Ceritasilat Novel Online

Jaka Lola 18


Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Bagian 18



"Wah, masih galak betina-betina ini! Kalian lihat betapa kami akan membunuh dan menyiksa dua orang musuh besar kami, kemudian datang giliran kalian berdua. Kong Bu sudah mampus, anak Pendekar Buta Cucu Raja Pedang sudah rusak nama dan kehormatannya. Hi...hi...hik, alangkah nikmatnya pembalasanku!"

   Tiba-tiba Hui Kauw berseru keras,

   "Kau yang mencuri Kim-Seng-Kiam!"

   "Hi...hi...hik, dan kau bersama suamimu yang buta itu tidak tahu..."

   Hui Kauw maklum sekarang siapa yang melakukan semua fitnah itu. Dengan teriakan nyaring ia menerjang maju, tidak mempedulikan betapa kesehatannya belum pulih. Teriakannya ini disusul oleh bentakan Cui Sian yang sekaligus juga dapat menduga apa yang sesungguhnya terjadi. Kiranya semua kejadian itu diatur oleh musuh-musuh yang bekerja secara curang untuk membalas dendam kepada Ayahnya dan kepada Pendekar Buta. Karena itu, saking marahnya, ia melupakan pundaknya yang terlepas sambungan tulangnya dan menyerang dengan Pedang di tangan kiri.

   "Ho... ho... ho, galaknya!"

   Pendeta Maharsi menggerakkan tangannya yang panjang dan... Hui Kauw yang lemah karena terluka itu berseru kaget, tahu-tahu pedangnya dapat dirampas dan ia roboh terguling. Kiranya Kakek ini telah memperlihatkan kepandaiannya membantu Sumoinya menggunakan Pai-San-Jiu, sekaligus merampas Pedang dan merobohkan Hui Kauw.

   Andaikata Hui Kauw tidak sedang terluka dan gelisah memikirkan suaminya, kiranya Pendeta Barat itu tidak akan begitu mudah mengalahkannya, sungguhpun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi. Adapun Cui Sian yang menyerang dengan Pedang di tangan kiri, dihadapi oleh Ang-Hwa Nio-Nio yang sudah menghunus Hui-Seng-Kiam. Ilmu Pedang Cui Sian sudah amat tinggi tingkatnya, maka biarpun lengan kanannya tak dapat dipergunakan, dengan tangan kiri dan Pedang Liong-Cu-Kiam di tangan ia masih merupakan lawan yang berat. Namun keadaan tubuhnya yang terluka itu tentu saja amat mengganggu gerakannya dan sebentar saja sinar Pedang di tangan Ang-Hwa Nio-Nio sudah mengurungnya. Dengan sekuat tenaga Cui Sian mempertahankan diri. Tiba-tiba terdengar suara,

   "Kok-kok-kok!"

   Dan Cui Sian terlempar ke belakang sambil mengeluh dan pedangnya terlepas dari tangan. la roboh dan pingsan, terkena pukulan Katak Sakti yang dilontarkan Bo Wi Sianjin yang membantu Ang-Hwa Nio-Nio. Kini Ang-Hwa Nio-Nio dengan sikap beringas seperti harimau betina kelaparan, menghampiri Pendekar Buta dari belakang, dengan Pedang di tangan. Di lain pihak, Bo Wi Sianjin yang hendak membalas dendam atas kematian Suhengnya, Ka Chong Hoatsu, menghampiri Raja Pedang. Keduanya melihat kesempatan yang baik sekali, selagi dua orang musuh besar itu saling libat dengan tenaga Sinkang yang sukar dilepas begitu saja, untuk melakukan balas dendam mereka.

   "Tan Beng San, mungkin kau tidak mengenalku. Aku adalah Bo Wi Sianjin dari Mongol, sengaja datang mencarimu untuk membalaskan kematian Suheng Ka Chong Hoatsu."

   "Tunggu dulu, Sianjin,"

   Kata Ang-Hwa Nio-Nio sambil tertawa mengejek.

   "Kita harus bergerak berbareng, biarkan aku bicara dulu kepada musuhku, si buta sombong ini. Heh, Kwa Kun Hong, kau tentu masih ingat akan Ang Hwa Sam Ci-moi, bukan? Nah, aku Kui Ciauw. Saat engkau menyusul arwah kedua orang saudaraku telah tiba"

   Setelah berkata demikian, Ang-Hwa Nio-Nio memberi isyarat kepada Bo Wi Sianjin untuk turun tangan.

   "Curang!"

   Hui Kauw memaksa diri meloncat dan menerjang Ang-Hwa Nio-Nio dengan pukulannya. Akan tetapi tenaganya telah lemah dan bekas pukulan Pai-San-Jiu dari Maharsi tadi masih setengah melumpuhkan kaki tangannya, maka serangannya ini tidak ada artinya bagi Ang-hwa Nio-io. Dengan mengibas-kan tangan kirinya, Ang-Hwa Nio-Nio berhasil menangkis dan sekaligus menampar,

   Tepat mengenai leher Hui Kauw sehingga nyonya ini terjungkal dan pingsan, tak jauh dari Cui Sian yang masih tak sadarkan diri. Kembali Ang-Hwa Nio-Nio memberi isyarat. Betapapun juga, agaknya ia mempunyai rasa malu untuk menyerang Kun Hong dari belakang dengan pedangnya, tahu bahwa Pendekar Buta sedang dalam keadaan tidak berdaya sama sekali. Apalagi Bo Wi Sianjin yang menyerang Raja Pedang juga bertangan kosong, maka ia menyimpan pedangnya dan mengerahkan tenaga memukul ke arah jalan darah pusat di punggung Kun Hong. Juga Bo Wi Sianjin mengerahkan tenaga memukul tai-hui-hiat Raja Pedang. Pada saat kedua orang ini melakukan serangan curang dari belakang, terdengar Bhok Hwesio tertawa mengejek, bukan seperti orang tertawa biasa melainkan seperti suara seekor kerbau mendengus.

   "Desssss...!!"

   Pukulan yang disertai saluran tenaga Lweekang tinggi itu mengenai sasaran. Terdengar jerit mengerikan dari mulut Ang-Hwa Nio-Nio dan pekik nyaring dari mulut Bo Wi Sianjin. Kedua orang ini tadi tepat memukul punggung kedua orang sakti yang sedang bertanding itu, akan tetapi akibatnya malah tubuh mereka terlempar ke atas dan ke belakang, kemudian terbanting roboh dalam keadaan tidak bernyawa lagi, dari mulut, hidung dan telinga mereka keluar darah merah!

   Kun Hong dan Tan Beng San juga terguling-guling ke belakang dan ketika mereka berhasil bangkit berdiri, muka mereka pucat sekali dan nafas mereka terengah-engah, menggigit Bibir menahan rasa nyeri. Mereka tadi telah tertolong dengan adanya penyerangan dari belakang. Semenjak orang-orang itu muncul dan mendengarkan ucapan-ucapan mereka, Raja Pedang menjadi kaget dan menyesal bukan main, juga marah luar biasa. Demikianpun Kun Hong. Akan tetapi mereka tidak mungkin dapat saling membebaskan diri dari libatan-libatan tenaga Sinkang mereka yang sudah saling betot dan saling gempur itu. Kalau secara mendadak mereka merenggut lepas tenaga mereka tentu mereka akan mengalami luka hebat yang berakibat maut. Keduanya mengikuti gerak-gerik Bo Wi Sianjin dan Ang-Hwa Nio-Nio.

   Betapapun hancur hati mereka mendapat kenyataan betapa Hui Kauw dan Cui Sian jatuh bangun, mereka tidak mampu membantu. Akhirnya mereka mempunyai harapan yang sama, yaitu diserang lawan dari belakang. Baiknya kedua orang lawan itu menyerang dengan tangan kosong. Inilah kesempatan mereka. Begitu merasa datangnya pukulan di punggung, baik Kun Hong maupun Raja Pedang masing-masing menerima tenaga dorongan lawan dan menggunakan tenaga ini untuk menyalurkan ke belakang lewat punggung sekaligus tenaga itu mereka dapat saling gunakan untuk menghantam pukulan lawan dari belakang. Dengan adanya gangguan tenaga luar ini, mereka dapat saling membebaskan diri karena tenaga serangan masing-masing telah disalurkan oleh lawan dan mendapatkan sasaran berupa penyerang-penyerang itu.

   Kesaktian macam ini tak dapat dilakukan oleh sembarang orang, dan biarpun Pendekar Buta dan Raja Pedang sendiri, sungguhpun berhasil merobohkan Ang-Hwa Nio-Nio dan Bo Wi Sianjin yang sakti sampai tewas dengan pukulan mereka sendiri, namun keduanya tidak luput dari luka dalam yang hebat! Baik Ang-Hwa Nio-Nio maupun Bo Wi Sianjin, sama sekali tidak menyangka akan hal ini, bahkan Maharsi sendiri pun tidak mengerti. Hanya Bhok Hwesio tokoh Siauw-Lim-Pai yang lihai itu tahu akan hal ini dan sudah menduganya, maka tadi dia mendengus mengejek kepada dua orang penyerang gelap itu. Pada saat itu, dua puluh orang lebih para pengikut Ang-Hwa Nio-Nio, marah bukan main melihat pemimpin mereka tewas. Dengan senjata Pedang dan golok, mereka menerjang maju. Melihat Pendekar Buta dan Raja Pedang sudah terluka hebat, mereka menjadi besar hati dan menyerang kalang-kabut.

   Akan tetapi, biarpun gerakan-gerakannya sudah amat lambat dan tenaga mereka sudah terbuang setengahnya lebih, namun menghadapi segala orang kasar ini tentu saja kedua Pendekar sakti itu masih jauh lebih kuat. Setiap kali mereka berdua menggerakkan kaki atau tangan, tentu ada pengeroyok yang roboh dengan dada pecah atau kepala remuk. Dalam kemarahan mereka, Pendekar Buta dan Raja Pedang mengamuk hebat, tidak memberi ampun lagi kepada lawan-lawan mereka. Hal ini adalah tidak sewajarnya karena biasanya kedua orang Pendekar sakti itu amat murah hati dan tidak mau sembarangan membunuh lawan. Soalnya adalah karena mereka menyangka bahwa isteri dan anak mereka telah tewas terbunuh musuh, maka kedukaan dan kemarahan yang bercampur aduk dengan penyesalan besar serta sakit hati membuat mereka menjadi ganas.

   "Lo-Suhu, kau tadi sudah tahu bahwa dua teman kita akan celaka. Kenapa kau hanya mendengus, tidak mencegah mereka?"

   Sementara itu Maharsi bertanya penasaran kepada Bhok Hwesio, tidak mempedulikan anak buah Ang-Hwa Nio-Nio yang bagaikan sekelompok laron menyerbu api itu.

   "Hemmm, mereka tolol, juga curang. Sudah sepantasnya mampus,"

   Jawab Bhok Hwesio. la seorang tokoh besar dari Siauw-Lim-Pai, biarpun dia tersesat dalam kejahatan, namun dia tetap seorang Hwesio yang memiliki tingkat kepandaian tinggi dan amat percaya akan kepandaian sendiri. Oleh karena itu Bhok Hwesio memandang rendah orang-orang yang berwatak curang. Semenjak Ang-Hwa Nio-Nio menggunakan siasat mengadu domba keluarga Raja Pedang dan keluarga Pendekar Buta, dia sudah memandang rendah Ang-Hwa Nio-Nio, akan tetapi seperti biasa, karena bukan urusannya, Bhok Hwesio tidak peduli.

   Maharsi mendongkol bukan main. Akan tetapi karena dia tahu bahwa menghadapi Hwesio tinggi besar yang selalu meram ini dia tidak akan dapat berbuat apa-apa untuk melampiaskan kegemasan hatinya, dia hanya merengut saja dan memandang ke arah dua orang musuhnya. Diam-diam dia kaget dan juga kagum. Jelas bahwa dua orang itu sudah terluka hebat, malah besar kemungkinan takkan dapat hidup lagi. Akan tetapi bagaikan orang mencabuti rumput mudahnya, dua puluh tiga orang pengeroyoknya itu roboh malang-melintang bertumpang-tindih dan mati semua. Sebentar saja tidak ada seorang pun pengeroyok lagi yang masih hidup! Raja Pedang melompat ke arah puterinya dan Pendekar Buta menghampiri isterinya, tangannya meraba-raba, mencari-cari. Akhirnya dia menemukan tubuh isterinya dan cepat-cepat melakukan pemeriksaan seperti yang dilakukan Raja Pedang terhadap puterinya.

   "Syukur kau selamat, Hui Kauw..."

   Terdengar suara Kun Hong terharu, kemudian ia menoleh ke arah Raja Pedang.

   "Bagaimana keadaan Cui Sian, Locian-pwe?"

   "Dia pun selamat, hanya terluka dan pingsan. Kun Hong, kita menghadapi dua orang lawan yang amat tangguh... entah bagaimana aku akan dapat melawan mereka... aku terluka hebat..."

   Raja Pedang tersedak dan cepat dia duduk bersila untuk mengatur nafas dan berusaha mengembalikan tenaganya. Namun dengan kaget dia mendapat kenyataan bahwa tenaganya lenyap setengahnya lebih dan dadanya terasa sakit. Terang bahwa tak mungkin dia dapat bertempur menghadapi lawan berat. Sedangkan dia tahu betul betapa saktinya Bhok Hwesio. Dalam keadaan sehat saja belum tentu dia mampu menandingi Hwesio itu, apalagi dalam keadaan terluka hebat seperti ini.

   "Saya... saya pun terluka... Lo-Cianpwe..."

   Kun Hong juga merasa dadanya sakit sekali, akan tetapi dia segera menghampiri Raja Pedang, lalu menempelkan tangannya pada punggung orang tua itu untuk memeriksa. Kagetlah hatinya mendapat kenyataan bahwa Raja Pedang benar-benar terluka hebat. Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu mengerahkan sisa tenaga Sinkangnya untuk disalurkan melalui punggung dan membantu Si Raja Pedang. Hawa hangat menjalar dari tangan Kun Hong dan rasa panas memenuhi dada Raja Pedang. Rasa sakit sekitar jantungnya mendingan dan dia lalu menolak tangan Kun Hong dengan halus.

   "Cukup, Kun Hong. Terima kasih... kau sendiri lemah, jangan mengerahkan tenaga lagi. Kun Hong, kau... kau maafkan aku... benar-benar aku telah terburu nafsu seperti katamu..."

   "Sudahlah, Lo-Cianpwe. Yang perlu sekarang bagaimana kita harus menghadapi mereka."

   Raja Pedang lalu melompat bangun, memaksa diri bersifat gagah ketika dia melempar-lempar mayat para pengeroyok yang menghalang di depan kakinya. Dengan langkah tegap dia menghampiri Bhok Hwesio dan Maharsi, lalu berdiri tegak dan bertanya dengan suara berwibawa.

   "Bhok Hwesio, setelah segala kecurangan digunakan oleh pihakmu, sekarang kau mau apa lagi?"

   Di dalam ucapan yang sederhana ini terkandung nada menantang dan mengejek. Mendengar suara menantang dan sikap yang gagah ini sejenak Bhok Hwesio tercengang dan dia membuka matanya untuk menatap penuh perhatian, mengira bahwa Raja Pedang itu telah dapat memulihkan tenaganya maka dapat bersikap segagah itu. Akan tetapi pandang matanya segera mendapat kenyataan bahwa orang di depannya ini masih terluka hebat dan tenaganya tinggal sedikit lagi. la menghela nafas dan diam-diam merasa kagum sekali.

   "Tan Beng San, segala urusan kotor yang dilakukan Ang-Hwa Nio-Nio tiada sangkut-pautnya dengan Pinceng (aku). Pinceng mencarimu untuk membereskan perhitungan lama."

   "Bhok Hwesio, dua puluh tahun yang lalu kau tersesat kemudian datang Thian Ki Lo-Suhu yang menjadi Suhengmu dan membawamu kembali ke Siauw-Lim-Pai. Apakah selama dua puluh tahun ini kau belum juga dapat mengubah kesesatanmu?"

   "Tan Beng San, kau sungguh bermulut besar. Karena kau, Pinceng menderita puluhan tahun. Tapi sekarang kau telah terluka, sayang sekali. Tidak enak melawan orang sudah terluka parah, akan tetapi tidak bisa Pinceng melepaskanmu begitu saja. Raja Pedang, hayo kau lekas berlutut dan minta ampun sambil mengangguk tiga kali di depanku, baru Pinceng mau melepaskanmu dan memberi waktu kepadamu untuk menyembuhkan lukamu, setelah itu baru kita bertanding melunasi perhitungan lama."

   Tidak ada penghinaan bagi seorang Pendekar silat yang lebih hebat daripada menyuruhnya mengaku kalah dan berlutut minta ampun! Kalah menang dalam pertandingan bagi seorang Pendekar adalah lumrah. Raja Pedang sendiri tentu takkan merasa penasaran kalau memang dia kalah dalam pertandingan melawan musuh yang lebih pandai. Akan tetapi mengaku kalah sebelum bertanding, apalagi berlutut minta ampun? Lebih baik mati! Perasaan marah yang mendatang karena mendengar penghinaan ini menyesakkan dada Tan Beng San yang terluka, membuatnya sukar bernafas. Oleh karena itu, dia tidak menjawab ucapan Bhok Hwesio, melainkan membalikkan tubuhnya membelakangi Hwesio tua itu dan duduk bersila, meramkan mata.

   "Tan Beng San, kau berjuluk Raja Pedang, Ketua Thai-San-Pai. Mana kegagahanmu? Hayo kau lawan aku! Kalau tidak berani, lekas berlutut minta ampun!"

   Bentak Bhok Hwesio pula. Namun Raja Pedang tidak menjawab, tetap meramkan mata dan duduk bersila tak bergerak seperti patung. la maklum bahwa nyawanya berada di dalam genggaman musuh, kalau musuh menghendaki, dia dan Kun Hong pasti akan tewas karena untuk melawan mereka tidak mampu lagi.

   "Bhok-Lo-Suhu, kenapa tidak pukul pecah saja kepalanya? Manusia-manusia sombong ini harus dihajar, baru kapok. He, manusia buta, hayo kau lawan aku, Maharsi yang tak terkalahkan. Kau sudah membunuh tiga orang Sam-ci-moi yang menjadi adik-adik seperguruanku, juga sahabatku Bo Wi Sanjin telah tewas. Untuk menebus kematian mereka, kau harus mati empat kali."

   Maharsi menghampiri Kun Hong yang juga duduk bersila sambil memusatkan perhatiannya untuk mengobati luka dalam yang amat berat.

   Seperti juga Raja Pedang, dia maklum bahwa melawan akan sia-sia belaka karena lukanya hebat. Lebih baik berusaha untuk memulihkan tenaga saktinya dari pada melawan dan kalah. Melawan berarti kalah dan mati. Kalau tidak melawan ada dua kemungkinan, pertama, mungkin lawan akan membunuhnya pula, akan tetapi kalau terjadi hal demikian, berarti lawan melakukan kecurangan besar yang akan merupakan hal yang mencemarkan nama sendiri. Kemungkinan kedua, lawan akan cukup memiliki kegagahan sehingga segan menyerang orang yang terluka dan sedang berSamadhi mengobati lukanya sehingga dia akan terbebas dari kematian dan kekalahan. Akan tetapi dia juga yakin bahwa hal kedua ini sukar akan dia dapatkan dari lawan yang jahat, maka keselamatan nyawanya berada di dalam genggaman lawan dan dia menyerahkan nasib kepada Tuhan.

   "Maharsi,"

   Kata Pendekar Buta perlahan.

   "Aku tidak kenal padamu dan tidak tahu kau manusia macam apa. Akan tetapi aku tahu bahwa hanya seorang rendah budi, seorang pengecut yang curang, seorang yang sama sekali tidak ada harganya saja yang menantang lawan yang berada dalam keadaan terluka parah. Mungkin engkau termasuk orang rendah macam itu, atau mungkin juga tidak, aku tidak tahu."

   "Keparat! Kau sudah membunuh adik-adikku, sekarang mengharapkan ampun dariku? Tidak mungkin! kau lah yang rendah dan hina, Adik-adikku yang lemah kau bunuh, sekarang menghadapi aku karena kau merasa tidak akan menang, kau beraksi luka parah!"

   Setelah berkata demikian, Maharsi menendang. Tubuh Kun Hong terguling-guling sampai tiga meter lebih, akan tetapi tetap dalam keadaan bersila, dan setelah berhenti terguling-guling dia juga tetap duduk bersila. Hal ini saja membuktikan bahwa biarpun keadaannya terluka parah, Pendekar Buta itu benar-benar amat lihai. Diam-diam Maharsi terkejut juga. Dengan langkah lebar dia menghampiri, kedua lengannya digerak-gerakkan karena dia mengerahkan Sinkang untuk menghantam dengan Pai-San-Jiu, llmu pukulannya yang dia andalkan.

   "Kau ingin mampus? kau kira aku, Maharsi tidak mampu sekali pukul menghancurkan kepalamu? Batu dan pohon remuk oleh pukulanku ini, tahu?"

   La tiba-tiba menghantamkan kepalan tangan kanannya ke arah sebatang pohon di sebelahnya dan terdengar suara keras, batang pohon itu remuk dan tumbanglah pohon itu. Maharsi tertawa bergelak.

   "Kau melihat Itu? Eh... matamu buta, kau tidak pandai melihat. Kau tentu mendengar itu, bukan? Nah, apakah kepalamu lebih keras daripada batang pohon?"

   Kun Hong tersenyum dan berkata, nadanya mengejek,

   "Kasihan sekali kau, Maharsi. Menilik suaramu, kau seorang tua bangka yang kembali seperti kanak-kanak. Dengan ilmu pukulanmu itu, kau seperti kanak-kanak mendapat permainan baru dan menyombong-nyombongkannya, padahal kelak kau akan menyadari bahwa ilmu itu tiada gunanya sama sekali, seperti kanak-kanak bosan pada permainan yang sudah butut. Menumbangkan pohon, apa sukarnya? Segala sifat merusak mudah dilakukan, anak kecil pun bisa. Apa anehnya?"

   Maharsi marah sekali dan kakinya mencak-mencak.

   "Setan, kau akan kubunuh sedikit demi sedikit, jangan kira kau akan dapat memanaskan hatiku sehingga aku akan membunuhmu begitu saja! Kau memanaskan hati agar aku membunuhmu seketika sehingga kau tidak menderita? Ho... ho... ho, aku tidak sebodoh itu. Kau akan kusiksa, kubunuh sekerat demi sekerat untuk membalaskan sakit hati adik-adikku!"

   Pendeta Barat itu kini melangkah maju, tangannya yang berlengan panjang diulur ke depan, siap mencengkeram tubuh Kun Hong dan menyiksanya. Pendekar Buta hanya tersenyum dan bersila, sikapnya tenang. Kebetulan sekali Cui Sian sadar lebih dulu dari pingsannya. Gadis ini berada dekat dengan Maharsi yang melangkah maju. Melihat sikap yang mengancam dari Pendeta itu terhadap Kun Hong yang tidak mampu melawan, Cui Sian marah sekali. la juga sudah terluka, namun tidak sehebat Kun Hong lukanya. Sambungan tulang pundak kanan terlepas dan dadanya agak Sesak akibat pukulan Katak Sakti yang dilontarkan Bo Wi Sianjin kepadanya. Melihat Kun Hong terancam maut, dan mengingat bahwa ia dan Ayahnya telah menuduh secara keliru sehingga terjadi malapetaka ini,

   Cui Sian melompat dengan nekat dan menyerang Maharsi untuk menolong Kun Hong. Biarpun keadaannya terluka, namun serangan Cui Sian yang nekat ini cukup hebat. la menggunakan jurus Sian-Ii-siu-goat (Dewi Sambut Bulan), tentu saja ia hanya dapat memukul dengan tangan kiri, maka ia sengaja menggunakan pukulan yang mengandung tenaga lemas untuk menyesuaikan keadaannya yang terluka. Namun pukulan yang halus ini merupakan jangKau an tangan maut karena yang diserang adalah bagian yang mematikan di ulu hati. Biarpun penyerangnya hanya seorang gadis jelita yang sudah terluka parah, namun kalau Maharsi berani menerimanya tanpa mengelak maupun menangkis, jurus puteri Raja Pedang ini masih cukup kuat untuk menamatkan riwayat Maharsi!

   Tentu saja sebagai seorang berilmu tinggi, Maharsi dapat membedakan mana serangan ampuh dan mana yang bukan. la tahu bahwa selama itu, gadis puteri Ketua Thai-San-Pai ini masih amat berbahaya dan serangannya tak boleh dipandang ringan. la mengeluarkan suara ketawa mengejek, kedua lengannya yang panjang itu menyambut, menangkap lengan Cui Sian dan dengan sentakan kuat dia melemparkan tubuh Cui Sian ke arah Ayahnya! Karena nadi pergelangan tangannya sudah dipencet, Cui Sian kehabisan tenaga dan ia tentu akan terbanting pada tubuh Ayahnya yang duduk bersila kalau saja orang tua sakti itu tidak mengulur tangan dan menyambutnya. Biarpun Tan Beng San sudah terluka hebat dan parah, namun menyambut tubuh puterinya ini masih merupakan hal yang mudah baginya. Cui Sian memeluk Ayahnya dan menangis,

   "Ayah... kita harus tolong Suheng..."

   Beng San menggeleng kepala.

   "Keadaanku tidak mengijinkan untuk menolong orang lain maupun menolong sendiri, Sian-ji. Kun Hong hebat sekali tadi sehingga luka di tubuhku amat parah. Biarlah, mari kita menonton orang-orang gagah perkasa tewas di tangan orang-orang pengecut rendah dan hina!"

   Ucapan ini keluar dengan suara nyaring dari mulutnya sehingga Bhok Hwesio menjadi merah sekali mukanya.

   "Ketua Thai-San-Pai, aku bukan pengecut yang suka membunuh lawan yang terluka. Akan tetapi untuk menebus dosamu dan untuk mencegah perjalananku tidak sia-sia, kau harus berlutut minta ampun kepada Pinceng. Baru Pinceng mau melepaskanmu untuk bertanding di lain hari,"

   Katanya marah.

   "Hwesio sesat, kau mau bunuh boleh bunuh, apa artinya mati? Yang harus dikasihani adalah kau yang pada lahirnya merupakan seorang Hwesio, namun di sebelah dalam kau bergelimang dengan kesesatan!"

   "Pinceng takkan membunuhmu, kalau kau tidak mau berlutut minta ampun, Pinceng hanya akan mencabut kesaktianmu agar selanjutnya Pinceng dapat hidup tenteram, tidak memikirkan soal balas dendam lagi,"

   Jawab Bhok Hwesio, nada suaranya seperti orang kesal. Diam-diam Beng San dan puterinya kaget bukan main. Mereka maklum apa artinya mencabut kesaktian. Berarti bahwa Kakek gundul itu hendak melumpuhkan kaki dan tangannya sehingga Raja Pedang takkan mungkin melakukan gerakan silat lagi. Dan perbuatan seperti itu lebih menyiksa daripada membunuh. Lebih ringan dibunuh daripada dijadikan seorang tapa daksa yang hidupnya tiada gunanya lagi.

   "Ha... ha... ha. Lo-Suhu benar sekali! Mengapa aku tidak berpikir sampai di situ?"

   Maharsi tertawa bergelak mendengar ini.

   "Alangkah akan menyenangkan begitu, melihat musuh besar menjadi seorang yang hidup tidak mati pun tidak. Orang buta, aku juga tidak akan membunuhmu, aku akan membikin kau dan isterimu menjadi orang-orang tiada guna, ho... ho... ha... ha... ha!"

   Sambil berkata demikian, Maharsi melangkah maju mendekati Hui Kauw yang masih setengah pingsan. Sekali meraih dia telah menyambar tubuh nyonya itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya.

   "Ho... ho... ho, Pendekar Buta, kau dengar baik-baik betapa aku akan membuat isterimu seorang tapadaksa selama hidupnya dan kau boleh menyesalkan perbuatanmu membunuh adik-adik seperguruanku!"

   Muka Kun Hong pucat sekali. Telinganya dapat mengikuti setiap gerakan Maharsi dan tahulah dia bahwa keadaan isterinya takkan dapat ditolong lagi. Suaranya terdengar dalam dan menyeramkan ketika dia berkata,

   "Maharsi, kau benar-benar gagah perkasa, menghina seorang wanita yang tak berdaya lagi. Kalau memang kau laki-laki gagah, jangan ganggu wanita dan kau boleh berbuat sesuka hatimu terhadap aku!"

   "Ha... ha... ho... ho... ho... ngeri hatimu, Pendekar Buta? Ada banyak cara membikin orang kehilangan kepandaiannya, di antaranya memutuskan otot-otot dan menghancurkan tulang-tulang. Isterimu cantik, biar sudah setengah tua masih cantik dan kau tidak bermata, tiada bedanya bukan? Biar kupatahkan tulang-tulangnya, tulang kaki tangan dan punggung. Ha... ha... ha... tentu menjadi bengkok-bengkok kaki tangannya, dan punggungnya menjadi bongkok! Pendekar Buta, kau dapat mendengarkan patahnya tulang-tulang tubuh isterimu...!"

   Kun Hong diam saja, hanya berdoa semoga isterinya tewas saja dalam penghinaan itu. Mati adalah jauh lebih ringan. la sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Keadaan sudah amat kritis dan agaknya tidak ada yang dapat menolong isteri Pendekar Buta dari malapetaka yang hebat itu. Tiba-tiba terdengar suara orang berkata-kata. Akan tetapi tak ada yang mengerti artinya, karena suara itu berkata-kata dalam bahasa asing. Kecuali Maharsi yang agaknya mengerti artinya, karena tiba-tiba dia menurunkan tubuh Hui Kauw, tidak jadi menggerakkan tangan memukul. Matanya terbelalak menoleh ke arah suara. Betapa dia tidak akan kaget sekali mendengar kata-kata dalam bahasa Nepal, dan kata-kata itu justru merupakan sumpah di depan Gurunya dahulu yang berbunyi,

   "Tidak akan mernpergunakan kepandaian untuk melakukan kejahatan."

   Alangkah herannya ketika dia melihat di situ muncul seorang pemuda berpakaian putih sederhana, yang memandangnya dengan sepasang mata penuh wibawa.

   "Siapa kau? Apa yang kau katakan tadi?"

   Ia membentak, tubuh Hui Kauw masih di tangan kiri, dicengkeram baju di punggungnya.

   "Maharsi, setelah Gurumu tidak ada lagi, kau hidup tersesat. Guruku yang mulia, Pendeta Bhewakala telah dua kali memberi ampun kepadamu, mengingat kau masih murid sutenya. Akan tetapi tidak ada kejahatan yang bisa diampuni sampai tiga kali. Kalau kau melanjutkan perbuatanmu yang biadab, menggunakan kepandaian untuk menghina Wanita yang tak berdaya, aku akan mewakili Guruku memberi hukuman kepadamu!"

   Pemuda itu bukan lain adalah Yo Wan. la belum pernah berjumpa dengan Maharsi, akan tetapi melihat Pendeta jangkung ini dia segera teringat akan cerita mendiang Gurunya di Himalaya, tentang Pendeta Nepal yang murtad dan sesat, yaitu Maharsi yang masih terhitung murid keponakan Gurunya itu.

   la tiba di situ bersama Lee Si dan gadis ini serta merta lari dan memeluk Cui Sian sambil bertanya apa gerangan yang terjadi. Ketika ia melihat jenazah Ayahnya menggeletak dalam lubang kuburan, Lee Si menjerit, menubruk dan roboh terguling, pingsan. Cui Sian segera memeluk dan memondongnya ke dekat Ayahnya, menjauhi jenazah. Adapun Yo Wan ketika melihat Subonya (ibu Guru) berada dalam cengkeraman Maharsi dan terancam malapetaka hebat, segera dia menggunakan kata-kata dalam bahasa Nepal untuk mengalihkan perhatian Maharsi dan kini menyerangnya dengan kata-kata. Sementara itu, Maharsi yang tadinya terkejut, kini tertawa mengejek, akan tetapi dia melepaskan tubuh Hui Kauw dan melempar nyonya itu ke arah Pendekar Buta.

   "Huh, boleh kutunda sebentar permainan dengan Pendekar Buta. Kau ini bocah lancang sombong. Apakah kau yang pernah kudengar diambil murid oleh Supek (uwa Guru) Bhewakala, seorang bocah yatim piatu dari Timur?"

   "Benar, Maharsi. Aku Yo Wan murid Bhewakala."

   "Dengan maksud apa engkau mencegah perbuatanku? Apakah kau hendak membela Pendekar Buta dan Raja Pedang?"

   "Aku hanya akan membela yang benar. Aku mencegah perbuatanmu karena tidak ingin melihat kau melakukan perbuatan sesat, mengingat bahwa kau masih ada hubungan perguruan dengan aku."

   "Ho...ho...Ha... ha... ha, bocah masih ingusan berani memberi petunjuk kepadaku? Yo Wan, kau sombong seperti supek! Aku... benar dua kali aku mengalah terhadapnya, mengingat dia seorang tua. Akan tetapi terhadap kau aku tidak sudi mengalah. Hayo pergi sebelum timbul marahku dan menghajarmu!"

   "Maharsi, kalau kau lanjutkan kesesatanmu, terpaksa aku yang akan memberi hukuman kepadamu, mewakili mendiang Guruku."

   Keduanya sudah saling menghampiri, keadaan menjadi tegang. Pendekar Buta, Hui Kauw yang sudah sadar, Raja Pedang, Cui Sian, dan Lee Si merasa betapa jantung mereka berdebar penuh ketegangan. Yo Wan merupakan pemuda harapan mereka, satu-satunya orang yang dapat diharapkan menolong mereka keluar dari jurang malapetaka yang mengancam hebat. Akan tetapi diam-diam mereka sangsi, dapatkah pemuda itu melawan Maharsi yang amat lihai? Dan di situ masih ada lagi Bhok Hwesio yang berdiri seperti patung, atau agaknya seperti sudah pulas sambil berdiri karena kedua matanya meram. Hanya Cui Sian seorang yang penuh percaya akan kesaktian Yo Wan. Diam-diam gadis ini merasa terharu. Satu-satunya pria yang ia kagumi, yang ia harapkan, yang menimbulkan debar aneh di jantungnya, kini muncul di saat yang amat berbahaya untuk menolong dia sekeluarga. la menjadi girang sekali sungguhpun kegirangan itu bercampur dengan rasa khawatir juga.

   "Ha... ha... ha, Yo Wan. Kalau sekarang Gurumu masih hidup, ingin aku mencobanya dengan ilmuku yang baru. Akan tetapi karena dia sudah mampus, kau lah penggantinya. Ha... ha... ha, kalau dulu aku sudah memiliki ilmu ini, kiranya dia tidak akan mampu menundukkan aku. Kau terimalah ini!"

   Tubuh yang miring-miring itu tiba-tiba bergerak dan tangannya yang panjang mengirim pukulan Pai-San-Jiu beruntun sampai tiga kali. Hebat bukan main pukulan ini. Angin pukulannya berdesir menimbulkan suara bersiutan. Memang kali ini Maharsi mengerahkan tenaganya untuk pamer,

   Juga dalam kegemasannya untuk segera merobohkan murid supeknya yang mengganggu ini, sekaligus membalas sakit hatinya karena dahulu sampai dua kali dia dirobohkan dan ditekan oleh Bhewakala ketika dia mengganggu seorang gadis dusun, dan kedua kalinya ketika dia berusaha merampas sebuah kuil untuk tempat dia bertapa dari tangan pertapa lain. Melihat hebatnya pukulan dengan tubuh miring ini, Yo Wan tidak berani memandang ringan. la cukup maklum betapa ilmu pukulan dari Nepal disertai tenaga mujijat dari latihan kekuatan batin. Akan tetapi, tanpa menahan pukulan dengan tangkisannya, dia juga tidak akan dapat mengukur sampai di mana kehebatan tenaga pukulan lawan itu. Oleh karena inilah, maka setelah menggunakan langkah ajaib dari Si-Cap-It Sin-Po untuk menghindarkan dua pukulan, dia lalu mengangkat tangan menangkis pukulan ketiga.

   "Desssss""

   Dua telapak tangan bertemu dan Maharsi melanjutkan dengan cengkeraman, akan tetapi bagaikan belut licinnya, telapak tangan pemuda itu sudah lepas pula, karena Yo Wan cepat menariknya ketika tubuhnya terpental dan terhuyung-huyung ke belakang.

   "Heh...heh...heh, mana kau mampu menahan pukulanku, bocah?"

   Maharsi mengejek dan seperti seekor kepiting, tubuhnya yang miring itu merayap maju untuk menerjang lagi. Karena yakin bahwa pemuda itu tidak akan mampu menahan serangan-serangannya, Maharsi lalu melancarkan serangan beruntun dengan ilmu pukulan Pai-San-Jiu yang amat lihai. Yo Wan tetap menghindarkan pukulan-pukulan itu dengan Si-Cap-It Sin-Po, sehingga tampaknya dia selalu terhuyung-huyung dan terdesak hebat, sungguhpun tak pernah ada pukulan yang menyentuh tubuhnya.

   "Hebat pemuda itu..."

   Raja Pedang Tan Beng San memuji perlahan.

   "Ayah, dia terdesak... bagaimana kalau dia kalah...?"

   Cui Sian berkata lirih penuh kekhawatiran. Mendengar suara anaknya ini, Beng San menoleh dan memandang aneh, lalu tersenyum.

   "Sian-ji, kau kenal dia?"

   Dalam keadaan terluka seperti itu, kedua pipi halus Cui Sian masih sempat memerah. Maklum bahwa Ayahnya sedang menatapnya, ia tidak berani balas memandang, takut kalau-kalau sinar matanya akan bercerita sesuatu tentang isi hatinya.

   "Aku pernah bertemu dengan dia, Ayah. Dia Yo Wan, murid Kwa-Suheng..."

   Raja Pedang mengangguk-angguk.

   "Pantas... pantas langkah-langkah itu terang adalah langkah ajaib yang dimiliki Kun Hong. Tapi dia tadi mengaku murid Bhewakala..."

   "Ayah, Pendeta itu begitu lihai, bagaimana kalau Yo-Twako kalah...?"

   Kembali Cui Sian menyatakan kekhawatirannya ketika ia memandang ke arah pertempuran.

   "Dia tidak akan kalah,"

   Jawab Raja Pedang. Sementara itu Lee Si sadar dari pingsannya dan gadis ini menangis tersedu-sedu.

   "Siapa membunuhnya, Bibi? Siapa? Kong-kong (Kakek), Ayah dibunuh orang, kenapa Kong-kong diam saja?"

   Raja Pedang Tan Beng San tidak menjawab, hanya menghela nafas panjang. Pertanyaan Cucunya ini mengingatkan dia akan kecerobohannya, menuduh Pendekar Buta sehingga dia dan Pendekar Buta terluka parah, sehingga tidak mampu menghadapi lawan-lawan tangguh. Akan tetapi Cui Sian merangkul Lee Si dan berkata lirih,

   "Tenanglah Lee Si. Kami semua terluka parah sebagai akibat membela kematian Ayahmu. Pembunuh Ayahmu adalah Ang-Hwa Nio-Nio, dia sudah tewas. Akah tetapi masih ada Maharsi dan Bhok Hwesio yang lihai, sedangkan kami semua terluka. Mudah-mudahan Yo-Twako dapat menolong kita, kalau tidak..."

   "Aku tidak terluka, biar aku membantunya!"

   Lee Si melompat bangun.

   "Lee Si, duduklah! Jangan ganggu dia!"

   Tiba-tiba Raja Pedang mencegah. Gadis itu kecewa sekali, akan tetapi suara Kakeknya demikian berwibawa sehingga ia tidak berani membantah, lalu menjatuhkan diri lagi duduk di atas rumput dekat Cui Sian yang memeluknya.

   Lee Si menangis lagi sambil melihat arah lubang di tanah, di mana menggeletak jenazah Ayahnya. Kemudian ia menengok ke sekeliling dan melihat mayat-mayat orang amat banyak malang-melintang memenuhi tempat itu. Biarpun Lee si puteri Suami isteri berilmu tinggi dan ia sendiri adalah seorang Pendekar wanita yang lihai, ia bergidik juga menyaksikan penglihatan yang menyeramkan itu. Ada dua puluh lima sosok mayat yang malang-melintang di tempat itu! Sementara itu, Hui Kauw juga memegang lengan suaminya dan menekannya erat-erat ketika melihat munculnya Yo Wan tadi. Kun Hong tentu saja sudah mendengar suara muridnya, dan jantung Pendekar Buta ini pun berdebar tegang. Tanpa disengaja, Hui Kauw menyatakan kekhawatiran hatinya yang serupa dengan kekhawatiran Cui Sian.

   "Dia belum belajar apa-apa darimu, bagaimana kalau dia kalah...?"

   
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan seperti juga Raja Pedang dalam menjawab puterinya, kini Pendekar Buta berkata kepada isterinya,

   "Tenanglah, dia tidak akan kalah."

   Jawabannya mantap dan penuh keyakinan. Biarpun kedua matanya tak dapat melihat lagi, namun pendengaran Pendekar Buta yang tajam dapat membedakan gerakan Yo Wan dan gerakan Maharsi, malah dia dapat menduga bahwa Yo Wan sengaja berlaku murah kepada

   (Lanjut ke Jilid 18)

   Jaka Lola (Seri ke 04 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18

   murid keponakan Bhewakala itu.

   Dugaan Pendekar Buta dan dugaan Raja Pedang memang tepat sekali. Dalam pertemuan tenaga tadi, Yo Wan sudah mengukur kekuatan lawan dan tahulah dia bahwa pukulan Pai-San-Jiu dari Maharsi itu mengandung tenaga mendorong dan menekan dari hawa sakti Yangkang. la maklum bahwa pukulan macam itu amat berbahaya bagi orang-orang yang menghadapi Maharsi dengan tenaga keras, akan tetapi sesungguhnya hilang bahayanya kalau dihadapi dengan tenaga halus. Oleh karena itu dia sengaja mainkan langkah-langkah ajaib dari Si-Cap-It Sin-Po sehingga semua pukulan dahsyat itu hanya menyambar-nyambar dan menimbulkan angin pukulan yang berputar-putar seperti angin puyuh yang berpusingan.

   "Maharsi, sekali lagi, atas nama mendiang Suhu Bhewakala, aku memberi kesempatan kepadamu untuk insyaf dan sadar dari kesesatan, kembali ke jalan benar. Kembalilah ke Barat dan jangan ikat dirimu dengan segala macam permusuhan yang tiada gunanya,"

   Terdengar Yo Wan berkata dengan sabar. Maharsi tertawa sampai terkekeh-kekeh.

   "Ho... ho... hah, bocah sombong! Kau benar-benar tak tahu diri. Kematian sudah di depan mata, sejak tadi kau tidak mampu balas menyerang dan sekali menangkis kau hampir roboh, kau masih berani membuka mulut besar? Hah...hah...hah. Sungguh tak tahu malu dan tak tahu diri..."

   "Kau sendiri yang mencari penyakit. Kau yang memutuskan, nanti jangan sesalkan aku!"

   Yo Wan menutup kata-katanya ini dengan lecutan cambuk yang berbunyi,

   "Tar-tar-tar!"

   Disusul sinar cambuk Liong-kut-pian (Cambuk Tulang Naga) warisan Bhewakala. Menyaksikan cambuk ini, kagetlah Maharsi. Cambuk inilah yang dahulu di tangan Bhewakala yang telah menghajarnya sampai dua kali. Akan tetapi sekarang kepandaiannya sendiri sudah meningkat tinggi sedangkan pemegang cambuk hanya seorang pemuda!

   Tentu saja dia tidak menjadi jerih. Sambil mengeluarkan seruan aneh, Pendeta jangkung itu menyerbu lagi, tangan kiri mencengkeram ke arah cambuk, tangan kanan mengirim pukulan Pai-San-Jiu ke arah lambung Yo Wan. Namun pemuda ini sudah siap. Kakinya melangkah mundur lalu ke kanan, sehingga serangan itu sekaligus dapat dia hindarkan, kemudian dengan langkah-langkah aneh seperti tadi, seperti orang terhuyung-huyung ke depan, dia maju lagi. Maharsi gemas dan juga girang. Cepat dia memapaki tubuh Yo Wan dengan serangan kilat yang dia yakin akan mengenai sasaran. Akan tetapi kembali dia tertipu karena secara aneh dan tiba-tiba tubuh Yo Wan lenyap ketika pemuda itu menyelinap di antara kedua lengannya. Sebelum Maharsi sempat mengirim susulan serangannya, terdengar suara keras di pinggir telinganya.

   "Tar!!"

   Keringat dingin membasahi muka Maharsi. Ujung cambuk tadi meledak di pinggir telinganya, dekat benar. Kalau tadi mengenai jalan darah atau kepalanya, agaknya dia sudah akan roboh. Rasa penasaran dan malu membuatnya marah dan dengan geraman hebat dia menubruk maju, mengirim pukulan Pai-San-Jiu dengan hebat. Pukulan ini merupakan pukulan jarak jauh yang lihai sekali, disusul cengkeraman yang dapat menghancur lumatkan batu karang.

   Namun sekali lagi dia menubruk dan memukul angin, karena Yo Wan sudah menyelinap pergi, dan sekali dia menggerakkan tangan kanan, cambuknya melecut bagaikan seekor ular hidup, kali ini diam-diam tidak mengeluarkan suara sedikit pun juga, akan tetapi tahu-tahu ujung cambuknya sudah membelit pergelangan tangan kanan Maharsi! Pendeta itu kaget sekali, cepat mengerahkan tenaganya untuk merenggut lepas tangannya yang terbelit cambuk. Namun sia-sia belaka, karena pada saat itu, dia telah dibetot oleh tenaga luar biasa melalui cambuk. Betapapun dia mempertahankan diri dengan mengerahkan tenaga pada sepasang kakinya, Maharsi tidak mampu menahan dan dia terhuyung ke depan. Tiba-tiba cambuk terlepas dari tangannya dan hampir saja Maharsi roboh terguling kalau saja dia tidak cepat melompat ke samping untuk mematahkan tenaga dorongan tadi.

   "Maharsi, sekali lagi kuberi kesempatan. Pulanglah ke Barat!"

   Yo Wan berkata lagi nada suaranya keren.

   Maharsi termenung, ragu-ragu. Baru saja dia mendapat kenyataan bahwa pemuda murid uwa Gurunya itu. benar-benar lihai sekali. Permainan cambuknya tidak saja menyamai Bhewakala, malah lebih aneh dan hebat karena gerakan langkah kaki pemuda itu benar-benar membingungkannya. Gerakan cambuk Bhewakala masih dapat dikenalnya sedikit, akan tetapi langkah kaki itu benar-benar amat sukar dia ikuti sehingga dia tidak dapat menduga dari mana datangnya serangan cambuk. la menjadi serba salah. Jelas bahwa pemuda itu masih memandang perhubungan perguruan dan memberi kesempatan kepadanya. Akan tetapi rasanya amat memalukan kalau harus mengaku kalah terhadap seorang pemuda. Kalau melawan, dia agak jerih, khawatir kalau-kalau sekali lagi dia akan menderita kekalahan, kali ini malah dari murid uwak Gurunya, Bhewakala.

   "Sungguh memalukan menjadi seorang pengecut..."

   Yo Wan menengok dan mencari dengan pandang matanya, akan tetapi dia hanya melihat Hwesio tua dengan mata meram itu berdiri agak jauh. la menduga bahwa Hwesio tua itu yang bicara, akan tetapi Hwesio itu tidak menggerakkan mulut dan dia tidak mengenal siapa adanya Hwesio tinggi besar itu. Akan tetapi bagi Maharsi, suara ini mengembalikan keberaniannya. la tadi lupa bahwa di situ masih ada Bhok Hwesio yang kesaktiannya telah dia ketahui. Dengan adanya Hwesio itu di situ, takut apakah?

   "Bocah sombong, Maharsi bukanlah seorang pengecut!"

   Setelah membentak keras, Pendeta Jangkung ini melompat ke depan dan mengirim serangan yang lebih dahsyat daripada tadi. Yo Wan menjadi gemas sekali. Ia mengerahkan tenaganya, menyalurkan Sinkang kepada sepasang lengan lalu sengaja dia menerima serangan itu dengan dorongan kedua lengan. Kini sepasang lengan bertemu telapak tangannya dan bagaikan diterbangkan angin puyuh, tubuh Pendeta itu terjengkang ke belakang dan roboh. Kiranya kali ini dia menggunakan jurus rahasia Pek-In-Ci-Tiam (Awan Putih Keluarkan Kilat), yaitu jurus yang paling ampuh dari empat puluh delapan jurus Liong-Thouw-Kun yang dia pelajari dari mendiang Sin-Eng-Cu. Ketika dia masih kanak-kanak dahulu, dia telah mewarisi jurus-jurus yang khusus dipergunakan oleh Sin-Eng-Cu untuk menghadapi Bhewakala, juga dari pihak Bhewakala dia mewarisi jurus-jurus sebaliknya.

   Oleh karena itu, dia sudah hafal betul akan ilmu silat dari Barat dan tahu pula akan kelemahan-kelemahannya. Demikian pula, dia dapat segera mengetahui kelemahan Ilmu Pukulan Pai-San-Jiu dari Maharsi, maka untuk menghadapinya, dia menggunakan Pek-in-ci-tiam yang sekaligus telah berhasil baik sekali karena Maharsi yang terbanting roboh itu tidak dapat bangun lagi. Tenaga Yangkang telah membalik ke dalam tubuh Pendeta itu sendiri, merusak isi dada dan memecahkan jantung sehingga nyawanya melayang. Yo Wan menyesal sekali melihat Maharsi tewas. Akan tetapi, hanya sebentar dia mengerutkan kening. Pendeta itu telah mencari kematian sendiri. Sudah beberapa kali dia memberi kesempatan tadi. Dengan cepat dia lalu menghampiri Kun Hong dan berlutut di depan Pendekar Buta dan isterinya.

   "Suhu dan Subo, maafkan Teecu datang terlambat sehingga Ji-wi (kalian) mengalami luka..."

   Untuk sejenak Kun Hong meraba kepala Yo Wan dengan terharu, kemudian dia berkata,

   "Bangkitlah dan kau wakili Thai-San-ciang bunjin (ketua Thai-San-Pai) yang juga terluka parah untuk menghadapi Bhok Hwesio. Hati-hati, dia tokoh Siauw-Lim-Pai, lihai sekali. Jangan lawan dengan keras, gunakan Si-Cap-It Sin-Po, hindarkan adu tenaga dan biarkan dia lelah karena usia Tuanya."

   Yo Wan kaget sekali. Kiranya orang tua gagah perkasa yang duduk bersila di sana dengan muka pucat tanda luka dalam itu adalah Raja Pedang atau Ketua Thai-San-Pai yang amat terkenal! Dan jago tua yang luka itu adalah Ayah Cui Sian! Mengapa Raja Pedang bisa terluka? Dan mengapa pula Pendekar Buta, Gurunya yang sakti itu. Juga Subonya, dan agaknya Cui Sian juga, semua terluka? Tiada waktu untuk bicara tentang ini, karena dia mendengar Hwesio itu bertanya kepada Raja Pedang dengan nada mengejek sekali.

   "Tan Beng San, kau dan kawan-kawanmu berhasil menghabiskan musuh-musuhmu. Bagus sekali! Akan tetapi Pinceng tetap tidak sudi melawan orang luka. Sekali lagi Pinceng memberi kesempatan kepadamu. Kau berlutut dan mengangguk tiga kali minta maaf dan Pinceng akan memberi waktu satu bulan kepadamu untuk memulihkan kesehatan dan tenaga sebelum Pinceng datang mengambil nyawamu di Thai-San. Kalau tidak, terpaksa Pinceng akan membuat kau menjadi seorang bercacad seumur hidup."

   "Bhok Hwesio, mengapa mesti banyak bicara lagi? Sekali lagi dengarlah, dalam keadaan terluka begini aku tidak mampu melayani bertanding. Akan tetapi bukan berarti aku kalah atau takut padamu. Mau bunuh boleh bunuh, jangan harap aku sudi minta maaf kepadamu. Nah, aku tidak mau bicara lagi!"

   Bhok Hwesio melebarkan matanya dan keningnya berkerut.

   "Hemmm, manusia keras kepala, kau mencari sengsara sendiri"

   Hwesio tua itu melangkah maju, matanya membayangkan kemarahan. Yo Wan melompat cepat dan tubuhnya melayang ke depan Bhok Hwesio.

   "Lo-Suhu, tidak layak seorang Hwesio berhati kejam, dan sungguh memalukan bagi seorang sakti menyerang lawan yang terluka parah."

   Bhok Hwesio berhenti melangkah, lalu tertawa mengejek.

   "Raja Pedang, apakah kau hendak mewakilkan bocah ingusan ini untuk melawanku? Kau tahu, dia bukan lawanku!"

   Yo Wan cukup maklum betapa tokoh-tokoh sakti seperti Raja Pedang dan Pendekar Buta, tak mungkin suka mengharapkan bantuan orang lain untuk mewakili mereka dalam sebuah pertandingan. Bagi seorang Pendekar besar, hal seperti itu merupakan pantangan dan dipandang hina. Ia dapat menduga bahwa pertanyaan seperti yang telah diajukan oleh Bhok Hwesio itu tentu akan disangkal oleh Raja Pedang. Oleh karena inilah dia sengaja cepat-cepat mendahului Raja Pedang dan menjawab, suaranya lantang,

   "Hwesio tua, para Lo-Cianpwe seperti Raja Pedang dan Pendekar Buta, tidak membutuhkan wakil dalam pertandingan. Kalau beliau-beliau itu tidak dalam keadaan terluka parah, tentu sejak tadi sudah melayani kesombonganmu. Aku maju bukan mewakili mereka, melainkan untuk mencegah kau melakukan perbuatan pengecut dan mengganggu mereka yang terluka."

   "Omitohud...!"

   Bhok Hwesio mengeluarkan pujian.

   "Dunia terbalik, anak kecil berani menantang Pinceng! Sungguh memalukan. Heh, Raja Pedang, Pinceng tidak sudi melayani segala bocah, kecuali kalau kau menganggap dia wakilmu!"

   Memang tidak mengherankan kalau Bhok Hwesio merasa sungkan melawan Yo Wan.

   Bhok Hwesio adalah seorang tokoh besar di dunia persilatan, dia menduduki tingkat teratas di Siauw-Lim-Pai, dan seorang dengan kedudukan seperti dia tentu saja tidak sudi melayani lawan yang tidak setingkat kedudukannya. Kalau dia mau melayani orang-orang muda seperti Yo Wan, apalagi di depan tokoh-tokoh seperti Pendekar Buta dan Raja Pedang, sama artinya dengan merendahkan diri dan menjadikan diri sebagai bahan tertawaan belaka. Kecuali kalau orang muda itu memang diangkat oleh lawannya menjadi wakil, hal itu tentu saja lain lagi sifatnya. Raja Pedang maklum akan hal ini. Ia pun tidak begitu rendah untuk mewakilkan seorang muda menghadapi tokoh seperti Bhok Hwesio, kecuali kalau dia yakin bahwa orang muda itu berpihak kepadanya dan memiliki kepandaian yang cukup. Biarpun Yo Wan adalah murid Pendekar Buta, namun dia murid Bhewakala pula, dan dia tidak mengenal pemuda itu. Selagi dia ragu-ragu, terdengar Kun Hong berkata,

   "Lo-Cianpwe, Yo Wan sama dengan saya sendiri, saya harap Lo-Cianpwe sudi mengijinkan dia mewakili Lo-Cianpwe."

   Raja Pedang menarik nafas panjang, masih meragu.

   "Ayah, biarlah Yo-Twako mewakili Ayah. Dia cukup berharga untuk menjadi wakil Ayah,"

   Kata Cui Sian perlahan. Kata-kata puterinya ini membuat wajah Beng San berseri. Akhirnya! Hatinya menjadi terharu. Akhirnya gadisnya yang selalu menolak pinangan dan tidak mau dijodohkan itu kini mendapatkan pilihan hati! Sebagai seorang yang berpengalaman matang, ucapan Cui Sian tadi saja cukup baginya untuk menjenguk isi hati anaknya.

   "Yo Wan, ke sinilah sebentar,"

   Ujarnya. Yo Wan cepat menghampiri dan berlutut di depan Raja Pedang.

   "Maaf, Lo-Cianpwe, saya tidak berani lancang mewakili Lo-Cianpwe, akan tetapi..."

   Raja Pedang mengangguk-angguk.

   "Aku sudah menyaksikan gerakan-gerakanmu tadi. Kau cukup baik, akan tetapi tidak cukup untuk menghadapi Bhok Hwesio. Apakah kau tahu bahwa dengan mewakili aku menghadapinya, keselamatan nyawamu terancam bahaya?"

   "Lo-Cianpwe, dalam membela kebenaran, berkorban nyawa merupakan hal yang mulia."

   Raja Pedang tersenyum gembira. Ucapan ini saja cukup membuktikan bagaimana mutunya pemuda yang menjadi pilihan hati Cui Sian, dan dia puas.

   "Baiklah, kau hadapi dia, akan tetapi tenang dan waspadalah, dia amat lihai dan kuat. Seberapa dapat kau ulur waktu pertempuran, mengandalkan nafas dan keuletan. Mudah-mudahan aku atau Kun Hong sudah dapat memulihkan tenaga selama kau menghadapinya."

   "Saya mengerti, Lo-Cianpwe."

   "He, Bhok Hwesio. Kuanggap bocah ini cukup berharga, malah terlalu berharga untuk menghadapimu dan menjadi wakilku. Bhok Hwesio, aku terima tantanganmu dan kuajukan Yo Wan, kalau dia kalah olehmu, kau boleh melakukan apa saja terhadap diriku dan aku akan menurut!"

   Bhok Hwesio tertawa masam.

   "Sialan memang, harus melawan seorang bocah! Akan tetapi karena kau mengangkatnya sebagai wakil, apa boleh buat. He, bocah sombong, mari!"

   Yo Wan memberi hormat kepada Raja Pedang dan bangkit sambil mengerling ke arah Cui Sian yang memandangnya dengan air mata berlinang.

   "Yo-Twako... kau hati-hatilah..."

   Yo Wan tersenyum dan mengangguk, Bibirnya tidak mengeluarkan suara, akan tetapi pandang matanya Jelas menghibur dan minta supaya gadis itu tidak khawatir. Maklum akan kehebatan lawan, sehingga Pendekar Buta dan Raja Pedang sendiri memberi peringatan kepadanya, Yo Wan tidak berani memandang rendah. sambil menghampiri Bhok Hwesio, dia mengeluarkan cambuk Liong-kut-pian. Cambuk ini peninggalan Bhewakala, biarpun disebut Cambuk Tulang Naga, tentu saja bukan terbuat dari tulang naga, melainkan dari kulit binatang hutan yang hanya terdapat di Pegunungan Himalaya. Cambuk ini lemas, tapi amat ulet dan berani menghadapi senjata tajam yang bagaimanapun juga.

   Karena sifatnya yang lemas inilah maka bagi seorang ahli silat yang tinggi tingkatnya, senjata ini dapat dipergunakan secara tepat karena dapat menampung penyaluran tenaga sakti melalui tangan yang memegangnya. Cambuk Liong-kut-pian dipegang oleh Yo Wan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mengeluarkan pedangnya. Bukan Pedang Pek giok-kiam pemberian Hui Kauw dahulu, melainkan Pedang Siang-Bhok-Kiam (Pedang Kayu Wangi) yang dibuat dari semacam kayu cendana yang tumbuh di Himalaya. Dengan sepasang senjata di tangannya ini, Yo Wan seakan-akan menjelma menjadi dua orang tokoh sakti, yaitu Sin-Eng-Cu (Bayangan Garuda) di tangan kanan dan Bhewakala di tangan kiri! Yo Wan adalah seorang yang jujur dan polos, sederhana dan dia belum banyak pengalaman bertempur, maka dia berkata,

   "Hwesio tua, harap kau suka keluarkan senjatamu."

   Kalau saja dia tidak demikian jujur, tentu dia tidak akan mengeluarkan kata-kata ini, tidak akan merasa sungkan berhadapan dengan lawan bertangan kosong, karena lawannya ini bukanlah tokoh sembarangan. Kata-kata yang jujur dan berdasarkan sungkan melawan orang bertangan kosong ini diterima oleh Bhok Hwesio sebagai penghinaan. la merasa dipandang rendah!

   "Bocah sombong, melawan cacing macam engkau saja, mana perlu menggunakan senjata? Terimalah ini!"

   Sepasang lengan Hwesio tua itu bergerak dan dari kanan kiri menyambarlah angin pukulan dahsyat mendahului ujung lengan baju yang lebar.

   Yo Wan terkejut sekali ketika tiba-tiba diserang oleh angin pukulan dari dua jurusan, akan tetapi melihat betapa kedua lengan Kakek itu bergerak lambat, dia melihat kesempatan baik sekali. Diam-diam dia heran mengapa Kakek itu memandangnya terlalu ringan sehingga melancarkan penyerangan begini bodoh, serangan yang tidak berbahaya, sebaliknya malah membuka diri sendiri ini menjadi sasaran. Cepat dia menggerakkan kedua tangannya, cambuk di tangan kirinya melecut ke arah urat nadi tangan kanan lawan sedangkan Pedang Kayu Wangi di tangan kanannya memapaki lengan kiri lawan dengan tusukan ke arah jalan darah dekat siku. Semacam tangkisan yang sekaligus merupakan serangan mematikan, karena kalau kedua senjatanya itu mengenai sasaran, sepasang lengan Kakek itu sedikitnya akan lumpuh untuk sementara!

   Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Yo Wan dan sekaligus dia melihat kenyataan akan tepatnya peringatan Pendekar Buta dan Raja Pedang kepadanya tadi, ketika mendadak cambuk dan Pedang kayunya terpental oleh hawa pukulan sakti, kembali menghantam dirinya sendiri! Demikian kuatnya hawa pukulan sakti yang menyambar dari kedua lengan Kakek itu sehingga selain sepasang senjatanya terpental kembali, juga angin pukulan itu masih dengan dahsyatnya menghantam dirinya.

   "Lihai...!!!"

   Yo Wan berseru keras, cepat dia melempar diri ke belakang sampai punggungnya hampir menyentuh tanah, kemudian dia membalik dan cepat dia menggunakan langkah ajaib untuk keluar dari pengurungan hawa pukulan yang dahsyat tadi. Dengan terhuyung-huyung dia melangkah ke sana ke mari, akhirnya berhasillah dia keluar dari kurungan hawa pukulan!

   Hwesio tua itu tersenyum mengejek, hidungnya mendengus seperti kerbau, kemudian lengannya bergerak-gerak lagi mengirim pukulan. Gerakan kedua tangannya lambat-lambat saja, jari tangannya terbuka dan dari telapak tangan itulah keluar hawa pukulan yang dahsyat tadi, sedangkan ujung lengan bajunya berkibar-kibar merupakan sepasang senjata kuat. Sepasang ujung lengan baju ini yang tadi menangkis dan membentur cambuk dan pedang, membuat kedua senjata itu terpental kembali. Dari peristiwa ini saja sudah dapat dibuktikan bahwa tenaga Sinkang Kakek Siauw-Lim-Pai ini luar biasa hebatnya. Setelah mengalami gebrakan pertama yang hampir saja mencelakainya, wajah Yo Wan sebentar pucat sebentar merah. la merasa malu sekali. Tadinya dia mengira Kakek itu terlalu memandang rendah kepadanya, kiranya perkiraan itu malah sebaliknya.

   Dialah yang tadi terlalu memandang rendah, menganggap gaya gerakan Kakek itu sembarangan dan ceroboh. Sekarang dia dapat melihat jelas dan dapat menduga bahwa agaknya inilah Ilmu Silat Lo-han-kun dari Siauw-Lim-Pai, yang dimainkan oleh seorang tokoh tingkat tertinggi sehingga bukan merupakan ilmu pukulan biasa, melainkan lebih mirip ilmu gaib karena biarpun digerakkan begitu lambat seperti gerakan Kakek-kakek lemah tenaga, namun di dalamnya mengandung hawa pukulan yang bukan main kuatnya. Sekaligus terbukalah mata Yo Wan dan diam-diam dia harus mengakui kewaspadaan Pendekar Buta dan Raja Pedang yang tadi memesan kepadanya agar dia tidak mengadu tenaga dan menghadapi Kakek tua renta yang sakti ini dengan permainan kucing-kucingan, berusaha menghabiskan nafas Kakek itu sambil menanti pulihnya tenaga Raja Pedang atau Pendekar Buta.

   Setelah kini yakin bahwa Kakek yang dihadapinya ini benar-benar luar biasa lihainya, dia tidak berani berlaku ceroboh lagi. Begitu Kakek ini menyerangnya dengan pukulan lambat yang mendatangkan angin keras, dia cepat mengelak dengan langkah-langkah ajaib. Akan tetapi Yo Wan tidak mau mengalah begitu saja, karena biarpun dia maklum akan kelihaian lawan, dia merasa penasaran kalau tidak membalas. Pedang kayunya menyambar-nyambar mainkan Liong-Thouw-Kun yang empat puluh delapan jurus banyaknya, sedangkan cambuk Liong-kut-pian di tangan kirinya melecut-lecut dan melingkar-lingkar ketika dia mainkan Ngo-Sin Hoan-Kun (Lima Lingkaran Sakti), berubah menjadi segulung awan menghitam yang melingkar-lingkar dan sambung-menyambung, sedangkan Pedang kayunya kadang-kadang menyambar keluar seperti kilat menyambar dari dalam awan hitam!

   

Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini