Benarkah apa yang dikatakan oleh Ayahmu itu, Lui Hong?"

   Tanyanya kepada pemuda itu. Lui Hong yang kini sudah cluduk di atas sebuah kursi, merangkapkan kedua tangannya yang tertutup lengan baju yang lebar itu lalu berkata halus sambil tersenyum.

   "Can Lo-Enghiong, sesungguhnya Ayah terlalu melebih-lebihkan, karena belum tentu aku akan dapat rnengalahkan mereka. Akan tetapi, memang Ayah berkata benar bahwa aku sanggup untuk membalas dendam Lo-Enghiong dan Ayah, aku sanggup untuk mengadakan pIbu dengan pihak Song-Kauwsu dan semua keluarganya. Ayah telah menceritakan semua penasaran Lo-Enghiong kepadaku, dan memang mereka itu harus dibalas dengan cara yang terang pula, yakni dengan mendirikan sebuah panggung Luitai untuk menantang mereka mengadakan pIbu!"

   "Akan tetapi mereka itu, terutama kedua saudara Lee, amat gagah perkasa dan tangguh!"

   Kata Can-Kauwsu dengan ragu-ragu.

   "Lo-Enghiong, untuk membela nama, kehormatan, dan kebenaran, seorang gagah tidak takut mati dan pantang mundur."

   Ucapan yang amat gagah ini mendatangkan rasa kagum kepada Can-Kauwsu dan isterinya. Terutama nyonya Can merasa kagum dan suka sekali kepada pemuda yang halus dan bersikap gagah ini. Akan tetapi Can Gi Sun masih merasa ragu-ragu untuk mempercayakan pembalasan dendam itu kepada seorang pemuda yang nampaknya lemah dan belum berpengalaman itu. Suhengnya sendiri, Liok Si Seng yang gagah perkasa, masih kalah bahkan tewas di tangan Lee Kim Lun. Apakah pemuda anak Lui Siong ini memiliki kepandaian yang melebihi kepandaian Suhengnya itu?

   "Lui Hong, ucapanmu ini benar-benar telah membangunkan hatiku, karena kau betul-betul telah mengangkat tinggi nama Ayahmu. Ayahmu adalah muridku yang paling setia dan baik, maka sudah sepatutnya kalau aku bergembira pula melihat muridku mempunyai putera seperti kau. Berapa lamakah kau mempelajari ilmu silat? Dan siapakah Suhumu?"

   "Semenjak datang ke Kotaraja, disamping pelajaran Bun (Sastera), Suhuku Sin-Kiam Kai-Ong Ma Cin telah membimbingku selama kurang lebih dua belas tahun, Lo-Enghiong,"

   Jawab pemuda itu dengan suara sederhana, sarna sekali tidak menyombongkan diri.

   Kemudian, atas desakan Can-Kauwsu yang ingin sekali mengetahui riwayatnya, ia lalu menceritakan pengalamannya. Semenjak berusia enam tahun, Lui Hong telah dibawa ke Kotaraja oleh Ayahnya. ia tinggal di rumah Kakak misan Ayahnya yang menjadi seorang saudagar hasil bumi dan keadaannya cukup kaya. Sesuai dengan keinginan Ayahnya, Lui Hong mempelajari ilmu kesusasteraan dari seorang Guru sastera di Kotaraja dan ternyata anak ini mempunyai kerajinan dan kecerdikan sehingga ia mendapat kemajuan pesat. Karena ini, ia amat disayang oleh Gurunya dan seringkali apabila lain-lain murid tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Guru itu, selalu nama Lui Hong dipergunakan oleh Guru itu untuk menegur murid-muridnya yang lain.

   "Lihatlah Lui Hong itu!"

   Katanya dengan marah kepada murid-murid yang bodoh.

   "Ia paling kecil diantara kamu sekalian, akan tetapi ia rajin dan pandai. Tidak malukah kalian? Lui Hong datang dari luar Kotaraja, berasal dari kota kecil saja, akan tetapi kecerdikannya melebihi kalian anak-anak Kotaraja yang bodoh!"

   Karena itu, maka Lui Hong dibenci oleh kawan-kawannya. Pada suatu hari, ketika Lui Hong pulang dari tempat belajar menuju ke rumah Pekhunya (Uwanya), ia dihadang oleh tiga orang teman sekolahnya yang usianya sudah jauh lebih tua daripadanya. Kawan-kawannya inilah yang paling membenci dan menaruh dendam kepadanya.

   "Anak manja!"

   Teman-temannya itu memaki.

   "Sekarang hendak kami lihat apakah kau dapat menggunakan kepintaranmu yang sering disebut-sebut oleh Sianseng (Bapak Guru) itu untuk membela diri!"

   Setelah berkata demikian, tiga orang anak itu lalu menyerbu dan mernukul kepala Lui Hong. Lui Hong mencoba membela diri, akan tetapi selain kalah besar, iapun dikeroyok tiga sehingga ia harus menerima pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Karena merasa sakit, Lui Hong menangis! Pada saat itu, datanglah seorang pengemis tua yang pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi anehnya tambal-tambalannya terbuat daripada kain halus dan baru. Juga di punggung pengemis ini terdapat sebatang pedang. ia segera menghampiri empat orang anak yang sedang berkelahi itu dan mencegah tiga orang anak yang rnengeroyok Lui Hong.

   "Kau seorang anak laki-laki, mengapa menangis dalam perkelahian?"

   Pengemis itu menegur Lui Hong. Anak kecil itu mengangkat muka dan berkata dengan sengit.

   "Kalau satu lawan satu, tak nanti aku akan menangis!"

   Pengemis itu memandang kepada tiga orang anak yang tertawa-tawa dan memaki Lui Hong sebagai seorang anak pengecut.

   "Apakah kalian berani melawannya seorang demi seorang, tidak mengeroyok?"

   "Tentu saja berani!"

   Kata seorang diantara mereka yang terbesar. Usianya empat tahun lebih tua daripada Lui Hong.

   "Kau berani melawan dia?"

   Pengemis itu bertanya pula kepada Lui Hong.

   "Kalau tidak main keroyokan, mengapa aku harus takut?"

   Lui Hong yang bertubuh kecil kurus itu menjawab sambil menyusut air matanya.

   Baru saja ia berkata demikian, temannya yang lebih besar itu sudah menubruk dan memukulnya, membuat Lui Hong terhuyung ke belakang dengan bibir berdarah. ia menjadi mata gelap dan marah sekali, lalu membalas dan berkelahilah kedua orang anak itu dengan hebatnya. Tentu saja Lui Hong yang harus menerima pukulan-pukulan, akan tetapi anak ini benar-benar tabah. Biarpun pukulan-pukulan lawannya telah membuat mukanya bengkak-bengkak, akan tetapi dengan nekad ia melawan, memukul, menendang, bahkan menggigit, sehingga akhirnya lawannya itu kena digigit telinganya sampai hampir putus! Anak itu menangis keras lalu berlari pergi dari situ, diikuti oleh dua orang kawannya! Pengemis tua itu tertawa bergelak-gelak dan mengusap-usap kepala Lui Hong.

   "Anak baik, kau cukup memiliki kegagahan! Akan tetapi bukan cara laki-laki untuk menggigit telinga lawan dalam perkelahian. Apakah kau suka belajar ilmu berkelahi sehingga lain kali kalau menghadapi serangan orang kau dapat membela diri dengan baik? Bahkan biarpun dikeroyok banyak lawan, janganlah baru tiga, meskipun tiga puluh orang sekalipun, kau akan dapat melawan dengan baik?"

   "Tentu saja, Lopek. Tentu saja aku suka sekali belajar ilmu berkelahi!"

   Jawab Lui Hong.

   "Untuk apa? Apakah kau gemar berkelahi?"

   "Tidak! Hanya untuk membela diri. Aku takkan berkelahi dengan siapapun juga kalau tidak diserang lebih dulu."

   "Bagus, kalau begitu, aku akan memberi pelajaran kepadamu akan tetapi hal ini harus dirahasiakan dan jangan diketahui orang lain."

   Demikianlah mulai hari itu Lui Hong menjadi murid pengemis tua yang bukan lain adalah Kai-Ong (Raja Pengemis Pedang Dewa) Ma Cin yang namanya telah terkenal di dunia persilatan. Lui Hong belajar silat dengan diam-diam dan Suhunya mengajarnya di waktu malam dengan mendatangi rumah di mana Lui Hong tinggal, atau kadang-kadang Lui Hong menemui Suhunya pada waktu pulang dari sekolah.

   Dengan demikian tak seorangpun mengetahui bahwa anak sekolah yang kelihatan lemah lembut itu telah menerima didikan langsung dari Sin-Kiam Kai-Ong yang lihai! Seperti juga dalam pelajaran sastera, dalam pelajaran ilmu silat, Lui Hong ternyata memiliki bakat dan kecerdikan luar biasa sehingga ia mendapat kemajuan pesat dan amat disuka oleh Suhunya. Karena Sin-Kiam Kai-Ong Ma Cin adalah seorang Hiapkek (Pendekar) perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya, maka seringkali pengemis aneh ini meninggalkan Kotaraja sampai dua tiga bulan sehingga dalam waktu itu Lui Hong hanya melatih silat seorang diri dan menyempurnakan ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya dari Suhunya itu. Sebelum mempelajari ilrnu silat, Lui Hong bercita-cita untuk menempuh ujian kesusasteraan dan mencari kedudukan sebagaimana yang dicita-citakan Ayahnya pula.

   Akan tetapi, setelah ia menjadi murid Sin-Kiam Kai-Ong Ma Cin, yang selain melatih silat juga memberi wejangan-wejangan dan menceritakan tentang keadaan Negara yang kacau dan banyaknya penjahat-penjahat yang muncul untuk mengganggu rakyat jelata, serta menceritakan pula betapa pendekar-pendekar gagah keluar dari tempat tinggal atau turun dari gunung untuk membasmi penjahat-penjahat dan menolong rakyat, maka hati Lui Hong tergerak dan lenyaplah cita-cita untuk menjadi seorang pembesar negeri! Cerita Suhunya yang menyatakan betapa sebagian besar pembesar negeri bahkan menindas rakyat, membuat ia merasa benci akan kedudukan pembesar negeri dan kini cita-citanya berubah. ia ingin merijadi seperti pendekar-pendekar perkasa pelindung rakyat itu! Demikianlah, setelah ia tamat belajar ilmu kesusasteraan, ia tidak ikut menempuh ujian seperti halnya kawan-kawan lain,

   Akan tetapi lalu berpamit kepada Uwanya untuk pulang ke Sung-Kian, ke rumah orang-tuanya. Akan tetapi sebenarnya, ia tidak langsung pulang ke rumah orang-tuanya, melainkan ikut dengan Suhunya merantau. ia ingin meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan, melihat keadaan dunia di luar Kotaraja. Dan dalam perantauannya dengan Sin-Kiam Kai-Ong inilah matanya terbuka lebar dan ia mendapat kenyataan akan kebenaran cerita Suhunya dulu. Setahun lamanya ia merantau bersama Suhunya dan selama itu banyak perbuatan gagah telah ia lakukan bersama Gurunya. Membela orang-orang lemah yang tertindas, membasmi penjahat-penjahat yang mengacau kehidupan rakyat. Akhirnya, karena merasa rindu kepada orang-tuanya, ia berpisah dengan Suhunya dan pulang ke Sung-Kian, di mana ia disambut dengan girang oleh Ayah-Ibunya.

   Secara singkat Lui Hong menceritakan riwayatnya kepada Can-Kauwsu seperti yang telah ia ceritakan kepada orang-tuanya pula. Tentu saja ia tidak menceritakan betapa dalam perantauannya itu ia telah menolong keluarga Bangsawan dari Kotaraja yang terserang oleh perampok dalam perjalanan, dan tidak pula ia menceritakan betapa hatinya telah tercuri oleh puteri Bangsawan itu! Hanya Suhunya seorang yang dapat mengetahui rahasia hatinya ini, tahu betapa anak muda ini menderita karena betapapun ia rnenyinta puteri Bangsawan itu, seujung-rambutpun ia tidak mempunyai harapan untuk dapat memetik bunga yang tumbuh dalam pot emas dalam gedung besar Bangsawan itu! Mendengar penuturan Lui Hong, Can Gi Sun mengangguk-angguk kagum dan berkata.

   "Aku pernah mendengar nama Sin-Kiam Kai-Ong Ma Cin, dan sesungguhnya aku belum pernah bertemu dengan orangnya, namun namanya cukup mengesankan dan aku percaya bahwa Suhumu itu tentulah seorang yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, musuh-musuh kita bukanlah lawan yang ringan, terutama kedua saudara she Lee itu, karena mereka itu adalah murid-murid dari Bu-Eng-Kwi Tok Liong Taisu, tokoh besar dan ahli Ngo-Heng Kam-Hoat yang amat terkenal karena kekejamannya di waktu masih muda!"

   "Ayah telah menceritakan hal itu kepadaku, akan tetapi demi menjaga nama Ayah dan Lo-Enghiong, aku tidak merasa gentar untuk menghadapi mereka!"

   Kata Lui Hong dengan gagah. Can-Kauwsu mengangguk-angguk.

   "Kau memang patut dikagumi, Lui Hong. Bukan sekali-kali aku kurang percaya kepadamu, akan tetapi, karena telah berkali-kali kita menderita kekalahan, maka ada baiknya kita berlaku hati-hati. Kau tentu maklum akan kekhawatiranku ini, maka tentu kau takkan keberatan pula apabila kuuji dulu kepandaianmu sebelum kau mewakili kami mengajukan tantangan pIbu kepada mereka."

   Lui Hong tersenyum dan mengangguk sopan sedangkan Lui Siong yang ingin membanggakan kepandaian puteranya kepada Can-Kauwsu berkata girang.

   "Memang itu sebaiknya! Suhu berhak menguji calon jago kita agar kali ini tidak mengecewakan dan jangan sampai gagal, karena kegagalan sekali ini benar-benar akan menghancurkan nama kita!"

   Mereka lalu pergi ke pekarangan belakang rumah itu, juga Nyonya Can ikut pula bangun dan hendak menyaksikan kelihaian putera dari Lui Siong yang setia itu.

   "Lui Hong, kau cabutlah pedangmu dan mainkan ilmu pedangmu untuk kulihat,"

   Kata Can-Kauwsu. Lui Hong lalu mencabut pedangnya yang mengeluarkan Cahaya kuning, kemudian setelah memberi hormat kepada Can-Kauwsu dan isterinya, juga kepada Ayahnya, ia mulai bersilat pedang. Mula-mula gerakannya lambat dan indah seperti orang menari sehingga Nyonya Can yang tidak mengerti ilmu silat menjadi kagum karena gerakan-gerakan itu memang lincah dan indah dipandang.

   Akan tetapi lambat laun gerakan pemuda itu makin cepat dan sebentar kemudian gerakan pedangnya menjadi demikian cepatnya sehingga sinar pedang merupakan gulungan cahaya kuning yang menyelimuti tubuh pemuda itu sehingga tubuhnya tak nampak lagi! Tidak percuma Lui Hong menjadi murid Ma Cin yang bergelar Raja Pengemis Berpedang Dewa, karena ilmu pedangnya ini benar-benar hebat. Can-Kauwsu yang berdiri paling dekat merasakan angin pedang berkesiur dingin menyambar-nyambar sehingga ia diam-diam merasa amat kagum dan juga terkejut karena sungguh-sungguh tak disangkanya pemuda ini demikian hebat ilmu pedangnya! ia lalu mengeluarkan sepasang Poan-Koan-Pit, senjatanya yang istimewa itu, kemudian ia melompat dan menyerbu sinar pedang itu sambil berseru.

   "Lui Hong, awas, aku datang menyerang!"

   Lui Hong maklum bahwa Guru silat tua ini hendak mengujinya, maka ia tidak berlaku seeji (sungkan) lagi dan mengeluarkan ilmu kepandaiannya yang tinggi. Dengan ginkangnya yang hebat dan gerakan pedangnya yang cepat, ia menjaga diri dan sepasang Poan-Koan-Pit dan Can-Kauwsu tak dapat berdaya sama sekali. Pemuda itu sengaja tidak mau membalas menyerang, karena ia hendak memperlihatkan kepandaian ginkangnya yang benar-benar hebat. Bagaikan seekor burung kecil yang lincah ia berlompatan ke sana ke mari sambil saban-saban menggerakkan pedangnya menangkis Poan-Koan-Pit yang menyerangnya sehingga setelah empat puluh jurus lebih, Can-Kauwsu bukan saja sama sekali tak dapat mendesak, bahkan sebaliknya ia menjadi pening karena gerakan pemuda itu benar-benar cepat sekali.

   "Kau balaslah dengan seranganmu!"

   Seru Can-Kauwsu yang sudah tersengal napasnya.

   "Maaf, Lo-Enghiong!"

   Lui Hong berseru dan tiba-tiba gerakan pedangnya berubah menjadi ganas dan cepat mengirim serangan-serangan hebat! Empat lima kali Can-Kauwsu masih sanggup menangkis, akan tetapi selanjutnya ia terdesak sedemikian rupa sehingga dalam jurus ke sepuluh terdengar suara keras dan sebuah Poan-Koan-Pitnya terlempar ke udara karena pukulan pedang yang gerakannya memutar! Can-Kauwsu melompat mundur, juga Lui Hong melompat mundur, menyimpan pedangnya dan menjura dengan hormat. Wajah pemuda ini hanya berubah sedikit merah, akan tetapi ia sama sekali tidak kelihatan lelah, bahkan napasnya masih biasa saja. Sedangkan Can-Kauwsu telah berpeluh di jidatnya dan napasnya memburu.

   "Bagus, bagus!"

   Guru silat itu memuji.

   "Ilmu pedangmu lihai sekali!"

   Sebagai seorang ahli silat yang berpengalaman, sungguhpun kepandaiannya kalah tinggi, namun ia dapat mengukur bahwa kepandaian pedang pemuda ini tidak kalah lihainya oleh ilmu pedang Lee Kim Lian yang pernah mengalahkannya. Namun dalam hatinya masih terdapat keraguan apakah pemuda ini akan dapat menandingi Lee Kim Lun yang memiliki ilmu silat lebih tinggi daripada Kim Lian. Sementara itu, Nyonya Can merasa girang sekali. ia memandang dengan kagum kepada pemuda itu dan tiba-tiba nyonya ini menangis tersedu-sedu! Tentu saja Can-Kauwsu, Lui Siong, dan juga Lui Hong menjadi terheran-heran melihat nyonya itu menangis dengan amat sedihnya.

   "Eh, eh, kau kenapakah? Kami tadi hanya main-main saja dan biarpun aku dikalahkan, namun aku tidak luka. Mengapa kau menangis?"

   Setelah dapat meredakan tangisnya, nyonya itu sambil menyusuti air matanya lalu berkata dengan suara terputus-putus.

   "Lui Hong demikian gagah. ia putera dari Lui Siong dan... ia mau membela nama dan kehormatan keluarga kita... ah... kalau saja Pek Giok masih ada... alangkah baiknya kalau Lui Hong menjadi mantu kita... ah, Pek Giok... Pek Giok...!"

   Nyonya Can menangis lagi. Diingatkan kepada anaknya yang hilang terculik itu, tiba-tiba wajah Can Gi Sun menjadi pucat dan iapun menjadi sedih sekali. ia lalu duduk di atas sebuah bangku dan diam tak bergerak bagaikan patung. Memang kata-kata isterinya itu amat baik. Alangkah akan senangnya kalau Pek Giok masih berada di dekat mereka dan kini dijodohkan dengan pemuda yang pandai dan berbudi ini! Sementara itu, Lui Siong juga berdiri diam bagaikan patung. Pikirannya ruwet dan hatinya terharu. Iapun akan merasa beruntung sekali dapat berbesan dengan Gurunya yang bijaksana dan mulia ini.

   la masih teringat kepada Pek Giok, yang ketika kecilnya saja sudah menjadi seorang anak yang mungil dan cantik, akan kecewa hatinya apabila ia mendapat mantu seperti nona itu. Adapun Lui Hong juga menjadi termenung mendengar ucapan nyonya Can itu. Kata-kata ini mengingatkan ia akan pengalamannya di waktu ia merantau dengan Gurunya. Kalau ketiga orang-tua itu terkenang kepada Pek Giok, adalah pemuda ini pikirannya melayang dan di depan matanya terbayang wajah manis dari seorang puteri Bangsawan di Kotaraja! Puteri jelita yang telah menjatuhkan hatinya, akan tetapi yang mendatangkan rasa duka pula karena kenyataan bahwa tak mungkin seorang pemuda miskin dan "orang biasa"

   Seperti dia akan dapat menjadi jodoh seorang puteri Bangsawan agung! Akhirnya Can-Kauwsu jualah yang dapat menundukkan gelora kesedihan di dalam hatinya. ia menghela napas dan berkata.

   "Sudahlah, isteriku. Tak perlu kita bersedih untuk perkara yang sudah terjadi. Agaknya memang sudah menjadi kehendak Thian Yang Maha Kuasa, dan kita sebagai manusia hanya dapat menjalani saja."

   Kemudian ia berkata kepada Lui Hong.

   "Lui Hong, tak dapat kusangsikan lagi bahwa ilmu pedangmu benar-benar lihai dan kiranya kau takkan kalah menghadapi Lee Kim Lian, ataupun Lee Kim Lun sekali. Akan tetapi, kau tidak boleh bertindak secara sembrono, karena kalau kau menyerbu ke rumah mereka secara begitu saja sehingga kau merupakan seorang pendatang yang mengacaukan rumah orang, maka kau akan dikeroyok, dan amat beratlah kalau kau sampai dikeroyok dua oleh kedua saudara she Lee itu. Juga harus diingat bahwa di sana terdapat pula Song-Kauwsu yang kepandaiannya tidak lemah. Oleh karena itu, urusan balas dendam ini harus diatur merupakan tantangan resmi di atas panggung sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan untuk berlaku curang dan mengeroyok. Panggung Luitai akan kita dirikan atas namaku, dan kita mengajukan dua orang jago, yakni kau dan aku sendiri, dan kita tantang Song-Kauwsu sendiri maju untuk melawanku dan kau boleh menghadapi seorang diantara kedua saudara Lee itu."

   Mereka lalu mengadakan perundingan untuk pelaksanaan mendirikan panggung Luitai itu. Karena Can-Kauwsu tidak mengajar lagi, maka mereka mengambil keputusan untuk pergi bertiga saja menghadapi pihak Song-Kauwsu. Can-Kauwsu bersama Lui Siong lalu pergi ke kota Sung-Kian menemui Jin Hwat Hosiang ketua Kuil Ban-Hok-Si, karena tidak ada tempat yang lebih balk daripada pekarangan Kuil itu untuk mendirikan panggung Luitai. Tadinya Jin Hwat Hosiang hendak menolak, akan tetapi setelah Lui Siong mengeluarkan uang sumbangan yang tidak kecil, terpaksa ketua itu menerimanya juga dengan syarat asalkan dalam pertandingan-pertandingan yang hendak diadakan itu tidak akan ada nyawa manusia menjadi korban. Can-Kauwsu lalu menyerahkan pekerjaan pendirian panggung kepada Lui Siong, kemudian Guru silat ini pulang untuk membuat surat tantangan pIbu kepada Song-Kauwsu.

   Ia sengaja tidak menyebut-nyebut nama kedua saudara Lee, karena tantangan pIbu ini hanya sebagai balasan dari tantangan yang diadakan oleh Song-Kauwsu kira-kira setahun yang lalu. ia maklum bahwa sungguhpun ia tidak menyebut nama kedua saudara Lee, namun tentu kedua Kakak-beradik itu akan hadir juga, karena kalau tidak mereka berdua, siapakah lagi yang dapat diandalkan oleh Song-Kauwsu? Memang benar sebagaimana pernah dituturkan oleh Lui Siong kepada Can-Kauwsu, keluarga Song Swi Kai sedang menderita tekanan batin yang hebat karena perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Lee Kim Lun dan Lee Kim Lian, dua orang muda yang baru sekarang terbuka kedoknya dan ternyata adalah dua orang yang tidak tahu malu!

   Pada hari-hari pertama, Lee Kim Lun memang kelihatan sebagai seorang suami dan anak mantu yang baik, akan tetapi beberapa bulan kemudian, nampaklah wajah aslinya! ia menjadi acuh tak acuh kepada isterinya, bahkan seringkali berlaku sewenang-wenang terhadap Song Bwee Eng isterinya itu, sering membentak-bentak dan marah-marah kalau isterinya menegurnya mengapa sampai dua hari dua malam suami ini tidak pulang. Bahkan ia mulai menghamburkan uang mertuanya melalui tangan isterinya yang hanya dapat menangis pada malam hari di waktu suaminya tidak pulang. Akan tetapi, baik Bwee Eng maupun Song Swi Kai sendiri, tidak berdaya menghadapi Kim Lun dan tidak berani menegur atau mencegahnya,

   

Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini