Pedang Awan Merah 10
Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
"Harap maafkan kami, taihiap dan lihiap, kami mengaku bersalah."
Leng Si hanya mendengus saja dan San Ki berkata.
"Sudahlah, harap saja lain kali jangan suka menggangu orang."
Pembesar itu lalu berkata kepada pengawalnya.
"Gusur mereka dan beri cambukan dua puluh kali!"
Empat orang itu lalu dibawa pergi oleh pasukan pengawal. Pembesar itu lalu berkata kepada San Ki dan Leng Si.
"Harap ji-wi ketahui bahwa kami adalah Gubernur Coan dari Nan-yang. Kami sangat menghargai orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan melihat kegagahan ji-wi, kami merasa kagum bukan main. Oleh karena itu, kami mengundang ji-wi untuk naik kereta ini dan bersama kami datang berkunjung untuk bertukar pikiran."
Sebetulnya kedua orang itu merasa tidak senang untuk berkenalan dengan seorang pembesar tinggi, akan tetapi karena Gubernur Coan itu dengan hormat mengundang mereka, maka merekapun merasa tidak enak kalau menolak. Kini Leng Si yang bicara, suaranya hormat akan tetapi tegas.
"Banyak terima kasih atas undangan taijin. Akan tetapi kami masih ada urusan, oleh karena itu harap paduka pulang dulu dan lain hari kamu berdua akan datang menghadap."
Gubernur Coan menghela napas panjang, lalu mengangguk-angguk. Agaknya dia sudah mengenal watak yang aneh-aneh dari para pendekar.
"Baiklah, lihiap. Kunjungan ji-wi selalu kunantikan."
Dia lalu memasuki kembali keretanya dan berjalanlah kereta itu meninggalkan Leng Si dan San Ki. Para penonton pada bubaran dan peristiwa itu menjadi bahan cerita mereka sampai berbulan-bulan.
"Sungguh pertemuan kita ini luar biasa sekali!"
Kata San Ki kepada Leng Si ketika mereka memasuki kembali rumah makan itu untuk bercakap-cakap tanpa gangguan.
Leng Si tersenyum memandang wajah yang jantan itu.
"Gara-gara keceriwisanmu maka kita dapat bertemu dan bersama-sama menghadapi pengeroyokan pasukan dan bahkan menemukan kenyataan bahwa kita saudara seperguruan."
Berkata demikian itu Leng Si sambil tersenyum dan tidak nampak marah.
"Ceriwis? Aku ceriwis? Aih, kenapa? Karena semua meja penuh dan engkau makan seorang diri, dan akupun sudah minta ijin kepadamu dan engkau sudah memperbolehkan dan..."
"Sudahlah. Bagaimanapun juga, hal itu menguntungkan, bukan. Kalau tidak begitu, kita tidak akan saling mengenal. Akupun baru mendengar namanya saja gurumu yang bernama Pek Mau Siankouw itu, mendengar dari subo. Siapa sih namamu?"
"Ah, aku lupa belum memperkenalkan diri. Namaku Gu San Ki, yatim piatu dan sebatang kara maka aku diangkat murid oleh subo dan dianggap seperti anak sendiri. Dan siapakah namamu, sumoi?"
"Orang kang-ouw menyebut aku Jeng I Sianli, namaku Cu Leng Si."
San Ki nampak terkejut.
"Ahh, jadi yang disebut Jeng I Sianli itu adalah engkau? Pantas...! namamu terkenal sekali, sumoi, dan aku sungguh kagum kepadamu."
"Ki-suheng, sekarang engkau tinggal di mana, dan engkau datang dari mana hendak ke mana?"
"Aku masih tinggal bersama subo. Subo sudah tua dan tidak ada yang mengurusnya. Tadinya ada sumoi Ji Kiang Bwe yang mengurus subo, akan tetapi setelah sumoi kembali kepada orang tuanya, apa lagi sekarang telah menikah, maka terpaksa akulah yang menjaga dan merawat subo. Aku sedang dalam perjalanan mencari suami dari sumoi yang... pergi merantau."
"Dan isterimu? Sudah berapa orang puteramu, suheng?"
San Ki menghela napas panjang.
"Aku belum menikah, sumoi. Siapa sih yang mau menjadi isteri seorang melarat seperti aku ini? Oya, dan engkau sendiri, sumoi? Di mana engkau tinggal dan dengan siapa? Ke mana engkau hendak pergi?"
"Aku mempunyai tempat tinggal di lereng Taihang-san, tinggal seorang diri saja bersama beberapa orang pengikut dan pembantu rumah. Aku belum berkeluarga pula, suheng. Aku sedang merantau meluaskan pengalaman. Juga... aku sedang berusaha untuk membebaskan ayahku yang ditahan oleh Kaisar."
"Ahh? Kenapa, dan di mana ayahmu?"
"Ayahku bernama Cu Kiat Hin dan dia menjadi pejabat bagian perpustakaan istana. Karena dia berani menentang seorang thaikam penkilat Kaisar yang korup, maka dia difitnah oleh thaikam itu dan ditangkap."
"Hemm, kalau begitu mari kita berdua datangi thaikam itu dan memberi hajaran kepadanya, memaksa padanya untuk membebaskan ayahmu!"
Kata San Ki penuh semangat.
Hangat rasa hati Leng Si melihat sikap San Ki yang membela itu.
"Terima kaish, suheng. Akan tetapi sekarang ada seseorang yang sedang pergi kepada Kaisar dan akan menyelamatkan ayahku."
"Siapa dia?"
"Namanya Sia Han Lin. Dialah yang menemukan Ang-in-po-kiam dari istana dan dia akan menyerahkan kembali pedang itu kepada Kaisar yang sudah menjanjikan hadiah besar kepada siapa yang menemukan pedang itu. Nah, Sia Han Lin itu kini ditemani sumoiku untuk menghadap Kaisar dan mintakan ampun untuk ayahku."
"Sumoimu?"
"Subo mempunyai seorang puteri yang bernama Lie Cin Mei, berjuluk Kwan Im Sianli. Ialah sumoiku."
"Ah, aku sudah mendengar tentang Kwan Im Sianli. Bukankah yang memiliki kepandaian mengobati? Kiranya ia puteri bibi guru Wi Wi Siankouw? Subo pernah bercerita bahwa bibi guru mempunyai anak perempuan, akan tetapi subo sendiri tidak tahu namanya. Jadi ia bersama... siapa tadi, Sia Han Lin, kini pergi ke kota raja untuk menyerahkan pedang yang menghebohkan dunia kang-ouw itu dan mintakan agar ayahmu dibebaskan?"
"Benar, suheng."
"Ah, aku ingat sekarang. Undangan Gubernur Coan itu mungkin berguna bagimu. Bukankah seorang gubernur itu dekat dengan Kaisar dan menjadi kepercayaan atau wakil Kaisar untuk memimpin dan menguasai daerah yang luas sekali? tidak ada buruknya kalau kita mengunjungi dia dan siapa tahu dia dapat pula menolong ayahmu."
"Sebetulnya aku tidak suka berkenalan dengan segala macam pembesar, akan tetapi mengingat sikapnya yang baik, dan mengingat ucapanmu tadi, memang sebaiknya kalau kita pergi ke sana untuk mendengar apa yang akan dibicarakan."
Keduanya lalu membayar makanan dan meninggalkan rumah makan itu, lalu melakukan perjalanan menuju ke Nan-yang. Mereka tidak saling berjanji, tidak saling bersepakat, akan tetapi pergi berdua begitu saja seolah-olah hal itu sudah semestinya. Baru sekali ini mereka saling menemukan kawan baru yang cocok. Mereka masih terhitung saudara seperguruan, keduanya belum menikah dan keduanya saling tertarik dan saling kagum.
Gubernur Coan menyambut dengan gembira dan juga dengan sikap menghormat. Mereka segera dipersilakan memasuki kamar tamu yang luas dan dijamu dengan hidangan mewah sedangkan semua pengawal diperintahkan keluar oleh sang gubernur. Bukan itu, saja, bahkan Gubernur Coan memanggil isteri-isterinya dan tiga orang puteranya untuk ikut mendampinginya menjamu dua orang muda itu. Jelas bahwa dia amat menghormati tamunya dan menganggap mereka seperti tamu agung atau keluarga sendiri.
Setelah perjamuan selesai dia mengajak mereka berdua untuk masuk ke ruangan dalam dan di dalam sebuah kamar baca, sang gubernur mengajak mereka berdua itu bicara bertiga saja, tidak dihadiri orang lain.
"Nah, di sini kita dapat bicara dengan santai dan bebas,"
Katanya kepada Leng Si dan San Ki yang merasa aneh akan sikap tuan rumah yang demikian ramah dan manisnya.
"Paduka telah mengundang kami dan menerima kami dengan baik sekali, taijin,"
Kata San Ki.
"Sebetulnya apakah yang hendak taijin sampaikan kepada kami atau mungkin taijin menghendaki sesuatu dari kami?"
Gubernur Coan tertawa.
"Ha-ha, kami memang suka bergaul dengan para pendekar dan kami kagum sekali atas kelihaian ji-wi. Sayang sekali kalau tenaga yang demikian hebat seperti ji-wi tidak dimanfaatkan untuk negara dan bangsa."
"Hemm, apakah penguasa dapat menghargai tenaga rakyat jelata?"
Kata Leng Si penuh penasaran.
"Penguasa lebih suka mendengarkan bujukan manis dan penjilatan para pembesar korup dari pada mendengarkan nasihat pejabat yang baik. Kaisar sekarangpun tidak adil terhadap pejabatnya yang baik."
Tiba-tiba Leng Si yang treingat akan ayahnya berkata, agak ketus.
Akan tetapi gubernur itu tidak marah.
"Ahh, agaknya lihiap mempunyai penasaran. Kalau memang banyak terdapat penjilat dan pembesar korup, justeru ini merupakan tugas orang-orang gagah seperti lihiap untuk memberantasnya! Katakanlah, lihiap, penasaran apa yang lihiap rasakan? Apakah karena sikap kurang ajar dari perwira itu? Dia sudah minta maaf dan dia sudah dihukum cambuk."
"Bukan dia, taijin. Dia itu merupakan urusan kecil yang tidak ada artinya. Akan tetapi Sribaginda Kaisar!"
Gubernur itu nampak terkejut atas keberanian wanita itu memburukkan nama Kaisar, di depan dia lagi.
"Ada apakah, lihiap?"
"Kaisar lebih mendengarkan bujuk rayu manis dari para thaikam yang berhati palsu dari pada ucapan yang jujur dari pejabatnya yang setia."
"Maksud lihiap, apakah yang telah terjadi?"
"Ayah saya adalah seorang pejabat perpustakaan istana, dan karena dia berani menentang kekuasaan thaikam penjilat yang lalim, thaikam itu melemparkan fitnah kepadanya dan Sribaginda Kaisar malah menyuruh tangkap ayah saya."
"Ah, itu penasaran sekali!"
Kata gubernur dan suaranya terdengar penuh semangat.
"Siapakah nama ayah nona itu?"
"Ayahku bernama Cu Kiat Hin!"
"Ah, kiranya Cu-taijin itu ayah lihiap? Saya juga pernah mendengar urusan yang penasaran itu dan sampai sekarang ayah nona menjadi tahanan di rumah Kiu Thaikam, akan tetapi jangan khawatir, semua itu mungkin hanya kesalah pahaman di pihak Kui-thaikam. Saya mengenal baik Kui-thaikam dan saya akan dapat minta kepadanya agar membebaskan ayah nona."
"Terima kasih, taijin, kalau taijin dapat mengeluarkan ayahku dari tahanan, saya akan berterima kasih sekali."
"Jangan khawatir, lihiap. Eh, ya, siapakah nama lihiap dan siapa pula nama taihiap?"
"Nama saya Cu Leng Si, taijin. Dan ini suhengku bernama Gu San Ki."
"Gu-taihiap dan Cu-lihiap, urusan Cu-taijin itu serahkan saja kepadaku. Kami tanggung dalam waktu singkat ayah lihiap itu akan dapat dibebaskan. Memang Sribaginda Kaisar terlalu lemah dan menjadi kewajiban kita untuk mengubah keadaan ini."
Dua orang muda itu terkejut. Ucapan itu berbau pemberontakan! "Apa yang taijin maksudkan?"
Tanya San Ki.
"Bukankah kalau sebuah pemerintahan itu tidak baik dan merugikan rakyat, sudah sepatutnya kalau diubah, dirombak dan diganti? Nah, itulah yang kami maksudkan, apakah ji-wi merasa tidak setuju?"
"Tentu saja kami setuju sekali!"
Jawab Leng Si dengan spontan karena dara ini memang merasa jengkel dan marah karena ayahnya ditangkap dan ditahan.
Jawaban yang keras in disambut Gubernur Coan dengan gembira dan dia mengajak mereka berdua mengangkat cawan arak untuk persamaan pendapat itu.
"Bagaimana kalau untuk tujuan mulia ini ji-win bekerja kepadaku? Kami membutuhkan orang-orang gagah yang patriotik, yang suka membela rakyat seperti ji-wi ini, untuk menumpas pejabat yang menindas rakyat jelata. Bagaimana pendapat ji-wi?"
Leng Si dan San Ki saling pandang dan keduanya sangsi dan ragu-ragu. Kemudian, dengan cerdik Leng Si berkata.
"Taijin, karena urusan ini gawat dan penting sekali, maukah taijin memberi kesempatan kepada kami berdua untuk berunding lebih dulu sebelum memberikan jawabannya?"
Gubernur Coan tertawa.
"Tentu saja, bahkan bagus sekali. untuk memutuskan suatu urusan penting haruslah dirundingkan semasak-masaknya. Bagaimana kalau malam ini ji-wi bermalam di sini. Selama menginap di sini, ji-wi dapat berunding berdua dan baru pada keesokan harinya memberi keputusan kepada kami?"
"Baik, taijin."
Gubernur itu lalu memanggil pelayang dan diperintahkan pelayan untuk mempersiapkan dua buah kamar untuk mereka. Kemudian dia memesan pula kepada pelayan agar dua orang tamu itu dilayani sebaik mungkin.
"Nah, sampai besok, taihiap dan lihiap. Kami masih mempunyai banyak urusan yang harus diselesaikan."
"Silakan, taijin. Sampai besok!"
Kata Leng Si dan San Ki.
Malam itu, setelah memeriksa dengan teliti bahwa ruangan di depan kamar mereka tidak ada orang lain dan percakapan mereka tidak dapat didengarkan oleh orang lain, San Ki dan Leng Si bercakap-cakap dan berunding.
"Bagaimana pendapatmu, Ki-suheng?"
Tanya Leng Si setelah mereka berada berdua saja.
"Hemm, aku mencium sesuatu yang busuk, berbau pemberontakan, sumoi."
"Akupun demikian, suheng. Dan kita bukanlah keturunan pemberontak. Aku tidak sudi diperalat oleh pembesar yang agaknya menghendaki pemberontakan."
"Benar, kita sependapat, sumoi. Menurut pembicaraannya, agaknya gubernur ini membenci atau setidaknya tidak suka kepada Kaisar. Bahkan dia mengatakan bahwa dia mengenal baik thaikam Kui. Aku jadi curiga atas sikapnya yang ramah dan bersahabat itu. Jelas bahwa dia agaknya hendak mempergunakan kita, sumoi."
"Aku sendiri tidak pernah mendendam kepada Kaisar, suheng, biarpun ayahku ditangkap. Aku mengerti bahwa ini adalah ulah Kui-thaikam. Kaisar memang lemah, bukan berarti Kaisar jahat. Lalu apa yang harus kita lakukan, suheng?"
"Hanya ada dua pilihan bagi kita, sumoi. Pertama, kita tolak mentah-mentah ajakannya untuk bekerja untuk dia dan kita pergi dari sini. Kedua, kita terima uluran tangannya, dan kita pura-pura bekerja untuknya, akan tetapi sesungguhnya itu untuk menyelidiki apa yang sesungguhnya hendak diperbuat. Agar kalau benar dia merencanakan pemberontakan seperti yang kita duga, kita dapat melakukan sesuatu untuk membela kerajaan."
Leng Si mengangguk-angguk kagum.
"Engkau benar, dan aku setuju memilih yang kedua itu, hitung-hitung sebagai petualangan yang menarik. Bagaimana pendapatmu kalau kita terima saja uluran tangannya itu? Siapa tahu, kalau Han Lin dan sumoi sampai gagal membebaskan ayahku, dengan bantuan gubernur ini ayahku dapat dibebaskan."
"Akan tetapi kalau begitu kita berhutang budi kepadanya, sumoi."
"Benar, akan tetapi hutang budi bukanlah harus dibalas dengan membantu pemberontakan. Sudahlah, soal ayahku begaimana nanti sajalah. Yang penting, kita sudah sepakat unutk menerima uluran tangannya. Kita harus selalu waspada dan bekerja sama. Kita tolak kalau disuruh melakukan kejahatan atau yang sifatnya pemberontakan."
"Baik, sumoi. Aku setuju dan aku girang sekali bertemu dengan engkau dan dapat bekerja sama seperti ini."
"Aku juga girang sekali, suheng."
Keduanya saling bertemu pandang dan keduanya merasa bahwa telah terjalin keakraban dan kecocokan satu sama lain. Akan tetapi San Ki teringat kepada Ji Kiang Bwe dan dia mengerutkan alisnya sambil menarik napas panjang.
Leng Si yang memperhatikannya melihat perubahan pandang mata itu. Pandang mata itu tadinya begitu mesra dan bahagia ketika memandangnya, dan tiba-tiba saja mata itu termenung dan alis itu berkerut ditambah tarikan napas panjang tanda bahwa hati pemuda itu terganggu sesuatu.
"Ada apakah, Ki-suheng? Engkau kelihatan berduka."
"Aku tiba-tiba saja teringat akan urusan yang menimpa diriku, yang sangat memusingkan hatiku, sumoi."
"Ada urusan apakah, suheng? Atau merupakan rahasia pribadimu yang tidak boleh diungkapkan kepada orang lain?"
"Memang urusan pribadi yang tidak boleh dketahui orang lain, akan tetapi kepadamu aku tidak dapat merahasiakannya, sumoi. Entah mengapa, timbul kepercayaan besar dalam hatiku terhadapmu. Baiklah, kau dengarlah masalahku yang memusingkan hatiku."
San Ki lalu bercerita tentang Ji Kiang Bwe dan suaminya, Souw Kian Bu. Betapa dia datang berkunjung kepada sumoinya yang seperti adiknya sendiri itu, dan ketika mereka bertemu dengan suasana akrab, suami sumoinya itu menjadi cemburu dan kini suami sumoinya itu lari pergi meninggalkan rumah dengan marah.
"Aih, mengapa dia begitu pencemburu? Terus terang saja, suheng, apakah ada apa-apa antara engkau dengan sumoimu itu?"
"Sumoi, sudah kukatakan tadi bahwa kepadamu aku tidak dapat menyimpan rahasia. Biarlah engkau ketahui semuanya walaupun hal ini merupakan rahasia pribadi, bahkan rahasia hatiku. Tidak kusangkal bahwa dahulu, ketika kami masih sama-sama menjadi murid subo Pek Mau Siankouw, aku telah jatuh cinta kepada sumoi Ji Kiang Bwe. Akan tetapi karena ia hanya menyayangiku sebagai kakak sendiri, akupun tidak berani menyatakan cintaku, sampai ia kembali ke Kim-kok-pang bahkan menjadi ketuanya. Sejak itu, tentu saja aku jauh darinya dan baru setelah berpisah bertahun-tahun, aku berkunjung kepadanya. Akan tetapi siapa mengira, hal itu bahkan menjadikan terjadinya malapetaka bagi sumoi. Suaminya merasa cemburu dan meninggalkannya pergi. Aku merasa bersalah, sumoi, karena itu aku pergi ini sebetulnya untuk mencari Souw Kian Bu, suami dari sumoi."
Leng Si menghela napas panjang. Ia tidak kecewa mendengar masa lalu pemuda yang dikaguminya itu, karena bukankah ia sendiri juga pernah jatuh cinta kepada Han Lin?
"Memang tidak enak sekali kalau kita bertepuk tangan sebelah dalam urusan cinta..."
Katanya.
San Ki segera berkta.
"Walaupun dahulu aku pernah jatuh cinta kepada sumoiku, setelah ia menikah dengan sendiri tidak ada sedikitpun pikiran yang bukan-bukan dalam hatiku. Aku bukanlah orang macam itu, Si-sumoi. Setelah suami sumoiku pergi, aku bersumpah kepadanya untuk mencari dan membawa pulang kepadanya suaminya itu."
"Memang itu baik sekali, Ki-suheng. Setidaknya membuktikan bahwa engkau memang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan sumoi Ji Kiang Bwe itu. Suaminya itu orang macam apakah, begitu pencemburu?"
"Dia seorang yang gagah perkasa, sumoi. Souw Kian Bu adalah seorang pendekar muda yang telah membuat nama besar dengan sepak terjangnya yang gagah perkasa."
"Akan tetapi dia pencemburu, tanda bahwa dia tidak mampu menguasai nafsunya sendiri. Aku akan membantumu, suheng. Kalau bertemu dengan dia, demi sumoi Ji Kiang Bwe, aku akan memaki-makinya dan mengingatkannya bahwa isterinya sama sekali tidak bersalah, bahwa cemburunya itu tidak berdasar dan bodoh sekali."
Pada keesokan harinya, mereka berdua menghadap Gubernur Coan yang menyambut mereka dengan ramah dan memerintahkan orangnya untuk menghidangkan santapan apgi untuk mereka. Setelah makan pagi yang ditemani sendiri oleh Gubernur Coan bertanya.
"Bagaimana, ji-wi sudah mengambil keputusan mengenai tawaran kami kemarin?"
San Ki memang sudah menyerahkan kepada sumoinya untuk menjadi wakil pembicara, karena sumoinya itu memang lebih pandai bicara.
"Sudah, taijin. Kami telah membicarakan semalam. Setelah kami mempertimbangkannya masak-masak, maka kami anggap bahwa pendapat taijin itu benar dan kami bersedia unutk membantu taijin. Apakah tugas yang diberikan taijin kepada kami?"
"Untuk sementara, biarlah kalian menjadi pengawal pribadi kami. Kebetulan hari ini kami hendak mengunjungi rapat pertemuan yang teramat penting, yang sehubungan dengan niat kita untuk mengubah keadaan. Karena itu, kalain harap suka menjadi pengawalku dan ikut hadir pula dalam pertemuan agar kalian mengerti apa yang harus dilakukan."
Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
San Ki dan Leng Si saling lirik dan Leng Si berkata.
"Baik, taijin kami gembira sekali dapat bekerja untuk taijin."
Demikianlah, mulai hari itu kedua kakak beradik seperguruan itu bekerja pada Gubernur Coan, mendapatkan kamar untuk masing-masing di bagian belakang gedung gubernur itu. Dan pada hari itu juga, setelah hari menjadi malam, gubernur mengajak mereka pergi, akan tetapi kepergian gubernur ini tidak resmi. Buktinya dia berjalan kaki, tidak naik kereta dan juga mengenakan pakaian seperti penduduk biasa! Gubernur Coan pergi dengan menyamar dan ketika San Ki dan Leng Si mengikutinya, mereka pergi ke sebuah rumah penginapan besar yang berada di kota Nan-yang, bahkan masuk dari pintu belakang. Penjaga pintu belakang hotel itu agaknya sudah tahu karena dia hanya membungkuk-bungkuk dengan hormat dan mempersilakan Gubernur Coan dan dua orang pengikutnya masuk ke dalam ruangan luas yang tertutup. Dan ternyata di situ telah berkumpul beberapa orang yang tidak dikenal San Ki. Akan tetapi ketika Leng Si melihat tiga orang kakek yang juga berada di situ bersama orang-orang lain, ia terkejut. Mereka itu adalah Sam Mo-ong! Ada urusan apa tiga orang datuk sesat yang ia tahu bekerja untuk kepala suku Mongol itu hadir di tempat ini, di tengah kota Nan-yang dalam sebuah pertemuan rapat yang dihadiri Gubernur Coan?
Juga Sam Mo-ong mengenal Jeng I Sianli Cu Leng Si, maka mereka merasa tidak enak sekali. Akan tetapi Leng Si datang sebagai pengikut Gubernur Coan, merekapun diam saja, pura-pura tidak mengenalnya.
Yang hadir di situ adalah Kwan-ciangkun, panglima berusia lima puluh tahun bermuka merah yang gagah, kepala pasukan di Lok-yang dan mengepalai pasukan yang kuat dan besar jumlahnya. Dia hadir bersama dua orang panglima bawahannya yang juga menjadi semacam pengawalnya dan Sam Mo-ong ternyata datang sebagai pengikut seorang yang gendut pendek berusia lima puluh lima tahun, pakaiannya seperti seorang pembesar dalam istana dan dia ini bukan lain adalah Kui-thaikam, yang mengepalai seluruh thaikam di istana.
Kui-thaikam yang lebih dulu memperkenalkan tiga orang pengikutnya ini dengan bangga kepada Kwan-ciangkun dan Gubernur Coan.
"Kwan-ciangkun dan Coan-taijin, perkenalkan tiga saudara ini. Mereka adalah Sam Mo-ong seperti yang pernah saya bicarakan. Yang ini adalah Hek-bin Mo-ong, dan yang ini Pek-bin Mo-ong. Yang di sana itu adalah Kwi-jiauw Lo-mo dan mereka sudah menunjukkan surat kepercayaan dari Ku Ma Khan."
Sam Mo-ong cepat bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada semua orang. Kini tiba giliran Gubernur Coan memperkenalkan dua orang pengikutnya.
"Ini adalah dua orang pembantuku yang baru, harap dikenal baik karena mereka ini adalah orang-orang yang sudah kami percaya dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Nona ini bernama Cu Leng Si dan ini adalah suhengnya bernama Gu San Ki. Mereka telah menyatakan hendak membantu kita semua memperbaiki keadaan negara yang kacau karena lemahnya pemerintahan ini."
Seperti yang dilakukan oleh Sam Mo-ong, Gu San Ki dan Leng Si yang memandang kepada semua orang segera bangkit berdiri dan memberi hormat. Diam-diam Leng Si memperhatikan orang yang berpakaian thaikam gendut itu karena ia sudah dapat menduga bahwa orang gendut yang matanya tajam seperti mata burung rajawali itu tentulah thaikam yang terkenal berkuasa itu, yaitu orang yang menyebabkan ayahnya ditangkap!
Gubernur Coan cukup cerdik untuk tidak membicarakan dulu tentang ayah Leng Si yang ditangkap itu, akan tetapi segera membicarakan persoalan yang lebih umum dan penting.
"Sekarang kita telah berkumpul, apa yang hendak kita bicarakan lebih dulu, Kui-taijin?"
"Benar, kita harus membicarakan hal-hal yang terpenting dulu, agar kedatangan kita dari jauh tidak sia-sia dan dapat menentukan langkah selanjutnya yang harus diambil,"
Kata Kwan-ciangkun yang datang dari Lok-yang.
Dari pertanyaan gubernur dan panglima itu saja mudah diketahui bahwa kendali persekutuan ini berada di tangan Kui-thaikam! Dialah yang akan memimpin rapat dan menentukan langkah. Dan hal ini tidak aneh karena dia ang berada di istana dan tahu akan segala keadaan di istana.
"Pertama-tama setelah memperkenalkan Sam Mo-ong kepada ji-wi, kita ingin membicarakan pesan dari Ku Ma Khan yang dibawa oleh mereka. Nah, Sam Mo-ong. Sekarang jelaskan untuk kedua kalinya pesan itu kepada Gubernur Coan dan Kwan-ciangkun, juga kepada yang lain-lain."
Kwi-jiauw Lo-mo yang menjadi pemimpin dari Sam Mo-ong, segera melirik ke arah Leng Si dan berkata.
"Harap maafkan kami, Kui-taijin, akan tetapi kami merasa tidak enak dan tidak aman kalau bicara di depan orang-orang yang kalau bukan benar-benar berada di pihak kita, kelak bahkan akan dapat mencelakakan kita sendiri."
Kwan-ciangkun mengerutkan alisnya.
"Apa yang dimaksudkan oleh Kwi-jiauw Lo-mo? Apakah tidak percaya kepada kami? Dua orang pengikut kami adalah dua orang panglima bawahan kami yang terpercaya!"
"Maaf, ciangkun. Tentu saja bukan kedua ciangkun itu yang saya maksudkan."
"Ahh, agaknya Sam Mo-ong tidak percaya kepada kedua orang pengikutku yang baru ini? Kalau kalian tidak percaya kepada mereka, sama saja hendak mengatakan bahwa kalian tidak percaya kepadaku!"
Kata Gubernur Coan dengan wajah berubah merah.
"Maafkan, taijin. Tentu saja saya tidak bermaksud demikian, akan tetapi sebaiknya kita berhati-hati karena kebetulan sekali saya mengenal wanita ini yang berjuluk Jeng I Sianli!"
Leng Si bangkit berdiri.
"Kwi-jiauw Lo-mo, perlu apa mengusik dan menyebut-nyebut urusan pribadi? Urusan pribadi tidak perlu dibawa-bawa ke dalam perundingan mengenai negara! Atau, apakah perlu aku membongkar semua rahasia pribadi Sam Mo-ong yang terkenal busuk jahat dan banyak melakukan hal-hal yang memuakkan di dunia kang-ouw dan persilatan? Kalau memang begitu kehendakmu, hayo kita saling membongkar rahasia pribadi. Aku hendak melihat kejahatan apa yang pernah dilakukan Jeng I Sianli dan kejahatan apa yang pernah dilakukan Sam Mo-ong!"
Mendengar ledakan ini, tentu saja Sam Mo-ong menjadi gentar. Bagaimanapun juga, tadinya mereka hanya ingin berhati-hati karena mereka tidak mempercayai Jeng I Sianli yang pernah membantu Sia Han Lin, musuh besar mereka. Dan mereka memang tidak dapat membongkar rahasia pribadi Leng Si karena memang belum pernah Jeng I Sianli melakukan kejahatan. Sedangkan mereka bertiga, memang mereka tidak pernah pantang melakukan apa saja.
Mendengar ucapan Leng Si yang demikian berkobar. Gubernur Coan menjadi tidak enak juga.
"Sam Mo-ong, harap tidak membicarakan urusan pribadi. Nona Cu Leng Si adalah orang kepercayaanku, maka kalian boleh bicara secara terbuka, dan nona ini adalah tanggung jawabku!"
"Baiklah, kalau Coan-taijin berkata demikian. Kamipun tidak hendak menimbulkan urusan pribadi, hanya hendak bersikap hati-hati saja, demi kebaikan ciangkun dan taijin sendiri. Nah, seperti telah kami laporkan kepada Kui-taijin, kami datang diutus oleh raja kami Ku Ma Khan untuk mempererat hubungan kita. Raja kami telah mengirim beberapa puluh kati emas sebagai sumbangan agar pergerakan yang diatur cu-wi berjalan lancar. Juga raja kami telah mempersiapkan pasukan di perbatasan, supaya kalau sewaktu-waktu dibutuhkan dapat segera maju menolong lancarnya gerakan kalian. Raja kami juga menyatakan kagum dan penghargaan atas usaha kalian yang hendak membersihkan pemerintahan, agar dapat menjalin hubungan dengan bangsa kami dan tidak menimbulkan perang yang hanya akan meyengsarakan rakyat jelata."
Kwan-ciangkun dan Coan-taijin mengangguk-angguk. Memang, bangsa Mongol yang dipimpin Ku Ma Khan itu mendatangkan kesulitan besar, dan penyerbuan mereka dari utara dan barat mengganggu sekali kesejahteraan pemerintahan. Andaikata Kaisar diganti sekalipun, kalau masih ada gangguan itu tentu tidak akan ada kedamaian, maka kalau dapat berdamai dengan bangsa Mongol, maka hal itu akan baik sekali. Dan usaha berdamai dengan bangsa Mongol ini memang telah dirintis oleh Kui-thaikam sejak lama dan baru sekarang ini, dengan perantaraan Sam Mo-ong, hubungan langsung dapat dilakukan.
"Benar, seperti yang dilaporkan Sam Mo-ong,"
Kata Kui-thaikam.
"Bingkisan emas itu telah kami terima dan kami simpan untuk penambahan biaya persiapan gerakan kita. Dan tentang bantuan pasukan, mungkin saja kita perlukan kalau-kalau para panglima di Tiang-an dan perbatasan akan mengadakan perlawanan. Kami memang telah berhasil menghubungi para panglima, akan tetapi para panglima tua sukar sekali dibujuuk dan masih tetap setia kepada Kaisar yang lemah itu."
"Kalau para panglima di Lok-yang tidak perlu dikhawatirkan karena semua telah sepakat untuk membantu gerakan kita,"
Kata Kwan-ciangkun dengan tegas.
"Juga di Nan-yang ini dapat dikuasai dengan mudah karena pasukan di Nan-yang tidaklah begitu kuat dan kami akan mengunjungi dan membujuk para komandan pasukan di selatan. Setelah kami sekarang memiliki dua orang pembantu yang dapat diandalkan ini, kami merasa lebih leluasa bergerak dan merekahlah yang akan kami utus mengunjungi dan mengadakan kontak dengan para komandan pasukan di selatan."
"Bagus, kalau begitu masng-masing membagi tugas. Sam Mo-ong harap kembali dan melapor kepada Ku Ma Khan tentang pertemuan ini, dan agar segera pasukan di perbatasan itu diperkuat dan dipersiapkan. Akan tetapi harap menanti datangnya utusan dan jangan sembarangan bergerak kalau belum ada pemintaan dari kami."
"Baik, taijin, akan kami sampaikan kepada raja kami,"
Kata Kwi-jiauw Lo-mo.
"Dan Kwan-ciangkun harap memperkuat pasukan di Lok-yang sehingga kalau kami sudah memberi isyarat, dapat melakukan gerakan menuju ke kota raja."
"Baik, jangan khawatir, taijin, kami memang sudah mempersiapkan segalanya."
"Dan Coan-taijin, kamu harap suka lebih banyak mengadakan hubungan dengan para pejabat, karena makin banyak yang mendukung usaha kita akan lebih lancar."
"Siap, taijin. Akan tetapi bagaimana dengan gerakan di istana?"
"Hal ini adalah tugasku. Kita sudah membagi tugas dan urusan dengan Kaisar menjadi tugas utamaku. Serahkan saja kepadakuu dan kalau usaha itu berhasil, berarti kalian harus membuat gerakan serentak. Nah, kita sudah cukup bicara, sampai dalam pertemuan mendatang. Kalian akan menerima undangan dariku, untuk menentukan tempat pertemuan itu."
Semua orang menyatakan setuku dan pertemuan itupun dibubarkan tanpa ada yang mengetahui bahwa di bagian dalam hotel itu baru saja diadakan pertemuan penting dan perundingan orang-orang yang hendak memberontak terhadap Kaisar Thai Tsung.
Setelah mengiringkan Gubernur Coan pulang ke rumah sendiri, tentu saja Leng Si dan San Ki segera mengadakan perundingan sendiri.
"Wah, gawat, suheng. Seperti yang kukhawatirkan, Gubernur Coan merencanakan pemberontakan bersama sekutunya. Bahkan yang menjadi pimpinan adalah Kui-thaikam yang menjebloskan ayah ke dalam penjara! Apa yang harus kita lakukan sekarang, suheng?"
"Tenanglah, sumoi. Kita tidak boleh gegabah, tidak boleh tergesa, harus menanti saatnya yang baik. Kalau kita sekarang tergesa, apa yang dapat kita lakukan? Melapor kepada Kaisar? Tidak ada buktinya dan bahkan kita yang dapat ditangkap Kaisar dan dituduh melakukan fitnah besar-besaran."
"Akan tetapi kita tidak boleh tinggal diam. Sudah jelas sekali kehendak thaikam itu walaupun tidak dia jelaskan. Tindakan apa terhadap Kaisar yang akan dia lakukan? Tentu hendak membunuh Kaisar dan menggantikannya dengan calon lain, mungkin seorang di antara para pangeran yang diperalatnya!"
"Kurasa demikian, akan tetapi kita harus berhati-hati. Kurasa tidak ada jalan lain kecuali menghubungi pejabat atau panglima di kota raja yang masih setia kepada Kaisar. Kalau saja kita mengenal panglima yang masih setia dan yang menguasai pasukan..."
"Ah, aku ingat, suheng. Ayah mempunyai seorang sahabat baik, yaitu Panglima Lo. Menurut ayah, kini yang tidak pernah korupsi dan tetap setia kepada Kaisar tidaklah banyak, akan tetapi di antara mereka yang paling menonjol adalah Panglima Lo. Karena kesetiaannya dan kejujurannya itulah maka dia selalu tergeser dan kedudukannya menjadi tidak penting, tidak menguasai pasukan besar. Akan tetapi kukira dialah yang paling tepat untuk dipercaya akan mampu menolong Kaisar kalau sampai benar thaikam gendut itu berniat tidak baik terhadap Kaisar."
"Baik, sumoi. Kau dengar bahwa kita akan diutus oleh Gubernur untuk menghubungi para pejabat. Bagaimana kalau kita mengusulkan agar kita mengunjungi para pejabat di kota raja dan membujuk mereka agar ikut dalam persekutuan busuk ini? Dengan demikian, kita akan mendapat kesempatan untuk mencari Lo-ciangkun."
"Bagaiman kalau dia tidak setuju dan tidak mengirim kita ke sana?"
"Ke manapun dia mengirim kita, atau setuju atau tidak dia, kita dapat saja diam-diam pergi ke kota raja mencari Lo-ciangkun, bukan? Bagaimanapun juga, kita sudah mengetahui rahasia persekutuan busuk itu."
"Baik, suheng."
Dan ternyata cocok dengan yang mereka inginkan, pada esok harinya, Gubernur Coan mengutus mereka untuk mengunjungi seorang pejabat tinggi di kota raja menyampaikan suratnya memperkenalkan mereka dan minta agar pejabat itu mendengarkan apa yang dipesankannya kepada mereka. Kemudian, gubernur itu memesan agar San Ki dan Leng Si membujuk pejabat tinggi bagian keuangan itu agar suka masuk ke dalam persekutuan mereka. Berangkatlah San Ki dan Leng Si dengan gembira ke kota raja. Mereka berdua melakukan perjalanan dengan hati senang, karena mendapatkan kesempatan untuk bergaul lebih akrab.
Sam Mo-ong pernah mencoba untuk mengacau dunia persilatan, mengadu domba antara partai-partai besar, akan tetapi semua usahanya gagal. Juga mereka gagal menyerang Beng-kauw, maka kini mereka melakukan usaha lain untuk membuat Kerajaan Tang menjadi semakin lemah. Mereka menyebar orang-orang mereka untuk memimpin gerombolan orang-orang jahat melakukan perampokan atau lain kejahatan. Pendeknya untuk mengacaukan rakyat untuk membuat keadaan menjadi tidak aman sehingga kelak kalau tiba saatnya, rakyat akan setuju untuk mengganti Kaisarnya yang dianggap tidak becus mengatur pemerintahan.
Pada suatu pagi di luar kota Lok-yang. Seorang gadis cantik jelita berjalan seorang diri. Ia masih muda, tidak akan lebih dari sembilan belas tahun usianya. Tubuhnya langsing dengan pinggang kecil dan pinggul besar, langkahnya gontai seperti seekor harimau betina, wajahnya bundar dengan kulit putih mulus. Sikapnya gagah dan berwibawa. Gadis cantik mani ini bukan lain adalah Yap Kiok Hwi, puteri ketua Cin-ling-pai.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kiok Hwi yang cantik ini jatuh hati kepada Han Lin dan ketika pemuda itu pergi, ia memberikan kalungnya kepada Han Lin dengan dalih bahwa kalau pemuda itu kehabisan biaya di perjalanan, kalung itu dapat dijual untuk penambah biaya. Setelah Han Lin pergi, Kiok Hwi merasa kesepian. Seolah-olah semangatnya terbawa pergi oleh pemuda yang dikaguminya itu. Ia dapat bertahan sampai setengah tahun, akan tetapi setelah selama itu tidak ada berita apa-apa dari pemuda yang dikasihinya, ia lalu mengambil keputusan untuk pergi merantau. Kepada ayahnya ia menyatakan hendak mengunjungi seorang pamannya yang tinggal di Lok-yang. Pamannya itu bernama Yap Gun dan membuka toko obat di sana karena Yap Gun selain ilmu silat, juga ahli pengobatan.
Demikianlah, ia meninggalkan Cin-ling-san melakukan perjalanan jauh seorang diri. Berkat ilmu silatnya yang tinggi, ia dapat mengatasi segala gangguan di dalam perjalanannya. Akan tetapo tentu saja ia tidak pernah berhenti bertanya-tanya orang tentang Sia Han Lin karena sesungguhnya kepergiannya ini untuk mencari pria yang dirindukannya itu! Ia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pemuda yang dirindukannya itu telah mengalami berbagai macam pengalaman hebat, bahkan terpaksa menikah di utara dengan Mulani, puteri Ku Ma Khan, kepala suku bangsa Mongol!
Dan pada pagi hari itu, ia berjalan dengan santai menuju ke Lok-yang dengan hati lemas karena selama ini ia tidak pernah mendengar sesuatu tentang Han Lin. Ia memasuki daerah yang berhutan dan kota Lok-yang masih sekitar dua puluj li dari tempat itu. Ia tidak tahu bahwa di tempat itu bersembunyi segerombolan penjahat yang menjadi satu di antara gerombolan bentukan Sam Mo-ong! Dan kebetulan sekali yang dipimpin oleh Tee-kui, orang kedua dari Thian Te Siang-kui yang kini dapat ditarik oleh Sam Mo-ong untuk bekerja kepada mereka.
Ketika Kiok Hwi sedang berjalan dengan santainya, tiba-tiba dari balik pohon dan semak belukar berlompatan tiga belas orang yang kelihatan buas dan liar. Mereka itu rata-rata bertubuh tinggi besar kokoh, tanda bahwa mereka memiliki tenaga yang kuat, berpakaian ringkas dan di punggung mereka nampak gagang golok. Ketika tiga belas orang ini melihat bahwa yang mereka hadang adalah seorang gadis yang cantik jelita, mereka semua segera tertawa-tawa menyeringai dengan sikap yang kurang ajar dan menjemukan sekali.
"Aduh, cantiknya seperti bidadari!"
"Ah, toako tentu akan senang sekali melihatnya!"
"Wah, kalau sudah jatuh ke tangan toako, kita tidak mungkin kebagian!"
"Ha-ha, nona manis membawa pedang di punggung, sungguh berani sekali mengadakan perjalanan seorang diri. Jangan-jangan ia lihai sekali!"
"Ha-ha, makin lihai semakin menarik. Aku tidak suka dengan wanita yang lemah."
"Kalau yang ini agaknya kuda liat, tentu toako akan gembira sekali."
"Hayo tangkap gadis ini! Toako tentu akan memberi hadiah."
Kiok Hwi mendiamkan saja mereka itu. Ia sudah terbiasa dengan godaan, dan tidak gentar menghadapi orang-orang kasar yang ia duga tentu segolongan perampok itu. Ia tidak tergesa-gesa menghajar mereka karena kelancangan mulut mereka yang tidak sopan, karena ia ingin mendengar kalau-kalau mereka itu mengetahui tentang Han Lin.
"Eh, sobat, perlahan dulu. Aku ingin bertanya kepada kalian, apakah kalian mengerti di mana adanya seorang pemuda bernama Sia Han Lin?"
"Heei, nona manis. Kenapa mencari yang namanya Sia Han Lin? Cari saja aku, namaku Bouw Mo Sin!"
Semua orang tertawa-tawa sampai bergelak.
Kiok Hwi mengerutkan alisnya. Orang-orang seperti ini tidak mungkin diajak bicara secara baik-baik.
"Kalau tidak ada yang tahu, sudahlah. Kalian pergi, jangan menggangguku atau aku akan marah dan tidak mengampuni kalian lagi!"
Ucapan ini mengandung ancaman, akan tetapi tiga belas orang yang biasa menggunakan kekerasan terhadap siapapun juga itu, mana takut menghadapi ancaman seorang gadis jelita berusia sembilan belas tahun kurang? Mereka menganggap gadis itu membual dan bergurau saja, maka mereka terkekeh-kekeh.
"Aduh, bidadari manis. Kami minta ampun!"
"Minta cium... ha-ha-ha!"
Marahlah Kiok Hwi.
"Singgg...!"
Pedang telah terhunus di tangannya dan pedang yang terbuat dari baja yang baik itu berkilauan saking tajamnya.
"Wah-wah-wah, benar berani perempuan ini. Hendak melawan kita? Ha-ha-ha! Hayo kawan, kita berlumba menangkap dan serahkan kepada toako!"
Belasan orang itu mengepung dan karena melihat pedang gadis itu demikian tajam berkilauan, untuk berjaga diri, merekapun menghunus golok masing-masing dan mengepung dengan sikap mengancam sekali.
"Kalian mencari mampus!"
Tiba-tiba Kiok Hwi berseru dan ketika ia menggerakkan pedangnya, namapk sinar berkelebat. Ia membalik dan menyerang orang yang berada di belakangnya, yang tidak menyangka-nyangka bahwa dia yang akan lebih dulu diserang. Karena itu, tak dapat dihindarkan lagi pedang itu melukai pahanya. Dia mengaduh dan terjengkang, darah mengucur dari pahanya yang tersayat pedang!
Semua orang menghentikan tawa mereka dan memandang marah karena seorang kawan mereka dilukai.
"Perempuan setan, berani engkau melukai teman kami?"
Bentak mereka dan kini dua belas orang itu menyerang dengan golok mereka. Agaknya, melihat darah membasahi paha seorang rekan telah membuat mereka lupa akan kecantikan gadis itu dan kini golok mereka menyambar-nyambar dahsyat seperti ekumpulan burung elang menyambari seekor kelinci yang diperebutkan.
Namun, ternyata Kiok Hwi bukan kelinci melainkan seekor harimau betina. Ia memainkan ilmu pedang Cin-ling-pai yang indah dan gerakannya amat lincahnya, tubuhnya bagaikan seekor burung walet beterbangan ke sana sini, pedangnya menyambar-nyambar dan setelah lewat belasan jurus, sudah ada tiga orang yang terluka oleh sabetan pedangnya dan tidak mampu melanjutkan pengeroyokan. Sembilan orang penjahat itu menjadi marah dan juga berhati-hati. Rata-rata mereka memiliki ilmu silat lumayan, maka setelah mereka berhati-hati dan melakukan pengeroyokan dengan teratur, mulailah Kiok Hwi terdesak. Namun, gadis ini memutar pedangnya melindungi tubuh sehingga semua sambaran golok itu dapat tertangkis oleh sinar pedangnya.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring.
"Banyak orang laki-laki mengeroyok seorang gadis, sungguh tidak tahu malu!"
Dan melompatlah seorang pemuda bertubuh sedang, berpakaian serba biru dan begitu melompat, pemuda ini sudah menggerakkan sebatang pedang dan ternyata gerakannya mengandung tenaga yang cukup kuat. Tanpa banyak cakap lagi pemuda itu mengamuk dan membantu Kiok Hwi yang tentu saja menjadi tambah bersemangat. Mereka berdua mengamuk dan kembali tiga orang roboh oleh pedang Kiok Hwi dan pemuda itu. Enam orang yang masih dapat melanjutkan pengeroyokan mulai menjadi gentar karena kepandaian pemuda berbaju biru itu tidak kalah lihainya dibanding kepandaian si gadis cantik.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tawa yang mengandung gema keras dan muncullah seorang pendek kurus yang memegang sepasang golok.
"Mundurlah kalian dan biarkan aku menghadapi mereka berdua!"
Teriak si cebol ini yang bukan lain adalah Tee-kui, orang kedua dari Thian Te Siang-kui (Sepasang Iblis Langit Bumi). Tee-kui atau iblis bumi ini bertubuh pendek kurus, akan tetapi ilmu kepandaiannya cukup tinggi dan diapun seorang laki-laki yang cabul. Begitu melihat Kiok Hwi yang cantik jelita, mulutnya segera mengilar dan dia mengacungkan goloknya.
"Nona manis, siapakah engkau dan siapa pula pemuda ini?"
Timbul pula harapan di hati Kiok Hwi untuk dapat memperoleh keterangan tentang Han Lin dari si katai ini. Kalau anak buahnya tidak pernah mendengar tentang Han Lin, barangkali si katai ini yang menjadi pimpinan mereka pernah mendengarnya.
"Paman, aku kebetulan saja lewat di sini dan diganggu oleh anak buahmu. Saudara ini juga kebetulan saja datang menolong karena kami tidak saling mengenal. Paman, aku hanya ingin mengetahui apakah engkau mengenal seorang bernama Sia Han Lin dan tahu di mana dia sekarang?"
Tentu saja Tee-kui tahu siapa Sia Han Lin, Pendekar Pedang Awan Merah. Akan tetapi dia tidak mau mengakui, karena diapun tidak tahu di mana adanya Han Lin.
"Heh-heh-heh, Sia Han Lin sudah mampus. Kenapa mencari dia? Lebih baik ikut dengan aku dan menjadi isteriku, pasti senang!"
"Jahanam busuk!"
Bentak Kiok Hwi marah sekali bukan hanya karena ucapan kurang ajar itu, melainkan dikatakan bahwa Han Lin telah tewas. Dara itu sudah menggerakkan pedangnya menyerang.
"Trangg...!"
Tee-kui menangkis dan Kiok Hwi merasa betapa tangannya tergetar hebat, tanda bahwa si katai ini biarpun badannya kecil namun tenaganya besar sekali. mereka lalu bertanding dan sepasang golok di tangan Tee-kui segera mengepung gadis itu. Melihat ini, pemuda berpakaian biru itu sudah menggerakkan pedangnya pula membantu Kiok Hwi. Melihat Tee-kui dikeroyok dua, anak buahnya yang tinggal enam orang karena yang lain sudah terluka itu segera maju membantu Tee-kui sekarang berbalik Kiok Hwi dan pemuda baju biru itu yang dikeroyok.
Kiok Hwi dan pemuda itu tersesak hebat. Baru menghadapi Tee-kuo saja mereka sudah kalah tingkat, apa lagi Tee-kui dibantu oleh enam orang anak buahnya. Akan tetapi Kiok Hwi dan pemuda itu mengamuk dengan hebat, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya. Namun, tetap saja mereka terdesak dan keadaan mereka sudah gawat.
"Bunuh pemuda ini akan tetapi jangan lukai gadis ini. Aku membutuhkannya, ha-ha-ha!"
Tee-kui sudah tertawa-tawa girang, membayangkan betapa akan senangnya dia nanti kalau mendapatkan gadis yang cantik jelita ini.
Akan tetapi pada saat itu muncul seorang pria muda bercaping lebar.
"Setan katai di mana-mana membikin kacau saja!"
Bentaknya dan dia sudah mencabut pedangnya dan dia sudah mencabut pedangnya lalu menerjang ke arah Tee-kui.
Tee-kui terkejut bukan main mengenal Souw Kian Bu yang pernah membantu ketika dia menyerang Can Kok Han. Dengan masuknya Souw Kian Bu yang lihai, dia merasa gentar dan dengan sigapnya dia lalu meloncat jauh dan melarikan diri. Anak buahnya tentu saja melarikan diri pontang panting ketika melihat pimpinan mereka sudah lebih dulu melarikan diri, termasuk mereka yang terluka, terseok-seok melarikan diri. Kian Bu dan Kiok Hwi juga tidak mengejar, demikian pula pemuda berpakaian biru.
Kiok Hwi mengangkat tangan memberi hormat kepada Kian Bu dan pemuda baju biru.
"Ji-wi telah datang menolongku, sungguh merupakan budi besar sekali dan aku menghaturkan terima kasih."
"Nona, tidak perlu berterima kasih. Sudah selayaknya kalau kita saling tolong menghadapi penjahat, bukan?"
Kata si baju biru.
"Perkenalkan, nona, aku Ting Bun, secara kebetulan saja lewat di sini dan melihat nona dikeroyok banyak orang. Dan saudara ini, siapakah?"
"Aku juga kebetulan lewat saja dan dapat membantu kalian. Namaku Souw Kian Bu. Tidak tahu, siapakah nona yang kalau tidak salah, memiliki ilmu pedang yang mirip ilmu pedang Cin-ling-pai?"
"Aku memang murid Cin-ling-pai!"
Kata Kiok Hwi gembira.
"Ketua Cin-ling-pai adalah ayahku."
"Ah, jadi nona ini puteri Bu-eng-kiam-hiap? Pantas saja ilmu pedang nona demikian bagus!"
Kata Souw Kian Bu memuji.
"Harap Souw-taihiap tidak terlalu memujji. Kalau taihiap tidak keburu datang membantu, tentu aku dan Ting-taihiap ini akan kalah melawan si katai tadi. Entah siapa dia, begitu lihainya."
"Dia? Dia adalah Tee-kui, orang kedua dari Thian Te Siang-kui,"
Kata Souw Kian Bu.
Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ahh, pantas ilmu kepadaiannya demikian hebat!"
Seru Kiok Hwi terkejut dan kini dia teringat kepada Han Lin, maka kepada kedua orang itu dia bertanya.
"Sekarang aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan, barangkali ji-wi telah mengetahuinya. Aku sedang mencari seorang bernama Sia Han Lin, apakah ji-wi mengetahui dia berada di mana?"
Ting Bun menggeleng kepalanya. Pemuda yang berpakaian serba biru sederhana ini bertubuh sedang, berwajah tampan dan pendiam. Dia tak pernah mendengar nama Sia Han Lin, maka dia menggeleng kepala dengan hati kecewa karena dia ingin sekali dapat membantu nona yang sejak pertama kali melihatnya telah membuat hatinya jatuh bangun ini.
"Sia Han Lin? Kalau boleh aku bertanya, apakah hubunganmu dengan Sia Han Lin, nona?"
Kiok Hwi memandang tajam, jantungnya berdebar. Dari pertanyaan ini saja jelas bahwa pemuda bercaping ini sudah mengenal Han Lin.
"Aku sahabatnya, taihiap. Apakah taihiap mengenalnya? Di mana dia sekarang?"
Kian Bu adalah seorang laki-laki yang sudah berpengalaman. Dari sikap dan pertanyaan itu saja dia sudah dapat menduga bahwa Kiok Hwi tentu telah jatuh cinta kepada saudara misannya itu. Dan diapun teringat kepada Can Bi Lan. Juga gadis puteri ketua Pek-eng Bu-koan itu jatuh cinta kepada Han Lin!
"Tentu saja aku mengenalnya karena dia adalah kakak misanku sendiri."
"Ahhh... ohhh...!"
Kiok Hwi menjadi girang sekali sampai ber-ah-oh-oh.
"dapatkah engkau mengatakan di mana dia berada sekarang?"
"Aku sendiri juga sedang mencarinya, nona. Aku hendak menyampaikan berita yang amat buruk baginya."
Wajah Kiok Hwi berubah.
"Berita buruk? Apakah itu, taihiap? Boleh aku mengetahui berita buruk apa yang hendak kausampaikan kepada Lin-koko?"
"Berita bahwa isterinya telah tewas,"
Kata Souw Kian Bu sambil memandang tajam. Wajah Kiok Hwi menjadi pucat seketika.
"Is... isterinya...? Sejak kapan dia menikah, taihiap?"
"Dia sudah menikah dengan seorang gadis Mongol."
"Ah, dan isterinya itu... tewas...?"
Suara Kiok Hwi bercampur isak.
"Kasihan sekali, Lin-ko..."
Souw Kian Bu menjadi lega. Bagaimanapun juga, gadis ini berhati baik. Tidak memperlihatkan cemburu, dan tidak marah, malah mengatakan kasihan. Tidak pencemburu, tidak seperti... dia!
"Nona, mati hidup seseorang telah ditentukan oleh Thian. Oleh karena itu, tidak perlu disesalkan,"
Kata Ting Bun dengan nada suara menghibur.
"Harap nona tidak terlalu sedih mendengar nasib sahabatmu itu, nona."
Mendengar ucapan itu, Kian Bu menghela napas panjang.
"Benar yang dikatakan saudara Ting Bun ini. Segala sesuatu yang menimpa kehidupan seorang manusia sudah ditentukan sesuai dengan keadilan Thian, tidak perlu disesalkan. Akan tetapi betapa sukarnya... ah, sudahlah, aku harus melanjutkan perjalananku. Nona, kalau sekali waktu engkau bertemu dengan Han Lin, sampaikan pesanku kepadanya bahwa isterinya telah tewas dan kalau dia hendak mengetahui lebih banyak agar mencari aku di Wu-han."
"Baiklah, taihiap."
"Nona, karena engkau sahabat kakak misanku, engkau sahabatku pula dan tidak semestinya menyebut aku taihiap. Namaku Souw Kian Bu dan engkau dapat kuanggap seperti adikku."
"Terima kasih, Bu-ko. Akan kusampaikan pesanmu kepada Lin-ko kelak, kalau saja aku dapat bertemu dengannya."
"Nah, selamat tinggal, Hwi-moi dan selamat tinggal, saudara Ting Bun."
"Selamat jalan,"
Kata mereka berdua.
Setelah Kian Bu pergi, barulah Kiok Hwi dan Ting Bun menyadari bahwa sejak tadi mereka berdua diam saja, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan suara.
Akhirnya Kiok Hwi yang bicara.
"Taihiap..."
"Sudah sepatutnya kalau engkau juga jangan menyebut taihiap kepadaku, nona. Kalau engkau menyebut koko (kakak) kepada saudara Souw Kian Bu, kenapa kepadaku tidak?"
Kiok Hwi tersenyum.
"Aku tidak berani, akan tetapi kalau engkau menghendaki..."
"Tentu saja, moi-moi, karena bukankah kita telah menjadi sahabat setelah pertemuan yang kebetulan ini?"
"Baiklah, Bun-ko."
"Hwi-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?"
"Aku akan mencari paman ke Lok-yang."
"Aih, kebetulan sekali, Hwi-moi. Akupun hendak pergi ke Lok-yang mencari saudaraku. Kalau begitu, jika engkau tidak berkeberatan, bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bersama ke Lok-yang?"
"Tentu saja tidak berkeberatan, Bun-ko. Malah aku girang sekali karena dengan melakukan perjalanan berdua, kita tidak perlu khawatir kalau seandainya Tee-kui tadi menghadang dan mengganggu lagi."
"Tepat sekali ucapanmu, Hwi-moi. Mari kita berangkat."
Mereka melakukan perjalanan bersama dan dalam kesempatan ini mereka saling mempererat persahabatan dengan menceritakan keadaan diri masing-masing. Kiok Hwi bercerita bahwa ia hendak mengunjungi pamannya yang sudah lama tidak dijumpainya, sekalian merantau untuk meluaskan pengalamannya.
"Pamanku bernama Yap Gun dan dia membuka toko obat di Lok-yang, dan sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu dengna paman dan bibi."
Ting Bun uga menceritakan keadaan dirinya. Dia sudah yatim piatu dan sejak kecil menjadi murid Bu-tong-pai bersama adiknya yang bernama Ting Bu. Adiknya itu pergi ke Lok-yang dia hendak menyusulnya.
"Kami berdua juga merantau untuk meluaskan pengalaman,"
Kata Ting Bun.
"Dan adikku itu memang bandel, ingin berpisah agar dapat memperoleh pengalaman hebat."
Dia tersenyum.
"Karena itu, dari Tiang-an dia lalu berangkat mendahului aku ke Lok-yang. Sekali ini kalau dia tersusul olehku, takkan kubiarkan dia meliar sendiri. Ternyata di daerah ini terdapat banyak penjahat yang lihai dan berbahaya sekali."
"Kalau adikmu itu menjadi murid Bu-tong-pai seperti engkau sendiri, kurasa tidak perlu mengkhawatirkannya. Dia pasti mampu berjaga diri."
"Benar juga katamu, Hwi-moi. Akan tetapi engkau melihat sendiri, gerombolan perampok yang mengganggu kita tadi berbahaya dan lihai."
"Akupun heran, Bun-ko. Sekarang ini keadaan bertambah parah, dan di mana-mana bermunculan gerombolan perampok yang lihai."
Ting Bun menghela napas panjang.
"Demikianlah kalau pemerintah lemah. Para pejabat hanya berkorupsi tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat. Penjagaan keamanan amat kurang, maka para penjahat berani merajalela dan keamanan hidup rakyat tidak terjamin."
Mereka memasuki kota Lok-yang dan berkunjung ke rumah Yap Gun, yaitu paman Kiok Hwi, adik dari Bu-eng-kiam-hiap Yap Kong Sing. Yap Gun seorang laki-laki berusia empat puluh enam tahun, tinggal di Lok-yang berdua dengan isterinya karena dia tidak mempunyai keturunan. Tubuhnya tinggi tegap, akan tetapi ilmu silatnya tidaklah sehebat ilmu kakaknya yang menjadi ketua Cin-ling-pai, karena sejak muda ia lebih tekun mempelajari obat-obatan dan ilmu pengobatan dari pada ilmu silat.
Dewi Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo