Jaka Lola 12
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
Berubah wajah Swan Bu yang tampan. Alisnya yang tebal hitam itu berkerut, matanya memancarkan sinar kemarahan.
"Hemmm, kakak Bun Hui, berilah tahu kepadaku, siapa gerangan musuh-musuh yang berusaha untuk membalas dendam kepada Ayah?"
"Ayahku lebih mengetahui akan hal itu dan agaknya Ayah telah mencatat secara lengkap dalam suratnya yang kubawa untuk Ayahmu. Sepanjang pengetahuanku, agaknya penghuni Ching-Coa-To yang mengumpulkan kekuatan untuk memusuhi Ayahmu. Juga... ada... orang dari Go-Bi-San..."
Melihat keraguan Bun Hui, Swan Bu makin tertarik.
"Siapakah dia, Twako? Juga musuh besar Ayah?"
Bun Hui menelan ludah dan mengangguk. Beratlah hatinya untuk menyebut nama Siu Bi. Tidak ingin dia melihat Siu Bi bermusuhan dengan Liong-Thouw-San, dan lebih lagi tidak ingin dia melihat Siu Bi menjadi korban karena sudah pasti gadis itu akan menemui bencana kalau berani memusuhi Pendekar Buta.
"Dia datang dari Go-Bi-San di mana terdapat dua orang bekas musuh besar Ayahmu, yaitu Hek Lojin dan muridnya, The Sun. Mereka ini memiliki kepandaian hebat dan agaknya takkan mau berhenti sebelum dapat membalas kekalahan mereka belasan tahun yang lalu."
"Hemmm, dan penghuni Ching-coa- to itu, siapakah?"
"Sepanjang pengetahuanku, kini di situ menjadi sarang Ang-Hwa-Pai yang dipimpin oleh Ketua mereka yang berjuluk Ang-Hwa Nio-Nio. Juga ada bekas jagoan di istana Selatan berjuluk Ang-Mo-Ko, juga amat lihai biarpun tidak sehebat Ang-Hwa Nio-Nio kepandaiannya. Masih banyak lagi teman-teman mereka yang tidak kuketahui."
"Twako, di manakah letaknya Ching-Coa-To? Di mana tempat tinggal Ang-Mo-Ko dan apakah orang-orang Go-Bi-San itu sudah turun gunung? Mereka berkumpul di mana sekarang?"
Bun Hui memandang curiga.
"Adikku yang gagah, agaknya bernafsu sekali kau ingin mengetahui tempat mereka, mau apakah kau?"
"Tidak apa-apa,"
Twako. Bukankah lebih baik mengetahui kedudukan dan keadaan lawan?"
Bun Hui lalu memberi tahu di mana letak Ching-Coa-To.
"Mungkin Ang-Mo-Ko yang tak tentu tempat tinggalnya itu pun sudah berada di Ching-Coa-To. Tentang orang-orang Go-Bi-San, aku sendiri tidak tahu pasti di mana mereka berada. Hanya... kabarnya sudah turun gunung."
Benar-benar berat hati Bun Hui untuk bicara tentang Siu Bi, dan ini pula yang menggelisahkan hatinya di dalam perjalanan itu karena dia merasa khawatir kalau-kalau Ayahnya memberi tahu perihal Siu Bi di dalam suratnya kepada Pendekar Buta.
"Twako, silakan kau naik ke puncak menghadap Ayah dan Ibu. Kalau mereka bertanya tentang aku, katakan bahwa aku hendak turun gunung mencegah kutu-kutu busuk itu mengganggu ketenteraman Liong-Thouw-San!"
"Eh, adik Swan Bu... jangan begitu... tak boleh tergesa-gesa dan berlaku sembrono...!"
Bun Hui berseru gugup. Namun Swan Bu tersenyum dan dagunya mengeras membayangkan kekerasan.
"Mengapa jangan? Bukankah lebih baik mendahului lawan agar jangan memberi kesempatan kepada mereka untuk bergerak? Apakah artinya aku menjadi putera tunggal Ayah Ibu kalau aku tidak becus membasmi musuh-musuh Ayah Ibu sehingga bangsat-bangsat itu tidak akan berani mengganggu orang tuaku? Selamat berpisah, Twako dan terima kasih atas pemberitahuanmu. Kalau selesai tugasku, aku pasti akan mampir di Tai-Goan untuk menghaturkan terima kasih kepada Ayah Bundamu."
Bun Hui menyesal bukan main mengapa dia tadi banyak bicara kepada pemuda yang berwatak keras itu. Cepat-cepat dia mendaki ke atas puncak agar dapat memberi tahu kepada Paman dan Bibinya sehingga mereka akan dapat mencegah Swan Bu turun gunung. la maklum bahwa Swan Bu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, akan tetapi mana bisa pemuda ini menghadapi musuh-musuh tangguh itu seorang diri? Baru Siu Bi, gadis remaja itu saja sudah demikian hebat kepandaiannya, apalagi musuh-musuh lain yang lebih tua usianya. Ia juga sudah mendengar betapa Ang-Hwa Nio-Nio memiliki ilmu yang amat tinggi.
Tergesa-gesa dia mendaki puncak melalui tangga tambang. Ketika dia tiba di depan pondok, dia melihat seorang laki-laki berusia sebaya Ayahnya, duduk di atas bangku menjemur diri di bawah sinar matahari pagi. Di sebelahnya duduk seorang wanita sebaya Ibunya, lebih tua sedikit, cantik sekali, keduanya bercakap-cakap dengan sikap tenang. Biarpun seringkali dia mendengar Ayahnya menyanjung-nyanjung dan memuji-muji Pendekar Buta, namun Bun Hui belum pernah bertemu muka dengan Pendekar itu atau pun isterinya. Akan tetapi, melihat kesederhanaan mereka yang sekarang duduk di depan pondok, dia dapat menduga bahwa mereka tentulah Paman dan Bibinya itu. Apalagi sekarang jelas kelihatan betapa sepasang mata laki-laki setengah tua itu tidak pernah berkedip dan ketika dia berjalan mendekat, tampak olehnya betapa sepasang mata itu kosong tidak berbiji!
Sebatang tongkat kayu yang bersandar pada bangku laki-laki buta itu menarik perhatiannya dan diam-diam tengkuknya meremang karena dia sering mendengar dari Ayahnya tentang keampuhan tongkat itu yang telah merobohkan banyak tokoh besar dunia kang-ouw. Kini mereka berhenti bercakap-cakap dan menengok ke arahnya. Terkejut hati Bun Hui ketika bertemu pandang dengan sepasang mata nyonya itu. Alangkah tajam, penuh wibawa dan seakan-akan menembus langsung ke dalam dadanya! Seakan-akan mata nyonya itu mewakili pula mata suaminya yang buta sehingga kekuatan pandangannya seperti pandangan mata dua orang digabung menjadi satu. Cepat dia maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan mereka tanpa mempedulikan tanah yang agak basah oleh embun pagi dan mengotori celana pakaiannya yang indah.
"Bangunlah, Hui-ji (anak Hui), tak perlu kau terlalu sungkan. Lihat, pakaianmu kotor oleh tanah basah!"
Wanita itu, Kwee Hui Kauw, menegur Bun Hui. Bun Hui tercengang. Bagaimana nyonya itu mengetahui bahwa dia adalah Bun Hui? Selamanya baru kali ini dia bertemu muka dengan Suami isteri Pendekar ini!
"Betul kata isteriku, orang muda. Kau bangkit dan duduklah, mari kita bicara yang enak."
"Paman... Bibi... mohon ampun sebesarnya... saya telah bicara dengan adik Swan Bu dan..."
Pendekar Buta Kwa Kun Hong tersenyum, menggerakkan tangannya mencegah pemuda itu melanjutkan kata-katanya.
"Dan dia pergi turun gunung? Tidak apa, anakku. Memang sudah waktunya dia turun gunung menambah pengalaman. Lebih baik kauserahkan surat Ayahmu kepadaku."
Untuk kedua kalinya Bun Hui tercengang. Bagaimana Suami isteri itu dapat mengetahui semuanya? Dapat tahu bahwa dia datang membawa surat Ayahnya, tahu pula tentang perginya Swan Bu turun gunung dan tahu bahwa dia itu Bun Hui padahal baru kali ini bertemu muka. Satu-satunya jawaban yang menerangkan keanehan ini hanya bahwa Suami isteri ini tentu telah melihat kedatangannya dan mendengar percakapannya dengan Swan Bu tadi, tanpa dia sendiri mengetahui kehadiran mereka! Ini saja sudah membuktikan kelihaian mereka! la segera mengambil surat Ayahnya dan menyerahkannya kepada Kwa Kun Hong. Tak enak hatinya, karena bagaimana dia dapat menyerahkan surat kepada seorang yang buta kedua matanya? Untuk memberi tahu bahwa surat sudah dia keluarkan, Bibirnya bergerak hendak bicara agar Paman yang buta itu dapat mengetahui.
Akan tetapi sebelum dia membuka mulut, Kun Hong sudah menggerakkan tangannya menerima surat itu dengan gerakan sewajarnya seperti seorang yang tidak buta. Seakan-akan dia melihat surat itu dan menerimanya tanpa ragu-ragu lagi. Tentu saja Bun Hui kaget setengah mati dan mulailah dia meragukan kebutaan Kwa Kun Hong. Akan tetapi keraguannya lenyap ketika Kun Hong menyerahkan surat kepada isterinya untuk dibaca. Dengan suaranya yang halus dan merdu Kwee Hui Kauw membaca surat itu yang isinya hampir sama dengan apa yang telah diceritakan Bun Hui kepada Swan Bu tadi, hanya bedanya bahwa di dalam surat itu disebut nama Siu Bi sebagai seorang musuh besar yang mengancam hendak membuntungi tangan Pendekar Buta dan anak isterinya! Kwa Kun Hong tersenyum pahit dan berkata lirih setelah isterinya selesai membaca,
"Hemmm, benci-membenci, dendam-mendendam, permusuhan, bunuh-membunuh, apa senangnya hidup kalau dunia penuh dengan amukan nafsu ini? Isteriku, aku sudah bosan dengan segala urusan itu. Mudah-mudahan saja Swan Bu akan dapat mengingat semua nasihatku dan tidak suka menanam Bibit permusuhan dengan siapapun juga di dunia ini..."
"Tak perlu digelisahkan semua itu,"
Jawab isterinya dengan suara tetap tenang, halus dan merdu.
"Orang lain boleh meracuni hati sendiri dengan menanam kebencian, orang lain boleh mengikat diri dengan dendam dan permusuhan, akan tetapi kita yang sadar akan penyelewengan hidup itu tidak akan menuruti bujukan nafsu dan setan. Orang membenci kita, orang memusuhi kita, asalkan kita tidak membenci dan tidak memusuhi mereka, kita lah yang menang. Bukanlah begitu kata-katamu sendiri? Nah, kalau ada yang hendak memusuhi kita, biarkan mereka datang. Kalau boleh, kita peringatkan mereka, kita sadarkan mereka, kalau tidak, apa boleh buat, kita hidup dan kita wajib membela diri. Kalau kita yang diberi anugerah hidup tidak mau melakukan kewajiban membela dan menjaga diri, berarti kita kurang terima dan tidak menghargai anugerah itu. Bukankah begitu apa yang sering kau katakan, suamiku?"
Kwa Kun Hong menarik nafas panjang dan mengangguk-angguk. Bun Hui berdiri bengong, hatinya terharu sekali dan tak kuat dia menentang wajah dua orang itu, membuatnya tunduk lahir batin. Baru kali ini selama hidupnya dia menyaksikan keadaan penuh damai, penuh cinta kasih, penuh pengertian dan penuh kata-kata yang mempunyai arti begitu dalam pada sepasang Suami isteri. la menunduk dan sikap serta kata-kata Suami isteri itu saja sudah lebih dari cukup untuk membuat hati anak muda ini menjadi kagum dan tunduk.
"Hui-ji, kami sangat berterima kasih kepada Ayahmu yang penuh perhatian dan juga kepadamu yang sudah melakukan perjalanan sejauh ini. Kuharap saja kau suka beristirahat di sini barang sepekan, agar kita dapat bercakap-cakap dan kami dapat mendengar ceritamu tentang keadaan orang tuamu dan juga keadaan dunia ramai,"
Kata Kwa Kun Hong.
"Saya akan mentaati perintah Paman dan sementara itu, saya yang muda dan bodoh banyak mengharapkan petunjuk-petunjuk dari Paman dan Bibi."
Senang hati Suami isteri itu melihat sikap dan mendengar kata-kata yang amat baik dari Bun Hui. Demikianlah, pemuda ini tinggal sampai sepuluh hari di puncak Liong-Thouw-San dan selama itu,
Selain menceritakan segala hal tentang keadaan di Kota Raja dan lain-lain yang ditanyakan kedua orang tua itu, juga dia menerima banyak petunjuk-petunjuk yang amat penting untuk menyempurnakan kepandaian ilmu silatnya, terutama ilmu pedangnya Kun-Lun Kiam-Sut banyak mendapat kemajuan oleh petunjuk Kwa Kun Hong. Sementara itu, Kwa Swan Bu sudah berlari cepat sekali turun dari puncak. la merasa agak bersalah karena tidak berpamit kepada Ayah Bundanya, akan tetapi dia sengaja meninggalkan pesan saja kepada Bun Hui karena dia dapat menduga bahwa biarpun Ayahnya tidak akan melarangnya, namun Ibunya tentu akan menyatakan keberatan. Sudah sering kali dia menyatakan ingin turun gunung dan selalu dicegah Ibunya yang berkata bahwa kepandaiannya kurang cukup untuk dipakai menjaga diri dari gangguan orang-orang jahat yang banyak terdapat di dunia kang-ouw.
Sekarang Swan Bu tidak ragu-ragu lagi. Tadinya, memang dia meragu dan membenarkan Ibunya, maka dia menunda keinginan hatinya untuk turun gunung. Akan tetapi begitu melihat Bun Hui, keraguannya lenyap. Dari gerakan Bun Hui ketika menyeberangi jembatan tambang, jelas tampak olehnya bahwa tingkat kepandaiannya tidak kalah oleh tingkat yang dimiliki Bun Hui. Kalau Bun Hui sudah diperbolehkan Ayahnya melakukan perjalanan jauh seorang diri, mengapa dia tidak boleh? Pendapat ini diperkuat lagi oleh dorongan hatinya yang menjadi panas mendengar betapa orang Tuanya diancam oleh banyak bekas musuh lama. Pada suatu hari sampailah dia di kota Kong-Goan di tepi Sungai Cia-Ling. la bermaksud untuk melanjutkan perjalanan melalui Sungai Cia-Ling ke Selatan sampai di Sungai Yang-Ce-Kiang kemudian melanjutkan perjalanan ke Timur melalui sungai besar itu.
Akan tetapi ketika dia tiba di tepi sungai dan hendak menyewa perahu yang suka mengantarnya sampai ke Sungai Yang-Ce-Kiang, dia melihat dua orang Pengemis menggotong seorang Pengemis lain yang agaknya sakit keras, wajahnya pucat, tubuhnya lemah dan dari mulutnya keluar darah. Tadinya Swan Bu tidak mau mencampuri urusan orang lain sungguhpun sekilas pandang tahulah dia bahwa Kakek Pengemis yang digotong itu terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya. Akan tetapi perhatiannya tertarik ketika dia melihat pakaian para Pengemis penuh tambalan itu. Pakaian penuh tambalan itu berwarna-warni dan berkembang-kembang. Teringat dia akan penuturan Ayahnya bahwa perkumpulan Pengemis Hwa-I Kai-Pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah perkumpulan Pengemis yang patriotik dan Ayahnya sendiri menjadi Ketua kehormatan!
"Lopek, berhenti dulu! Biarkan aku mencoba untuk menolong orang tua yang menderita luka pukulan Ang-See-Ciang ini!"
Dua orang Pengemis yang menggotong si sakit memandang curiga, akan tetapi Kakek Pengemis yang terluka itu membuka mata, memandang heran, lalu berkata dengan nafas terengah-engah,
"Turunkan aku... biarkan Kongcu ini memeriksaku..."
Dua orang Pengemis itu terheran, akan tetapi mereka tidak berani membantah. Tubuh Kakek itu tidak jadi dimasukkan ke dalam perahu, melainkan diletakkan di atas tanah pasir. Swan Bu tidak membuang banyak waktu lagi. Jalur-jalur merah pada leher itu jelas menampakkan tanda korban pukulan Ang-See-Ciang (Tangan Pasir Merah). la menghampiri, berlutut dan menggunakan jari telunjuk dan jari tengah kanannya untuk menotok dua kali pada pundak kanan kiri, kemudian sekali dia menekan punggung dan mengurutnya ke bawah sambil mengerahkan tenaga, Kakek itu terbatuk dan muntahkan segumpal darah merah yang sudah mengental, sebesar kepala ayam. Dua orang Pengemis yang menggotong tadi kaget sekali dan mereka melompat maju, malah sudah mengepal tinju siap untuk menerjang Swan Bu,
"Kau... kau membunuh Susiok (Paman Guru)...!"
Bentak seorang di antara mereka sambil menubruk maju dan memukul. Swan Bu yang maklum bahwa orang ini salah duga, tidak mempedulikannya, tubuhnya yang masih berjongkok itu bergerak sedikit dan... penyerangnya terlempar ke depan, melalui atas pundaknya dan langsung terbanting ke air sungai sehingga air muncrat tinggi dan orang itu gelagapan sambil berenang ke pinggir. Kawannya hendak menyerang, tetapi tiba-tiba Kakek yang sakit tadi membentak,
"Goblok! Apa mata kalian sudah buta."
Si Pengemis kedua tidak jadi menyerang, dan Pengemis pertama yang sudah berhasil berenang ke pinggir, kini memandang dengan heran, juga girang. Kiranya Kakek Pengemis yang tadinya sudah empas-empis nafasnya, sekarang sudah bangkit duduk, malah dengan perlahan lalu bangun berdiri dan menjura ke depan Swan Bu!
"Orang muda yang gagah perkasa, kau telah menolong nyawa seorang Pengemis tua bangka yang tiada gunanya. Sicu, bolehkah aku mengetahui namamu?"
"Lopek, tak usah banyak sungkan. Bukankah Lopek bertiga ini orang-orang Hwa-I Kai-Pang?"
Pertanyaan Swan Bu ini disambut biasa saja oleh tiga orang Kakek itu karena memang Hwa-I Kai-Pang bukan perkumpulan yang tidak terkenal, apalagi mudah saja diketahui dari pakaian mereka. Kakek itu mengangguk dan menjawab,
"Tidak keliru dugaanmu, Sicu. Aku adalah Kakek Toan-Kiam Lokai (Pengemis Tua Pedang Pendek), sebuah julukan yang kosong melompong, dan dua orang ini adalah murid-murid keponakanku. Sicu masih begini muda sudah luas pandangannya, sekali pandang tahu akan bekas pukulan Ang-See-Ciang, siapakah nama Sicu yang mulia dan dari perguruan mana?
"Lopek, mari kita bicara di tempat yang enak,"
Kata Swan Bu sambil mengerling ke arah orang-orang yang banyak berkumpul karena tertarik oleh kejadian ini. Toan-Kiam Lokai dapat menangkap isyarat ini, dia lalu menggerakkan kedua lengannya ke arah orang-orang di situ sambil berkata.
"Saudara-saudara harap sudi meninggalkan kami agar kami dapat bicara leluasa."
Heran, orang-orang itu segera pergi tanpa banyak membantah lagi. Hal ini membuktikan kepada Swan Bu bahwa daerah ini agaknya Hwa-I Kai-Pang bukan tidak mempunyai pengaruh. Setelah semua orang pergi, Swan Bu berkata,
"Lopek, ketahuilah bahwa aku she Kwa bernama Swan Bu, dari Liong-Thouw-San..."
Serta merta Kakek itu bersama dua orang murid keponakannya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Swan Bu!
"Ah, kiranya Siauwhiap (Pendekar Muda) yang telah menolong saya! Ah, sungguh suatu kebetulan yang membesarkan hati. Bagaimana kabarnya dengan Taihiap berdua di Liong-Thouw-San?"
"Ayah dan Ibuku baik-baik saja, terima kasih."
"Kiranya putera Ketua kehormatan kita!"
Kakek itu hampir bersorak kegirangan.
"Kalau begitu tidak heran kalau sekali pandang saja sudah tahu akan luka pukulan Ang-See-Ciang! Wah, Siauwhiap tentu telah mewarisi ilmu kepandaian yang sakti dari Taihiap, ilmu silat dan ilmu pengobatan!"
"Ah, aku yang muda dan hijau mana mampu mewarisi semua kepandaian Ayah. Sudahlah, tidak ada gunanya segala puji-memuji ini. Lopek, lebih baik sekarang Kau ceritakan kepadaku, mengapa kau sampai terluka hebat oleh pukulan Ang-See-Ciang dan siapakah pemukulmu, apa pula sebab-sebabnya?"
Toan-Kiam Lokai menarik nafas panjang.
"Siauwhiap, perubahan besar telah terjadi pada Hwa-I Kai-Pang semenjak Suhu Hwa-i Lo-kai meninggal dunia. Apalagi setelah Kwa-Taihiap diketahui tak pernah turun dari puncak Liong-Thouw-San. Hwa-I Kai-Pang tidak dipandang mata lagi orang-orang kang-ouw. Tentu kau telah mendengar dari Ayahmu bahwa sudah sejak dahulu, perkumpulan Hwa-I Kai-Pang bukan perkumpulan Pengemis biasa saja. Di samping itu para anggotanya memiliki tugas untuk menolong kaum lemah yang tertindas, bahkan ikut pula menjaga keamanan kota dari gangguan para penjahat. Akan tetapi, dengan datangnya pembesar dari Kota Raja yang bertugas mengumpulkan tenaga suka rela untuk membangun terusan dan tembok besar atas perintah Kaisar, banyak anak buah Hwa-I Kai-Pang ditangkapi dan dipaksa menjadi sukarelawan. Orang-orang biasa, terutama yang kaya, dibebaskan asal bisa membayar uang tebusan. Bukankah ini menggemaskan?"
"Hemmm, pembesar macam itu sepatutnya diberi hajaran!"
Kata Swan Bu.
"Itulah! Kami sudah berusaha memberi peringatan kepada Lo-Ciangkun (Komandan Lo) yang memimpin pengerahan bantuan itu, akan tetapi kami malah dianggap memberontak terhadap perintah Kaisar! Karena percekcokan ini, terjadilah keributan dan pertengkaran yang berekor pertempuran."
"Ah, kalau begitu keliru juga, Lopek. Tak baik melawan dengan kekerasan, hal itu bisa menimbulkan kesan Hwa-I Kai-Pang memberontak."
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Memang betul, tetapi kami pun harus membela anak buah kami yang sudah ditahan dan dipaksa, membebaskan pula orang-orang muda miskin yang tidak mampu membayar uang tebusan yang ditahan juga. Mereka itu, untuk memberi makan keluarga sudah setengah mati setelah mereka ditangkap dan dibawa pergi untuk kerja paksa yang disebut sukarela itu, keluarganya tentu akan mati kelaparan!
"Akan tetapi kita bisa mengambil cara lain, misalnya menemui komandan itu secara langsung."
"Sudah kulakukan dan hasilnya aku terluka parah inilah, Siauwhiap. Komandan itu dibantu oleh seorang iblis wanita yang lihai sekali, seorang pendatang baru dari Barat. Kabarnya karena munculnya Wanita itu maka para pembesar di daerah ini amat berubah, berani berlaku sewenang-wenang. Orang-orang gagah yang mencoba menantangnya, semua tewas atau roboh oleh Ang-Jiu Toanio, iblis wanita itu. Karena ingin menyingkirkan biang keladi penyalahgunaan kekuasaan mengandalkan orang kuat itu, aku sengaja mendatangi Ang-Jiu Toanio dan kesudahannya aku terluka..."
Sudah bergolak darah Swan Bu mendengar ini, akan tetapi dia pun terheran mengapa seorang wanita tua, seorang tokoh kang-ouw, membantu pembesar she Lo itu.
"Lopek, mari antarkan aku pergi menemui Lo-Ciangkun itu. Biarkan aku bicara dengannya, kalau dia masih bertindak sewenang-wenang dan hendak mengandalkan Ang-Jiu Toanio, biar aku akan coba-coba menghadapinya."
Girang hati Kakek itu.
"Akan tetapi, harap kau suka berhati-hati, Siauwhiap. Ketahuilah, Ang-Jiu Toanio benar benar luar biasa sekali. Tinggalnya di kuil rusak di sebelah Selatan kota, keadaannya penuh rahasia, seperti iblis saja. Tidak ada orang pernah dapat memasuki kuil, semua orang gagah, termasuk aku sendiri, roboh di halaman kuil oleh pukulan-pukulan Ang-See-Ciang yang luar biasa."
"Biar aku akan mencobanya, Lopek, Mari!"
Toan-Kiam Lokai dengan hati besar lalu mengiringkan Swan Bu menuju ke rumah gedung tempat tinggal Lo-Ciangkun. Gedung besar itu dijaga beberapa orang pengawal yang bersenjata tombak dan golok. Begitu para penjaga itu melihat Toan-Kiam Lokai, mereka terkejut dan panik. Baru kemarin Pengemis tua itu telah membikin onar dan mereka yang tidak melihat sendiri mendengar bahwa Pengemis itu sudah dirobohkan oleh Ang-Jiu Toanio, bagaimana sekarang berani muncul di gedung ini lagi?
"He, berhenti! Kalian siapa dan mau apa?"
Bentak mereka dan berbarislah belasan orang pengawal menjaga di depan pintu, sebagian lagi lari ke dalam untuk melapor kepada Lo-Ciangkun.
"Aku hendak bicara dengan Lo-Ciangkun. Kalian ini para penjaga harap jangan bikin ribut, aku tidak ada urusan dengan kalian. Lebih baik lekas melaporkan kepada Lo-Ciangkun bahwa aku Swan Bu minta bicara dengannya "
Kata Swan Bu dengan tenang, kemudian dia melangkah terus maju melalui pintu gerbang menuju ke ruangan depan. Para pengawal itu hanya mengurung tapi tidak berani menghalangi, terutama sekali mereka takut kepada Toan-Kiam Lokai yang diam saja, hanya melirik ke kanan kiri
(Lanjut ke Jilid 12)
Jaka Lola (Seri ke 04 - Serial Raja Pedang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
dengan matanya yang sipit.
"Orang muda, berhenti, tidak boleh masuk! Apakah kami harus menggunakan kekerasan?"
Komandan jaga membentak dan mengacung-acungkan tombaknya.
"Kalau Lo-Ciangkun tidak mau keluar menemuiku, aku akan terus maju mencarinya ke dalam rumah sampai ketemu, soal kekerasan, terserah kalau hendak menggunakannya!"
Jawab Swan Bu, masih tetap tenang dan kakinya masih bergerak maju. Pengemis tua itu diam-diam merasa khawatir dan mengikuti dari belakang. la anggap perbuatan Swan Bu itu biarpun gagah berani, akan tetapi sembrono sekali. Bagaimana boleh memasuki mulut harimau secara begini sembrono? Tentu saja terhadap para penjaga itu, dia tidak takut sama sekali, tetapi dia maklum bahwa selain Lo-Ciangkun sendiri seorang pandai, juga di situ terdapat banyak jago yang tangguh. Siapa tahu kalau-kalau wanita iblis itu berada disitu pula. Para penjaga itu sudah mengurung dan siap menerjang dengan senjata mereka yang berkilauan tajam.
Tiba-tiba mata mereka silau oleh gulungan sinar putih yang panjang berkelebatan, disusul suara nyaring. Sinar itu segera lenyap dan hanya tampak tangan pemuda itu bergerak mengembalikan Pedang ke belakang punggung dan... belasan batang tombak di tangan para pengawal itu tinggal gagangnya saja! Dalam waktu yang sukar diikuti mata saking cepatnya, dan dengan cara yang amat luar biasa. Pemuda itu sudah mencabut Pedang dan membuntungi belasan batang tombak tanpa mereka ketahui."Malah cara pemuda itu mencabut pedang, menggerakkan, kemudian menyimpannya kembali, tak seorang pun di antara mereka dapat melihat jelas. Seperti sulap saja. Toan-Kiam Lokai sendiri mengangguk-angguk dan bukan main kagum hatinya. Itulah gerakan ilmu Pedang yang luar biasa, kesaktian yang hanya mungkin dimiliki putera Pendekar Buta.
"Kalian lihai, aku tidak berniat buruk, buktinya leher kalian tidak putus. Aku hanya ingin bicara dengan Lo-Ciangkun!"
Kata pula Swan Bu, suaranya tetap tenang. Paniklah para penjaga itu. untuk mundur mereka takut meninggalkan tugas, maju pun jerih menghadapi pemuda yang luar biasa itu. Mereka hanya berdiri mengurung di ruangan depan itu, muka pucat dan badan gemetar, Swan Bu dan Pengemis tua itu duduk di atas bangku yang banyak terdapat di ruangan itu.
"Lekas laporkan kepada Lo-Ciangkun!"
Tiba-tiba Pengemis itu membentak, suara galak.
"Sudah lapor... sudah lapor...
"
Seorang penjaga menjawab ketakutan. Tiba-tiba pintu sebelah dalam terbuka lebar dan muncullah seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian perwira ini di dampingi oleh empat orang yang tinggi tegap, berpakaian ringkas dengan sikap seperti jagoan-jagoan.
"Ada apakah ribut-ribut di sini...Eh, kau berani datang lagi? Benar-benar kau hendak memberontak,"
Bentak perwira tinggi kurus itu sambil melotot ke arah Toan-Kiam Lokai. Swan Bu cepat bangun berdiri, tegak dan gagah.
"Kau kah yang disebut Lo-Ciangkun?"
Tanyanya, suaranya nyaring. Komandan itu memandang marah.
"Betul, aku Lo-Ciangkun. Orang muda, kau tampan dan gagah, jangan kau ikut-ikut jembel pemberontak ini..."
"Lo-Ciangkun, Lopek ini hanya mengantar aku ke sini. Aku sengaja ingin bicara denganmu tentang perbuatan sewenang-wenang yang kau lakukan di kota ini dan daerahnya. Kau memaksa orang-orang yang tidak mampu memberi uang tebusan untuk kerja paksa mengerjakan tembok besar dan terusan, dengan dalih bahwa itu adalah perintah Kaisar. Orang-orang miskin, Pengemis-Pengemis, kau paksa dan kau tahan, tetapi mereka yang mampu membayar uang tebusan, yang mampu menyogok kau bebaskan. Benarkah ada perbuatan sewenang-wenang macam ini?"
Swan Bu biarpun semenjak kecil tinggal di gunung-gunung, pertama di Hoa-San kemudian pindah ke Liong-Thouw-San, namun dia banyak mendengar dari Ayah Bundanya tentang keadaan Kota Raja dan sejarahnya. Wajah perwira itu menjadi merah saking marahnya.
"Keparat, kau ini mempunyai kedudukan apa berani bicara macam itu kepadaku? Anak kecil masih ingusan belum tahu apa-apa, sikapmu yang kurang ajar ini akan mencelakakan kau sendiri. Mengingat akan usiamu yang muda, biarlah kuampuni. Hayo pergi dan jangan banyak rewel lagi!"
Diam-diam Swan Bu berpikir. Melihat sikap ini, Lo-Ciangkun bukanlah seorang yang amat kejam dan menggunakan kedudukannya bertindak sewenang-wenang. Buktinya masih memperlihatkan kesabaran terhadap seorang pemuda seperti dia, padahal menurut pendapat umum, sikapnya itu sudah tentu merupakan pelanggaran yang tak boleh diampuni lagi terhadap seorang pembesar pemerintah.
"Lo-Ciangkun, para Lopek dari Hwa-I Kai-Pang sudah herusaha memberi peringatan kepadamu bahwa sepak terjangmu ini melanggar keadilan, akan tetapi kau malah mempergunakan kedudukanmu untuk menindas mereka dengan dalih memberontak. Insyaflah dan ubahlah peraturan yang tidak adil itu sebelum terlambat!."
"Orang muda sombong!"
Teriak seorang di antara empat jagoan tinggi besar itu dan tanpa komando lagi, empat orang itu sudah menerjang maju dengan golok besar di tangan. Jelas bahwa mereka ini hendak membunuh Swan Bu dan si Pengemis tua.
"Lopek, jangan ikut-ikut!"
Kata Swan Bu. Mendengar ini, Toan-Kiam Lokai enak-enak duduk saja menonton dan tubuh Swan Bu berkelebat cepat ke depan didahului gulungan sinar perak dan...empat orang itu roboh malang-melintang, golok mereka terbabat buntung dan lengan mereka tergurat Pedang sampai berdarah sedangkan dada mereka masing-masing telah tercium ujung sepatu Swan Bu.
"Anjing-anjing tukang siksa orang"
Kata Toan-Kiam Lokai sambil tertawa.
"Tidak lekas mengempit ekor dan lari mau tunggu digebuk lagi?"
Empat orang itu belum kehilangan kagetnya, mereka terbelalak memandang ke arah Swan Bu, kemudian lari ke luar tunggang-langgang!
"Lo-Ciangkun, kau saksikan sendiri betapa aku bertekad untuk membela pendirianku, kalau perlu dengan pertumpahan darah, karena yang kulakukan ini adalah demi nasib ribuan orang yang tak berdosa,"
Kata Swan Bu, berdiri tegak dan gagah. Para pengawal yang berdiri di dekat dinding mengurung tempat itu, hanya terbelalak dan tidak berani berkutik, menanti komando komandan mereka. Akan tetapi Lo-Ciangkun tidak memberi komando itu, malah menarik nafas panjang, lalu menggerakkan tangan berkata,
"Mereka sudah pergi, sekarang boleh kita bicara. Orang muda, kau ini siapakah dan hak apakah yang kau miliki untuk mencampuri tugasku?"
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku Kwa Swan Bu, hanya rakyat biasa. Kau seorang pembesar yang digaji dengan uang hasil keringat rakyat, karena itu setiap orang berhak untuk menilai dan mencela tugasmu jika kau menyeleweng, ketahuilah bahwa puluhan tahun yang lalu, Nenek moyang dan Ayahku berjuang mati-matian membela negara dan rakyat, bahkan Ayahku ikut pula membantu perjuangan Kaisar sekarang, namun tidak murka akan kedudukan. Pamanku seorang pejuang yang besar jasanya, sekarang menjadi Jenderal Bun yang terkenal jujur dan berwibawa sebagai jaksa agung di Tai-Goan. Kau ini, mungkin tak pernah ikut berjuang, setelah sekarang menemukan pangkat sedikit saja lalu kau pergunakan untuk memeras rakyat jelata, berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu. Hemmm, mana bisa aku mendiamkan saja kau membunuhi rakyat tidak berdosa?"
Pucat wajah Lo-Ciangkun. Tentu saja dia mengenal siapa adanya Bun-Goanswe di Tai-Goan. Kiranya pemuda perkasa ini adalah keponakan jenderal itu! Dengan tubuh lemas dia menjatuhkan diri duduk di atas bangkunya.
"Siapa membunuh? Mereka itu disuruh bekerja, dijamin..."
"Omong kosong!"
Kini Toan-Kiam Lokai yang bicara.
"Mereka meninggalkan anak isteri yang harus makan setiap hari. Kalau mereka dibawa pergi, anak isterinya harus makan apa? Pula, ditempat kerja mereka hampir tidak diberi makan."
"Sudahlah... sudahlah... semua itu terjadi karena terpaksa..."
Akhirnya Lo-Ciangkun berkata dengan muka pucat.
"Bukan salahku... bukan salahku..."
La menutupi mukanya seperti orang ketakutan.
"Lo-Ciangkun, tidak perlu main sandiwara lagi, apa artinya semua ini?"
Swan Bu berkata, keningnya berkerut.
"Kau lihat empat orang tadi... mereka bukanlah orangku, mereka adalah orang-orang... dia..."
"Dia siapa?"
Swan Bu mendesak, terheran-heran melihat pembesar itu begitu ketakutan.
"Peraturan dari Kota Raja sudah cukup adil. Memang yang dapat menyumbangkan harta, boleh bebas dari kerja suka rela, dan uang itu diperlukan untuk menjamin para sukarelawan dan menjamin keluarga mereka yang ditinggalkan selama tiga bulan sebelum diganti dengan rombongan lain. Semua sudah diatur yang sakit tidak akan dipaksa, hanya yang sehat dan tidak mempunyai pekerjaan penting... tapi... tapi... di daerah ini... dikuasai dia... kami terpaksa menyerahkan uang tebusan, kalau tidak... ahhhhh!"
Pembesar itu tiba-tiba roboh terguling. Swan Bu cepat melompat ke luar melalui sebuah jendela sambil menendang daun jendela, pedangnya merupakan gulungan sinar putih menerjang keluar dan terdengar jeritan di luar jendela. Seorang bermuka kuning yang kecil pendek roboh mandi darah.
"Siapakah kau? Mengapa menyerang Lo-Ciangkun dengan jarum beracun?"
Swan Bu membentak,
"Aku... aku... atas perintah... Toa-nio...!"
Orang itu berhenti bicara dan nafasnya putus. Kiranya terjangan Swan Bu tadi tidak saja melukai lehernya, akan tetapi juga beberapa batang jarum beracun yang sudah meluncur masuk, kena ditangkis Pedang membalik dan melukai si penyambit sendiri. Geger di ruangan itu. Lo-Ciangkun rebah dengan muka biru dan nafas putus! Toan-Kiam Lokai berkata lirih,
"Nah, agaknya Ang-Jiu Toanio dan orang-orangnya yang tadi turun tangan. Siauwhiap, terang bahwa para pembesar itu diperas dan dipaksa oleh Ang-Jiu Toanio. Sekarang, apa yang hendak kau lakukan?"
"Lopek, agaknya Wanita yang bernama Ang-Jiu Toanio itu mempunyai banyak kaki tangan. Yang menyambit jarum itu tentu kaki tangannya yang tidak menghendaki Lo-Ciangkun membuka rahasia. Lopek, harap kau suka kumpulkan teman-temanmu Hwa-I Kai-Pang dan kita menyerbu ke kuil itu. Biarkan aku menghadapi Ang-Jiu Toanio dan kalau anak buahnya bergerak, kau dan teman-teman membasmi mereka."
Gembira wajah Kakek itu.
"Baik, Siauwhiap. Sedikitnya ada tujuh orang temanku di sini, cukup untuk membasmi setan-setan itu."
Demikianlah, pada petang hari itu Swan Bu melakukan perjalanan ke kuil di sebelah Selatan kota setelah siang tadi dia menyelidiki tempat itu. Dan secara kebetulan dia bertemu dengan Lee Si yang bermalam di kamar hotel. Swan Bu terkejut sekali dan merasa heran mengapa hatinya menjadi tidak karuan ketika sepasang matanya bentrok dengan sepasang mata yang seperti mata burung hong itu. Beberapa kali dia menengok, kemudian dia merasa malu kepada diri sendiri dan mempercepat langkahnya meninggalkan nona cantik jelita yang berdiri di depan pintu rumah penginapan itu.
Ia dapat menduga dari gerak-gerik si nona bahwa gadis itu tentulah bukan orang sembarangan. Mungkin seorang tamu rumah penginapan, dan melihat kebebasannya, tentu seorang wanita kang-ouw. Akan tetapi karena dia menghadapi urusan besar, Swan Bu mengusir bayangan nona itu dari ingatannya dan dia langsung menuju ke kuil tua yang berdiri sunyi di pinggir kota. Setelah tiba di depan kuil yang sunyi itu, dia berhenti. la maklum bahwa di kanan kiri kuil, bersembunyi di balik pohon-pohon, terdapat Toan-Kiam Lokai yang berjaga dan menyembunyikan diri. Hati Swan Bu meragu. Kuil itu sudah tua, kotor dan agaknya kosong. Jangan-jangan Ang-Jiu Toanio yang menjadi biang keladi dari penindasan di kota Kong-Goan, sudah melarikan diri.
Tak mungkin, pikirnya. Wanita itu tentu memiliki kepandaian tinggi, sebelum bertanding melawannya mana mungkin mau lari? Tempat itu menyeramkan, sunyi seperti kuburan akan tetapi tidak gelap karena berada di tempat terbuka sehingga matahari yang sudah hampir menyelam itu masih menerangi halaman depan. Halaman kuil tadinya tertutup pagar tembok yang tinggi, tetapi karena pagar tembok itu banyak yang runtuh, sekarang menjadi terbuka dan di sana-sini tampak pintu yang terbentuk dari tembok runtuh berlubang. Rumah tua yang menyeramkan, kotor dan sunyi, patutnya menjadi tempat tinggal siluman-siluman. Tiba-tiba dari pintu yang butut itu keluarlah seorang wanita tua, wanita yang tersenyum-senyum dan sanggul rambutnya dihias setangkai bunga merah. Wanita itu setibanya di halaman kuil berkata, suaranya penuh ejekan,
"Bocah she Kwa, kau berani datang ke sini? Lihatlah di sebelah kiri kuil di mana teman-temanmu sudah mendapat hukuman!"
Mendengar ini, Swan Bu terkejut, teringat akan Toan-Kiam Lokai dan teman-temannya anggota Hwa-I Kai-Pang. Dengan gerakan cepat dia melompat dan lari ke arah kiri kuil dan... wajahnya berubah merah sekali. Nenek itu ternyata tidak membohong. Di pelataran pinggir itu tampak tujuh mayat bergelimpangan, di antaranya adalah Toan-Kiam Lokai dan yang enam lagi jelas anggota Hwa-I Kai-Pang karena pakaian mereka semua penuh tambalan berkembang! Dengan kemarahan memuncak Swan Bu berlari kembali ke depan kuil, berdiri di luar tembok dan menghadap Nenek yang masih berada di situ dari balik pecahan pagar tembok.
"Apakah kau yang bernama Ang-Jiu Toanio?"
Tanya Swan Bu, suaranya ditekan agar tidak menggigil saking marahnya.
"Dan kau kah yang membunuh tujuh orang Hwa-I Kai-Pang itu?"
Nenek itu tersenyum, kembang merah di atas kepalanya bergoyang-goyang.
"Dan kau Kwa Swan Bu putera Pendekar Buta Kwa Kun Hong, bukan? Hi... hik-hik, kebetulan sekali kita bertemu di sini. Di sini aku disebut Ang-Jiu Toanio, akan tetapi di tempatku aku adalah Ang-Hwa Nio-Nio, Ketua Ang-Hwa-Pai, musuh besar Ayahmu. Kau berani masuk ke sini dan mengadu kepandaian melawanku?"
Kalau tadi Swan Bu sudah marah sekali, sekarang serasa meledak dadanya. Kiranya inilah orangnya yang mengumpulkan teman-teman untuk menyerbu Liong-Thouw-San? Kebetulan sekali!
"Siapa takut padamu? Orang macammu inikah yang hendak menantang Ayah? Ha... ha... ha, Nenek tua hampir mampus, tak usah dengan Ayah Ibu, cukup dengan aku puteranya!"
Sekali menggerakkan kaki, tubuh Swan Bu sudah melayang masuk dan menghadapi Ang-Hwa Nio-Nio yang sudah siap memasang kuda-kuda dengan sikap mengejek itu.
Pembaca tentu heran mengapa Ang-Hwa Nio-Nio, Ketua Ang-Hwa-Pai di Ching-Coa-To itu bisa berada di Kong-Goan? Bukanlah hal kebetulan karena memang sengaja Ang-Hwa Nio-Nio dan rombongannya datang ke Kong-Goan ini untuk menyambut Suhengnya, Maharsi. Kedatangan Ang-Mo-Ko bekas tokoh pengawal istana dan Kaisar sebelumnya, juga ikut serta Ouwyang Lam dan Siu Bi. Seperti kita ketahui, gadis ini menangis ketika ditinggalkan Si Jaka Lola Yo Wan setelah ia mengaku bahwa ia adalah puteri angkat The Sun. Dalam keadaan berduka ini ia ditemukan oleh Ang-Hwa Nio-Nio dan rombongannya yang tentu saja segera menggunakan kesempatan baik ini untuk membujuknya, kembali menggabungkan diri dengan mereka untuk menghadapi musuh besarnya, Pendekar Buta. Tadinya Siu Bi menyandarkan harapannya pada bantuan Yo Wan,
Akan tetapi setelah Yo Wan ternyata adalah musuh besar Ayah tirinya dan tak mungkin mau membantunya, memang paling baik baginya adalah menggabungkan diri dengan rombongan Ang-Hwa Nio-Nio yang kuat. Kong-Goan, Ang-Hwa Nio-Nio dan rombongannya mengambil tempat di kuil tua itu karena memang di situlah ia berjanji dalam pesannya kepada Maharsi untuk menyambut kedatangan Suhengnya dari Barat ini. Tentu saja, untuk melayani segala keperluan mereka, Ang-Hwa Nio-Nio diikuti pula oleh serombongan anak buahnya yang cukup kuat. Karena pada dasarnya memang penjahat, di Kong-Goan Ang-Hwa Nio-Nio melihat kesempatan baik untuk mendapatkan uang banyak ketika datang pembesar dari Kota Raja untuk mengumpulkan sukarelawan yang pada masa itu dibutuhkan sekali untuk memperbaiki bangunan tembok besar dan saluran air.
Kong-Goan amat jauh dari Kota Raja, merupakan kota yang terpencil dan dengan kepandaiannya yang tinggi Ang-Hwa Nio-Nio dapat menguasai pembesar-pembesar itu, mengancam mereka untuk melakukan pemerasan dalam kesempatan mengumpulkan tenaga-tenaga kerja paksa. Mudah saja ia lakukan hal ini tanpa khawatir akan terganggu dan ia menaruh beberapa orang anak buahnya untuk "Menjaga"
Para pembesar yang bersangkutan, di antaranya Lo-Ciangkun. Tentu saja mula-mula ia mendapatkan tentangan hebat, namun setelah banyak orang roboh oleh pukulan tangannya yang berubah merah, ia mendapat julukan Ang-Jiu Toanio (Nyonya Besar Tangan Merah) dan tak seorang pun berani membantahnya lagi.
Akhirnya para Pengemis Hwa-I Kai-Pang mendengar tentang hal ini dan turun tangan, namun mereka roboh pula di tangan Ang-Jiu Toanio atau Ang-Hwa Nio-Nio bersama teman-temannya yang amat lihai. Demikianlah ringkasan tentang kehadiran Ang-Hwa Nio-Nio di Kong-Goan dan kita kembali ke depan kuil di mana Swan Bu berhadapan dengan Nenek itu Swan Bu maklum bahwa lawannya ini lihai, namun melihat Nenek itu tidak mempergunakan senjata, dia pun tidak mengeluarkan Gin-Seng-Kiam yang tersimpan di balik jubahnya. Matanya yang tajam menatap ke arah kedua tangan Nenek itu yang perlahan-lahan berubah merah ketika Nenek itu mengerahkan Ang-See-Ciang. Swan Bu tidak menjadi gentar, dia sudah mendengar banyak tentang Tangan Pasir Merah ini dari Ayah Bundanya dan karenanya dia maklum bagaimana harus menghadapinya.
Segera dia menyalurkan Sinkang di tubuhnya dan "Mengisi"
Kedua lengannya dengan tenaga lemas yang mengandung Im-kang sehingga kedua tangannya menjadi lunak halus dan gerakannya mengeluarkan hawa dingin seperti es. Akan tetapi sebelum Nenek itu menyerangnya, Swan Bu mendengar gerakan orang di sebelah belakangnya. Cepat dia menggeser kaki mengubah kuda-kuda miring dan matanya mengerling ke arah luar. Kiranya di situ telah berdiri belasan orang anggota Ang-Hwa-Pai yang memegang senjata, berjajar menutup jalan keluar, di antara mereka terdapat empat orang yang dia robohkan di gedung Lo-Ciangkun! Mengertilah dia bahwa dia kini berada di gua harimau dan harus berjuang mati-matian karena agaknya lawan berusaha benar-benar untuk menjebaknya dan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk lolos dari tempat itu.
Pada saat itu, muncul pula tiga orang dari pintu kuil. Mereka ini bukan lain adalah Ouwyang Lam, Siu Bi, dan seorang Kakek yang pakaiannya serba merah dan mukanya tersenyum-senyum, usianya sudah sangat tua, sedikitnya tujuh puluh lima atau delapan puluh tahun, memegang sebatang tongkat bambu yang dipakai menunjang tubuhnya yang agak bongkok. Kakek ini bukan lain adalah Ang-Mo-Ko, seorang tokoh yang cukup terkenal selama puluhan tahun di Kota Raja. Sejenak Swan Bu tertegun ketika bertemu pandang dengan gadis yang cantik jelita itu. Teringat dia akan pertemuannya di depan rumah penginapan tadi. Hampir serupa gadis ini dengan gadis tadi, tetapi malah lebih jelita, terutama sepasang matanya yang begitu lincah dan tajam. Siu Bi juga memandang Swan Bu penuh perhatian, pandang matanya menjadi bimbang ragu.
Inikah putera Pendekar Buta? Betulkah seperti yang ia dengar dari Ang-Hwa Nio-Nio bahwa putera tunggal Pendekar Buta akan datang menyerbu? Dan pemuda yang luar biasa tampan dan gagahnya inikah musuh besarnya? Diam-diam Siu Bi tertegun dan terpesona. Belum pernah ia melhat seorang pemuda sehebat ini. Wajahnya berkulit halus putih kemerahan seperti wajah perempuan, akan tetapi alisnya yang tebal hitam, dagunya yang berlekuk sedikit tengahnya, pandang mata yang berwibawa, dada bidang yang membayangkan kekuatan, semua itu membayangkan sifat jantan yang mengagumkan. Akan tetapi teringat lagi bahwa pemuda ini adalah putera musuh besar yang akan dibalasnya, matanya bernyala penuh kebencian. Swan Bu dengan tenang menghadapi pengurungan ini, bahkan dia tersenyum karena memang hatinya gembira mendapat kenyataan bahwa musuh-musuh orang Tuanya ternyata adalah orang-orang jahat.
"Ang-Hwa Nio-Nio, memang betul kata-katamu tadi. Amat kebetulan kita dapat bertemu di sini karena sebenarnya aku hendak pergi ke Ching-Coa-To untuk mewakili orang tuaku"
Yang kabarnya hendak Kau cari dan kau tantang. Sekarang, melihat sepak terjangmu dan kawan-kawanmu, hatiku lega bukan main. Kiranya macam beginilah musuh-musuh orang tuaku, atau lebih tepat lagi, orang-orang yang memusuhi orang tuaku karena aku yakin bahwa orang tuaku tidak akan mau mencari permusuhan. Kalau orang orang yang memusuhi orang tuaku jahat-jahat belaka, jelas bahwa di waktu dahulu orang tuaku tidak berada di pihak salah."
Baru saja Swan Bu menutup mulutnya, Ang-Hwa Nio-Nio sudah menerjang maju sambil membentak,
"Bocah sombong rasakan tanganku!"
Kedua tangannya yang sudah berubah menjadi merah itu menerjang maju mengirim pukulan beruntun.
Jangan dipandang rendah pukulan ini karena inilah pukulan-pukulan Ang-See-Ciang yang amat hebat. Jangankan sampai tangan-tangan merah itu mengenai tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang tidak begitu tinggi ilmu kepandaiannya. Kedua tangan yang merah itu terbuka jari-jarinya, agak melengkung dan hawa pukulan yang menyambar dari telapak tangan itu amat panas seperti api membara. Namun Swan Bu yang sudah mengerahkan Im-kang pada kedua lengannya, sengaja malah melangkah maju untuk menyambut pukulan-pukulan itu dengan tangkisan lengannya, hendak menguji kekuatan lawan sambil sekaligus memperlihatkan kepandaiannya. Nenek itu girang, juga heran melihat pemuda ini berani menerima Ang-See-Ciang, ia pastikan bahwa pemuda itu tentu akan roboh dalam segebrakan saja. la menambah tekanan pada kedua lengannya.
"Duk! Dukkk!!"
Dua kali lengan mereka bertemu susul-menyusul dalam waktu cepat sekali dan hasilnya... Ang-Hwa Nio-Nio melompat ke belakang dua meter jauhnya sambil meringis kesakitan karena kedua lengannya serasa akan patah, sedangkan pemuda itu masih berdiri tetap dan tenang, biarpun diam-diam dia kaget karena kedua pundaknya serasa tergetar, tanda bahwa Nenek itu benar-benar hebat kepandaiannya.
"Bibi Kui Ciauw, biarkan aku menghadapi musuh besarku ini!"
Tiba-tiba Siu Bi sudah melompat ke depan Swan Bu dengan Pedang Cui-Beng Kiam di tangannya. Sikapnya angkuh ketika ia menggerak-gerakkan Pedang di depan dada sambil membentak,
"Orang she Kwa, bersiaplah kau untuk menerima hukuman dariku atas dosa Ayahmu!"
Swan Bu mengerutkan kening. Sombongnya anak ini, pikirnya. Menyebut Ang-Hwa Nio-Nio Bibi, tentu keponakannya dan karena itu, tentu bukan orang baik-baik. Akan tetapi ucapan Siu Bi tadi membuat dia penasaran.
"Memberi hukuman adalah urusan mudah, tapi jelaskan apa dosa Ayahku dan hukuman apa yang hendak kau jatuhkan kepadaku,"
Jawabnya tenang. Tidak enak juga hati Siu Bi menyaksikan sikap begini tenang. Segala gerak-gerik pemuda ini membayangkan seorang gagah yang baik, tiada cacad celanya sehingga hatinya tidak senang. Andaikata putera Pendekar Buta ini seorang pemuda berandalan dan kurang ajar, hatinya akan lebih senang untuk memusuhinya. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan membentak,
"Ayahmu si buta itu telah membuntungi lengan Kakekku Hek Lojin, dan karenanya aku sudah bersumpah untuk membalas dendam, membuntungi lengan Pendekar Buta dan anak isterinya. Karena kau puteranya, sekarang aku akan membuntungi sebelah lenganmu agar roh Kakekku dapat tenteram!"
Swan Bu tersenyum mengejek.
"Roh orang jahat mana bisa tenteram keadaannya? Tentu dilempar ke neraka dan selamanya akan terbakar api derita! Kalau Ayah membuntungi lengan Kakekmu, itu berarti bahwa Kakekmu adalah orang jahat..."
"Setan, lancang mulutmu!"
Siu Bi menjerit sambil menggerakkan pedangnya disusul pukulan tangan kirinya. Hebat serangan ini, pedangnya menjadi segulung sinar hitam menuju leher dan tangan kirinya membayangkan uap hitam menerjang dada.
"Aihhh, ganas...!"
Diam-diam Swan Bu mengeluh dan cepat dia melempar diri ke belakang berjumpalitan sambil mencabut Pedang Gin-Seng-Kiam.
"Trang! Tranggg!!"
Sepasang Pedang hitam dan putih bertemu, bunga api berpijar menyilaukan mata dan Siu Bi, seperti halnya Ang-Hwa Nio-Nio tadi, melompat ke belakang dengan lengan kanan serasa lumpuh. Ternyata bahwa ia kalah kuat dalam tenaga Sinkang sehingga dalam pertemuan senjata tadi hampir ia melepaskan pedangnya.
"Jangan takut, Bi Moi-moi, aku membantumu!"
Seru Ouwyang Lam yang sudah melompat maju, siap mengeroyok.
"Aku tidak membutuhkan bantuanmu!"
Bentak Siu Bi masih mendongkol dan penasaran karena sekali tangkis saja ia hampir keok tadi. Kalau baru segebrakan saja ia sudah dibantu Ouwyang Lan dan mengeroyok Swan Bu, bukankah hal ini amat memalukan dirinya?
"Kau akan kalah, dia lihai...!"
Kata Ang-Hwa Nio-Nio yang juga melangkah maju. Swan Bu menggerak-gerakkan Pedang di depan dada, tersenyum mengejek,
"Hayo kalian keroyoklah! Aku tidak takut dan memang aku tahu, pengecut-pengecut macam kalian kalau tidak main keroyokan mana berani maju?"
"Pemuda sombong, lihat tongkat!"
Ang-Mo-Ko sudah menyapu dengan tongkat bambunya.
Biarpun tongkat ini terbuat dari bambu yang ringan, ketika menyambar mengeluarkan suara bersiutan sehingga Swan Bu tidak berani memandang ringan lalu melompat ke atas menyelamatkan diri sambil memutar Pedang menangkis Pedang Ouwyang Lam yang sudah menusuknya. Ouwyang Lam adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Maklum bahwa tadi Gurunya dan juga Siu Bi tidak kuat melawan tenaga Swan Bu, dia tidak mau mengadu pedang, cepat menarik pedangnya dan dari samping dia mengirim bacokan kilat yang juga dapat dielakkan oleh Swan Bu. Pemuda Liong-Thouw-San ini sudah memutar Pedang mendahului Ang-Hwa Nio-Nio yang sudah mengeluarkan Pedang pula, namun serangannya dapat ditangkis oleh Ketua Ang-Hwa-Pai itu. Dari luar mendatangi anak buah Ang-Hwa-Pai dan sebentar saja Swan Bu sudah dikurung dan dikeroyok banyak orang lawan.
"Tak sudi aku! Tak sudi! Masa satu orang dikeroyok begini banyak. Aku tidak sudi dibantu!"
Berkali-kali Siu Bi berteriak-teriak penuh kemarahan, berdiri di pinggir sambil memegangi pedangnya. Hatinya kecewa bukan main. Biarpun la takkan ragu-ragu untuk membalas dendam, membuntungi lengan kiri pemuda tampan putera Pendekar Buta itu namun ia merasa jijik dan rendah sekali kalau harus mengeroyok seorang musuh dengan begitu banyak teman. Sungguh perbuatan yang amat memalukan dan rendah sekali.
Diam-diam ia memperhatikan Swan Bu, mengagumi gerakan ilmu pedangnya yang amat aneh dan kuat, lalu membandingkan pemuda musuh itu dengan Ouwyang Lam. Seperti burung hong dibandingkan dengan burung gagak. Seperti seekor naga dibandingkan dengan ular beracun. Sebetulnya, biarpun dikeroyok begitu banyak lawan, Swan Bu tidak gentar sedikit pun juga, karena andaikata dia terdesak menghadapi tiga orang terlihai di antara mereka, yaitu Ang-Hwa Nio-Nio, Ang-Mo-Ko, dan Ouwyang Lam dengan mudah dia akan menerjang keluar menyelamatkan diri. Akan tetapi, mendengar teriakan Siu Bi tadi, dia tertegun dan merasa bingung. Terang bahwa gadis itu memiliki watak yang gagah perkasa dan sama sekali tidak patut menjadi anggota gerombolan ini. Dan mempunyai seorang musuh yang wataknya begitu gagah perkasa, benar-benar malah mendatangkan rasa gelisah di hatinya.
Ketika Swan Bu mainkan Im-Yang Sin-Kiam, pedangnya bergulung seperti seekor naga perak menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat, lima orang anak buah Ang-Hwa-Pai roboh terluka tak mampu melawan lagi. Ang-Hwa Nio-Nio kaget dan kagum, akan tetapi, juga penasaran. Kalau sekarang mereka tidak mampu mengalahkan putera Pendekar Buta, bagaimana mereka akan mampu menyerbu Liong-Thouw-San, berhadapan dengan Pendekar Buta sendiri? Di lain pihak, Swan Bu harus mengakui bahwa tiga orang lawannya itu benar-benar tangguh sekali. Ilmu Pedang Ang-Hwa Nio-Nio hebat dan ganas, ditambah lagi tangan kirinya yang mainkan selingan pukulan Ang-Tok-Ciang (Tangan Racun Merah) yang sebetulnya adalah Ilmu Pukulan Ang-See-Ciang (Tangan Pasir Merah).
Pemuda tampan pendek itu serupa ilmu silatnya dengan Nenek ini, hanya kalah setingkat. Adapun Ang-Mo-Ko Si Iblis Merah itu juga tak boleh dipandang ringan. Tongkat bambunya menyambar-nyambar laksana kitiran tertiup angin taufan, mengeluarkan bunyi nyaring dan mengandung tenaga besar. Andaikata tidak dikeroyok, dengan ilmu pedangnya yang hebat, kiranya Swan Bu akan dapat mengalahkan seorang di antara mereka dengan mudah. Kini, dikeroyok tiga, dia hanya dapat mengimbangi saja karena melihat kelihaian daya serangan mereka, dia harus lebih menekankan gerakannya pada penjagaan diri sehingga daya serangannya sendiri menjadi kurang kuat. Namun pertahanannya kuat sekali sehingga betapapun juga kerasnya tiga orang itu menekannya, dia tidak terdesak. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
"Sungguh tidak tahu malu melakukan pengeroyokan!"
Tampak berkelebat sesosok bayangan yang ringan sekali, didahului menyambarnya sinar Pedang kuning dan robohnya tiga orang anak buah Ang-Hwa-Pai lainnya. Kiranya yang datang ini adalah seorang gadis yang cantik jelita yang rambutnya dikuncir dua tergantung di belakang punggungnya. Gadis ini bukan lain adalah Lee Si. Seperti telah diceritakan di bagian depan Lee Si yang merasa curiga melihat gerak-gerik Swan Bu, juga sekaligus tertarik hatinya, diam-diam mengikuti Swan Bu menuju ke sebelah Selatan kota. la mengintai dari jauh dan ketika Swan Bu melompat masuk ke dalam halaman kuil, ia berindap-indap mendekati dan dapat mendengar semua percakapan.
Bukan main kaget dan girang hatinya ketika mendengar bahwa pemuda yang menarik hatinya itu bukan lain adalah putera Liong-Thouw-San, putera Pendekar Buta. Benar-benar pertemuan yang sama sekali tidak tersangka-sangka. Hal ini membuat jantungnya berdebar tidak karuan, membuat la bimbang dan bingung, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. la dapat menduga bahwa putera Liong-Thouw-San tentu saja memiliki kepandaiannya yang luar biasa, yang jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri, maka ia merasa serba salah untuk turun tangan membantu. Ia khawatir kalau itu akan merendahkan, tetapi kalau tidak membantu bagaimana? Maka la hanya mengintai saja dan kagumlah la menyaksikan sepak terjang Swan Bu. Memang semenjak kecil, Lee Si tidak banyak kesempatan untuk berjumpa dengan keluarga Ayah Bundanya.
Hal ini adalah karena keluarga itu terpencar dan amat jauh tempat tinggalnya, Hanya dengan putera Pamannya di Lu-Liang-San sajalah pernah ia bertemu sampai tiga kali, ketika ia masih kecil dan yang terakhir ketika ia berusia empat belas tahun. Putera Pamannya di Lu-iiang-san, itu empat tahun lebih tua darinya, bernama Tan Hwat Ki. Pamannya, Tan Sin Lee Ketua Lu-liang-pai itu hanya mempunyai seorang putera. Adapun keluarga lainnya, biarpun ia sudah banyak mendengar penuturan Ayah Bundanya dan tahu pula akan nama-nama mereka, tetapi ia jarang sekali, bahkan ada yang tak pernah bertemu. Di antara mereka yang belum pernah ia temui adalah Kwa Swan Bu inilah. Tentu saja ia sudah sering kali mendengar Ayah Bundanya memuji-muji Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta yang sakti. Oleh karena itu, ia dapat menduga bahwa putera Pendekar Buta tentu lihai pula dan ternyata sekarang secara kebetulan sekali ia dapat menyaksikan sendiri kepandaian putera Pendekar Buta itu!
Akan tetapi ketika menyaksikan betapa lihainya tiga orang yang mengeroyok Swan Bu, ditambah lagi banyak anak buah Ang-Hwa-Pai maju dari belakang mencari kesempatan untuk mengirim serangan menggelap, ia tidak dapat tinggal diam lebih lama lagi. Dengan Pedang Oie-kong-kiam di tangan ia menerjang sambil membentak nyaring dan akibatnya tiga orang anak buah Ang-Hwa-Pai roboh oleh sinar pedangnya! Sekilas pandang ia melihat betapa Swan Bu menoleh kepadanya dan memandang dengan sinar mata penuh keheranan dan juga kaget karena agaknya pemuda itu mengenalnya dari pertemuan di depan losmen tadi. Sedetik wajah yang cantik itu menjadi merah, jantungnya berdebar dan untuk menguasai rasa jengah ini Lee Si segera memperkenalkan diri,
"Kita masih orang sendiri, aku Tan Lee Si, Ayahku Ketua di Min-San!"
Kaget dan girang bukan main hati Swan Bu. Tentu saja dia sudah mendengar nama ini dari Ayah Bundanya. Kiranya masih saudara sendiri. Saudara? Sebetulnya bukan apa-apa. Hanya Ayahnya masih terhitung Paman Guru Ibu Lee Si, sungguhpun usia mereka sebaya. Sebaliknya, Ayahnya sebagai orang yang pernah menerima pelajaran dari Raja Pedang Kakek gadis ini, masih terhitung Paman Guru gadis ini sendiri!
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo