Ceritasilat Novel Online

Si Teratai Merah 3


Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Nah, Tuan Bu dan Tuan Ong berdua sekarang pandanglah muka pinceng dan habiskan permusuhan ini."

   Si Ular Kuning menjura,

   "Terima kasih atas pertolongan suhu dan siocia (nona). Tentu saja siauwte (saya) akan habiskan pertikaian ini asal saja saudara Bu Kiat mau mengembalikan barang-barang tanggungan piauw kami. Lo-Suhu kiranya maklum bahwa nama baik piauw-tiam (kantor ekspedisi) merupakan mangkok nasi bagi kami sekalian piauwsu."

   Ia melirik ke arah Bu Kiat dan kawan-kawannya yang berdiri dengan lemas karena tiada harapan melawan lagi setelah kini di situ ada Hwat Khong Hwesio dan sumoinya yang kosen. Hwat Khong dengan suara halus membujuk Bu Kiat untuk mengembalikan barang-barang itu hingga terpaksa si Tawon Hitam menjawab,

   "Mengingat kepada Lo-Suhu, apa boleh buat barang itu saya kembalikan kepada saudara Ong."

   Ia lalu memberi tanda dengan suitan dan dari dalam rimba keluar beberapa orang mendorong gerobak terisi lima peti besar barang-barang berharga yang diperebutkan itu. Setelah menghaturkan terima kasih, kawanan piauwsu meninggalkan tempat itu dengan gembira. Hwat Khong dan Lian Hwa juga pergi ke jurusan lain, diawasi oleh Bu Kiat dan kawan-kawannya dengan hati mendongkol.

   "Suheng, saya membawa surat suhu almarhum untukmu,"

   Kata Lian Hwa yang merasa tak enak hati melihat suhengnya diam saja seakan-akan tak perdulikan padanya.

   "Almarhum? Jadi supek sudah...?"

   Hwat Khong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena kaget dan terharu. Lian Hwa mengangguk dan tak terasa dari kedua matanya mengalir air mata. Hwat Khong Hwesio segera mengajaknya berhenti dan duduk di bawah sebuah pohon besar. Ia membuka surat supeknya (paman guru) lalu membaca dengan sikap hormat. Kemudian ia memandang sumoinya yang masih termenung sedih, lalu menghela napas.

   "Sumoi tenangkan hatimu! Semua orang kalau sudah tiba masanya tentu mati. Hal kematian supek tak perlu disedihkan benar, karena supek telah dipanggil pulang oleh Thian Yang Maha Kuasa. Lebih baik sekarang kita bicarakan masa depan. Sumoi kini telah turun gunung dan... dan... ke manakah tujuanmu sekarang?"

   Lian Hwa memandang suhengnya dengan sedih. Wajah Hwesio tua yang jernih dan sopan itu menimbulkan kepercayaan dan ia sejak tadi sudah merasa seakan-akan berhadapan dengan keluarga sendiri. Kini mendapat pertanyaan demikian, ia menjadi sedih dan bingung. Ia hanya dapat menggeleng-geleng kepalanya yang cantik itu dan air matanya kembali mengalir ke atas kedua pipinya.

   "Aku tidak tahu, suheng... aku tidak tahu..."

   Hanya inilah jawabannya dengan suara pilu.

   "Jangan bersedih, sumoi,"

   Hwat Khong menghibur sambil menepuk-nepuk tangannya.

   "Baik kukatakan terus terang. Suhumu minta supaya aku membimbingmu memasuki dunia yang agaknya masih asing bagimu."

   Lian Hwa segera menjura di depan suhengnya.

   "Terima kasih, suheng. Memang suhu telah pesan supaya aku menurut segala petunjukmu. Mulai sekarang, Suhenglah menjadi pengganti suhuku."

   Melihat gadis itu menjura berulang-ulang sambil berlinang air mata, mau tak mau Hwat Khong Hwesio merasa terharu juga. Bagaimanapun, dia sendirilah yang pertama-tama menolong Lian Hwa.

   "Sumoi, aku suka mendidikmu asal saja kau mau berjanji."

   "Janji apa, suheng? Biar harus masuk ke lautan api, pasti akan kujalani asal saja suheng mau memberi petunjuk-petunjuk padaku dan mau pula... membawaku ke tempat... orang-tuaku."

   Sampai di sini kembali air matanya mengucur. Hwat Khong mengangguk maklum.

   "Aku mengerti, sumoi. Engkau sebagai seorang anak yang u-hauw (berbakti) tentu ingin sekali tahu keadaan orang-tuamu. Tapi karena tempat itu jauh dan kau belum ada pengalaman merantau dan bertemu dengan orang-orang kang-ouw, maka kini belum waktunya bagimu untuk pergi. Janji itu demikian, sumoi. Terus terang kuakui bahwa dalam hal ilmu silat, aku ketinggalan jauh olehmu. Hal ini segera kuketahui ketika kau bertempur dengan Pauw Hiap Tojin tadi. Maka dalam hal ilmu silat, jangan harap untuk minta petunjukku lagi. Hanya dalam tatacara kesopanan dan perilaku yang sesuai dengan dunia ramai, kiranya dapat engkau meniruku. Tapi setelah mulai sekarang engkau ikut aku di dalam segala hal engkau harus menurut kata-kataku. Tidak boleh kau membawa kehendak sendiri. Sanggupkah kau sumoi?"

   Lian Hwa segera memberi hormat mengangguk-angguk.

   "Sanggup suheng. Aku sanggup."

   "Nah, marilah kita pulang ke kelentengku lebih dulu."

   Hwat Khong Hwesio bangun berdiri dan mereka berdua lalu menggunakan ilmu lari cepat menuju ke Bukit Bok-lun-san di mana terdapat kelenteng Ban Hok Thong yang didiami oleh Hwat Khong Hwesio. Setibanya di kelenteng tersebut, Hwat Khong lalu menceritakan riwayat Han Bun Lim, ayah Lian Hwa yang terbunuh mati oleh Bong Him Kian dan bagaimana ibunya juga telah membunuh diri ketika ditawan Bong-Kongcu yang jahanam itu, serta bagaimana Lian Hwa ditolong oleh Hwat Khong dan perjumpaan mereka dengan Siau-kiam Koai-jin Ong Lun, gurunya Lian Hwa. Mendengar nasib kedua orang-tuanya, Lian Hwa menangis sedih, kemudian dengan gemas dan marah-marah ia tiba-tiba mencabut pedangnya hingga mengeluarkan sinar gemerlapan.

   "He sumoi, kau mau apa?"

   Tanya Hwat Khong, heran. Lian Hwa tidak menjawab, hanya sepasang matanya saja mengeluarkan sinar berkeredep seakan-akan berapi, kemudian tanpa menjawab sesuatu, tubuhnya melesat ke arah luar kelenteng.

   "Sumoi, tunggu!"

   Hwat Khong meloncat keluar pula mengejar. Tapi Lian Hwa tak perdulikan teriakannya dan lari terus. Hwat Khong terpaksa harus menggunakan seluruh kepandaiannya lari cepat untuk dapat mengejar sumoi yang gesit dan cepat gerakannya itu. Namun ia masih saja tertinggal hingga ia menjadi sangat gugup.

   "Sumoi, ingat janjimu!"

   Kembali ia berteriak. Lian Hwa menengok sebentar, mukanya merah dan penuh air mata yang membasahi kedua pipinya, kemudian ia lari lagi.

   "Sumoi! Ke mana engkau pergi? Kau belum tahu di mana tempat tinggal musuhmu itu!"

   Memang tadi Hwat Khong belum menceritakan tentang kampung tempat tinggal orang-tuanya dan Bong-Kongcu, musuhnya. Mendengar ini, Lian Hwa berhenti dan duduk mendeprok di atas tanah sambil menangis tersedu-sedu. Hwat Khong Hwesio dengan napas agak sengal-sengal sampai ke tempat itu dan berdiri di depan Lian Hwa dengan wajah bengis tapi dengan hati penuh rasa iba.

   "Sumoi ternyata engkau belum dapat mengendalikan gelora hatimu. Adatmu ini sungguh tidak menguntungkan sama sekali. Bukankah kau tadi sudah berjanji akan menurut kata-kataku? Lupakah kau akan pesan suhumu sendiri?"

   Suara ini sangat tegas dan bengis. Han Lian Hwa mengangkat kepala memandang suhengnya kemudian tiba-tiba ia menubruk kaki suhengnya sambil menangis sedih. Mulutnya berkata lemah,

   "Suheng... ampunkan aku..."

   Lalu ia roboh pingsan! Hwat Kong Hwesio menjadi bingung.

   Tanpa sungkan, seperti seorang ayah kepada anaknya, ia mendukung sumoinya dan berlari ke kelenteng. Ternyata tubuh Lian Hwa sangat panas, napasnya memburu. Seminggu lamanya Lian Hwa jatuh sakit. Badannya panas dan ia selalu mengigau memaki-maki Bong-Kongcu dan mengancam hendak mencincang badannya sampai hancur, lalu ia menangis tersedu-sedu sambil menyebut-nyebut ibu dan ayahnya! Ternyata gadis sejak kecilnya selalu gembira bahagia tak kenal artinya susah itu kali ini menerima pukulan batin yang terlampau berat hingga perasaannya sangat tertekan membuat tubuhnya menjadi sakit. Selama itu Hwat Khong Hwesio selalu menghiburnya dengan sabar dan segala keperluan sumoinya itu dicukupinya dengan hati-hati dengan bantuan beberapa orang Hwesio kecil pengurus kelentengnya. Setelah Lian Hwa sembuh, Hwat Khong menasihatinya dengan suara tenang,

   "Sumoi, dengarlah kataku baik-baik. Tentang hal membalas dendam itu memang sudah menjadi kewajibanmu. Tapi segala tindakan itu harus diatur sebaik-baiknya. Jangan hanya menurutkan hati yang penuh napsu, karena tindakan yang berdasarkan napsu itu hanya akan menggelapkan pikiranmu hingga segala perbuatanmu takkan berhasil baik. Sekarang engkau belajarlah sabar dan sebagaimana yang dikehendaki suhumu, engkau harus tinggal dulu di sini beberapa lama untuk belajar mengerti tentang cara-cara kesopanan dan lain-lain yang perlu diketahui oleh wanita seperti engkau. Kemudian setelah kuanggap sudah tiba saatnya, maka tentu engkau akan kuberi tahu tempat musuh-musuhmu itu dan kau kuperkenankan pergi mencari dan membalaskan sakit hati orang-tuamu."

   Lian Hwa terpaksa menurutkan kata-kata suhengnya, sungguhpun sukar sekali baginya untuk bersabar. Demikianlah, sejak hari itu Lian Hwa tinggal di sebelah kamar di dalam kelenteng itu dan mendengarkan petunjuk-petunjuk suhengnya yang luas pengalamannya tentang keadaan di kalangan kang-ouw dan aturan-aturan yang bersangkutan dengan penghidupan dunia ramai. Tak lupa Hwat Khong mengajar sumoinya tentang sikap seorang gadis yang sopan dan mengenal aturan. Maka mengertilah kini Lian Hwa bahwa sikapnya baru-baru ini sebenarnya tidak patut. Karena menurut ajaran suhengnya, tak pantaslah seorang gadis seperti dia tertawa keras di depan umum.

   Lebih tidak pantas pula duduk semeja dengan seorang laki-laki yang belum dikenalnya seperti telah ia lakukan ketika berjumpa dengan Peng Bouw si Kuda Hitam dulu. Ia merasa malu mengenang itu semua, tapi di dalam hatinya ada juga rasa penasaran. Mengapa kalau laki-laki boleh saja bersikap sembarangan, tapi kalau wanita harus demikian banyak aturan-aturan? Sayang aku bukan laki-laki, demikian pikirnya. Ketika ia menanyakan kepada suhengnya tentang pengalamannya dengan Peng Bouw, maka secara terus terang Hwat Khong yang maklum bahwa sumoinya itu benar-benar masih "hijau"

   Lalu menerangkan bahwa laki-laki bernama Peng Bouw itu adalah seorang yang kurang ajar. Bahwa maksudnya mengajak Lian Hwa makan bersama-sama bukanlah keluar dari hati jujur dan suci, tapi mengandung kekurangajaran.

   "Sumoi hati-hatilah terhadap laki-laki yang kurang ajar seperti itu. Hati-hati terhadap segala macam laki-laki yang mudah saja menegur seorang wanita yang tak dikenalnya, kecuali kalau teguran itu memang beralasan. Banyak orang laki-laki kurang ajar macam itu yang akan kau temui dalam perjalananmu kelak."

   Merah wajah Lian Hwa setelah dapat menangkap maksud suhengnya, sungguhpun ia masih bodoh namun perasaan gadisnya membisiki nuraninya, membuat ia mengerti apakah arti kekurangajaran laki-laki. Dengan tak disengaja mulutnya berkata,

   "Ah, kalau begitu semua laki-laki tak dapat dipecaya dan kurang ajar..."

   Suhengnya menatap tajam, membuat ia insyaf telah kelepasan bicara, tak ingat bahwa suhengnya pun seorang laki-laki! Muka Lian Hwa makin merah dan buru-buru ia berkata,

   "Maaf, suheng. Bukan maksudku semua laki-laki, ada kecualinya seperti suheng, suhu dan orang-orang seperti para Hwesio di kelenteng ini."

   Kata-katanya ini membuat Hwat Khong Hwesio tertawa bergelak-gelak. Pada saat itu, tiba-tiba seorang Hwesio pelayan datang menghadap Hwat Khong dan melaporkan bahwa di luar ada seorang tamu. Hwat Khong segera keluar dan ternyata tamu itu adalah Lin Piauw, kepala penjaga keamanan di kampung Pian-bong-kee-chung yang terletak kurang lebih hanya sepuluh lie dari kelenteng Ban-hok-tong dan termasuk sebuah kampung terbesar di kaki bukit Bok-lun-san itu.

   Lin Piauw adalah seorang bekas guru silat yang dijuluki orang "Kepalan Baja"

   Karena ia terkenal dengan tenaganya yang besar dan kepalan tangannya dengan mudah dapat menembus tembok. Hwat Khong Hwesio menyambut kedatangan Lin Piauw dengan hormat dan ramah karena ia telah mengenal dan tahu bahwa Lin Piauw adalah seorang gagah yang jujur. Bahkan ia pernah memberi petunjuk tentang ilmu pukulan kepadanya, sehingga boleh juga disebut bahwa Lin Piauw adalah "setengah"

   Muridnya. Lin Piauw juga sangat mengindahkan kepada kepala Hwesio kelenteng Ban Hok Thong itu. Maka begitu berjumpa, segera ia menjura dengan sangat hormatnya dan berkata,

   "Lo-Suhu, bagaimanakah keadaan di sini? Siauwte harap saja Lo-Suhu dalam selamat dan tenang."

   "Terima kasih, Lin Lauwte, Lohu (aku orang-tua) baik-baik saja. Dan bagaimana dengan pekerjaanmu? Beres dan lancar bukan?"

   Tapi Lin Piauw hanya tersenyum masam. Hwat Khong Hwesio heran melihat perubahan wajah Lin Piauw yang tak sari-sarinya itu. Ia maklum pasti ada sesuatu yang tidak beres maka setelah seorang pelayan mengeluarkan hidangan teh, ia pesan agar mereka berdua jangan diganggu.

   "Lin Lauwte, kita bukan orang yang baru saling mengenal. Maka melihat wajahmu, pasti ada sesuatu yang hendak dibicarakan! Harap Lauwte (anda) katakan terus terang."

   Lin Piauw mengucap terima kasih, dan menghela napas lega. Kemudian menceritakan keadaannya yang membuat hatinya bingung seperti di bawah ini.

   Kampung Pian-bong-kee-chung adalah sebuah kampung yang cukup besar dan ramai. Banyak toko-toko, kedai arak dan rumah obat terdapat di sepanjang jalan kampung itu. Bahkan di situ terdapat pula empat buah rumah penginapan yang lumayan besarnya, karena di kampung itu tak jarang dikunjungi pedagang dan orang pelancongan. Kepala kampung di situ adalah seorang she Liu, orang baik dan ia mengatur kampungnya dengan adil sehingga ia disukai oleh rakyat di kampung itu. Liu chungcu (Kepala Kampung) mempunyai seorang anak perempuan yang cantik dan baru berusia enambelas tahun bernama Liu Siu Hiang. Gadis ini selain pandai ilmu silat pun pandai pula mengerjakan segala macam pekerjaan tangan yang indah-indah. Hasil-hasil sulamannya terkenal di kampung itu.

   Tapi beberapa hari yang lalu, tiba-tiba saja awan gelap menyelimuti kampung Pian-bong-kee-chung yang aman tenteram itu. Tiba-tiba malapetaka menimpa dan yang pertama-tama menjadi korban adalah kepala kampung Liu sendiri! Malam peristiwa itu terjadi gelap sekali, langit hanya diterangi beberapa buah bintang yang suram. Ketika kentungan peronda berbunyi dua kali menandakan bahwa malam itu telah lewat tengah malam, tiba-tiba para penduduk yang tinggal di dekat gedung Liu chungcu terkejut mendengar suara jeritan wanita yang keras dan menyeramkan. Liu chungcu sendiri dan beberapa orang penjaga bangun dan segera berkumpul, lalu memburu ke arah suara tadi. Alangkah terkejutnya ketika mereka menghampiri kamar Liu siocia, mereka lihat pintu kamar itu terbentang lebar.

   Dari situlah terdengar suara jeritan tadi. Liu chungcu dengan hati berdebar-debar segera memasuki kamar puterinya. Tiba-tiba para penjaga yang berada di luar kamar mendengar majikan mereka berteriak sedih. Mereka mengintai dan apakah yang terlihat? Ternyata Liu siocia, gadis remaja yang cantik jelita itu telah roboh di atas lantai di depan ranjangnya dengan mandi darah. Sebilah pisau belati tertancap di dadanya dan keadaan pakaiannya tidak karuan! Lin Piauw sebagai kepala penjaga segera memasuki kamar itu dan ia yang telah berpengalaman begitu melihat sekilas saja keadaan gadis itu, tahulah sudah bahwa ini adalah perbuatan seorang penjahat pemetik bunga! Ia maklum penjahat itu tentu belum lari jauh, maka ia segera mengayun tubuhnya meloncat ke atas genteng dan pergi mencari-cari sambil berloncat-loncatan di atas wuwungan rumah orang.

   Ketika sampai di tembok kampung sebelah selatan, tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan yang menggendong sesuatu di pundaknya terbang mendatangi ke arahnya. Lin Piauw si Kepalan Baja cepat bersembunyi sambil mengintai. Tiba-tiba dari jurusan yang berlawanan datang pula sesosok bayangan orang yang gerakannya gesit sekali. Orang itu memegang sebilah pedang. Dua bayangan orang itu bertemu di atas sebuah wuwungan rumah yang tak jauh dari situ, maka Lin Piauw segera mendekati dengan diam-diam sambil memasang mata dan telinganya. Ternyata olehnya bahwa bayangan tu adalah seorang wanita muda dan seorang laki-laki. Si wanita membawa sebuah kantung di pundak dan laki-laki itu memegang sebilah pedang. Mereka berdua mengenakan pakaian serba hitam, khusus pakaian jalan malam.

   "Moi-moi (adik), bagaimana hasilmu?"

   Tanya laki-laki itu. Kawannya mengangkat kantung yang digantungkan di pundaknya ke atas.

   "Semua emas,"

   Katanya tertawa merdu.

   "Dan kau bagaimana? Berhasilkah di gedung kepala kampung itu?"

   Laki-laki itu menggelengkan kepala.

   "Sayang, sebelum aku dapat mengambil sesuatu yang berharga, anaknya bangun dan berteriak, terpaksa kubereskan!"

   "Anak gadis, bukan? Ah, lagi-lagi kau menyakiti hatiku, koko (kanda)."

   Karena sudah jelas bahwa inilah orang yang dicari, Lin Piauw segera melompat keluar dan membentak.

   "Bangsat cabul! Lekas menyerah kalau tak ingin mampus!"

   Kedua orang itu terkejut dan perempuan itu mencabut pedangnya.

   "Biarkan saja, moi-moi jangan ikut-ikut. Biar aku sendiri membereskan anjing ini,"

   Kata yang laki-laki. Lin Piauw tak banyak bicara lagi, segera menyerang dengan goloknya. Penjahat cabul itu menangkis dengan pedangnya dan tak lama kemudian mereka berdua bertempur di atas genteng dengan hebat. Lin Piauw segera mengetahui bahwa bangsat itu ilmu silatnya lihai juga, maka segera ia mengeluarkan ajaran dan petunjuk-petunjuk Hwat Kong Hwesio.

   Goloknya menyambar-nyambar bagaikan kitiran angin dalam gerakan Hong-sauw-pai-yap (Angin Menyapu Daun Rontok). Segera penjahat itu keteteran dan hanya dapat menangkis saja. Pada satu saat golok Lin Piauw menyambar ke arah leher, lawannya menangkis dengan pedang tapi golok yang tertangkis itu terus terayun ke bawah mengarah kaki lawan dengan gerakan gesit sekali. Lawannya tak sempat menangkis, hanya berkelit melompat ke atas untuk menghindari, kaki kirinya mengirim tendangan yang dapat ditangkis pula oleh lawannya dengan tangan kiri, tapi bangsat itu menjadi sangat gugup dan terdesak. Saat yang baik ini digunakan oleh Lin Piauw untuk menyerang makin hebat. Pada saat itu sudah hampir mendapat kemenangan, tiba-tiba dari belakang menyambar angin dingin dibarengi bentakan halus,

   "Pergilah kau!"

   Lin Piauw terkejut bukan main karena biarpun dengan cepat ia berkelit, namun pedang yang menyerangnya dari belakang itu masih menyerempet pundaknya dan merobek bajunya.

   Segera ia berloncat ke sisi dan siap menghadapi musuh baru yang ternyata adalah perempuan muda itu. Hebat sekali gerakan lawan baru ini, gerakan pedangnya cepat dan lincah. Sedangkan menghadapi lawan yang tadi saja kepandaianya tidak jauh selisihnya, apa pula kini dikeroyok dua, maka baru bertempur beberapa jurus saja Lin Piauw tak kuat menahan pula. Terpaksa ia menggunakan saat baik untuk meloncat keluar kalangan dan kabur! Kedua penjahat itu tak mengejarnya, hanya terdengar suara ketawa mengejek dari si penjahat wanita yang membuat Lin Piauw merasa gemas dan marah sekali. Semenjak hari itu, maka berturut-turut beberapa rumah hartawan di kampung itu didatangi penjahat yang menggondol tidak sedikit jumlahnya uang dan emas.

   Dan seorang gadis she Him terbunuh pula oleh penjahat cabul pemetik bunga itu. Lin Piauw merasa sangat bingung dan kuatir. Ia sebagai kepala penjaga yang bertanggung jawab akan keamanan kampungnya tentu saja mendapat teguran keras dari kepala kampung. Akhirnya ia mendengar bahwa di kelenteng Ban-hok-thong kedatangan seorang gadis cantik yang tinggal di situ. Menurut keterangan seorang daripada beberapa mata-matanya yang sengaja disebar, gadis itu agaknya pandai silat karena datangnya membawa pedang. Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaan Lin Piauw, tapi karena mengingat Hwat Khong Hwesio, ia tidak berani bertindak serampangan. Maka setelah menceritakan hal yang menyusahkan hatinya itu ia bertanya kepada Hwat Khong.

   "Maaf, Lo-Suhu. Bukan maksud siauwte untuk berlaku kurang hormat. Tapi siauwte mendengar bahwa di kelenteng Lo-Suhu kedatangan tamu seorang wanita. Bolehkah kiranya siauwte mengetahui siapakah gerangan tamu itu?"

   Hwat Khong tertawa geli.

   "Ha, ha, Lin Lauwte agaknya mencurigai kelentengku?"

   Lin Piauw buru-buru berdiri menjura dalam.

   "Sekali-kali tidak, Lo-Suhu. Mana berani siauwte, berlaku kurang ajar? Hanya tak lain, untuk urusan ini siauwte sungguh-sungguh mengharapkan budi kebaikan dan pertolongan Lo-Suhu karena siauwte merasa tenaga sendiri tidak cakap dan lemah. Mohon kasihanlah kepadaku Lo-Suhu dan juga atas nama semua penduduk kampung Pian-bong-kee-chung siauwte mohon bantuan!"

   Hwat Khong Hwesio segera membalas hormat.

   "Jangan see-ji (sungkan) dan jangan gelisah, Lin Lauwte. Duduklah dan tunggu sebentar, pinceng akan perkenalkan tamu yang kaucurigai itu kepadamu."

   Ia segera masuk ke dalam meninggalkan Lin Piauw yang menanti dengan hati tidak sedap. Sebentar kemudian Hwat Khong kembali, diikuti oleh Lian Hwa. Lin Piauw segera berdiri memberi hormat dan satu lirikan tajam ke arah gadis itu membuat ia yakin bahwa Lian Hwa bukanlah wanita yang telah melukainya pada malam itu.

   "Nah, Lin Lauwte, ini adalah tamu yang kaumaksudkan itu. Ia tak lain adalah Han sumoi!"

   Lin Piauw terkejut dan heran mendengar Hwat Khong Hwesio memperkenalkan gadis itu sebagai adik seperguruannya! Segera ia memberi hormat kepada Lian Hwa sambil berkata.

   "Han Lihiap, mohon dimaafkan jika aku berlaku sembrono."

   Han Lian Hwa membalas hormat sepantasnya. Ia tidak kikuk pula tentang cara kesopanan setelah mendapat didikan suhengnya. Sambil tersenyum ia berkata,

   "Jangan sungkan, saudara Lin, silakan duduk."

   Kemudian Hwat Khong menjelaskan dengan singkat tentang kedatangan Lin Piauw yang minta tolong bantuan tenaga untuk menangkap kedua pengacau kampung Pian-bong-kee-chung. Lian Hwa lalu menyatakan kesanggupannya pula untuk membantu usaha suhengnya menolong kampung itu. Dengan serta merta Lin Piauw menghaturkan terima kasihnya, kemudian ia bermohon diri dengan hati lega. Tapi dalam hatinya tak bisa heran memikirkan bagaimana Hwat Khong yang lihai ilmu silatnya itu mempunyai sumoi seorang gadis kecil seperti itu! Ia tak percaya gadis itu dapat mempunyai ilmu silat yang tinggi. Setelah Lin Piauw pergi, Lian Hwa yang sejak tadi telah tak sabar pula menahan hatinya, kini segera mengajukan pertanyaan kepada suhengnya.

   "Suheng, apakah artinya penjahat pemetik bunga seperti yang diceritakan oleh tuan Lin Piauw tadi?"

   Agak bingung juga Hwat Khong Hwesio mendengar pertanyaan ini! Bagaimana ia harus menerangkan? Ia maklum bahwa sumoinya itu adalah seorang gadis yang jujur dan polos, maka terpaksa ia menjawab juga pertanyaan yang keluar dari hati yang jujur dan betul-betul belum mengerti itu.

   "Sumoi, kau masih ingat Peng Bouw, laki-laki kurang ajar dulu itu? Nah, penjahat cabul ini juga seorang laki-laki kurang ajar, bahkan jauh lebih jahat daripada Peng Bouw, tidak segan-segan membunuh wanita yang tidak sudi dijadikan kurbannya! Maka sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu menangkap penjahat dan kawannya perempuan si pencuri itu. Hanya sekarang bagaimana kita harus bertindak? Kita tidak tahu sarang mereka dan juga tidak kenal wajah mereka."

   Han Lian Hwa sungguhpun kurang pengalaman, namun ia mempunyai kecerdikan otak yang luar biasa, kalau tidak demikian halnya tidak mungkin ia bisa mempelajari segala ilmu silat yang tinggi dari Ong Lun sedemikian mahirnya. Maka segera ia tersenyum dan mengemukakan siasatnya kepada Hwat Kong. Suhengnya mendengar siasat ini mula-mula mengerutkan alis, tapi kemudian mengangguk-angguk menyatakan setuju.

   Pada keesokan harinya, di rumah penginapan Kim Ma Li-koan yang berada di tengah-tengah kampung Pian-bong-kee-chung dan merupakan penginapan yang terbesar dan paling mewah di kampung itu, datang seorang nona cantik dengan pakaian indah. Ia memilih kamar terbesar, dan karena sikapnya yang royal, maka para pelayan sangat hormat padanya. Pula, tentu saja mereka sangat senang melayani seorang nona elok seperti tamu itu. Tamu itu bukan lain ialah, Han Lian Hwa yang mulai menjalankan siasatnya "memancing harimau keluar dari guanya."

   Ia sengaja bermalam di hotel itu, dan pada siang harinya ia berjalan-jalan melihat-lihat telaga kecil di pinggir kampung yang menjadi pusat pelancong.

   Belum lama ia berjalan, matanya yang tajam melihat seorang pemuda yang sangat memperhatikan dirinya. Ketika ia masuk ke dalam sebuah rumah makan kecil di dekat telaga itu, pemuda itupun masuk pula dan duduk tak jauh dari mejanya. Mata pemuda itu terus menerus mengincar padanya. Lian Hwa sangat jemu melihat lagak orang itu, tapi ia bersabar diri. Diam-diam ia perhatikan pemuda yang mencurigakan itu. Pemuda itu kira-kira berusia dua puluh lima tahun, wajahnya cakap matanya bersinar. Pakaiannya mewah, baju berwarna merah dan celana biru. Dari gerak-geriknya, maklumlah Lian Hwa bahwa pemuda itu seorang yang mengerti ilmu silat. Setelah puas berputar-putar, Lian Hwa kembali ke hotelnya, dan ia tahu bahwa pemuda itu diam-diam mengikutinya.

   Kini hati gadis itu setengah yakin bahwa inilah mungkin harimau yang dipancingnya keluar itu, maka diam-diam ia berhati-hati. Malam hari itu kebetulan terang bulan. Kamar Lian Hwa siang-siang sudah gelap, menandakan bahwa gadis itu sudah masuk tidur. Kira-kira menjelang tengah malam sesosok bayangan orang berkelebat di atas genteng rumah penginapan Kim Ma Li-koan. Tindakan kakinya ringan dan gesit, menandakan tingginya ilmu meringankan diri orang itu. Tapi ia tidak menduga sama sekali bahwa jauh di belakangnya terdapat bayangan lain yang mengintainya bayangan seorang Hwesio gundul yang berlari dan berloncatan dengan gesit sekali. Tamu malam itu menghampiri kamar Han Lian Hwa dan dengan gerak tipu Kwie-liong-seng-thian (Naga Setan Naik ke Langit) ia melayang turun dari atas genteng.

   Dengan hati-hati ia menghampiri jendela dan menggunakan pedangnya mencokel daun jendela terbuka. Kemudian ia meloncat masuk. Alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat, kamar itu telah kosong dan dengan cepat ia meloncat keluar lagi. Tapi ternyata di luar jendela telah menanti Han Lian Hwa yang telah bersiap-siap di luar kamar dan melihat jelas ketika penjahat itu mencokel jendelanya. Ia sengaja mendiamkan saja karena ingin menunggu penjahat itu dan ingin melihat bagaimana cara kerjanya. Penjahat cabul itu melihat ada seorang di luar jendela tanpa banyak cakap lalu meloncat ke atas genteng hendak kabur. Tapi, sungguh heran, ketika kakinya menginjak wuwungan, ternyata gadis yang tadi berdiri tersenyum-senyum di bawah ternyata telah berada pula di situ, masih berdiri tersenyum mengejek.

   "Jangan harap lari sebelum tinggalkan kepalamu!"

   Kata gadis itu. Si penjahat menjadi jengkel, lebih-lebih ketika melihat bahwa gadis itu justeru orang yang siang tadi ia incar dan hendak dijadikan korbannya.

   "Jangan kurang ajar! Hayo pergi jangan menghalangi jalanku kalau tak ingin mampus!"

   Bentaknya. Han Lian Hwa tersenyum.

   "Engkau tadi mencariku, bukan? Nah, aku sudah berada di sini, kebetulan sekali, karena aku membutuhkan engkau!"

   "Apa katamu? Apa maksudmu?"

   Penjahat itu heran.

   "Aku butuh... kepalamu! Perlu kepalamu untuk membalaskan sakit hati penduduk kampung ini."

   "Kurang ajar!"

   Teriakan ini dibarengi dengan sinar pedangnya menyerang dengan sebuah tusukan berbahaya ke arah dada Lian Hwa.

   "Hei hati-hati dengan pedangmu, kan-cat (bangsat)!"

   Nona itu berkelit lincah sambil mengejek. Setelah terpisah dari suhengnya, maka timbullah pula kejenakaan dan kenakalannya. Tiba-tiba Hwat Khong yang sejak tadi mengintai, menjadi tak sabar lagi dan loncat menghampiri.

   "Sumoi, jangan banyak buang waktu. Tangkap dia!"

   "Baik, suheng,"

   Jawab Lian Hwa. Tapi pada saat itu sebuah bayangan lain yang membawa pedang, terbang mendatangi.

   "Jangan khawatir, koko! Bikin mampus perempuan itu, biar aku bereskan keledai gundul ini."

   Segera bayangan yang baru datang ini menyerang Hwat Khong dengan pedangnya. Serangan berbahaya itu ditangkis oleh kebutan lengan baju Hwat Khong. Terjadilah pertempuran hebat. Dua penjahat bersenjata pedang melawan Lian Hwa dan suhengnya yang berkelahi dengan tangan kosong. Memang Hwat Khong melarang sumoinya menggunakan senjata, karena ia ingin menangkap mereka hidup-hidup. Pula ia yakin bahwa ia dan sumoinya tak perlu menggunakan senjata melawan kedua penjahat itu.

   Tak disangkanya bahwa perempuan jahat yang dilawannya itu cukup lihai hingga agaknya tak mudah baginya untuk mengalahkan dengan cepat, apa pula menangkapnya hidup-hidup. Di lain pihak Lian Hwa sengaja mempermainkan penjahat cabul itu. Ia bergerak-gerak bagaikan kupu-kupu lincah di antara sambaran pedang sambil memaki dan mengejek. Penjahat cabul itu makin lama makin marah dan penasaran. Ia yang bersenjata pedang dapat dipermainkan dengan begitu mudah oleh seorang gadis muda yang bertangan kosong. Hampir ia tak dapat percaya dan merasa seakan-akan bermimpi. Ia menjadi penasaran dan menyerang makin hebat. Pedangnya menusuk ke arah leher dengan tipu Hui-eng-bok-thio (Elang Terbang Menyambar Kelinci), tapi dengan mudah lagi-lagi Lian Hwa berkelit sambil mengejek.

   "Kurang cepat, bangsat kecil!"

   Lalu dengan lincahnya meloncat ke sebelah kanan orang itu. Si penjahat segera memutar pedangnya ke kanan menyabet dengan gerak tipu Ular Belang Memukulkan Ekornya. Tapi yang diserang hanya meloncat sedikit dan tahu-tahu gadis itu telah berada di belakangnya. Dipermainkan secara begitu, si penjahat menjadi pening dan keringatnya mengucur deras, napasnya mulai sengal-sengal. Ia menjadi penasaran dan nekat.

   "Malam ini aku si burung hantu Eng Kan akan mengadu nyawa dengan kau anjing betina!"

   Pedangnya lalu dipakai menyerang dengan nekat. Lian Hwa tertawa dan menjawab.

   
Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Malam ini aku Ang Lian Lihiap akan mengirim kau pulang ke neraka!"

   Ia menggunakan nama julukan itu ketika ia dengar dari suhengnya bahwa di luaran ia disebut orang Ang Lian Lihiap. Setelah berkata demikian, maka Lian Hwa mulai mengirim serangannya yang me-matikan. Ketika pedang lawannya mengarah pinggang, ia berkelit ke samping, tapi Eng Kan melanjutkan serangannya dengan berjongkok dan menyabet ke arah kaki.

   Lian Hwa meloncat ke atas dan sebelum kakinya kembali ke bawah ia menggerakkan sedemikian rupa, merupakan tendangan maut. Kaki kirinya menotol dada penjahat itu yang segera menjerit lalu jatuh. Pedangnya terlepas dan dari mulutnya tersembur darah merah. Kemudian tubuhnya yang sudah tak berdaya itu bergulingan ke bawah akhirnya jatuh dari atas genteng. Sementara itu Hwat Khong sudah mendesak musuhnya hingga perempuan jahat itu kini repot menghindari serangan-serangan Hwesio kosen itu. Ketika mendengar jeritan Eng Kan, ia makin bingung dan ketika Hwat Khong mengirim serangan kepretan tangannya, pergelangan tangannya yang memegang pedang kena terpukul hingga pedangnya terpental dan jatuh ke atas genteng mengeluarkan suara berkerontangan. Lin Piauw yang baru saja sampai ke situ berteriak,

   "Bagus, tangkap padanya, Lo-Suhu!"

   Tapi perempuan itu dengan cepat meloncat ke bawah dan kabur dengan cepatnya.

   "Kejar! Tangkap!"

   Teriak Lin Piauw yang segera mengejarnya. Lian Hwa berkata,

   "Biarkan aku merobohkannya, saudara Lin!"

   Tangannya menyambar pedang penjahat perempuan yang jatuh tadi dan siap untuk dilontarkan ke arah tubuh lawan yang masih tampak. Tapi suhengnya membentak,

   "Jangan!"

   Maka Lian Hwa membatalkan niatnya. Lin Piauw kembali dengan percuma.

   "Tak dapat aku mengejarnya ia menghilang dengan cepat... sayang sekali! Lo-Suhu mengapa Lo-Suhu tidak mengejarnya?"

   Ia menegur agak kecewa.

   "Lin Lauwte, tak perlu penjahat itu dikejar-kejar, dan lebih tak perlu pula ia dibunuh karena dosanya tak sangat besar. Ia hanya pencuri biasa. Yang sangat berdosa telah membunuh jiwa orang hanya penjahat yang terbunuh oleh sumoi itu."

   Kemudian ia berkata kepada sumoinya.

   "Mari kita pulang, sumoi!"

   Di tengah perjalanan pulang ke kelenteng Hwat Khong Hwesio menegur sumoinya,

   "Sebetulnya tak perlu membunuhnya, sumoi."

   "Tapi suheng, ia seorang jahat sekali. Kalau tidak dibasmi mungkin membahayakan keselamatan umum."

   Suhengnya hanya menghela napas.

   "Hm, biarlah karena sudah terlanjur, pula mungkin ia memang sudah pantas membalas jiwa para kurbannya. Hanya lain kali sabarlah sedikit, jangan terlampau ganas."

   Lian Hwa hanya tunduk dan mereka melanjutkan perjalanan mereka.

   Pada suatu hari, dua orang laki-laki yang berpakaian sebagai orang-orang dari kalangan persilatan dan menunggang kuda datang ke kelenteng Ban-hok-thong. Mereka langsung menemui Hwat Khong Hwesio yang pada saat itu tengah bercerita kepada Han Lian Hwa tentang orang-orang ternama di kalangan kang-ouw. Begitu melihat Hwat Khong, mereka segera berlutut dan menyebut,

   "Suhu (guru)."

   Hwat Khong mengangkat bangun mereka dan berkata,

   "Bangun dan duduklah."

   Kedua orang itu bangun dan ketika pandangan mata mereka bertemu dengan Lian Hwa, mereka memandang guru mereka dengan mata mengandung pertanyaan, tapi mulut mereka diam saja tidak berani bertanya.

   "Ini adalah aku punya sumoi, maka kalian masih terhitung sutit (murid keponakan) dari sumoi ini!"

   Mendengar ini, kedua orang itu membuka mata lebar-lebar dengan penuh keheranan, tapi karena keterangan guru mereka itu, terpaksa menjura kepada Lian Hwa. Karena untuk berlutut mereka sungguh merasa tidak pantas, melihat "bibi guru", mereka itu tak lebih baru berusia enambelas tahun! Lian Hwa cepat-cepat balas menjura dan berkata sambil tersenyum,

   "Jiwi (kalian) janganlah menggunakan terlampau banyak peradatan, karena kita toh orang sendiri. Juga tak perlu kiranya memanggil aku dengan sebutan bibi guru segala, karena kalian jauh lebih tua dariku. Tentu hal ini akan sangat terasa janggal dan memalukan bagi jiwi."

   Hwat Khong pun tertawa,

   "Sumoi, ini adalah muridku pertama bernama Can Lun, dan ini murid kedua bernama Bwee Liong. Mereka membuka piauw-tiam (kantor ekspedisi) di Kwi-ciu."

   "Ah baru kutahu bahwa suheng juga mempunyai murid-murid. Masih ada lagikah muridmu, suheng?"

   "Masih ada seorang lagi murid perempuan bernama Siu Loan ialah puteri seorang cong-tok (Pembesar) di Kwi-ciu juga."

   Kemudian ia memperkenalkan Lian Hwa kepada muridnya.

   "Sukou (bibi guru) kalian ini adalah Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa!"

   Tapi nama ini sama sekali mereka belum pernah mendengarnya.

   "Kalau begitu aku akan memanggilmu saudara Can dan saudara Bwee saja dan jiwipun tak perlu menyebut bibi, sebut saja siauw-moi (adik) atau apa saja."

   "Rasanya tak pantas kalau saya menyebut siauw-moi, baiklah kusebut Lihiap saja,"

   Kata Bwee Liong.

   "Nah, cukuplah segala macam sebutan ini,"

   Mencela Hwat Khong.

   "Tidak biasa kalian datang pada waktu begini. Ada keperluan apakah sebenarnya kedatangan kalian ini?"

   "Teecu (murid) berdua datang, pertama untuk mengunjungi suhu karena sudah lama tidak menghadap, dan kedua teecu membawa surat undangan untuk suhu dari Ciauw Bun Liok Lo-Enghiong (pendekar tua) yang hendak merayakan ulang tahunnya yang ke lima puluh."

   Can Lun berkata sambil menyerahkan sepucuk surat undangan. Hwat Khong menerima surat itu dan membaca, lalu berkata sambil tertawa gembira.

   "Bagus, bagus. Ciauw Bun Liok si Garuda Kuku Emas (Kim-Jiauw-Eng) itu masih ingat kepada lohu yang tak ternama, Can Lun, engkau dan sute (adik seperguruan)mu Bwee Liong boleh mewakili aku pergi mengunjunginya dan antarkan suratku menghaturkan selamat."

   Tiba-tiba Han Lian Hwa berkata memohon,

   "Suheng, bolehkah aku saja mengantarkan surat itu?"

   Hwat Kong berpaling memandang sumoinya, lalu tertawa,

   "Hem, baik juga kalau kita pergi bersama agar kau dapat bertemu muka dengan para jagoan di kalangan kang-ouw. Can Lun, biarlah kauantar saja sumbanganku dan katakan bahwa aku akan datang pada waktunya bersama seorang sumoiku."

   Kedua murid itu berdiam di kelenteng gurunya selama tiga hari dan kemudian mereka kembali dengan membawa sepucuk surat pernyataan selamat berikut sumbangan berupa sebuah kotak kecil kuno terbuat dari kayu hitam berukiran liong (naga) yang indah dan terisi sebuah kartu merah bertulisan nama Hwat Kong dan sumoinya.

   Setengah bulan kemudian, Hwat Khong Hwesio mengajak sumoinya berangkat menuju ke kota Siang-kiu di Propinsi Holam, tempat kediaman Kim-Jiauw-Eng Ciauw Bun Liok si Garuda Kuku Emas. Karena perjalanan itu jauh dan melalui hutan-hutan, sedangkan pada masa itu keadaannya di sepanjang jalan tidak aman, maka Hwat Kong Hwesio membawa senjatanya berupa sebatang tongkat besi yang berat, Han Lian Hwa juga membawa pedangnya Siang-liong-kiam yang digantungkan di pinggang. Mereka berdua sengaja berjalan kaki karena Hwat Khong memang ingin menunjukkan tempat-tempat yang mereka lalui untuk menambah pengalaman sumoinya.

   Lian Hwa bukan main senangnya melakukan perjalanan kali ini karena dengan dikawani suhengnya ia bisa mendapat penerangan-penerangan jelas tentang segala yang dilihatnya. Mereka berjalan selama lima hari melalui beberapa buah kota yang menarik hati Lian Hwa. Gadis ini mengagumi bangunan rumah-rumah yang besar dan indah di sepanjang jalan. Tentu saja di sepanjang jalan pasangan ini tak luput dari perhatian orang. Hwat Khong bertubuh tinggi besar berwajah angker dan agung dengan sinar matanya yang terang. Lian Hwa merupakan seorang gadis yang cantik jelita, berpakaian ringkas warna merah muda dan di atas rambutnya yang hitam gombyok itu terhias sebuah bunga teratai emas tertabur ukiran naga dengan ronce-ronce merah membuat ia tampak gagah sekali.

   Tiap orang bertemu dengan mereka pasti menganggap bahwa nona itu tentu murid si Hwesio! Pada hari ke enam mereka tiba di kota Siang-siu. Hwat Khong pernah datang ke kota itu, maka ia tidak asing lagi dengan jalan di kota itu. Ia memilih hotel "Lian An"

   Sebagai tempat bermalam dan menyewa dua kamar. Keesokan harinya pagi-pagi Hwat Khong dan sumoinya berangkat menuju ke rumah Ciauw Bun Liok yang terletak di jalan sebelah barat. Kim-Jiauw-Eng Ciauw Bun Liok si Garuda Kuku Emas adalah seorang gagah yang disegani orang, karena selain berkepandaian tinggi juga terkenal seorang jujur yang menjunjung tinggi persahabatan di kalangan rimba persilatan. Ia terkenal dengan ilmu silatnya Kim-jiauw-kun (Ilmu Silat Garuda Emas) dan juga Kim-jiauw-kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Emas), ilmu silat keturunan keluarga Ciauw yang ditakuti lawan dan dikagumi kawan.

   Terutama ilmu pedangnya yang dimainkan dengan siang-kiam (pedang sepasang) sangat terkenal kelihaiannya. Karena memang sejak beberapa keturunan keluarga Ciauw adalah pedagang besar dan menjadi keluarga yang kaya, maka tak heran kalau rumah keluarga Ciauw merupakan gedung besar dan luas yang sangat mentereng. Di halaman belakang gedung itu terdapat taman bunga yang luas dan di tengah-tengahnya dibangun sebuah ruangan tempat bermain silat di mana terdapat delapanbelas macam senjata tajam bermacam-macam ukuran. Di situlah Ciauw Bun Liok menurunkan ilmu silatnya kepada kedua puteranya yang bernama Lin Eng dan Lin Houw, masing-masing berusia dua puluh tiga dan dua puluh enam tahun.

   Selain ilmu keturunan Kim-jiauw-kiam-hoat dan Kim-jiauw-kun, Ciauw Bun Liok pun pandai menggunakan delapanbelas macam senjata kaum persilatan. Pada hari itu, taman bunga gedung keluarga Ciauw penuh dengan tamu-tamu yang duduk mengelilingi meja, kurang lebih ada seratus orang tamu berkumpul di situ. Mereka sengaja datang dari berbagai tempat untuk ikut memberi hormat dan merayakan hari ulang tahun ke lima puluh dari Ciauw-Lo-Enghiong. Tamu-tamu itu seperti orang perantauan, ada yang seperti pendeta, pelajar dan banyak pula yang lagaknya seperti seorang pendekar silat. Ada juga beberapa orang wanita yang menggantung pedangnya di pinggang atau di belakang pungung. Tapi rata-rata mereka adalah ahli-ahli silat terkemuka. Di antara mereka yang kebanyakan adalah orang kang-ouw biasa dan berkepandaian cukupan saja,

   Terdapat juga Liok-chiu-sin-houw Bin Goan si Harimau Sakti Tangan Enam, Hak-san-Taihiap Ong Kwie si Pendekar dari Hak-san dan Kong Sin Ek yang dijuluki orang si Dewa Arak atau Ciu-sian. Mereka bertiga ini telah menjagoi di kalangan kang-ouw dan jarang menemukan tandingan. Juga di situ hadir pula wakil-wakil dari cabang Siauw-lim-si ialah Beng Sun Hosiang dan Tiat Lui In dari cabang Go-bi, pula terdapat ketua Hoa-san-pai yakni Pek Siong Tosu dan dua orang muridnya. Para ahli yang telah berusia lebih dari setengah abad itu mendapat tempat kehormatan. Kemudian datang Hwat Khong Hwesio dan Han Lian Hwa. Ciauw Bun Liok sendiri keluar menyambut Hwat Khong yang menjadi kawan baiknya di waktu muda. Ketika mereka berjumpa dan saling memberi hormat dengan gembira, Ciauw Bun Liok hanya mengangguk untuk membalas penghormatan Lian Hwa.

   "Selamat bertemu, sahabatku yang baik, mana sumoimu yang kaukatakan akan ikut datang itu?"

   Tanya Ciauw Bun Liok sambil memegang lengan Hwat Khong. Hwat Khong tersenyum menjawab,

   "Ha, Ciauw-Taihiap, jangan kau orang-tua mentertawakan pinceng. Sumoiku ialah nona ini yang bernama Han Lian Hwa."

   Bukan main herannya Ciauw Bun Liok mendengar ini, karena tadi ia sangka bahwa nona muda yang elok itu adalah murid kawannya. Segera ia menjura dengan hormat,

   "Maafkan, maafkan, lohu sudah terlalu tua hingga tidak melihat Gunung Thai-san di depan mata. Silakan masuk, Lihiap."

   Han Lian Hwa membalas hormatnya dan berkata manis,

   "Jangan sungkan-sungkan siok-hu (paman)."

   Ciauw Bun Liok lalu membimbing tangan Hwat Khong dan ditempatkan di bagian tempat terhormat dan menjadi satu dengan enam orang-tua tersebut di atas. Di antara para tamu banyak yang sudah mengenal nama dan pribadi Hwat Khong Hwesio, maka mereka merasa sudah sepatutnya Hwesio kosen itu diberi tempat terhormat. Tapi gadis muda yang lemah lembut itu mengapa juga diberi tempat terhormat? Gadis itu paling hebat juga murid Hwat Khong. Maka banyak diantara kaum muda yang merasa iri hati dan menganggap Ciauw Lo-Enghiong telah berlaku menjilat dan kurang adil. Setelah semua tamu lengkap jumlahnya kecuali beberapa orang yang tak dapat datang, Ciauw Bun Liok berdiri di tengah-tengah ruangan itu sambil mengangkat tangan memberi hormat ke sekeliling, kemudian membuat sambutan singkat.

   "Para cianpwe (sebutan menghormat kepada golongan tua) yang terhormat dan sekalian Enghiong dan saudara yang terhormat. Saya menghaturkan beribu terima kasih atas kunjungan yang menyatakan kecintaan hati saudara sekalian kepada saya yang rendah. Semoga Thian (Tuhan) saja yang akan membalas kebaikan hati ini. Dan maafkanlah kiranya jika perjamuan ini kurang lengkap."

   Kemudian pesta dimulai dengan ramai dan gembira. Sementara itu Hwat Khong dengan perlahan memperkenalkan para cabang atas yang hadir di situ kepada Lian Hwa. Tiba-tiba, di tengah-tengah pesta, seorang yang duduk di bagian para muda berdiri mengajukan usul, yakni untuk menghormat tuan rumah dan untuk menambah pengetahuan yang muda, dimohon dengan hormat agar para cianpwe dan ahli yang duduk di tempat terhormat suka memberi sedikit pertunjukan ilmu silat. Usul ini disambut oleh semua hadirin dengan tepuk tangan yang riang gembira. Sudah tentu para jago tua itu merendahkan diri dan mengajukan keberatan, tapi karena permintaan itu disokong oleh seratus mulut, maka terpaksa Ciauw Bun Liok berdiri dan berkata kepada para jago tua.

   "Cuwi, saya mohon dengan hormat sudilah kiranya cuwi berbaik hati dan meluluskan permohonan mereka itu, hitung-hitung membantu saya yang tidak mempunyai apa-apa untuk menggembirakan hati para hadirin yang mulia."

   Ciu-sian Kong Sin Ek si Dewa Arak tertawa,

   "Ha, Ciauw-heng pandai memancing orang. Baiklah, aku terima permintaan ini tapi harus ada syaratnya, yaitu engkau sendiri harus membuka pertunjukan ini, bagaimana?"

   Ciauw Bun Liok mengangkat alis dan pundak.

   "Ini namanya terjeblos lobang sendiri,"

   Katanya tertawa.

   "Tapi apa boleh buat, untuk menghormat tamu aku harus capekkan tulangku yang tua ini."

   Lalu dengan suara keras ia memberi tahu kepada semua tamu bahwa pertunjukan akan dibuka dan ia sendiri yang pertama kali akan memulai. Lain-lain jago tua terpaksa meluluskan juga. Karena ruang berlatih silat yang merupakan panggung segi empat lebar itu berada di tengah-tengah taman bunga, maka tak perlu diadakan persiapan lagi. Ketika Ciauw Bun Liok hendak mulai bersilat, tiba-tiba dari luar mendatangi serombongan tamu baru. Yang jalan terdepan adalah seorang berusia kurang lebih empat puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan tindakan kakinya tetap, kelihatannya angkuh sekali. Begitu masuk, ia berkata keras,

   "Ya, pantas saja Ciauw Lo-Enghiong melupakan kami, kiranya sedang sibuk sekali."

   Semua orang menengok dan Ciauw Bun Liok memandang agak tidak senang tapi terpaksa ia meloncat turun dari panggung dan menyambut mereka,

   "Maafkan saya orang-tua yang menyambut agak terlambat. Silakan."

   Ia lalu membawa mereka berempat ke ruangan itu, tapi karena tempat yang disediakan olehnya untuk para Lo-Cianpwe golongan tua sudah penuh, terpaksa mereka berempat diberi tempat yang sama dengan tamu-tamu lainnya.

   Banyak tamu terperanjat ketika melihat mereka, karena mengenal bahwa keempat orang itu adalah San-ciu Si-houw atau Empat Harimau dari San-ciu bernama Bu Houw, Tiat Houw, Cin Houw, dan Ban Houw. Mereka ini sangat terkenal dan belakangan ini nama mereka menjulang tinggi karena keempat orang ini mempunyai kepandaian yang istimewa dan lihai. Bahkan dikabarkan orang bahwa mereka ini beberapa kali telah melabrak jago-jago dari cabang Go-bi, hingga Tiat Hui In yang kini berada pula di situ diam-diam mengerutkan kening. Ketika mendengar bahwa para Lo-Cianpwe hendak memperlihatkan kepandaian mereka, Bu Houw harimau tertua segera tertawa bergelak-gelak dan ketiga saudaranya bertepuk tangan.

   "Bagus, bagus. Alangkah baiknya, kami paling senang melihat orang bersilat,"

   Kata mereka dengan lagak menjemukan tapi tak seorangpun berani memperlihatkan perasaan tak senangnya. Setelah menuang arak dan menawarkan hidangan untuk tamu-tamu baru itu Ciauw Bun Liok kembali ke atas panggung dan setelah mengangguk dan menjura ke sekeliling ia mulai bersilat pedang. Ternyata gerakannya sangat gesit dan siang-kiam (pedang pasangan) yang ia mainkan bergerak-gerak merupakan gulungan dua sinar putih melindungi tubuhnya. Sehabis bersilat semua orang memuji dan San-ciu Si-houw empat kakak beradik itu bertepuk-tepuk dan berseru,

   "Bagus. Bagus."

   Lagak mereka seperti anak kecil, terang bahwa mereka sengaja berlagak demikian untuk menarik perhatian.

   Han Lian Hwa yang duduk di dekat suhengnya merasa sangat gemas melihat mereka, terutama melihat Ban Houw si Harimau Bungsu itu sejak tadi dengan secara menyolok dan terang-terangan selalu memandang padanya bahkan mengajak tertawa. Kemudian Sin Ek si Dewa Arak mempertunjukkan keahliannya yang lihai juga. Setelah meneguk habis seguci kecil arak, ia berloncat ke atas panggung dan melepaskan jubahnya. Lalu dengan kain jubah itu ia bersilat. Tapi sungguhpun hanya kain, di dalam tangan si Dewa Arak itu merupakan senjata yang tak boleh dipandang ringan. Di waktu menggunakan tenaga kasar, jubah itu menyambar kaku merupakan toya (pentungan) besi dan di waktu ia menggunakan tenaga lemas, jubah itu seakan-akan ular yang dapat melibat senjata tajam.

   Tentu saja permainannya ini mendapat sambutan hebat karena mereka maklum akan kelihaiannya orang-tua yang brewokan ini. Bahkan Hwat Khong Hwesio mau tak mau memuji dan menyatakan kagumnya. Berturut-turut Bin Goan si Harimau Sakti Tangan Enam memperlihatkan keahliannya bersilat Ta-houw-ciang, Ong Kwie si Pendekar dari Hak-san mempertunjukkan permainan silat dengan joan-pian (ruyung lemas) yang membuat ia terkenal dua puluh tahun lebih di kalangan kang-ouw, kemudian ketua Hoa-san-pai Pek Siong Tosu bersilat tangan kosong dikeroyok dua orang muridnya yang bersenjata pedang. Beng Sun Hosiang wakil Siauw-lim-si terpaksa pula bersilat tangan kosong. Gerakannya kuat pukulan kedua lengannya mendatangkan angin, menandakan tenaga yang besar. Kemudian Ciauw Bun Liok menghampiri Hwat Khong dan sambil tertawa berkata,

   "Nah, kaupun tak terluput harus membantuku, sahabat baik. Perlihatkan Tiat-mo-pang (Toya Ular Besi) ilmumu yang lihai itu!"

   "Ah, engkau bikin pinceng malu saja. Ciauw-Taihiap, baiklah pinceng main-main sebentar, tapi perkenankanlah pinceng bersilat dengan sumoiku ini agar lebih menarik kelihatannya."

   Hwat Khong sengaja berbuat ini agar nanti Lian Hwa tak usah bersilat seorang diri lagi, karena iapun maklum bahwa di antara sekian banyak tamu ada yang memperlihatkan pandangan kurang ajar pada sumoinya, sehingga jika sekarang sudah bersilat dengan ia, maka sumoi itu tak perlu lagi mempertontonkan dirinya. Ciauw-Lo-Enghiong meluluskan dengan gembira, hanya para lo-cianpwe yang duduk dekat mereka menjadi heran mendengar Hwesio itu menyebut sumoi kepada Lian Hwa. Kini mereka memandang gadis itu dengan penuh perhatian. Hwat Khong mempersilakan sumoinya mencabut pedang. Ketika pedang Sian-liong-kiam dicabut, para jngo tua diam-diam mengangguk kagum melihat cahaya kehijau-hijauan yang keluar dari mata pedang itu.

   Hwat Khong sendiri lalu menyeret tongkatnya dan mereka mulai bersilat. Ternyata permainan itu berat sebelah, karena yang tampak menyerang hanya Hwat Khong saja, sedangkan Lian Hwa hanya berkelit ke sana ke mari menghindari sambaran tongkat suhengnya. Gadis itu tahu bahwa tongkat suhengnya tentu akan tertabas buntung jika beradu dengan mata pedangnya, maka dalam menangkis serangan ia selalu menggunakan muka pedangnya, bukan bagian tajamnya. Tapi ia selalu berlaku lambat untuk memberi muka kepada suhengnya yang sudah ternama itu. Dengan demikian, maka di mata sebagian besar para tamu Lian Hwa agaknya terdesak sekali. Setelah mereka berhenti main silat, semua orang memuji kepandaiannya Hwat Khong yang memang lihai ilmu toyanya.

   Pada Lian Hwa, semua orang tak pandang sebelah mata, karena sebagian besar dari mereka menganggap bahwa gadis itu hanya murid Hwat Khong. Kini tiba giliran Tiat Lui In dari cabang Go-bi yang diminta mempertunjukkan kepandaiannya. Orang-tua berbaju putih itu dengan merendah terpaksa meloncat ke atas panggung. Tapi sebelum ia bersilat, tiba-tiba sebuah bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu Tiat Houw yang berpakaian hitam berada pula di atas panggung dan menjura di hadapan Tiat Lui In. Di antara keempat saudara Houw itu, Tiat Houw terkenal paling kejam dan berangasan. Sejak tadi ketika melihat seorang wakil Go-bi berada di situ, ia telah menahan-nahan ketidaksenangan hatinya. melihat Tiat Lui In mendapat ketika untuk memperlihatkan kemahirannya, ia tak dapat menahan sabar lagi dan segera meloncat ke atas pangung.

   "Lo-Cianpwe maafkan saya yang muda. Melihat bahwa permainan silat pasangan lebih ramai dan menarik dari pada kalau bersilat sendirian, maka ijinkanlah saja menemani Lo-Cianpwe untuk main-main,"

   Katanya dengan suara dibikin-bikin merendah dan sopan, tapi mengandung tantangan pedas. Ciauw Bun Liok merasa sangat tidak senang melihat gangguan ini, maka ia segera menghampiri mereka. Pada saat itu Tiat Lui In dengan sabar tersenyum menjawab.

   "Congsu (orang gagah), mana lohu berani main-main dengan orang muda yang masih kuat?"

   "Jangan begitu Lo-Cianpwe, sebenarnya aku Tiat Houw telah sering bertemu dan mengukur kepandaian dengan beberapa orang yang mengaku murid Go-bi, tapi mereka semua itu hanya orang-orang tak berarti. Aku rasa mereka itu hanya Gobi-gobian dan palsu belaka, maka kini setelah di sini terdapat seorang ahli yang asli dari Go-bi, bagaimana aku dapat menyia-nyiakan kesempatan untuk membuktikan kelihaian cabangnya?"

   "Tiat Houw-hiante, saya harap kau suka mengalah dan membiarkan Tiat Lui In Lo-Enghiong, bersilat seorang diri. Nanti sesudah dia, barulah engkau memperlihatkan pula kepandaianmu untuk kita lihat,"

   Membujuk Ciauw Bun Liok.

   "Jangan bikin aku kecewa karena melepaskan kesempatan baik ini, Ciauw Lo-Enghiong. Dan apa salahnya main-main berdua, jika Tiat Lo-Cianpwe tidak menolak permintaanku?"

   Jawab Tiat Houw tak senang.

   "Biarkanlah, Ciauw Bun Liok. Biar aku yang tua melayani orang muda ini kalau ia mendesak."

   Tapi Ciauw Bun Liok melihat gelagat tidak baik dan maklum akan adanya kebencian diantara keempat Harimau dan partai Go-bi, tetap pada pendiriannya melarang kedua orang itu bertanding, biarpun hanya secara "main-main."

   Tiat Lui In merasa tidak baik memaksa dan terpaksa mundur sambil berkata kepada Tiat Houw.

   (Lanjut ke Jilid 04)

   Si Teratai Merah/Ang Lian Lihiap (Seri ke 01 - Serial Si Teratai Merah)

   Karya : Asmaraman S Kho Ping hoo

   Jilid 04

   "Maaf, bukannya aku si orang-tua kurang sopan tidak mau melayani yang muda, tapi sebagai tamu aku harus tunduk kepada tuan rumah."

   Ia menjura dan kembali ke tempat duduknya. Tiat Houw menjadi kurang senang kepada Ciauw Bun Liok.

   "Ciauw Lo-Enghiong, akupun terpaksa membatalkan niatku mohon pengajaran dari Tiat Lo-Enghiong. Maka kini harap kau orang-tua sudi meluluskan permintaanku ini, yaitu harap kau suka memberi pelajaran sejurus dua jurus kepadaku. Tadi aku sudah menyaksikan kelihaian ilmu silatmu. Bagaimana, Ciauw Lo-Enghiong, suka kau bermurah hati dan mengajarku?"

   Sungguh orang tak tahu diri, pikir Ciauw Bun Liok, tapi terpaksa ia tersenyum juga dan menjawab,

   "Kalau congsu tidak merasa rendah bermain-main denganku, marilah kulayani!"

   Tadi ia menyebut hiante yang lebih ramah dari pada sebutan congsu, untuk menyatakan kemendongkolan hatinya. Tapi Tiat Hauw tidak merasa akan pergantian sebutan dan perobahan sikap tuan rumah atau memang sengaja ia berlaku nekat terdorong kesombongannya. Mereka berdua siap untuk menguji kepandaian masing-masing, tapi pada saat itu Ciauw toa-Kongcu putera pertama dari keluarga Ciauw meloncat di antara mereka sambil membentak.

   "Orang tak tahu adat, mengapa kau hendak mengacau tempat kami?"

   Dan pada ayahnya ia berkata.

   "Ayah, hari ini adalah hari baikmu, jangan ayah capekan hati melayani orang-orang kurang ajar. Biarlah anak mencobanya."

   

Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini