Ceritasilat Novel Online

Si Teratai Merah 5


Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



"Bukan maksudku mengatakan bahwa kau sudah tua sekali kawan, tapi bahwa kau lebih tua daripada aku adalah satu hal nyata yang tak dapat dibantah!"

   Kata Lian Hwa.

   "Betulkah? Ah, belum tentu! Berapa usiamu, saudara? Aku baru dua puluh tahun."

   "Dan aku baru enambelas!"

   Jawab Lian Hwa cepat-cepat.

   "Kalau begitu memang betul aku lebih tua. Hai! Apa-apaan ini kita belum juga saling kenal tapi sudah saling mengetahui umur masing-masing! Eh, saudara muda, apakah kau merasa juga apa yang kurasakan?"

   Lian Hwa menjadi gugup, dan dengan wajah merah ia menggeleng kepala.

   "Aku merasa seakan-akan kita sudah saling kenal lama sekali. Seakan-akan kau ini bukan wajah baru, tapi kawanku yang baik. Apa kau tidak merasa begitu?"

   Kali ini Lian Hwa mengangguk.

   "Nah, kalau begitu, perkenalkan saudara muda, ini sahabat lamamu bernama Lo Cin Han dari Kwan-tung. Dan kau bernama siapa kawan?"

   Lian Hwa merasa lucu sekali dengan perkenalan yang ganjil ini, tapi dalam memperkenalkan diri ia berkata gugup,

   "Aku bernama Han... Lian dari... Kie-ciu, Ciat-kang!"

   "Kalau begitu, aku akan menyebutmu adik Lian dan kau boleh panggil aku..."

   "Twako (kakak tertua)."

   "Mengapa Twako?"

   "Habis, aku tidak mempunyai kakak maupun saudara lain, jadi baiklah kau kuanggap kakakku yang tertua."

   "Eh, eh, kalau begitu kita menjadi saudara?"

   Tanya Cin Han.

   "Terserah... kalau... kau mau!"

   "Baiklah adik Lian. Aku suka kejujuranmu."

   Sementara itu hidangan datang dan mereka makan bersama dengan gembira. Ternyata mereka merasa saling cocok dan dalam pertemuan pertama ini timbul satu rasa simpati besar di antara mereka.

   "Adik Lian, bolehkah aku bertanya, ke mana adik hendak pergi? Apakah hendak ikut ujian?"

   Lian Hwa menggelengkan kepala.

   "Aku yang begini bodoh mana mungkin melakukan sesuatu ujian? Bisaku hanya menulis beberapa coretan huruf saja, itupun masih banyak kelirunya. Dan engkau sendiri, Twako, tentunya sudah pernah lulus ujian bukan?"

   "Lulus ujian sih belum, tapi aku pernah belajar ilmu surat bertahun-tahun. Hanya memang kepalaku yang kurang isi, masa sampai kini masih bodoh juga. Apakah kau hendak pulang ke Kie-ciu?"

   Lian Hwa mengangguk.

   "Kalau begitu kebetulan sekali, akupun hendak ke sana. Kita bisa pergi bersama-sama,"

   Kata Cin Han girang sekali.

   "Tidak..."

   Hampir saja Lian Hwa berkata "tidak mungkin"

   Tapi masih ditahannya.

   "Tidak... apa, adik Lian?"

   "Maksudku... tidak baik kalau mengganggumu, Twako. Jalan bersama mungkin kau akan terganggu olehku."

   "Mengganggu? Apanya yang terganggu? Kau aneh sekali. Tidak, aku bahkan akan merasa gembira selalu karena dekat seorang kawan yang cocok."

   Mendengar pernyataan ini mau tak mau wajah Lian Hwa memerah. Pada saat itu masuklah beberapa orang muda ke dalam restoran itu. Mereka berpakaian indah dan mewah. Seorang yang berjalan di depan rupa-rupanya menjadi kepalanya, karena sikapnya sombong sekali. Mereka adalah empat orang muda pengawal di kota itu. Di pinggang masing-masing tergantung golok dan di dada terpancang tanda pangkat. Seorang pelayan segera menyambut mereka dan membahasakan mereka "siauw-ya" (tuan muda). Mereka lalu memesan masakan-masakan istimewa dan mahal, lalu mengobrol ke barat ke timur. Suara mereka makin riuh dan keras ketika menceritakan tentang pengalaman-pengalaman mereka menangkap penjahat dan menyiksa pesakitan. Seakan-akan mereka adalah jagoan-jagoan besar. Lo Cin Han mengeluarkan suara ejekan di hidung.

   "Gentong nasi sombong. Lagaknya seperti thai-Ciangkun (panglima besar) saja."

   "Kau kenapa, Twako?"

   Tanya Lian Hwa. Cin Han tersenyum,

   "Aku paling tidak suka melihat orang membawa-bawa golok atau senjata tajam lainnya. Lebih-lebih kalau yang membawanya berlagak sombong seperti mereka ini."

   "Mengapa tidak suka, Twako? Apakah kau takut golok?"

   "Takut sih tidak. Aku tak pernah mengganggu orang, kenapa mesti takut golok? Hanya aku tidak suka saja, pendeknya yang bersifat kasar-kasar seperti golongan kaum persilatan itu aku sama sekali tidak suka. Apa lagi kalau mereka menamakan diri sebagai anggauta golongan liok-lim atau kang-ouw. Ah, mereka itu rata-rata kasar kejam dan biasanya hanya mencari permusuhan belaka. Aku benar-benar tidak suka."

   Lian Hwa heran melihat pemuda itu tampak merah mukanya dan seakan-akan sangat benci. Maka iapun menjawab perlahan,

   "Aku sendiripun tidak suka akan kekerasan, Twako."

   "Nah, apa kataku? Kita kaum sasterawan tak perlu dekat-dekat dengan para ahli pembunuh seperti itu. Lebih baik bicara tentang sastera daripada tentang silat. Bukankah kau juga berpikir begitu, adik Lian?"

   Gadis itu terpaksa mengangguk. Ia heran mengapa ia menurut dan setuju saja kata-kata pemuda itu. Padahal, bicara sejujurnya, ia jauh lebih suka ilmu silat daripada ilmu surat, biarpun ia suka sekali akan syair-syair. Pemuda ini seorang mahasiswa yang bertubuh lemah dan menganggapnya termasuk golongannya, maka dia setuju agar tak mengecewakannya.

   "Twako, kau begitu benci kepada ahli silat, barangkali... kalau seandainya akupun seorang ahli silat, tentu kau takkan suka kenal padaku, bukan?"

   Tanya Lian Hwa dengan hati kecewa. Cin Han memandang dengan tajam lalu menjawab tersenyum,

   "Sebaliknya, adik Lian, bukankah kaupun takkan mau dekat aku jika seandainya aku seperti orang-orang dengan golok di pinggang itu?"

   Terpaksa Lian Hwa tak dapat berbuat lain daripada mengangguk.

   "Adikku, kita jangan membicarakan hal ini lagi, kita toh bukan golongan orang-orang kasar."

   Pada saat itu kepala pengawal-pengawal itu yang berbaju merah dan sejak tadi memandang Cin Han dengan tajam, tiba-tiba berdiri dan menghampiri pemuda itu. Tindakannya terhuyung-huyung, mukanya merah tanda bahwa ia setengah mabok. Dengan menyeringai ia berkata,

   "Orang muda, kenapa kau sejak tadi menengok-nengok memandang ke arah kami saja?"

   Cin Han memandangnya dengan tajam lalu berkata tenang,

   "Apakah ada larangan atau aturan yang melarang orang di sini menggunakan matanya?"

   Kepala pengawal itu tertawa bekakakan lalu menggunakan tangannya menepuk meja, hingga arak dalam mangkok Lian Hwa muncrat membasahi pakaian gadis itu.

   "Larangan? Ada sobat, dan akulah yang melarang kau menggunakan matamu melihat kami!"

   "Eh, eh, tuan. Jangan kau tidak mengenal aturan! Apa kau kira aku takut kaugertak? Biarpun kau pegawal negeri, tapi aku tidak berbuat sesuatu yang salah."

   "Ha, ha! Belum apa-apa sudah begini ketakutan, kau tikus kecil! Hati-hatilah dengan mata dan mulutmu, nanti kutampar mulut dan matamu. Lihat, dengan kertas dan alat tulismu kau akan dapat berbuat apa!"

   Lian Hwa sangat marah, tapi ia masih menahan sabar. Ia kagum melihat Cin Han walaupun orang lemah tapi bernyali besar.

   "Tentu saja aku tak dapat melawan kau orang kasar,"

   Balas Cin Han dengan masih tenang.

   "Tapi ingat, aku pandai menulis dan aku dapat mengarang dengan baik surat pengaduan tentang perbuatanmu itu kepada pembesar lebih tinggi."

   Orang itu nampak ragu-ragu, tapi kemudian berkata,

   "Baik, baik coba kita lihat saja. Nah, rasakan tamparanku!"

   Tapi sebelum ia mengayun tangannya, tiba-tiba tiga orang kawannya berdiri dan memberi hormat kepada seorang berpakaian mewah, orang setengah tua yang masuk restoran itu diikuti oleh beberapa orang pengiring.

   "Toa-loya datang!"

   Terdengar kata-kata mereka. Kepala pengawal yang hendak menampar muka Cin Han itu tiba-tiba membalikkan tubuh dan menyambut orang itu dengan muka berseri-seri sikap menjilat, mempersilakan orang itu mengambil tempat. Kesempatan digunakan oleh Lian Hwa untuk menarik tangan kawannya meninggalkan tempat itu setelah membayar uang makanan. Ia tidak suka memperlihatkan kepandaiannya membela kawan itu, karena kuatir Cin Han akan mengetahui bahwa iapun tergolong "orang kasar"

   Sehingga kemudian tidak sudi bergaul pula dengannya, Cin Han mengomel panjang pendek dan memaki orang-orang kasar itu, tapi Lian Hwa menghiburnya.

   Karena merasa suka kepada kawan baru ini, Cin Han lalu mengambil keputusan untuk pindah ke hotel dimana Lian Hwa bermalam. Tapi dengan alasan bahwa ia tidak biasa tidur berdua, terpaksa Cin Han mengambil lain kamar yang berdekatan dengan Lian Hwa. Setengah malam mereka berdua mengobrol dengan gembira, bahkan Cin Han dalam kegembiraannya memamerkan kepandaiannya menulis dan bersyair yang membuat Lian Hwa sangat kagum. Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka berangkat menuju ke Kie-ciu, dan atas usul Cin Han yang memiliki seekor kuda, Lian Hwa membeli pula seekor kuda bulu putih, lalu mereka berangkat dengan menunggang kuda. Sehari mereka berkuda, hanya berhenti sebentar di waktu tengah hari untuk makan roti kering yang mereka bawa. Pada waktu hari telah hampir gelap, mereka masih berada di dalam sebuah hutan.

   "Kampung Liok-wan-chun berada di depan kira-kira sepuluh lie lagi, marilah kita percepat kuda kita,"

   Kata Cin Han. Tapi tiba-tiba udara yang sejak tadi telah gelap dengan mendung kini makin gelap lagi dan angin meniup keras disusul oleh turunnya air hujan. Mereka bingung sekali, tapi tiba-tiba Lian Hwa melihat sebuah kelenteng tua di pinggir jalan yang mereka lalui.

   "Twako, mari kita meneduh di sana,"

   Katanya.

   "Lebih baik kita jalan terus, adik Lian, sebentar lagi sampai."

   "Tidak Twako. Kalau kehujanan, aku takut masuk angin!"

   Padahal ia kuatir kalau-kalau kawannya itu yang jatuh sakit karena ia tahu bahwa seorang pelajar yang tak kenal ilmu silat tentu bertubuh lemah. Berbareng ia itu merasa heran lagi melihat diri sendiri. Mengapa ia begitu memperhatikan Cin Han?

   "Baiklah kalau begitu,"

   Kata Cin Han. Mereka segera melarikan kuda mereka ke arah kelenteng tua itu. Pintu kelenteng tertutup dan mereka mengetuknya perlahan. Ketika pintu terbuka, ternyata yang menyambut mereka adalah seorang nikouw (pendeta perempuan) yang memelihara rambut dan berbaju putih bersih. Nikouw itu masih muda, takkan lebih dari dua puluh tahun usianya dan wajahnya sangat manis. Ia sangat ramah sekali menyambut tamunya. Cin Han mengangkat tangan dan menjura memberi hormat,

   "Maafkan, jika kami mengganggu. Karena kehujanan di jalan, maka perkenankanlah kiranya kami meneduh sebentar."

   "Oh, silakan masuk, jiwi siangkong,"

   Suara nikouw itu sangat merdu dengan irama dibuat-buat. Lian Hwa merasa aneh dan bercuriga melihat lagak nikouw itu. Setelah masuk sebentar, nikouw itu datang kembali dengan seorang nikouw lain yang umurnya kira-kira dua puluh dua tahun dan juga mempunyai wajah cantik menarik. Dengan lagak yang tak pantas dilakukan oleh orang-orang suci, kedua nikouw itu berkali-kali menjual senyum dan kerlingan mata sambil menuangkan arak hangat kepada kedua tamu mereka. Cin Han merasa likat-likat dan malu-malu melihat sikap mereka. Untuk menghilangkan suasana tak enak itu ia bertanya tentang keadaan kelenteng itu. Nikouw yang tertua berkata dengan suara manis,

   "Kelenteng ini adalah kelenteng Liok-ling-thong dan telah lama tidak terurus. Kami berdua kakak beradik Bwee Hiang dan Bwe Nio baru tiga bulan mendiami kelenteng ini,"

   Menerangkan Bwee Hiang.

   "Jiwi siangkong hendaknya bermalam di sini saja karena hari sudah malam dan gelap, serta hujan juga masih belum reda,"

   Kata Bwee Nio sambil mengerling ke arah Lian Hwa.

   "Kami tidak berani mengganggu jiwi,"

   Kata Cin Han.

   "Tidak mengganggu, sama sekali tidak,"

   Sahut Bwee Hiang sambil sekali lagi menuang penuh arak hangat ke dalam cangkir pemuda itu dan Bwee Nio juga menurut contoh encinya menuangkan arak ke dalam cawan Lian Hwa yang telah kosong.

   "Siapa yang mengganggu?"

   Bwee Nio menyambung kata-kata encinya sambil tertawa cekikikan dengan genit sekali.

   "Kami ada dua kamar, kamar enciku dan kamarku, siangkong boleh tidur di kamar enciku dan siauw-siangkong ini tidur di kamarku,"

   Berkata demikian ini sambil memegang pundak Lian Hwa. Lian Hwa hampir saja berdiri memakinya, tapi Cin Han keburu berkedip mata. Cin Han tertawa,

   "Habis, jiwi hendak tidur di mana?"

   Bwee Hiang tertawa genit.

   "Tempat tidur kami lebar, masih ada tempat bagi kami berdua."

   "Di mana?"

   Tanya Lian Hwa yang merasa tak enak juga mengganggu tempat orang.

   "Di pembaringan itu juga. Apa salahnya kami menemani jiwi?"

   Tidak tahan pula hati Lian Hwa. Ia berdiri dengan marah dan hendak memaki, tapi tiba-tiba ia merasa kepalanya pening sekali, semua barang yang terdapat di situ berputar-putar di depan matanya dan iapun melihat dengan samar-samar Cin Han berdiri dan roboh. Kemudian ia roboh pula tak ingat orang. Ketika Lian Hwa sadar dari pingsannya dan membuka mata, ia mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah kamar yang berbau harum. Kamar itu mewah sekali, jauh berbeda dengan keadaan di luar kelenteng yang kotor. Ia sedang rebah di atas sebuah pembaringan yang empuk dengan kain, sprei warna merah muda. Bantalnya berkembang. Bwee Nio duduk pula di ranjang itu sambil tersenyum-senyum manis. Lian Hwa merasa marah sekali dan memaki,

   "Perempuan rendah!"

   Lalu hendak bangun berdiri tapi ternyata kedua kaki dan tangannya telah diikat dengan kuatnya. Pengikatnya terbuat daripada semacam kain yang lemas dan dapat mulur hingga percuma saja ia gerakkan kaki tangannya biarpun ia telah mengeluarkan tenaga dalamnya. Ia betul-betul tak berdaya.

   "Siangkong jangan mencoba berontak. Saya tahu siangkong pandai silat karena dalam buntalan siangkong terdapat sebatang pedang pusaka! Kalau kawanmu itu betul-betul anak sekolah yang lemah, maka saya beruntung sekali mendapat siangkong. Saya sangat mencinta seorang laki-laki yang selain tampan juga gagah perkasa. Maka janganlah membuang waktu selagi masih muda."

   Ia mendekatkan mukanya yang berbau harum ke arah muka Lian Hwa dan tertawa genit. Lian Hwa mengerahkan tenaganya kembali untuk memberontak, tapi sia-sia saja, kain pengikat itu terlampau ulet dan kuat, maka ia menjadi putus asa dan menahan napas karena marah dan jengkel. Hampir saja ia menangis. Ia hanya memejamkan mata. Tiba-tiba nikouw cabul itu menoleh ke arah jendela di mana berkelebat bayangan orang. Nikouw itu meniup padam pelita di dalam kamar, menyambar pedang Lian Hwa yang digantungkan di dinding, lalu meloncat keluar. Lian Hwa membuka matanya tapi keadaan dalam kamar itu gelap gulita hingga ia tak dapat melihat apa-apa, kecuali jendela yang terbuka dan suram-suram cahaya bulan memasuki kamarnya.

   Ia mendengar suara orang berkelahi di atas genteng. Telinganya yang terlatih dapat menangkap suara kaki dua orang yang sedang bertempur di atas genteng itu, dan diam-diam ia memuji mereka itu yang mempunyai kepandaian meringankan tubuh yang tinggi, karena sungguhpun mereka sedang berkelahi, namun tindakan kaki mereka itu ringan sekali hingga kalau ia tidak memasang telinga baik-baik tentu ia takkan mendengar sesuatu. Tak lama kemudian dari atas genteng terdengar suara wanita menjerit, lalu keadaan menjadi sunyi. Tiba-tiba sosok bayangan secepat kilat meloncat memasuki jendela kamarnya. Lian Hwa tak berdaya hanya dapat menyerahkan nasib kepada Tuhan. Terasa olehnya bagaimana sepasang tangan meraba-raba kakinya hingga ia merasa geli sekali. Sekejab kemudian tali pengikat kakinya putus dan demikianpun tali pengikat tangannya.

   Sebelum ia bisa berbuat sesuatu, bayangan yang menolongnya itu melompat secepat burung terbang keluar jendela. Ketika ia memperhatikan, ternyata pedangnya telah berada di atas meja di kamar itu kembali. Ia menjadi girang berbareng gemas kepada dua nikouw cabul itu, dan timbul pula kekuatirannya akan keselamatan Cin Han. Ia memungut pedangnya lalu meloncat keluar dari jendela. Tak lama ia menemukan kamar di mana Cin Han dikeram. Ia menghampiri jendela dan membacoknya, membuka dengan pedangnya. Ia melihat Cin Han telah duduk di pembaringan sambil memegangi kepalanya. Agaknya pemuda itu masih pening, nampak pula bekas-bekas tali ikatan terlepas di pembaringan itu. Cin Han mendengar dan melihat ia masuk, tapi ketika melihatnya dengan terang barulah pemuda itu tersenyum.

   "Eh, hiante (adik), dari mana kau peroleh pedang itu?"

   Tanyanya heran dan kuatir melihat Lian Hwa memegang pedang.

   "Mana perempuan cabul itu?"

   Tanya Lian Hwa marah.

   "Akan kupenggal lehernya!"

   Kemudian ia ingat bahwa ia hendak menyembunyikan kepandaian silatnya dari mata pemuda itu, maka segera disambungnya cepat-cepat,

   "Lo Twako, sungguh celaka, kita telah tertipu oleh dua nikouw cabul tadi. Aku bangun-bangun sudah terikat. Baiknya ada orang yang menolongku. Kulihat pedang ini di atas meja, maka segera kuambil untuk mencari perempuan tadi. Hem, biarpun aku tak pandai menggunakan pedang, tapi kalau bertemu padanya pasti akan kubacok putus batang lehernya!"

   Cin Han menggeleng-gelengkan kepalanya,

   "Aya, sungguh lihai sekali penolong itu. Akupun telah ditolongnya, tapi ia segera pergi kembali."

   "Siapakah orang itu, Twako bagaimana roman mukanya?"

   "Aku tidak tahu jelas, adik Lian, ia berlaku sangat cepat."

   Kemudian Cin Han bangun berdiri.

   "Eh, eh, kau berani juga memegang pedang setajam itu!"

   Lian Hwa agak bingung dan gugup.

   "Kalau terpaksa, apa boleh buat, Twako. Kita kan laki-laki, bagaimana juga, malu kalau harus menyerah begitu saja kepada kedua perempuan cabul itu. Mari kita cari mereka!"

   Mereka berdua keluar mencari-cari dan alangkah kaget mereka, ketika melihat dua orang nikouw itu telah mati dipukul orang. Bwee Hiang mati di luar kamar Cin Han dan Bwee Nio jatuh dari atas genteng karena kepalanya pecah. Lian Hwa pura-pura ketakutan.

   "Aya, ada pembunuhan di sini, Twako. Mari kita lari meninggalkan tempat terkutuk ini."

   Cin Han menyatakan setuju dan mereka segera berangkat menunggang kuda meninggalkan tempat itu. Ketika melihat Lian Hwa memasukkan pedang Sian-liong-kiam di dalam buntalan, Cin Han bertanya,

   "Untuk apa pedang itu kausimpan?"

   "Twako, kita telah ditolong orang. Mungkin pedang ini pedangnya, atau mungkin juga pedang nikouw itu. Tapi kulihat pedang ini bukan pedang sembarangan. Maka akan kubawa, karena aku mempunyai seorang kenalan yang suka mengumpulkan pedang-pedang baik. Pedang ini hendak kuberikan padanya."

   
Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mereka berjalan di malam gelap, tapi baiknya Cin Han telah beberapa kali melalui tempat itu hingga ia kenal jalan. Di sepanjang jalan mereka saling menceritakan pengalamannya.

   "Twako, apakah kau tadi... diganggu oleh Bwee Hiang perempuan celaka itu?"

   Pertanyaan ini diucapkan tanpa berani memandang wajah pemuda itu.

   "Hm, tidak, mana aku sudi diganggu olehnya? Selagi aku tak berdaya, baiknya penolongku datang dan mengejar perempuan itu keluar kamar. Kemudian ia kembali lagi untuk melepaskan ikatanku."

   Mereka bermalam di Liok-wan-chun, sebuah kampung kecil tak jauh dari situ dan keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan ke kampung Ban-hok-chun. Ketika tiba di kampung Ban-hok-chun, Lian Hwa merasakan dadanya berdebar-debar dan sangat terharu. Mengingat bahwa dahulu ia dilahirkan di kampung ini dan bahwa orang-tuanya tewas di dalam kampung ini juga, tak tertahan pula Lian Hwa merasakan matanya pedas dan mengalirkan air mata.

   "Kau kenapa, adik Lian?"

   Tanya Cin Han. Lian Hwa segera kucek-kucek kedua matanya dan menjawab,

   "Tidak apa-apa, Twako, rupanya ada debu masuk ke mataku hingga terasa pedih dan mengeluarkan air mata."

   Lian Hwa mencari sebuah rumah penginapan, tapi Cin Han tidak bermalam di situ. Ia berkata,

   "Adik Lian, sampai di sini kita terpaksa harus berpisah. Aku ada urusan penting dan besok pagi harus sudah berada di kota Tiong-bie-kwan."

   Lian Hwa merasa kecewa.

   "Twako, apakah tidak bisa besok saja kau berangkat dan malam ini bermalam di sini?"

   Ia memohon. Cin Han menggelengkan kepalanya.

   "Tidak mungkin hiante, karena kalau aku berangkat besok, tidak mungkin aku bisa sampai di sana dalam sehari, sedangkan besok malam aku harus sudah berada di sana menghadiri pesta. Pula, sekarang masih siang dan aku bisa melanjutkan perjalanan sedikitnya empat puluh lie. Nah, sampai berjumpa kembali, adik Lian yang baik. Aku yakin kita akan dapat bertemu kembali!"

   Lian Hwa memandangnya sejenak dan menghela napas sambil berkata,

   "Selamat berpisah dan selamat jalan, Twako. Mudah-mudahan kita akan segera berjumpa lagi."

   Cin Han menjura dan ketika Lian Hwa balas menjura Cin Han memegang lengan tangan sahabat itu erat-erat.

   "Sampai berjumpa!"

   Katanya lalu naik kudanya yang terus dilarikan kencang diikuti oleh pandangan mata Lian Hwa. Kemudian gadis itu masuk ke dalam rumah penginapan, mendapat kamar dan duduk di dalam kamar termenung. Ia heran mengapa kini seakan-akan merasa kehilangan sesuatu setelah Cin Han pergi. Ia suka sekali kepada pemuda yang sopan santun dan halus gerak-geriknya itu. Alangkah bedanya dengan kebanyakan pemuda, terutama laki-laki yang bisa silat. Ia merasa malu sendiri mengingat kelemahan hatinya. Mengapa ia suka sekali kepada seorang pemuda yang baru saja dikenalnya.

   "Ah, kalau aku tadi ikut dengan dia, alangkah senangnya,"

   Demikian ia berpikir. Tiba-tiba ia terkejut dan marah kepada diri sendiri. Ikut Cin Han? Ah, sudah gilakah ia? Sedangkan di depan matanya menanti sebuah kewajiban besar yang harus dilaksanakan, mengapa ia memikirkan untuk ikut seorang pemuda? Memalukan benar! Tiba-tiba semangatnya bangkit kembali dan ia meninggalkan hotel itu untuk memulai penyelidikannya. Karena kampung itu hanya sebuah kampung kecil saja, maka siapakah yang tidak kenal rumah keluarga Bong-wangwe (Hartawan Bong)? Bong Him Kian yang dulu disebut Bong Toaya atau Bong Wangwe.

   Ia telah kawin dengan seorang gadis keturunan bangsawan dan mempunyai dua orang putera yang kini telah berusia belasan tahun. Pengaruhnya makin besar saja dan kekayaannya makin menumpuk pula. Bahkan kini jagoan-jagoan yang menjadi kaki tangannya kabarnya banyak yang lihai. Hwat Khong Hwesio, suheng Lian Hwa sengaja tidak mau memberi tahu sumoinya tentang nama-nama jagoan kaki tangan Bong-Kongcu yang dulu membunuh ayahnya karena Hwesio tua itu berpikiran luas. Ia tidak menghendaki bahwa kelak Lian Hwa menanam bibit permusuhan dengan para jagoan di kalangan kang-ouw maupun liok-lim, karena menurut pendapatnya, yang bersalah paling besar adalah Bong Him Kian seorang. Para kaki tangannya hanyalah menjalankan perintahnya, maka sudah sepatutnya kalau si orang she Bong itu saja yang dibinasakan untuk membalas sakit hati.

   Walaupun Lian Hwa tidak mendapat keterangan dari suhengnya tentang nama-nama para jagoan yang membunuh ayahnya karena suhengnya mengatakan tidak tahu nama-namanya, namun dalam hatinya ia telah mengambil keputusan untuk membasmi semua kaki tangan musuhnya. Maka setelah di dalam penyelidikannya selama dua hari itu ia mendengar bahwa Bong Wangwe mempunyai lima orang pengawal jempolan, hatinya makin menjadi panas. Hm, kalau aku belum bisa membasmi bajingan she Bong sekeluarga dan semua begundalnya itu, aku tidak mau sudah, pikirnya. Setelah mencari-cari dan bertanya-tanya, ia dapat juga menemukan kuburan kedua orang-tuanya. Kedua kuburan itu sangat sederhana dan tidak terawat, maka ketika Lian Hwa datang ke situ pada saat kuburan itu kosong tiada seorangpun pengunjung,

   Ia menangis sedih sambil memeluki kedua gundukan tanah itu dan bersumpah akan membawa kepala orang she Bong itu untuk bersembahyang di depan kuburan orang-tuanya. Kalau menurut dorongan hatinya, ingin sekali Lian Hwa pada siang itu juga pergi mendatangi rumah keluarga Bong. Tapi ia ingat akan pesan suhengnya dan pula ia tidak suka menimbulkan kekacauan di dalam kampung itu dan menakutkan semua penduduk. Pada malam hari itu menjelang tengah malam, ketika semua penghuni gedung Bong Wangwe telah pulas, Lian Hwa berloncat-loncatan di atas genteng gedung itu. Seorang bujang tiba-tiba keluar dari sebuah kamar membawa baki terisi poci teh. Bagaikan burung layang-layang Lian Hwa turun menyambar dan sebelum bujang itu dapat berteriak, Lian Hwa telah menempelkan ujung pedangnya di leher orang.

   "Jangan ribut kalau tak mau pedangku ini membuat kepalamu terpisah dari tubuh. Hayo bilang, di mana kamar Bong Wangwe? Awas jangan bohong!"

   Dengan gemetar dan ketakutan setengah mati orang itu berdiri menggigil. Baki yang dipegangnya terlepas dari tangan, tapi dengan cepat dan tangkas Lian Hwa menyambarnya hingga baki dan pocinya tidak jatuh membuat ribut. Bujang itu lalu membuka mulut, tapi tidak ada suara dari mulutnya, tenggorokannya seakan-akan. terkancing karena takutnya. Maka dengan jari telunjuknya menuding ke arah sebuah kamar besar.

   "Di situ kamar Bong Wang-we?"

   Tanya Lian Hwa. Orang itu hanya mengangguk berkali-kali. Lian Hwa lalu mengulurkan, jari tangannya dan menotok jalan darah orang itu yang segera roboh tak berdaya dan tak bersuara. Untuk beberapa lama ia akan tinggal lumpuh dan gagu. Dengan gerakan ringan Lian Hwa meloncat ke arah jendela kamar yang dimaksudkan dan mengintai dari celah-celah pintu jendela.

   Di dalam kamar itu Bong Wangwe ternyata belum tidur. Ia tengah mengeluarkan beberapa buku catatan dan mulai menggunakan mouw-pitnya (pensil bulu) menulis dan mencatat-catat, orang-tua yang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan yang wajahnya tepat seperti apa yang digambarkan oleh suhengnya dulu. Lian Hwa merasa dadanya seakan-akan hendak pecah dan panas seperti terbakar. Dengan sekali dorong, jendela itu terbuka dan daunnya roboh karena dipecahkan tenaga dorongan Lian Hwa. Bong Wangwe terperanjat mendengar suara ribut itu dan ketika ia berpaling memandang jendela kamarnya, alangkah kaget dan takutnya melihat seorang wanita muda cantik jelita meloncat masuk sambil membawa sebatang pedang yang berkilauan karena tajamnya. Bong Wangwe hendak berteriak, tapi dengan sekali loncatan Lian Hwa melompati meja yang menghadang di antara mereka.

   "Apakah kau Bong Him Kian?"

   Tanyanya ketus. Bong Wangwe mengangguk,

   "Ya, akulah orang she Bong itu."

   Hatinya agak tenang melihat bahwa tamu malamnya itu hanya seorang gadis tanggung. Ia tidak jadi berteriak, bahkan dengan cepatnya menyambar sebatang pedang yang tergantung di dinding.

   "Kau berani sekali masuk ke sini mau apa?"

   Bentaknya. Mata Lian Hwa yang jernih itu tiba-tiba bersinar penuh kemarahan.

   "Ingatkah kau kepada Han Bun Lim dan nyonyanya yang kau bunuh sepuluh tahun yang Ialu?"

   "Han... Han Bun Lim...?"

   Jawab Bong Wangwe gugup.

   "Ya, dan masih ingatkah kau kepada anak yang masih kecil dan hendak kau bunuh pula itu? Akulah anak itu, anjing keparat. Dan sekarang hadapilah kematianmu untuk menebus dosamu yang bertumpuk-tumpuk!"

   Dengan kata-kata ini ia meloncat maju menusuk.

   Bong Him Kian yang telah belajar silat lama juga segera berkelit hingga pedang Lian Hwa menusuk tempat kosong. Tapi gadis yang sedang marah hebat itu memutar pergelangan lengannya hingga pedangnya kini terus membabat ke arah pinggang lawan. Bong Him Kian menjadi gugup dan silau karena gerakan Lian Hwa yang cepat itu dan sinar Sian-liong-kiam yang berkilau-kilauan. Tapi ia percaya kepada pedangnya yang terkenal tajam, maka ia membacok ke arah pedang gadis itu untuk memotong atau setidak-tidaknya terpental karena ia memang bertenaga besar. Tapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa seakan-akan membacok air saja ketika pedang mereka beradu dan ketika ia lihat, ternyata pedangnya hanya tinggal sepotong. Bukan pedang lawan tapi pedangnya sendiri yang terpotong oleh pedang musuhnya. Mau tak mau Bong Wangwe menjadi keder ketakutan, maka segera ia berteriak,

   "Tolong! Pembunuh, tolong!!"

   "Pengecut!"

   Teriak Lian Hwa sambil menusukkan Sian-liong-kiam ke arah ulu hati musuh besarnya. Cep! Ujung pedangnya menembus dada orang dan sebelum tubuh Bong Him Kian roboh setelah pedang dicabut, Lian Hwa telah mengayun pedangnya pula hingga kepala musuh yang dibencinya itu terpental dari leher.

   Sebelum kepala jatuh ke tanah, tangan kiri Lian Hwa telah terulur menjambak rambut kepala itu. Kemudian ia mengambil mauw-pit musuhnya yang berada di atas meja, mencelupkan ke dalam darah musuhnya yang memenuhi lantai dan masih mengucur dari dada dan leher, lalu menulis di atas tembok yang putih. Pada saat itu terdengar bunyi ribut-ribut di luar kamar, karena teriakan Bong Wangwe tadi telah menarik perhatian para jagoannya yang tidur di kamar belakang. Mereka berlima membawa senjata masing-masing menyerbu ke situ. Alangkah kaget mereka ketika melihat bahwa majikan mereka telah menggeletak di lantai dengan tak berkepala pula, sedangkan di dekat tembok berdiri seorang wanita muda dengan pedang di tangan kiri dan kepala majikan mereka digantung pada rambut dengan tangan kiri pula, sedangkan tangan kanan asyik menulis di atas tembok dengan tulisan darah!

   Beramai-ramai mereka menerjang masuk, tapi karena kamar itu sempit penuh barang-barang, yang maju lebih dulu adalah Cun Tin si muka iblis yang bersenjatakan ruyung besi. Si muka iblis menggunakan ruyungnya yang berat menghantam kepala Lian Hwa yang sedang berdiri membelakanginya dan asyik menulis, seakan-akan tidak tahu bahwa di luar telah berdiri jagoan-jagoan Bong Wangwe dan bahkan seorang di antara mereka kini tengah mencoba untuk memukul pecah kepalanya! Tapi Lian Hwa bukanlah murid si Manusia Aneh Ong Lun jika ia dapat dipecahkan kepalanya dengan begitu saja! Tanpa menengok sedikitpun dan dengan tangan kanan masih menulis terus, ketika senjata ruyung itu menyambar ke arah kepalanya, ia hanya menggeser sedikit kakinya dan tangan kirinya yang memegang pedang dan kepala berlumuran darah itu bergerak ke belakang.

   "Trang!"

   Ruyung itu tersampok pedang dan si muka iblis memandang dengan mulut ternganga karena ruyungnya telah putus ujungnya. Sebelum ia dapat kembalikan semangatnya yang seakan-akan terbang karena kagetnya, Lian Hwa yang sementara itu telah selesai menulis segera membalikkan tubuh dan pedangnya telah pindah ke tangan kanan. Cun Tin hendak lari keluar, tapi sinar pedang mengejarnya dan sebelum ia sampai ke pintu kamar, punggungnya telah tertusuk pedang. Ia mengeluarkan jeritan ngeri lalu roboh berkelojotan. Lian Hwa memutar pedangnya dan meloncat keluar kamar. Ketika ia menurunkan kakinya di pekarangan luar, ia berdiri menanti musuh-musuhnya yang datang berlari-larian mengeroyok.

   Hati dan perasaan Lian Hwa pada saat itu diliputi rasa marah dan terharu. Marah karena ingat bahwa jagoan-jagoan ini dulu telah membunuh ayahnya, dan terharu karena akhirnya ia berhasil juga membalaskan sakit hati orang-tuanya dan kepala musuh besarnya kini telah berada di tangannya. Segera ia memainkan Sian-liong-kiam-hoat (Silat Pedang Naga Dewa ) yang hebat dan dalam beberapa jurus saja keempat lawannya semua telah roboh di atas tanah terbenam dalam darah mereka sendiri. Pada saat itu Lian Hwa seakan-akan kemasukan iblis. Hatinya penuh dendam dan hawa nafsu, dengan mata beringas ia menengok ke kanan kiri mencari-cari. Maksudnya hendak membunuh seluruh isi rumah itu. Tiba-tiba pintu sebuah kamar terbuka dan seorang anak laki-laki kira-kira berusia sebelas tahun lari keluar, di belakangnya terdengar suara wanita memanggil ketakutan,

   "Lian Keng! Lian Keng! Kembalilah kau!"

   Lian Hwa mengangkat pedangnya mengejar anak itu. Setelah dekat ia mengayunkan pedangnya. Tiba-tiba pedang itu ditahannya dan hatinya menjadi lemas, hawa marahnya buyar seakan-akan awan tertiup angin. Sayup-sayup sampai terdengar olehnya gema suara Cin Han yang berkata dengan suara halus ketika mereka masih bersama-sama beberapa hari yang lalu,

   "Adik Lian, aku tidak suka kepada kebanyakan orang dari kaum persilatan, karena cara hidup mereka itu kejam sekali. Betapa banyak jiwa dikorbankan karena dendam dan sakit hati di antara golongan mereka. Tindakan yang gila dilakukan oleh mereka kalau sudah berdaya membalas sakit hati. Balas-membalas tiada habisnya. Bahkan di dalam kebiasaan mereka, wanita dan kanak-kanak juga dibinasakan hanya untuk mengumbar hawa marah dan perasaan dendam. Alangkah kejamnya. Aku tidak suka, tidak suka..."

   Mengingat suara ini, lenyaplah kegusaran Lian Hwa. Ia telah membunuh orang yang paling berdosa, ialah Bong Him Kian dan telah membinasakan kelima kaki tangannya pula, maka boleh dikata sakit hati orang-tuanya telah terbalas penuh. Apa gunanya membunuh semua keluarga Bong yang tidak tahu-menahu tentang sakit hati itu dan sama sekali tidak berdosa. Dengan pikiran inilah maka Lian Hwa segera loncat memasuki kamar Bong Wangwe tadi, lalu menggunakan sehelai kertas buku catatan Bong Him Kian untuk menghapus namanya di bawah syair yang ditulisnya tadi dan ditinggalkan sebuah huruf "Han"

   Saja. Syair itu berbunyi demikian :

   Ayah, ibu, seisi rumah terbunuh semua,

   Hingga aku menderita, sebatang kara,

   Sakit hati dikandung sebelas tahun lamanya,

   Semua ini gara-gara Bong Him Kian si iblis durhaka,

   Malam ini aku keturunan terakhir dan satu-satunya,

   Membalas sakit hati orang-tua,

   Teratai bersih di dalam telaga,

   Kini menjadi merah oleh darah musuh orang-tuanya,

   Aku puas dapat berbakti kepada orang-tua,

   Roh ayah-ibu puas, terbalaslah sakit hati mereka,

   Bong Him Kian puas, karena telah dapat menebus dosa!

   "Han"

   Lian Hwa lalu meloncat ke atas genteng membawa kepala musuhnya dan langsung menuju ke kuburan ayah-ibunya. Ia meletakkan kepala itu di depan kuburan orang-tuanya, lalu berlutut sambil menangis sedih.

   "Ayah-ibu, janganlah penasaran lagi. Kepala bangsat Bong Him Kian telah anak bawa ke sini. Lihatlah... dan kelima kawannya juga telah anak bunuh mampus... Jangan penasaran, ayah... ibu... anak tak sanggup membunuh seluruh keluarga...!"

   Ia menangis tersedu-sedu dan sebagai jawaban kata-katanya dan ratapannya itu, terdengar suara daun-daun tertiup angin berkeresekan dan suara kutu malam berlagu sedih. Sampai hampir pagi Lian Hwa berlutut di situ, kemudian ia meninggalkan kampung itu menunggang kudanya. Ia tidak berganti pakaian laki-laki karena ia pikir setelah kini tugasnya terpenuhi, maka tak perlu ia berlaku hati-hati. Ia akan mengembara meluaskah pengalaman. Ia tidak mempunyai tujuan hendak pergi ke mana, karena iapun sudah tidak mempunyai handai taulan lagi, tak bersanak tak berkawan. Kembali ia ingat kepada Cin Han, karena hanya pemuda itu seoranglah kawannya yang baik. Ia menghela napas dan membalapkan kudanya. Pikirannya penuh dengan peristiwa yang terjadi malam tadi.

   Ia sengaja tidak mau berterang memberi tahukan namanya di dalam syair itu karena ia membenarkan pendapat Cin Han bahwa tiada gunanya balas membalas terus-terusan. Ia tidak berdosa kepada keluarga Bong Him Kian karena ia membunuhnya untuk membalas sakit hati orang-tua. Kini sakit hati itu himpas sudah dan tidak perlu ia memusuhi keluarga Bong itu. Namun bagaimana juga, ia masih memasukkan nama julukannya di dalam syair itu, ialah Teratai Merah. Berhari-hari ia mengembara tak tentu arah tujuan. Kalau berhenti di sebuah kota yang dianggapnya indah, ia tinggal beberapa hari, lalu melanjutkan pula perjalanannya. Uangnya masih ada, karena suhengnya dulu memberi bekal cukup. Tapi soal uang ia tidak khawatir, karena kalau sampai kehabisan, ia dapat "pinjam"

   Dari simpanan seorang hartawan. Ini sesuai dengan pesan suhengnya.

   "Sumoi, kalau engkau sudah terpaksa sekali kehabisan bekal boleh kau ambil secukupnya dari simpanan seorang hartawan. Tapi awas jangan mengorbankan jiwa orang dalam hal itu. Pula, sebelumnya harus diselidiki lebih dulu keadaan hartawan itu. Kalau ia orang baik dan dermawan, jangan diganggu. Ingat ini, sumoi, untuk menjaga nama gurumu dan nama kita."

   Pada suatu hari sampailah Lian Hwa di kota Ang-see-mui. Ia bermalam di hotel terbesar di kota itu. Dan di kota itulah secara sangat kebetulan ia mendapatkan nama Gan Keng Hiap dan alamatnya! Pembaca barangkali belum lupa bahwa ketika Sian-kiam Koai-jin Ong Lun si Manusia Aneh Pedang Dewa akan menutup mata untuk selamanya, ia telah berpesan kepada murid tunggalnya untuk membalaskan penasarannya terhadap seorang bernama Gan Keng Hiap. Selama ini Lian Hwa belum pernah melupakan pesan gurunya tapi karena ia tidak tahu ke mana harus mencari musuh gurunya itu, ia tidak berdaya.

   Pula, ketika itu ia sibuk mengurus dendam keluarganya sendiri. Ketika ia diharuskan menuliskan nama di buku hotel, secara iseng-iseng ia membuka-buka halaman buku tamu itu dan dengan tak segaja matanya bertemu dengan nama seorang tamu yang membuat hatinya berdebar-debar. Nama itu ialah Gan Keng Hiap dengan alamat kota Tiong-bie-kwan! Hatinya berdebar berbareng girang. Ia masih ingat bahwa Lo Cin Han juga pergi ke Tiong-bie-kwan ketika berpisah dengan dia. Mungkin mereka dapat saling berjumpa di kota itu, karena siapa tahu bahwa pemuda itu masih di sana? Tanpa membuang waktu lagi, Lian Hwa segera mencari keterangan di mana letak kota Tiong-bie-kwan. Ternyata jarak antara Ang-see-mui dan Tiong-biekwan hanya dua hari perjalanan berkuda. Hari itu juga Lian Hwa berangkat menuju ke Tiong-bie-kwan sambil membalapkan kudanya.

   Hari telah hampir gelap ketika pada keesokan harinya ia sampai di kota itu. Ternyata kota Tiong-bie-kwan cukup ramai, lebih besar dan ramai jika dibandingkan dengan Ang-see-mui. Lian Hwa sebenarnya tidak mengetahui permusuhan apakah yang ada antara gurunya dan Gan Keng Hiap, karena di waktu hidupnya Ong Lun hanya pernah menyatakan bahwa hidupnya telah dibikin sakit dan penasaran oleh Gan Keng Hiap dan bahwa ia sendiri tak berdaya menuntut balas, maka kini minta muridnya mewakilinya untuk membalaskan sakit hati itu. Di dalam hatinya Lian Hwa ada juga keragu-raguan karena ia kini menghadapi satu tindakan yang tidak diketahui ujung pangkalnya dan asal mulanya, padahal suhengnya berkali-kali berpesan bahwa sesuatu tindakan harus dilakukan dengan teliti dan tidak boleh sembrono.

   Maka, jika ia kini pergi mencari dan tanpa minta keterangan lalu membunuh orang she Gan itu, bukankah itupun merupakan suatu tindakan yang sembrono sekali? Ah, tidak bisa, bantah suara hatinya. Ini adalah tugas yang diberikan oleh suhu, sedangkan aku sebagai murid tunggalnya harus melaksanakannya untuk membalas budinya yang begitu besar! Dari keterangan penduduk di kota itu dengan mudah ia bisa menemukan rumah Gan Keng Hiap. Rumah itu besar juga, tapi sudah kuno dan tidak terawat. Ketika Lian Hwa berjalan lewat di depan rumah itu pada sore hari itu, pintu rumahnya tertutup saja dan keadaan dari dalam rumah sepi tak terdengar sesuatu seakan-akan rumah itu tiada penghuninya. Sebenarnya setelah berjumpa dengan Cin Han, semangat Lian Hwa dalam hal bunuh-membunuh sudah turun banyak bahkan hampir lenyap.

   Ia sudah menetapkan dalam hati tidak akan sembarangan mencari perselisihan dan sembarangan membunuh kalau tidak terpaksa sekali dan kalau tidak untuk kebaikan. Ia kini insaf mengapa suhengnya bersumpah tidak membunuh lagi, satu keputusan yang dulu ia anggap sebagai tanda kelemahan hati. Maka kali ini Lian Hwa ingin bekerja cepat. Setelah bertemu, ia akan membunuh Gan Keng Hiap itu seperti pesan gurunya, kemudian ia akan pergi dari situ. Lain orang ia takkan mengganggunya. Malam hari itu dengan pakaian ringkas warna hijau dan ikat pinggang kuning, bunga teratai emas menghias rambutnya dan pedang Sian-liong-kiam tergantung di pinggang, Lian Hwa meloncat ke atas genteng dan berlari-larian meloncati wuwungan rumah orang menuju ke rumah musuh gurunya.

   Ketika ia sampai di atas rumah Gan Keng Hiap, ia melihat di sekeliling rumah itu sunyi, tapi dari sebuah kamar masih tampak menyorot keluar api pelita. Ia segera meloncat ke arah kamar itu dan menggeser genteng mengintip ke dalam. Di dalam kamar itu ia melihat seorang-tua berusia lebih kurang enam puluh tahun dengan jenggot panjang warna putih sedang duduk di kursi dan memegang alat tulis. Di depannya terbentang kertas putih lebar yang sedang ia tulis. Ternyata ia sedang membuat lian (syair berpasangan) dengan tulisan yang sangat indahnya. Melihat tulisan itu Lian Hwa merasa sangat kagum. Wajah orang-tua itu putih dan halus, pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang sasterawan tua dengan lengan baju yang lebar dan panjang. Di dekatnya terdapat sebatang tongkat bercagak yang disandarkan di pinggir meja.

   Melihat tongkat itu Lian Hwa merasa terkejut dan sangsi pula untuk melakukan tugasnya. Tongkat itu menandakan bahwa orang-tua di bawah itu adalah seorang penderita cacat yang hanya dapat berjalan dengan bantuan tongkatnya! Pada saat itu si orang-tua yang rupa-rupanya sedang membuat lian untuk seorang sahabat menuliskan namanya dibawah lian. Membaca nama yang berbunyi "Gan Keng Hiap"

   Itu, Lian Hwa tidak ragu-ragu lagi bahwa orang-tua itulah musuh gurunya, sungguhpun di dalam hati ia merasa aneh mengapa gurunya yang gagah perkasa itu mempunyai seorang musuh yang demikian lemah tampaknya dan seorang sasterawan yang cacat pula? Tapi ia tak mau perdulikan semua itu, ia mengertak gigi dan membuka genteng untuk menerobos ke dalam melalui genteng. Tetapi pada saat itu terdengar bentakan perlahan dari belakangnya,

   "He, perlahan dulu, kawan! Bukan laku seorang gagah mengintai-intai rumah orang. Apakah kehendakmu?"

   Lian Hwa meloncat berdiri dan membalikkan tubuhnya. Di bawah sinar bintang yang hanya suram saja, ia melihat seorang laki-laki muda berdiri di depannya sambil bertolak pinggang, dan memandangnya dengan marah.

   "Eh, eh, engkau seorang wanita? Maaf, li-Enghiong, tapi apakah, keperluan li-Enghiong datang ke sini di malam buta sehingga kami mendapat kehormatan kunjunganmu? Kalau ada perlu silakan turun dan masuk."

   Melihat dirinya kepergok orang, Lian Hwa menjadi marah dan malu. Marah karena sikap orang yang lemah-lembut seakan-akan mau mengejeknya dan memandang ia seperti anak kecil yang nakal, dan malu karena ia yang sedang mengintai tidak tahu bahwa di belakangnya ada lain orang yang melihat perbuatannya. Maka ia segera mengunus pedangnya dan membentak,

   "Jangan banyak mulut! Setelah kauketahui kedatanganku, maka tak perlu pula aku sembunyi-sembunyi. Kedatanganku hendak membunuh Gan Keng Hiap!"

   Terkejut orang itu mendengar pengakuannya. Iapun marah dan mencabut keluar pedangnya dari punggungnya.

   "Gampang saja kau bicara! Apakah hanya kau seorang yang mempunyai pedang?"

   Lian Hwa menggerakkan pedangnya, tapi tiba-tiba orang itu berteriak.

   "Tunggu dulu!"

   Dan ia meloncat ke tempat yang agak terang dan tidak tertutup bayangan pohon dan wuwungan. Walaupun heran, Lian Hwa mengejarnya. Mereka saling memandang dan...

   "Twako...!"

   Panggilan ini keluar dari bibir Lian Hwa dengan suara penuh kesayangan. Benarkah Cin Han yang berdiri di depannya memegang pedang ini? Sebaliknya Cin Han memandangnya dengan mulut ternganga dan mata terbelalak. Matanya berputar-putar dari atas ke bawah meneliti seluruh badan gadis itu, lalu berhenti di rambut Lian Hwa, menatap bunga teratai emas,

   "Jadi kau... kau... Ang Lian Lihiap?"

   Ang Lian Lihiap mengangguk,

   "Dan kau, Twako... ah, mengerti aku, dulu yang menolongku di kelenteng itu adalah kau sendiri. Sungguh sandiwara yang bagus!"

   Cin Han menghela napas.

   "Sudahlah, jangan bicarakan itu pula. Kini yang terpenting ialah pertanyaanku ini, yaitu mengapa kau datang ke sini? Untuk bertemu dengan Gan Keng Hiap dan membunuhnya? Kenapakah kau hendak membunuh Gan Keng Hiap? Ada permusuhan apa antara kau dan dia?"

   "Kau jangan ikut-ikut, Twako ini urusanku sendiri."

   "Tidak bisa begitu, Lihiap. Ketahuilah bahwa Gan Keng Hiap yang hendak kaubunuh itu adalah pamanku dan juga guruku mengajar ilmu surat. Apakah aku harus diam saja melihat ia hendak dibunuh orang?"

   Ia tak berani menyebut "adik"

   Lagi. Lian Hwa menjadi marah.

   "Hm, bagus orang she Lo! Aku tadinya hanya akan membunuh Gan Keng Hiap saja, tapi bukan salahku kalau aku melawan siapa saja yang hendak menghalangi niatku. Ketahuilah olehmu, Gan Keng Hiap itu adalah musuh guruku dan aku datang untuk membalaskan sakit hatinya!"

   Kembali Cin Han terkejut.

   "Kalau begitu, kau adalah murid dari Sian-liong Koai-jin Ong Lun? Dengarlah Lihiap, urusan di antara gurumu dan Gan-siokhu (paman Gan) adalah..."

   "Aku tidak perduli!"

   Potong Lian Hwa.

   "Aku harus mentaati pesan suhuku dan kau jangan menghalangi!"

   Setelah berkata begitu Lian Hwa menggerakkan tubuhnya hendak meloncat turun. Cepat tubuh Cin Han berkelebat pula menghadang di depannya.

   "Perlahan dulu, Lihiap. Kau tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Aku tidak membiarkan kau membunuh orang seperti membunuh seekor ayam saja!"

   "Orang she Lo, kau keterlaluan!"

   Katanya dengan gemas, karena hatinya sangat menyesal mengapa pemuda yang dibuat kenangan ini ternyata membela musuhnya. Ia lalu menyerang dengan tusukan pedangnya.

   "Hm, hm, dua orang sasterawan mengadu pedang, sungguh lucu,"

   Kata Cin Han sambil menangkis serangan itu dengan pedangnya juga.

   "Trang!"

   Dua mata pedang saling gempur dan kedua-duanya loncat mundur untuk memeriksa pedang masing-masing karena merasa tenaga hebat membuat tangan mereka gemetar.

   Tapi kedua pedang itu ternyata tidak apa-apa. Tahulah mereka bahwa pedang lawan adalah pedang mustika yang kuat dan tajam. Lian Hwa menyerang kembali dengan menggunakan ilmu pedang Sian-liong-kiam-hoat yang lihai, mula-mula ia menyerang dengan tipu Sian-liong-chut-tong (Naga Sakti Keluar dari Gua). Ia tidak menyerang secara sungguh-sungguh, karena sedikitpun tidak ada maksudnya hendak melukai pemuda itu, hanya akan memperlihatkan kelihaiannya saja untuk menundukkan "anak sekolahan"

   Ini! Tidak sangka sama sekali bahwa Cin Han dapat menangkis dan balas menyerang dengan sama lihainya! Pedang pemuda itu berkelebat cepat dan sinar pedangnya bergulung-gulung menyilaukan! Kaget sekali hati Lian Hwa. Ia sama sekali tak pernah mimpi bahwa Cin Han ternyata adalah seorang ahli pedang yang tinggi ilmu pedangnya.

   Maka ia lalu mengerahkan semua kepandaiannya dan mengeluarkan tipu-tipu silat Sian-liong-kiam-hoat yang paling berbahaya. Tapi semua itu sia-sia. Gerakan-gerakan ilmu pedang Cin Han, yang aneh, sedikit mirip ilmu dari cabang Kun-lun dan ada juga miripnya dengan ilmu pedang Go-bi itu, menjaga tubuhnya dengan sangat rapatnya, bahkan dapat balas menyerang dengan tak kalah hebatnya! Mereka berdua lenyap dalam gulungan sinar pedang bagaikan dua naga sakti tengah bertempur mati-matian mendatangkan debu dan awan berhamburan! Lian Hwa merasa gemas sekali. Belum pernah selama ia keluar dari perguruan ia berjumpa seorang yang begini mahir kiam-hoatnya. Duaratus jurus lebih telah berlalu dan hebat sekali jalannya pertandingan itu, tapi belum juga nampak siapa yang lebih unggul di antara mereka.

   "Lihiap, adik... Lian... sudahlah, apa perlunya kita bertempur terus? Bukankah kita bersahabat?"

   Kata Cin Han sambil menangkis dan menahan pedang Lian Hwa.

   "Jangan banyak cakap! Ini hari kalau bukan kau, tentu aku yang mati di ujung pedang!"

   Bentak Lian Hwa yang sudah menjadi gemas, suaranya parau karena ia menahan-nahan tangisnya!

   "Ah, kau keterlaluan, Lihiap."

   Setelah berkata begini, Cin Han memperhebat gerakan pedangnya. Ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan pada suatu ketika ia mendapat kesempatan karena Lian Hwa yang merasa hatinya jengkel dan menyesal membuat gerakan agak lambat. Tangan kiri Cin Han meluncur seperti seekor ular menotok pergelangan tangan Lian Hwa yang memegang pedang, sehingga Sian-liong-kiam jatuh berkerontangan di atas genteng! Lian Hwa menjadi sedih dan malu, ia terduduk di atas genteng dan mendekap mukanya dengan kedua tangan sambil menangis tersedu-sedu. Cin Han memungut pedang gadis itu dan menghampirinya sambil menyerahkan pedang,

   "Maafkan aku Lihiap, telah kesalahan tangan. Inilah pedangmu."

   Lian Hwa mengangkat muka dan sepasang matanya yang merah dan berlinang air mata memandangnya dengan benci. Kemudian ia merebut pedang itu dan mengayun pedangnya ke arah leher sendiri!

   Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Moi-moi (adik)!!"

   Cin Han berteriak khawatir dan untungnya pedang itu dapat dirampasnya, tapi telah melukai pundak Lian Hwa.

   Gadis itu terhuyung-huyung dan kalau tidak dengan cepat Cin Han memeluknya pasti ia akan jatuh ke bawah genteng. Ia jatuh pingsan dalam pelukan Cin Han. Pemuda itu kaget dan bingung. Ia mengira Lian Hwa terluka parah di pundaknya, padahal gadis itu pingsan karena hatinya sakit, sedih, menyesal dan malu. Tanpa sungkan-sungkan lagi, Cin Han memondong tubuh Lian Hwa dan membawanya meloncat turun. Ketika sadar dari pingsannya, Lin Hwa dapatkan dirinya tengah berbaring di atas sebuah tempat tidur dan di dekatnya duduk dua orang. Yang seorang adalah Gan Keng Hiap, seorang-tua sasterawan yang hendak dibunuhnya tadi, dan seorang pula adalah seorang wanita tua yang masih tampak bekas kecantikannya yang luar biasa. Melihat gadis itu sudah sadar dan segera bangun duduk, Gan Keng Hiap tersenyum,

   "Tenanglah nona!"

   Tapi Lian Hwa masih penasaran, ia melihat ke kanan kiri tapi tidak melihat Cin Han, maka dengan suara keras ia berkata,

   "Sesudah aku ditangkap, maka jangan banyak bicara lagi, bunuhlah aku!"

   Kemudian ia menangis lagi. Nyonya tua itu menghampiri dan mengelus-elus rambutnya.

   "Kau murid dari Ong Lun Taihiap? tanyanya dengan suara halus. Lian Hwa mengangkat mukanya dan memandang muka nyonya yang manis budi dan berwajah menunjukkan keagungan itu, kemudian ia menoleh ke arah Gan Keng Hiap. Juga orang-tua ini berwajah simpatik dan terang bukan orang jahat. Tapi mengapa gurunya bermusuh dengan mereka?

   "Nona, kalau kau masih saja penasaran dan hendak membunuh aku orang-tua tak berguna ini, nah, inilah pedangmu. Tikamlah aku, jangan khawatir, aku seorang lemah tak mengerti ilmu silat, tak mungkin aku dapat melawan,"

   Kata Gan Keng Hiap sambil memberikan Sian-liong-kiam yang tadi terletak di atas meja. Tapi Lian Hwa tidak mau menerima pedang itu dan menundukkan kepalanya.

   "Nona, dari keponakanku aku dengar bahwa kau adalah Ang Lian Lihiap yang datang hendak membalaskan sakit hati suhumu ialah Ong Lun Taihiap. Mungkin kau belum diceritakan oleh gurumu sebab-sebab mengapa ia sakit hati kepadaku. Semua ini adalah karena dia!"

   Ia menunjuk ke arah nyonya itu yang kini mengalirkan air mata dengan sedih. Lian Hwa heran dan memandang nyonya itu dengan bingung.

   "Mungkin kau tidak akan percaya kalau aku sendiri yang menceritakan riwayat ini padamu, maka biarlah dia yang bercerita,"

   Katanya pula. Nyonya tua itu menghela napas dan menghapus air matanya.

   "Dengarlah, nak. Memang benar bahwa Ong Lun Taihiap sakit hati karena aku. Duduknya hal begini."

   Ia lalu bercerita dan Lian Hwa mendengarkan dengan penuh perhatian.

   "Dulu ketika aku masih gadis, pernah aku diculik oleh seorang kepala rampok dan di tengah jalan aku (Lanjut ke Jilid 06)

   Si Teratai Merah/Ang Lian Lihiap (Seri ke 01 - Serial Si Teratai Merah)

   Karya : Asmaraman S Kho Ping hoo

   Jilid 06

   ditolong oleh Ong Lun Taihiap. Ia ketika itu merupakan seorang pemuda yang gagah perkasa dan namanya dihormati oleh semua orang. Karena perbuatannya yang gagah dan sikapnya yang sopan santun itu, aku merasa berterima kasih dan mengaguminya sepenuh hatiku.

   "Tapi nasib rupanya hendak mempermainkan kami. Belakangan ternyata bahwa ia cinta padaku, dan rasa simpati dan kekagumanku terhadapnya itu diterima dengan salah sangka. Ia mengira bahwa akupun cinta padanya. Melihat sikapnya yang bersungguh-sungguh itu, aku tidak tega untuk menyangkal bahwa aku sebenarnya tidak ada perasaan cinta kepadanya seperti cintanya padaku itu, karena aku sudah bertunangan pada waktu itu, ialah dengan Gan Keng Hiap yang itu waktu masih menjadi siucai (mahasiswa).

   "Setelah mengantarkan pulang dengan selamat, seringkali Ong Lun Taihiap berkunjung dengan diam-diam dan mengadakan pertemuan dengan aku. Tapi kami adalah orang yang menjunjung tinggi nama kami maka tidak terjadi apa-apa antara dia dan aku. Kemudian telah diputuskan hari kawinku dengan Gan Keng Hiap, maka aku sebagai seorang anak u-hauw (berbakti) dan memandang tinggi pribudi, menurut saja karena akupun mendengar bahwa Gan Keng Hiap adalah seorang pemuda baik-baik terpelajar, dan berbudi.

   "Terpaksa pada malam itu ketika Ong Lun Taihiap datang mengunjungiku, aku tetapkan hatiku untuk memberi tahu tentangg perkawinanku yang sebentar lagi akan dilangsungkan itu. Celakanya sebelum aku membuka mulut, Ong Lun Taihiap dengan terus terang menyatakan cintanya padaku! Maka dapat kaubayangkan betapa sakit dan sedih hatinya ketika mendengar bahwa aku tak dapat menerima cintanya itu karena aku sudah bertunangan dan bahkan hendak kawin! Ong Lun Taihiap jatuh pingsan!

   "Demikian besar cintanya padaku, bahkan setelah sadar dari pingsannya ia hendak bunuh diri di situ. Tapi aku menubruknya dan membujuk serta meughiburnya. Akhirnya ia minta aku pergi minggat bersama. Tentu saja ajakan tidak baik ini kutolak. Ia menjadi marah dan mengancam hendak membunuh Gan Keng Hiap. Aku menjawab bahwa jika dia membunuh calon suamiku, akupun hendak bunuh diri. Maka pergilah dia dengan hati sakit dan sedih.

   "Semenjak itu kami tidak mendengar akan halnya lagi. Agaknya ia telah insaf dan melupakan urusan itu, siapa nyana bahwa sampai saat ini, setelah kami semua menjadi tua, dia masih saja, menaruh dendam dan menyuruh kau datang untuk membunuh suamiku. Maka katakanlah padanya nona, jika ia hendak membalas sakit hati, suruhlah dia datang ke sini. Kami berdua suami isteri rela mati di bawah tangannya!"

   Kata-kata terakhir ini diucapkan dengan air mata bercucuran. Lian Hwa menjadi terharu dan menangis pula.

   "Suhu... suhu sudah mati..."

   "Apa? Ah... Ong Lun, Ong Lun, sampai matipun kau masih saja mendendam..."

   Nyonya Gan menangis makin sedih dan suaminya hanya menghela napas.

   "Nah, Lihiap. Sekarang kau sudah mendengar semua, maka kalau masih mau membunuh padaku, silakan!"

   Ia menantang dengan suara tenang. Lian Hwa menjadi malu.

   "Kalau begini halnya, memang suhu yang terburu nafsu dan terlalu kow-kati (egoistis). Maafkan aku lopek, dan selamat tinggal. Aku kelak akan mohon ampun di depan arwah suhu bahwa muridnya tak dapat mentaati perintahnya."

   

Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini