Mestika Burung Hong Kemala 10
Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
Kui Bi berpura-pura dan sikapnya menjadi seperti orang ketakutan.
"Tidak perlu berpura-pura dan berdusta! Aku sendiri melihatnya tadi ada bayangan seorang pria bercakap-cakap denganmu di sini! Hayo katakan, siapa dia dan di mana dia sekarang? Kalau tidak mengaku, engkau akan kuseret dan kulaporkan kepada komandan pasukan keamanan dan engkau akan disiksa agar mau mengaku! "
Kui Bi merasa serba salah, akan tapi ia segera teringat bahwa Sia Sung merupakan seorang panglima yang tentu jauh lebih besar kekuasaannya di bandingkan seorang perajurit pengawal thai-kam biasa, maka iapun segera menjawab.
"Ah, kau maksudkan Sia-ciangku tadi? Memang benar aku tadi bertemu dengan Sia-ciangkun di sini. Dia bertanya apa yang kukerjakan di sini dan ku jawab bahwa aku mencari hawa sejuk Dia lalu pergi dan......
"Siapa Sia-ciangkun? Jangan bohong kau!"
Pengawal itu melangkah dekat dengan sikap mengancam.
"Aku tidak berbohong, yang bicara denganku tadi adalah Sia-ciangkun."
Kata Kui Bi.
"Sia-ciangkun adalah panglima yang terkenal."
"Tidak mungkin. Engkau hanya seorang dayang baru, bagaimana mungkin panglima Sia bicara denganmu di taman Jangan melempar fitnah. Engkau harus kutangkap dan......"
Tangan kiri Kui Bi bergerak cepat sekali dan tangan itu sudah menyambar ke arah dada thai-kam itu. Thaikam itupun lihai dan cepat meloncat ke belakang sehingga walaupun pukulan itu mengenai dadanya, namun tidaklah kuat benar, hanya membuat dia terhuyung.
Akan tetapi, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan dengan cepat sinar pedang berdesing menyambar, maka robohlah thai-kam itu dengan dada tertembus pedang. Penyerangnya adalah Sia Su Beng. Pada saat itu, terdengar teriakan Gui-thai-kam dari pintu taman.
"Nona Kui Bi, engkau di mana? Ke sinilah cepat,engkau dicari Yang Mulia Pangeran!"
Wajah Kui Bi berubah agak pucat karena kalau sampai ketahuan thai-kam itu tewas di dekatnya dengan berlumuran darah, tentu ia akan celaka.
"Tenang, kusembunyikan dia,"
Terdengar Sia Su Beng berkata lirih. Panglima itu menyeret mayat thaikam itu ke balik semak-semak. Setelah panglima dan mayat itu tidak kelihatan lagi. Kui Bi menjawab dengan teriakan.
"Aku berada di sini.....!"
Dan iapun menghampiri ke arah pintu taman.
Gui-thaikam nampak berlari-lari menghampiri.
"Aih, apa saja yang kaulakukan malam hari di taman? Cepat, Yang Mulia Pangeran An Kong mencarimu, beliau akan marah kalau engkau tidak cepat menghadap."
Mendengar ini, Kui Bi mengerling sekali lagi ke arah semaksemak.Tentu Sia Su Beng mendengar ucapan itu, pikirnya.
Hatinya merasa agak lega karena ia tahu bahwa panglima itu tentu akan melindungi dan membantunya kalau ada bahaya mengancam, dan entah bagaimana, ia merasa bahwa bahaya itu datangnya dari sang pangeran yang secara berterang menyatakan terpikat olehnya dan menghendaki dirinya.
"Aku hanya mencari hawa segar di taman,"
Katanya dan iapun mengikuti thai-kam yang menjadi kepala dayang itu keluar taman menuju ke gerbang taman.
Di sana telah menanti Pangeran An Kong bersama dua orang pengawal pribadinya. Kui Bi cepat maju dan meniru Gui-thaikam memberi hormat kepada sang pangeran yang tersenyum melihatnya.
"Kui Bi, engkau memang cantik jelita,"
Kata pangeran itu dengan kagum ketika dia memandang wajah manis itu di bawah sinar lampu gantung kemerahan.
"Terima kasih, Pangeran. Hamba hanya seorang gadis dusun yang bodoh,"
Kata Kui Bi merendah.
"Aku mendengar engkau disia-siakan ayahanda kaisar,tidak pernah diperhatikan dan hanya mendapatkan tugas di luar kamar yang tidak penting. Hem, untuk apa ayahanda mempertahankan dari ku? Aku suka kepadamu. Kui Bi. Lebih baik engkau menjadi dayangku dan kalau engkau menyenangkan hatiku, engkau akan menjadi selirku."
Berdebar rasa jantung Kui Bi, berdebar karena marah, juga karena khawatir. Tentu saja ia tidak ingin menjadi selir pangeran itu atau selir kaisar sekalipun, ia bersedia mengorbankan nyawa dalam perjuangan, akan tetapi mengorbankan kehormatannya? Tidak! ia akan mempertahankan kehormatannya, dengan nyawanya!
"Ampun, Pangeran. Hamba tidak berani. Tanpa ijin Yang Mulia Sribaginda Kaisar, bagaimana hamba berani? Hamba akan menerima hukuman berat...."
Katanya dengan nada ketakutan.
Pangeran An Kong memberi isarat pada dua orang pengawalnya untuk meninggalkannya, demikian pula Gui thaikam karena ia ingin bicara berdua dengan Kui Bi dan tidak didengar orang lain. Dua orang pegawal itu meninggalkan mereka akan tetapi mengamati dari jauh untuk menjaga keselamatan sang pangeran, biarpun mereka maklum bahwa pangeran itu bukan orang lemah, bahkan ilmu silatnya lebih lihai dari pada mereka. Gui-thaikam juga meninggalkan tempat itu dengan taat, bahkan kembali memasuki bangunan belakang istana.
"Nah, sekarang kita hanya berdua, Kui Bi. Katakanlah, bukankah engkau lebih suka menjadi dayangku dari pada menjadi dayang Sribaginda? Aku melihat kerling dan senyummu ketika itu "
Kui Bi berlagak tersipu malu.
"Ah, Pangeran. Tentu saja, hamba akan lebih suka kalau dapat menjadi dayang paduka...., akan tetap Sribaginda mengutuskan lain dan hamba t idak berani menentangnya."
"Tidak ada yang menentang, tetapi katakan dulu, apakah engkau akan senang kalau menjadi selirku, bahkan mungkin kelak menjadi isteriku berarti engkau menjadi permaisuri kalau aku menjadi kaisar?"
"Ahh..... tentu.... tentu saja Pangeran. Hamba akan..... senang sekali...."
Kata Kui Bi walaupun di dalam hatinya ia memaki pangeran mata keranjang yang merayunya itu.
"Dan engkau akan suka membantu melakukan apa saja untukku agar kelak engkau dapat menjadi permaisuriku?"
Kui Bi memutar otaknya. Kalau pangeran ini menghendaki tubuhnya, tentu tidak demikian pertanyaannya. Pangeran ini tentu merencanakan sesuatu dan membutuhkan bantuannya!
"Hamba akan berbahagia sekali, akan tetapi bagaimana mungkin hamba melayani paduka sebelum mendapatkan ijin Yang Mulia Kaisar dan Permaisuri? Atau kalau......."
"Ya? Lanjutkan, jangan takut-takut."
"Atau kalau paduka sudah menjadi kaisar tentu tidak ada yang akan membantah kehendak paduka."
"Bagus, agaknya engkau cerdik seperti yang sudah kuduga. Kami membutuh bantuanmu, Kui Bi. Nanti pada saat akan kami beritahu, bantuan apa yang kami harapkan darimu. Tugas yang akann kami berikan itu teramat penting, kalau berhasil, sebagai imbalannya berjanji, engkau akan kami angkat jadi permaisuri kami."
"Hamba siap membantu paduka, Pangeran,"
Kata Kui Bi, hatinya lega karena jelas bahwa pangeran itu tidak menginginkan, setidaknya saat itu, tubuhnya melainkan tenaganya untuk membantunya melakukan sesuatu yang masih dirahasiakan.
"Bantuan apakah yang dapat hamba lakukan? Apa yang harus hamba kerjakan? Mohon paduka memerntahkan sekarang juga."
Pangeran itu tersenyum.
"Tidak sekarang, Kui Bi. Aku hanya ingin mendengar kesanggupanmu dulu. Besok atau lusa, baru aku akan menjelaskan, apa yang harus kau kerjakan."
Setelah berkata demikian, sang pangeran meninggalkannya.
Kembali Kui Bi menoleh ke arah semak di tengah taman yang berada agj jauh dari situ. ia mengharapkan Sia Sun Beng sudah menyingkirkan mayat thai kamtadi.
Ketika Gui-tahikam bertanya kepadanya apa saja yang dikehendaki Pangeran An Kong, Kui Bi tidak berani berterus terang, ia maklum bahwa thaikam yang menjadi kepala dayang ini mempunyai hubungan dengan Ji-wangwe, dan mungkin juga pendukung gerakan para pejuang pembela Kerajaan Tang. Akan tetapi ia tidak merasa yakin dan ia harus menimbulkan kesan baik kepada pangeran yang sudah menaruh kepercayaan kepadanya.
"Ah, beliau tidak bermaksud apa apa, hanya karena memang sejak aku datang ke istana, beliau menaruh perhatian kepadaku, maka beliau bertanya apakah aku sudah senang tinggal di sini dan hanya itulah yang kami bicarakan pangeran An Kong itu baik sekali, beliau ramah dan sopan,sungguh aku amat terkesan dengan sikapnya."
"Sstt, berhati-hatilah dengan beliau,"
Kata Gui-thaikam.
Kui Bi senang karena kepala dayang itu tidak mencurigainya, dan sejak malam itu, ia membicarakan dengan para dayang lain, juga dengan para thai-kam, memuji-muji keramahan sang sangeran.
Tujuannya dengan puji-pujiannya ini ternyata berhasil karena di antara mereka yang mendengar pujiannya terdapat kaki tangan pangeran yang tentu saja menyampaikan hal itu kepada sang pangeran.
"Paman Bouw Hun, kurasa gadis itu memang tepat untuk kita pergunakan,"
Kata sang pangeran dalam suatu pertemuan rahasianya dengan Bouw Hun atau Bouw Koksu.
"Kalau begitu, kita boleh melanjutkan rencana kita, pangeran. Kita hubungi pembantu kita di dapur istana, juga kepala pelayan di ruangan makan agar gadis itu dapat diperbantukan disana mulai sekarang. Setelah kesempatan tiba, kita suruh ia yang menaruh racun. Andaikata gagal dan ketahuan, gadis itulah yang dituduh dan kita boleh turun tangan membunuhnya karena ia berani mencoba meracuni Sribaginda."
Kedua orang itu berbisik-bisik mengatur siasat yang mereka rencanakan masak-masak. Kemudian Bouw Hun melihat pintu ruangan yang sudah tertutup, memeriksanya kembali dan setelah yakin bahwa tidak mungkin ada orang lain dapat mengintai atau mendengarkan, dia berkata dengan wajah gembira.
"Pangeran, kita telah berhasil. Bouw Ki telah berhasil mendapatkan Mestika Burung Hong Kemala itu."
"Bagus! Mana pusaka itu paman?"
Bouw Koksu mengeluarkan sebuah bungkusan kain kuning dari balik jubah nya yang terisi sebuah kotak kecil berwarna hitam. Diletakkannya kota kecil itu di atas meja lalu dibukanya.
"Inilah Mestika Burung Hong Kemala itu, pangeran."
Pangeran An Kong menghampiri meja, mengambil benda pusaka itu dari dalamm kotak, mengamatinya dan tertawa gembira.
"Ha-ha-ha, lambang kekuasaan Kaisar telah berada di tanganku. Paman, kita akan berkuasa. Sekaranglah saatnya kita merebut kekuasaan dari tangan ayah yang tidak adil, dan dengan pusaka ini, semua pejabat tinggi tentu akan tunduk kepada kita."
"Benar, Pangeran. Akan tetapi, akan lebih baik dan tidak mendatangkan kekacauan kalau Sribaginda tewas karena sakit dan paduka menggantikan beliau sebagai puteranya."
Kedua orang sekutu itu lalu mengatur siasat lagi. Akhirnya,pertemuan itu bubar ketika Bouw Koksu berpamit.
"Sebaiknya kalau pusaka ini hamba yang menyimpan, Pangeran. Kalau paduka yang menyimpannya, amat berbahaya. Terlampau banyak orang di istana ini dan kalau ada yang tahu bahwa Giok-hong-cu berada di tangan paduka, tentu banyak yang ingin mencuri atau merampasnya. Kalau hamba yang menyimpan, takkan ada yang menduga dan akan lebih aman."
Pangeran An Kong mengangguk-angguk.
"Paman Bouw, percayalah, aku tidak akan melupakan semua jasamu kalau sampai usaha kita berhasil."
"Hamba percaya-sepenuhnya kepada paduka, Pangeran.Dan sekarang, hamba sendiri yang akan membereskan urusan hamba dengan Souw Lok."
"Benar, dia harus dibereskan agar tidak membocorkan rahasia tentang Mestika Burung Hong Kemala."
Bouw Koksu memberi hormat lalu keluar dari kamar rahasia itu, meninggalkan Pangeran An Kong yang duduk termenung sambil tersenyum-senyum, membayangkan keberhasilan rencana siasatnya
Souw Lok, pemilik toko Itu dengan tergopoh dan muka tersenyum cerah menyambut tamunya. Tamu agung yang turun dari keretanya itu adalah Bouw Koksu, guru negara yang tentu saja harus dihormatinya karena tokoh ini merupakan orang yang besar kekuasaannya, mungkin hanya di bawah kebesaran kekuasaan kaisar dan pangeran saja. Apa lagi Souw Lok maklum bahwa kunjungan orang penting ini mendatangkan rejeki kepadanya.
Bukankah Bouw Koksu sudah berjanji bahwa kalau pusaka itu sudah ditemukan, dia akan memenuhi harga peta yang ditentukan? Dia baru menerima lima ribu tail, tentu sekarang pembesar itu datang untuk membayar kekurangannya yang lima ribu lagi.
Keponakannya Souw Hui San, sebelum pergi mengambil pusaka itu berulang kali membujuk agar dia segera meninggalkan kota raja dan puas dengan hasil yang lima ribu tail itu saja.
"Amat berbahaya berurusan dengan seorang seperti Bouw Koksu itu, paman,"
Kata pemuda itu.
"Bukankah sudah lumayan mendapatkan limaribu tail? Paman sudah berhasil meraih keuntungan karena kecerdikan paman, akan tetapi harap jangan terlalu murka untuk mendapatkan yang lebih banyak lagi."
Dia menertawakan keponakannya itu.
"Aih, Hui San,limaribu tail itu sudah berada di depan mata, seolah daging sudah berada di mulut, tinggal kunyah dan telan. Mengapa mesti ditinggalkan? Dia akan puas mendapatkan pusaka tiruan itu, dan akupun harus dapat menikmati hasilnya. Engkau saja yang berhati-hati dengan tugasmu, dan setelah berhasil, serahkan pusaka itu kepada seorang di antara putera Menteri Yang Kok Tiong seperti yang dipesankan beliau kepadaku. Dengan demikian, aku tetap setia kepadanya, tidak melanggar sumpahku kepadanya, dan akupun dapat menikmati hari tuaku."
Hui San hanya menggeleng kepala saja lalu pergi. Ah, anak yang bodoh, pikirnya senang melihat Bouw Koksu turun dari keretanya. Kalau saja Hui San sudah pulang, dan melihat dia nanti menerima uang sebanyak limaribu tail dari Bouw Koksu, tentu dia akan dapat menggoda dan menertawakan keponakannyatu.
"Selamat siang dan selamat datang, Tai-jin. Mari silakan, silakan masuk dan silakan duduk."
Sambil berbongkok-bongkok Souw Lok mempersilahkan Bouw Koksu memasuki,tokonya.
Bouw Koksu masuk lalu berkata.
"Souw Lok, aku ingin bicara denganmu, di dalam saja agar tidak terdengar orang lain."
Souw Lok mengangguk-angguk mengerti. Tentu saja pembayaran uang sebanyak limaribu tail t idak boleh dilihat orang lain karena akan menimbulkan keheranan dan kecurigaan.
"Saya mengerti, Taijin, saya mengerti. Mari, silakan masuk, di dalam rumah tidak ada orang lain kecuali saya."
Dia lalu menyuruh pembantunya berjaga toko sendirian, dan dia mengiring kan pembesar itu memasuki ruangan dalam rumahnya.
"Souw Lok, engkau telah menipu kami!"
Setelah beraba di ruangan dalam rumah itu, Bouw Koksu berkata, Seketika wajah Souw Lok berubah pucat karena dia mengira bahwa pembesar itu sudah tahu akan perbuatannya memalsukan Mestika Burung Hong Kemala.
"Ehh? Apa..... apa..... maksud Taijin.....?"
Katanya gagap.
"Engkau telah memberikan peta yang palsu kepadaku! "
Tentu saja Souw Lok menjadi semakin ketakutan.
"Mana saya berani, Taj-jin? Mana saya berani menipu Taijin? Kalau saya menipu, tentu sudah melarikan diri, tidak tetap tinggal di sini. Saya menerima peta itu dari mendiang Menteri Yang sendiri., dan peta itu tidak pernah terpisah dari badan saya.Bagaimana mungkin bisa palsu?"
"Hemm, benda pusaka itu tidak berada di tempat yang ditunjukkan peta! Engkau telah menipuku, karena itu, engkau harus mati di tanganku!"
"Tidak..... ah, Taijin...... saya tidak menipu, saya hanya menerima peta itu dan...... dan Taijin boleh mengambil kembali semua milik saya....."
"Hemm, mampuslah!"
Bouw Koksu menggerakkan tangan kirinya ke arah dada Souw Lok.
"Plakkk!!"
Tubuh Souw Lok terjengkang dan dia tidak bergerak lagi, bahkan tidak sempat mengeluh. Pukulanlu merupakan pukulan beracun tangan kiri Bouw Hun Jan sekali pukul saja dia yakin akan mampu menewaskan Souw Lok.
Dengan sikap tenang Bouw Koksu meninggalkan rumah itu.
Dia tidak memperdulikan uang lima ribu tail yang sudah dipakai modal toko oleh Souw Lok. Dia membunuh Souw Lok untuk menutup mulut orang itu agar rahasia tentang Mestika Burung Hong Kemala tidak diketahui orang lain, bukan karena harus membayar lagi lima ribu tail.
Bouw Koksu pergi naik keretanya dan dia sama sekali tidak tahu bahwa tak lama setelah ia pergi, seorang pemuda tiba di toko Souw Lok itu. Pemuda itu, Souw Hui San, juga tidak tahu bahwa baru saja Bouw Koksu mengunjungi pamannya
"Souw-kongcu, engkau baru pulang?"
Tanya pembantu yang berjaga toko.
"Di mana Paman Souw Lok"
Tanya Souw Hui San yang tidak melihat pamannya berjaga toko.
"Dia berada di dalam,"
Kata penjaga itu dengan sikap dan suara wajar. Dia tadi melihat majikannya memasuki rumah bersama tamunya, dan melihat tamu itu baru saja pergi tadi.
Tentu majikannya masih berada di dalam rumah karena dia tidak mel ihatnya keluar.
Dengan gembira, bersiul-siul, Souw Hui San memasuki rumah. Hatinya gembira karena tugas yang dilaksanakannya berhasil baik dan dia yang dalam perjalanan selalu mencari keterangan, mendengar keterangan bahwa Kui Lan dan pemuda itu juga pergi ke kota raja. Ada harapan baginya untuk bertemu lagi dengan Kui Lan, gadis yang telah mencuri dan membawa lari hatinya itu.
"Paman......! Di mana kau, paman?"
Dia berseru memanggil dengan nada suara gembira.
"Paman......!"
Dia memasuki ruangan dalam dan tiba-tiba langkahnya tertahan dan matanya terbelalak memandang ke bawah. Di lantai ruangan itu nampak Souw Lok menggeletak,telentang dengan muka pucat.
"Paman....., kau kenapa, paman?"
Dia cepat meloncat mendekat dan berjongkok, memeriksa keadaan pamannya. Bukan main kagetnya ketika melihat napas pamannya sudah empas-empis dan ketika dia memeriksa dan menyingkap baju nya, di dada pamannya itu jelas nampak tapak tangan membiru. Pamannya telah terkena pukulan ampuh dan jelas tak mungkin dapat ditolong lagi.
Tentu isi dada itu sudah remuk.
"Paman, siapa yang melakukan ini?"
Pemuda itu mengguncang pundak pamannya dan menotok beberapa jalan darah untuk memungkinkan pamannya memperoleh aliran darah ke kepala dan dapat bicara.
Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bouw Koksu.... dia.....dia...."
Souw Lok terkulai dan tewas.
Souw Hui San menggunakan tangannya untuk menutup mulut dan mata jenazah pamannya, kemudian dia bangkit berdiri dan mengepal tinju.
"Jahanam engkau, Bouw Koksu! Tenanglah, paman, aku pasti akan membalaskan kematianmu!"
Jenazah Souw Lok dimakamkan tanpa banyak ribut dan dikabarkan bahwa orang itu meninggal dunia secara mendadak karena penyakit berat yang menyerangnya secara tiba-tiba. Pada masa itu, orang yang meninggal secara mendadak seperti itu dikatakan masih angin duduk.
Setelah pemakaman selesai, seluruh dan toko itu dijual oleh Souw Hui San dengan harga murah, kemudian tak ada orang melihatnya lagi. Pada hal San tidak pernah meninggalkan kota, bahkan dengan uang peninggalan pamannya, dia berhasil menyogok panglima pasukan istana dan masuk menjadi prajurit pasukan istana. Tentu saja ini dia lakukan dengan dua maksud, pertama agar dia dapat memperoleh kesempatan mendekati Bouw Koksu dan membalaskan kematiannya pamannya, dan ke dua, agar dia dapat membantu dari dalam kalau Kerajaan Tang datang menyerbu untuk merebut kekuasaan kembali dari tangan An Lu Shan.
Yang Cin Han dan Yang Kui Lan masuki kota raja dengan menyamar. Kui Lan menyamar sebagai seorang pemuda dan mereka berdua mengenakan pakaian petani-petani muda yang sederhana. Untuk mengurangi ketampanan wajah Kui Lan, ia membuat sebuah tanda luka pipinya dengan campuran gandarukem dan malam sehingga wajah yang terlalu tampan itu kini berubah jelek.
Ji Sok menerima kedatangan Cin Han dan Kui Lan pada malam hati itu dengan girang. Apa lagi ketika dia diperkenalkan kepada Kui Lan yang ternyata adalah puteri mendiang Menteri Ya Kok Tiong, pemimpin jaringan mata-mata mereka yang mendukung Kerajaan Tang itu merasa gembira sekali. Biarpun Menteri Yang Kok Tiong dahulu banyak musuhnya atau orang-orang yang tidak suka karena dia seorang penjilat kaisar namun pada akhirnya mereka semua harus mengakui bahwa Yang Kok Tiong adalah seorang menteri yang setia sampai mati kepada kaisarnya.
Dan kini, melihat betapa tiga orang putera menteri itu menjadi orang-orang yang gagah perkasa dan bertekad untuk membantu Kerajaan Tang merebut kembali kekuasaan, tentu saja dia gembira dan kagum.
"Bagaimana hasilnya dengan penyelidikanmu terhadap rombongan Bouw Ciangkun yang mengambil Mestika Burung hong Kemala itu, kongcu?"
Tanya Ji-wangwe.
Cin Han menceritakan semua yang dialami, tentang pertemuannya dengan adiknya dan betapa mereka berdua lolos dari ancaman bahaya di tangan rombongan itu.
"Paman, aku ingin sekali mendapat keterangan tentang gadis yang ikut mengawal rombongan Bouw-kongcu itu. gadis itu penuh rahasia."
"Saya mendengar bahwa ia bernama Kim Hong dan ilmu silatnya lihai bukan main, kongcu. Benarkah itu?"
"Benar sekali. Tingkat ilmu silatnya hebat bukan main, bahkan aku sendiri merasa kewalahan menandinginya. Akan tetapi ada yang aneh, paman."
"Apa maksud kongcu?"
"Ketika kami bertanding, aku mendapat kesan bahwa ia tidak menyerangku dengan sungguh-sungguh. Hal ini sungguh mendatangkan perasaan aneh di curiga dalam hatiku. Oleh karena itu aku ingin paman menyuruh kawan kita yang bertugas di dalam rombongan mereka untuk menyelidiki siapa sesungguhnya Can Kim Hong itu, keterangan yang selengkapnya kalau mungkin, Ia puteri siapa dan murid siapa."
"Itu mudah saja, kongcu. Akan saya minta keterangan dari kawan-kawan kita yang bertugas di sana."
"Paman, di mana adik Kui Bi?"
Tanya Kui Lan.
Ji Sok lalu menceritakan perbuat un gadis itu yang nekat minta diselundupkan ke istana sebagai seorang dayang.
"Ahhh......! Itu berbahaya sekali, paman!"
Kata Cin Han.
"Kenapa paman memperbolehkan ia mengambil tindakan senekat itu?"
"Sudah, kongcu. Saya sudah mencegah dan menahannya, akan tetapi ia memaksa dan akhirnya saya tidak berani melarangnya."
"Jadi sekarang ini adik Kui Bi tinggal di dalam istana sebagai seorang dayang?"
Tanya Kui Lan.
"Benar nona. Menurut berita yang kami peroleh, nona Kui Bi telah diterima dan menjadi dayang permaisuri. Bahkan ada berita bahwa ia diperebutkan oleh Kaisar An Lu Shan dan puteranya, An Kong."
"Apa sih maksud sesungguhnya dari adik Kui Bi menyelundup ke dalam istana?"
Tanya pula Kui Lan.
"Aih, Lan-moi, apa engkau tidak mengenal watak Bi-moi? Tentu ia ingin langsung saja dapat membunuh An Lu Shan."
"Itu berbahaya sekali!"
Seru Kui Lan.
"Andaikata ia berhasil membunuhnya, tentu ia akan dikepung dan dikeroyok, tidak mungkin dapat meloloskan diri dari istana ! "
"Tenanglah, Lan-moi. Aku percaya bahwa Paman Ji akan dapat mengaturnya agar hal itu tidak akan teriadi,"
Kata Cin Han.
"Memang sebenarnyalah. harap kongcu dan siocia tenang, karena kami telah mendapat hubungan dengan seorang panglima yang diam-diam berpihak kepada Kerajaan Tang dan bahkan diam-diam dia sudah mempersiapkan diri,menghimpun pasukan yang setia kepada Kerajaan Tang dan sewak tu - waktu dia akan membasmi keluarga pemberontak An Lu Shan dan Penguasa istana. Menurut berita yang kuperoleh dari pembantu kami di istana, panglima itu sudah mengetahui akan rencana Nona Kui Bi yang hendak membunuh An Lu Shan, dan diapun sudah siap untuk melindungi nona Kui Bi."
"Bagus sekali kalau begitu!"
Kata Cin Han gembira.
"Siapakah panglima Itu? Aku ingin mengenalnya, paman."
"Dia adalah seorang panglima yang sejak dahulu bertugas di utara menjadi bawahan Jenderal An Lu shan. Akan tetapi,dia tidak setuju dengan t indakan An Lu Shan yang berkhianat dan membe rontak. Hanya karena dia menjadi bawahan maka dia tidak berdaya untuk mencegahnya. Kini, dia diam-diam menghimpun pasukan untuk kelak melawan An Lu Shan......"
"Bukankah dia bernama Sia Su Beng?"
Tiba-tiba Kui Lan memotong dan hartawan Ji terbelalak.
"Ahh....., jadi nona sudah mengenalnya?"
Katanya heran.
"Lan-moi, benarkah engkau mengenal panglima itu?"
Tanya pula Cin Han sambil mengamati wajah adiknya penuh selidik.
"Peristiwa itu terjadi di kota Liu-ba,"
Kata Kui Lan.
"Dalam sebuah rumah makan aku diganggu tiga orang perwira yang kurang ajar. Kemudian, diluar kota itu, aku dihadang oleh tiga orang perwira itu bersama anak buahnya. Kami berkelahi dan aku dikeroyok kemudian muncul seorang perwira tinggi yang menghajar dan memarahi mereka. Orang itu berpakaian preman, akan tetapi para perwira mengenalnya dan dia bernama Sia Su Beng, seorang panglima muda yang ternyata mempunyai semangat dan tujuan yang sama dengan kita, yaitu mengusir An Lu Shan dan membantu kerajaan Tang berkuasa kembali."
"Kalau begitu bagus sekali, Paman Ji!"
Kata Cin Han.
"Akan baik sekali kalau kami dapat, bertemu dengan panglima Sia,untuk membicarakan semua usaha perjuangan kita bersama.Tentang keadaan Sribaginda di barat, tentang Mestika Burung Hong Kemala yang terjatuh ke tangan Bouw-koksu."
"Benar, paman. Kami harus dapat bertemu dan bicara dengan panglima Sia Su Beng. Akupun ingin bicara dengan ia tentang adikku Kui Bi."
"Itu dapat diatur. Kongcu dan siocia Kami juga sedang menanti datangnya kawan-kawan yang bertugas melindungi Sribaginda di Se-cuan. Setelah mereka tiba, kita mengadakan rapat pertemuan dengan Panglima Sia agar lebih lengkap dan sekaligus kita mengatur rencana siasat yang akan kita ambil dalam perjuangan membantu Kerajaan ini, kalau saatnya tiba untuk merebut kembali kekuasaan."
Ucapan Ji Sok itu melegakan hati Cin Han dan Kui Lan.
Malam itu diantar oleh kakaknya, Kui Lan berkunjung ke tanah pekuburan di mana jenazah ibunya dikubur. Gadis ini menangis di depan makam ibunya dan dihibur oleh Cin Hari Setelah keduanya bersembahyang di depan makam ibu mereka, Cin Han mengaja adiknya untuk kembali ke rumah Jiwangwe,akan tetapi Kui Lan menolaknya.
"Engkau kembalilah dulu, Han-ko Aku ingin berdiam lebih lama di depan makam ibu. Nanti aku akan menyusul kembali kesana."
"Baiklah, memang tidak menguntungkan kalau kita berdua berada di sini, akan lebih mudah dilihat orang. Akan tetapi berhati-hatilah engkau dan jangan terlalu lama di sini."
Cin Han lalu meninggalkan Kui Lan yang masih berlutut di depan kuburan ibunya yang amat sederhana itu. Setelah Cin Han pergi, kembali Kui ia menangis, meratapi ibunya yang tewas dalam keadaan amat menyedihkan dan kini dikubur secara sederhana seperti itu, seolah tidak terawat sama sekali.
Bulan sudah naik tinggi dan cuaca cukup terang, bahkan sinar bulan yang sejuk mendatangkan suasana yang lndah sekali. Dengan bantuan sinar bulan, Kui Lan dapat membersihkan makam Ibunya dan mencabuti alang-alang liar yang tumbuh di situ. la mengerjakan ini sambil masih terisak menangis.
"Malam-malam menangis seorang diri di sini sungguh menarik perhatian orang dan mencuriga kan."
Kui Lan terkejut bukan main dan ketika dara ini memutar tubuh dan melihat sesosok tubuh seorang pria berdiri tidak jauh di belakangnya, iapun menerjang dengan dahsyat, menggunakan ginkangnya yang sudah tinggi tingkatnya tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu ia telah meloncat bagaikan terbang, tangannya mendorong ke arah dada orang itu.
"Plakk!"
Orang itu menangkis dan mereka berdua tergetar dan terdorong mundur.
"Lan-moi, tahan dulu..... ini a....."
Kata pria itu ketika Kui Lan hendak menyerang lagi.
"Ahh.....! Kau Sia-twako!"
Kata Kui Lan dan wajahnya berubah kemerahan. Kini ia mengenal pemuda itu yang berpakaian seperti seorang panglima, gagah dan tampan di bawah sinar bulan. Mereka berdiri saling pandang dan akhirnya Sia Su Beng yang berkata dengan lirih.
"Lan-moi, sungguh berbahaya sekali engkau berani muncul di sini. Sejak tadi aku melihat dan mengintaimu dari jauh dan sekarang baru aku tahu bahwa engkau sesungguhnyalah adalah Yang uii Lan dan pemuda tadi tentu kakakmu Yang Cin Han, bukan?"
Kui Lan melangkah menghampiri "Twako, engkau sudah tahu?"
Panglima itu mengangguk,
"Aku dah mendengar dari rekan kita, yaitu Ji-wan-gwe. Aku semakin kagum bahwa putera puteri mendiang Menteri Yang ternyata menjadi orang-orang muda yang gagah perkasa dan setia kepada Kerajaan Tang."
"Twako, apakah engkau telah bertemu dengan adikku di istana?"
"Ah, maksudmu adikmu Yang Ku Bi? Tentu saja sudah,bahkan tadi iapun mengaku bernama Kui Bi dan mengaku sebagai adikmu. Aku tadinya mengira bahwa kalian kakak beradik bermarga Kui, akan tetapi setelah aku teringat betapa wajah kalian mirip sekali dengan wajah mendiang selir Sribaginda Yang Kui Hui, dan akupun mendengar bahwa mendiang Menteri Yang Kok Tiong mempunyai dua orang anak perempuan, akupun dapat menduganya. Aku semakin yakin setelah aku mendapat keterangan dari J i-wan-gwe."
"Bagaimana keadaan adikku, twako? Aku khawatir sekali mendengar ia begitu nekat."
"Adikmu seorang pemberani yang amat mengagumkan,Lan-moi , dan aku yakin ia akan berhasil. Akan tetapi, harap engkau tidak khawatir karena ia tak akan bertindak gegabah,dan aku akan selalu melindunginya. Sudah kupesan kepada anak buahku yang bertugas istana agar selalu mengamati dan melindunginya kalau perlu."
"Terima kasih, twako. Aih, hati ku menjadi lega sekali mendengar ucapanmu itu. Aku bersama Han-koko tinggal di rumah Ji-wangwe dan bukankah engkau akan mengadakan pertemuan dengan para rekan disana?"
"Ssstt, Lan-moi. Sebaiknya kalau engkau sekarang segera pulang ke sana. Tidak baik terlihat orang di sini, apa lagi dengan aku, akan menimbulkan kecurigaan. Kita akan saling jumpa nanti dalam pertemuan itu. Nah, selamat malam, Lan moi,cepat kau pulang"
Setelah berkata demikian, panglima itu menyelinap lenyap di dalam bayang-bayang pohon yang
gelap.
Kui Lan berdiri termenung, jantungnya masih berdebar keras. Ah, ia telah jatuh cinta kepada pemuda itu Apa lagi setelah kini yakin bahwa pemuda yang mengagumkan hatinya itu ternyata adalah seorang tokoh yang akan berperan penting untuk menumbangkan kekuasaan An Lu Shan dan membangkitkan kembali kejayaan Kerajaan Tang.
Iapun tesenyum-senyum bahagia ketika melangkah meninggalkan tanah kuburan, kembali ke rumah Ji Sok. Dalam keadaan segembira itu karena pertemuannya dengan Sia Su Jeng,lupalah sudah ia akan kedukaannya yang tadi di depan makam ibunya.
Pikiran kita memang tiada henti-hentinya dipermainkan gelombang pertentangan antara suka dan duka, gembira dan sedih, puas dan kecewa, setiap saat berubah-ubah dipengaruhi keadaan yang kita nilai sebagai menguntungkan atau merugikan, menyenangkan atau menyusahkan.
Tadi ketika ia menangis terisak-isak di depan makam ibunya, pikiran Kui Lan sepenuhnya membayangkan betapa dirinya ditinggal mati ibunya, betapa ia merasa kehilangan orang yang disayangnya, betapa orang yang disayangnya itu meninggal dunia dalam keadaan yang tidak menyenangkan dan sekarang dikubur dalam cara yang tidak menyenangkan pula.
Kemudian, pemunculan Sia Su Beng bagaikan datangnya gelombang dari arah lain yang menelan gelombang pertama, membuat ia lupa akan keadaannya yang tadi, terganti oleh perasaan gembira karena munculnya pemuda yang dicintanya itu dirasakan amat menyenangkan. Setiap hari kitapun berada dalam keadaan yang sama dengan apa yang dialami Kui Lan.
Kita lupa sudah bahwa benda apapun, orang manapun,peristiwa apapun yang terjadi, semua hanya selewat saja,hanya sementara saja, sama sekali t idak kekal.
Karena itu,benda atau orang atau peristiwa yang hari ini mendatangkan perasaan suka, di lain hari mungkin akan menimbulkan perasaan duka, yang kemarin mendatangkan duka, mungkin hari ini mendatangkan rasa duka. Semua itu diukur dengan bagaimana kita menerimanya. Kalau kita merasa diuntungkan,kita senang, sebaliknya kalau dirugikan, kita susah!
Yang menjadi biang keladi semua kesengsaraan, semua permainan suka duka, bukan lain adalah nafsu yang telah menguasai hati akal pikiran kita.
Nafsu yang mendorong kita untuk mengejar kesenangan, dan sekali dikejar, maka takkan ada batasnya, takkan ada habis nya bahkan makin dituruti nafsu yang menguasai diri, semakin murka dan tamak.
Nafsu bagaikan api, kalau terkendali, merupakan alat yang paling penting bagi kita. Sebaliknya, kalau tidak terkendali dan nafsu yang menguasai kita, bagaikan api yang liar, maka nafsu akan menelan segalanya, makin banyak yang dimakan, semakin laparlah dia!
Namun, di samping merupakan pengoda terbesar yang akan menyeret kita lembah kesengsaraan, nafsu juga merupakan peserta yang mutlak perlu bagi kehidupan kita.
Tanpa adanya nafsu, ka tidak akan menjadi manusia seperti sekarang ini.
Nafsu adalah pemberian Tuhan yang diikutsertakan kita sejak kita lahir. Nafsu yang mendatangkan kenikmatan, melalui penglihatan, penciuman, pendengaran dan semua alat atau anggauta tubuh kita. Nafsu yang mendorong otak dan akal budi kita untuk membuat apa saja demi kenikmatan hidup di dunia ini, nafsu yang menimbulkan gairah dan semangat hidup, bahkan yang mendatangkan kemajuan-kemajuan seperti yang kita alami sekarang.
Tanpa adanya nafsu, mungkin manusia masih hidup seperti binatang, tidak mengenal kenikmatan hidup melalui panca indera. Jelas bahwa kita tidak dapat meninggalkan nafsu.
Nafsu adalah kawan terbaik, akan tetapi juga lawan terjahat. Lalu bagaimana ini? Dibuang t idak mungkin, dirangkul berbahaya. Pikiran hanya merupakan gudang berisi pengalaman-pengalaman masa lalu seperti pita yang penuh rekaman, yang kita namakan pengetahuan.
Bagaimana mungkin pengetahuan dapat meredakan bersimaraja lelanya nafsu? Pikiran dan hati akal pikiran, batin ini sudah bergelimang nafsu, lalu bagaimana mungkin hati akal pikiran itu menguasai diri sendiri? Tidak mungkin sama sekali, dan kalaupun diusahakan, hasilnya hanyalah semu dan palsu.
Nafsu yang mendatangkan amarah di dalam hati, mendorong kita untuk marah marah, melakukan pemukulan atau caci maki. Pikiran, pengetahuan dalam pikiran kita tahu belaka bahwa amarah itu tidak baik, namun, apakah pengetahuan Ini dapat meredakan amarah itu sendiri? Mungkin menekan dapat, namun, amarah yang ditekan dan disabar-sabarkan, bagaikan api yang ditutup sekam, nampaknya saja padam namun ternyata di sebeah dalam masih membara dan sedikit saja ada angin bertiup, akan bernyala lebih besar lagi dari pada sebelumditutup sekam.
Pertanyaan abadi kita selalu bergema di sepanjang masa.
Apa yang harus kita lakukan? Nafsu tak dapat dibuang, menyebabkan kematian. Nafsu tak boleh dibiarkan meliar, menyebabkan kesesatan. Juga hati akal pikiran tidak dapat mengen dalikannya. Lalu bagaimana? Seperrti buah simalakama, dimakan ibu mati tak dimakan bapak mati.
Lalu bagaimana kita harus menghadapi nafsu kita sendiri yang oleh para bijak dinamakan musuh yang paling berbahaya?
Seperti segala apapun di dunia ini, yang nampak ataupun tidak, segala sesuatu ini ada karena diadakan oleh kekuasaan Tuhan! Kalau kita sudah yakin akan hal ini, maka mengapa kita bingung menghadapi nafsu kita sendiri Kita serahkan saja kepada penciptanya Hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan mampu menanggulangi nafsu, hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat mengatur nafsu, seperti kekuasaan itu ia yang mengatur denyut jantung kita mengatur pergerakan bintang-bintang di langit, mengatur segala sesuatu, dari yang terkecil sampai yang terbesar!
Kalau kita sudah menyerah kepada Tuhan dengan segala kepasrahan,kesabaran, keikhlasan, ketawakalan, secara mutlak, lahir batin, maka kekuasaan Tuhan akan bekerja dan tidak ada hal yang tidak mungkin kalau kekuasaan Tuhan sudah bekerja!
Hanya kekuasaan Tuhan saja jalan yang akan dapat mengembalikan nafsu dalam kedudukannya semula, dari fungsinya semula, yaitu sebagai peserta dan alat dari kita untuk melayani kebutuhan hidup kita ini, menjadi abdi kita,bukan majikan kita.
Cin Han meninggalkan kuburan ibu dan dengan hati-hati dia melangkah, hendak kembali ke rumah Ji Siok, melalui jalan yang sunyi agar tidak di kenal orang yang berlalu-lalang di jalan. Malam itu bulan hampir penuh, udara cerah dan hawanya sejuk, cuaca yang remang terang itu mendatangkan suasana yang romantis sekali. Cahaya bulan nampak kuning kehijauan, dan pohon-pohon nampak seperti raksasa di tepitepi jalan.
Banyak orang keluar dari rumah malam itu untuk menikmati malam terang bulan. Kalau sang surya di siang hari bagi kebanyakan orang melambangkan kejantanan dan kegagahan, keperkasaan dan kekuasaan, bulan sebaliknya melambangkan kelembutan, keayuan dan keindahan. Surya selalu melotot marah, sebaliknya bulan selalu tersenyum ramah.
Cin Han menyelinap ke jalan kecil di persimpangan, mengambil jalan agak memutar menuju rumah Ji Siok. Jalan kecil ini di kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon sehingga jalan itu sendiri lebih banyak digelapkan bayangan pohonpohon. Dia merasa lebih aman melalui jalan ini.
Ketika dia berjalan dengan hati hati, mendadak dia menahan langkahnya dan tangan kanan yang memegang sebatang ranting pohon menggenggam ranting itu erat-erat. Sesosok bayangan berkelebat di arah kirinya.
Akan tetapi karena tidak ada serangan atau gerakan lain, diapun melanjutkan langkahnya dengan penuh kewaspadaan.Mungkin dia salah lihat, pikirnya. Akan tetapi tiba tiba di sebelah kanannya ada pula bayangan berkelebat.
Tempat itu sunyi tidak nampak seorangpun pejalan kaki maka dia tidak khawatir menunjukkan ketajaman matanya dan diapun berseru
"Sobat manakah yang hendak bermain-main dengan aku?"
"Seorang sobat lama,"
Terdengar suara lirih dan lembut,suara seorang wanita dan muncullah seorang gadis yang bertubuh ramping Di bawah sinar bulan yang lembut, wajah itu nampak seperti wajah bidadari, karena kebetulan sekali sinar bulan tepat menimpa wajah yang berbentuk buiat telur.
Rambut lebat berombak, matanya lebar dengan kedua ujungnya menjulang, mata itu sendiri nampak indah menantang dan mempunyai daya tarik yang amat kuat.
Mulutnya tersenyum manis, dengan bibir yang merah sehat dan lesung pipit di belah kiri mulutnya.
Senyum dan sinar matanya jelas membayangkan bahwa seorang gadis yang ramah, lincah Jenaka. Usianya sekitar sembilan belas tahun lebih.
Begitu melihat wajah gadis itu, seketika Cin Han teringat, wajah itu bahkan selama ini tidak pernah meninggalkan benaknya, selalu terbayang. Wajah gadis cantik yang amat lihai, yang ikut dalam rombongan Bouw-cingkun yang mengambil Mestika Burung Hong Kemala tempo hari.
Baru tadi diantar kepada Ji Siok untuk menyelidiki tentang gadis lihai yang tidak menyerangnya dengan sungguh-sungguh itu, dan kini dia sudah berhadapan dengan Jelas bahwa gadis inilah yang sengaja menghadangnya, berarti gadis ini yang mempunyai keperluan untuk bertemu dengan dia.
"Ah, kiranya engkau, nona Can Kim Hong yang terhormat!"
Kata Cin Han sambil tersenyum.
Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan Cin Han merasa betapa hati nya jungkir balik!
"Eh, bagaimana engkau dapat mengetahui namaku?"
Tanya gadis itu yang bukan lain adalah Can Kim Hong.
Cin Han masih tersenyum dan ada kebanggaan dalam senyumnya itu karena keheranan gadis itu sama dengan kekaguman.
"Nona, siapa yang tidak tahu akan keadaan diri nona yang amat lihai, bahkan merupakan pembantu utama dari pasukan istana? Nona telah membuat jasa besar kepada Bouw Koksu!"
Akan tetapi, Kim Hong mengerutkan alisnya.
Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak perlu menyindir!"
Katanya galak.
"Ketahuilah bahwa Bouw Koksu itu adalah bekas guruku, juga keluarganya yang merawatku sejak aku kecil. Sudah sepatutnya kalau aku membantu Panglima Bouw Ki yang terhitung kakak seperguruanku sendiri. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku sama sekali tidak membantu An Lu Shan."
"Aku sudah dapat menduganya, nona karena kalau engkau benar-benar membantu An Lu Shan, tentu saat ini aku udah tidak ada lagi, sudah tewas ditanganmu. Akan tetapi apa bedanya, ai Biarpun engkau mengatakan bahwa engkau tidak membantu An Lu Shan, akan tetapi engkau sudah membantu dia mendapatkan Mestika Burung Hong Kemala itu telah merupakan bantuan yang amat besar pula.'"
"Hemm, engkau menyindir lagi, betapa sombongnya engkau. Apa kau kira di dunia ini hanya engkau saja yang setia pada Kerajaan Tang, Yang Cin Han?"
Kini Cin Han yang terkejut bukan main, terbelalak memandang kepada gadis itu.
"Ehh.... dari mana kau tahu.."
Gadis itu tersenyum dan untuk kedua kalinya hati Cin Han jungkir balik dibuat salto beberapa kali dan jatuh terbalik di tempatnya.
"Hemm, kau kira hanya engkau saja yang pandai menyelidiki orang? Apakah setelah engkau muncul sebagai pengemis tempo hari, aku percaya begitu saja. Pakaianmu memang seperti pengemis, akan tetapi muka dan kulit lehermu, juga tanganmu terlampau bersih bagi seorang pengemis. Dan ilmu silatmu lihai sekali. Tadinya aku hanya menduga bahwa engkau tentulah seorang pendekar yang menyamar. Akan tetapi setelah aku melihat engkau dan adikmu bersembahyang di depan makam tadi, mudah saja mengetahui siapa engkau karena aku tahu bahwa makam itu adalah kuburan mendiang Nyonya Menteri Yang Kok Tiong."
"Bukan main! Celakalah aku kalau engkau benar-benar antek pemberontak An Lu Shan!"
Kata Cin Han, tidak main main lagi dan telah siap menghadapi serangan.
"Tentu engkau akan menangkap ku, bukan?"
"Salah! Aku hanya ingin memberi tahu kepadamu bahwa kalian anak-anak mendiang Menteri Yang Kok Tiong bermain dengan api yang amat berbahaya. Bukankah seorang lagi adikmu menyusup kedalam istana sebagai seorang dayang"
"Nona, engkau tahu juga akan hal Itu? Sudahlah, aku takluk akan kecerdikanmu. Sekarang, apa kehendakmu menghadangku? Menangkapku, atau membunuhku?"
"Kalau itu yang kukehendaki, sudah sejak tadi aku menyerangmu, bukan? atau kulaporkan saja kepada suhengku, Bouw-ciangkun dan engkau bersama dua orang adik perempuanmu dan juga Ji-Wangwe dan semua temannya akan ditangkap!"
"Ahh..... kau... kau agaknya mengetahui segalanya!"
"Kau kira kalian saja yang pandai? Kalian saja yang berhak membela Kerajaan Tang? Akupun menerima tugas dari guruku untuk membela Kerajaan Tang dan menentang An Lu Shan.'"
Bukan main girangnya hati Cin Han mendengar ucapan ini.
"Sungguhkah? Aih, betapa lega dan girang hatiku mendapatkan seorang teman seperjuangan sepertimu, nona Can Kim Hong! Akan tetapi...."
Dia meragu.
"kalau benar seperti yang kau katakan bahwa engkau juga membela Kerajaan Tang, kenapa engkau malah membantu mereka mendapatkan Mestika Burung Hong Kemala, lambang kekuasaan kaisar?"
"Yang Cin Han, tidak perlu engkau berpura-pura lagi.Engkau dan adikmu itulah yang sudah mendapatkan Mestika Burung Hong Kemala yang aseli dan menukar dengan yang
palsu sehingga kini Bouw-koksu menemukan yang palsu, bukan? Engkau memang cerdik. Diam-diamaku kasihan sekali melihat mereka tidak menyadari bahwa mereka menemukan pusaka yang palsu."
"Sungguh, aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan,nona. Kami tidak tahu menahu tentang pusaka itu, kami hanya mendengar bahwa peta penyimpanan pusaka itu terjatuh ketangan Bouw-koksu dan aku bertugas untuk membayangi dan menyelidiki pengambilan pusaka itu. Dalam tugas itu, aku bertemu adikku Yang Kui Lan dan bentrok dengan rombonganmu. Apa yang terjadi? Jadi rombongan Bouwciangkun mendapatkan pusaka yang palsu? Lalu, siapa yang mengambil pusaka aselinya?"
Kini Kim Hong yang tertegun. Ada beberapa orang lewat dan Kim Hong memberi tanda kepada Cin Han agar mengikut inya. Mereka meninggalkan jalan kecil itu dan menyelinap ke dalam tanah kuburan yang sepi, diikuti oleh Cin lan. Mereka duduk di bangku yang berasa di luar sebuah makam yang mewah, dan bercakap-cakap.
"Sekarang kita dapat bicara leluasa disini, nona......"
"Kita adalah orang segolongan, tidak perlu engkau bernona-nona kepada. Atau engkau ingin kusebut tuan?"
Kim Hong memotong sambil cemberut. Cin Han tersenyum.
"Baiklah, Kim Hong, memang tidak ada gunanya berbasa-basi. Engkau tentu sudah tahu akan keadaan kami. Ayahku mengikut i Sribaginda Kaisar mengungsi ke barat. Ibuku tidak mau ikut dan menanti kami pulang akan tetapi ibu menjadi korban penyerbuan gerombolan An lu Shan. Ibu membunuh diri. Kami bertiga sedang pergi berguru, kedua orang adikku terpisah dariku dan baru sekarang kami saling jumpa kembali. Aku menjadi murid Sin-tung Kai-ong. sedangkan kedua orang adikku menjadi murid Kong Hwi Hosiang. Sekarang aku dan adikku Kui Lan tinggal di rumah Hartawan Ji, sedangkan Kui Bi, seperti telah kau ketahui, di luar pengetahuanku, telah menyusup ke dalam istana. Nah, semua sudah jelas, bukan? Sekarang aku ingin sekali mengetahui tentang dirimu agar tidak timbul kesalah-pahaman lagi di antara kita."
Gadis itu menghela napas panjang.
"Aku bukan keturunan bangsawan seperti engkau. Aku hanya orang biasa....."
"'lhh! Kenapa kata-katamu begitu cengeng?"
Cin Han mencela.
"Aku bosan mendengar tentang bangsawan, dan aku dan kedua orang adikku sudah lama muak dengan kebangsawanan itu. Kami melihat segala macam kepalsuan di istana dan itulah yang mendorong kami untuk pergi merantau dan berguru. Bahkan aku dahulu sering ribut mulut dengan, mendiang ayah karena aku tidak suka dijadikan pejabat. Kami bahkan lebih senang memilih menjadi rakyat biasa, tidak terlalu banyak peraturan, tidak hidup dengan banyak adat istiadat palsu. Nah, lanjutkan keterangan tentang dirimu, Hong-moi (adik Hong). Aku tentu lebih tua darimu, maka aku akan menyebutmu Hong-moi."
"Engkau seorang pemuda luarbiasa Han-ko. Engkau keturunan menteri besar, bangsawan tinggi akan tetapi lebih suka menjadi rakyat biasa, engkau lihai dan pandai bicara.Tidak ada yang istimewa dalam hidupku. Sejak kecil, aku dirawat dan dididik oleh guru , yaitu Bouw-koksu sekarang ini.Ibuku seorang suku bangsa Khitan..."
Gadis itu berhenti dan mencoba untuk mengamati wajah pemuda itu dengan teliti dibawah sinar bulan yang tidak terhalang terang.
"Kenapa berhenti, Hong-moi? Lanjutkan......"
"Engkau tidak terkejut? Ataukah tidak jelas mendengar ucapanku tadi Ibuku seorang wanita Khitan....."
"Habis, kenapa? Kenapa aku harus terkejut? Wanita Khitan itu seorang manusia, bukan? Kalau kau ceritakan bahwa ibumu seekor naga atau seekor burung Hong, barulah aku akan terkejut,'"
Kata Cin Han sambil tertawa.
Kim Hong tertawa juga, akan tetapi tawanya mengadung kepahitan.
"Han-ko, bukankah kaum bangsawan bangsa Han selalu memandang rendah kepada suku bangsa lain yang dianggap sebagai bangsa liar? Engkau tidak memandang rendah kepadaku karena ibu seorang Khitan?"
"Wah, kalau begitu engkau keliru menilai diriku, Hong-moi.Bagiku, bangsa apapun di dunia ini, asal dia manusia, maka dia sama saja dengan kita. Baik buruknya seseorang bukan dinil dari kebangsaannya, atau kepintarannya, kedudukannya atau kekayaannya, melainkan dari perbuatannya. Tidak Hong moi, aku t idak memandang rendah kepadamu atau ibumu!"
"Terima kasih, Han-ko. Ibuku telah meninggal dunia dan ketika ibu masih hidup, ia pernah berpesan agar aku mencari ayah kandungku, seorang Han.. ayahku seorang perwira pasukan Tang yang pernah menyerbu ke daerah Khitan dan tertawan oleh bangsa Khitan. Ayah kemudian menikah dengan ibu dan lahir aku. Akan tetapi, ketika mendapat kesempatan, ayah kandungku itu melarikan diri dan kembali ke timur. Nah ibu memesan agar aku mencari ayah kandungku. Aku lalu meninggalkan Khitan dengan diam-diam. Akan tetapi guruku, dulu yang sekarang menjadi Bouw Koksu dan puteranya, suheng Bouw Ki mengejar. Aku tentu telah ditangkap dan dipaksa pulang kalau saja tidak ditolong seorang sakti yang kemudian menjadi guruku."
"Siapakah penolong yang kemudian jadi gurumu itu, Hongmoi?"
"Sebetulnya dia tidak ingin namanya kusebut, akan tetapi karena engkau sudah berterus terang mengenai dirimu, dan entah mengapa aku percaya kepadamu, maka biarlah kau ketahui. Guruku itu berjuluk Si Naga Hitam bernama Kwan Bhok Cu......"
"Hebat! Aku pernah mendengar nama itu disebut-sebut suhu-ku. Bukankah gurumu itu mengasingkan diri di Bukit Nelayan?"
"Benar, Han-ko. Setelah selesai mengajarkan ilmu kepadaku, suhu memberi tugas kepadaku untuk membantu Kerajaan Tang, dan terutama sekali mencari Mestika Burung Hong Kemala untuk diserahkan kepada Sribaginda Kaisar Beng Ong. Aku menyelidiki ke kota raja dan bertemu dengan suhengku, Bouw Ki yang kini telah menjadi seorang panglima. Karena kuanggap dengan mendekati istana aku bahkan lebih dapat banyak membantu gerakan pendukung Kerajaan Tang maka aku mau diminta tinggal di rumah mereka."
"Dan engkau ikut rombongan mengambil pusaka itu dengan maksud untuk merampasnya?"
"Kalau ada kesempatan, mengapa tidak? Suhu menugaskan aku untuk mencari pusaka itu dan mengembalikannya kepada Sribaginda Kaisar."
"Dan apa maksudmu dengan mengatakan bahwa Mestika Burung Hong Kemala. Yang didapatkan rombongan itu palsu?"
"Aku sendiri selama hidupku belum pernah melihat pusaka itu, akan tetapi melihat peti kecil dan tanda-tanda yang kutemukan, aku yakin bahwa ada orang mendahului rombongan, mengambil barang aseli dan menukar dengan yang palsu. Hanya aku yang melihat adanya bekas tapak kaki di dalam guha, dan peti Itupun bersih, tidak berdebu dan tidak basah seperti yang seharusnya, tanda bahwa peti itu baru saja diletakkan orang di sana. Akan tetapi rahasia ini kusimpan sendiri dan tadinya kukira engkau yang telah mendahului rombongan"
"Sama sekali tidak, hong-moi. Ah, kalau begitu ada orang lain yang telah menguasai pusaka aselinya. Ini jauh lebih sukar daripada kalau pusaka itu berada di tangan Bouw Koksu,karena setidaknya kita mengetahui di mana adanya pusaka itu. Sekarang, kita tidak tahu siapa yang memilikinya dan bagaimana mungkin kita dapat mencarinya?"
Dalam suara Cin Han terkandung penyesalan.
"Aku mendapat petunjuk, Han-ko. Ini hanya dugaan, akan tetapi tidak ada orang lain yang patut dicurigai."
Ia lalu menceritakan tentang pemuda berotak miring yang muncul ketika rombongan Bouw Ki mengepung Kui Lan.
"Baru setelah rombongan menemukan pusaka palsu, aku mengenang kembali pemuda itu dan sekarang aku mengerti.Kenapa seorang pemuda sinting berkeliaran di tempat kering kerontang seperti itu? Apa yang dicarinya? Dan ketika dia bicara ngacau tentang Kaisar Li Si Bin yang sakti, tentang Tatmo Couw-su, sekarang aku mengerti bahwa dia sengaja mempermankan rombongan Aku yakin bahwa dia seorang yang menentang An Lu Shan dan berpihak kepada adikmu Kui Lan itu. Akan tetapi dia hendak merahasiakan dirinya maka bersembunyi. Andaikata engkau dan adikmu terancam bahaya, aku yakin si gila itu akan muncul. Juga aku teringat sekarang. Wajahnya tampan dan sinar matanya mencorong.Siapa lagi kalau bukan dia yang telah mengambil pusaka aseli dan menggantikannya dengan yang palsu?"
"Memang mencurigakan sekali dia. Apakah dia memiliki ilmu silat yang tinggi?"
Kim Hong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala penuh keraguan.
"Aku sudah memeriksa buntalan pakaiannya,tidak menemukan benda pusaka. Aku sudah mengujinya dengan serangan, ternyata dia tidak dapat bersilat. Ketika aku mengembalikan pedangnya, aku sengaja melemparkan pedang itu sehingga pedang mengenai kepalanya dan dia tidak mampu mengelak, bahkan dahinya benjol."'
"Pedang? Orang gila yang tidak pandai silat membawa pedang? Sungguh aneh."
"Sekarang barulah hal itu nampak aneh. Betapa bodohnya aku! Kami semua memang curiga dan dia berkata bahwa pedang itu milik kakeknya yang katanya merupakan seorang tokoh besar dunai persilatan. Dia bilang kalau aku tidak mengembalikan pedangnya, dia akan menyiarkan di seluruh dunia persilatan bahwa pedangnya dicuri seorang gadis.... eh, jelita dengan lesung pipit d pipi kiri...."
Kim Hong agak tersipu.
"Dia memang benar!"
Tiba-tiba Cin Han terkejut sendiri karena suara hatinya itu begitu saja tercetus keluar.
"Apa maksudmu?"
Kim Hong membelalakkan mata bertanya.
"Maksudku.... eh, bahwa dia tdak bohong... eh, dia benar karena engkau memang jelita dan lesung itu..... eh, maksudku dia memang benar aneh."
Cin Han benar-benar gagap dan salah tingkah menyadari kata-katanya yang seharusnya disimpan di hati saja menerobos keluar.
Kim Hong merasa betapa wajahnya panas. Warna kemerahan naik memenuh leher dan mukanya. Dara ini merasa heran sendiri. Kenapa mendengar pujian kacau balau itu ia tidak merasa marah bahkan menjadi tersipu malu?
Padahal biasanya, kalau ada pria memuji kecantikkannya, akan dianggapnya kurang ajar lala akan marah-marah.
"Hemmm, apakah orang sintingnya sekarang menjadi dua?"
Katanya mengejek dan Cin Han menjadi semakin gugup.
"Ehh... ohhh...,maafkan, eh, maksudku, harap teruskan ceritamu, Hong-moi."
"Sudah kuceritakan semua keadaan diriku, Han-ko.Sekarang, sebaiknya kita membagi tugas. Aku yang berada didalam, akan siap mengawasi adikmu Kui Bi dan kalau perlu membantunya, sedangkan engkau yang berada di luar menyebar kawan-kawan untuk menyelidiki tentang pemuda sinting itu. Kita harus menemukan pusakanya yang aseli dan membiarkan Bouw Koksu mempunyai suatu rencana gelap bersama Pangeran An Kong. Aku ingin melihat mereka berdua mengadakan pertemuan rahasia."
Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo