Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Pedang Terbang 7


Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



Sikap nona itu sungguh keren dan meiihat sikap itu saja, tiga orang ini menjadi gentar. Hanya orang yang percaya akan kemampuan sendiri saja yang dapat bersikap seperti itu.

   "Baiklah, kalau begitu, kami hendak kembali untuk melapor kepada atasan kami,"

   Kata si jenggot lebat dan dia memberi isyarat kepada dua orang kawannya untuk meninggalkan perahu itu, kembali ke perahu mereka yang bercat hitam dan yang menempel pada perahu besar itu.

   "Nanti dulu!"

   Bentakan nona itu nyaring berwibawa, suaranya melengking dan menusuk, membuat tiga orang itu terkejut dan membalikkan tubuh menghadapinya.

   "Kalian telah menabrak perahuku. Kalian teiah menyerang pembantuku. Kemudian kalian bersikap sombong tidak menghormatiku. Kesalahan ini sebetulnya harus ditebus dengan nyawa. Akan tetapi, karena hari ini aku sedang menerima tamu terhormat, biarlah memandang muka tamuku, aku tidak akan membunuh kalian. Hayo cepat kalian menggunakan pedang memotong lengan kiri kalian masing-masing sebatas siku!"

   Tiga orang itu terbelalak. Muka mereka menjadi pucat lalu berubah merah karena penasaran dan marah. Mereka adalah orang-orang penting dari Hoat-kauw dan tadinya, meiihat si tinggi kurus Gu Lok yang dikenal sebagai Si Dayung Baja, tokoh Kim-kok-pang yang juga menentang Hoat-kauw, mereka hendak membunuhnya. Hanya karena muncul dara yang mengaku sebagai ketua baru Kim-kok-pang, mereka tidak jadi membunuhnya. Akan tetapi, sekarang mereka dihina, diharuskan membuntungi lengan kiri sendiri, tentu saja mereka tidak sudi.

   "Nona, engkau keterlaluan.

   "

   Kata si jenggot lebat.

   "Kami sudah mengampuni nyawa Si Dayung Baja, dan sekarang nona bahkan berani menghina kami?"

   "Cepat kalian lakukan, kalau tidak tentu pangcu yang akan membuntungi lengan kalian, mungkin leher kalian!"

   Kata Si Dayung Baja Gu Lok dengan lantang.

   "Srat-srat-srat.!"

   Tiga orang itu mencabut lagi pedang masing-masing yang tadi telah disimpan dan si jenggot lebat berkata marah.

   "Kami dari Hoat-kauw bukanlah orang-orang yang mau menerima"

   Penghinaan begitu saja! Kim-kok"pangcu, tadi engkau mengatakan hendak menandingi kami bertiga seorang diri saja, menyuruh Si Dayung Baja mundur dan menolak pula bantuan pemuda itu. Apakah kata-katamu itu masih dapat di percaya?"

   "Singgg.!"

   Nampak sinar yang menyilaukan mata berkelebat dan tangan kanan Ji Kiang Bwe telah memegang sebatang rantai dari baja putih yang tadi ia pakai sebagai ikat pinggang. Rantai itu indah dan berkilauan, namun ternyata mempunyai gagang dan panjangnya tidak kurang dari satu meter.

   Begitu dilolos dan digerakkan, rantai itu menjadi tegang seperti sebatang pedang, bahkan mengeluarkan suara berdesing seperti senjata tajam, kemudian menjadi lentur seperti rantai biasa dan berputar lalu rantai itu melibat-libat lengan kanan Kiang Bwe. Gerakan ini indah dan cepat.

   Kian Bu pernah.mempelajari delapanbelas macam senjata dari ayah ibunya, akan tetapi belum pernah melihat seuntai rantai baja putih indah yang dijadikan ikat pinggang itu kini dipergunakan sebagai senjata.

   Ketika dia mengamati penuh perhatian, dia meiihat betapa bagian ujung rantai itu, mata rantainya tidak bundar, melainkan tipis dan tajam! Senjata seperti itu dapat menyambar seperti golok membabat, dapat menusuk seperti pedang karena digerakkan dengan sinkang sehingga menjadi tegang, dapat pula untuk menotok jalan darah dan dapat melibat senjata tajam lawan. Sungguh merupakan sebuah senjata yang ampuh, kalau saja pemegangnya mahir mempergunakannya karena penggunaannya juga sukar dan berbahaya bagi diri sendiri kalau kurang mahir.

   "Tiga ekor tikus dari Hoat-kauw, majulah untuk kubuntungi lengan kiri kalian!"

   Kata Kiang Bwe, suaranya lembut dan sikapnya tenang, ' seolah ia sama sekali tidak merasa tegang, juga t dak siap untuk bertanding, apa lagi menghadapi pengeroyokan tiga orang lawan yang lihai.

   Tiga orang Hoat-kauw itu, yang masih gentar kalau-kalau Si Dayung Baja dan Kian Bu akan membantu nona itu, cepat menggerakkan pedang masing-masing, membentuk kurungan segitiga dan mereka menyerang dengan gerakan cepat dan kuat dari kanan kiri dan depan! Kian Bu sendiri menahan napas meiihat kedahsyatan serangan tiga orang itu, akan tetapi Si Dayung Baja nampaknya tenang-tenang saja.

   Begitu dara itu bergerak, tahulah Kian Bu mengapa tukang perahu itu nampak tenang saja. Kiranya dia sudah yakin akan kehebatan nona yang menjadi ketua perkumpulannya itu. Begitu Kiang Bwe menggerakkan senjata di tangannya, nampak kilat menyambar ke sekelilingnya dan terdengar bunyi berdencingan disusul bunga api berpijar ketika tiga batang pedang para pengeroyok itu tertangkis rantai dan tiga orang itu berloncatan ke belakang karena tangan mereka terasa panas seperti disentuh api membara.

   "Heiiiittt......!!"

   Dara itu me-ngeluarkan suara melengking-lengking dan senjata di tangannya menyambar-nyambar dengan ganasnya, membuat tiga orang itu makin terkejut dan mereka harus memutar pedang untuk melindungi diri mereka.

   Memang aneh kalau.dilihat, tiga orang berpedang kini terdesak oleh dara yang mereka keroyok. Hal ini membuktikan betapa cepatnya gerakan dara itu, jauh lebih cepat dari pada gerakan tiga orang lawannya sehingga ia mampu menghujankan sambaran rantainya kepada mereka, membuat mereka menjadi repot sekali. Apa lagi setiap kali senjata mereka berternu dengan rantai, mereka merasa betapa gagang pedang mereka seolah berubah menjadi bara api yang membakar telapak tangan.

   Diam-diam Kian Bu memperhatikan gerakan dara itu dan diapun terpesona. 'Tadi saja dia sudah terpesona oleh kecantikan dan kepandaian gadis itu berma i n yang-kim dan mengutip sajak, dan kini ditambah lagi kekagumannya melihat gerakan senjata rantai itu. Dan tiba-tiba mukanya berubah kemerahan. Pantas saja gadis itu tadi memuji ginkangnya ketika dia meloncat dari perahunya ke atas perahu besar. Kiranya gadis itu sendiri ahli meringankan tubuh yang hebat sehingga gerakannya demikian cepat dan lincahnya!

   Kembali terdengar dara itu mengeluarkan lengkingan suara memanjang tiga kali dan sinar rantainya menyambar-nyambar, disusul muncratnya darah, buntungnya lengan kiri ke tiga orang itu dan begitu Kiang Bwe menggerakkan kaki nya tiga kali, tubuh tiga orang pengeroyok itu terlempar keluar dari perahu dan berjatuhan ke air telaga!

   Kian Bu terbelalak, juga bergidik. Dara yang demikian jelita, dan halus lembut gerak gerik dan tutur katanya, ternyata kini dapat melakukan perbuatan yang baginya nampak sadis sekali! Dia memang putera suami isteri pendekar, akan tetapi selama ini dia hanya berlatih silat dengan ayah ibunya, dan tidak pernah bertanding dengan orang luar, apa lagi melihat lengan tiga orang dibuntungi begitu saja dan tubuh mereka yang sudah kehilangan lengan kiri ditendang ke air telaga.

   "Ji-siocia, apa artinya semua i-ni?"

   Tanya Kian Bu dan kini wajahnya tidaklah seramah tadi. Sakit hatinya meiihat dara jelita itu dapat melaku-an kekejaman seperti itu.

   "Paman Gu, jalankan perahu menepi,"

   Kata Kiang Bwe, lalu kepada Kian Bu ia berkata.

   "Souw-kongcu, panjang ceritanya untuk menjawab pertanyaanmu ini dan pertanyaanmu yang tadi. Maukah engkau menjadi tamu kami dan mendengar kan keteranganku untuk menjawabmu?. Atau kalau engkau masih merasa tidak suka dan tidak mau memenuhi undanganku, terserah,. tentu saja kami tidak dapat memaksamu."

   Melihat pandang mata itu nampak sayu dan berduka, redalah kemarahan Kian Bu. Dia memang ingin sekali mengetahui riwayat dara ini dan mengapa terdapat permusuhan antara perkumpulan yang agaknya dipimpin dara itu dengan Hoat-kauw, suatu aliran yang cukup besar dan berpengaruh.

   "Baiklah, aku ingin mendengarkan penjelasanmu agar hatiku tidak menjadi penasaran, walaupun tentu saja urusan itu tidak menyangkut diriku."

   Dia teringat kepada perahu kecilnya yang masih tertambat kepada perahu besar itu.

   "Akan tetapi aku harus mengembalikan dulu perahu yang kusewa."

   "Jangan khawatir, urusan itu akan dikerjakan orang"orangku di tepi telaga,"

   Kata Ji Kiang Bwe.

   Mereka mendarat dan lima orang menyambut dara itu dengan sikap hormat.

   Bahkan atas permintaan Kiang Bwe, dua ekor kuda segera dipersiapkan dan ia mengajak Kian.Bu untuk menunggang kuda menuju ke tempat tinggalnya.' Kian Bu meiihat betapa dalam hal menunggang kuda, dara itupun mahir sekali. Mereka membalapkan kuda menuju sebuah bukit yang dari jauh nampak berwarna kuning emas berkilauan. Itu adalah karena di bukit itu terdapat batu-batu cadas yang berwarna kekuning-kuningan sehingga kalau tertimpa matahari dan nampak dari jauh seperti emas. Karena itu pula, maka lembah bukit di mana terdapat warna seperti emas itu di sebut Lembah Bukit Emas.

   Mereka membalapkan kuda mendaki bukit itu dan setelah tiba di lereng, di lembah itu, nampak dari situ Sungai Yang-ce seperti seekor naga biru meliuk-liuk di bawah sana. Di lembah bukit itu terdapat sebuah perkampungan dan di depan pintu gerbangnya, baru Kian Bu mengetahui bahwa itu bukan sebuah dusun biasa, melainkan perkampungan yang menjadi pusat dari Kim-kok-pang (Perkumpulan Lembah Bukit Emas), seperti yang tertulis pada papan besar di pintu gerbang.

   Puluhan orang menyambut nona itu dengan sikap gembira dan normat ketika Kiang Bwe dan Kian Bu memasuki pintu gerbang perkampungan itu. Terdapat perumahan seperti di sebuah dusun kecil, dan Kiang Bwe mengajak Kian Bu ke sebuah bangunan terbesar yang berada di tengah perkampungan. Mereka meloncat turun dari kuda dan dua orang anggauta Kim-kok-pang segera mengurus dua ekor kuda itu.

   "Mari silakan masuk, Souw-kong cu."

   Ji Kiang Bwe mempersilakan. Mereka memasuki rumah yang cukup besar dengan prabot rumah yang lengkap dan baik, lalu nona rumah itu mengajak Kian Bu duduk di sebuah ruangan tamu yang luas, yang mempunyai banyak jendela menembus ke sebuah taman.

   Mereka duduk berhadapan terhalang meja besar dan seorang wanita setengah tua muncul membawakan minuman dan menghidangkan minuman dengan sikap hormat,"lalu mengundur kan diri lagi. Setelah menuangkan minuman dan mempersilakan tamunya minum, Ji Kiang Bwe memandang tamunya. Mereka saling pandang, dan dara itu menghela napas panjang.

   "Sebetulnya aku sendiri merasa heran mengapa aku ingin menceritakan riwayat dan keadaanku kepadamu, kongcu.

   Pada hal kita baru saja berkenalan dan hanya secara kebetulan bertemu di telaga. Mungkin karena sikapmu yang ramah, karena kesediaanmu membantuku tadi menghadapi orang-orang Hoat-kauw."

   "Maafkan aku, Ji-siocia. Akupun biasanya tidak berani lancang ingin mengetahui persoalan orang lain. Akan tetapi peristiwa yang terjadi di perahu tadi amat menarik hatiku. Kalau nona tidak mau menceritakan sebabnya, tentu hatiku akan selalu merasa penasaran bagaimana seorang seperti nona dapat melakukan hajaran yang demikian kerasnya terhadap tiga orang tadi."

   "Akan kuceritakan semua karena akupun ingin menerangkan kepadamu, Kongcu. Akan tetapi sebelum itu, sudah sepantasnya kalau aku mengetahui lebih banyak tentang dirimu, orang yang kupercaya mendengarkan riwayatku."

   Kian Bu tersenyum."Aku mengerti, nona, dan memang sudah sepantasnya begitu. Akan tetapi tidak ada apa-apanya yang menarik tentang diriku. Aku ting-gal di Wu-han bersama orang tuaku, dan ayahku seorang pedagang kain. Aku adalah anak tunggal, dan sejak kecil aku tinggal di Wu-han. Baru sekali ini aku pergi merantau seorang diri untuk mencari pengalaman dan kebetulan saja ketika, aku sedang berperahu di telaga itu aku mendengar permainan yang-kimmu. Nah, tidak ada apa-apanya yang menarik, bukan?"

   "Akan tetapi engkau pandai ilmu silat, setidaknya, engkau memiliki ginkang yang hebat. Siapakah gurumu, kong cu?"

   "Aku belajar sedikit ilmu silat dari ayah ibuku sendiri,"

   Jawab Kian bu sederhana.

   Dara itu membelalakkan matanya dan Kian Bu merasa seolah jantung dalam dadanya jungkir balik. Begitu indahnya mata itu ketika dibuka lebar.

   "Aih, kalau begitu, ayah ibumu adalah orang-orang sakti!"

   Kata dara itu kagum.

   Wajah Kian Bu menjadi kemerahan.

   "Ah, sama sekali bukan, nona. Ayahku seorang pedagang kain dan ibuku seorang ibu rumah tangga yang baik. Nah, sekarang ceritakan tentang dirimu dan semua yang terjadi tadi, nona."

   Wajah yang jelita itu nampak muram, akan tetapi hanya sebentar, seolah awan tipis berlalu. lalu bercerita. Ayahnya bernama Ji Kun Ek, seorang pendulang emas yang tadinya seorang pemburu. Dia berhasil menemukan emas di bukit itu, dan mendengar dia berhasil menemukan emas, banyak pemburu yang tadinya merupakan rekan-rekannya ikut pula mencari emas.

   Dan terbentuklah sekelompok pendulang emas yang makin lama menjadi semakin banyak, sampai lebih dari seratus orang banyaknya. Dan untuk mencegah agar tidak ada orang luar ikut-ikutan, apa lagi karena seringnya ada orang jahat merampok hasil pendulangan beberapa orang di antara mereka. Ji Kun Ek membentuk kelompok itu sebagai anggauta perkumpulan Kim-kok-pang yang menetap di Lembah Bukit Emas itu. Mereka semua mengangkat Ji Kun Ek sebagai ketua Kim-kok-pang, bukan hanya karena dia merupakan orang pertama yang mendulang emas, melainkan juga karena diamemiliki ilmu silat yang paling kuat di antara mereka.

   Hasil pendulangan emas membuat Kim-kok-pang cukup kuat dan kehidupan para anggautanya cukup makmur. Ji Kun Ek bahkan mengirim anak tunggalnya, ya itu Ji Kiang Bwe, ke kota besar dan memanggil guru-guru sastra dan seni untuk mendidik puterinya.

   Setelah dia sendiri menghabiskan semua ilmu silatnya diajarkan kepada puterinya, dia bahkan menganjurkan puterinya untuk memperdalam ilmu silatnya dan secara kebetulan sekali, ketika berkunjung ke sebuah kuil wanita untuk bersembahyang, Ji Kiang Bwe bertemu dengan seorang pendeta wanita yang kebetulan juga menjadi tamu para nikouw di situ. Pendeta wanita ini berjuluk Pek Mau S an"kouw, julukan Pek-mau (Rambut Putih) ini karena seluruh rambut kepalanya sudah putih semua seperti benang-benang sutera putih, sungguhpun usianya baru sekitar limapuluh tahun.

   Tidak ada seorangpun yang akan menduga bahwa pendeta wanita ini sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sejak muda sekali Pek Mau Sian-kouw ini merantau ke negeri barat, bertahun-tahun tinggal di India, kemudian juga lama berada di Tibet sehingga namanya lebih terkenal di daerah Tibet dari pada di Tiongkok. Pek Mau Sian-kouw selain ahli ilmu silat tinggi, juga telah mempelajari ilmu perbintangan dan ramalan, dan begitu melihat Ji Kiang Bwe yang ketika itu berusia tigabelas tahun dan sudah pandai ilmu silat karena gemblengan ayahnya, ia tahu bahwa ia telah bertemu dengan murid yang berjodoh dengannya. Demikianlah, selama lima tahun Pek Mau Sian-kouw mengajarkan ilmu ilmunya kepada Ji Kiang Bwe sehingga setelah berusia delapanbelas tahun, Ji Kiang Bwe telah menguasai ilmu-ilmu andalan pertapa wanita itu.

   "Aku mengikuti subo ke tempat pertapaannya selama dua tahun tera-hir, dan ketika subo mengijinkan aku turun gunung dan pulang ke sini, ternyata telah terjadi malapetaka hebat mehimpa diri ayahku sebagai ketua Kim-kok-pang,"

   Kata dara itu dan wajahnya kembali muram.

   "Apa yang telah terjadi dengan ayahmu dan ibumu, nona?"

   "Ibuku sudah meninggal dunia sejak aku masih kecil, Souw-kongcu. Karena itu, seluruh kasih sayangku terhadap orang tua kucurahkan kepada ayahku. Akan tetapi, ketika tiga bulan yang lalu aku pulang, aku mendengar bahwa ayahku telah meninggal dunia kurang lebih sebulan sebelum aku pulang."

   "Hemm terkena sakit?"

   "Tidak, dia terbunuh oleh pimpin an Hoat-kauw! Menurut cerita para pembantu ayah, sudah lama Hoat-kauw membujuk ayah agar Kim-kok-pang suka bekerja sama dengan Hoat"kauw dan mengakui Hoat-kauw sebagai aliran tunggal yang harus dianut oleh semua anggauta Kim-kok-pang. Ayah menolak bujukan itu sehingga akhirnya terjadi bentrokan antara ayah dan pimpinan Hoat-kauw. Dalam suatu pertandingan satu lawan satu ayah roboh dan tewas."

   Kian Bu diam saja tidak memberi komentar. Kalau pertandingan itu, apa-un alasan pertandingan, dilakukan satu lawan satu, maka hal itu merupakan suatu kehormatan bagi seorang ahl i silat, dan kalah menang merupakan soal ke dua. Sukar mencampuri kekalahan orang yang bertanding satu lawan satu.

   Ji Kiang Bwe melanjutkan ceritanya. Ketika ia pulang dan semua pembantu ayahnya mengetahui bahwa dara ini pulang membawa ilmu kepandaian yang jauh lebih tangguh dibandingkan mendiang ayahnya, mereka lalu serta merta mengangkatnya menjadi ketua Kim-kok-pang yang baru.

   "Aku tidak dapat menolak pengangkatan itu demi ayahku, dan selama tiga bulan ini, aku hanya dapat berduka karena kematian ayah. Aku menjadi yatim piatu, dan biarpun aku berduka, apa yang dapat kulakukan? Hoat-kauw adalah sebuah aliran kepercayaan yang besar dan berpengaruh. Aku hanya dapat menanti sampai ada orang Hoat-kauw berani datang hendak memaksakan kehendak.

   Kalau hal itu terjadi, aku akan melawan mereka, bukan hanya untuk membalaskan kematian ayahku, juga untuk menentang kejahatan mereka memaksakan kehendak kepada perkumpulan lain. Dan pada hari ini, untuk menghibur hati, aku berpesiar di telaga, hanya mengajak Paman Gu Lok untuk mengemudikan perahu. Dan hal yang kunanti-nanti selama tiga bulan inipun tiba, yaitu hendak membunuh Gu Lok karena paman ini merupakan pembantu utama mendiang ayah. Nah, engkau tahu mengapa aku bersikap keras kepada tiga orang itu."

   Lega rasa hati Kian Bu. Andaikata malapetaka ini menimpa dirinya, andaikata ayahnya yang terbunuh oleh orang Hoat"kauw karena menolak bujukan mereka, mungkin dia akan bersikap lebih keras lagi terhadap tiga orang Ho-at-kauw tadi. Mungkin mereka akan dibunuhnya!

   "Ahh, nasibmu sungguh menyedihkan, Ji-siocia, akan tetapi percayalah, orang yang benar akan mendapatkan kemenangan terakhir. Dan engkau berada di pihak benar, pangcu eh, siocia."

   Dara itu tersenyum.

   "Kenapa engkau menyebutku ketua atau nona? Namaku Ji Kiang Bwe dan setelah kita berkenalan dan bercakap-cakap, bukankah kita telah bersahabat?"

   Kian Bu juga tersenyum.

   "Akan tetapi engkau juga menyebutku Kongcu (tuan muda)! Bagaimana kalau kita hapuskan saja sebutan yang kaku itu dan kita saling menyebut seperti kakak dan adik?"

   Kiang Bwe melebarkan senyumnya dan kemuraman wajahnya lenyap bagaikan awan tipis tersapu angin.

   "Aku akan senang sekali, akan tetapi bagaimana kalau aku yang lebih tua?"

   "Tidak mungkin! Engkau masih nampak remaja bagiku, sedangkan aku sudah sembilanbelas tahun lebih."

   "Aih, engkau bersikap kakek-kakek saja, Bu-koko (kakak Bu). Usiaku sendiri sudah delapanbelas tahun."

   "Kalau begitu aku lebih tua setahun, Bwe-moi (adik Bwe)!"

   Keduanya saling pandang dan tertawa, sehingga suasana menjadi gembira.

   Tiba-tiba daun pintu ruangan itu diketuk orang dari luar walaupun daun pintu itu terbuka. Mereka menoleh dan nampak Si Dayung Baja Gu Lok sudah ber diri di luar pintu dan anehnya, biarpun kini dia berada di dalam rumah, bukan di dalam perahu lagi, dia masih membawa-bawa dayung bajanya yang dipakai sebagai tongkat! Kiranya benda itu lebih banyak dipergunakan sebagai senjata dari pada sebagai dayung.

   "Ah, paman Gu, masuklah. Oya, sudahkah engkau kembalikan perahu kecil yang disewa Souw-kongcu tadi?"

   Tanya Kiang Bwe.

   Gu Lok masuk dan mengangguk.

   "Sudah, pangcu. Bahkan dari. tukang perahu itu saya menerima titipan sesampul surat untuk pangcu."

   Dia menyodorkan sebuah sampul surat.

   Kiang Bwe menerima surat itu dan memandang heran.

   "Dari manakah tukang perahu itu menerima surat untukku ini?"

   "Katanya dari seorang wanita cantik yang memberinya upah royal untuk mengantarkan surat ini kepada ketua Kim"kok-pang. Saya minta surat itu dan saya serahkan sendiri kepada pangcu."

   "Duduklah, Paman Gu Lok dan perkenalkan ini toako Souw Kian Bu yang tadi telah membantu kita di perahu."

   Kiang Bwe membuka surat itu sedangkan Gu Lok saling memberi hormat dengan Kian Bu dan duduk dengan punggung lurus dan tegak.

   Setelah membaca isi surat, Kiang Bwe mengangkat muka memandang kepada Gu Lok dan Kian Bu.

   "Hoat-kauw mengirim undangan kepada pimpinan Kim-kok-pang! Bagus, ini merupakan kesempatan baik bagi kita untuk datang berkunjung memenuhi undangan dan menyelesaikan urusan di antara mereka dan kita."

   "Pangcu hendak memenuhi undangan mereka?"

   Tanya Gu Lok, wajahnya membayangkan keraguan dan kekhawatiran.

   "Tentu saja! Mereka merayakan ulang tahun dan menurut undangan mereka, sengaja mereka menggunakan kesempatan ini untuk berkenalan dengan para undangan yang terdiri dari perkumpulan-perkumpulan dan semua aliran di dunia kangouw. Disaksikan oleh para tokoh kangouw, aku akan dapat menuntut dari Hoat-kauw mengapa mereka membunuh ayahku dan hendak memaksa Kim-kok-pang bekerja sama dengan mereka. Mereka tentu tidak akan berani berbuat seenaknya di depan para tokoh kangouw."

   "Kalau begitu, saya akan menemani pangcu,"

   Kata Gu Lok.

   "Lebih baik jangan, paman. Selama aku pergi, engkau mewakili aku mengatur anak buah dan menjaga keamanan di sini,"

   Kata dara itu dengan suara tegas.

   "Baiklah, pangcu. Saya mohon diri,"

   Kata Gu Lok yang tahu diri, melihat bahwa kemunculannya mungkin mengganggu pangcunya yang sedang bicara dengan tamunya.

   Setelah Gu Lok keluar, Kian Bu berkata.

   "Bwe-moi, biarlah aku yang menemanimu. Aku akan membantumu kalau sampai ada pihak yang memusuhimu.

   Sikap dara itu lebih manis, akan tetapi tetap saja tegas.

   "Terima kasih atas tawaran bantuanmu, Bu-ko, akan tetapi sekali lagi, kami tidak dapat menerima bantuan dari luar. Tentu engkau mengetahui bahwa urusan ini merupakan urusan yang menyangkut kehormatan Kim-kok-pang, oleh kareha itu, harus dihadapi secara terhormat pula. Tidak, kami tidak mungkin dapat menarik bantuan dari luar kalangan Kim"kok-pang."

   Melihat ketegasan ketua Kim-kok-pang itu, tentu saja Kian Bu tidak dapat membantah karena diapun maklum akan kebenaran pendapat itu.

   "Baiklah kalau begitu, hanya aku minta engkau suka memberitahu kepadaku, kapan dan di mana diadakannya perayaan ulang tahun Hoat-kauw itu?"

   "Menurut surat undangannya, perayaan diadakan di Bukit Harimau, di luar kota An-king pada permulaan bulan depan."

   "Terima kasih, Bwe-mo'. Nah, sekarang aku mohon diri untuk melanjutkan perjalanan, karena aku tahu bahwa engkau tentu akan sibuk menghadapi urusan perkumpulanmu. Selamat tinggal dan selamat berpisah, Bwe-moi."

   Sebetulnya Kiang Bwe ingin sekali menahan pemuda yang sejak pertama kali bertemu sudah menarik hatinya itu. Akan tetapi sebagai seorang wanita, tentu saja ia merasa malu untuk menyatakan perasaannya, dan selain itu, iapun harus melakukan persiapan menghadapi undangan dari Hoat-kauw. Maka, iapun hanya dapat mengucapkan terima kasih atas bantuan Kian Bu dan ia mengikuti bayangan pemuda itu ketika meninggalkan lereng Lembah Bukit Emas.

   Pemuda itu berlatih silat yang aneh. Gerakan-gerakannya lambat dan seolah gerakan memukul atau menendang dari kaki tangannya hanya main-main saja, tidak mengandung tenaga, tidak nampak cepat maupun kuat. Akan tetapi anehnya, pohon besar yang berada dalam jarak tiga meter di depannya, bergoyang-goyang cabangnya yang sebesar tubuh manusia, cabang ranting dan daun-daunnya yang lebat bergoyang-goyang seperti dilanda angin besar sehingga banyak daun pohon yang sudah kuning dan setengah kuning rontok, gugur berhamburan!.

   Setelah berlatih selama setengah jam, bersilat tangan kosong lalu pemuda itu menyambar sebuah tongkat bambu di bawah pohon dan kini dia bersilat menggunakan tongkat bambu yang panjangnya sekitar satu setengah meter.

   Kalau tadi ketika bersilat tangan kosong gerakannya nampak lamban dan lemah, kini setelah bersilat tongkat, gerakannya cepat bukan main sehingga lenyaplah bayangan pemuda itu,dibungkus gulungan sinar tongkat dan terdengar bunyi mengaung saking cepat dan kuatnya tongkat bambu itu bergerak.

   Dan tiba-tiba, gulungan sinar itu melayang ke atas pohon, seperti seekor burung mengelilingi pohon dan nampak daun-daun pohon jatuh berhamburan, bukan hanya yang kuning, melainkan juga yang hijau dan juga ranting"rantingnya.

   Tak lama kemudian, ketika pemuda itu melayang turun pohon itu telah berubah seperti kepala seorang berambut lebat yang kini dicukur pendek dengan bentuk bulat! Ternya ta tongkat yang sama sekali tidak tajam karena terbuat dari bambu itu mampu membabat ranting dan daun pohon sehingga menjadi gundul!

   
Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Setelah selesai bersilat tongkat yang aneh dan juga menggiriskan itu, dia duduk beristirahat di atas sebongkah batu di bawah pohon, memandangi daun-daun yang berserakan dan melamun, membiarkan peluh membasahi lehernya.

   Daun-daun gugur, Manusia mati. Dan teringatlah dia akan semua orang yang dikasihinya dan yang telah meninggalkan dirinya karena mati seorang demi seorang. Ayah dan ibunya mati. Kemudian orang yang mengasuhnya sejak dia kecil, kemudian menjadi pengganti ayah ibunya, juga mati! Demikian pula gurunya yang pertama kali, guru yang dikasihinya, di hormatinya mati pula terbunuh orang!

   Sia Han Lin termenung, tenggelam dalam kenangan duka. Teringat dia akan keadaan dirinya yang kini hidup sebatangkara di dunia ini. Sejak berusia lima tahun dia terpaksa berpisah dari ayah ibunya yang berperang melawan serbuan musuh, dia dilarikan mengungsi oleh Liu Ma, pengasuhnya.

   Kemudian ternyata ayah ibunya itu tewas dalam perang dan selanjutnya dia diasuh sebagai putera Liu Ma. Cinta kasihnya kepada ayah ibunya berpindah kepada Liu Ma, dan ketika dia menjadi murid ong Hwi Hosiang, dia menemukan lagi seorang yang dihormati dan disayangnya, yaitu gurunya itu. Akan tetapi, malapetaka datang menimpa.

   Liu Ma dan Kong Hwi Hosiang tewas di tangan tiga orang Raja Iblis yang kejam. Bahkan dia sendiri tentu sudah tewas kalau tidak ditolong oleh gurunya yang sekarang, yaitu kakek yang hanya dia kenal sebagai Lo-jin (Orang Tua). Akan tetapi, gurunya ini seorang manusia yang aneh dan agaknya tidak mungkin mempunyai perasaan kasih sayang kepada manusia aneh ini seperti yang dirasakan terhadap mendiang Kong Hwi Hosiang dan Liu Ma.

   Lo-jin seolah tidak terikat oleh apapun juga, tidak membutuhkan kasih sayang, juga tidak pernah memperlihatkan kasih sayang, namun setiap gerak geriknya tak pernah menyusahkan apa dan siapapun. Ilmu"ilmu yang diajarkan kepadanya selama lima tahun inipun ilmu yang aneh, namun karena yakin bahwa Lo-jin adalah seorang manusia seperti dewa, Han Lin menaati semua petunjuknya dan selama lima tahun ini berlatih dengan amat tekunnya.

   Teringat akan semua keadaan dirinya, timbul perasaan iba diri dan terbenamlah Han Lin ke dalam duka. Hatinya seperti diremas-remas. Dia adalah utera seorang yang pernah menjadi raja, hidup bergelimang kemuliaan dan ke hormatan, lalu tiba-tiba saja dia menjadi yatim piatu, bahkan sekarang dia tidak memiliki apa-apa lagi kecuali dirinya sendiri! Dan gurunya, satu-satunya orang yang dekat dengan dirinya, yaitu Lo-jin, jarang berada di puncak itu, membiarkan dia seorang diri saja. Bahkan kini, sudah dua minggu gurunya itu pergi entah ke mana. Pergi tidak pernah pamit, datang tidak pernah memberitahu, seperti angin saja.

   Ketika Han Lin duduk termenung bertopang dagu, murung dan perasaannya tertekan, dia tidak merasakan bahwa ada angin lembut bertiup dan bayangan seorang kakek yang rambutnya seperti benang sutera putih telah berdiri di belakangnya. Andaikata Han Lin tidak sedang tenggelam dalam lamunan, tentu pendengarannya yang terlatih dan tajam itu dapat menangkap gerakan seringan daun kering itu.

   Akan tetapi dia sedang tenggelam dalam kedukaan, maka dia sama sekali tidak tahu bahwa gurunya, Lojin, telah berdiri di belakangnya Kakek yang bertubuh tinggi agak kurus dengan wajah putih kemerahan, ma tanya berbinar-binar seperti bintang, kumis, jenggot dan rambutnya sudah putih semua itu kini berdiri dan mengelus jenggotnya, tersenyum dan mengangguk-angguk. Tongkat bambu di tangannya lalu digerakkan melintang di depan dadanya dan terdengar suara mengaung.

   Mendengar suara ini, barulah Han Lin sadar dari lamunannya dan sebelum membalikkan tubuh, dia sudah tahu siapa yang datang. Dia segera menjatuhkan diri berlutut dan membalik, memberi hormat kepada gurunya.

   "Suhu,"

   Suaranya masih mengandung duka, walaupun dia berusaha menekannya.

   "Han Lin, apakah jurus-jurus terakhir dari Khong-khi-ciang (Tangan Udara Kosong) dan Pek-lui-tai-hong-tung (Tongkat Petir Badai) telah dapat kau kuasai dengan baik?"

   "Sudah, suhu. Apakah suhu menghendaki agar teecu memainkannya?"

   "Tidak, aku sudah percaya bahwa engkau telah menguasainya dengan baik. Akan tetapi kenapa engkau berduka?"

   Han Lin maklum bahwa dia tidak mungkin dapat membohongi gurunya, maka diapun berkata,

   "Suhu, teecu tadi teringat akan kematian orang-orang yang teecu sayang, dan teecu merasa berduka sekali Maaf, suhu Teecu mengerti benar bahwa duka adalah sia-sia dan timbul dari iba diri, bahwa sesungguhnya amat tidak baik dan tidak sehat membiarkan diri tenggelam dalam duka. Akan tetapi pengertian teecu itu tidak banyak menolong, suhu. Teecu tetap berduka. Beruntung sekali bahwa suhu kembali pada saat teecu dilanda duka nestapa yang amat menekan hati, maka teecu mohon petunjuk, suhu. Suhu, mohon diberi petunjuk bagaimana teecu akan dapat menguasai hati dan mengendalikan nafsu agar teecu tidak dicengkeram duka."

   Kakek itu tersenyum dan senyumnya mendatangkan kelembutan yang mengharukan karena wajah itu presis wajah seorang bayi yang suka tertawa-tawa sendiri secara wajar. Kemudian dia ber kata dengan suara halus.

   "Han Lin, segala macam jalan atau cara untuk mengendalikah nafsu adalah ulah nafsu itu sendiri juga, karena cara didorong oleh suatu keinginan mencapai sesuatu dan ini hanyalah ulah nafsu yang pandai mengubah bentuk dan ragam. Usaha untuk melenyapkan duka tidak ada bedanya dengan duka itu sendiri, keduanya bersumber kepada si-aku yang menjadi duka karena terkenang akan sesuatu dan si-aku pula yang menginginkan agar tidak berduka. Karena itu, usaha apapun yang bersumber dari aku, tidak akan dapat berhasil dengan sempurna."

   "Kalau -begitu, apa yang dapat teecu lakukan, suhu? Teecu tahu benar menurut ajaran kitab-kitab agama, juga menurut petuah-petuah yang teecu dapat kan dari mendiang suhu Kong Hwi Hosiang dan dari suhu, akan tetapi pengetahuan teecu itu tidak menolong melenyapkan duka dari hati teecu. Suhu, teecu menjadi bingung, mohon petun-juk."

   Kakek itu menghela napas panjang bukan karena sedih, bukan karena kecewa.

   "Apapun yang engkau lakukan atau tidak lakukan, kalau itu bersumber dari si-aku, akan sama saja palsunya dan sia-sianya. Bersikaplah wajar-wajar saja, Han Lin dan jangan menentang segala yang kaulakukan sendiri. Kalau engkau dilanda duka, bedukalah, kenapa mesti dipersoalkan lagi? Selama manusia masih hidup di dalam jasmani ini, manusia tidak akan terlepas dari segala macam perasaan susah senang puas kecewa dan sebagainya lagi. Akan tetapi, yang penting adalah menyadari akan semua itu, mengamati setiap gejolak nafsu yang menguasai hati akal pikiran dan yang mengemudikan semua gerak gerik kita. Menyadari sepenuhnya bahwa semua itu adalah ulah si-aku, yaitu nafsu yang mengaku-aku. Yang berduka itu adalah hati dan pikiranmu. Seperti juga yang marah, yang kecewa, yang iri, yang diserang penyakit, semua itu hanyalah alat-alat atau anggauta tubuh mu. Kesadaran yang sepenuhnya ini akan membuat kita yakin bahwa. semua itu hanyalah permainan nafsu belaka. Bahkan kalau kematian tiba, yang mati adalah tubuh jasmani belaka. Selama nafsu daya rendah menguasai hati akal pikiran, maka di dalam kehidupan ini kita akan selalu menjadi permainannya, dan semua yang kita lakukan dikemudikan oleh nafsu daya rendah. Bahkan usaha kita untuk mengendalikan atau menguasai nafsu juga datang dari nafsu daya rendah, karenanya, biarpun kita mengerti akan suatu perbuatan yang tidak benar, kita tetap saja tidak mampu menghentikan perbuatan itu."

   "Suhu, kalau begitu alangkah celakanya hidup ini, kita dibiarkan menjadi korban, dicengkeram dan diperhamba nafsu tanpa kita mampu membebaskan diri!"

   "Tidak, Han Lin. Di samping nafsu daya rendah yang diikutsertakan dalam kehidupan kita, masih terdapat sesuatu yang berkat Kasih Sang Maha Pencipta, disertakan pula kepada kita. Sesuatu yang biarpun nampak tipis dan hampir tak nampak, namun selalu ada dan tidak pernah meninggalkan manusia, sesuatu yang menjadi bukti dan saksi betapa Tuhan Maha Kasih dan Maha Pengampun. Sesuatu ini yang menjadi tali yang tak pernah terputuskan, yang menghubungkan manusia kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Tinggal terserah kepada manusia sendiri apakah akan mengabaikanNya dan menyerah kepada nafsu, atau memperkuat ikatan yang akan menghubungkan manusia dengan kekuasaan Tuhan yang selalu bersemayam di dalam dan luar diri setiap orang manusia itu."

   "Lalu bagaimana caranya agar ikatan itu dapat diperkuat, suhu?"

   "Usaha manusia tidak akan membawa hasil. Hanya Kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu mengaturnya, dan kalau Kekuasaan Tuhan sudah bekerja, maka dengan sendirinya nafsu daya rendah akan kembali ke tempat mereka semula, menjadi hamba yang baik, bukan menjadi majikan yang kejam. Dan agar Kekuasaan Tuhan dapat bekerja, maka semua daya kerja hati akal pikiran haruslah berhenti. Kalau kita hidup selaras dengan To, maka To yang akan bekerja mengatur segalanyadan apapun yang diatur oleh To sudah pasti sempurna. Kekuasaan Tuhan bekerja dengan sempurna, Maha Murah', Maha Kasih, Maha Adil, Maha Pengampun dan.Maha Kuasa Satu-satu nya yang dapat kita kerjakan hanyalah menyerah, dengan penuh keikhlasan, penuh kepasrahan, penuh ketawakalan."

   "Akan tetapi, suhu. Bukankah menyerah inipun merupakan suatu usaha. dari hati akal pikiran?"

   "Bukan, Han Lin. Usaha selalu mengandung pamrih uncuk mendapatkan sesuatu. Akan tetapi menyerah dengan kepasrahan tidak mengandung usaha apapun, dan tidak menginginkan apapun, karena kalau ada keinginan mendapatkan sesuatu, itu bukan pasrah namanya. Pasrah dalam arti kata yang sesungguhnya sama dengan mati, seperti orang yang dalam tidur, apapun yang akan tiba menimpa dirinya, terserah kepada Tuhan. Andai kata pada saat itu Tuhan hendak mencabut nyawanya, diapun akan menyerah tanpa membantah, ikhlas, pasrah, tawakal."

   "Kalau begitu, bukankah kita lalu menjadi malas dan hanya menyerahkan segalanya kepada Tuhan saja, suhu?"

   "Sama sekali tidak, Han. Lin. Itu namanya bukan menyerah dengan kepasrahan, keikhlasan dan ketawakalan, melain kan ingin mempersekutu Tuhan, bahkan ingin enaknya sendiri saja. Tuhan telah menciptakan kita lengkap dengan segala alat yang ada pada diri kita, dan semua itu diciptakan bukan percuma, melainkan diciptakan untuk dipergunakan, untuk dimanfaatkan. Kalau tidak kita pergunakan, tidak kita manfaatkan, itu berdosa namanya, dan penggunaannya, pemanfaatannya haruslah untuk kebaikan, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, selaras dengan To, berarti membantu pekerjaan Kekuasaan Tuhan. Segala sesuatu yang diciptakan Tuhan di alam maya pada ini bekerja, bergerak yang berarti bekerja. Bahkan bintang matahari dan bulanpun bekerja bergerak tiada hentinya. Kita yang dlberi perlengkapan yang sempurna, tentu saja harus bekerja, berusaha demi memenuhi semua keperluan dan kebutuhan hidup di dunia. Kita harus makan agar tidak mati kelaparan, kita membutuhkan pakaian agar tidak mati kedinginan, kita membutuhkan tempat tinggal untuk berlindung dari binatang buas, angin dan panas atau hujan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, tentu saja kita harus mencari, harus berusaha dan bekerja! Namun, semua pekerjaan itu barulah benar kalau didasari kepasrahan, didasari penyerahan kepada Tuhan sehingga apapun yang kita lakukan, akan sejalan dengan To."

   Han Lin mengangguk-angguk, dia mengerti benar apa yang dimaksudkan gurunya.

   "Mudah-mudahan teecu tidak terlalu dipermainkan nafsu daya rendah dan mudah-mudahan teecu akan mendapat pengampunan dan bimbingan Tuhan dengan iman dan penyerahan, suhu."

   "Semoga Tuhan memberi jalan kepa damu, Han Lin. Akan tetapi sekarang aku ingin memberitahu kepadamu bahwa sudah tiba saatnya bagi kita untuk berpisah. Aku akan melanjutkan perjalananku dan engkaupun harus melanjutkan jalan hidupmu sendiri. Sekali lagi ingat, dengan ilmu yang kaupelajari, berarti engkau menjadi abdi keadilan dan kebenaran, akan tetapi bukan keadilan dan kebenaran bagi pribadimu. Semua perasaan pribadi harus disingkirkan, kalau tidak engkau tidak akan mungkin dapat bertindak adil. Cari dan mintalah petunjuk dari Tuhan, dan engkau pasti akan menerima petunjukNya."

   "Suhu"

   Han Lin terkejut dan tentu saja merasa terpukul. Baru saja dia menyusahkan kematian orang-orang yang dikasihinya dan kini gurunya, orang terakhir yang terdekat dengannya, menyatakan bahwa mereka harus berpisah.

   "Han Lin, lupakah engkau bahwa keterikatan itulah justeru yang menjadi penyebab terutama dari duka? Mempunyai namun tidak memiliki, itulah seyogianya. Secara lahiriah kita boleh mempunyai apapun juga, namun secara batiniah kita tidak memiliki apa-apa. Nah, cukup sudah, tongkatku ini boleh kaumiliki, benda ini sudah puluhan tahun tak pernah lepas dari tanganku."

   Nampak bayangan berkelebat dan yang tinggal di depan Han Lin hanyalah sebatang tongkat bambu yang menancap di atas tanah. Lojin telah lenyap seperti di telan bumi.

   Han Lin memberi hormat ke arah berdirinya gurunya tadi sambil berlutut sampai delapan kali, kemudian dia bangkit, mencabut tongkat bambu yang biasa dipegang gurunya, mencium gagang tongkat itu dan berbisik.

   "Suhu, terima kasih!"

   Setelah itu, Han Lin menuruni puncak, menggendong buntalan pakaiannya di punggung dan membawa sebatang tongkat bambu yang selama ini tak pernah terpisah dari tangan Lojin. Lima tahun lamanya dia menerima gemblengan kakek sakti yang luar biasa itu, dan kini dia sudah dewasa, sudah berusia duapuluh tahun! Ke mana dia harus pergi? Teringat akan ini, setibanya di puncak sebuah lereng, dia berhenti dan memandang ke sekeliling Alam di bawah sana seolah menanti, menggapaikan tangan kepadanya.

   Akan tetapi, ke arah mana dia harus pergi dan apa atau siapa yang menantinya di sana? Dia tidak mempunyai apa-apa lagi, bahkan tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Liu Ma telah tewas, juga Kong Hwi Hosiang, Cun Hwesio dan Kun Hwesio para pembantu Kong Hwi Hosiang.

   Mengunjungi kubupan mereka? Tidak ada artinya. Pernah Lojin bicara dengan lembut mengenai hal itu. Mengunjungi kuburan orang tua hanya merupakan kewajiban untuk menjaga agar kuburan mereka itu bersih dan terawat, bukan sebagai bukti. kebaktian. Kebaktian terhadap orang tua yang sesungguhnya bukan terletak kepada pemeliharaan kuburan, melainkan dalam sepak terjang kita sehari-hari, dalam kelakuan kita, Kelakuan yang baik akan mengangkat nama baik orang tua, sebaliknya kelakuan buruk akan menodai nama orang tua, walaupun orang tua sudah meninggal,"

   Teringat akan kata-kata gurunya itu, Han Lin tidak lagi ingin berkunjung ke kuburan orang-orang yang dahulu disayangnya itu. Akan tetapi ada hal lain yang mendorongnya untuk pergi ke dusun Li-bun.

   Dia harus melihat apa yang terjadi dengan penduduk dusun itu semenjak lima tahun yang lalu Sam Mo-ong mengganas di sana. Sudah menjadi kewajibannya untuk turun tangan menolong, kalau penduduk dusun itu tertindas oleh perbuatan sewenang-wenang tiga orang datuk iblis itu.

   Ya, dia akan pergi ke dusun Li-bun, Setelah itu, baru dia akan melanjutkan perjalanannya, mencari keluarga ibunya! Kenapa dia merasa tidak mempunyai keluarga dan hidup sebatang kara? Di sana.masih ada dua orang kakak mendiang ibunya.

   Kakak perempuan ibunya bernama Yang Kui Lan dengan suaminya bernama Souw Hui San dan kakak laki-laki ibunya bernama Yang Cin Han dengan isterinya Can Kim Hong. Dia mengenai nama-nama itu dari mendiang ibunya dan tak pernah dia melupakan nama-nama itu. Juga tempat tinggal mereka Menurut ibunya, pamannya Yang Cin Han tinggal di Lok-yang, dan bibinya Yang Kui Lan tinggal di Wu"han. Kelak dia akan mengunjungi mereka. Tak dapat dia membayangkan bagaimana paman dan bibinya itu akan menerimanya, dan membayangkan segala kemungkinan dalam penyambutan itu mendatangkan ketegangan dan kegembiraan dalam hatinya.

   Dengan jantung berdebar karena tegang, Han Lin memasuki, dusun Li-bun, Betapa dekat dusun ini dengan hatinya, baru sekarang dia merasakannya. Semua benda yang terdapat di situ, pohon-pohon, rumah-rumah dusun, batu-batu besar, selokan-selokan, semua itu begitu ramah menyambutnya dengan kenangan manis, membuat dia merasa bertemu dengan sahabat-sahabat lama.

   Hal ini tidaklah aneh karena selama sepuluh tahun dia tinggal di dusun itu. Akan tetapi, agaknya tidak ada seorang penduduk dusun itu yang mengenalnya. Ketika dia pergi, kepergiannya dianggap sebagai kematian oleh para penduduk yang mendengar bahwa dia telah terlempar ke dalam jurang bersama ibunya, yaitu Liu Ma, dan ketika itu lima tahun yang lalu, dia adalah seorang pemuda remaja, sedangkan sekarang dia telah menjadi seorang pemuda dewasa. Akan tetapi dia dapat mengenal wajah-wajah tua yang tidak mengalami perubahan, hanya wajah-wajah itu nampak muram, tidak seperti dahulu.

   Dia tidak mengenal wajah-wajah muda penduduk Li-bun, karena seperti juga dia, orang-orang muda itu dahulu masih kanak-kanak atau remaja ketika dia pergi. Agaknya tidak ada seorangpun di antara penduduk dusun itu yang menaruh perhatian terhadap Han Lin. Dia hanya seorang pemuda berpakaian sederhana, menggendong buntalan pakaian, membawa tongkat bambu.

   Siapa yang akan menaruh perhatian kepada seorang pemuda sesederhana ini? Satu hal yang agak menghibur hati Han Lin adalah melihat betapa para penghuni dusun Li-bun itu, tua muda, nampak rajin bekerja. Mereka berlalu-lalang dengan langkah tergesa gesa, membawa alat pertanian atau alat alat penangkap ikan. Hal ini berarti bahwa penghuni dusun Li-bun masih memiliki penghasilan yang cukup baik. Hanya saja, mengapa wajah"wajah itu muram?

   Han Lin menuju ke rumah di mana dahulu dia tinggal bersama Liu Ma. Dan hatinya terharu juga melihat rumah itu masih seperti dulu, terpelihara baik-baik, pekarangannya disapu bersih dan semua pohon yang tumbuh di pekarangan masih seperti dulu, hanya agak lebih besar tumbuhnya.

   Jantungnya berdebar Seolah dia akan melihat ibunya muncul dari pintu depan menyambutnya. Dia merasa seperti dahulu kalau pulang ke rumah itu Masih biasakah sebetulnya keadaannya dan apakah semua yang dialami lima tahun ini hanya mimpi belaka?

   Dia bahkan merasa betapa hatinya mengharap kan Liu Ma benar-benar muncul menyambutnya dengan senyum dan pandang matanya yang khas, yang penuh kasih sayang kepadanya! Ketika dia naik ke beranda depan, hampir saja mulutnya memanggil Liu Ma seperti dahulu, dengan sebutan ibu.

   Dia menahan suaranya karena pada saat itu dari. pintu depan muncul seorang laki-laki. yang usianya sekitar limapuluh tahun. Pria ini nampak tua dan lemah, namun Han Lin segera mengenalnya.

   "Paman Akui!"

   Serunya gembira. orang ini lima tahun yang lalu merupakan seorang pembantu rumah tangga, terutama mengurus kebon dan dipercaya ibunya karena memang jujur dan setia walaupun buta huruf.

   Akui memandang pemuda itu dengan alis berkerut.

   "Siapakah engkau?"

   Katanya meragu.

   "Dan ada keperluan apa berkunjung ke sini?"

   Pandang matanya jelas membayangkan keheranan bahwa pemuda yang tidak dikenalnya itu mengetahui namanya Dia merasa pernah mengenal pemuda Ini, akan tetapi lupa lagi entah di mana.

   "Paman, apakah paman sudah lupa kepadaku? Aku Han Lin, paman."

   Sepasang mata itu terbelalak, la lu nampak ketakutan dan orang itu terhuyung kebelakang seperti telah didorong.

   "Tidak tidak...."

   Dia menggeleng kepala dan mengangkat kedua tangan seperti hendak melindungi dirinya.

   "Setan kau.... roh penasaran "

   Han Lin merasa kasihan, akan tetapi juga geli. Dia tersenyum dan berkata lembut.

   "Paman Akui, apakah aku kelihatan seperti setan? Lihat baik-baik, aku adalah Han Lin yang lima tahun lalu tinggal bersama mendiang ibu di sini. Aku telah pulang, paman. Aku masih hidup, belum mati dan bukan roh pe nasaran.."

   Akui dapat menenangkan hatinya dan dia memandang penuh perhatian, agaknya mulai percaya bahwa yang berdiri di depannya bukan setan, bukan roh penasaran, melainkan seorang pemuda dari darah daging dan kini dia mulai mengenai wajah itu!

   "Tapi tapi.... bukankah engkau sudah mati lima tahun yang lalu, terlempar ke dalam jurang dan tewas bersama ibumu? Lihat di dalam itu, ada meja sembahyang untuk menyembahyangi arwah ibumu dan arwahmu "

   'Tidak, Paman. Ibu memang tewas terjatuh ke dalam jurang, akan tetapi aku tidak mati. Tuhan masih melindungi dan menghendaki aku masih hidup."

   "Tapi kalau begitu, kenapa sampai lima tahun baru engkau pulang?

   Selama lima tahun ini, engkau dimana saja....?"

   Agaknya Akui belum yakin benar bahwa pemuda yang berdiri di depannya adalah Han-Lin.

   "Panjang ceritanya, paman mari kita bicara di dalam. Selain banyak yang kuceritakan, juga banyak yang akan kutanyakan kepadamu. Jangan ragu, paman Akui, aku benar-benar Han Lin yang ketika berusia enam tahun, jatuh dari atas pohon di pekarangan depan itu dan untung ada paman di bawah pohon sehingga tubuhku menimpa paman dan tidak cedera."

   Mendengar ini, barulah Akui yakin Bagaimana mungkin pemuda ini dapat mengetahui,apa yang terjadi belasan tahun yang lalu itu kalau pemuda ini bukan Han Lin yang aseli? Pula, kini dia melihat bahwa wajah Han Lin tidak berubah dari wajahnya lima tahun yang lalu, walaupun kini dia lebih tinggi dan tegap.

   "Kongcu, benar-benar engkaukah ini?"

   Suaranya menjadi serak dan kedua matanya basah ketika Akui memegang tangan Han Lin.

   "Aih, kongcu betapa malapetaka telah menimpa kita bersama, seluruh warga dusun kita menderita sengsara "

   Han Lin tidak ingin orang lain mendengar ucapan ini, maka dia lalu menggandeng tangan Akui dan diajaknya orang tua itu masuk rumah, lalu duduk di ruangan dalam. Ternyata prabot rumah itupun masih seperti dulu, tidak diubah sama sekali dan agaknya yang mengurus rumah itu hanya Akui seorang karena tidak terdapat orang lain di situ. Setelah duduk, agar meyakinkan hati Akui bahwa dia benar Han Lin, pemuda itu lalu secara singkat menceritakan pengalamannya.

   "Memang benar bahwa lima tahun yang lalu itu, orang"orang jahat membuat aku terjungkal ke dalam jurang, paman. Akan tetapi aku dapat berpegang kepada pohon yang tumbuh di dinding jurang sehingga nyawaku selamat. Ibu tewas di dasar jurang dan sudah kukubur jenazahnya. Biarpun aku terluka, akan tetapi aku diselamatkan seorang kakek yang kemudian menjadi guruku dan aku dibawa pergi untuk menjadi muridnya selama lima tahun. Setelah lewat lima tahun, barulah aku diperkenankan untuk pulang ke sini. Akui menyusut air matanya karena sedih dan terharu.

   "Ah, ternyata Tuhan telah melindungi orang yang tidak berdosa. Tidak sia"sialah selama lima tahun ini aku merawat rumah ini, menjaga dan membersihkannya walaupun semua orang menertawakan aku dan mengatakan bahwa engkau dan ibunya telah tewas. Aku mengambil keputusan untuk merawat terus rumah ini sampai aku mati ternyata, kini tiba-tiba engkau pulang, kongcu, seperti seorang bangkit kembali dari kuburan."

   "Aku berterima kasih sekali kepadamu, paman Akui. Akan tetapi sekarang aku ingin mendengar, apa yang terjadi di dusun ini sejak aku pergi. Dan bagaimana pula dengan kuil di bukit itu!"

   "Kongcu, tiga orang losuhu di kuil itu telah terbunuh pula "

   "Aku tahu, paman. Aku sempat menguburkan jenazah mereka. Yang ingin kuketahui, apa yang terjadi selanjutnya setelah ketiga orang suhu itu tewas?"

   "Yang terjadi adalah bencana bagi dusun kita, bahkan juga dirasakan dusun-dusun lain di sekitar sini, kong cu. Kuil itu menjadi sarang mereka.... dan sampai sekarang, kehidupan para penghuni dusun ini seperti dicekam ketakutan, dan tersiksa. Banyak yang diam-diam melarikan diri mengungsi. Yang tetap tinggal terpaksa harus tahan menderita penghinaan dan pehindasan. Mereka itu menganggap seluruh penghuni dusun sebagai pelayan. Semua kebutuhan makan mereka harus kita sediakan, bahkan banyak pula gadis dusun ini mereka tawan. Juga gadis-gadis dari dusun lain. Banyak pula yang mereka pukuli, mereka rampas hartanya, ada pula yang mereka bunuh karena berani melawan Dan semua peninggalan ibumu yang disimpan dalam kamar ibumu ah, semua telah dirampas tanpa aku dapat mencegahnya, kongcu "

   "Tidak mengapa, paman. Barang yang hilang sudahlah, jangan dipikirkan lagi,"

   Kata Han Lin akan tetapi hatinya terasa nyeri dan panas, bukan ka rena barang-barang peninggalan Liu Ma dirampas orang, melainkan karena mendengar akan berbuatan sewenang-wenang dan kejam dari gerombolan penjahat itu.

   Seingatnya, yang muncul dan mengacau kuil di puncak Bukit Ayam.Emas hanyalah tiga orang Sam Mo-ong dan seorang pemuda bersuling yang kejam dan licik, yang dia lupa lagi siapa namanya.

   "Paman, apakah sampai sekarang mereka itu masih tinggal di kuil di puncak Bukit Ayam Emas, dan kalau masih, berapa banyaknya mereka yang bersarang di sana?"

   "Banyak, banyak sekali, kongcu, dan lima orang pemimpin mereka menurut desas-desus para penduduk berjuluk Bu-tek Ngo-sin-liong. Anak buah mereka banyak sekali, antara duapuluh sampai tigapuluh orang dan aku mendengar mereka itu adalah para anggauta Hoat-kauw, kongcu. Entah aliran apa itu, yang jelas, mereka semua suka mempergunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka. Mereka membangun pondok-pondok di sekitar kuil, menjadi tempat tinggal para anggauta. Dan para anggauta itulah yang suka membikin kacau, merampok, menculik wanita, menyiksa dan membunuh!"

   Han Lin mengepal tinju. Tak mungkin dia mendiamkan saja kejahatan itu melanda daerah yang demikian indah. Hatinya sudah terbakar mendengar betapa gerombolan itu tidak pantang melakukan kejahatan bagaimanapun, bukan hanya menculik gadis-gadis dusun, bahkan isteri orangpun mereka rampas.

   "Paman Kui, terima kasih atas ke baikanmu selama lima tahun merawat rumah ini, dan mulai sekarang engkau boleh tinggal di sini selama hidupmu dan anggap saja rumah ini milikmu sendiri.. Dan sekarang aku mohon kepadamu, rahasiakan kedatanganku. Jangan ceritakan kepada siapapun juga bahwa aku masih hidup dan datang kembali ke rumah ini. Aku hanya akan tjnggal beberapa hari saja di sini, paman, kemudian aku akan pergi lagi sehingga tidak perlu menggegerkan penduduk dusun Li-bun."

   Akui mengangguk-angguk maklum, lalu berbisik.

   "Aku tahu, kongcu. Bukan hanya kongcu yang takut, akupun takut kalau sampai mereka mengenal kongcu. Memang sebaiknya kalau kongcu bersembunyi dan cepat meninggalkan tempat yang tidak aman ini. Aku akan menjaga rumah ini sampai kelak keadaan kembali aman dan kongcu pulang ke sini."

   Tentu saja Han Lin menyuruh pelayan itu merahasiakan kehadirannya bukan karena dia takut. Dia akan menentang gerombolan itu dan hal ini harus dia lakukan sendiri tanpa setahu penduduk dusun Li-bun sehingga kelak tidak akan ada akibat yang buruk bagi para penduduk karena dia seorang yang bertanggung-jawab. Akan tetapi biarlah Akui mengira dia takut, hal itu lebih baik lagi agar Akui benar-benar merahasiakan bahwa dia masih hidup dan kembali kesitu.

   

Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini