Ceritasilat Novel Online

Si Teratai Merah 4


Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



Tanpa banyak cakap pula ia menjotos ke arah Tiat Houw dengan tipu Pai-san-to-hai (Menolak Gunung Menguruk Laut) sebuah pukulan yang sangat berbahaya.

   "Bagus,"

   Teriak Tiat Houw dengan suara menyindir sambil mengelak pukulan lawan menggunakan lengannya menyampok tangan kiri lawan.

   Ciauw-Kongcu merasa dorongan sampokan itu keras sekali hingga ia terhuyung ke belakang. Tahulah ia bahwa tenaga lawan hebat sekali. Tapi ia tidak takut bahkan maju pula menyerang dengan hebat. Baru beberapa jurus saja terlihatlah sudah bahwa Tiat Houw jauh lebih kuat. Ketika lawannya memukul ke arah pinggangnya dari samping, ia memutar tubuh secepat kilat menangkap tangan lawannya dan menarik ke belakang. Tubuh Ciauw-Kongcu mendoyong ke depan dan pada saat itu kaki Tiat Houw melayang, tepat mengenai dada lawannya. Dengan hati cemas dan marah, Ciauw Bun Liok melihat betapa anaknya roboh sambil muntahkan darah terus pingsan. Beberapa orang pelayan buru-buru menghampiri Ciauw-Kongcu dan mengangkatnya ke dalam rumah. Ciauw Bun Liok tak dapat menahan pula marahnya. Ia meloncat ke atas panggung menghadapi Tiat Houw.

   "Orang kurang ajar. Sungguh kau sombong sekali. Tak kusangka kedatanganmu, di sini sengaja membuat kacau. Engkau bukan hanya main-main memperlihatkan ilmu silat, bahkan telah berani melukai puteraku secara keji. Nah, jangan sesalkan kalau aku menghajar adat padamu!"

   Orang-tua itu siap untuk menyerang tapi pada saat itu seorang perempuan dengan gerakan indah melayang ke atas gelanggang. Ia adalah Han Lian Hwa yang mendapat perkenan suhengnya untuk mewakili tuan rumah. Lian Hwa menjura kepada Ciauw Bun Liok dan berkata,

   "Maafkan aku, Ciauw-siokhu. Engkau adalah golongan cianpwee orang-tua yang pantas dihormati. Kurasa tidak pantas kalau siok-hu melayani orang muda seperti Tiat Houw Enghiong ini. Biarkanlah aku yang muda mewakilimu."

   Ciauw Bun Liok berdiri bingung dan bimbang, tapi ketika ia melirik ke arah Hwat Khong, Hwesio ini mengangguk-angguk dan berkedip mata. Terpaksa ia mundur dengan hati khawatir.

   "Nah, Harimau Besi (Tiat Houw) engkau mau main-main cara bagaimana? Tangan kosong atau bersenjata?"

   Dengan langsung Lian Hwa menantang. Tiat Houw agak bingung juga melihat tiba-tiba Ciauw Bun Liok diganti oleh nona cantik ini. Sebelum ia menjawab, tiba-tiba dari belakangnya meloncat seorang yang ternyata bukan lain adalah Ban Houw, harimau termuda. Sejak tadi Ban Houw kagum melihat kecantikan Lian Hwa yang seakan-akan bunga teratai merah muda baru mekar, dan ia sudah melihat pula bahwa kepandaian silat gadis itu tak berapa tinggi, ternyata dari gerakannya ketika bersilat melawan Hwat Khong Hwesio tadi. Maka kini melihat gadis itu masuk ke gelanggang menggantikan tuan rumah, ia menjadi gembira dan meloncat pula menyusul kakaknya.

   "Ji-ko (kakak kedua)! Biarkan aku main-main dengan perempuan ini!"

   Tiat Houw tersenyum dan meloncat turun. Kata-kata yang diucapkan Ban Houw itu sungguh kurang ajar, maka para jago tua yang berada di situ mendengar dengan wajah merah. Bahkan Hwat Khong Hwesio yang biasanya sangat sabar, mengertak gigi karena marah.

   "Eh, eh! Ini harimau kecil berani unjuk gigi! Engkau mau main-main dengan aku? Boleh, boleh, nonamu sudah siap,"

   Lian Hwa mengejek. Dengan senyum aksi dibuat-buat Ban Houw mulai dengan serangannya.

   Tangan kanannya menyambar ke pundak Lian Hwa untuk dicengkeram. Ketika gadis itu berkelit, tangan kirinya menyelonong ke depan menyambar pinggang gadis itu. Lian Hwa mengeluarkan suara mengejek dan meloncat ke samping sambil mengirim tendangan hebat! Gerakan berkelit sambil menyerang ini sangat sukar dilakukan dan sukar pula diduga hingga Ban Houw terkejut bukan main. Untungnya ia masih dapat memutar tangan kanannya ke bawah untuk menangkap kaki Lian Hwa yang menendang. Tak tahunya, tendangan itu biarpun datangnya begitu cepat, tiba-tiba saja bisa ditarik pulang dan sebelum tahu bagaimana terjadinya, Ban Houw merasa tiba-tiba telinga kirinya panas dan matanya berkunang-kunang! Terdengar suara ketawa di sana sini karena baru dua jurus saja gadis itu telah dapat menggunakan tangannya menempiling kepala lawan yang mengenakan telinganya.

   Tamparan di telinga itu menerbitkan suara "plok"

   Yang keras hingga nampaknya lucu. Ban Houw menjadi marah. Ia tadinya tidak menyerang sungguh-sungguh karena tidak mau melukai nona cantik itu, tapi kini tamparan yang memanaskan telinga dan hati itu membuat ia mata gelap. Dengan geraman buas ia menubruk dengan tipu Siok-lui-ting (Petir Menyambar di Atas Kepala), tapi Lian Hwa sambil tertawa kecil melompat ke belakang dengan gerakan Kim-lee-coan-po (Ikan Gabus Menerjang Ombak). Dua kali Ban Houw menubruk, tapi dua kali pula gadis itu melompat dengan gerakan indah. Dalam murkanya Ban Houw lalu mengeluarkan ilmu silatnya Pat-kwa-kun dan menyerang dengan maksud membunuh. Tapi ternyata gadis itu mengenal ilmu silatnya dengan baik. Beberapa kali Ban Houw kena ditendang, ditampar dan diejek. Setelah berlangsung hampir tiga puluh jurus, tiba-tiba Lian Hwa membentak.

   "Pergilah kau!"

   Dan sebelum ia mengerti musuh menggunakan gerakan bagaimana, tahu-tahu Ban Houw terlempar ke udara dan jatuh di luar kalangan. Untung tubuhnya kuat dan lemparan itu memang bukan dimaksud untuk membanting keras, hingga ia tidak mendapat luka berat.

   Ketika tadi Lian Hwa berkelit ke sana ke mari, jago tua diam-diam memuji kelincahan gadis itu dan mereka mengenal tipu-tipu silat yang digunakan gadis itu. Tapi gerakan melempar Ban Houw keluar panggung tadi sungguh membuat mereka heran. Tak seorangpun di antara mereka pernah melihat gerakan itu. Gerakan itu seperti gerakan Cio-po-thian-keng (Batu Meledak Langit Gempur) sebuah tipu gerakan ilmu silat cabang Kun-lun-pai tapi agak berbeda dan jauh lebih sukar dilakukan karena ketika melempar, gadis itu mengangkat kaki kirinya ke atas. Apakah itu kebetulan saja? Ban Houw yang kena dilempar merasa penasaran dan malu, tapi ia tidak kapok. Ia meloncat kembali ke panggung setelah mengambil sebatang pedang dari kakaknya. Lian Hwa berdiri bertolak pinggang memandang lawannya dengan senyum manis,

   "Eh, eh, bocah ini masih berani kembali ke sini? Lho, kau bawa-bawa pedang buat apa? Buat menakut-nakuti aku? Hati-hati, jangan main pedang nanti tanganmu sendiri terluka!"

   Ejekan ini sungguh hebat. Ban Houw memandang dengan mata mendelik, lalu tanpa ingat keadaan ia memaki,

   "Perempuan busuk, kalau engkau ada kepandaian ambillah senjatamu!"

   "Hem, anak tak tahu diri. Sudah dihajar masih belum kapok. Kau kira kepandaianmu itu sudah cukup untuk dipakai melagak? Haya! Seperti katak dalam tempurung saja. Untuk menghadapi pedangmu yang hanya pantas dipakai dalam dapur itu tak perlu nonamu ambil senjata. Hayo, seranglah!!"

   "Perempuan sombong. Jangan jadi setan penasaran kalau kepalamu menggelinding di lantai ini!"

   Lalu ia menyerang dengan ganas. Lian Hwa miringkan tubuhnya dan pedang menyambar di sisi tubuhnya berbunyi "sing"

   Karena kerasnya sabetan.

   Ban Houw yang melihat serangannya dikelit demikian mudah menjadi penasaran dan makin marah. Dikirimnya serangan bertubi-tubi dan pedangnya bergerak bagaikan gulungan asap berpancaran ke sana sini. Tapi Lian Hwa dengan enak saja mengandalkan ginkangnya yang luar biasa, bergerak menyusup sana sini di antara sambaran mata pedang. Baru sekarang para tamu tahu akan kelihaian gadis yang mereka tadinya tak pandang sebelah mata itu. Bahkan Ciauw Lo-Enghiong yang duduk di dekat Hwat Khong tanpa terasa memegang lengan tangan kawannya itu dan meremas-remasnya. Untung Hwat Khong bukan orang sembarangan, kalau tidak pasti lengan itu akan menjadi matang biru. Mulut orang-tua itu ternganga dan akhirnya ia menghela napas berulang-ulang sambil menyebut,

   "Ya Tuhan! Pantas saja ia menjadi sumoimu, tak tahunya ia demikian lihai."

   Hwat Khong merasa girang mendengar pujian itu dan tersenyum lebar. Keadaan sangat tegang karena kini tubuh Lian Hwa tak tampak lagi, hanya ikat pinggangnya yang berwarna merah berkibar-kibar di antara sinar pedang.

   Lian Hwa merasa sudah cukup mempermainkan lawannya yang kini mulai berkeringat dan lelah. Ketika Ban Houw menyerang dengan nekat, yakni dengan tipu Angin Selatan Menghembus, sebuah tipu yang hanya dilakukan oleh orang nekat yaitu pedang di tangan kanan menusuk dada dan tangan kiri berbareng mencengkeram ke arah kepala lawan, Lian Hwa berayal menantikan datangnya, ia berjongkok menghindarkan pedang dan tangan kiri yang mencengkeram, lalu secepat kilat ia tangkap pergelangan lengan yang memegang pedang dan mendorong pedang itu ke arah tangan kiri penyerangnya. Terdengar teriakan ngeri dan Ban Houw melepaskan pedangnya lalu terhuyung-huyung sambil memegang tangan kirinya yang berdarah. Ternyata dua buah jari tangannya telah terpotong oleh pedang sendiri.

   "Nah, nah, nah! Apa kataku tadi? Kau main-main dengan pedang, sekarang tanganmu sendiri terpotong!"

   Lian Hwa mengejek.

   "Bangsat perempuan sungguh kejam! Lihat pedang!"

   Seruan ini dibarengi berkelebatnya sebilah pedang yang menyambar ke arah leher Lian Hwa yang masih berdiri tertawa-tawa. Dengan gerakan manis Lian Hwa menghindarkan diri dari sabetan sambil meloncat mundur.

   "Ah, kiranya macan tua menuntut balas. Bu Houw Enghiong, apakah pandanganmu juga sepicik adikmu yang kecil itu? Kau seorang kang-ouw ternama dan tersohor gagah. Apakah kau tak dapat melihat kesalahan adikmu sendiri bahkan mau menambah kesalahan itu? Ingat, kawan, waktu ini kita semua hanya menjadi tamu dan untuk menghormat tuan rumah yang terkenal sebagai seorang budiman dan gagah, tidak seharusnya adikmu membikin ribut! Barusan aku sengaja mewakili tuan rumah menghukum adikmu, seharusnya kau sebagai kakaknya berterima kasih padaku!"

   "Perempuan sombong, jangan banyak mulut! Sebelum aku balaskan kekalahan adikku, katakanlah dulu siapa kau yang ganas ini."

   "Aku orang biasa saja tidak gagah seperti kalian San-ciu Si-houw Empat Harimau dari San-ciu yang terkenal suka berkelahi dan jarang dikalahkan orang! Aku adalah sumoi dari Hwat Khong suheng namaku Han Lian Hwa atau boleh juga kau ingat agar jangan lupa bahwa aku disebut orang Ang Lian Lihiap!"

   "Hm, baru saja keluar kandang sudah menjadi sombong. Baiklah, Ang Lian Lihiap, adikku yang bodoh memang kalah olehmu, tapi jangan kau mencari siasat untuk melepaskan diri dariku. Ambillah senjatamu dan lawanlah aku."

   Ang Lian Lihiap menggeleng-geleng kepala.

   "Kalau hanya kau sendiri, aku tidak mau melayani."

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Bu Houw penasaran.

   "Kau mau gunakan siasat maju berganti-ganti agar aku menjadi lelah bukan? Aku tidak mau! Kalau memang kau penasaran dan tetap hendak bertempur dengan aku, majulah kamu bertiga. Atau kalau adikmu yang kecil tadi masih kuat, boleh juga berempat. Agar aku dapat membereskan sekaligus. Kalau satu demi satu ogah!"

   "Sumoi!"

   Bentak Hwat Khong dengan marah. Ia tidak senang melihat sumoinya timbul pula kenakalannya hingga terdengarnya seperti sangat sombong. Selain itu khawatir karena sumoinya telah menantang keempat harimau itu maju berbareng! Sedangkan ia maklum bahwa mereka itu sangat lihai. Ia sendiri, kalau satu lawan satu mungkin bisa menang, tapi kalau satu lawan tiga atau empat? Lian Hwa menengok ke arah suhengnya dan menjura,

   "Suheng kali ini maafkanlah sumoimu, karena mereka ini menang harus dihajar!"

   Kemudian ia menghadap keempat penjuru sambil menjura kepada semua tamu.

   "Cuwi Enghiong yang berkumpul di sini tentu telah melihat bahwa yang membikin kacau perjamuan ini adalah keempat harimau San-ciu ini. Maka kini aku yang muda mewakili Ciauw Lo-Enghiong untuk memberi hajaran kepada mereka, bagaimanakah pikiran cuwi? Aku akan menurut keputusan orang banyak. Haruskah aku turun dari panggung ini ataukah cuwi sekalian setuju?"

   Hampir setengahnya para tamu itu menjawab riuh,

   "Setuju!"

   Dengan lagak lucu Lian Hwa mengangkat pundak tanda bo-hwat (tidak berdaya) dan menjura kepada suhengnya sambil tersenyum. Kemudian gadis itu menjura kepada Ciauw Bun Liok,

   "Ciauw-siokhu, maafkan aku berlaku kurang ajar dan merampas hakmu menghajar anak-anak nakal ini."

   "Perempuan rendah! Kau sungguh sombong! Awas jangan menyesal nanti, kau sendiri yang minta kami bertiga maju berbareng!"

   Bentak Bu Houw dengan marah.

   "Siapa menyesal? Jangan khawatir, kalian anak-anak jangankan mau mengalahkan aku, sedangkan kalau bunga teratai di rambutku ini sampai terlepas saja, aku mengaku kalah!"

   Panas hati mendengar hinaan ini Tiat Houw dan Cin Houw segera meloncat ke atas panggung sambil mencabut pedang sedangkan Ban Houw yang terpotong jarinya hanya dapat melihat dengan mendongkol. Ia hanya yakin bahwa ketiga kakaknya pasti akan dapat membalas sakit hatinya. Melihat ketiga jagoan dari San-ciu itu dengan pedang terhunus berdiri di depan dan kanan kiri gadis kecil itu, mau tak mau Hwat Kong merasa dadanya berdebar-debar demikianpun semua orang. Tapi Lian Hwa tetap berdiri tenang bahkan tersenyum-senyum.

   "Perempuan rendah, lekas keluarkan senjatamu,"

   Teriak Tiat Houw.

   "Ah, senjata kalian terlampau lemah dan empuk untuk melawan pedangku, tapi apa boleh buat, karena kalian yang minta, terpaksa aku menggunakannya."

   Sambil berkata demikian Lian Hwa mencabut Sian-liong-kiamnya yang mengeluarkan sinar hijau.

   "Majulah berbareng!"

   Tantangnya. Betul saja, tiga harimau itu maju menerjang berbareng, seorang dari depan dua orang dari kanan kiri. Tiba-tiba mata mereka silau ketika Lian Hwa menggerakkan pedangnya ke kanan kiri dan

   "Trang, trang, tring!!"

   Bukan main riuh keadaan di situ dan ketiga harimau itupun kaget setengah mati ketika melihat pedang mereka ternyata semuanya terpapas buntung tinggal gagangnya saja.

   "Ha, apa kataku tadi? Salahmu sendiri telah minta aku menggunakan pedangku,"

   Kata Lian Hwa dengan tenang lalu menyimpan kembali senjatanya di dalam sarungnya.

   "Hebat! Lihai sekali!"

   Demikian seruan terdengar dari kanan kiri. Lian Hwa tak perdulikan itu semua, lalu meloncat ke arah rak senjata dan mengambil tiga batang pedang dan sebuah sarung pedang dari kulit kerbau.

   "Maaf, Ciauw Lo-Enghiong, saya pinjam senjata-senjatamu ini sebentar."

   Ia lalu melemparkan ketiga pedang itu ke arah lawan-lawannya yang segera disambut oleh mereka. Hati ketiga harimau itu sudah menjadi gentar melihat kehebatan pedang gadis itu, tapi kini mereka mendapat pedang baru dan dengan heran melihat gadis itu kini hanya memegang sebatang sarung pedang dari kulit.

   "Nah, sekarang majulah kalian! Aku cukup menggunakan sarung ini saja agar pedang-pedangmu takkan buntung lagi! Hati-hati, pedang itu milik tuan rumah, jangan sampai rusak!"

   Hebat sekali hinaan ini hingga saking marah dan malunya Bu Houw bertiga menjadi merah mukanya dan Tiat Houw hampir saja menangis.

   Tapi mereka masih ada harapan karena mustahil kalau mereka bertiga tidak mampu membikin malu atau mencelakakan gadis setan ini. Bu Houw berseru keras dan menyerang dengan tipu-tipu dari gerakan pedang Tian-hong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Kilat dan Angin) sedangkan Tiat Houw dan Cin Houw dari kanan kiri menyerang dengan gerakan ilmu pedang Siang-houw-chut-tong (Sepasang Harimau Keluar Goa). Pedang mereka bertiga menyerang dengan hebat, seorang menusuk dada dari depan, dari kiri membacok leher dan dari kanan menyapu pinggang Lian Hwa. Terdengar suara ketawa gadis itu dan tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat cepat sehingga sukar dilihat karena ia menggunakan ilmu meringankan tubuh Too-tiam-leng-po-pou yang sudah dipelajari sampai sempurna.

   Tubuhnya ringan dan gesit, gerakannya cepat dan tak terduga oleh musuh, hingga ketiga musuhnya menjadi kacau penyerangan mereka. Sarung pedang kulit kerbau itu sungguhpun hanya sebuah benda yang tidak berapa keras, tapi di tangan Lian Hwa merupakan senjata yang bukan tidak berbahaya. Tiap kali kulit itu membentur pedang musuh, musuh merasakan sebuah tenaga besar yang membuat telapak tangan mereka yang memegang pedang merasa kesemutan. Para jago tua, terhitung juga wakil-wakil dari Siauw-lim-si, cabang Go-bi, dan yang lain, juga Hwat Khong Hwesio, kini benar-benar kagum. Mereka tidak sangka sama sekali bahwa nona semuda itu dapat memiliki kepandaian yang luar biasa ini. Dengan sekaligus pandangan mereka terhadap Hwat Khong jadi naik tinggi sekali. Baru sumoinya saja begini hebat apa pula suhengnya. Demikian pikir mereka.

   Sedikitpun mereka tak menyangka bahwa pada saat itu pun sang suheng sendiri terheran-heran melihat kelihaian sumoinya. Hanya Ciauw Bun Liok seorang yang mengerti bahwa gadis itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada kepandaian Hwat Khong, karena ia tahu betul sampai di mana batas kepandaian kawannya itu. Maka iapun sangat heran dan tidak mengerti siapakah sebenarnya guru Ang Lian Lihiap itu. Lebih-lebih para tamu muda, mereka menonton dengan mulut ternganga dan mata terpentang lebar. Mereka tak dapat melihat gadis itu dengan jelas lagi, sudah tentu hati mereka sangat kagum. Biarpun Lian Hwa telah mendapat pimpinan seorang guru yang luar biasa dan kini memiliki kepandaian yang hampir mencapai puncak kesempurnaan,

   Namun tidak mudah saja baginya untuk menjatuhkan tiga jago dari San-ciu itu dengan cepat, apa pula hanya dengan bersenjatakan sarung pedang dari kulit. Kalau sekiranya ia mempergunakan Siang-liong-kiam, sudah pasti pertempuran itu takkan berjalan lama. Ketiga harimau dari San-ciu itu benar-benar kosen, lebih-lebih Bu Houw dengan permainannya ilmu silat Pedang Angin. Pedangnya mengeluarkan suara angin menderu-deru, sungguh agak sukar bagi Lian Hwa memecahkannya dan mencari ketika merobohkan lawannya. Tiba-tiba ia ingat ketika masih tinggal dengan gurunya di atas bukit Kim-Ma-San, pada suatu hari dia berjalan-jalan di hutan dan melihat seekor tikus hutan diserang oleh dua ekor anjing hutan. Keadaan tikus itu sangat berbahaya karena lari ke sana ia dicegat anjing pertama, dan lari ke sini dicegat anjing kedua.

   Kemudian tikus itu diam tidak lari lagi dan berada di tengah-tengah. Ketika kedua anjing itu menubruknya, ia berkelit dan tak ampun lagi dua ekor anjing itu saling bertubrukan. Hal ini terjadi berulang kali hingga lama kelamaan kedua anjing itu saling menggigit dalam tubrukan mereka, lalu akhirnya mereka berdua berkelahi dan tikus lari pergi dengan aman. Hal ini ia ceritakan pada gurunya yang lalu berpikir keras menciptakan gerakan tipu silat untuk melawan pengeroyokan musuh-musuh yang tangguh. Ingat hal itu Lian Hwa menjadi girang, segera ia menggunakan kelincahannya berloncat ke sana ke sini dan selalu berusaha untuk berada di tengah-tengah kurungan ketiga lawannya itu. Usahanya berhasil baik karena musuhnya, lebih-lebih Tiat Houw dan Cin Houw yang masih bersilat dengan ilmu silat Siang-houw-chut-tong menjadi sangat repot dan kaku.

   Beberapa kali dua saudara ini saling beradu pedang sendiri karena orang yang diserang di antara mereka tahu-tahu melesat pergi hingga pedang mereka seakan-akan menyerang kawan sendiri. Lian Hwa tidak menyia-nyiakan waktu baik ini. Selagi musuh masih kacau ia mendesak Cin Houw dengan sarung kulitnya dan pada saat kedua saudara itu sekali lagi hampir saling menusuk, ia melejit ke samping menangkis bacokan Bu Houw dan dengan gerakan Kim-liong-hian-jiauw (Naga Emas Mengulur Kuku) ia menotok iga kiri Cin Houw bagian jalan darah Thian-bu-hiat. Cin Houw tak keburu berkelit dan tubuhnya menjadi lemas kehilangan tenaga. Pedangnya terlempar dan ia sendiri bagaikan sehelai baju yang terlepas dari sampiran jatuh lemas tak berdaya. Tiat Houw terkejut sekali dan membarengi menusuk dari arah kiri ke jurusan pinggang Lian Hwa dengan cepat sekali. Hwat Khong Hwesio berbisik

   "Celaka"

   Karena serangan itu betul-betul berbahaya, lebih-lebih cemasnya ketika si sumoi tidak menjatuhkan diri ke belakang, satu-satunya jalan untuk menghindarkan itu, tapi sumoinya itu bahkan miringkan badan menghadapi serangan itu dengan dada terbuka.

   Semua jago tua menahan napas, mereka pikir kali ini Ang Lian Lihiap pasti celaka. Ciauw Bun Liok diam-diam menyiapkan sebuah piauw untuk menolong jika perlu. Tapi murid Ong Lun si Manusia Aneh Pedang Dewa biarpun masih muda dan belum berpengalaman, namun ia sangat cerdik. Ia sengaja pentang dadanya agar lawannya mendapat hati dan kurang waspada. Ketika ujung pedang sudah tinggal satu dim lagi dari dadanya, ia merendah ke kanan hingga pedang itu masuk menyusup di bawah lengannya. Gerakan ini demikian cepat hingga para tamu menyangka pedang itu telah menembus dada gadis cantik itu. Banyak orang berteriak dan Ciauw-Lo-Enghiong mengayun tangannya hingga sebuah piauw (senjata rahasia) menyambar ke arah Tiat Houw.

   Tapi Lian Hwa segera mengayun sarung kulit dari tangannya dan menghantam jatuh piauw yang akan menancap di punggung Tiat Houw itu. Dalam keadaan berbahaya itu ia masih ingat untuk melindungi nama baik tuan rumah yang menyerang dengan menggelap. Lalu ia mengeraskan kempitannya dan pedang dalam kempitan lengan kirinya itu tak mungkin dicabut pula oleh Tiat Houw. Berbareng itu kakinya melayang. Terdengar suara "Buk"

   Dan tubuh Tiat Houw terpental dua tombak lebih, lalu jatuh bergedebugan ke bawah panggung! Semua penonton bersorak memuji dengan hati lega. Kembali para jago tua menggeleng-geleng kepala. Gerakan dan tipu silat macam ini belum pernah lihat seumur hidup. Kejadian ini sangat cepat sekali hingga Bu Houw sendiri tak tahu bagaimana adiknya itu dirobohkan musuh. Ia lalu menyerang pula dengan nekat dan mati-matian.

   Kini Lian Hwa hanya menghadapi Bu Houw seorang dengan tangan kosong, karena sarung pedangnya telah dipakai menimpuk piauw dari Ciauw Bun Liok tadi. Ia tidak mau membuang banyak waktu lagi. Tubuhnya melesat cepat dan tahu-tahu ia telah berada di belakang Bu Houw. Sebelum Bu Houw dapat membalikkan badan, Lian Hwa menggerakkan telunjuknya dan dengan totokan It-ci-san (totokan satu jari) ia menotok ke arah jalan darah "houw-cing-hiat."

   Serangan ini tak mungkin dikelit oleh Bu Houw dan sesaat kemudian saudara tertua dari San-ciu Si-houw ini berdiri kaku dengan pedang masih di tangan. Ia berdiri bagaikan sebuah patung kayu. Ciauw Bun Liok yang merasa malu atas perbuatannya menyambit dengan piauw tadi, untuk menutup rasa malunya lalu menitahkan orang-orangnya mengambil obat dan mengobati jari Ban Houw dan luka Tiat Houw yang terbanting ke bawah tadi.

   Kini ia menghampiri Ang Lian Lihiap sambil menjura menghaturkan terima kasih sambil memohon gadis pendekar itu memulihkan keadaan Cin Houw dan Bu Houw yang tertotok. Sambil tertawa ringan Lian Hwa menotok jalan darah in-thai-hiat kedua lawan itu dan sekejap kemudian kedua orang itu, merintih-rintih, tapi jalan darah mereka normal kembali. Tanpa pamit, keempat saudara itu ngeloyor pergi setelah Bu Houw berkata bahwa pada suatu hari mereka tentu mencari Ang Lian Lihiap untuk "membalas budi."

   Setelah keempat pengacau itu pergi, pesta diteruskan dengan gembira. Ciauw Lo-Enghiong dan kedua puteranya Lin Eng dan Lin Houw sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada Ang Lian Lihiap sambil memuji-muji tiada habis-habisnya. Juga para Lo-Cianpwe ikut pula menyatakan kekaguman mereka.

   Ketika ditanya siapa gurunya, Hwat Khong Hwesio menerangkan bahwa sumoinya itu adalah murid tunggal dari Sian-kiam Koai-jin Ong Lun si Manusia Aneh Pedang Dewa. Barulah para jago tua itu mengangguk-anggukkan kepala, karena mereka pernah mendengar tentang seorang hiap-kek (orang gagah) yang menjagoi di kalangan kang-ouw dan membuat nama besar, ialah Sian-kiam Koai-jin Ong Lun itu, tapi yang beberapa puluh tahun kemudian lenyap tanpa meninggalkan jejak. Maka berkuranglah keheranan mereka, karena pantas sekali murid tunggal manusia aneh itu demikian lihai. Hanya mereka kagum sekali bahwa gadis yang baru berusia tidak lebih enambelas tahun itu telah dapat mewarisi ilmu silat yang luar biasa itu. Karena kuatir sumoinya akan menjadi sombong dengan segala puji-pujian itu, Hwat Khong segera memohon maaf kepada tuan rumah berpamit pergi dengan Lian Hwa.

   Mereka kembali ke hotel "Liang An"

   Dan keesokan harinya mereka kembali ke bukit Bok Lun-san. Sebulan kemudian, setelah menganggap bahwa kini sudah sampai temponya untuk sang sumoi melakukan perjalanan membalaskan sakit hati orang-tuanya, Hwat Khong memberi tahu kepada sumoinya bahwa kampung orang-tuanya ialah kampung Ban-hok-cun di Kie-ciu. Ia mengijinkan Lian Hwa pergi ke tempat itu, memesan gadis itu supaya berhati-hati dan jangan melupakan segala petunjuk-petunjuk dan nasihat-nasihatnya yang telah diberikan selama gadis itu diam di kelentengnya tiga bulan lebih. Atas nasihat suhengnya, Han Lian Hwa mengenakan pakaian laki-laki berwarna putih dengan ikat pinggang warna merah darah dan sepatu serta kaus kaki warna kuning. Topinya juga berwarna merah, tapi merah muda.

   Dengan dandanan begitu ia merupakan seorang siucai (mahasiswa) yang berwajah sangat cakap. Ia membawa pauw-hok (ransel) warna coklat yang berisikan pakaian dan uang serta pedangnya Sian-liong-kiam juga disembunyikan di dalam buntalannya itu. Setelah berpamit kepada suhengnya yang memesannya dengan teliti agar ia menjaga diri baik-baik dan berhati-hati di sepanjang perjalanan, Ang Lian Lihiap memulai perjalanannya merantau dengan tujuan membalas sakit hati orang-tuanya. Karena telah mendapat petunjuk yang jelas dari suhengnya, ia langsung menuju ke Kie-ciu. Perjalanan ini ia lakukan dengan mengambil jalan besar, tidak seperti suhengnya ketika membawa ia lari dari kampungnya dulu, hingga ia tidak melalui bukit Kim-Ma-San, tapi melalui kota-kota besar dan kampung-kampung yang ramai.

   Pada suatu hari ia sampai ke sebuah kampung yang terletak di kaki gunung. Kampung itu tampak sunyi dan penduduknya rata-rata berwajah sedih, dan keadaan mereka sangat melarat. Ang Lian Lihiap masuk di kampung itu pada waktu sore, maka ia mengambil keputusan untuk bermalam di situ. Seorang pelayan dari rumah penginapan Thian-lok menyambutnya dan Lian Hwa melihat pelayan itupun berwajah seperti orang ketakutan dan bingung.

   "Kongcu (tuan muda) lekaslah masuk, jangan lama-lama berdiri di luar!"

   Katanya sambil mempersilakan tamunya masuk. Lian Hwa merasa heran tapi ia bertindak masuk juga.

   "Sikapmu ini sungguh aneh, apakah yang terjadi di sini?"

   Tanyanya. Pelayan itu hanya menggeleng-geleng kepala ketakutan dan pada saat itu pemilik rumah penginapan yang mendengar pertanyaan Lian Hwa segera menghampiri.

   "Kongcu, marilah kita ke dalam kalau kau ingin tahu. Agaknya Kongcu orang asing di sini."

   Pemilik rumah penginapan yang bernama A Sam itu segera bertindak ke ruang dalam, diikuti oleh Lian Hwa.

   "Kongcu, engkau orang baru agaknya engkau keluarga kaya,"

   Katanya sambil menunjuk bunga teratai emas yang menghias dada Lian Hwa.

   "Ah, kau salah sangka, tuan, barang ini tidak berharga mahal, dan adalah milikku satu-satunya,"

   Jawab Lian Hwa sembarangan.

   "Tapi cukup untuk menarik perhatian Iblis Gelandangan!"

   "Apa katamu?"

   Tanya gadis itu heran.

   "Dengar Kongcu, aku si tua A Sam bukan pembohong, juga bukan orang penakut, tapi apa yang akan kubicarakan ini sedikitpun tidak bohong. Telah lebih dari tiga bulan kampung ini mendapat gangguan iblis gelandangan yang keluar dari bukit Hek-mo-san (Bukit Iblis Hitam). Beberapa hari sekali pada malam hari ia pasti datang dan mengumpulkan uang yang disediakan oleh penduduk di depan pintu rumah mereka."

   "Sungguh aneh. Mengapa kalian mengumpulkan uang dan menyediakan itu di depan pintu rumah di waktu malam?"

   "Karena permintaannya, Kongcu. Dan siapa saja yang berani membandel, pasti celaka! Sudah ada beberapa keluarga yang terbunuh karena tidak ada uang untuk disediakan. Maka sekarang mereka yang tidak punya uang sudah pada pergi mengungsi dan yang masih bisa menyediakan uang hanya menanti bangkrutnya saja. Tiap keluarga harus menyediakan uang perak sebanyak dua tail untuk satu jiwa. Seperti rumah tanggaku ini yang mempunyai sepuluh jiwa, berikut pelayan, tiap ia datang harus menyediakan dua puluh tail perak! Coba Kongcu pikir, apa ini tidak bikin aku gulung tikar?"

   "Apa sudah ada yang pernah lihat iblis itu?"

   Tanya Lian Hwa dengan hati kebat-kebit, karena selama hidupnya belum pernah ia mendengar cerita aneh dan serem seperti itu.

   "Sudah, siangkong (tuan muda),"

   Menyambung pelayan yang sejak tadi hanya menggoyang kepala dan mendengarkan.

   "Iblis itu tinggi besar dengan muka hitam, matanya besar dan mulutnya lebar bersenjata tombak cagak yang hebat!"

   Tiba-tiba ia mendekap mulutnya seakan-akan takut iblis nanti mendengar ia membicarakannya.

   "Maka Kongcu harus hati-hati. Iblis itu awas benar, tiap ada tamu membawa barang berharga, ia selalu menuntut agar barang-barang itu disediakan di luar pintu, kalau tidak maka tamu itu akan mati tercekik."

   "Dan diminum darahnya,"

   Menyambung pelayan itu.

   "Ya, dan diminum darahnya sampai habis,"

   Si tuan rumah membenarkan.

   "Aah, aku tidak percaya. Mana ada urusan seaneh itu di dunia ini?"

   Kata Lian Hwa, hingga tuan rumah dan pelayannya itu menjadi kuatir dan takut, karena mereka tahu bahwa iblis itu paling benci kepada orang yang tidak takut dan tidak percaya padanya. Cepat-cepat si tuan rumah mengajak Lian Hwa memilih kamar, meninggalkan "pemuda"

   Itu dalam kamarnya, hatinya merasa tak enak sekali. Ketika malam tiba, tuan rumah dan seisi rumah penginapan itu makin gelisah. Betul saja, kira-kira jam sepuluh malam, tiba-tiba terdengar bunyi tertawa seram di atas genteng rumah penginapan itu dan sebuah suara tanpa rupa terdengar,

   "A Sam! Buntalan dan teratai merah kepunyaan tamu mudamu itu harus disediakan di depan pintu. Lekas!"

   Lian Hwa yang berada dalam kamarnya terkejut juga. Suara itu demikian keras hingga kalau kiranya suara itu dikeluarkan dari mulut seorang manusia, tentu ia itu memiliki khikang yang kuat sekali. Tapi hanya sebentar ia kaget, ketabahannya timbul kembali, kemudian ia menyambar pedangnya dan meloncat keluar dari jendela terus melayang ke atas genteng. Di atas wuwungan rumah penginapan itu berdiri seorang laki-laki tinggi besar. Mungkin inilah iblis itu. Tapi tiba-tiba Lian Hwa merasa geli melihat bahwa "iblis"

   Itu tak lain hanya seorang manusia biasa yang berkedok hitam menakutkan. Segera ia meloncat di hadapan orang itu.

   
Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hm, hm, tak tahu malu. Menakut-nakuti penduduk untuk menipu barang mereka. Kaukah iblis itu? Kau mau minta barang-barangku? Perlahan dulu, bangsat!"

   Orang itu kaget, ia tak menyangka ada orang yang berani keluar bahkan menghampirinya.

   "Kau mau mampus barangkali!"

   Bentaknya lalu menubruk. Lian Hwa mengelak cepat dan balas menyerang. Segera ia ketahui bahwa iblis itu memiliki kepandaian yang boleh juga. Tapi dengan mudah ia dapat mendesaknya. Ingin ia menjatuhkan iblis itu untuk melenyapkan gangguan penduduk kampung itu maka ia menyerang dengan hebat. Ia mengeluarkan ilmu silatnya Pek-coa-jiu-hoat (Ilmu Pukulan Ular Putih) untuk menyerang. Bagaimana penjahat itu bisa tahan? Baru empat jurus saja ia sudah repot sekali. Tiba-tiba terdengar suara di belakang Lian Hwa,

   "Sam-ko jangan takut, aku datang membantumu!"

   Iblis yang baru datang itu menggunakan tombak cagak dan menyerang Lian Hwa dengan tipu Naga Mabok Menyembur Mustika. Tombaknya bergerak cepat menusuk punggung.

   Tapi dengan gesit sekali Lian Hwa meloncat tiga kaki ke kiri dan menengok. Ternyata iblis kedua inipun berkedok hitam menakutkan. Lawannya pertama tadi tak sempat mengeluarkan senjata karena desakan Lian Hwa yang hebat. Kini setelah datang pembantu, ia mencabut goloknya yang terselip di pungung, lalu dengan marah memainkan goloknya dengan ganas sekali. Lian Hwa berkelit ke sana ke mari, tapi walaupun dengan mudah ia dapat menghindarkan semua serangan senjata tajam itu sukar juga baginya untuk balas menyerang. Terutama senjata tombak cagak iblis yang baru datang itu betul-betul lihai. Karena memang sudah merasa marah dan ingin membasmi iblis-iblis ini, terpaksa Ang Lian Lihiap mencabut pedang Sian-liong-kiamnya. Pada saat itu ujung tombak bercagak kembali menyambar mengeluarkan angin dingin. Lian Hwa membentak,

   "Pergilah!"

   Pedangnya disabetkan ke bawah dan "trang!"

   Ujung tombak bercagak itu patah. Si pemegang tombak kaget sekali dan meloncat pergi sejauh tiga tombak dan berbareng dengan itu golok penjahat pertama menyabet leher Lian Hwa. Gadis itu berkelit ke kiri dan ujung pedangnya bagaikan mulut naga meluncur dari bawah lengan dengan memutar pergelangan tangan.

   "Cap!"

   Pedang itu menembus dada orang dari sebelah kanan. Tanpa dapat menjerit lagi "iblis"

   Itu roboh di atas genteng dan menggelinding ke bawah, jatuh di atas tanah dengan suara berdebuk keras. Penjahat yang bersenjata tombak melihat itu mengangkat kaki lebar-lebar dan lari. Lian Hwa hendak mengejar, tapi karena malam gelap dan ia tidak mengenal jalan di situ, terpaksa membatalkan maksudnya dan meloncat turun. Mendengar suasana ribut-ribut dan pertempuran di atas genteng itu, semua orang pergi bersembunyi tak berani bernapas keras-keras. Setelah Lian Hwa menghampiri mereka dan memberi penjelasan, barulah mereka keluar sambil memasang obor. Mayat adalah seorang laki-laki yang bermuka kejam.

   "Nah, saudara-saudara sekalian,"

   Kata Lian Hwa.

   "Ternyata iblis-iblis yang yang mengganggu kampung ini untuk berbulan-bulan itu ternyata tak lain hanyalah manusia biasa juga. Manusia jahat dan kukira banyak pula kawan-kawannya. Sayang sekali seorang kawannya yang bersenjata tombak tadi telah dapat melarikan diri."

   Pada saat itu A Sam si pemilik penginapan berkaok-kaok,

   "Cung Ji! Cung Ji...! Eh, ke mana perginya orang itu?"

   Ternyata ia mencari-cari pelayannya yang berwajah sedih dan penakut itu. Setelah dicari-cari tidak juga ketemu. Lian Hwa segera berkata.

   "Paman A Sam, tak perlu lagi Cung Ji dicari. Ia adalah penjahat yang bersenjatakan tombak dan telah kuusir pergi."

   A Sam terkejut dan semua orang heran. Pantas saja iblis-iblis itu tahu saja apa yang terjadi di kampung. Tak tahunya si Cung Ji adalah seorang di antara mereka atau mata-mata iblis itu. Mereka beramai-ramai menghaturkan terima kasih kepada pemuda penolong mereka itu dan menanyakan namanya. Tapi Lian Hwa menjawab,

   "Siauwte hanya kebetulan saja lewat di sini, tak perlu perbuatan tak berarti ini diingat-ingat lagi. Aku tak mau bekerja setengah matang, kalau tidak kubasmi semua iblis itu tentu mereka akan datang mengganggu lagi setelah di sini tidak ada yang menjaga. Biarlah besok pagi kucari sarang mereka."

   Semua orang pergi tidur dengan agak tenteram malam itu. Pada keesokan harinya, setelah memaksa bayar sewa kamar yang hendak ditolak oleh A Sam, Lian Hwa menggendong pauw-hoknya dan pergi menuju ke Bukit Iblis Hitam yang tak jauh dari kampung itu letaknya. Setelah ia sampai di sebuah hutan, di batang pohon Siong besar di pintu hutan itu terdapat huruf-huruf yang diukir di batang pohon dan berbunyi begini.

   "Yang lewat di sini harus membayar uang tanda hormat sebanyak sepuluh tail perak"

   Tertanda

   Ngo Hek Mo.

   Lian Hwa tertawa keras hingga suaranya bergema di dalam hutan itu. Ia mengeluarkan pedangnya dari bungkusan dan menggunakan senjata itu untuk menggurat-gurat pohon itu. Sebentar kemudian di atas tulisan tersebut terdapat tulisan yang berupa syair.

   Mengandalkan kedok dan tombak cagak Ngo-hek-mo (Lima Iblis Hitam) menjual lagak,

   Jangankan hanya Ngo-hek-mo,

   Biar Cap-ang-mo (Sepuluh Iblis Merah) sekalipun,

   Bertemu dengan Teratai Merah takkan mendapat ampun.

   Kemudian ia mengikatkan pedangnya di pinggang dan berjalan terus memasuki hutan dengan tenang. Tiba-tiba ada angin menderu dari samping. Ia mengulur tangan kirinya dan sebuah anak panah terjepit di antara kedua jarinya.

   "Ha, ha! Tidak hanya jahat tapi iblis-iblis inipun licik dan pengecut sekali,"

   Ia berkata keras menyindir.

   "Ah, Cung Ji pelayan rendah, kau sudah tukar tombakmu?"

   Lian Hwa mengejek.

   "Mengapa lima ekor iblis hanya tinggal empat saja?"

   "Bangsat cilik, berhenti kamu!"

   Suara bentakan itu disusul dengan meloncatnya empat orang dari belakang gerombolan dan mencegatnya. Seorang di antaranya Lian Hwa kenal sebagai Cung Ji si pelayan yang kini memegang sebuah tombak baru. Mereka berempat ini sekarang tidak bertopeng lagi, rata-rata bertubuh tinggi besar dan jahat. Seorang diantara empat perampok itu maju dan menjura,

   "Orang gagah dari manakah yang tanpa sebab mengganggu kami? Apakah tidak kenal aturan di kalangan rimba hijau?"

   Ang Lian Lihiap tertawa menghina lalu menjawab dengan bersyair :

   Lima Iblis Hitam bicara tentang aturan,

   Membikin aku tertawa tak tertahan,

   Tindas yang lemah, peras orang kampung,

   Adalah pekerjaan kamu iblis gunung!

   Melihat kejahatan-kejahatanmu semua,

   Apakah aku Teratai Merah harus diam saja?

   Hai iblis-iblis hitam,

   Rabalah mukamu dan tanya diri!

   Ke mana perginya seorang kawanmu malam tadi?

   Ia telah terpanggang di neraka,

   Dan kalian akan mengikutinya segera.

   "Perempuan busuk jangan jual lagak!"

   Teriak mereka dengan sangat murka, lalu berbareng mereka mengurung Lian Hwa. Sebatang tombak cagak dan tiga buah golok berkelebatan menyilaukan mata bergerak-gerak mengurung Lian Hwa. Lian Hwa maklum bahwa empat musuhnya ini memiliki kepandaian tinggi maka ia segera mencabut pedangnya, sambil memutar Sian-liong-kiamnya itu ia tertawa mengejek.

   "Awas, pokiamnya!"

   Cung Ji memperingatkan saudara-saudaranya. Mereka berempat, berlaku sangat hati-hati dan tidak membiarkan senjata mereka beradu dengan pedang Lian Hwa. Namun gerakan Lian Hwa gesit sekali. Ia gunakan ilmu silat pedang Ngo-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Lima Dewa) yang mengandalkan gerakan lincah dan ginkang yang sempurna, maka biarpun sudah sangat hati-hati, tiba-tiba sebatang golok terbabat putus!

   Kesempatan ini digunakan oleh Lian Hwa untuk menyambarkan kakinya yang tepat mengenai perut lawan. Karena Ang Lian Lihiap menggunakan tenaga lweekang yang tinggi, maka lawan yang tertendang itu terlempar tiga tombak lebih dan jatuh dengan mata mendelik, berkelojotan lalu mampus! Tiga orang kawannya menjadi keder juga melihat kehebatan lawan mereka, tapi mereka menyerang makin hebat. Pada suatu saat, dua batang golok menyambar berbareng, satu dari, depan dan satu dari kiri, kedua-duanya menuju ke dadanya dan pada saat itu juga tombak cagak Cung Ji menusuk ke arah lehernya! Lian Hwa menundukkan kepala menghindari tusukan tombak, melangkah mundur melepaskan diri dari sabetan golok dari depan dan ketika golok dari kiri hampir mengenai pundaknya, ia angkat kaki menendang ke arah golok itu.

   "Trang!"

   Dan golok itu tertendang lepas dari pegangan. Sebelum pemiliknya dapat menghindarkan diri, Lian Hwa meloncat maju, Pedang Naga Dewanya meluncur dan penjahat itu mengangkat kedua tangan ke atas, tubuhnya terjengkang ke belakang dan kepalanya terpisah dari tubuh! Darah mulai menyembur membasahi rumput di sekitar tempat pertempuran itu. Makin kecil hati pengeroyoknya yang tinggal dua orang lagi itu. Tapi Lian Hwa tidak memberi waktu. Ia merangsek hebat dan pedangnya menyambar laksana naga menyambar-nyambar. Sesaat kemudian untuk kedua kalinya tombak cagak patah jadi dua dan ujung pedang terus menusuk dada pemegang golok! Cung Ji melihat gelagat jelek segera meloncat jauh sambil berteriak,

   "Kalau kau memang gagah tunggulah sebentar jangan lari, aku akan panggil suhuku (guru)."

   Lian Hwa tertawa menyindir,

   "Jangan kata gurumu, biar sukongmu (kakek guru) sekalipun akan kujadikan siluman tak berkepala!"

   Tapi mana ia sudi menunggu di situ? Juga belum tentu berandal itu bicara sungguh-sungguh mungkin hanya mencari alasan untuk kabur. Maka setelah membersihkan pedangnya di tubuh korbannya, Lian Hwa berjalan tujuannya ke kampung kelahirannya. Baru saja berjalan kurang lebih tiga lie, ia mendengar suara kaki kuda bergemuruh mengejar dari belakang. Ia tahu bahwa itu pasti berandal dan kawan-kawannya yang datang mengejarnya, maka ia membalikkan badan, berdiri tenang sambil tersenyum dan bersiap sedia.

   Buntalannya ia turunkan di bawah sebatang pohon besar dan pedangnya siap tergantung di pinggang. Yang datang itu ternyata adalah seorang Hwesio (pendeta) berbaju kuning dengan rambut terurai di atas pundak kiri kanan. Tubuhnya tinggi kurus dan kedua matanya bersinar. Kakinya telanjang dan ia berlari di depan dengan cepat, sedangkan di belakangnya tampak lima ekor kuda yang lari cepat, tapi tetap tak dapat mendahului Hwesio itu. Si Hwesio itu mengempit sebatang toya kuningan yang berujung runcing. Lian Hwa mengerti bahwa Hwesio itu tentu pandai ilmu totokan dan bahwa toya runcing tapi tumpul itu adalah senjata untuk menotok jalan darah lawan. Ketika mereka telah datang dekat, Lian Hwa melihat bahwa Cung Ji berada pula di situ.

   "Omitohud! Tak nyana sedikitpun bahwa musuh yang membunuh mati empat orang muridku hanyalah seorang anak kecil. Sungguh gagah, sungguh gagah! Mohon tanya, siapakah nama congsu (orang gagah)?"

   "Aku orang she Han, orang menyebut aku si Teratai Merah,"

   Jawab Lian Hwa tenang.

   "Hm, Han congsu, pinceng (saya) tidak tahu mengapa kau memusuhi lima orang murid-muridku, bahkan telah membunuh empat orang di antara mereka. Tapi hal itu tak perlu disebut lagi, sekarang pinceng telah datang maka kau harus berani memikul tanggung jawabnya."

   "Terima kasih kalau Lo-Suhu hendak memberi pelajaran padaku, tapi apakah Lo-Suhu hendak maju berbareng dengan lima siauw-mo (iblis kecil) ini?"

   Tanya Lian Hwa sambil menunjuk lima orang di atas kuda itu.

   "Ha, ha, ha! Benar saja seperti kata muridku, kau ini orang muda sungguh sombong sekali. Seperti seekor katak dalam sumur. Nah, bersiaplah, Han congsu dan jangan kuatir. Pinceng takkan mengijinkan dilakukan keroyokan."

   Melihat lagak Hwesio itu tidak sejahat murid-muridnya, Han Lian Hwa pun merobah sikapnya.

   "Biarlah aku yang muda memberi kehormatan kepadamu untuk menyerang dulu, Lo-Suhu,"

   Katanya sambil memasang bhesi (kuda-kuda). Melihat "pemuda"

   Itu pasang bhesi dengan mengangkat kaki kanan dan menempelkan ujung kaki itu di lutut kaki kiri, sedangkan kedua lengannya terangkat dengan tangan di depan dada seakan-akan memberi hormat, pendeta itu berteriak,

   "Bagus!"

   Dan kakinya bergeser maju sambil mengayunkan tangan kanannya menyampok ke arah pundak Lian Hwa. Biarpun tangan yang menyampok itu masih jauh, namun angin sambarannya telah terasa oleh Lian Hwa, hingga diam-diam ia terkejut dan maklum bahwa lawannya kali ini benar-benar bukan sembarangan orang. Ia segera menurunkan kaki kanan yang terangkat digeserkan ke sebelah belakang hingga tubuhnya membungkuk menghindari sampokan. Tapi Hwesio itu menyusul dengan serangannya kedua, ia menggunakan kaki kanan menyapu dan ketika Lian Hwa meloncat ke atas untuk menghindarkan serampangan kaki lawannya, ia menggunakan tipu Hek-houw-to-sim (Macan Hitam Menyambar Hati) memukul ke arah dada Lian Hwa. Melihat datangnya serangan bertubi-tubi ini maka Lian Hwa tidak berani berlaku sembrono lagi.

   Dengan mengayunkan tubuhnya ia dapat berkelit ke samping dan dari situ mengirim serangannya pertama dengan jotosan tangan kiri. Si Hwesio mundurkan kakinya dan baru saja ia berhasil mengelak pukulan itu, kepalan tangan kanan Lian Hwa telah datang pula dengan tipu Go-yang-pok-sit (Kambing Kelaparan Menubruk Makanan). Serangan ini datangnya dengan tangan terbuka dan telapak tangan Lian Hwa yang halus menyodok ke arah ulu hati lawan. Hwesio itupun terkejut melihat gerakan Lian Hwa yang gesit dan dapat menggunakan serangan yang susul-menyusul pula. Ia tidak berkelit terhadap serangan kedua ini, tapi segera mengulurkan lengan kanannya pula, serta menerima datangnya pukulan Lian Hwa. Dua telapak tangan, satu kecil halus yang kedua besar keras beradu. Terdengar suara "plok"

   Dan kedua-duanya merasa adanya tenaga hebat datang dari lengan lawan.

   Lian Hwa terhuyung mundur dua tindak dan Hwesio itupun terhuyung mundur hampir jatuh. Ternyata tenaga dalam Lian Hwa masih menang sedikit. Hwesio itu merasa penasaran sekali, lalu menggunakan ilmu silat Bie-ciong-kun (Kepalan Menyesatkan) menyerang dengan hebat. Lian Hwa berlaku hati-hati sekali dan merasa bahwa ilmu silat lawannya itu memang benar-benar hebat, terpaksa ia keluarkan ilmu simpanannya yang diwariskan oleh gurunya, ialah ilmu silat Sian-liong-kun (Naga Dewa). Tubuhnya tiba-tiba melesat ke sana ke mari bagaikan bayangan seekor naga yang bermain-main di awan. Tubuh kedua orang itu kini hanya tampak bayangannya saja, membuat lima orang berkuda yang menonton jalannya pertandingan menjadi kagum dan pandangan mereka kabur.

   Setelah bertanding lebih seratus jurus, akhirnya Hwesio itu mulai terdesak. Ia lebih banyak menangkis daripada menyerang, karena ia mulai merasa pusing. Sungguhpun kepandaiannya tak kalah jauh dengan "pemuda"

   Itu, tapi gerakan-gerakan Lian Hwa yang aneh dan tak tersangka-sangka datangnya ditambah dengan ginkang atau ilmu ringankan tubuhnya yang luar biasa, si Hwesio lama-lama menjadi lelah juga. Pada suatu saat Lian Hwa melesat ke samping kanan lawannya dan kakinya menendang, ketika dapat dikelit kaki kedua menyusul dengan tendangan yang lebih hebat. Dengan repot Hwesio itu berkelit lagi, tapi tiba-tiba kepalan kanan Lian Hwa meluncur dan sudah dekat sekali dengan pundaknya. Hwesio itu sangat terkejut, untuk berkelit tiada waktu lagi baginya, maka terpaksa ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya ke arah pundak itu dan menanti datangnya pukulan.

   "Buk!"

   Dan Lian Hwa yang tertolak tenaga dalamnya itu mundur sampai tiga tindak. Tapi si Hwesio jatuh terpelanting, biarpun dengan segera ia bangun kembali.

   "Hebat,"

   Katanya sambil tertawa meringis. Lian Hwa maklum bahwa Hwesio itu menderita luka di dalam tubuh. Ia merasa kasihan, tapi sebelum dapat berkata sesuatu, Hwesio itu sudah menyambar toyanya dari tangan Cung Ji dan berkata padanya.

   "Orang muda sungguh harus kupuji kepandaianmu. Pinceng mengaku kalah dalam ilmu pukulan. Tapi pinceng ingin sekali mencoba ketajaman pedangmu!"

   "Haruskah kita teruskan, Lo-Suhu?"

   Tanya Lian Hwa, ia tidak mau mengatakan bahwa Hwesio itu telah luka, khawatir membuat malu.

   "Ya, jangan membikin pinceng penasaran. Biarlah pinceng merasakan juga kelihaian Kiam-hoat (ilmu pedang) Congsu."

   Lian Hwa menghela napas. Ia kasihan melihat Hwesio tua itu, teringat ia akan suhengnya, tapi bagaimana juga Hwesio ini telah melakukan kesalahan besar sekali dengan mempunyai murid-murid perampok itu. Dengan sebat Lian Hwa menghunus pedangnya yang mengeluarkan sinar kehijau-hijauan dan menyilaukan mata. Tiba-tiba Hwesio itu tampak pucat.

   "Po-kiammu (pedang pusaka) itu bukankah Sian-liong-kiam?"

   Tanyanya dengan suara gemetar. Lian Hwa menjadi terkejut dan heran mendengar bahwa lawannya mengenal pedangnya. Terpaksa ia mengangguk membenarkan. Hwesio itu melempar senjatanya dan menghela napas.

   "Omitohud! Mataku telah lamur, tidak tahu membedakan kawan atau lawan. Karena Sian-liong-kiam berada di tanganmu, pasti congsu masih ada hubungan dengan Sian-liong Koai-jin Ong Lun, bukan?"

   Han Lian Hwa makin merasa heran.

   "Siauwte (saya) adalah murid tunggal dari Sian-liong Koai-jin Ong Lun."

   Tiba-tiba Hwesio itu tertawa berkakakan dan menjura dengan hormatnya.

   "Maaf, maaf, aku yang tua tak mengenal Gunung Thai-san! Tidak heran ilmu kepandaian congsu demikian hebat. Kini pinceng tidak malu mengaku kalah. Kalau di tangan murid tunggal Ong Lo-Cianpwe (orang-tua she Ong yang gagah perkasa) bahkan merupakan suatu kehormatan bagiku."

   Lian Hwa menjura.

   "Lo-Suhu siapakah? Bagaimana kenal dengan suhuku?"

   "Pinceng adalah Tui Hong Hwesio bergelar It-kak-liong (Naga Tanduk Satu). Dulu pinceng pernah menjagoi di kalangan sungai telaga (bajak air) dan rimba hijau (perampok darat), jarang menemukan tandingan. Tapi akhirnya pinceng sampai dua kali dijatuhkan oleh Ong Lo-Cianpwe dengan Sian-liong-kiamnya. Sejak itu pinceng telah bersumpah tak mau melawan Sian-liong-kiam lagi. Tidak disangka, ini hari pinceng sekali lagi dijatuhkan olehmu, untung pinceng keburu mengenal Sian-liong-kiam sebelum pinceng untuk ketiga kalinya dijatuhkan oleh pedang pusaka ini!"

   Han Lian Hwa menyatakan kegembiraannya bertemu dengan seorang yang pernah kenal gurunya, tapi dengan secara terus terang ia mencela It-kak-liong karena murid-muridnya. It-kak-liong menghela napas dan berkata.

   "Han-Enghiong, memang dalam hal ini pinceng kurang teliti. Tadinya kelima orang murid-murid itu hidup sebagai anggauta rimba hijau yang mentaati peraturan-peraturan kalangan itu. Merampok pembesar-pembesar penindas rakyat yang lewat, mengambil harta orang-orang kaya yang pelit, tak lupa pula untuk membagi pendapatan mereka kepada penduduk yang miskin. Tapi belakangan ini keadaan negeri begini macam. Orang-orang hartawan dan pembesar negeri makin kuat dan mereka ini mempunyai pengawal dan penjaga-penjaga diri yang kosen. Orang-orang gagah di empat penjuru terpaksa merendahkan diri menjadi kaki tangan mereka karena keadaan yang sukar.

   "Mencari makan di luar sungguh payah, hingga kelima muridku yang mempunyai banyak anak buah terpaksa minta sumbangan ke kampung. Lain jalan mereka tidak ada untuk dapat mencari makan guna diri sendiri dan kawan-kawannya. Pinceng sebenarnyapun kurang setuju, tapi apa daya pinceng?"

   "Hal itu salah sekali, Lo-Suhu. Orang gagah lebih baik mengorbankan diri sendiri daripada mengorbankan atau mengganggu rakyat yang memang sudah melarat. Apa artinya menjadi orang gagah kalau takut segala tukang pukul, anjing penjilat orang-orang kaya dan pembesar bangsat, sebaliknya malahan mengganggu anak negeri yang miskin? Siauwte sama sekali tidak setuju. Harap Lo-Suhu insaf akan hal ini dan memberi jalan kepada mereka agar mereka dapat menghentikan perbuatan buruk itu dan bekerja dengan cara halal."

   Tui Hong Hwesio berjanji akan menurut nasihat "pemuda"

   Itu dan mereka lalu berpisah. Lian Hwa melanjutkan perjalanannya ke arah kampung Ban-hok-cun. Pada keesokan harinya tibalah Lian Hwa di kota Cin-ciu. Ia mencari kamar di penginapan "Ho Tee"

   Yang besar. Karena pada waktu itu kebetulan jatuh pada bulan delapan tanggal limabelas, maka penduduk kota Cin-ciu sedang merayakan hari Tiong Ciu dengan meriah.

   Malam hari itu Lian Hwa juga tidak sudi tinggal meringkuk dalam kamarnya pada saat yang demikian ramainya. Bulan bundar besar lagi gilang gemilang, hawa malam sejuk segar dan penduduk kota semua keluar rumah untuk pergi ke pusat keramaian yang diadakan di tengah kota, maka Lian Hwa mengikuti aliran manusia menuju ke tempat yang mereka tuju. Han Lian Hwa merasa agak heran mengapa orang-orang kota dapat hidup demikian mewah dan gembira, sedangkan penduduk kampung banyak yang miskin menderita. Di tempat keramaian itu terdapat beberapa restoran-restoran yang mengeluarkan asap masakan berbau harum. Lian Hwa memasuki sebuah restoran dan memilih tempat duduk di sudut. Yang sedang makan di situ hanya beberapa orang saja. Di meja sebelah kanan Lian Hwa duduk seorang pemuda sendirian.

   "Lauw-ko (bung), cepatan sedikit masaknya, perutku sudah sangat lapar,"

   Terdengar pemuda itu berkata perlahan kepada pelayan.

   Lian Hwa yang mendengar itu menjadi geli dan menengok ke arahnya. Kebetulan sekali pemuda itupun sedang memandangnya, hingga mereka saling pandang. Entah bagaimana, pada saat itu Lian Hwa ingat akan pesan suhengnya bahwa seorang gadis tidak layaknya memandang laki-laki yang belum dikenalnya, maka pada saat itu ia merasa mukanya panas karena malu dan segera ia buang muka. Ia sama sekali lupa bahwa pada saat itu ia bukanlah seorang gadis, tapi berpakaian sebagai pemuda juga hingga tiada salahnya untuk memandang lain pemuda. Untuk menutup rasa malu yang menyerang dirinya, Lian Hwa memanggil pelayan dan pesan mie, daging dan arak. Tiba-tiba pemuda itu berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Lian Hwa. Ia menjura dengan hormat sekali lalu berkata,

   "Saudara, kebetulan sekali pesananmu sama benar dengan pesananku. Saudara, tukang-tukang masak di kota ini semuanya malas dan lambat, pesanan dilayani lama sekali. Tapi kalau kita satukan pesanan kita, maka kurasa akan lebih cepat. Mie dan daging bisa dimasak sekaligus. Karena itu jika saudara tidak keberatan, siauwte yang kurang ajar mengundang saudara untuk duduk di tempatku."

   Kata-kata ini diucapkan dengan sopan dan sikap yang halus sambil tersenyum-senyum. Tapi Lian Hwa hampir saja bangun berdiri dan menamparnya. Hm, inilah macamnya lelaki kurang ajar seperti yang diceritakan suhengnya, demikian ia pikir. Sembarangan saja menegur seorang gadis bahkan mengajak makan bersama. Tapi tiba-tiba ia ingat pakaiannya dan marahnya berkurang. Apa salahnya, ia kan laki-laki juga pada saat ini. Maka iapun segera berdiri dan menjura.

   (Lanjut ke Jilid 05)

   Si Teratai Merah/Ang Lian Lihiap (Seri ke 01 - Serial Si Teratai Merah)

   Karya : Asmaraman S Kho Ping hoo

   Jilid 05

   "Kau baik sekali. Tapi, kurasa kurang sopan kalau yang tua menjamu yang muda, lebih baik siauwte yang mengundangmu untuk duduk di sini, makan sama-sama sambil mengobrol. Bagaimana pendapatmu?"

   Kata Lian Hwa.

   "Ha, ha, kau baik sekali, saudara! Tapi kau agak keterlaluan, masa aku kau anggap tua?"

   Ia meraba-raba mukanya. Benar-benar sudah amat tuakah aku?"

   Sambil berkata demikian ia menarik muka yang lucu. Lian Hwa hampir tak dapat menahan suara ketawanya, tapi ia tahan-tahan karena kalau tertawa keras mungkin suara wanitanya akan ketahuan orang. Ia memandang pemuda itu dengan gembira. Wajah pemuda itu sama sekali tak dapat disebut tua, karena kulit mukanya lemas dan putih bersih, sepasang matanya bersinar bagaikan bintang pagi dijaga oleh sepasang alis yang hitam memanjang dan berbentuk golok. Sungguh wajah yang tampan dan tubuhnya sedang, agak tinggi.

   

Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini