Mestika Burung Hong Kemala 7
Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
"Eh, kenapa begitu? Bukankah Panglima Besar An Lu Shan telah menjadi kaisar dan semua pembantunya, termasuk engkau dan suhu, telah diberi kedudukan?"
"Banyak yang tidak puas dengan kedudukan yang diberikan kepada mereka. Ada yang merasa dirinya lebih berjasa dan timbul saling iri. Aku khawatir persaingan ini akan menghancurkan kita dari dalam. Aku.....aku sungguh tidak puas dan tidak senang biarpun kini aku menjadi seorang panglima dari kerajaan besar. Masa depanku tidak begitu cerah, banyak tugas berat dan bahaya"
Kim Hong tersenyum. Suhengnya ini memang pernah menyakitkan hatinya karena hendak memaksa nya menjacli selir, akan tetapi harus diakui bahwa suhengnya ini biarpun berhati keras, namun jujur, tidak seperti suhunya.
"Aih, suheng. Mungkin hanya mulutmu saja yang mengeluh, akan tetapi hatimu kegirangan. Bukankah kini engkau telah menjadi seorang bangsawan muda yang mulia, bahkan telah memiliki lima orang selir? Tidak hebatkah itu?"
Ia mengejek.
"Hemm, itu hanya usaha ayah dan ibu untuk menghiburku, untuk mengurangi kerinduanku kepadamu, sumoi. Akan tetapi, biar aku diberi seratus orang selir yang bagaimana cantikpun, hatiku tidak akan tenteram dan bahagia selama engkau belum mau menjadi isteriku."
Kim Hong mengerutkan alisnya, lalu tersenyum mengejek.
"Aih, jadi engkau masih terus bertekad untuk memperisteri aku, biarpun aku sudah berulang kali menyatakan tidak mencintamu, melainkan suka kepadamu sebagai suheng, sebagai kakak Apakah engkau dan ayah juga masih ingin melanjutkan usaha kalian memaksaku agar suka menjadi isteriku?"
Bouw Ki menghela napas panjang.
"Sebetulnya, cara itu sama sekali tidak kusukai, sumoi. Aku ingin engkau menerima aku menjadi sua mimu dengan suka rela, ingin kita menjadi suami isteri yang saling mencinta, bukan paksaan. Akan tetapi, engkau terlalu keras hati dan keras kepala. Jangan memaksa kami melakukan hal yang sama sekali tidak menyenangkan hatiku itu, Kim Hong."
Gadis itu diam-diam merasa mendongkol, ia datang ke rumah suhunya secara suka rela, akan tetapi ia datang seperti seekor harimau memasuki perangkap, atau lebih lagi, seperti seekor domba memasuki rumah jagal! Biarpun tidak dijelaskan, namun ia tahu bahwa agaknya suhunya dan suhengnya sudah mengambil keputusan untuk tidak membiarkan ia pergi lagi dari situ!
Suhengnya ini benar-benar telah tergila-gila kepadanya, bertekad ingin memperisterinya, bahkan sejak dua tahun yang lalu, suhengnya tidak pernah melupakan diri nya! Dan sekarang, keadaannya bahka lebih terjepit dari pada dahulu. Biar pun kini ilmu kepandaiannya sudah demikian tingginya sehingga ia tidak takut menghadapi suhunya dan suhengnya, akan tetapi di belakang kedua orang ini terdapat pasukan yang terdiri dari puluhan ribu orang banyaknya. Bagaimana mungkin ia akan dapat meloloskan diri?
Akan tetapi, Kim Hong tidak merasa gelisah, bersikap tenang saja. seolah-olah ia belum melihat kenyataan pahit itu.
"Suheng, karena selama ini engkau telah banyak bertempur, tentu ilmu kepandaianmu maju pesat. Bagaimana kalau kita berlatih untuk saling melihat sampai di mana kemajuan yang kita capai?"
"Bagus, aku senang sekali, sumoi! Engkau tentu kini telah memperoleh kemajuan pesat. Dahulupun aku tidak dapat mengalahkanmu,.apa lagi sekarang !"
"Ah, belum tentu, suheng. Bagaimanapun juga, aku belum mempunyai pengalaman bertanding, sedangkan engkau sudah mengalami perang dan pertempuran besar."
"Mari kita berlatih dengan tangan kosong saja, jangan sampai kita salah tangan saling melukai. Memang aku sering kali berlatih silat di petak rumput itu, sumoi."
Mereka pergi ke petak rumput tak jauh dari kolam ikan dan di situ memang nyaman dan luas. Kim Hong hanya ingin mengukur sampai di mana kepandaian suhengnya itu agar kalau sewaktu-waktu ia harus melawannya, ia akan dapat mengetahui lebih dulu keadaan lawan.
Dengan gaya yang menarik, setelah melepaskan baju kebesarannya Bouw Ki memasang kuda-kuda. Kim Hong melihat bahwa ilmu silat suhengnya masih serupa dengan dahulu, maka iapun memasang kuda-kuda yang sama.
"Aku sudah siap, suheng. Mulailah!"
"Sumoi, awas seranganku!"
Bentak Bouw Ki yang merasa girang karena dalam latihan bertanding tangan kosong ini, setidaknya dia mendapat kesempatan untuk saling beradu tangan dengan gadis yang dirindukannya itu!
Dia menyerang, bukan dengan pukulan melainkan dengan cengkeraman"cengkeraman, karena sesuai dengan dorongan perasaan hatinya, ingin dia dapat menangkap lengan sumoi nya, atau setidaknya merabai tubuhnya untuk melepaskan kerinduan"nya.
Tingkat kepandaian Kim Hong sekarang sama sekali tidak dapat disamakan dengan dua tahun yang lalu. Gemblengan Si Naga Hitam selama dua tahun ini meningkatkan tingkat kepandaiannya, juga tenaga sinkang dan kepekaan perasaan"nya. Terutama sekali, ia telah minum racun darah ular hitam kepala merah. Sekali melihat saja tahulah ia bahwa kepandaian suhengnya masih biasa saja, hanya memang bertambah mantap karena pengalaman bertanding. Kalau ia menghendaki, dengan mudah saja ia akan dapat mengalahkan suhengnya.
Akan tetapi, Kim Hong ticlak mau melakukan ini clan iapun sengaja mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat lama seperti yang pernah ia pelajari clari ayah suhengnya ini. Maka terjadilah pertandingan latihan yang seru dan nampaknya mereka sama kuat.
Akan tetapi tiba-tiba datang seorang pemuda mendekati tempat kedua orang muda itu berlatih. Baik Kim Hong maupun Bouw Ki melihat kedatangannya dan dengan sendirinya mereka mengakhiri latihan itu.
Pemuda itu bertepuk tangan.
"Bagus, bagus sekali! Bouw "ciangkun, siapakah nona yang hebat ilmunya itu? Perkenalkan aku dengannya!"
Bouw Ki maju dan memberi hormat clengan berlutut sebelah kaki sambil berkata,
"Harap paduka memaafkan saya, Pangeran, karena tidak tahu paduka akan datang, saya tidak mengadakan penyambutan."
Tentu saja Kim Hong tertarik sekali melihat suhengnya memberi hormat dan menyebut pemuda itu
pangeran, ia memperhatikan. Seorang pemuda yang usianya mungkin baru delapanbelas tahun, tampan dan lembut, akan tetapi pandang matanya liar dan penuh nafsu, juga senyumnya dingin dan membuat ketampanan wajahnya nampak aneh. Pakaiannya "mewah dan pemuda itu seorang pesolek.
Baru melihat dan bertemu pandang saja Kim Hong sudah merasa tidak suka kepada pria muda itu.
"Pangeran, ini adalah sumoi saya, bernama Can Kim Hong. Sumoi, beliau ini adalah Pangeran An Kong yang suka sekali akan ilmu silat dan biarpun masih muda, ilmu silatnya tinggi, jauh melebihi tingkatku sendiri, sumoi."
Akan tetapi Kim Hong menerima perkenalan itu dengan sikap tenang dan biasa saja, hanya mengang kat kedua tangan dengan dada sebagai penghormatan.
Pangeran muda itu tertawa.
"Haha-ha, sahabatku Bouw Ki, tidak tahukah engkau bahwa nona ini tadi telah banyak mengalah kepadamu? Kalau ia bersungguh-sungguh, sudah sejak tadi engkau dikalah kannya. Ha-ha-ha!"
Wajah Bouw Ki berubah kemerahan. Dia sama sekali tidak beranggapan demikian, karena dia merasa bahwa dirinya telah memperoleh kemajuan. Biarpun belum tentu dia akan mampu mengalahkan sumoi nya yang sejak dahulu memang lebih lihai darinya, akan tetapi tidak mungkin sumoinya dapat menga lahkannya dengan mudah dan tadi sengaja banyak menga lah. Akan tetapi tentu saja kepada sang pangeran dia tidak berani membantah.
"Pangeran, memang sejak kecil sumoi saya ini lebih cekatan dibandingkan saya."
Akan tetapi, diam-diam Kim Hon terkejut dan memandang pangeran muda ini lebih teliti. Ketika tadi suhengnya mengatakan bahwa kepandaian silat pangeran ini jauh lebih tinggi dari tingkat suhengnya, ia mengira suhengnya hanya mencari muka saja. Akan tetapi sekarang, pangeran itu telah dapat melihat bahwa ia sengaja mengalah, dan hal ini saja sudah membuktikan bahwa pangeran ini memang lihai dan berpemandangan tajam sekali.
"Nona Can, akupun ingin sekali mengujimu. Nah, sambutlah ini !"
Tiba-tiba saja pangeran muda itu meloncat ke depan Kim Hong dari kedua tangannya didorongkan ke arah dada gadis itu.
Muka Kim Hong menjadi merah karena serangan itu mengandung ketidak-sopanan, seolah pangeran itu hendak memegang sepasang buah dadanya. Maka, iapun menyambut dengan dorong kedua tanganya, apa lagi ketika merasa betapa dari kedua telapak tangan pangeran itu menyambar hawa pukulan yang cukup dahyat.
"Plakk!"
Tak dapat dihindarkan lagi, dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya, tubuh pangeran itu terpental ke belakang sampai dua meter, sedangkan Kim Hong masih berdiri tegak dan matanya memandang marah walaupun sikapnya tetap tenang. Pangeran An Kong tidak jatuh, hanya terhuyun dan diapun berseru kagum.
"Hebat....! Nona Can, ternyata engkau memiliki ilmu kepandaian hebat, melebihi dugaanku. Bouw-ciangkun, aku merasa heran sekali bagaimana seorang sumoimu dapat memiliki ilmu kepandaian sehebat ini?"
"Pangeran terlalu memujiku,"
Kata Kim Hong sederhana, akan tetapi pandang matanya bersinar-sinar penuh kewaspadaan. Pangeran muda itu menghela napas panjang.
"Sudahlah, maafkan aku kalau aku mengganggu kalian berlatih. Aku ingin sekali bertemu dengan Bouw-koksu. Di manakah dia, Bouw-ciangkun?"
"Baru saja ayah mengatakan hendak menghadap Sri baginda, pangeran. Dia berangkat ke istana."
"Kalau begitu, biar aku menyusulnya ke sana."
Pangeran muda itu sekali lagi memandang kepada Kim Hong dengan penuh perhatian, lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ.
Setelah pangeran itu pergi Bouw Ki mendekati Kim Hong.
"Sumoi, benarkah yang dia katakan tadi? Kau tahu, dia adalah pangeran An Kong yang terkenal lihai, murid orang-orang pandai di utara. Benarkah engkau memiliki ilmu yang dahsyat melebihi dia sehingga tadi dia terpental ke belakang?"
"Hemm, mungkin dia berpura-pura saja, dia mengatakan itu untuk memuji ku. Siapa sih dia?"
Bouw Ki tersenyum dan mengangguk angguk.
"Mungkin juga. Dia memang amat lihai, bahkan ayah mengatakan ilmu silat pangeran itu setingkat ilmu ayah! Akan tetapi' diapun terkenal sebagai pangeran mata keranjang. Agaknya dia tertarik kepadamu dan sengaja memujimu untuk menyanjung. Engkau harus berhati-hati menghadapi perayu seperti dia. Dia adalah pangeran tertua, putera Sri baginda dan agaknya diapun tidak rukun dengan Sri baginda."
"Ehh? Kenapa begitu?"
Kim Hong tertarik walaupun ia tahu bahwa kaisar yang baru, yaitu Panglima An Lu Shan, adalah musuh kaisar Kerajaan Tang, yang menurut pesan suhunya, harus di tentangnya. Akan tetapi, melihat kenyataan bahwa Bouw Ki dan suhunya menjadi orang-orang penting dalam kerajaan baru para pemberontak itu, ia dapat mempergunakan kesempatan ini untuk menyelidiki keadaan para pimpinan pemberontak yang tentu dapat ia kumpulkan sebagai laporan penting kalau ia sudah menghadap Ka isar Beng Ong kelak.
Bouw Ki mengajaknya kembali duduk di bangku dekat kola m ikan dan dia pun menceritakan keadaan ke luarga kepala pemberontak An Lu Shan yang kini telah mengangkat diri sendiri menjadi kaisar itu. An Lu Shan pernah berselisih dengan puteranya, An Kong, karena urusan wanita! Memang sesungguh nya amat memalukan dan tidak pantas.
Mereka memperebutkan seorang gadis istana yang tak sempat melarikan diri dan menjadi tawanan. Akhirnya, gadis yang diperebutkan itu tewas membunuh diri dan terjadilah suatu perasaan tak senang antara ayah dan puteranya itu.
Perasaan tidak senang itu ditambah lagi ketika Pangeran An Kong yang didukung oleh beberapa orang pejabat tinggi, terutama sekali oleh Bouw-koksu, mengusulkan agar dia diangkat menjadi pangeran mahkota. Kaisar menolak usul itu, mengatakan bahwa dia masih muda, belum saatnya dia mengangkat seorang calon penggantinya. Apa lagi, baru saja dia menjadi kaisar!
"Demikianlah, sumoi. Biarpun pada lahirnya tidak nampak sesuatu, akan tetapi sebetulnya, terdapat perasaan tidak puas di hati Pangeran An Kong terhadap ayahnya, dan perasaan curiga dan kecewa di hati kaisar terhadap puteranya itu. Aku sendiri tidak senang dengan adanya kenyataan ini, akan tetapi apa yang dapat kulakukan? Aku hanya seorang panglima, bahkan ayahku agaknya menjadi pendukung Pangeran An Kong. Ah, aku menjadi bingung, dan karena itulah maka tadi kukatakan kepada mu bahwa aku lebih senang tetap berada di Khitan."
Percakapan mereka terhenti ketika muncul Nyonya Bouw Hun yang mengajak Kim Hong, untuk mengobrol dengannya di dalam rumah. Sementara itu, Pangeran An Kong yang menyusul Bouw Koksu, bertemu dengan pembesar itu diluar istana.
Bouw Koksu baru saja meninggalkan istana dan Pangeran An Kong segera mengajaknya bicara di istana pangeran itu. Kini mereka duduk di dalam kamar rahasia, di mana mereka dapat bicara tanpa khawatir didengar atau diliihat orang lain.
"Saya menghaturkan selamat, Pangeran. Memang agaknya para dewata membantu Pangeran dan paduka memang sudah ditakdirkan untuk menjadi kaisar yang akan diakui oleh seluruh rakyat. Pusaka itu telah saya dapatkan, Pangeran!"
Kata Bouw Hun yang kini lebih dikenal dengan sebutan Bouw Koksu (Guru Negara Bouw).
Pangeran itu tersenyum dan wajah nya berseri.
"Benarkah engkau sudah berhasil mendapatkan Giok- hong-cu (Burung Hong Kemala), tanda kekuasaan kasar itu, pa man Bouw?"
"Bendanya sendiri belum, Pangeran, akan tetapi peta tempat penyimpanan benda itu telah saya peroleh, walaupun dengan harga mahal sekali. Sepuluh ribu tail harus saya keluarkan untuk membeli peta itu."
"Uang tidak menjadi persoalan. Ceritakan bagaimana pusaka tanda kekuasaan kaisar itu dapat kau peroleh?"
Bouw Hun lalu menceritakan bahwa semula mestika burung hong kemala itu oleh kaisar Beng Ong diserahkan kepada Menteri Yang Kok Tiong untuk disimpan. Kemudian, di pos penjagaan Ma-wei, para perajurit yang marah membunuh menteri itu.
Kaisar sudah menyuruh Panglima Kok Cu mencari pusaka itu, namun tdak pernah dapat ditemukan. Ternyata pusaka itu oleh Menteri Yang Kok Tiong, diam-diam disembunyikan, ditanam di sebuah tempat rahasia ketika rombongan kaisar yang lari mengungsi itu lewat di sebuah bukit.
Yang Kok Tiong menyerahkan sebuah peta dari tempat rahasia itu kepada seorang pelayan yang disuruhnya kembali ke kota raja dan menyerahkan peta itu kepada puteranya, yaitu Yang Cin Han kalau puteranya itu kelak kembali ke kota raja.
"Souw Lok, pelayan Menteri Yan Kok Tiong itu tahu bahwa peta itu amat berharga, maka dia menjualnya kepada saya dengan harga selaksa tail."
"Bagaimana kalau ternyata peta itu palsu dan pusakanya tidak dapat ditemukan? Orang itu mungkin hanya seorang penipu....."
Bouw Hun tersenyum dan mengelus jenggotnya yang lebat.
"Apakah paduka kira saya begitu bodoh, Pangeran? Souw Lok itu baru saya beri lima ribu tail dan dia membuka sebuah toko dengan modalnya itu di kota raja. Setiap gerak geriknya saya suruh amati dan dia tidak boleh meninggalkan kota raja sebelum pusaka itu ditemukan, dengan janji yang lima ribu tail lagi saya bayarkan. Akan tetapi kalau dia menipu dan pusaka itu tidak dapat ditemukan di tempat yang ditunjukkan peta, dia akan dihukum mati dan semua hartanya dirampas."
Pangeran An Kong tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Bagus sekali kalau begitu, paman. Sebaiknya paman cepat pergi mengambil benda itu di tempat di sembunyikannya.
"
"Setelah melapor kepada paduka, besok juga saya akan mengirim sepasukan orang kepercayaan untuk pergi ke tempat itu dan mengambilnya, pangeran."
"Baik, aku percaya sepenuhnya ke padamu, paman. Setelah benda pusaka itu berada di tangan kita, baru kita laksanakan rencana kita yang ke dua. Dengan pusaka itu, tentu kedudukanku akan menjadi lebih kuat dan dapat menarik dukungan para pejabat lama yang masih. menguasai beberapa daerah lain. Akan tetapi ada satu hal lagi yang kurasa patut kau perhatikan, paman. Yaitu mengenai murid paman yang bernama Can Kim Hong itu."
Bouw Koksu terkejut.
"Eh? Paduka sudah mengenalnya? Ada apakah dengan gadis itu, pangeran? ia memang cantik, apakah paduka......"
"Ah, jangan salah sangka, paman. Memang ia cantik menarik dan aku akan suka sekali andaikata ia dapat menjadi milikku, akan tetapi saat ini, yang menarik hatiku bukanlah kecantikannya, melainkan ilmu silatnya, paman. Aku masih terheran-heran karena tadi aku melihat ia berlatih silat dengan putera mu, bahkan aku telah menguji tenaganya dan sungguh ia luar biasa sekali. Bagaimana mungkin paman dapat memiliki seorang murid wanita sehebat itu, yang tingkat kepandaiannya demikian tingginya. Aku sama sekali bukan tandingannya, paman!"
Tentu saja Bouw Hun terkejut mendengar ini,
"Aih, saya sendiri juga baru saja bertemu dengan murid saya itu, pangeran. Selama dua tahun ia merantau dan berguru lagi dan mengingat bahwa ia menemukan seorang guru sakti, sangat boleh jadi kini tingkat kepandaiannya meningkat banyak. Akan tetapi mampu menandingi paduka? Sungguh tidak saya sangka....."
Bagaimana tidak akan heran perasaan hati Bouw Kok-su mendengar bahwa pangeran muda ini tidak mampu menandingi ilmu silat Kim Hong. Padahal, pangeran ini lihai sekali, tingkat kepandaiannya tidak berada disebelah bawahnya!
"Aku yakin akan kelihaiannya, paman. Karena itu, engkau harus dapat membujuk dan menariknya agar ia membantu kita. Kita membutuhkan tenaga orang orang lihai seperti muridmu itu."
Bouw Koksu tertawa gembira dan mengelus jenggotnya.
"Ha-ha, harap paduka tidak khawatir, pangeran. Tentu saya dapat membujuknya, karena bagaimana pun, ia sudah seperti anak kami sendiri, bahkan kami merencanakan untuk menjodohkan Bouw Ki dengan Can Kim Hong.
"Bagus, itu lebih baik lagi, paman. Nah, sekarang harap paman suka membuat persiapan untuk mengambil pusaka itu secepatnya. '"
Bouw Koksu lalu berpamit dan kembali ke rumah gedungnya, disambut isterinya yang sudah memper siapkan pesta keluarga untuk menyambut pulangnya Kim Hong. Gadis itu merasakan keakraban mereka dan merasa terharu, juga gembira. Sedikit perasaan tidak enak sehubungan dengan peristiwa dua tahun ia ketika ia hendak dipaksa menjadi selir Bouw Ki, mulai menipis.
"Kim Hong, aku membawa berita yang amat baik dan menggembirakan sekali untukmu!"
Kata Bouw Ki begitu dia memasuki rumahnya dan melihat sumoinya itu. Kim Hong sedang duduk bercakap-cakap dengan Bouw Hun dan ternyata pada sore hari itu.
"Coba terka, berita apa yang akan kusa mpaikan padamu?"
Kim Hong memandang suhengnya yang nampak berseri wajahnya itu, lalu dengan penuh harapan ia bertanya.
"Suheng, apakah engkau membawa berita tentang ayahku?"
"Tepat sekali, sumoi. Aku telah menyebar penyelidik sejak engkau pulang sepekan lalu dan sekarang aku telah menemukan ayah kandungmu yang bernama Can Bu itu. Dan, ha-ha-ha, sungguh mengheran kan sekali, dia adalah seorang perwira dalam pasukan yang kupimpin!"
"Ah, luar biasa!"
Seru Bouw Hu sambil menepuk pahanya.
"Kalau begitu kenapa aku tidak pernah melihat dia Dahulu, duapuluh tahun yang lalu, dia pun seorang perwira pasukan ketika di tertawan oleh pasukan Khitan dan menjadi tawanan, lalu hidup di antara bangsa Khitan."
"Para opsir atau perwira memang hanya berada di benteng, ayah,"
Bouw Ki menjelaskan.
"Dan dia sendiri tidak pernah bertemu ayah. Diapun sama sekali tidak menyangka bahwa aku adalah anak kecil yang pernah dikenalnya di Khitan. Dia termasuk seorang di antara para perwira Kerajaan Tang yang telah menyerahkan diri dan menakluk, dan seperti ayah mengetahui, kita menerima tenaga bantuan para anggauta pasukan yang telah menyatakan takluk dan suka bekerja kepada pemerintah baru."
"Suheng, di mana dia? Aku ingin bertemu dengan ayahku!"
Kata Kim Hong dan ia merasa betapa jantungnya berdebar dan perasaan aneh dan tegang menghubungi hatinya. Dara ini belum pernah melihat ayahnya dan ia hanya pernah mendengar cerita ibunya bahwa ayahnya bernama Can Bu, seorang perwira yang gagah dan tampan.
Sekarang,suhengnya mengatakan bahwa ayah kandungnya itu menyerah kepada ke kuasaan pembe rontak, bahkan mengabdi kepada pemberontak. Di mana letak kegagahannya? Diam "diam ia merasa kecewa dan penasaran. Agaknya ia akan lebih merasa lega dan bangga andaikata mendengar bahwa ayahnya, sebagai seorang perwira, telah gugur ketika melawan pasukan pemberontak yang menyerbu kota raja! Tentu saja ia akan lebih senang dapat bertemu dengan ayahnya, akan tetapi bukan sebagai seorang perwira yang mengkhianati Kerajaan Tang, melainkan umpamanya saja, seorang perwira yang melarikan diri karena kalah perang dan menjadi rakyat biasa.
"Tenanglah, sumoi. Paman Can Bu sendiri masih merasa tegang dan bingung mendengar bahwa puterinya berada disini. Bahkan dia sudah hampir tidak ingat lagi bahwa dia mempunyai seorang puteri di Khitan, maklum sudah duapuuh tahun lebih dia meninggalkan Khitan. Bahkan dia terkejut ketika kujelaskan bahwa ayah adalah orang yang di kenalnya sebagai Bouw Kok-su, yang dahulu menjadi kepala suku bangsa Khitan. Dia sudah ikut bersamaku ke sini, akan tetapi dia menanti di luar karena aku tidak ingin menimbulkan kekagetan dan agar engkau dapat menerimanya dengan tenang."
"Aku ingin bertemu dengan dia suheng. Terima kasih atas bantuanmu.."
"Bouw Ki, bawa dia masuk ke sini. Akupun ingin bertemu dengan Saudara Can Bu yang meninggal kan Khitan dua puluh tahun yang lalu!"
Kata Bouw Hu gembira.
Bouw Ki berlari keluar dan tak lama kemudian, dia masuk kembali bersama seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, disambut oleh Bouw Hun dan isterinya, juga oleh Kim Hong yang hanya berdiri bengong, mengamati pria yang kini menjatuhkan diri berlutut dengan sebelah kaki memberi hormat kepada Bouw Kok-su.
"Aha, saudara Can Bu! Ya, aku masih ingat kepadamu. Lupakah engkau siapa aku, ha-ha-ha!"
Bouw Kok-su berseru sambil tertawa.
Pria itu mengangkat muka dan memandang dengan bingung dan bimbang.
'Paduka...... benarkah paduka adalah Kepala Suku Bouw Hun yang dahulu.....? Dan ciangkun ini putera paduka Bouw Ki yang dahulu masih kecil itu? Nyonya, maafkan saya dan terimalah hormat saya......"
Orang itu kembali memberi hormat.
"Bangkitlah, saudara Can Bu Hong dan duduklah. Kita adalah orang-orang sendiri, jangan terlalu sungkan dan sementara ini lupakan dulu segala kedudukan. Duduklah dan pandang baik-baik, siapa gadis ini?"
Can Bu bangkit berdiri dan memandang kepada gadis yang juga berdiri dan sedang mengamatinya itu. Kim Hong rasa lehernya seperti dicekik karena haru, akan tetapi juga ragu dan agak kecewa. Inikah orang yang selama ini dirindukannya? Inikah orang yang dahulu, ketika ia masih kecil, ibunya menceri takannya dengan penuh kerinduan dan kekaguman? Inikah orang yang dicari-carinya itu? Memang wajahnya tidak jelek, cukup tampan, dan bentuk tubuh nya juga tegap sebagai seorang perajurit. Akan tetapi gagah perkasa? ia tidak melihat tanda-tanda itu pada tarikan muka dan pandang matanya,bahkan mata itu kelihatan sungkan dan bahkan malu-malu, agak gelisah malah, sama sekali bukan seperti mata seorang pendekar! Karena tegang dan terharu bercampur kecewa, Kim Hong diam saja, tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.
"Paman Can Bu, inilah sumoi Can Kim Hong, puterimu dan mendiang bibi Khilani seperti yang kuceritakan itu. ia adalah anakmu, paman!"
Kata Bouw Ki seperti hendak menarik ayah dan anak itu dari ala m la munan yang me mbuat mereka hanya saling pandang sejak tadi.
"Anakku..... Ah, siapa kira hari ini aku dapat bertemu dengan anak ku....."
Akhirnya Can Bu berkata, biarpun masih ragu, dia mengembangkan kedua lengannya.
"Ayah..... Bertahun-tahun aku selalu memikirkan orang yang menjadi ayah kandu ngku. Jadi engkau...... engkau ini ayahku....?"
Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kim Hong berkata lirih seperti kepada diri sendiri, dan iapun menghampiri pria itu.
Ketika Can Bu merangkulnya, Kim Hong merasa aneh dan tidak nyaman, karena pria ini sama sekali asing baginya. Akan tetapi ia membiarkan saja pria itu merangkul dan mengelus rambutnya.
"Maafkan aku, anakku. Selama ini ayahmu tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk mencarimu, merawat dan mendidikmu,"
Katanya dengan suara agak gemetar.
Dengan lembut Kim Hong melepaskan diri dari rangkulan ayahnya, melangkah mundur dua ka li dan me mandang wajah ayahnya, bertanya,
"Sekarang.... dimana ayah tinggal dan dengan siapa ayah hidup?"
Sukar baginya harus tinggal bersama seorang ibu tiri dan saudara-saudara tiri.
"Sumoi, Pa man Can Bu hidup sebatang kara, tidak beristeri dan tidak me punyai keluarga, tinggalnya di dalam benteng,"
Kata Bouw Ki.
"Kalau begitu, biar dia tinggal saja di sini bersama Kim Hong!"
Kata Bouw Kok-su.
"Bouw Ki, usahakan agar saudara Can Bu dipindah tugaskan, mulai sekarang bekerja sebagai kepala pengawal keluarga kita dan tinggal di sini, di rumah samping itu."
"Ah, itu baik sekali!"
Seru Bouw Ki.
"Tentu paman Can setuju, bukan?"
Sebetulnya Kim Hong hendak menolak. Tidak senang ia kalau ayah kandungnya mondok di situ, yang berarti bahwa ia dan ayahnya menerima budi keluarga Bouw dan bahkan terikat dengan mereka. Akan tetapi ayahnya sudah cepat memberi hormat dan berkata dengan suara gembira sekali.
"Tentu saja saya setuju, ciangkun. Terima kasih banyak atas budi kebaikan Tai-jin dan Ciang-kun!"
Karena ayahnya telah menerimanya, tentu saja Kim Hong tak dapat berkata apa-apa lagi. ia masih merasa asing dengan ayahnya, masih sungkan untuk menegurnya. Kelak saja, perlahan-lahan ia akan membujuk ayahnya agar tinggal di luar gedung itu, di rumah sendiri sehingga tidak tergantung kepada siapapun, juga lebih bebas.
Setelah mendapat kesempatan untuk berdua saja dalam ruangan rumah samping, Kim Hong duduk berhadapan dengan pria yang dinyatakan sebagai ayah kandungnya itu. Mereka saling berpandangan sejenak, dan akhirnya Can Bu yang menundukkan pandang matanya lebih dahulu. Sinar mata gadis itu terlalu tajam, bagaikan pisau yang runcing menusuk sampai keulu hati.
"Kim Hong, kenapa engkau memandangku seperti itu?"
Tanya Can Bu yang sudah menunduk.
Gadis itu tetap menga mati wajah pria di depannya dengan pandang mata penuh selidik.
"Engkau....... benarkah engkau ini ayah kandungku?"
Tiba-tiba ia bertanya dan Can Bu mengangkat muka, alisnya berkerut dan pandang matanya penasaran, marah.
"Hemm, pertanyaan ini bisa kukembalikan kepadamu, Kim Hong. Benarkah engkau ini anak kandung ku? Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu itu? Kita tidak pernah saling berjumpa. Hanya ada satu hal yang pasti bagiku, yaitu aku pernah tinggal di Khitan duapuluh tahun lebih yang lalu, dan aku menikah dengan seorang wanita bernama Khilani. Nah. kalau benar engkau ini puteri Khi lani, jelaslah bahwa engkau adalah anakku dan aku inilah ayah kandungmu. Kim Hong, kenapa engkau masih bertanya seperti itu, dan seolah meragukan bahwa aku ini ayah kandungmu?"
Kini pandang mata Can Bu yang penuh selidik mengamati wajah Kim Hong.
Gadis itu menghela napas panjang.
"Ayah, aku masih ingat betapa ibu menceritakan bahwa suaminya, ayah kandungku, adalah seorang perwira Kerajaan Tang yang gagah perkasa. Kini aku mendapatkan ayah memang seorang perwira, akan tetapi..... kenapa ayah membantu pemerintah yang didirikan pemberontak ! "
Wajah pria itu berubah agak pucat, matanya memandang ke sekeliling seperti orang ketakutan.
"Ssttt....... apa yang kau ucapkan ini, Kim Hong? Kalau terdengar orang lain, kita bisa celaka ! Bukankah suhu dan suhengmu sendiripun menjadi orang-orang besar dalampemerintahan ini ? "
"Hemm, mereka lain lagi,"
Kata Kim Hong, semakin kecewa melihat sikap ayahnya yang ketakutan itu.
"
Mereka adalah orang-orang Khitan yang sejak dahulu memang bermusuhan dengan Kerajaan Tang, bahkan suhu adalah kepala suku Khitan. Tidak mengherankan kalau mereka bergabung dengan pemberontak dan kini menduduki jabatan tinggi. Akan tetapi engkau, ayah! Menurut ibu, engkau seorang bangsa Han. Kenapa sekarang engkau bahkan mengkhianati kerajaan dan bangsa sendiri?"
Can Bu mengerutkan alisnya dan memandang tak senang.
"Kim Hong, engkau lancang. Sribaginda sendiri, ketika masih menjadi Panglima besar, juga seorang pejabat Kerajaan Tang, dan biarpun beliau itu masih mempunyai darah Khitan, akan tetapi sebagian besar para perwira dan perajuritnya adalah bangsa Han! Pemberontakan itu dilakukan karena Kaisar Beng Ong amat lemah dipermainkan wanita, dan di istana terjadi perebutan kekuasaan yang memuak kan. Jangan kau salahkan ayahmu kalau sekarang aku mengabdi kepada pemerintah ini."
Kim Hong diam saja dan ia terngat akan cerita gurunya. Menurut guru nya, Kaisar Beng Ong memang di permainkan oleh seorang selir cantik yang bernama Yang Kui Hui, demikian cantiknya selir itu sehingga gurunya sendiri tergila"gila kepada selir itu. Gurunya juga berpesan agar ia membela Kerajaan Tang dan membantu kaisar untuk merampas kembali tahta kerajaan dari tangan An Lu Shan, dan menemukan Giok"hongcu. Gurunya, yang dahulu pernah berusaha membunuh Kaisar Beng Cng, kini bahkan menyuruh ia membela kaisar itu.
Kini ia mengerti mengapa. Kalau dahulu gurunya memusuhi kaisar, hal itu dilakukan karena dia se orang tokoh Beng-kauw yang menganggap kaisar lalim dan patut dilenyapkan agar kedudukan kaisar diganti oleh kaisar lain yang lebih bijaksana. Akan tetapi sekarang, lain lagi keadaannya.
Tahta kerajaan direbut oleh pemberontak An Lu Shan, seorang peranakan Han, yang tentu dianggap berdarah asing oleh gurunya. Karena itu gurunya menyuruh ia berpihak kepada pemerintah Kerajaan Tang.
"Kim Hong, kenapa engkau diam saja? Sudah mengertikah engkau sekarang mengapa ayahmu bekerja kepada pemerintah yang baru? Bahkan sekarang aku menjadi kepala pengawal keluarga gurumu, bu kan lagi menjadi perwira pasukan."
Kim Hong menghela napas panjang lagi,
"Maafkan aku, ayah,. Terus terang saja, tadinya aku kecewa sekali melihat kenyataan ini. Ibu dahulu bercerita tentang ayah kandungku yang gagah perkasa, dan aku terlanjur membayangkan ayah sebagai seorang pendekar besar. Kiranya kini ayah terlibat dalam pemberontakan, atau membantu pemerintah pemberontak. Akan tetapi aku sekarang dapat mengerti dan tidak menyalahkan ayah."
Can Bu menujulurkan tangan dan memegang tangan puterinya dari seberang meja.
"Bagus, aku senang sekali mendengar itu, anakku. Dan kuharap engkau suka membantu ayah, membantu suhumu dan suhengmu......"
"Maaf, ayah. Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pemerintah kerajaan baru ini, tidak ingin pula membantu pekerjaan suhu dan suheng, walaupun tentu saja aku suka membantu pekerjaan ayah. Ayah hanya bertugas menjaga keselamatan keluarga suhu, bukan? Nah, aku akan membantu pekerjaan ayah."
"Akan tetapi, bagaimana kalau ayahmu menerima tugas yang lebih penting? Apakah engkau tetap mau membantu ku?"
"Tentu saja, aku akan membantu agar ayah melaksanakan tugasnya dengan baik dan berhasil, akan tetapi aku sendiri tidak mau langsung menerima perintah dari orang lain."
"Bagus, aku mendengar dari suhengmu, Bouw-ciangkun, bahwa engkau memiliki ilmu silat yang amat hebat, bahkan Pangeran An Kong sendiri mengagumi. Kalau engkau mau membantuku, maka tugas penting yang harus kukerjakan dalam beberapa hari ini tentu akan dapat kulaksanakan dengan baik."
"Tugas apakah itu, ayah?"
Kim Hong mengerutkan alisnya, tidak mengira sama sekali bahwa ayahnya telah menerima tugas penting lain.
"Tugas ini amat berbahaya, dan tanpa bantuanmu, tadinya aku merasa khawatir sekali kalau gagal. Aku ditugaskan mengikuti rombongan pasukan yang akan dipimpin Bouw"ciangkun sendiri untuk mengambil sebuah pusaka kerajaan di tempat tersembunyi."
Kim Hong menatap wajah ayahnya dan jantungnya berdebar tegang.
"Pusaka apakah itu, ayah? Dan mengapa berbahaya untuk mengambilnya? Di mana tempat pengam bilannya?"
Dalam hatinya, Kim Hong teringat pesan gurunya, Si Naga Hita m, tentang pusaka yang dinamakan Mestika Hong Kemala!
"Pusaka itu amat penting bagi kerajaan, karena merupakan lambang ke kuasaan kaisar. Pusaka itu h ilang dan yang terakhir kalinya berada di tangan Menteri Yang Kok Tiong. Ketika menteri itu terbunuh, pusaka itu lenyap entah ke mana. Beruntung sekali gurumu, Bouw Koksu yang cerdik dan bijaksana, dapat menemukan peta di mana pusaka itu disembunyikan dan besok pagi, suhengmu akan memimpin pasukan untuk mengambil pusaka itu. Akupun dikutsertakan, karena itu, aku mnta agar engkau suka turut pula memperkuat rombongan kita."
Kim Hong menelan kembali kata-kata "giok-hong-cu"
Yang sudah berada di ujung lidahnya dan ia pura-pura tidak tahu, akan tetapi dengan cepat ia meangguk.
"Aku akan senang sekali membantu ayah dalam tugas penting itu, ayah."
Ia teringat akan pesan suhunya, dan ia akan melihat apakah benar yang akan diambil rombongan itu adalah gio hong-cu. Dan kalau benar demikian setidaknya ia tahu di mana adanya mestika yang diperebutkan itu!
Malam itu Kim Hong tidur dengan hati tenang, bagaimanapun juga, ia telah bertemu bahkan berkumpul dengan ayah kandungnya, dan untuk tugas kedua yang diserahkan gurunya kepadanya, yaitu memban tu kaisar Tang menemukan kembali giok-hong-cu dan menentang pemberontak, agaknya dapat ia mulai dari kota raja itu sendiri! Tak seorangpun tahu akan isi hatinya dan akan tugasnya itu, dan ia dipercaya oleh pemerintah An Lu Shan! Memang ayahnya berada di pihak musuh, akan tetapi ia akan dapat membujuk dan menyadarkan ayahnya perlahan-lahan, kalau ia sudah akrab benar dengan ayah kandungnya itu.
"Bukan main! Paman sungguh seorang pemberani! Aku merasa kagum dan bangga sekali padamu, paman!"
Kata pemuda itu sambil memandang orang yang duduk di depannya dengan sinar mata penuh kagum.
Dia seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun, wajahnya tampan,sikapnya lincah, matanya bersinar-sinar penuh semangat dan kejenakaan, mulutnya tersenyum-senyum dan pakaiannya tidak teratur seenaknya sendiri.
Pemuda ini adalah seorang pemuda yang lincah Jenaka dan selalu gembira, akan tetapi di balik sikapnya yang bengal dan agak ugal-ugalan itu tersembunyi kepandaian yang hebat. Dia bernama Souw Hui San, dan dia sudah yatim piatu.
Di partai persilatan Go-bi-pai, namanya terkenal sekali karena dialah murid utama Gobi-pai, murid yang masih muda akan tetapi berkat bakat dan ketekunannya sejak kecil hidup di partai itu sebagai kacung lalu murid, maka dia telah menguasai hampir seluruh ilmu silat Go b i-pai dan terkenal sebagai seorang pendekar muda yang amat lihai.
Baru tga bulan dia tiba di Tiang-an, kota raja yang kini dikuasai kerajaan baru pemberontak An Lu Shan. Dia mempunyai seorang paman, yaitu adik mendiang ayahnya, yang kini membuka sebuah toko di kota raja itu dan pamannya ini bernama Souw Lok.
Baru hari itu pamannya membuka rahasia kepada keponakannya, setelah dia merasa yakin benar bahwa keponakan nya kini telah menjadi seorang pendekar yang berilmu tinggi.
"Aku melakukan itu demi Kerajaan Tang, Hui San. Aku harus mencari jalan sebaiknya dan kebetulan sekali engkau datang. Hanya engkaulah yang dapat mebantuku."
"Paman Souw Lok, bagaimana sampai Menteri Yang mempercayakan pusaka itu kepada paman? Harap paman ceritakan sejelasnya agar aku mengerti persoalannya dan dapat bekerja sebaik mungkin. Para guruku di Gobi-pai, selain mengajarkan ilmu silat, juga mengajarkan bagaimana aku harus menjadi seorang warga negara yang baik dan setia kepada pemerintah. Karena itu, aku siap membantu paman demi kejayaan kembali Kerajaan Tang yang dijatuhkan pemberontak."
Souw Lok la lu bercerita. Dia adalah seorag pelayan dalam keluarga Menteri Yang Kok Tiong. Sejak muda dia kerja pada keluarga itu dan menjadi seorang pelayan setia yang dipercaya penuh oleh keluarga itu. Ketika Menteri Yang Kok Tiong menemani Kaisar Hsua Tsung mengungsi ke barat, Souw Lok inilah satu satunya pelayan yang mengikuti majikannya.
Ketika kaisar yang mengkhawatirkan keselamatan pusakanya yang penting, yaitu Giok-hong-cu, dan menitipkannya kepada Menteri Yang Kok Tiong, menteri itu menjadi gelisah dan bingung. Dia tahu betapa pentingnya Mestika Burung Hong Kemala itu. Para pemberontak dan raja muda di daerah tentu akan berusaha memperebutkan pusaka itu, karena pusaka itu dianggap sebagai lambang kekuasaan seorang kaisar.
Kemudian, Menteri Yang Kok Tiong mempunyai akal. Para pemberontak tentu akan mencurigai dia kalau tidak menemukan mestika itu pada kaisar. Akan tetapi, tak seorangpun akan mencurigai Souw Lok, seorang pelayan. Karena itu, ada suatu malam, dalam perjalanan mengungsi itu, dia memanggil Souw Lok ke dalam kamarnya dan bicara empat mata dengan pelayan itu.
"Souw Lok, dapatkah aku mengharapkan kesetiaanmu kepadaku dan kepada Kerajaan Tang?"
Tanya Menteri Yang Kok Tiong.
"Tentu saja, Taijin. Hamba siap mengorbankan nyawa hamba demi Kerajaan Tang!"
"Aku percaya kepadamu, Souw Lok. Oleh karena itu maka kau kupanggil. Kuserahi tugas yang teramat penting, bahkan kejayaan kembali Kerajaan Tang kuserahkan ke dalam tanganmu."
Tentu saja Souw Lok terkejut bukan main dan sambil berlutut dia mendengarkan keterangan Menteri Yang Kok Tiong. Menteri itu menerima Mestika Burung Hong Ke ma la dari kaisar untuk diselamatkan. Menteri yang setia itu telah menyembunyikan benda pusaka itu di sebuah tempat rahasia, yaitu di dalam sebuah guha kecil yang mereka lalui dalam perjalanan mengungsi. Tak seorangpun melihatnya dan dia sudah membuat kan peta tempat itu agar kelak muda di cari kembali.
"Biar andainya aku tertawan musuh dan disiksa sekalipun, aku tidak akan membuka rahasia benda pusaka itu,"
Kata sang menteri.
"akan tetapi kalau mereka menemukan peta ini di tubuhku, berarti pusaka itu akan terjatuh ke tangan musuh. Oleh karena itu kutitipkan peta ini kepadamu, Souw Lok. Tidak akan ada orang mencurigaimu. Bawalah peta ini ke Tiang-an, usahakan agar engkau dapat menyerahkan petai ini kepada seorang di antara anak-anakku Benda pusaka itu harus dipertahankan untuk membangkitkan kembali Kerajaan Tang."
Biarpun dia menggigil karena takut dan tegang, namun Souw Lok yang setia menerima juga peta itu. Lukisan yang kecil itu dapat dia sembunyikan dalam lipatan bajunya dan diapun meninggalkan rombongan kaisar yang melakukan perjalanan mengungsi, dan dia kembali ke Tiang-an yang sudah diduduki pemberontak An Lu Shan.
Dan tepat seperti perkiraan Kenteri Yang Kok Ting, tiada seorangpun mencurigai bahwa bekas pelayan ini memiliki peta rahasia tempat disembunyikannya benda yang diperebutkan oleh semua raja muda dan gubernur, juga dicari oleh An Lu Shan sendiri.
Mendengar cerita itu, Souw Hui San mengerutkan alisnya.
"Ternyata paman memegang rahasia yang demikian pentingnya. Akan tetapi tadi paman mengatakan bahwa paman telah menjual peta itu kepada Bouw Koksu dan paman menerima banyak uang, dapat membuka toko ini. Bagaimana pula ini, paman? Memang paman pemberani dan pintar, akan tetapi maafkan pertanyaanku, paman. Apakah paman hendak menjual negara.."
"Hushh, pamanmu bukan manusia serendah itu, Hui San! Ketahuilah bahwa dalam pengungsian mereka, Kaisar telah membicarakan urusan Mestika Burung Hong Kemala dengan Pangeran Mahkota dan Panglima Kok Cu Ketika Menteri Yang Kok Tiong terbunuh, mestika itu telah hilang dan tidak ada seorangpun mengetahui di mana mestika disimpan oleh mendiang Menteri Yang. Percakapan mereka itu diam-diam didengarkan seorang thai-kam (sida-sida) dan orang ini menyebar desas-desus tentang hilang nya Mestika Burung Hong Kemala di tangan mendiang Menteri Yang Kok Tiong. Berita itu sampai pula ke sini dan tentu saja An Lu Shan memerintahkan semua pembantunya untuk ikut mencari dan memperebutkan pusaka itu. Usaha itu diserahkan kepada Bouw Koksu. Koksu ini segera menyelidiki siapa saja orang "orang yang dekat dengan Menteri Yan Kok Tiong ketika masih hidup. Selain ke tiga putera dan puterinya, juga semua bekas pembantu rumah tangga dan pelayan dicurigai. Karena tiga orang puteranya tidak dapat ditemukan, maka semua bekas pelayan keluarga Yang ditangkapi, termasuk aku. Seorang demi seorang dipaksa untuk mengaku di mana disembunyikannya pusaka itu dan setiap orang yang mengatakan tidaktahu, disiksa sampai mati."
"Hemm, betapa kejamnya Bouw Ko ksu,"
Kata Hui San.
"Bekas kepala suku Khitan itu memang seorang yang kejam, lihai dan licik sekali. Karena melihat semua rekan tewas disiksa, tentu saja aku tidak mau mengalami siksaan sampai mati...."
"Dan paman lalu menyerahkan peta itu kepada Bouw Koksu dan menerima imbalan uang banyak....?"
"Hushh, jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan buruk! Ketahuilah, kalau aku membiarkan diriku disiksa sampai mati, tentu pusaka itu untuk selamanya akan hilang dan tak akan dapat dikembalikan kepada Kerajaan Tang, karena hanya aku seoranglah yang mengetahui tempat persembu nyiannya. Karena itu, aku lalu mengam bil keputusan untuk tetap tinggal hidup akan tetapi juga menjaga agar pusaka itu tidak terjatuh ketangan pemberontak."
"Apa yang paman lakukan?"
"Diam-diam sebelumnya aku telah menghafalkan peta itu di luar kepala, dan aku sedikit mengubah peta itu. Kalau dalam peta aselinya tempat persembunyian pusaka itu berada diguha ke tiga, aku mengubahnya dengan tanda bawa benda itu disimpan di dalam guha ke tujuh. Ada sepuluh buah guha di bukit itu. Nah, karena aku tidak ingin mati dan benda itu hilang begitu saja, ketika jatuh giliranku diperiksa, aku mengaku terus terang bahwa Menteri Yang memang memberikan sebuah peta kepadaku. Dan aku minta imbalan kalau peta itu diminta oleh Bouw Koksu. Tentu saja Bouw Koksu memenuhi permintaanku dan memberiku lima ribu tail sebagai uang muka dan yang lima ribu tail lagi akan dia berikan setelah dia mendapatkan pusaka itu."
"Akan tetapi, paman. Kalau di mengambil pusaka itu di guha seperti yang ditunjukkan oleh peta paman, tentu dia tidak akan mene mukannya dan pa man tentu akan dianggap menipu dan menerima hukuman!"
Orang tua itu tersenyum.
"Paman mu tidak setolol itu, Hui San. Tadinya memang aku akan segera melarikan diri membawa sisa uang setelah kubelikan toko ini, akan tetapi setelah engkau muncul, aku mendapat pikran lain. merek akan menemuka benda di guha itu, dan dia akan memberiku limaribu tail lagi akan tetapi pusaka itu tetap akan menjadi milik kita."
"Ehh? Bagaimana mungkin paman?"
"Hui San, selama ini aku diam-diam melakukan penyelidikan dan mengetahui bahwa sampai hari ini, Bouw Koksu belum mengirim orang untuk mengambil mestika itu. Hal ini menunjukkan bahwa ada maksud tertentu dalam hati Bouw Koksu. Agaknya dia tidak langsung melapor kepada kaisarnya, dan mungkin saja dia hendak memiliki sendiri pusaka itu. Lihat, aku telah mempersiapkan ini."
Souw Lok mengeluarkan sebuah buntalan kain kuning dan ketika buntalan kain itu dibuka, Hui San melihat sebuah benda yang indah, terbuat dari batu giok dan berbentuk seekor burung Hong!
"Inikah Giok-hong-cu itu? Akan tetapi..... telah berada di tangan paman!"
Serunya heran.
Souw Lok menggeleng kepalanya.
"Aku telah mengeluarkan uang seribu tail untuk membujuk seorang ahli ukir kemala yang tinggal di luar kota raja, dan menyuruh dia buatkan ukiran seekor burung hong kemala seperti ini. Aku menyamar seorang kakek sehingga dia tidak tahu siapa yang menyuruh dia membuatkan ukiran burung hong kemala."
"Jadi ini yang palsu? Untuk apa, paman? Ah, aku mengerti sekarang. Tentu paman hendak menipu Bouw Koksu dengan memberinya Giok-hong-cu yang palsu ini!"
"Engkau cerdik, Hui San. Akan tetapi hanya engkau yang akan mampu melakukan siasatku itu."
Hui San tersenyum. Pemuda yang lincah Jenaka ini memang memuliki kecerdikan dan dia sudah dapat menduga dan mengerti apa yang dikehendaki pamannya.
"Paman sungguh cerdik bukan main! Tentu paman menghendaki agar aku membawa benda ini ke tempat rahasia itu, meletakkannya ke dalam guha ke tujuh, kemudian aku mengambil yang aselinya yang berada di dala mi guha ke tiga dan membawanya ke sini. Begitukah?"
Pamannya mengangguk-angguk.
"Aku sendiri tidak berani melakukan itu karena kalau ketahuan orang lain, akan berbahaya. Akan tetapi engkau sudah mendemonstrasikan kepandaianmu dan aku yakin bahwa dengan kepandaianmu itu, engkau akan ma mpu melakukannya dengan baik. Biarkan Bouw Koksu mendapatkan Giok-hong-cu yang ini, dan yang aselinya tetap berada pada kita!"
"Lalu apa yang akan kita lakukan dengan Giok-hong-cu yang aseli itu, paman?"
Pemuda itu memancing.
"Hemm, kita biarkan Bouw Koksu bergembira dengan Giok"hong-cu ini, dan aku menerima lagi limaribu tail. Setelah itu, baru aku meningga lkan kota raja dan hidup sejahtera di dalam dusun yang jauh dari sini, dan engkau kuserahi tugas untuk menyerahkan pusaka itu kepada seorang di antara putera mendiang Menteri Yang Kok Tiong, atau dapat juga langsung kepada Sri baginda Kaisar sendiri yang kini mengungsi ke se"cuan."
Pemuda itu mengangguk-angguk, ia tidak menyalahkan pamannya yang hendak menikmati hidup sebagai orang kaya di dusun. Bagaimanapun juga, pamannya telah berjasa menyelamatkan pusaka kerajaan Tang itu, dan yang ditipu oleh pamannya adalah pemberontak.
"Baiklah, paman. Cepat beri gambaran yang jelas tentang letak tempat yang dimaksudkan itu."
Paman dan keponakan itu lalu bercakap-cakap dengan berbisik-bisik dan Souw Lok memberi keterangan yang sejelasnya. Keponakannya Itu diminta agar melakukan perjalanan berat, menyusuri sepanjang pantai sungai Yang-ce.
"Setelah kurang lebih lima ratus dari sini, engkau akan melihat pegunungan dan yang nampak dari tepi sungai itu adalah tiga puncaknya yang runcing, yang paling tengah tinggi runcing dan di kanan kirinya terdapat dua buah puncak yang sama tingginya, akan tetapi hanya setengah tinggi yang tengah. Kau dakilah pegunungan itu sampai engkau tiba dibukit batu karang. Terus saja naik sampai ke puncaknya dan di sana engkau akan menemukan guha guha batu karang itu. Tak seorangpun akan mendatangi tempat yang kering kerontang itu, sama sekali tidak menarik karena tidak ada tumbuh-tumbuhan, hitung dari kiri ke kanan kalau berhadapan dengan tebing bukit karang akan ada sepuluh buah guha. Nah, hitung dari kiri, yang ke tiga dan ke tujuh. Jelas, bukan?"
Hui San mencatat semua itu di dalam hatinya dan malam itu juga dia berangkat membawa buntalan kuning ber Giok"hong-cu palsu yang dia masuk dalam buntalan besar pakaiannya. Sedang pedang tergantung di punggung nya Pemuda ini memang gagah perkasa tampan. Usianya sudah duapuluh lima tahun, akan tetapi karena wajahnya selalu cerah gembira dengan senyum yang tak pernah meninggalkan bibirnya, nampak seperti baru berusia duapuluh tahun saja. Pakaiannya agak nyentrik, seenaknya sendiri, bahkan celananya kedodoran atau kebesaran, akan tetapi agaknya dia tidak perduli.
Juga rambutnya awut -awutan karena sehabis mandi tadi, sebelum berangkat, dia tidak menyisir rambutnya, hanya menyisir dengan jari-jari tangannya saja sehingga setelah kering menjadi awut-awutan dan acak-acakan. Sebuah camping bundar yang ujungnya runcing tergantung di punggung, di atas pedang dan buntalan.
Camping itu agak lebar dan baik sekali di pergunakan sebagai pelindung kepala dari panas hujan.Hui San melangkah santai ketika keluar dari pintu gerbang kota raja sehingga tidak menimbulkan kecurigaan, bersama banyak orang yang keluar masuk pintu gerbang.
Akan tetapi setelah berada jauh di luar pintu gerbang, dia meninggaIkan jalan raya, kemudian menggunakan ilmu berlari cepat menuju ke barat. Tubuhnya berkelebat seperti larinya seekor kijang muda saja, kadang melompat jauh.
Sungguh mengagumkan sekali kalau ada yang sempat menyaksikan dua orang gadis itu berlatih silat pedang. Mereka berdua mempergunakan sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya dan gerakan mereka demikian ringan dan indah, bagaikan dua ekor kupu-kupu yang sedang me mperebutkan seku ntu m bunga untuk d ih isap madu nya. Tubuh mereka kadang nampak dan kadang tidak, dan hanya dua gulungan sinar pedang mereka yang saling belit dan saling tekan, tiba-tiba saja dua gulungan sinar pedang itu lenyap dan di situ telah berdiri dua orang gadis sambil melintangkan pedang di depan dada.
Yang seorang berusia duapuluh tahun, wajahnya cantik jelita dan agung, dengan tahi lalat kecil di dagu kiri, mena mbah indah dan manis sekal wajah itu. Kulitnyapun putih kemerahan, lembut halus seperti kulit bayi Sungguh sukar dapat dibayangkan betapa seorang gadis secantik dan selembut itu dapat me ma inkan pedang sedahsyat tadi.
Gadis ke dua yang berdiri di depannya lebih muda, usianya sekitar delapan belas tahun. Gadis inipun cantik jelita dan manis, mungil dengan bentuk tubuh lebih kecil dan ramping. Kalau gadis pertama nampak lembut, gadis yang lebih muda ini nampak lincah, galak dan sepasang matanya berapi-api penuh semangat hidup. Kulitnya tidaklah seputih gadis pertama, agak gelap, namun tidak mengurangi daya tariknya.
Mereka itu bukan lain adalah Yang Kui Lan dan Yang Kui Bi, kakak beradik puteri Menteri Yang Kong Tiong! Seperti telah kita ketahui, kakak beradik ini meninggalkan kota raja untuk mencari kakak mereka, Yang Cin Han dan mereka bertemu dengan Kong Hwi Ho-siang, seorang hwesio tua yang sakti dan menjadi muridnya. Dua orang dara ini tingga l dala m kuil Thian-bun-tang yang diketuai Pek-lian Ni-kouw, murid keponakan Kong Hwi Hosiang. Dua tahun lebih lamanya mereka tinggal di kuil tu.
Sekali waktu Kong Hwi Hosiang datang ke kuil dan mengajarkan ilmu silat kepada mereka. Juga dari suci mereka, Pek-lian Ni-kouw, mereka diberi pelajaran gin-kang (ilmu meringank tubuh). Dari suhu mereka, kedua orang dara ini selain menerima latihan menghimpun tenaga sin-kang, juga semua ilmu yang telah mereka kuasai,
dimatangkan sehingga kini ilmu pedang Sian-li Kiam-sut yang pernah mereka pelajari dari Sin-tung Kai-ong menjadi lebih dahsyat. Selain itu, juga dua orang gadis itu menerima pelajaran ilmu toya yang amat hebat dari Kong Hwi Hosiang, yaitu ilmu Hongn Sin-pang (Toya Saktangan dan Awan).
"Enci Lan, sudah cukup kita berlatih pedang. Mari kita berlatih ilmu toya kita,"
Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Kui Bi yang selalu lincah dan gembira.
"Baik, Bi-moi,"
Kata Kui Lan dan iapun mencabut sebatang toya yang tadi ia tancapkan di atas tanah di taman bunga belakang kuil itu. Adiknya juga rnencabut toyanya dan kini keduanya sudah saling berhadapan sambil memasang kuda"kuda dengan melintangkan toya didepan dada. Pedang mereka tadi mereka simpan kembali ke dalam sarung pedang yang berada di punggung.
"Silakan, enci Lan!"
Kata Kui Bi. Kui Lan mengeluarkan bentakan halus dan iapun sudah menggerakkan toyanya menyerang. Adiknya menangkis dan membalas serangan encinya dan segera terdengar suara Lak-tok-tak-tok beradunya kedua batang toya itu. Makin lama gerakan mereka semakin cepat sehingga nampak gulungan sinar putih seperti awan, dan angin menya mbar-nyambar, merontokkan daun"daun kuning di atas pohon. Itulah kiranya nama ilmu toya itu. Angin dan awan. Sinar toya itu seperti awan putih berarak, dan sambaran nya mendatangkan angin besar!
Setelah merasa puas, keduanya menghentikan gerakan toya. Ada keringat tipis membasahi leher dan dahi ke dua orang gadis itu.
"Omitohud, tidak sia-sia jerih payah pinceng selama dua tahun ini. Kalian telah dapat menguasai Hong-in Sin pang dengan baik!"
Kedua orang gadis itu cepat menengok dan memberi hormat kepada hwesio bertubuh gemuk seperti Ji-lai-hud.
Hwesio yang mulutnya sudah tidak bergigi lagi itu, yang tubuhnya gendut dan mukanya selalu tersenyum lebar, adalah Kong Hwi Hosiang, hwesio perantau yang sakti.
"Suhu......!"
Dua orang gadis itu mengangkat kedua tangan depan dad memberi hormat.
"Omitohud! Kui Lan dan Kui Bi pinceng melihat bahwa kalian telah berhasil baik dan sekarang sudah tiba saatnya bagi kalian untuk meninggalkan kuil Thian-bun-tang, kecuali kalau kalian berdua ingin menjadi biarawati!"
Kakak beradik itu saling pandang, kemudian Kui Bi mewakili encinya berkata.
"Suhu, teecu berdua tidak ingin menjadi biarawati!"
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo