Ceritasilat Novel Online

Jaka Lola 14


Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



"Nah, sudah keluar sekarang. Akan tetapi racunnya tentu telah mengotori darah, sebaiknya kau mendorongnya keluar dengan Sinkang."

   Tentu saja sebagai putera Pendekar Buta, Swan Bu maklum akan hal ini, malah andaikata tadi Siu Bi tidak mengeluarkan jarum itu dengan jalan membedah kulit dan daging pundak, dia sendiri pun sanggup melakukannya. Kini dia duduk bersila dan meramkan mata, mengerahkan Sinkang, tidak saja untuk membersihkan darah dan mendorong racun merah keluar melalui luka, akan tetapi sebagian besar lagi untuk menenteramkan jantungnya yang bergolak tidak karuan tadi.

   Gangguan ini membuat usahanya kacau karena sukar baginya untuk mengerahkan panca indera. Yang terbayang adalah wajah Siu Bi, sinom rambut, Bibir, hidung mancung, mata bintang, dan nafas hangat halus yang membelai leher dan pipinya! Siu Bi mengerutkan kening. Celaka, pikirnya. Kenapa belum juga keluar darah yang teracuni dari luka? Apakah pemuda yang memiliki ilmu silat sehebat ini sudah begini lemah Sinkangnya oleh racun jarum merah itu? la menjadi tidak sabar lagi dan tanpa berkata sesuatu Siu Bi mengulurkan tangan kirinya, menempelkan telapak tangannya yang halus itu kepada dada kanan Swan Bu dan menyalurkan Sinkang untuk membantu pemuda itu mendorong keluar racun jarum merah! Merasa betapa telapak tangan itu mengeluarkan hawa panas di dadanya, Swan Bu membuka mata memandang heran, akan tetapi segera ditutupnya kembali kedua matanya.

   Jantungnya makin berdebar, usahanya mengumpulkan panca indera makin kacau-balau. Gadis itu duduk begitu dekat di depannya! Tangan yang halus itu serasa membakar kulit dadanya! Kemudian dia merasa betapa hawa panas yang keluar dari telapak tangan halus itu menyusup ke dalam tubuhnya, makin lama makin panas dan seakan-akan hendak membakar jantung. Swan Bu kaget dan bergidik. Kiranya gadis yang berwajah dewi kahyangan ini benar-benar seorang iblis betina dan agaknya malah hendak membunuhnya dengan penyaluran Sinkang. Cepat dia mengumpulkan tenaganya dan mengerahkan Sinkang ke arah dada dan pundak kanan untuk menjaga diri. Tiba-tiba Siu Bi membuka kedua matanya yang tadi dipejamkan, memandang heran dan kaget.

   Mereka berdua merasa betapa tenaga Sinkang mereka berhantaman hebat. Dua pasang mata beradu, mengeluarkan sinar berapi. Tiba-tiba Siu Bi menjerit perlahan, badannya terasa terbakar. Swan Bu bergoyang-goyang badannya lalu keduanya roboh terguling. Pingsan! Apa yang terjadi? Kiranya tanpa mereka sadari, kedua orang muda ini telah mencelakakan diri sendiri. Dalam usahanya membantu Swan Bu mengusir racun merah, Siu Bi telah mengerahkan Sinkangnya, disalurkan ke dalam dada dan pundak Swan Bu karena mengira bahwa pemuda itu kurang kuat untuk mengusir racun. Sama sekali ia tidak tahu bahwa dasar pelajaran yang ia dapat dari Kakeknya dahulu sama sekali berlawanan dengan dasar pelajaran yang dimiliki Swan Bu. Oleh karena ini, hasil kekuatan di dalam tubuhnya, yaitu hawa sakti yang dimilikinya, juga berlawanan dengan Sinkang dari Swan Bu.

   "Aku cinta padamu, Siu Bi."

   Kata-kata ini singkat namun padat, diucapkan penuh perasaan.

   "Tapi sekarang bukan waktunya kita bicara. Kau cepat pulihkan tenagamu, sembuhkan luka di dalam tubuhmu agar kita dapat menghadapi si gila itu."

   Setelah berkata demikian, Swan Bu yang duduk bersila meramkan mata, nafasnya panjang-panjang dan pada wajahnya yang tampan itu terbayang ketenangan dan kebahagiaan. Melihat ini, Siu Bi mengusir semua bayangan yang mengacaukan pikirannya, duduk bersila dan meramkan matanya pula. Beberapa kali dadanya terisak, dan beberapa kali matanya terbuka memandang ke arah Swan Bu.

   Sukar baginya untuk melakukan Siulian... Wajah Swan Bu bergantian dengan wajah Kakek Hek Lojin terbayang di depan matanya, cumbu rayu pemuda itu bergantian dengan lengan buntung Kakeknya, mengaduk-aduk hati dan perasaannya. Akan tetapi akhirnya ia dapat juga menindas ini semua. Mulailah ia mengumpulkan hawa sakti dalam tubuh, perlahan-lahan menyalurkan Sinkang ke arah bagian dada yang terluka di sebelah dalam. Tiga hari lamanya Kakek gila itu mencarikan makan minum untuk Swan Bu dan Siu Bi. Dan selama tiga hari itu, kedua orang muda ini bertekun dalam Siulian, menyembuhkan luka masing-masing. Hampir setiap hari secara terpaksa Swan Bu merangkul dan memperlihatkan sikap mesra terhadap Siu Bi, yaitu di kala Kakek itu kumat gilanya dan menuduh mereka tidak saling mencinta.

   Dan Siu Bi menerima kemesraan Swan Bu ini dengan mata meram, diam tidak memperlihatkan sikap apa-apa. Semenjak "Mimpi"

   Itu Siu Bi menjadi pendiam, bahkan jarang mengadu pandang mata secara langsung dengan Swan Bu. Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali Kakek gila itu sedang tertawa-tawa seorang diri menghadapi api unggun di depan gua, membakar daging kijang yang ditangkapnya malam tadi. Tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya. Ketika menengok, dia melihat Siu Bi berdiri tegak. Sinar api unggun yang jatuh pada bayangan gadis itu membuatnya bercahaya merah di antara keredupan embun pagi, luar biasa cantiknya seakan-akan sang dewi pagi turun dari kahyangan menemuinya. Sejenak Kakek itu terpesona, kemudian dia terkekeh.

   "Ha... ha... ha, kau sudah dapat keluar? Hendak menemani aku? Bagus, kau tentu bosan dengan suamimu si lemah itu. Ha... ha... ha, mari mendekat, Manis..."

   Akan tetapi kata-katanya terhenti di situ karena tiba-tiba Siu Bi sudah menerjangnya dengan hebat. Tiga kali pukulan Hek-In-Kang biarpun hendak ditangkis juga percuma, tepat mengenai dada sedangkan tangan kiri Siu Bi sudah berhasil mencabut Pedang Cui-Beng Kiam yang terselip di ikat pinggang Kakek itu.

   "Aduh... auhhh..."

   Tubuh Kakek itu bergulingan dan sebelum sempat meloncat bangun, Cui-Beng Kiam menyambar dan tubuh Kakek itu rebah tak bergerak lagi, darah menyemprot ke luar dari lehernya yang sudah putus, kebetulan menyemprot ke arah api unggun secara perlahan-lahan menjadi padam. Dengan Pedang Cui-Beng Kiam yang berlumuran darah di tangan, Siu Bi berlari memasuki gua. Di bawah cahaya remang-remang ia melihat Swan Bu masih duduk bersila. Wajah yang cantik itu menjadi beringas, sepasang matanya yang bening mengeluarkan cahaya, Bibirnya yang merah digigit.

   "Swan Bu, terimalah pembalasan Kakekku!"

   Siu Bi berseru. Swan Bu kaget dan sadar, otomatis mengangkat kedua lengannya sambil membuka mata.

   Sinar hitam berkelebat, lengan kiri pemuda itu terbabat buntung sebatas siku, darah menyembur keluar dan Swan Bu roboh terguling pingsan. Sejenak Siu Bi tertegun, bagaikan kena pesona darah merah yang mengalir keluar dari lengan buntung. Wajahnya pucat dan kedua kakinya menggigil. Tiba-tiba ia melempar pedang, menjerit lalu berlutut dekat tubuh Swan Bu yang bergerak dan mukanya pucat seperti mayat. Dengan gugup dan bingung Siu Bi menotok jalan darah dekat pangkal lengan yang buntung. Kemudian menangis tersedu-sedu, memangku kepala Swan Bu, menciumi muka pemuda itu yang mengeluh panjang pendek menyebut namanya. Kurang lebih satu jam Swan Bu pingsan. Tiba-tiba kepala di pangkuan Siu Bi itu bergerak dan sepasang mata memandang sayu, mulutnya tersenyum mengejek menusuk perasaan.

   "Siu Bi... kau puas kini...? Ah, alangkah cantiknya engkau... alangkah manisnya, alangkah kejam, kau iblis wanita berwajah bidadari..."

   Seperti orang gila, Swan Bu tersenyum-senyum. Siu Bi menahan pekiknya dengan menutup mulut, kemudian sekali renggut ia melepaskan kepala dari pangkuan, melompat berdiri, menyambar pedangnya lalu lari keluar dari gua.

   Isak tangisnya terdengar bergema di dalam gua ketika Swan Bu dengan gerakan lemah bangkit dan duduk; Sejenak kepalanya terasa nanar, lalu matanya terbelalak memandang lengan kirinya yang kini menggeletak di atas tanah seperti lengan tangan boneka, dan kemudian dia memegang lengannya yang tinggal separuh sebatas siku, yang ujungnya terbungkus kain putih halus dan harum, kain pengikat rambut Siu Bi. Dengan lemah dia bangkit berdiri dan terhuyung-huyung berjalan keluar. Di luar tidak tampak Siu Bi atau bayangannya, yang tampak hanya mayat Kakek gila terlentang di atas tanah, kepalanya terpisah dari badan, puing api unggun masih mengebulkan asap dan daging yang dipanggang masih menyebarkan bau sedap gurih. Lee Si melarikan diri di dalam gelap sambil menangis tersedu-sedu.

   Hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum beracun kalau ia teringat akan pengalamannya. la harus lari, lari cepat meninggalkan semuanya, bahkan kalau mungkin meninggalkan dunia. Tak berani ia bertemu dengan Ayahnya, malu bukan main. Betapa mungkin la dapat berhadapan dengan Ayahnya lagi setelah Ayahnya itu melihat ia... tidur di bawah satu selimut dengan Swan Bu? Masih jelas teringat olehnya betapa ia sudah hampir pingsan saking malu ketika dalam keadaan tertotok ia direbahkan di samping Swan Bu yang juga tertotok, sedangkan Swan Bu tidak memakai baju! Tadinya ia sama sekali tidak dapat menduga apa maksud dan kehendak orang-orang Ang-Hwa-Pai itu dengan perlakuan ini. Mengapa ia dan Swan Bu tidak dibunuh melainkan diperlakukan seperti ini? Akan tetapi ketika tiba-tiba ia mendengar suara makian Ayahnya, dan melihat Ayahnya muncul di atas genteng,

   Kagetnya bukan main dan sekaligus tahulah ia bahwa penjahat-penjahat itu agaknya sengaja memancing datang Ayahnya agar orang tua ini dapat menyaksikan keadaan yang amat memalukan dan menghina ini. la mengerti sekarang. la mengerti pula mengapa ia sengaja dibebaskan setelah Ayahnya muncul dan menyaksikan adegan itu. Penghinaan yang luar biasa melebihi maut! la sudah mengenal watak Ayahnya yang keras. Tak mungkin Ayahnya dapat diberi penjelasan setelah dengan kedua mata sendiri menyaksikan adegan itu. Dan ia malu bertemu Swan Bu, malu bertemu siapa saja! Lebih baik mati! Mati? Tidak, belum waktunya. la harus dapat membasmi penjahat-penjahat Ang-Hwa-Pai berikut teman-temannya itu sebelum ia sendiri mati. Dengan pekaian kusut dan hati penuh kegemasan dan sakit hati terhadap Ang-Hwa Nio-Nio dan kawan-kawannya, Lee Si berlari terus secepatnya.

   Tujuan perjalanannya sekarang adalah... Liong-Thouw-San! la harus bertemu dengan Pendekar Buta, ia harus bicara dengan Ayah Bunda Swan Bu, harus ia ceritakan tentang semua pengalamannya dengan Swan Bu. Memang amat memalukan dan ia sudah dapat membayangkan betapa akan sukarnya mulutnya bercerita tentang semua itu, akan tetapi hal ini penting sekali. Penting untuk membersihkan namanya, juga nama Swan Bu, dan agar orang tua Swan Bu dapat menghadapi kemarahan Ayahnya dengan tenang. Siapa lagi yang akan dapat mendinginkan hati Ayahnya yang panas bergelora itu kalau bukan Pendekar Buta yang amat dihormati dan dipuji Ayahnya? la dapat membayangkan bahwa kalau Ayahnya tidak berhasil mencari dan membunuh Swan Bu, tentu Ayahnya akan mendatangi orang tua pemuda itu dan mengamuk di sana.

   Alangkah akan hebatnya bencana yang timbul dari urusan ini! Dan mengingat itu semua makin besarlah dendam dan sakit hati Lee Si terhadap Ang-Hwa-Pai. Pada suatu hari, karena hari amat panas terik dan ia sudah amat lelah, Lee Si melangkahkan kakinya ke sebuah kelenteng kosong yang sudah tua dan rusak. Akan tetapi ketika ia sampai di ruangan depan, ia kaget dan menjadi ragu-ragu melihat bahwa di situ sudah terdapat belasan orang laki-laki yang agaknya juga sedang mengaso dan berlindung dari sengatan sinar matahari yang luar biasa panasnya. Mereka ini sedang bercakap-cakap dan ada yang bersendau-gurau, hanya seorang laki-laki muda dan tampan duduk menyendiri di pojok, melenggut seperti orang mengantuk. Melihat banyak laki-laki di dalam kuil itu, Lee Si menahan kakinya dan membalikkan tubuh... hendak berteduh di luar saja.

   "Eh, A-liuk, apakah kita tidak mimpi? Bidadari kahyangan turun di siang hari? Wah-wah... kok pergi lagi...?"

   "Lya... nona manis, kenapa tidak jadi masuk? Di sini teduh nyaman... kita bisa mengobrol, mari ke sinilah!"

   Kata seorang lain, disusul gelak tawa teman-temannya.

   Lee Si yang baru saja mengalami malapetaka, tidak sudi mencari perkara baru sungguhpun hatinya sudah panas dan ingin sekali kaki tangannya memberi hajaran kepada orang-orang kurang ajar itu. Maklum bahwa kalau ia berada di situ tentu setidaknya telinganya akan mendengar suara-suara busuk, gadis ini lalu melangkah keluar lagi dari pekarangan kelenteng tua, lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat peristirahatan lain. Akan tetapi daerah ini kering, pohon-pohon kehilangan daunnya sehingga tidak ada lagi tempat yang teduh. Terpaksa Lee Si berjalan terus menuju ke daerah yang dari jauh tampak banyak gundukan batu-batu besar dengan harapan mendapatkan tempat teduh di situ.

   "Hee, nona manis, berhenti dulu...!!"

   Tiba-tiba terdengar seruan keras dan ketika Lee Si menengok, dilihatnya banyak laki-laki yang tadi duduk di dalam kelenteng kini berlari-lari mengejarnya. Di depan sendiri tampak seorang laki-laki brewok yang berpakaian seperti tentara, golok besarnya tergantung di pinggang. la ingat bahwa memang tadi di dalam kelenteng ada si brewok ini yang hanya memandangnya dengan mata melotot dan mulut menyeringai.

   "Hemmm, manusia-manusia keparat ini takkan kapok kalau tidak diberi hajaran!"

   Pikir Lee Si sambil berhenti dan membalikkan tubuhnya, siap menanti mereka. Hanya ada enam orang yang mengejarnya, dan biarpun mereka itu semua adalah laki-laki yang kasar dan membawa senjata, ia tidak takut. la berdiri tenang-tenang saja, berdiri dengan sikap biasa seperti seorang gadis muda yang hendak nonton lewatnya rombongan arak-arakan. Tiba-tiba berkelebat bayangan yang gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu seorang pemuda sudah berdiri menghadang larinya rombongan itu.

   "Sahabat-sahabat harap berhenti dulu untuk bicara!"

   Kata laki-laki ini dengan suara tenang. Dia adalah pemuda berpakaian putih yang tadi duduk melenggut di pojok. Pemuda ini sikapnya tenang namun sepasang matanya memancarkan ketajaman dan ketabahan. Si brewok yang berpakaian komandan tentara itu membelalakkan matanya dan membentak.

   "Heh, bukankah kau Pengemis muda yang tadi mengantuk di dalam kuil? Mau apa kau?"

   Pemuda itu mengangkat sedikit mukanya dan sepasang matanya dipicingkan, pandang matanya tajam menerobos antara bulu matanya yang bergetar. Mulutnya agak tersenyum sebelum ia bicara dengan suara lantang,

   "Bukankah kau ini komandan she Gak yang membawa anak buahmu tukang-tukang pukul ini menjelajahi ke dusun-dusun untuk memeras rakyat dengan dalih kerja paksa membuat saluran? Orang she Gak, ketahuilah bahwa rahasiamu sudah terbuka, aku sudah tahu bahwa kau bukanlah seorang komandan melainkan seorang kepala perampok yang menyamar sebagai komandan tentara untuk melakukan pemerasan. Sudah beberapa hari aku mengikuti jejak kalian, sekarang kalian akan menambah kejahatan pemerasan dengan mengganggu wanita baik-baik. Hemmm, dosa kalian sudah cukup besar..."

   "Setan muda, mampuslah kau. Tiba-tiba tampak sinar berkilauan menyambar ketika "Komandan"

   Itu menggerakkan golok besarnya yang sudah dicabut cepat dan dipergunakan untuk membacok leher pemuda itu. Diam-diam pemuda itu terkejut juga. Kiranya si komandan gadungan ini pandai juga ilmu goloknya. Namun dengan gerakan mudah saja, yaitu dengan miringkan tubuh dan menekuk sebelah lutut, golok itu menyambar lewat kepalanya, hanya beberapa sentimeter selisihnya. Akan tetapi golok itu tanpa ditarik kembali sudah langsung memutar ke bawah dan kini membabat ke arah pinggang, disusul jotosan tangan kiri keras sekali menuju kepala pemuda itu. Sebuah serangan yang hebat juga!

   "Bagus!"

   Pemuda itu berseru, tubuhnya melompat ke atas sehingga golok yang membabat pinggang itu meluncur lewat di bawah kakinya, sedangkan selagi tubuhnya berada di udara, kakinya bergerak menendang ke arah kepalan tangan kiri lawan!

   "Bagus...!"

   Kini seruan memuji kagum ini keluar dari mulut Lee Si. Gadis muda ini berdiri menonton dan kagumlah ia menyaksikan gerakan pemuda itu.

   Menendang untuk menangkis pukulan selagi tubuh berada di udara hanya dapat dilakukan oleh seorang yang ahli. Akan tetapi orang she Gak itu pun lihai sekali. Cepat dia menarik kepalannya dan sebelum tubuh pemuda itu turun, golpknya sudah menusuk lagi, kini memapaki turunnya tubuh itu dari bawah seakan-akan goloknya hendak menyate tubuh itu dari bawah ke atas. Serangan maut ini masih dia tambahi dengan sebuah tendangan kilat yang amat keras. Agaknya di samping kemahirannya dalam gerakan golok dan pukulan, si brewok ini ahli tendangan pula. Malah bagi pemuda itu, tusukan golok hendak menyate tubuh itu malah tidak sehebat tendangan yang amat berbahaya ini karena tendangan itu dilakukan dengan gerakan kaki memutar sehingga sukar diduga bagian mana yang hendak di "Makan"

   Oleh tendangan kaki kiri ini!

   "Hebat...!"

   Kembali Lee Si berseru sambil menyaksikan gerakan pemuda pakaian putih itu. Orang tentu akan merasa heran karena pemuda itu baru saja bergerak, belum kelihatan hasilnya, gadis ini sudah memuji setengah mati. Akan tetapi kiranya pujian itu memang tidak salah karena akibatnya memang hebat. Dengan gerakan tangan kiri yang luar biasa, pemuda itu turun dengan tubuh miring-miring seperti mau jatuh, akan tetapi berhasil mengelak dari golok lawan yang menusuknya, malah tangan kiri itu sekali berkelebat telah mencengkeram tangan kanan yang memegang golok, sekali renggut gagang golok pindah tangan, sedangkan tendangan maut itu diterima dengan tangan kanan yang disabetkan ke bawah dengan jari-jari tangan terbuka.

   "Dukkk!!"

   Aneh memang, akan tetapi nyata. Tangan kanan yang disabetkan miring itu bertemu dengan kaki yang besar dan terbungkus sepatu tebal yang berlapis besi. Menurut perhitungan dan logika, tentu si tangan yang akan remuk, setidaknya tentu akan patah-patah tulangnya dan pecah-pecah kulitnya. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Tangan itu tidak apa-apa, juga tubuh si pemuda sama sekali tidak bergeming, sebaliknya tubuh si penendang yang tinggi besar itu terpelanting jatuh, menggelinding dan akhirnya baru berhenti setelah sebuah batu besar menahan di tengah jalan dan kepala yang menumbuk batu itu pecah retak-retak, yang punya kepala terhenti menjadi manusia hidup!

   Pemuda itu melirik ke arah Lee Si, tersenyum dan mengangguk-angguk. Di dalam hati pemuda ini kagum juga akan ketenangan gadis itu yang masih berdiri menjadi penonton. Lima orang tukang pukul itu tentu saja menjadi marah sekali melihat "Komandan"

   Mereka tewas. Dengan teriakan-teriakan marah dan makian-makian kotor mereka menerjang pemuda itu dengan macam-macam senjata. Dua orang bersenjata Pedang panjang, seorang bersenjata Toya, seorang bersenjata golok dan seorang lagi yang kepalanya botak dan tidak bertopi bersenjata sebatang pecut baja. Ketika mereka ini bergerak, kembali Lee Si terkejut karena lima orang ini kiranya bukanlah orang-orang yang berkepandaian rendah, boleh dibilang setingkat dengan si komandan gadungan tadi.

   Melihat ini, teganglah seluruh urat syaraf di dalam tubuh Lee Si. Tak mungkin ia berdiam diri saja, menonton pemuda itu dikeroyok oleh lima orang yang tak boleh dipandang ringan ini. Pemuda itu tak salah lagi, berusaha menolongnya, kalau sampai pemuda itu celaka atau terluka, hal ini sungguh amat tidak baik. la sudah siap untuk segera melayang dan membantu kalau-kalau pemuda itu terancam. Akan tetapi tiba-tiba hatinya berdebar tegang dan ia seperti terpaku di tempatnya. Pemuda berpakaian putih itu kini bergerak-gerak seperti orang mabuk, menggunakan langkah-langkah aneh sekali yang ia kenal seperti langkah-langkah yang dipergunakan oleh Swan Bu. Sama sekali pemuda itu tidak terdesak oleh pengeroyokan lima orang, malah sambil menyelinap di antara senjata-senjata itu dia berkata,

   "Tentara gadungan itu sudah sepatutnya mampus, kalian boleh hidup, tapi harus mengakhiri kejahatan. Lain kali aku tidak dapat memberi ampun lagi!"

   Tiba-tiba pemuda itu berkelebat dan tubuhnya seperti lenyap dari pandangan mata kelima orang pengeroyoknya, yang tampak hanya bayangan yang didahului sinar golok rampasan tadi. Terdengar pekik kesakitan berturut-turut dan senjata-senjata itu berturut-turut melayang runtuh dibarengi mengucurnya darah dari kedua pundak dan kedua paha. Dalam sekejap mata saja lima orang itu sudah roboh merintih-rintih. Kiranya selain senjata merekar terlepas, juga ujung kedua pundak dan atas kedua lutut mereka terluka oleh golok, luka yang tidak berbahaya tetapi cukup mengeluarkan banyak darah dan membuat mereka merasa ngeri. Kalau pemuda itu menghendaki, agaknya menewaskan mereka tidak lebih sukar daripada membalikkan telapak tangan.

   "Nah, kuharap kalian kapok dan suka menghentikan praktek-praktek jahat!"

   Seru pemuda itu sambil melempar golok rampasannya ke tanah, kemudian ia membungkuk ke depan Lee Si sambil berkata,

   "Silakan Nona melanjutkan perjalanan. Selamat berpisah!"

   Sehabis berkata demikian, pemuda itu membalikkan tubuhnya dan berkelebat cepat sekali. Sebentar saja dia sudah lenyap di balik batu-batu besar. Akan tetapi, alangkah terkejutnya pemuda itu ketika dia mendengar suara orang di belakangnya yang berseru halus,

   "Saudara, harap suka tunggu sebentar!"

   Pemuda itu membalikkan tubuhnya, menghadapi Lee Si dan segera mengangkat tangan memberi hormat. Lee Si cepat-cepat membalasnya dan diam-diam ia memuji kesopanan pemuda ini yang usianya jauh lebih tua dari padanya.

   "Nona ada keperluan apakah Nona mengejar saya?"

   "Saudara, kiranya tidak baik kubiarkan saja kau pergi tanpa menyatakan terima kasih atas pertolonganmu dan..."

   Pemuda itu tertawa dan wajahnya yang masak dan agak muram itu tampak jauh lebih muda kalau tertawa.

   "Wah, harap Nona jangan memperolokku! Sama sekali aku tidak menolongmu, karena kalau tidak kebetulan aku turun tangan terhadap mereka, kiranya mereka itu akan menerima nasib yang lebih berat di tangan Nona. Dengan kepandaian yang Nona miliki, sungguh aku merasa malu kalau aku dikatakan menolongmu."

   "Ah, bagaimana kau bisa bilang demikian? Dengan kepandaianmu yang begitu tinggi dan sikapmu amat merendah, kau sungguh membikin aku yang bodoh menjadi kagum, Saudara."

   "Nona, sebelum aku bergerak kau sudah tahu tadi, sekarang dengan mudah kau dapat menyusulku, ini saja sudah membuktikan bahwa kau seorang yang lihai. Sudahlah, tak perlu puji-memuji ini. Bolehkah aku mengetahui siapa gerangan Nona? Aku sendiri bernama Yo Wan."

   "Yo Wan...? Serasa pernah aku mendengar nama ini..."

   Lee Si mengerutkan kening, mengingat-ingat, akan tetapi tidak berhasil. Memang tentu saja ia lupa karena andaikata pernah mendengar, tentulah dari percakapan atau penuturan Ayah Bundanya yang pernah menyebut nama ini sebagai murid Pendekar Buta.

   "Nona siapakah dan murid siapa?"

   "Aku murid orang tuaku sendiri, Ayahku adalah Tan Kong Bu, Ketua Min-San-Pai, dan namaku Tan Lee Si."

   "Ah...! Tentu saja Nona pernah mendengar namaku, tentu dari Tan-loEnghiong, Ayahmu. Aku sendiri sudah lupa lagi kepada beliau, akan tetapi antara Ayahmu, terutama Ibumu dan Suhu ada hubungan yang erat sekali. Ketahuilah, Suhu adalah Pendekar Buta..."

   "Ah...!"

   Kini Lee Si yang ber ah-ah-ah saking herannya. Lalu ia teringat akan langkah-langkah seperti orang mabuk yang tadi dilakukan Yo Wan ini dan yang ia ingat ada persamaannya dengan Swan Bu. Dan sekarang tidak aneh lagi baginya akan kelihaian pemuda ini. Kiranya murid Pendekar Buta, tentu saja hebat kepandaiannya.

   "Kalau begitu... dia... dia itu sutemu..."

   Otomatis ingatannya melayang kepada Swan Bu sehingga kata-kata itu keluar dari mulutnya. Yo Wan adalah seorang pemuda yang sudah matang pikirannya dan dia amat cerdik, oleh karena itu sikap dan kata-kata gadis cantik manis itu sudah cukup baginya untuk menduga bahwa tentu ada sesuatu antara gadis Cucu Raja Pedang ini dengan putera Suhunya. Siapa lagi kalau bukan Swan Bu yang tadi disebut "Si dia"

   Sebagai sutenya? Sutenya memang hanya seorang, yaitu putera Suhunya itu.

   "Nona maksudkan Kwa Swan Bu sute? Apakah dia sahabat baikmu? Di mana adanya Sute sekarang?"

   Hal yang aneh terjadi, yang membuat Yo Wan sendiri terheran-heran dan terkejut bukan main. Gadis manis itu tiba-tiba menangis! Air matanya bercucuran dan kedua tangannya sibuk mengusapi air mata yang mengalir di kedua pipinya, pundaknya bergerak-gerak dalam isak tangis yang menyedihkan. Yo Wan berdebar hatinya, kekhawatiran hebat mencekam jantungnya, timbul dugaan yang bukan-bukan.

   "Nona, ada apa dengan sute? Apakah yang terjadi?"

   Tanyanya, wajahnya berkerut dalam kegelisahan.

   "Malapetaka hebat... dia dan aku... kami celaka..."

   Lee Si terisak-isak. Semenjak ia mengalami bencana itu, baru kali ini ia berkesempatan bicara dengan seorang yang ia percaya, karena itu ia tak dapat menahan kesedihannya. Di lain pihak, Yo Wan terkejut seperti disambar petir. Sampai lupa dia dan kedua tangannya memegang lengan Lee Si, diguncang-guncangnya nona yang menangis itu sambil berkata,

   "Ada apakah? Siapa mengganggu sute? Di mana dia dan apa yang terjadi?"

   Melihat betapa nona itu menurunkan tangan dan dengan kaget memandangnya, Yo Wan melepaskan kedua tangannya dan berkata,

   "Maaf, aku sampai lupa diri. Ah, Kau tenangkanlah hatimu, Nona dan berceritalah yang baik. Ketahuilah, semenjak kecil aku tidak bertemu dengan sute, hatlku penuh rindu maka mendengar dia ditimpa malapetaka, hatiku gelisah bukan main. Apakah dia terluka?"

   Lee Si menggeleng kepala.

   "Tidak terluka, dan sekarang entah di mana, akan tetapi apa yang menimpa kami berdua lebih hebat daripada luka atau maut sekalipun."

   Dengan muka menunduk dan suara perlahan, kadang-kadang terputus oleh isak tangis, Lee Si akhirnya menceritakan semua pengalamannya dengan Swan Bu, dan tipu muslihat penuh fitnah yang dilakukan oleh Ang-Hwa-Pai.

   "Begitulah saudara yo Wan, dapat kau bayangkan betapa marahnya Ayah melihat keadaan kami, mendengar suara Ayah agaknya dia takkan puas kalau belum membunuh Swan Bu untuk mencuci penghinaan. Padahal... padahal Swan Bu sama sekali tidak bersalah dalam hal, itu."

   "Dan kau hendak ke manakah sekarang, Nona?"

   "Ke mana lagi? Ke Liong-Thouw-San hendak menemui Ayah Swan Bu dan menceritakan semua hal itu kepada Ayah Bundanya. Harap kau suka membantuku... berat juga mulut ini bercerita kepada Paman Kwa Kun Hong dan istrinya."

   "Jangan khawatir, aku pasti akan membantumu, Nona, demi kebersihan nama Sute pula. Akan tetapi, kau dan Sute yang begitu lihai bagaimana sampai dapat tertawan? Siapakah yang menjagoi Ang-Hwa-Pai ketika itu? Setahuku, yang paling lihai hanyalah Ang-Hwa Nio-Nio dan pemuda yang bernama Ouwyang Lam. Akan tetapi aku sangsi apakah mereka ini dapat mengalahkan kau dan sute."

   "Kalau hanya mereka berdua, agaknya kami tidak akan dapat tertawan musuh."

   Lee Si menarik nafas panjang penuh sesal.

   "Selain mereka, ada juga dua orang Kakek yang pada waktu aku ditawan, kudengar namanya sebagai Pendeta Maharsi dari Barat dan yang seorang lagi Bo Wi Sianjin, masih ada lagi

   (Lanjut ke Jilid 14)

   Jaka Lola (Seri ke 04 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14

   seorang iblis wanita bernama Siu Bi!"

   Yo Wan menahan perihnya hati yang serasa tertusuk ketika dia mendengar disebutnya nama ini, nama seorang gadis yang mendatangkan rasa sayang dan simpati di hatinya akan tetapi berbareng juga mendatangkan rasa benci karena gadis itu adalah puteri The Sun pembunuh Ibunya. Diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa gadis itu kembali menggabungkan diri dengan pihak Ang-Hwa-Pai yang dia tahu adalah golongan penjahat. Akan tetapi Yo Wan segera merenggut ingatannya keluar dari lamunan tentang diri Siu Bi ini.

   "Wah, urusanmu ini memang amat hebat, adik Lee Si."

   Akhirnya dia berkata sambil menarik nafas panjang.

   "Mereka itu memang jahat sekali dan tipu muslihat mereka itu agaknya akan dapat menimbulkan bencana perpecahan yang amat besar. Marilah kita jangan membuang waktu lagi, berangkat ke Liong-Thouw-San menemui Suhu. Dapat kumengerti betapa beratnya bagimu menceritakan peristiwa itu, maka biarlah aku yang akan mewakilimu bercerita kepada Suhu dan Subo."

   "Terima kasih, kau baik sekali..."

   Jawab Lee Si sambil menghapus air mata terakhir dari pelupuk matanya. Hatinya menjadi besar dengan adanya penolong ini, harapannya timbul kembali sehingga kemuraman wajahnya mulai menghilang. Akan tetapi, setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan dan akhirnya mereka berhasil mendaki puncak Liong-Thouw-San, mereka menjadi terkejut dan kecewa sekali melihat bahwa puncak gunung itu sunyi sepi, tidak ada kelihatan seorang pun manusia di situ. Tidak terdapat tanda sesuatu, juga tidak ada seorang pun manusia di situ yang dapat menceritakan apakah yang telah terjadi di puncak Liong-Thouw-San. Menilik keadaan pondok yang masih bersih, seakan-akan masih "Hangat,"

   Jelas bahwa tempat yang sunyi ini belum lama ditinggalkan penghuninya.

   Yo Wan berdiri di depan pondok, termenung dan termangu-mangu. Melihat tempat ini, tak terasa pula dua titik air mata keluar dari pelupuk matanya, karena dia teringat akan keadaannya di waktu masih kecil dahulu. Terbayanglah semua di depan matanya, keadaan dua puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih kecil dan tinggal seorang diri di tempat ini. la berjalan hilir-mudik seperti orang kehilangan pikiran, meraba-raba dengan mesra batu-batu di depan pondok, membelai daun-daun di pinggir pondok, mulutnya menyeringai setengah senyum setengah tangis. la baru sadar setelah mendengar tangis Lee Si dan cepat dia menengok. Melihat gadis itu sudah duduk menangis di atas bangku bambu di depan pondok, dia segera menghampiri lalu berkata dengan suara menghibur,

   "Tenanglah, adik Lee Si. Tiada perkara di dunia ini yang tak dapat diatasi asal kita tenang dan sabar. Memang agaknya tidak kebetulan kedatangan kita, agaknya Suhu dan Subo sedang turun gunung, entah ke mana. Akan tetapi, sebagai wakil Suhu, juga demi menjaga nama baik Sute Swan Bu, aku siap untuk membasmi penjahat-penjahat busuk itu. Marilah, adik Lee Si, kita turun lagi dan kau antarkan aku ke tempat terjadinya peristiwa itu. Aku akan mencoba untuk menangkap Ang-Hwa Nio-Nio dan kita seret dia ke depan Ayahmu agar dia mengakui akan tipu muslihat dan fitnah yang diaturnya. Bagaimana?"

   Lee Si hanya mengangguk-angguk, kemudian setelah menekan perasaan kecewanya dapat juga ia berkata,

   "Kau baik sekali, Yo-Twako. Terserah padamu saja, aku... aku bingung tak dapat memikir sesuatu...

   Mereka bermalam satu malam di puncak Liong-Thouw-San. Keesokan harinya, barulah mereka turun dari puncak itu, menuju ke kota Kong-Goan di tepi Sungai Cia-Ling. Sebetulnya apakah yang telah terjadi di puncak Liong-Thouw-San? Sayang tidak ada yang dapat bercerita kepada dua orang muda itu. Akan tetapi andaikata ada yang dapat bercerita, agaknya malah akan membuat mereka menjadi makin gelisah saja karena baru tiga hari yang lalu, di puncak itu terjadi hal hebat seperti yang dikhawatirkan oleh Lee Si. Pada suatu senja, tiga hari yang lalu, selagi Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta bersama isterinya, Kwee Hui Kauw, duduk di dalam pondok bercakap-cakap setelah Hui Kauw menyalakan api penerangan dan Kun Hong sedang makan masakan sayur yang dihidangkan isterinya sambil bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras di luar pondok.

   "Kwa Kun Hong, keluarlah dan pertanggungjawabkan kebiadaban anakmu!!"

   Sepasang sumpit yang menyumpit sayur dan sudah berada di depan mulut itu terhenti. Kun Hong miringkan kepala, keningnya berkerut dan perlahan-lahan dia menurunkan kembali sumpit dan mangkoknya. Telinganya mendengar gerakan isterinya menyambar Pedang di dinding, dan pada saat isterinya hendak melayang keluar pintu, dia berkata lirih,

   "Tahan dulu, jangan terburu nafsu. Serasa mengenal suaranya..."

   "Tak peduli dia siapa, dia telah menghina kita dan anak kita!"

   "Manusia bisa keliru, mungkin salah paham..."

   Dari luar kembali terdengar bentakan,

   "Kwa Kun Hong, lekas keluar sebelum kuhancurkan pondokmu!"

   Dengan tongkat di tangan, Pendekar Buta bergerak keluar dari pintu pondoknya, diikuti oleh Hui Kauw yang masih memegang sebatang Pedang dengan muka keren. Alangkah kaget dan herannya nyonya ini ketika melihat bahwa yang berdiri di depan pondok, dengan tegak dan kedua kaki dipentang, sikap mengancam, wajah bengis, adalah seorang laki-laki tinggi besar dan gagah yang bukan lain adalah Tan Kong Bu.Keadaan jago tua Min-San ini menyeramkan sekali. Sepasang matanya yang tajam itu bersinar-sinar penuh kemarahan, rambutnya agak awut-awutan, mukanya merah padam, tangan kiri dikepal-kepal dan tangan kanan meraba gagang pedang. Suaranya menggeledek ketika dia melihat Kun Hong dan isterinya keluar dari pondok.

   "Kwa Kun Hong, kalau kau tidak lekas mempertanggung-jawabkan kebiadaban anakmu, sekarang juga seorang di antara kita harus mampus di sini!"

   Wajah Pendekar Buta penuh kerut-merut, akan tetapi dia tetap tenang dan sabar. Sebaliknya, biarpun Hui Kauw adalah seorang wanita yang berperangai halus dan amat sabar, akan tetapi sekarang, sebagai seorang Ibu yang mendengar anak tunggalnya dimaki biadab, darahnya seketika menjadi naik. la menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah Kong Bu dengan tangan kanan melintangkan Pedang di depan dada.

   "Tan Kong Bu! Isterimu terhitung murid keponakan suamiku, jadi kau ini boleh juga dikatakan keponakan kami. Akan tetapi sikapmu ini sungguh-sungguh tidak patut. Ada urusan boleh diurus, ada soal boleh dibicarakan, segala sesuatu boleh dirunding baik-baik tidak seperti kau ini yang bersikap kasar dan menghina!"

   "Siapa menghina? Ha... ha... ha, bicara tentang penghinaan, anakmu yang biadab itulah yang menghina kami! Penghinaan melampaui batas takaran, penghinaan yang hanya dapat dicuci dengan darah dan nyawa, nyawa Kun Hong atau nyawaku! Kalau kau hendak maju sekalian, boleh, aku tidak takut demi untuk membela nama baik anakku, mati bukan apa-apa!"

   
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Setelah berkata demikian, agaknya kepanasan hatinya menjadi makin berkobar oleh kata-katanya. Kong Bu menggerakkan tangan dan,

   "Srattt!"

   La telah mencabut sebatang pedang. Tentu saja Hui Kauw menjadi makin marah, merasa ditantang.

   "Hemmm, manusia sombong. kau kira aku takut kepadamu? kau kira hanya engkau seorang di dunia ini yang gagah dan tidak takut mati, yang ingin membela anak? Tiada hujan tiada angin kau memaki-maki anak kami, memaki-maki kami, kalau kau menantang bertempur, majulah. Aku lawanmu."

   Hui Kauw melompat ke depan siap dengan pedangnya. Pada dasarnya Tan Kong Bu memang seorang yang berwatak keras dan berangasan, maka mendengar omongan ini dan melihat sikap Hui Kauw, kemarahannya terhadap Swan Bu memuncak. Wanita ini adalah Ibu Swan Bu patut mempertanggung-jawabkan pula. la memekik keras, mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya bergerak maju.

   "Bagus, kau atau aku yang mampus!"

   Pedangnya menyambar ganas, penuh dengan tenaga Yangkang sehingga sambaran Pedang itu mengandung hawa panas yang amat berbahaya. Namun Hui Kauw adalah isteri Pendekar Buta. Sebelum menjadi isteri Pendekar Buta, ia telah memiliki kepandaian tinggi, dan mungkin pada waktu itu tidak akan dapat menahan serangan Tan Kong Bu putera Si Raja Pedang. Akan tetapi sekarang, ia bukanlah Hui Kauw dua puluh tahun yang lalu. Ilmu kesaktiannya mengalami kemajuan pesat di bawah bimbingan suaminya. Melihat datangnya serangan hebat ini, dia mengelak sambil membabat dari samping, menghantam Pedang lawan.

   "Tranggg!"

   Bunga api berpijar merupakan kilat-kilat kecil menerangi cuaca yang sudah mulai remang-remang itu. Keduanya terpental muncur.

   "Bagus, terimalah ini!"

   Tan Kong Bu menerjang lagi, lebih ganas dan lebih kuat. Kembali Hui Kauw menangkis dari samping dan kini saking hebatnya tenaga dalam mereka, kedua Pedang itu saling tempel tanpa mengeluarkan bunyi! Pada saat itu, berkelebat bayangan merah, disusul suara keras dan dua batang Pedang yang saling tempel itu terpental ke belakang, malah Hui Kauw dan Kong Bu terhuyung-huyung tiga langkah. Kiranya Kun Hong sudah turun tangan, menggunakan tongkatnya untuk memisahkan dua Pedang itu.

   "Ah, apa perlunya semua ini? Hui Kauw, kau mundur. Kong Bu, marilah kita bicara baik-baik. Apa sebetulnya yang telah terjadi? Kau agaknya marah-marah kepada anak kami. Kesalahan apakah yang diperbuat oleh Swan Bu? Kau ceritakan kepada kami agar kami dapat mengetahui dan mempertimbangkan. Di antara kita, masa harus menggunakan kekerasan?"

   Akan tetapi Kong Bu yang sudah mendidih darahnya itu, tak dapat dibikin sabar. Dengan suara tetap lantang dan penuh kemarahan dia berkata,

   "Kun Hong, mana bisa kita bicara baik-baik setelah penghinaan yang dilakukan oleh anakmu? Akan tetapi agar kalian tidak penasaran, dengarlah apa yang telah dilakukan oleh anakmu yang biadab itu, agar terbuka mata kalian betapa kalian tidak becus mendidik anak. Anakmu Kwa Swan Bu itu telah menawan Lee Si anakku dan melakukan perbuatan terkutuk, dia... dia berani mencemarkan... dia berani menodai Lee Si, terkutuk dia! Karena dia lari, sekarang aku datang ke sini untuk minta pertanggungan-jawabmu. Kun Hong, penghinaan ini terlalu besar, kau sebagai Ayahnya menebus dengan nyawamu atau aku sebaga Ayah Lee Si mencuci noda dengan darahku!"

   "Bohong...!"

   Tiba-tiba Hui Kauw menjerit marah.

   "Di mana terjadinya? Siapa yang menjadi saksi? Apa buktinya?"

   "Huh, siapa bohong? Aku sendiri yang menjadi saksi! Lee Si ditawannya, tertotok tak berdaya dan ditawan ke dalam kuil tua di kota Kong-Goan..."

   "Bohong! Aku tidak percaya, tidak mungkin anakku melakukan perbuatan itu. Kau yang bohong!"

   Kembali Hui Kauw berteriak.

   "Mulut bisa bohong, akan tetapi mata tidak! Dan mataku melihat sendiri kejadian itu, dan mataku tidak buta seperti mata Kun Hong! Hanya mata buta yang tidak mau melihat kebiadaban putera sendiri dan melindunginya!"

   "Keparat, tak sudi aku menerima penghinaanmu ini!"

   Hui Kauw yang sekarang menerjang maju dengan pedangnya. Kong Bu mendengus dan menangkis, kemudian kedua orang ini kembali sudah bertanding dengan seru. Adapun Kwa Kun Hong setelah mendengar penjelasan Kong Bu, berdiri termangu-mangu. Mana mungkin ada kejadian seperti itu? Swan Bu melakukan perbuatan terkutuk terhadap Lee Si? Apakah mungkin puteranya itu dikuasai nafsu sedemikian hebatnya yang membuatnya seperti gila? Agaknya tidak mungkin. la tahu bahwa puteranya itu memiliki dasar watak yang amat keras dan tidak mau kalah, akan tetapi cukup dia dasari gemblengan batin yang membentuk watak satria, pantang akan perbuatan-perbuatan maksiat, apalagi perbuatan terkutuk seperti itu.

   Tentu fitnah! la cukup mengenal pula watak Kong Bu yang keras dan jujur, tegak seperti baja yang sukar ditekuk, sehingga tak mungkin pula seorang seperti Kong Bu ini membohong dan mengada-ada. Pemecahan satu-satunya menghadapi dua ketidak-mungkinan hanyalah hasut atau fitnah. Agaknya ada fitnah terselip dalam urusan ini. Suara beradunya Pedang dan lengking tinggi dari mulut Kong Bu menyadarkannya. Kun Hong merasa khawatir sekali. Dari gerakan yang terdengar oleh telinganya, tahulah dia bahwa pertandingan itu akan dapat menjadi hebat sekali dan mati-matian karena tingkat mereka berimbang dan pertandingan dilakukan dengan penuh kemarahan oleh kedua pihak. Kalau dia tidak segera turun tangan, tentu seorang di antara mereka akan tewas atau setidaknya akan terluka parah.

   "Kalian berhentilah!"

   Kembali dia menengahi dan karena maklum betapa keduanya tak boleh dipandang ringan, begitu "Masuk"

   Kun Hong menggunakan gerakan yang ampuh. Tongkatnya berputar membentuk lingkaran-lingkaran membikin mati gerakan Kong Bu sedangkan tangan kirinya berhasil mendorong pundak isterinya sehingga nyonya itu terhuyung ke belakang.

   Biarpun hatinya penasaran, namun Hui Kauw yang sudah hafal akan watak suaminya, tahu apa yang dikehendaki suaminya ini, maka ia hanya berdiri mengepal tinju kiri dan melintangkan Pedang di depan dada, tidak mau maju lagi. Akan tetapi Kong Bu tidak mau mundur sama sekali, malah dalam kemarahannya, pertimbangannya menjadi miring dan dia mengira bahwa Pendekar Buta ini takut kalau isterinya kalah maka sekarang maju sendiri. Memang sebetulnyalah, seorang yang sedang ditunggangi dan dipermainkan nafsu amarah, pandang matanya menjadi gelap, pertimbangannya bubrah (rusak) dan yang disangkanya hanya yang buruk-buruk saja. Oleh karena itu, amat tidak baiklah kalau orang dikuasai oleh hawa nafsu amarah, lebih baik lekas-lekas singkirkan musuh besar pribadi ini dari dalam hati.

   "Kun Hong, kau atau aku yang menggeletak tak bernyawa di sini!"

   Seruan ini disusul serangan dahsyat sekali karena dalam kemarahannya dan kemaklumannya bahwa yang dihadapi adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, Kong Bu sudah menerjangnya sambil mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-Sut yang dahulu dia warisi dari mendiang Kakeknya, Song-Bun-Kwi Kwee Lun. Hebat bukan main terjangan Kong Bu ini karena tenaga Yangkang sepenuhnya amat kuat memancar keluar dari gerakannya, maka sebatang pedangnya seakan-akan menjadi sebatang besi merah, panas menyala-nyala!

   "Ahhh, saudaraku Kong Bu yang baik..."

   Hanya sampai di sini ucapan Kun Hong karena Pendekar Buta ini harus cepat-cepat mengelak sambil mainkan langkah-langkah ajaib dari Kim-Tiauw-kun.

   Sehingga dengan mudah dia dapat menyelamatkan diri dari Pedang Kong Bu yang berubah menjadi tangan-tangan maut itu. Kong Bu penasaran bukan main. Setiap kali pedangnya menyambar, seakan-akan tubuh Kun Hong mendahului gerakannya, berubah kedudukannya, tidak berada di tempat semula, ataukah pedangnya yang selalu menyeleweng apabila mendekati tubuh Kun Hong? Tak mungkin dapat melakukan hal itu. Rasa penasaran merupakan bensin yang menyiram api yang membakar dadanya, maka sambil mengeluarkan suara melengking keras jago Min-San ini mendesak makin hebat. Namun, dengan ketenangannya yang luar biasa, Kun Hong dapat mengatasi keadaan, langkah-langkah ajaib yang dia lakukan amat tepat dan teratur sehmgga tak pernah sinar Pedang Kong Bu dapat menyentuhnya.

   "Dengarlah, Kong Bu sadarlah..., anak-anak kita tentu kena fitnah... percayalah, Swan Bu tidak mungkin melakukan kebiadaban itu, mari kita selidiki baik-baik..."

   Akan tetapi tiba-tiba Kong Bu berseru keras. Selagi dia bicara tadi, Kong Bu telah menerjangnya dengan nekat, Pedang di tangan Ketua Min-San-Pai itu melakukan tusukan maut dengan ujungnya digetarkan menjadi tujuh sinar! Biarpun Kun Hong menguasai Kim-thiauw-kun dan dapat menggerakkan tubuh secara ajaib untuk mengelak setiap serangan,

   Namun dia maklum bahwa jurus sakti seperti ini yang menimbulkan getaran hawa Pedang sedemikian dahsyatnya, tak mungkin dielakkan lagi. la tidak suka bermusuhan dengan Kong Bu dan dapat menduga bahwa orang keras hati ini telah makan fitnah dan dia suka mengalah, akan tetapi tentu saja dia tidak mau menerima tusukan Pedang yang tak boleh dipandang ringan. Oleh karena itu, ketika berseru kaget tadi, tongkatnya berkelebat menjadi sinar merah dan sekaligus tongkat itu telah diputar berbentuk payung, menangkis Pedang lawan sedangkan tangan kirinya dengan pengerahan tenaga setengahnya didorongkan ke depan. Kalau saja Kong Bu tidak sedang dikuasai kemarahan yang membuat dia buta dan lengah, kiranya tidak akan mudah bagi Kun Hong untuk mengalahkannya dalam waktu singkat,

   Sungguhpun harus diakui bahwa tingkat kepandaian Kong Bu tidak setinggi Kun Hong. Akan tetapi pada saat itu, Kong Bu sedang marah sekali, begitu marahnya sehingga dia seperti orang nekat, hasrat hatinya hanya ingin menyerang dan merobohkan lawan tanpa mempedulikan penjagaan tubuhnya sendiri. Oleh karena inilah, maka pedangnya terkena "Libatan"

   Tongkat Kun Hong yang lihai, terlibat dan terputar sehingga pedangnya ikut pula terputar. Sebagai seorang gagah, Kong Bu merasa pantang melepaskan pedang, malah dipegang makin erat sehingga tubuhnya yang terpelanting oleh hawa putaran yang amat kuat itu. Pada saat itulah dorongan tangan kiri Kun Hong yang kelihatan lambat itu tiba. Seketika tubuh Kong Bu terjengkang ke belakang dan tubuh itu bergulingan sampai belasan meter jauhnya!

   "Ahhh... maaf, saudara Kong Bu..."

   Kun Hong memburu, akan tetapi tangan kirinya segera dipegang oleh Hui Kauw yang menahannya. Kong Bu melompat bangun dengan nafas terengah-engah, dadanya serasa sesak dan kepalanya pening. la tidak terluka, namun nanar dan maklumlah dia bahwa melanjutkan dengan nekat hanya akan menghadapi kekalahan yang memalukan.

   "Kun Hong, kau lebih pandai daripada aku. Akan tetapi kalau aku tidak dapat membunuh anakmu yang biadab, aku tak akan mau berhenti berusaha. Tidak ada tempat bagi aku dan dia di kolong langit!"

   "Kong Bu, tunggu...!"

   Teriak Kun Hong, akan tetapi jago Min-San-Pai itu sudah melompat pergi dan lari cepat meninggalkan puncak itu.

   "Biarkanlah dia pergi. Orang berhati kaku dan mau menang sendiri itu,"

   Kata Hui Kauw sambil memegang lengan suaminya. Kun Hong menarik nafas panjang.

   "Hui Kauw, kau lekas berbenah, bawa bekal yang kita perlukan di perjalanan. Kita berangkat sekarang juga mencari Swan Bu dan menyelidiki ke Kong-Goan. Ingin sekali aku tahu apa sih yang terjadi di kuil tua di kota Kong-Goan itu?"

   Demikianlah, Suami isteri Pendekar sakti ini berangkat pada malam itu juga meninggalkan puncak Liong-Thouw-San. Dan ini pulalah sebabnya mengapa ketika Yo Wan dan Lee Si tiba di puncak Liong-Thouw-San tempat ini sunyi tidak tampak seorang pun manusia. Swan Bu terhuyung-huyung, baru beberapa puluh langkah pandang matanya gelap, dia berusaha menahan diri akan tetapi kepalanya terlalu pening dan akhirnya dia jatuh terguling dan merasa tubuhnya panas sekali, kepalanya berputaran, maka dia meramkan kedua matanya.

   "Siu Bi... ah, Siu Bi... hemmm, apakah aku sudah gila? Kenapa Siu Bi saja yang teringat dan terbayang?"

   Swan Bu bangkit dan duduk, beberapa kali dia menampar kepalanya sendiri dan Bibirnya berbisik-bisik.

   "Siu Bi... gadis iblis itu, aku harus benci padanya... harus!"

   Akan tetapi rasa panas membakar kepalanya dan dia roboh lagi, kini pingsan. Tak jauh dari tempat itu, Siu Bi berdiri terisak-isak. Dari jauh ia melihat Swan Bu jatuh bangun ini, melihat pemuda itu terhuyung-huyung dan roboh, melihat pemuda itu menggerak-gerakkan Bibir akan tetapi tidak dapat mendengar kata-katanya, melihat pemuda itu memukul kepalanya sendiri lalu terguling, tak bergerak-gerak.

   "Swan Bu...!"

   Siu Bi menjerit kecil, hatinya serasa ditusuk-tusuk dan ia lalu lari menghampiri, menubruk dan berlutut di dekat tubuh yang tak bergerak, air matanya bercucuran membasahi muka Swan Bu yang kini menjadi merah sekali dan panas. Ketika tangan Siu Bi menyentuh leher pemuda itu, gadis ini terkejut dan menarik tangannya.

   "Panas sekali! Ah, kau terserang demam..."

   Sebagai puteri angkat The Sun dan Cucu murid Hek Lojin, dan biasa hidup di puncak gunung yang sunyi sehingga sudah biasa menghadapi penyakit, Siu Bi maklum bahwa demam panas ini adalah akibat dari luka di lengannya.

   Tanpa ragu-ragu lagi Siu Bi lalu memondong tubuh Swan Bu yang pingsan itu, lalu dibawa lari dengan niat mencari tempat peristirahatan yang baik agar ia dapat merawatnya. Entah bagaimana, setelah ia berhasil membuntungi lengan kiri putera Pendekar Buta ini, semua rasa benci lenyap dan timbullah rasa cinta kasih yang memang telah bersemi di dalam hatinya. Siu Bi malah merasa bersalah dan untuk menebus kesalahannya terhadap Swan Bu, ia hendak merawatnya, kalau mungkin, untuk selamanya! Malah ia bersedia menghabiskan permusuhannya dengan orang tua pemuda ini, asal Swan Bu mau memaafkannya dan mau ia "Rawat"

   Selamanya. Mendadak telinganya mendengar suara gerakan dan alangkah kagetnya ketika ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya berdiri seorang gadis cantik jelita yang ia kenal sebagai Cui Sian!

   Hanya satu kali Siu Bi bertemu dengan puteri Raja Pedang ini, yaitu di Ching-Coa-To, akan tetapi pertemuan yang sekali itu cukup baginya untuk mengetahui bahwa puteri Raja Pedang itu amat tinggi kepandaiannya. Di lain pihak, Cui Sian juga tercengang melihat Siu Bi. Tadinya dari belakang ia melihat seorang wanita mempergunakan ilmu lari cepat yang tinggi berlari mendukung seorang pria. la menjadi curiga dan mengejar, menyusul lalu menghadang untuk melihat siapa mereka dan apa yang terjadi. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika ia mengenal Siu Bi, gadis liar yang bersumpah hendak membuntungi lengan Pendekar Buta dan anak isterinya, gadis liar yang menimbulkan cemburunya karena sikapnya terhadap Yo Wan, akan tetapi gadis ini pula yang telah menyelamatkan nyawanya ketika ia dikeroyok di Ching-Coa-To!

   "Kau...?"

   Saking heran dan kagetnya Cui Sian menegur.

   "Hemmm, puteri Raja Pedang. Mau apa kau menghadangku?"

   Balas Siu Bi ketus. Pandang mata Cui Sian menyelidiki laki-laki yang dipondong Siu Bi, terkejut melihat lengan kiri yang buntung sebatas siku, ujungnya dibungkus dan masih terdapat tanda darah dari luka yang baru.

   "Eh, siapa dia??"

   Tanyanya, penuh kecurigaan.

   "Dia siapa peduli apakah engkau? Tidak ada sangkut-pautnya denganmu..."

   "Aahhh...!"

   Cui Sian melangkah maju selangkah, wajahnya pucat dan matanya terbelalak lebar.

   "Dia... dia... Swan Bu...! Bukankah dia Swan Bu...?"

   Sudah kerap kali ia bertemu dengan Swan Bu, akan tetapi yang terakhir kali adalah pada waktu Swan Bu berusia empat lima belas tahun. Kalau sekarang tidak melihat pemuda itu buntung lengan kirinya dan dipondong Siu Bi, agaknya ia akan pangling juga. Karena lengannya buntung, sedangkan Siu Bi pernah menyatakan hendak membuntungi lengan Pendekar Buta sekeluarga dan pemuda yang buntung lengannya ini wajahnya seperti Swan Bu, maka mudah baginya untuk menduga dan hal ini membuat ia kaget dan ngeri. Kebetulan sekali pada saat itu Swan Bu sadar, mengerang dan mengeluh, membuka matanya dan tepat dia memandang Cui Sian. Agaknya dia mengenal pula, karena Bibirnya berbisik perlahan,

   "Bibi Guru..."

   Kini tidak ragu lagilah hati Cui Sian. Memang dahulu Swan Bu disuruh menyebut "Sukouw" (bibi Guru) kepadanya karena Pendekar Buta tetap menganggap Ayahnya sebagai Guru. Dengan suara lantang ia membentak,

   "Dia benar Swan Bu! Siapa membuntungi lengannya?"

   La tidak dapat bertanya kepada Swan Bu karena pemuda itu sudah pingsan lagi. Siu Bi mendongkol sekali. Ia seorang gadis yang berwatak aneh luar biasa. Hatinya yang keras seperti baja mentah itu agaknya hanya dapat cair oleh kehalusan. Menghadapi kekerasan, ia akan menjadi makin keras. Suara Swan Bu menyebut "Bibi Guru"

   Dan perhatian Cui Sian terhadap pemuda itu, mendatangkan kedongkolan hatinya.

   "Kau mau membelanya? Nah, terimalah keponakanmu ini!"

   Teriaknya sambil melempar tubuh Swan Bu ke arah Cui Sian. Gadis Thai-San-Pai ini cepat menerima tubuh itu dan alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan betapa tubuh itu panas sekali. Cepat ia menurunkan tubuh Swan Bu dengan hati-hati ke bawah pohon yang teduh, kemudian memeriksanya. Keadaan Swan Bu tidak berbahaya, kecuali kalau darahnya keracunan oleh luka lengan buntung itu. Maka ia lalu menotok beberapa jalan darah sambil mengerahkan Sinkang dengan tangan kiri yang ia tempelkan di punggungnya. Kemudian ia berdiri, meloncat ke depan Siu Bi yang masih berdiri tegak dengan muka marah.

   "Siu Bi, siapa yang membuntungi lengannya?"

   Siu Bi mengedikkan kepala, membusungkan dada.

   "Aku! Dia anak Pendekar Buta musuh besarku!"

   Biarpun mulutnya hanya berkata demikian, akan tetapi pandang matanya menantang.

   "Kau mau apa?"

   Cui San menenangkan hatinya yang menggelora, lalu bertanya,

   "Kau sudah membuntungi lengannya, mengapa dia kau dukung? Hendak kau bawa kemanakah dia?"

   Tiba-tiba Siu Bi menjadi merah sekali,

   "Dia... dia demam, aku harus merawatnya... eh, kau cerewet amat, mau apa sih?"

   Kemarahan Cui Sian tak dapat ditahannya lagi. Sekali tangannya bergerak ia telah mencabut Liong-Cu-Kiam. Pedang itu berkeredepan saking tajamnya dan diam-diam Siu Bi bergidik. la cukup maklum akan kelihaian puteri Raja Pedang ini dan tahu pula bahwa ia takkan mampu menang melawannya, akan tetapi untuk menjadi takut, nanti dulu! Dengan hati penuh kemarahan ia juga siap bertempur mati-matian.

   "Siu Bi, kau bocah iblis! Aku tahu bahwa pada dasarnya kau bukanlah orang jahat, akan tetapi karena kau hidup di lingkungan iblis-iblis kejam, hatimu menjadi kejam dan ganas. Manusia macam engkau ini perlu diberi hajaran!"

   "Cerewet kau!"

   Bentak Siu Bi dan pedangnya menyambar-nyambar, merupakan sinar hitam, disusul pukulan tangan kirinya yang ampuh, yaitu pukulan Hek-In-Kang. Cui Sian cepat mengelak dari pukulan dan menangkis Pedang lawan, kemudian dengan sama hebatnya ia balas menyerang yang juga dapat ditangkis oleh Siu Bi. Sebentar saja kedua orang dara perkasa ini sudah bertanding dengan seru.

   Siu Bi bertempur dengan nekat, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya sehingga mau tak mau membuat Cui Sian menjadi kewalahan. Kalau puteri Raja Pedang ini menghendaki, dengan jurus-jurus mematikan dari ilmu pedangnya yang hebat, agaknya ia akan dapat merobohkan lawannya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi Cui Sian adalah seorang gadis yang ingat budi. la pernah ditolong oleh Siu Bi ketika terjadi pengeroyokan di Ching-Coa-To, maka tiada niat di hatinya untuk membunuh gadis liar itu. la hanya marah melihat Swan Bu dibuntungi lengannya dan berusaha hendak menangkap gadis ini kemudian menyerahkan keputusan hukumannya kepada Swan Bu sendiri. Inilah yang membuat agak sukar ia menangkan Siu Bi, sama sukarnya dengan menangkap seekor harimau hidup-hidup, tentu lebih mudah membunuhnya.

   Betapapun juga, Ilmu Pedang Im-Yang Sin-Kiam masih tetap merupakan Raja di antara sekalian ilmu pedang, sedangkan Pedang di tangan Cui Sian juga merupakan Pedang pusaka yang amat ampuh karena Liong-Cu-Kiam adalah Pedang kuno yang hebat. Liong-Cu-Kiam ada sepasang maka disebut Liong-Cu-Kiam (Sepasang Pedang Mustika Naga) dan menjadi senjata Suami isteri Ketua Thai-San-Pai yang panjang dipegang Raja Pedang, yang pendek dipegang isterinya. Akan tetapi sekarang yang pendek berada di tangan puteri mereka, Cui Sian. Dengan Pedang ampuh ini di tangan sambil memainkan Ilmu Pedang Im-Yang Sin-Kiam, lewat lima puluh jurus, Siu Bi menjadi pening dan kabur pandang matanya. Apalagi, sebetulnya ia masih belum sembuh benar dari luka di dalam dadanya. Yang membuat ia amat penasaran adalah cara Cui Sian bertempur.

   

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini