Ceritasilat Novel Online

Jaka Lola 2


Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



Kata Kun Hong singkat. Berubah wajah Yo Wan dan hal ini tidak terlepas dari pandangan mata Hui Kauw.

   "Bagaimana, Yo Wan? Kenapa kau diam saja?"

   Sedih hati Yo Wan. la merasa bahagia hidup di Liong-Thouw-San. la merasa bahwa tempat itu adalah tempat tinggalnya dan dia amat sayang kepada tempat yang sunyi itu. la merasa bahagia dapat melayani kedua orang itu yang dia anggap sebagai pengganti orang Tuanya, bahagia dapat belajar ilmu silat dari orang yang sejak dahulu dia anggap sebagai bintang penolongnya. Tapi sekarang, Gurunya mengajak dia pindah dan Gurunya akan mondok di rumah orang lain!

   "Suhu... tempat ini... siapa yang akan mengurusnya? Kalau kita semua pergi... tempat ini tentu akan rusak..."

   Suaranya agak gemetar. Kun Hong menarik nafas panjang. la pun tahu bahwa biarpun usianya masih kecil, namun Yo Wan sudah mempunyai pandangan yang jauh dan penuh pengertian, maka tak boleh dia diperlakukan sebagai anak kecil.

   "Yo Wan, kau harus tahu bahwa Ibu Gurumu membutuhkan bantuan sanak keluarga kalau adikmu lahir. Untuk sementara tempat ini kita tinggalkan, kelak kita tentu dapat datang menengok."

   Wajah Yo Wan berubah gembira.

   "Suhu, kalau begitu, biarlah Teecu (murid) tinggal di sini merawat tempat ini. Kelak kalau Suhu dan Subo (Ibu Guru) kembali ke sini, tempat ini masih dalam keadaan baik. Pula, tanpa adanya Teecu yang mengganggu perjalanan, Suhu dan Subo akan dapat melakukan perjalanan yang lebih cepat."

   Anak yang berpemandangan jauh, pikir Kun Hong kagum. Memang dengan adanya Yo Wan, mereka berdua takkan dapat mempergunakan ilmu lari cepat tanpa menggendong anak itu.

   "Tapi, mungkin kami akan lama di sana, entah kapan dapat kembali kesini."

   Katanya meragu.

   (Lanjut ke Jilid 02)

   Jaka Lola (Seri ke 04 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02

   "Setahun dua tahun bukan apa-apa, Suhu. Teecu dapat menjaga diri sendiri dan merawat tempat ini. Sayur-mayur cukup, sebagian dapat Teecu tukar gandum dan beras dengan penduduk di bawah. Kelak kalau Suhu dan Subo kembali membawa... adik yang sudah berusia setahun lebih, wah, alangkah akan senangnya...!"

   Kun Hong adalah seorang yang suka mendengar kegagahan dan keberanian. Sikap muridnya ini benar-benar mengagumkan hatinya bukan sikap seorang anak kecil yang cengeng merengek-rengek. Biarlah dia digembleng oleh alam, merasakan hidup sendiri tanpa sandaran. Biarlah dia belajar hidup sendiri, karena hal ini akan memupuk rasa percaya kepada diri sendiri. Malah sebaliknya dia ingin melihat ketekunan muridnya itu, bagaimana nanti hasil latihan-latihannya selama dua tahun tanpa pengawasan.

   "Bagaimana, isteriku, apakah kau setuju dengan permintaan Yo Wan untuk tinggal di sini?"

   La mengerti betapa isterinya amat sayang pula kepada Yo Wan maka tak mau dia melewati isterinya.

   "Kalau dia menghendaki demikian, kurasa baik kita setuju. Pula, memang sayang kalau tempat kita ini menjadi rusak. Kelak kita kembali ke sini dan tempat ini dalam keadaan baik. Aku setuju."

   Di dalam hatinya, Hui Kauw amat kasihan kepada Yo Wan, akan tetapi nyonya muda ini beranggapan bahwa kalau Yo Wan masih ditinggal di situ, sudah pasti suaminya kelak akan kembali ke Liong-Thouw-San. Dan inilah yang ia inginkan! Kun Hong tertawa.

   "Baiklah, Yo Wan. Kau tinggal di sini dan kau harus melatih diri dengan jurus-jurus yang sudah kuajarkan kepadamu. Latihan Samadhi juga harus kau latih dengan tekun. Aku ingin mendengar tentang kemajuanmu beberapa tahun kemudian. Andaikata sudah lewat dua tahun aku tidak datang ke sini, dan kau merasa kangen, kau boleh sewaktu-waktu melakukan perjalanan ke Hoa-San-Pai seorang diri menyusul kami."

   "Anak sekecil ini...?"

   Hui Kauw mencela, kaget. Kun Hong tertawa,

   "Beberapa tahun lagi dia sudah berusia belasan tahun, dan biarpun masih kecil, apa artinya melakukan perjalanan dari sini ke Hoa-San bagi seorang murid kita? Ha... ha... ha, kau tentu akan berani bukan?"

   "Tentu saja, Suhu! Subo, harap jangan khawatir. Teecu dapat menjaga diri dan kalau Teecu kangen dan Suhu berdua belum pulang, Teecu akan menyusul ke Hoa-San!"

   Demikianlah, setelah memilih hari baik, Kun Hong dan Hui Kauw meninggalkan Liong-Thouw-San menuju ke Hoa-San, meninggalkan Yo Wan yang mengantar Guru dan Ibu Gurunya sampai ke kaki gunung. Beberapa kali Hui Kauw menoleh dan sepasang mata nyonya muda yang cantik ini berlinang air mata ketika dia melihat dari jauh tubuh Yo Wan masih berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dengan kedua tangan di belakang, sesosok bayangan bocah yang biarpun masih kecil sudah membayangkan keteguhan hati yang luar biasa dan nyali yang besar.

   Setelah Suhu dan Subonya lenyap dari pandang matanya, barulah Yo Wan merasa sunyi dan kosong rongga dadanya. Namun dia menekan perasaannya dan mendaki puncak Liong-Thouw-San. Dahulu, puncak ini tak mungkin dapat dinaiki orang, apalagi orang biasa atau seorang anak kecil seperti Yo Wan. Akan tetapi, semenjak Kun Hong dan isterinya bertempat tinggal di situ, Suami isteri Pendekar yang memiliki kesaktian ini telah membuat jalan menuju ke puncak. Bukan jalan biasa melainkan jalan yang juga amat sukar karena harus melalui dua buah jurang lebar dan amat dalam yang mereka pasangi jembatan berupa dua buah tali besar dan kuat. Untuk menyeberangi jembatan-jembatan istimewa di atas dua buah jurang lebar ini orang harus berjalan di atas dua utas tali ini tanpa pegangan!

   Hanya orang-orang yang memiliki Ginkang dan nyali besar saja berani menyeberangi jembatan istimewa ini. Kemudian, setelah mendekati puncak, untuk mencapai dataran puncak itu jalan satu-satunya hanya memanjat sebuah tangga terbuat dari tali pula, tingginya seratus kaki dan amat terjal. Tentu saja memanjat tangga ini lebih mudah karena kedua tangan dapat berpegangan, akan tetapi juga membutuhkan nyali yang cukup besar di samping syaraf membaja. Namun, bagi Yo Wan semua ini bukan apa-apa lagi, sudah terbiasa dia oleh jembatan-jembatan dan tangga ini. Semenjak berusia enam tahun dia sudah dapat mempergunakan alat-alat penyeberangan itu. Biarpun baru berlatih silat dua tahun lamanya, namun berkat bimbingan dua orang yang memiliki kepandaian tinggi, Yo Wan sudah memperoleh kemajuan lumayan.

   Gerak-geriknya gesit, nafasnya panjang, daya tahan tubuhnya luar biasa dan dia sudah kuat berSamadhi sampai setengah malam lamanya. Hebat dan luar biasa bagi seorang anak laki-laki yang belum sembilan tahun usianya! Yo Wan memang seorang anak yang berhati teguh dan memiliki ketekadan hati yang besar. Memang tadinya dia merasa kesunyian, begitu dia tiba di pondok Suhunya dan melihat betapa tempat itu kosong, sekosong hatinya, dia terduduk di atas bangku depan pondok dan termenung. Ketika matanya terasa panas oleh desakan air mata, dia menggigit Bibirnya dan menggeleng-gelengkan kepala, melawan perasaannya sendiri. Oleh gerakan kepala ini, dua titik air mata yang tadinya menempel di bulu matanya, meluncur turun melalui pipi, terus ke ujung kanan kiri Bibir. la mengecapnya. Rasa asin air matanya membuat dia sadar.

   "Heh, kenapa menangis? Cengeng! Sejak dahulu kau sudah yatim piatu, kau si Jaka Lola (anak laki-laki yatim piatu), hidup di dunia seorang diri, mengapa bersedih hati ditinggal Suhu dan Subo? Ihhh, kalau Subo melihatmu, kau tentu akan ditampar!."

   Yo Wan tertawa kepada diri sendiri, tertawa bahagia karena teringat dia betapa selama dia berada di sini, belum pernah dia dibentak Kun Hong atau ditampar Hui Kauw. Kedua orang itu amat baik kepadanya. Mereka orang-orang mulia, aku tidak boleh mengganggu mereka. Harus kupelihara baik-baik tempat ini, kelak kalau mereka kembali, tempat ini tetap bersih dan terjaga! Setelah berpikir demikian, anak ini bangkit dan lari berloncatan ke ladangnya, mukanya sudah jernih kembali dan dia tertawa-tawa melihat burung-burung kaget beterbangan oleh loncatannya itu. Yo Wan selalu teringat akan nasihat Suhunya. la tekun berlatih ilmu silat. Karena Gurunya lebih mementingkan dasar ilmu silat, maka selama ini dia tidak banyak diajar ilmu pukulan, lebih diutamakan pelajaran pernafasan, Samadhi dan mengatur jalan darah untuk menghimpun kemurnian hawa dalam tubuhnya.

   Juga ilmu meringankan tubuh diajarkan lebih dulu oleh Subonya, karena hal ini amat perlu baginya untuk naik turun puncak. Sebelum turun gunung Suhunya mengajarkan ilmu langkah yang terdiri dari empat puluh satu langkah. Langkah-langkah ini merupakan perubahan-perubahan dalam kuda-kuda dan jika dilatih terus-menerus, selain dapat mempertinggi kegesitan dan memperkokoh kedudukan, juga dapat memperkuat tubuh, terutama kedua kaki. Suhunya hanya memberi tahu bahwa langkah-langkah ini dapat dilatih terus-menerus sampai belasan tahun, makin terlatih makin baik dan kelak akan hebat kegunaannya. Kun Hong hanya memberi tahu bahwa langkah-langkah ini diberi nama Si-Cap-It Sin-Po (Empat Puluh Satu Langkah Sakti).

   Tentu saja Yo Wan sama sekali tidak pernah mimpi bahwa langkah-langkah ini adalah langkah-langkah ajaib yang gerakan-gerakannya mencakup seluruh inti sari dari gerakan ilmu silat karena biarpun jurusnya hanya empat puluh satu, tetapi kalau dijalankan dan susunan jurusnya diubah-ubah, merupakan gerak jurus yang tak terhitung banyaknya! Dua tahun sudah Yo Wan hidup seorang diri di puncak Liong-Thouw-San. Tekun bekerja dan berlatih. Setiap hari dia mengharap-harapkan kedatangan Suhu dan Subonya, namun pengharapannya sia-sia belaka. Setelah lewat tiga tahun, belum juga kedua orang yang dikasihinya itu pulang. Ingin dia menyusul ke Hoa-San karena sudah amat kangen, akan tetapi dia takut kalau-kalau kedua orang itu akan menganggapnya kurang setia menanti. la menanti terus, empat tahun, lima tahun! Waktu berjalan amat pesatnya, tanpa dia rasakan, lima tahun sudah dia hidup menyendiri di tempat sunyi itu. Dan kedua orang yang dinanti-nantinya belum juga pulang!

   "Sudah amat lama aku menunggu, kenapa mereka belum juga pulang?"

   Yo Wan termenung duduk di atas bangku depan pondok. Bukan bangku lima tahun yang lalu. Sudah ada lima kali dia mengganti bangku itu dengan bangku baru buatannya sendiri. Sudah penuh tiang pondok itu dengan guratan-guratannya. Setiap bulan purnama dia tentu menggurat di tiang. Tadi dihitungnya guratan-guratannya itu, sudah lebih dari enam puluh gurat!

   "Besok aku menyusul ke Hoa-San,"

   Demikian dia mengambil keputusan karena sudah tidak kuat menanggung rindunya lagi. Malam itu sibuk dia menambal pakaianya yang robek-robek.

   Selama lima tahun ini, dia dapat mencari ganti pakaian ke dusun di bawah gunung dengan jalan menukarkan hasil ladangnya berupa sayur-sayuran segar yang tak mungkin tumbuh di bawah puncak. Dasar watak Yo Wan polos, jujur dan tidak murka, dia hanya memilih pakaian sekedarnya saja, bersahaja asal kuat. Yang membuat dia kesal menanti lebih lama lagi, sesungguhnya adalah kalau dia teringat akan pelajaran ilmu silatnya. Enam puluh bulan lebih dia ditinggal Gurunya, hanya ditinggali ilmu langkah yang sudah dia latih setiap hari sampai dia menjadi bosan. Padahal dia bercita-cita untuk mempelajari ilmu silat tinggi dari Suhunya karena dia masih ingat betul akan musuh besarnya, musuh besar yang menyebabkan kematian Ibunya yang tercinta, The Sun! Muka orang ini masih selalu terbayang di depan matanya, dan dia mendengar dari Gurunya bahwa The Sun memiliki kepandaian yang amat tinggi.

   Sekarang dia hanya diberi pelajaran langkah-langkah yang aneh, bagaimana mungkin dia dapat membalas kematian Ibunya pada musuh besar yang lihai itu kalau dia hanya pandai melangkah? la ingin menyusul untuk mohon diberi pelajaran ilmu silat selanjutnya, untuk bekal mencari musuh besar yang telah menyebabkan kematian Ibunya yang mengerikan itu. Masih terbayang di depan matanya betapa ketika dia masih kecil, dia melihat Ibunya menggantung diri, dengan susah payah dia tolong, akan tetapi Ibunya tak tertolong lagi. Masih bergema di telinganya akan pesan Ibunya, agar supaya dia memenuhi dua buah permintaan Ibunya, dua buah tugas yang selama hidupnya harus dia usahakan pelaksanaannya, yaitu pertama membalas budi kebaikan Kwa Kun Hong Pendekar Buta, kedua membalas dendam kepada The Sun (baca cerita Pendekar Buta)!

   Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Yo Wan sudah menutup pintu depan pondok dan berjalan ke luar halaman. Di punggungnya terdapat sebuah buntalan pakaian dan dia melangkah lebar menuju ke jurang di mana terdapat tangga tali itu. Sebelum melangkahkan kaki ke tangga, dia memandang sekeliling seakan-akan merasa kasihan kepada puncak yang akan ditinggalkan. Tiga batang pohon cemara di depan pondok itu kini sudah besar, dia yang menanam semenjak Suhu dan Subonya pergi. Tadinya dia ingin sekali melihat Suhu dan Subonya memuji dan girang melihat tiga batang pohon yang indah itu, bahkan dia sudah memberi "Nama"

   Pada tiga batang pohon itu, nama Suhunya, nama Subonya dan namanya sendiri! Setelah menarik nafas panjang, Yo Wan lalu melangkah dan menuruni tangga tali dengan kecepatan yang amat luar biasa, seakan-akan dia melorot saja tanpa melangkah turun.

   Setibanya di bawah, dia berlari-lari menuju ke jembatan pertama yang melintas jurang lebar. Tiba-tiba dia mendengar suara aneh sekali, suara mendesis-desis keras bercampur aduk dengan suara melengking tinggi. Suara itu datangnya dari seberang jurang pertama. Cepat dia lalu meloncat ke atas tambang dan berlari-lari menyeberang. Melihat bocah tiga belas tahun ini menyeberang dan jalan di atas tambang, benar-benar membuat orang terheran-heran dan ngeri. Jurang itu dalamnya tak dapat diukur lagi. Tambang itu sama sekali tak bergerak ketika dia berlari di atasnya, dan hebatnya, anak ini berlari seenaknya saja, sama sekali tidak melihat bawah lagi seakan-akan kedua kakinya sudah terlalu hafal dan dapat menginjak dengan tepat.

   Setelah meloncat di atas tanah di seberang. Yo Wan dapat melihat apa yang menimbulkan suara aneh itu. Kiranya dua orang laki-laki sedang bertempur dengan hebat dan aneh. Seorang di antaranya, yang berdesis-desis, adalah seorang laki-laki yang tinggi kurus dan kulitnya hitam, rambutnya yang keriting itu terbungkus sorban kuning, telinganya pakai anting-anting hitam, juga kedua pergelangan tangan ketika bergerak dan keluar dari lengan baju yang lebar, tampak memakai sepasang gelang hitam. Orang asing yang aneh sekali. Usianya kurang lebih lima puluh tahun. Tangannya memegang cambuk kecil panjang dan agaknya cambuk inilah yang menimbulkan suara mendesis-desis aneh itu ketika digerakkan berputar-putar di udara.

   Di depan orang bersorban ini tampak seorang Kakek tua sekali, Kakek yang agak bongkok, yang kadang-kadang terkekeh dan kadang-kadang mengeluarkan suara melengking tinggi rendah menggetarkan lembah dan jurang. Kakek ini pun bergerak-gerak, tapi tidak bersenjata, melainkan tubuhnya yang bergerak-gerak dengan tangan menuding dan menampar ke depan. Yo Wan berdiri bengong. Biarpun dia murid seorang sakti seperti Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta, namun selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan orang bertanding. Apalagi kalau yang bertempur itu dua orang tingkat tinggi yang mempergunakan cara bertempur yang begini aneh, seperti dua orang badut sedang berlagak di panggung saja.

   la masih menduga-duga, apakah yang dilakukan oleh dua orang itu, karena biarpun dia menduga mereka sedang bertempur, namun dia masih ragu-ragu. Tiba-tiba pandang matanya kabur dan cepat dia menutup telinganya yang terasa perih ketika lengking itu makin meninggi dan desis makin nyaring. Matanya dibuka lebar, namun tetap saja dia tidak dapat mengikuti gerakan mereka yang kini menjadi makin cepat. Beberapa menit kemudian, gerakan kedua orang aneh itu begitu cepatnya sehingga tubuh mereka lenyap dari pandangan mata Yo Wan yang hanya dapat melihat gulungan sinar yang berkelebatan. Tiba-tiba sinar itu seperti pecah, gulungan sinar lenyap dan dia melihat dua orang itu rebah telentang, terpisah antara sepuluh meter. Keduanya terengah-engah dan terdengar mereka merintih perlahan.

   "Bhewakala, kau hebat..."

   Kakek tua itu berseru sambil terkekeh ketawa di antara rintihannya.

   "Sin-Eng-Cu (Garuda Sakti), kau tua-tua merica, makin tua makin kuat..."

   Terdengar orang asing bersorban itu pun memuji dengan suara terengah-engah dan nada suaranya kaku dan lucu. Melihat kedua orang itu tak dapat bangun kembali, Yo Wan mengerti bahwa keduanya terluka. la cepat berlari menghampiri, keluar dari tempat persembunyiannya karena tadi dia mengintai dari balik batu gunung yang besar. Tentu saja dia mengenal Kakek itu. Sin-Eng-Cu Lui Bok, Paman Guru dari Suhunya, yang dulu membawanya ke puncak Liong-Thouw-San (baca Pendekar Buta) dan yang kemudian pergi merantau membawa Kim-Tiauw (Rajawali Emas) bersamanya.

   "Susiok-Couw... (Kakek Paman Guru)!"

   Serunya sambil meloncat mendekati. Akan tetapi Sin-Eng-Cu Lui Bok sudah tak bergerak-gerak lagi, malah nafasnya sudah empas empis, tinggal satu-satu. Yo Wan kaget dan bingung, diguncang-guncangnya tubuh Kakek itu, namun tetap tak dapat menyadarkannya. Alangkah kagetnya ketika dia mengguncang-guncang ini, dia melihat muka Kakek itu agak biru dan tubuh bagian depan, dari leher sampai ke perut, terluka dengan guratan memanjang yang menghancurkan pakaiannya.

   Selagi dia dalam keadaan bingung sekali, dia mendengar di belakangnya suara orang mengaduh-aduh. Cepat dia bangkit dan membalik. Dilihatnya orang itu pun mengerang kesakitan. Suaranya begitu mendatangkan iba, maka tanpa ragu-ragu lagi Yo Wan lalu menghampirinya, dan berlutut di dekatnya. Orang itu muka hitam, matanya lebar, dilihat dari jauh tadi amat menakutkan, tetapi setelah dekat, sepasang mata yang agak biru itu ternyata mengandung sinar yang menyenangkan. Tanpa diminta, Yo Wan lalu membantu orang itu bangkit dan duduk. Terpaksa dia merangkul pundak orang asing ini karena begitu dilepaskan segera akan terguling kembali, begitu lemas dia. Orang asing itu mengedip-ngedipkan matanya, melirik ke arah tubuh Sin-Eng-Cu, lalu memandang kepada Yo Wan.

   "Dia Susiok-Couwmu? Jadi, kau ini murid Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta?"

   Suaranya amat lemah, nafasnya terengah-engah, agak sukar bagi Yo Wan untuk dapat menangkap arti kata-kata yang kaku dan asing itu. Namun dia seorang bocah yang cerdik, maka dapat dia merangkai kata-kata itu menjadi kalimat yang berarti. Yo Wan mengangguk, dan menjawab lantang,

   "Betul Lo-Cianpwe (Orang Tua Gagah). Mengapa Lo-Cianpwe bertempur dengan Susiok-Couw? Dia terluka hebat, apakah Lo-Cianpwe terluka?"

   Sejenak orang asing itu memandang tajam. Yo Wan merasa betapa sinar mata dari mata yang kebiruan itu seakan-akan menembus jantungnya dan menjenguk isi hatinya. Kemudian suara orang"

   Itu terdengar makin kaku dan agak keras,

   "Kau murid Kwa Kun Hong? Kau melihat kami bertempur? Mengapa kau sekarang menolongku? Mengapa kau tidak segera menolong Susiok-Couwmu yang pingsan itu?"

   Diberondongi pertanyaan-pertahyaan ini, Yo Wan tidak menjadi gugup, karena memang dia tidak mempunyai maksud hati yang bukan-bukan. Semua yang dia lakukan adalah suatu kewajaran, tidak dibuat-buat dan tidak mengandung maksud sesuatu kecuali menolong. Maka tenang saja dia menjawab,

   "Sudah saya lihat keadaan Susiok-Couw, dia terluka dari leher ke perut, dia tidak bergerak lagi, saya tidak tahu bagaimana saya harus menolongnya. Karena Lo-Cianpwe saya lihat dapat bergerak dan bicara, maka saya membantu Lo-Cianpwe sehingga nanti Lo-Cianpwe dapat membantu saya, untuk menolong Susiok-Couw."

   Sepasang mata itu masih menyorotkan sinar bengis.

   "Kau tadi melihat kami bertempur?"

   Yo Wan mengangguk, tangannya masih merangkul pundak orang asing itu dari belakang, menjaganya agar jangan roboh terlentang.

   "Jadi kau tahu bahwa aku adalah musuh Susiok-Couwmu, musuh Gurumu?"

   Yo Wan menggeleng kepala, pandang matanya penuh kejujuran.

   "Kalau kami saling serang, tentu berarti kami saling bermusuhan. Kenapa kau tidak membantu Susiok-Couwmu, malah menolong aku? Hayo jawab, apa maksudmu? Aku musuh Susiok-Couwmu, aku datang untuk memusuhi Gurumu. Nah, kau mau apa?"

   Yo Wan mengerutkan kening. Orang asing ini kasar sekali, akan tetapi mungkin kekasarannya itu karena bahasanya yang kaku.

   "Lo-Cianpwe, saya tidak tahu urusannya, bagaimana saya berani turut campur? Suhu selalu berpesan agar supaya saya menjauhkan diri dari permusuhan-permusuhan, agar supaya saya jangan lancang mencampuri urusan orang lain, dan agar saya selalu siap menolong siapa saja yang patut ditolong, tanpa memandang bulu, tanpa pamrih untuk mendapat jasa. Saya lihat Susiok-Couw tak bergerak lagi, dan saya tidak tahu bagaimana harus menolongnya, maka saya segera membantu Lo-Cianpwe."

   Sinar mata yang mengeras sekarang menjadi lunak kembali. Kumis di atas Bibir itu bergerak-gerak.

   "Wah, Suhumu hebat! Kau patut menjadi muridnya. Mana dia Suhumu? Mengapa sampai sekarang dia belum muncul?"

   "Suhu tidak berada di sini, Lo-Cianpwe. Sudah lima tahun Suhu pergi dari sini, ke Hoa-San. Yang berada di sini hanya saya seorang diri."

   Mata yang kebiruan itu melotot, wajah itu berubah agak pucat.

   "Celaka benar...! Heee, Sin-Eng-Cu, celaka Kwa Kun Hong tidak berada di sini!!"

   Yo Wan menoleh dan melihat Susiok-Couwnya bergerak-gerak hendak bangkit, namun sukar sekali dan mengeluh panjang.

   "Maaf, Lo-Cianpwe, saya harus menolongnya."

   Orang asing itu mengangguk dan sekarang dia sudah bersila, kuat duduk sendiri. Yo Wan melepaskan rangkulannya dan tergesa-gesa menghampiri Sin-Eng-Cu Lui Bok, cepat merangkul dan membangunkannya. Nafas Kakek ini terengah-engah dan dia terkekeh senang melihat Yo Wan.

   "Wah, kau kan bocah yang dulu itu?"

   Kau masih di sini? Siapa namamu, aku lupa lagi."

   "Teecu (murid) Yo Wan, Susiok-Couw..."

   "Ha... ha... ha, kau terus menjadi murid Kun Hong? Selama tujuh tahun ini?. Sin-Eng-Cu, kita akan mampus di sini. Pendekar Buta ternyata tidak berada di sini lagi."

   Sin-Eng-Cu Lui Bok menggerakkan alisnya yang sudah putih.

   "Apa?"

   La memandang Yo Wan.

   "Mana Gurumu?"

   "Susiok-Couw, Suhu dan Subo telah pergi semenjak lima tahun yang lalu, pergi ke Hoa-San meninggalkan Teecu seorang diri di sini. Tadi Teecu sedang turun dari puncak untuk menyusul karena sudah terlalu lama Suhu dan Subo pergi."

   "Lima tahun? Wah-wah, Guru macam apa dia itu? Eh, Yo Wan, jadi kau menjadi muridnya hanya untuk dua tahun saja? Ha... ha... ha, kutanggung kau belum becus apa-apa. Murid Pendekar Buta yang sudah belajar tujuh tahun belum becus apa-apa. Ha... ha... ha, bukan main"

   Orang asing itu mencela dan mengejek. Namun Sin-Eng-Cu tidak mempedulikannya.

   "Yo Wan, apakah Suhumu pernah mengajar ilmu pengobatan kepadamu selama dua tahun itu?"

   Yo Wan menggeleng kepalanya dan lagi-lagi orang asing itu yang mengeluarkan suara mengejek,

   "Sin-Eng-Cu, kau sudah terlalu tua, maka menjadi pikun. Lima tahun yang lalu anak ini paling-paling baru berusia delapan tahun. Dari usia enam sampai delapan tahun, mana bisa belajar ilmu pengobatan? He, tua bangka, umurmu hampir dua kali umurku. Apakah kau takut mampus? Tak usah takut, ada aku yang akan menemanimu ke alam halus"

   Akan tetapi Sin-Eng-Cu sudah bersila dan diam saja, Kakek ini sudah berSamadhi untuk menyalurkan hawa sakti di dalam tubuh, mengobati lukanya. Dalam hal ini Yo Wan mengerti maka ia pun lalu mundur dan membiarkan Kakek itu tanpa berani mengganggunya. Ketika dia menoleh, orang asing yang tadinya bicara sambil bergurau itu pun sudah meramkan mata berSamadhi. Yo Wan pernah mendengar keterangan Suhunya bahwa dengan hawa murni dalam tubuh yang sudah terlatih dengan Samadhi, orang tidak hanya dapat memperkuat tubuh, namun juga dapat mencegah atau mengobati luka-luka sebelah dalam, maka dia maklum bahwa dua orang aneh ini sedang mengobati luka masing-masing, maka dia pun lalu duduk bersila, menanti dengan sabar. Para pembaca cerita "Pendekar Buta"

   Tentu mengenal dua orang ini. Dua orang tokoh besar yang sakti.

   Sin-Eng-Cu Lui Bok adalah seorang aneh yang suka merantau, dia adalah Sute (adik seperguruan) dari Bu Beng Cu, mendiang Guru Kwa Kun Hong. Tujuh tahun yang lalu dia meninggalkan puncak Liong-Thouw-San ini, pergi merantau dengan burung Rajawali Emas menuju ke Utara. Kakek aneh ini merantau ke bagian paling Utara dari dunia, menjelajah daerah-daerah salju dan di tempat itulah burung Rajawali Emas yang sudah amat tua itu menemui kematiannya, tidak kuat menahan serangan salju yang dingin sekali. Ketika Kakek ini kembali ke Liong-Thouw-San, di tempat ini dia berjumpa dengan Bhewakala. Orang asing ini adalah seorang Pendeta yang sakti pula, tokoh dari Barat, seorang pertapa di puncak Anapurna di Pegunungan Himalaya. Dia adalah seorang Pendeta bangsa Nepal yang banyak melakukan perantauan di Tiongkok.

   Tujuh tahun yang lalu pernah dia bertanding dengan Kwa Kun Hong dan dikalahkan. Akan tetapi karena melihat sifat-sifat baik dari Pendeta ini, Kun Hong tidak membunuhnya dan Bhewakala yang amat kagum terhadap Kun Hong ini berniat akan belajar lagi dan kelak mencari Kun Hong untuk diajak mengadu ilmu. Keduanya adalah orang-orang sakti yang berwatak aneh. Begitu bertemu, mereka tidak mau saling mengalah dan keduanya setuju untuk mengadu ilmu disitu. Mereka adalah orang-orang yang selain sakti, juga mempunyai pribadi yang baik. Tentu saja mereka tidak bermaksud mengadu ilmu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi setelah bertempur dengan hebat dari tengah malam sampai pagi, belum juga ada yang kalah atau menang. Akhirnya mereka setuju untuk mengeluarkan senjata dan menggunakan pukulan-pukulan yang dapat mendatangkan luka hebat.

   "Takut apa dengan luka hebat?"

   Kata Bhewakala ketika Sin-Eng-Cu menolak.

   "Bukankah Pendekar Buta berada di sini? Kalau seorang di antara kita terluka, dia pasti akan dapat menyembuhkan."

   Memang, di samping kepandaiannya yang amat tinggi, Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta juga amat terkenal akan kepandaiannya mengobati. Dengan jaminan inilah Sin-Eng-Cu menerima tantangan Bhewakala dan bertempurlah mereka dengan lebih hebat lagi karena kini Bhewakala menggunakan cambuknya yang beracun sedangkan Sin-Eng-Cu mempergunakan pukulan-pukulan maut.

   Dan seperti telah diketahui akibatnya, Sin-Eng-Cu terluka oleh cambuk, sebaliknya Bhewakala juga terkena pukulan yang mendatangkan luka dalam hebat sekali. Keduanya rebah, namun tidak putus asa karena mereka yakin bahwa Kun Hong akan dapat mengobati mereka. Dan mereka merasa lega di samping penasaran, bahwa keadaan mereka tetap seimbang, tiada yang kalah tiada yang menang! Siapa sangka, Kun Hong tidak berada di situ! Hal ini berarti bahwa mereka akan mati, karena masing-masing cukup maklum bahwa luka yang diakibatkan oleh pukulan masing-masing itu tak mungkin dapat diobati kalau tidak oleh Kun Hong yang memiliki kepandaian luar biasa dalam hal pengobatan. Maka, seperti telah diberi komando, keduanya lalu cepat-cepat mengerahkan Sinkang di tubuhnya untuk menjaga agar luka itu tidak menjalar lebih hebat, setidaknya mereka dapat memperpanjang nyawa untuk tinggal lebih lama di dalam tubuh yang sudah terluka berat di sebelah dalam.

   Kesabaran Yo Wan mendapat ujian pada saat itu. Sudah tiga jam lebih dia bersila di situ menanti. Tiba-tiba awan tebal menyelimuti tempat itu, menjadi halimun yang amat dingin. Pakaian Yo Wan basah semua, juga pakaian dan tubuh dua orang aneh itu. Namun, Bhewakala dan Sin-Eng-Cu tetap duduk bersila seperti patung, tidak bergerak-gerak. Berkali-kali Yo Wan merasa khawatir, jangan-jangan dua orang itu sudah menjadi mayat, pikirnya. Akan tetapi tiap kali dia menjamah tubuh mereka masih hangat, malah sekarang wajah mereka tidak segelap tadi. Setelah lewat enam jam, matahari sudah naik tinggi dan halimun sudah terusir habis, dua orang itu membuka mata dan menarik nafas panjang. Malah keduanya saling pandang.

   "Bagaimana, Sin-Eng-Cu?"

   Bhewakala bertanya sambil tertawa lebar.

   "Hebat pukulan cambukmu, Bhewakala. Racun dapat kuhalau atau setidaknya kucegah untuk menjalar, akan tetapi-pukulanmu merusak pusat. Karena Kun Hong tidak berada di sini, tamatlah sudah riwayatku sebagai seorang ahli silat. Tiap kali aku mengerahkan Lweekang untuk mengeluarkan tenaga, pusarku terpukul dan kalau kupaksa, tentu aku akan mampus. Kau hebat! Dan bagaimana denganmu?"

   Bhewakala menggeleng kepala.

   "Kau pun luar biasa. Pukulanmu meremukkan tulang iga. Hal ini masih tidak mengapa, akan tetapi menggetarkan pusat pengendalian tenaga Kundalini. Karena itu, tenagaku musnah dan mungkin akan dapat kembali sesudah minum obat dan berlatih sedikitnya sepuluh tahun! Hemmm, apa artinya bagi seorang seperti aku?"

   Kini keduanya merasa menyesal, namun sudah terlambat. Ketika mereka menoleh dan melihat bahwa Yo Wan masih bersila tak jauh dari situ, mereka tercengang.

   "Kau masih berada di sini?"

   Sin-Eng-Cu bertanya kaget. Yo Wan mengangguk dan menghampiri Kakek itu.

   "Ha... ha... ha, Sin-Eng-Cu, bocah ini hebat! Sayang bakat dan sifat begini baik tidak dipupuk oleh Pendekar Buta. Ha... ha... ha, Pendekar Buta, kali ini benar-benar kau telah buta, menyia-nyiakan anak orang begini rupa. Sin-Eng-Cu, kau menjadi saksi, selama hidup aku tidak suka menerima murid, akan tetapi kali ini aku ingin sekali meninggalkan kepandaianku kepada anak ini sebelum aku mampus."

   Sin-Eng-Cu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Yo Wan, lekas kau berlutut menghaturkan terima kasih kepada Bhewakala Lo-Cianpwe, untungmu baik sekali."

   Yo Wan cepat berlutut di depan Bhewakala sambil berkata, suaranya nyaring dan tetap,

   "Saya menghaturkan banyak terima kasih atas maksud hati yang mulia dan kasih sayang Lo-Cianpwe kepada saya, akan tetapi saya tidak berani menerima menjadi murid Lo-Cianpwe, karena saya adalah murid Suhu. Bagaimana saya berani mengangkat Guru lain tanpa perkenan Suhu?"

   "Yo Wan, hal itu tidak apa-apa, ada aku di sini yang menjadi saksi!"

   Kata Sin-Eng-Cu Lui Bok.

   "Ha... ha... ha, anak baik, anak baik. Ini namanya ingat budi dan setia, teguh seperti gunung karang, tidak murka dan tamak! Eh, Yo Wan, siapakah orang tuamu?"

   Yo Wan menggigit Bibir, matanya dimeramkan untuk menahan keluarnya dua butir air mata. Pertanyaan yang tiba-tiba dan merupakan ujung Pedang yang tnenusuk ulu hatinya. Sampai lama dia tidak tnenjawab, kemudian dia membuka mata dan berkata periahan,

   "Saya yatim piatu, Lo-Cianpwe..."

   Kedua orang tua itu saling pandang, diam tak bersuara. Mereka itu sudah kenyang akan pengalaman pahit getir, perasaan mereka sudah kebal. Namun, membayangkan seorang bocah yang tinggal seorang diri di tempat sunyi itu bergulung dengan mega, tak berayah Ibu pula, benar-benar mereka merasa kasihan.

   "Yo Wan, aku pun tldak bermaksud mengambil murid kepadamu, hanya ingin meninggalkan atau mewariskan kepandaianku saja. Gurumu tentu takkan marah."

   "Mohon maaf sebesarnya, Lo-Cianpwe, Saya cukup maklum bahwa Lo-Cianpwe memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali dan hanya Tuhan yang tahu betapa ingin hati saya memilikinya. Akan tetapi, tanpa perkenan Suhu, bagaimana saya berani menerimanya? Suhu adalah Tuan penolong saya dan mendiang Ibu saya, Suhu adalah pengganti orang tua saya, harap Lo-Cianpwe maklum..."

   Suara Yo Wan tergetar saking terharu, dan kini tak dapat tertahan lagi olehnya, dua butir air matanya tergantung pada bulu matanya. Namun cepat dia menggunakan punggung kepalan tangannya mengusap air mata itu. Tiba-tiba Sin-Eng-Cu tertawa bergelak dan suaranya terdengar gembira sekali ketika dia berkata,

   "He! Bhewakala Pendeta koplok (goblok)! Dia seorang bocah yang tahu akan setia dan bakti, mana bisa dibandingkan dengan kau yang biarpun bertapa puluhan tahun dan belajar segala macam filsafat, kekenyangan pengetahuan lahirnya saja tanpa berhasil menyelami dan melaksanakan isinya sedikit pun juga? Lebih baik kita lanjutkan adu ilmu. Ingat, aku tua bangka belum kalah!"

   "Huh, tua bangka tak tahu diri. Kau kira aku pun sudah kalah? Hayo kita pergunakan tenaga terakhir untuk mencari penentuan!"

   Bhewakala bangkit berdiri dengan susah payah, tapi berdirinya tidak tegak, punggungnya tiba-tiba menjadi bongkok dan dia meringis, menahan sakit. juga Sin-Eng-Cu tertatih-tatih bangkit berdiri, namun dia juga tidak bisa berdiri tegak, kedua kakinya menggigil seakan-akan tubuh atasnya terlalu berat bagi tubuh bawahnya. Yo Wan bingung dan gugup sekali.

   
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Susiok-Couw... Lo-Cianpwe... Ji-wi (Kalian) sudah terluka hebat, bagaimana mau bertempur lagi? Harap suka saling mengalah, harap sudahi pertempuran ini...!"

   Yo Wan berdiri di antara mereka berdua dengan sikap melerai.

   "Ha... ha... ha, Cucuku. Orang-orang macam kami berdua ini hanya nafsunya saja besar tapi tenaganya kurang, malah sudah habis tenaganya! Jangan khawatir, kami tak mungkin dapat bertempur lagi, akan tetapi kami belum dapat menentukan siapa lebih unggul. He, Bhewakala, apa kau siap melanjutkan adu ilmu?"

   "Boleh!"

   Jawab Bhewakala dengan suara digagah-gagahkan.

   "Kalau belum ada yang kalah menang, tentu penasaran dan kelak kalau sama-sama ke alam baka, tak mungkin dapat melanjutkan pertandingan."

   "Bagus, kau laki-laki sejati, seperti juga aku! Sekarang kita lanjutkan!"

   "Majulah kalau kau masih kuat melangkah!"

   Tantang Bhewakala.

   "Ho... ho... ho, sombongnya si Pendeta koplok! Apa kau kira aku tidak tahu bahwa kau pun tidak sanggup maju selangkah pun? Ha... ha... ha, tertiup angin pun kau akan roboh. Kita melanjutkan ilmu, bukan kepalan. Ada Yo Wan di sini, apa gunanya?"

   Bhewakala tersenyum lebar, matanya yang besar itu berkedip-kedip.

   "Ha... ha... ha, kau benar, tua bangkotan. Ada Yo Wan, biarlah anak ini yang menjadi alat pengukur tingginya ilmu."

   "Yo Wan, Cucuku! Kau benar sekali, jangan sudi menjadi murid Pendeta koplok ini! Kalau kau tadi mau menerimanya, aku yang tidak sudi, tidak memperbolehkan. Tapi kau tentu mau menjadi alat kami untuk mengukur kepandaian, bukan? Kau harus menolong kami, kalau tidak, kami berdua takkan dapat mati meram."

   Yo Wan cepat berlutut di depan Kakek itu.

   "Susiok-Couw, tak usah diperintah, Teecu tentu bersedia menolong Ji-wi. Katakanlah, apa yang harus Teecu lakukan?"

   Selagi Yo Wan berlutut itu, Sin-Eng-Cu bertukar pandang dengan Bhewakala dan saling memberi isyarat dengan kedipan mata.

   "Yo Wan, lebih dulu bawa kami ke puncak. Sanggupkah kau?"

   "Akan Teecu coba."

   Ia menghampiri Sin-Eng-Cu dan berkata.

   "Maaf, Teecu akan menggendong Susiok-Couw."

   Anak ini membungkuk di depan Sin-Eng-Cu, membelakanginya. Sin-Eng-Cu tidak sungkan-sungkan pula lalu menggemblok di punggung Yo Wan yang menggendongnya dan anak ini sendiri merasa heran, padahal tadinya dia meragu apakah dia akan kuat menggendong Kakek itu. la terkejut dan diam-diam merasa girang sekali serta memuji kehebatan Susiok-Couw ini, karena dia merasa yakin bahwa Kakeknya ini tentu mempergunakan Ginkang tingkat tinggi sehingga dapat membuat tubuhnya menjadi demikian ringannya! Dengan langkah lebar dan gerakan cepat dia lalu menyeberangi jurang melalui dua tambang, kemudian dia memanjat tangga tali itu ke atas puncak.

   "Harap Susiok-Couw beristirahat di sini lebih dulu, Teecu akan menggendong Bhewakala Lo-Cianpwe ke sini."

   "Yo Wan, apakah Suhumu pernah mengajar Kim-Tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas) kepadamu?"

   Tiba-tiba Kakek itu bertanya kepada anak yang sudah akan lari keluar kembali dari dalam pondok itu. Yo Wan berhenti, membalikkan tubuh dan menjawab dengan sinar mata tidak mengerti dan kepala digelengkan. Pertanyaan itu tak ada artinya bagi dirinya, akan tetapi mengingatkan dia akan burung Rajawali Emas yang dahulu pergi bersama Kakek ini, maka dia cepat bertanya,

   "Susiok-Couw, mengapakah Kim-Tiauw (Rajawali Emas) tidak ikut pulang bersama Susiok-Couw?"

   "La sudah terlalu tua dan tidak kuat menghadapi hujan salju di Utara, dia telah mati dan kukubur dalam tumpukan salju."

   Yo Wan merasa menyesal sekaii sehingga untuk semenit dia diam saja termenung. Kemudian dia teringat akan tugasnya.

   "Teecu pergi dulu, hendak menjemput Bhewakala Lo-Cianpwe."

   "Pergilah, tetapi kau harus waspada, siapa tahu Pendeta Nepal itu di tengah jalan mencekik dan membunuhmu, Ha... ha... ha!"

   Yo Wah terkejut, akan tetapi hanya sejenak saja dia terpaku dan ragu-ragu, kemudian kakinya melangkah lebar dan dia sudah berlari ke luar, terus menuruni puncak itu dan menyeberangi jurang pertama. Bhewakala masih berada di situ, duduk bersila. Pendeta hitam ini tersenyum lebar ketika dia melihat Yo Wan.

   "Kau sudah kembali?"

   Yo Wan mengangguk, lalu membelakangi Pendeta itu sambil berjongkok.

   "Harap Lo-Cianpwe suka membonceng di punggung, tapi saya harap Lo-Cianpwe sudi mempergunakan kepandaian Ginkang seperti Susiok-Couw tadi, kalau tidak, saya khawatir tidak akan kuat menggendong Lo-Cianpwe."

   Pendeta asing itu hanya mendengus, lalu merangkul pundak bocah ini dan menggemblok di punggungnya. Yo Wan bangkit berdiri dan diam-diam dia menjadi girang dan kagum. Kiranya Pendeta ini pun amat sakti, Ginkangnya hebat sehingga tubuhnya yang jauh lebih besar dan tinggi daripada Susiok-Couwnya juga terasa ringan, hanya sedikit lebih berat daripada tubuh Kakek tadi. Ia mulai melangkah maju setengah berlari ke depan.

   "Yo Wan, kenapa kau mau menolong aku, seorang asing yang tidak kau kenal?"

   Tiba-tiba Pendeta Nepal itu bertanya.

   "Suhu berpesan kepada saya bahwa menolong orang tak boleh melihat Siapa dia, hanya harus dilihat apakah dia benar-benar membutuhkan pertolongan dan apakah kita dapat menolongnya. Locian-pwe terluka, perlu beristirahat, dan saya dapat membawa Lo-Cianpwe ke puncak untuk beristirahat di pondok kediaman Suhu, kenapa saya tidak mau menolong Lo-Cianpwe?"

   Diam-diam Bhewakala kagum, bukan saja oleh jawaban ini, juga melihat betapa bocah ini dapat menggendongnya sambil berjalan cepat dan ketika menjawab pertanyaannya, nafasnya tidak memburu, kelihatan enak saja. Ketika ia memandang ke arah kedua kaki bocah itu, dia terkejut. Bocah itu menggunakan langkah-langkah yang luar biasa, kadang-kadang berlari di atas tumit, kadang-kadang dengan kaki miring!

   "He, kau menggunakan langkah apa ini?"

   Tak tertahan lag Bhewakala bertanya nyaring. Yo Wan menjadi merah mukanya. Karena selama lima tahun itu siang malam dia berlatih langkah-langkah Si-Cap-It Sin-Po, maka kalau dia berlari, tanpa dia sengaja kedua kakinya melakukan gerak langkah-langkah itu secara otomatis! "Bukan apa-apa, Lo-Cianpwe, saya lari biasa,"

   Jawabnya dan kedua kakinya kini berlari biasa. Seperti juga dengan Susiok-Couwnya tadi, dia hendak membawa Bhewakala ke dalam pondok, akan tetapi Pendeta Nepal ini tidak mau.

   "Turunkan saja aku di luar sini, aku lebih senang duduk di luar menikmati pemandangan alam yang amat hebat dan indah ini."

   Yo Wan menurunkan Pendeta itu di atas bangku di depan rumah dan Bhewakala duduk bersila di situ dengan wajah berseri gembira.

   "Yo Wan! Pendeta koplok itu sudah datang? Hayo, bawa aku ke luar!"

   Terdengar teriakan Sin-Eng-Cu dari dalam pondok. Yo Wan berlari masuk dan tak lama kemudian Kakek tua itu sudah digendongnya keluar. Sin-Eng-Cu minta diturunkan di atas sebuah batu halus yang memang dahulu menjadi tempat duduknya. la pun bersila diatas batu ini, kurang lebih lima meter jauhnya dari bangku yang diduduki Bhewakala.

   "Sin-Eng-Cu, Cucu muridmu ini benar-benar hebat, membuat aku gembira sekali!"

   Kata Bhewakala.

   "Betapa tidak? Kalau tidak hebat berarti ia bukan Cucu muridku!"

   Jawab Sin-Eng-Cu dengan nada suara bangga. Yo Wan menjadi heran dan merasa malu. Yang hebat adalah mereka, pikirnya, biarpun sudah terluka hebat masih mampu mengerahkan Ginkang sehingga tubuh mereka demikian ringannya ketika dia membawa mereka mendaki tangga tali tadi.

   Kalau tidak demikian, mana mungkin dia akan kuat? Anak ini sama sekali tidak tahu bahwa dua orang itu sama sekali tidak menggunakan ilmu untuk membuat tubuh mereka ringan. Hal ini tidak mungkin, apalagi mereka terluka hebat sehingga tak mampu mempergunakan ilmu-ilmu mereka yang berhubungan dengan kekuatan di dalam tubuh. Yang membuat dia merasa ringan ketika menggendong mereka bukan lain adalah karena kekuatan yang terkandung dalam tubuhnya sendiri. la telah melatih diri tujuh tahun dengan pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan kegesitan, di samping itu dia pun dengan amat tekun berlatih Samadhi dan pernafasan. Hawa murni di dalam tubuhnya sudah terkumpul, maka dia dapat mengerahkan tenaga besar luar biasa yang membuat dia dapat menggendong Kakek-kakek itu secara mudah!

   "Yo Wan, kau tadi berjanji hendak menolong kami dua orang-orang tua. Apakah kau betul-betul suka menolong?"

   Tanya Bhewakala dengan pandang mata penuh gairah.

   "Betul, Yo Wan, kau harus menolong kami melanjutkan adu ilmu sampai terdapat keputusan siapa yang lebih unggul."

   Yo Wan membungkuk,

   "Susiok-Couw, Teecu siap menolong dan membantu, akan tetapi Teecu seorang anak yang bodoh, mana bisa menjadi perantara dalam adu ilmu? Bagaimana caranya?"

   "Mudah saja asal kau mau menolong. He, Bhewakala Pendeta hitam! Di dalam pondok ini terdapat empat buah kamar cukup untuk kita seorang sekamar. Kita lanjutkan adu ilmu. Kau tinggallah di kamar kiri, aku di kamar kanan, biar Yo Wan di kamar lain. Kau kuberi kesempatan untuk menyerang lebih dulu. Beritahukan jurus penyeranganmu kepada Yo Wan, dan kalau dia sudah memperlihatkan jurus itu, aku akan menghadapi dengan jurus pertahananku, lalu balas menyerang dengan jurus istimewa. Dua jurus itu kuberitahukan kepada Yo Wan yang akan menyampaikannya kepadamu. Kau harus dapat memecahkannya dan boleh balas menyerang. Siapa yang tidak dapat memecahkan sebuah jurus serangan, dia itu harus mengakui keunggulan lawan. Bagaimana?"

   "Setuju! Itulah yang kukehendaki. Hayo mulai sekarang juga!"

   "Yo Wan, kau mendengar perjanjlan kami untuk mengadu ilmu? Maukah kau menolong, hanya menjadi perantara begitu?"

   Yo Wan adalah seorang anak yang baru berusia tiga belas tahun. Apalagi dia kurang pengalaman, semenjak kecil berada di tempat sunyi mengejar ilmu dan bekerja, mana dia mampu menandingi kelihaian otak dua orang sakti ini? Secara tidak langsung, selain dua orang itu dapat memuaskan hati mencari keunggulan dalam ilmu silat, juga mereka ingin sekali menurunkan kepandaian masing-masing kepada bocah yang sudah menaklukkan hati dan cinta kasih mereka itu. Yo Wan menganggap mereka berdua ini Kakek-kakek yang lucu dan aneh. Masak ada orang melanjutkan adu ilmu seperti itu? Seperti main-main saja. Keduanya sudah terluka masih tidak mau terima, masih ingin melanjutkan terus, benar-benar gila, pikirnya.

   "Kalau kau keberatan pun tidak apa,"

   Sambung Sin-Eng-Cu.

   "Kami bisa merangkak turun saling menghampiri, kemudian saling cekik sampai mampus di sini!"

   Sambil berkata demikian, Sin-Eng-Cu mengedipkan mata kepada Bhewakala.

   "Jangan kira kau akan dapat mencekik leherku, Sin-Eng-Cu tua bangka bangkotan. Lebih dulu jari-jariku akan menusuk dadamu sampai bolong-bolong? Bhewakala mengancam, juga tersenyum dan mengedipkan mata pula.

   "Jangan...! Harap Ji-wi jangan berkelahi terus. Baiklah, saya akan mentaati permintaan Ji-wi, menjadi perantara. Akan tetapi saya harap jiwi betul-betul menghentikan adu ilmu ini kalau seorang di antara Ji-wi ada yang tidak sanggup memecahkan sebuah jurus. Sekarang harap Ji-wi sudi menanti sebentar, saya hendak menyediakan makanan."

   Tanpa menanti jawaban, Yo Wan lalu menuju ke ladang, memetik sayur-mayur, membawanya ke dapur dan memasak sayur-mayur dan ubi kentang. Pandai dia memasak setelah berlatih lima tahun selama ini dan di situ tersedia lengkap pula bumbu-bumbu yang dia tukar dari penduduk dusun dengan hasil ladangnya. Di luar, tanpa sepengetahuan Yo Wan, dua orang Kakek itu berunding. Karena mereka amat suka kepada Yo Wan dan maklum pula bahwa keadaan tubuh mereka sudah cacad akibat pertandingan semalam, agaknya tak mungkin dapat tertolong lagi karena Kwa Kun Hong tidak berada di situ. Maka mereka mengambil keputusan Untuk menurunkan ilmu-ilmu mereka yang paling iihai kepada Yo Wan.

   "Jangan kau terlalu bernafsu merobohkan aku,"

   Kata Sin-Eng-Cu.

   "Kita turunkan dahulu jurus-jurus yang pernah kita mainkan malam tadi sehingga masing-masing tentu sudah mengenalnya dan dapat memecahkannya. Setelah itu, barulah kita bertanding betul-betul, mengeluarkan jurus-jurus baru yang harus dapat dipecahkan."

   Bhewakala menyetujui usul Kakek bekas lawannya ini. Setelah masakan sayur-mayur matang dan dihidangkan oleh Yo Wan, mereka bertiga makan dengan tenang dan lahap. Kemudian dua orang sakti itu minta diantar ke kamar masing-masing dan mulai hari itu juga, Yo Wan menjadi perantara pertandingan yang aneh ini. Mula-mula dia harus menghafal dan menggerakkan sebuah jurus yang diturunkan oleh Bhewakala dan oleh karena jurus ini harus dipergunakan untuk menyerang, tentu saja Yo Wan diharuskan dapat memainkannya dengan baik. Pada hari-hari pertama, amatlah sukar bagi anak ini untuk menghafal dan mainkan jurus-jurus itu, karena jurus yang diturunkan itu adalah jurus ilmu silat tingkat tinggi yang sukarnya bukan main.

   Andaikata dia belum diberi dasar Ilmu Si-Cap-It Sin-Po, yaitu langkah-langkah ajaib yang sudah mengandung inti sari dari semua jenis langkah dalam persilatan, agaknya dia tidak mungkin mampu melakukan gerakan jurus yang diturunkan oleh dua orang sakti ini. Jurus pertama yang diturunkan Bhewakala, baru dapat dia lakukan setelah dia latih selama dua minggu! Memang mengherankan bagi yang tidak tahu, akan tetapi kalau diingat syarat-syaratnya, memang berat. Dalam setiap gerak dalam jurus ini, imbangan tubuh harus tepat bahkan keluar masuknya nafas juga harus disesuaikan dengan setiap gerak! Biarpun Yo Wan belum dapat menikmati dan membuktikan sendiri kegunaan ilmu silat karena selama belajar di situ belum pernah dia menggunakan ilmu silat untuk bertempur,

   Tetapi mengingat sukarnya jurus ini, dia mengira bahwa Sin-Eng-Cu tentu akan menjadi bingung dan tidak mudah memecahkannya. Jari tengah dan telunjuk kanan menusuk mata diteruskan dengan siku kanan menghantam jalan darah di bawah telinga, dibarengi pukulan tangan kiri pada pusar yang disusul lutut kaki kanan menyodok arah kemaluan kemudian dilanjutkan tendangan kaki kanan sebagai gerak terakhir. Sebuah jurus yang "Berisi"

   Lima gerak serangan berbahaya! Bhewakala menamakan jurus ini Ngo-Houw Lauw-Yo (Lima Harimau Mencari Kambing), sebuah jurus dari ilmu silat ciptaannya yang paling lihai ketika dia bertapa di Gunung Himalaya, yaitu ilmu silat yang dinamainya Ngo-Sin Hoan-Kun (Ilmu Silat Lima Lingkaran Sakti). Akan tetapi alangkah herannya ketika Sin-Eng-Cu menyambut jurus yang dia mainkan di depan Kakek ini dengan tertawa bergelak.

   "Ha... ha... ha...ha...ha! Pendeta koplok! Jurus cakar bebek beginian dipamerkan di depanku? Wah, terlalu gampang untuk memecahkannya!"

   Yo Wan hanya memandang dengan kagum dan diam-diam dia pun girang karena ternyata Susiok-Couwnya ini tidak kalah lihainya oleh Bhewakala. Sudah tentu saja dalam adu ilmu yang luar biasa ini sedikit banyak dia berpihak kepada Sin-Eng-Cu dan mengharapkan kemenangan bagi Kakek ini, karena betapapun juga Kakek ini adalah Paman Guru dari Suhunya.

   "Awas, dengarkan dan lihat baik-baik gerak tanganku. Sekaligus aku akan patahkan daya serang jurus cakar bebek ini."

   Dengan gerak tangan dan keterangan yang lambat dan jelas Sin-Eng-Cu mengajarkan jurusnya.

   "Menghadapi serangan seorang berilmu seperti Bhewakala, kita harus bersikap waspada dan jangan mudah terpancing oleh gerak pertama, karena semua jurus ilmu silat tinggi selalu menggunakan pancingan dan makin tersembunyi gerak pancingan ini akan lebih baik. Gerak pertama menyerang anggota tubuh bagian atas jangan dihadapi dengan perhatian sepenuhnya, melainkan harus dielakkan sambil menanti munculnya gerak susulan yang merupakan gerak inti. Serangan tangan kanan ke arah mata dan leher, kita hadapi dengan merendahkan tubuh sehingga tusukan mata dan serangan siku kanan lewat di atas kepala. Serangan pukulan tangan kiri pada pusar kita tangkis dengan tangan kanan dan apabila dia berani menggunakan lututnya, kita mendahului dengan pukulan sebagai tangkisan ke arah sambungan lutut. Inilah jurusku yang menghancurkan jurus Bhewakala itu, kunamai jurus Lo-Han Pai-Hud (Kakek Menyembah Buddha)."

   Jurus ini dilatih oleh Yo Wan dengan susah payah, apalagi karena segera disusul jurus kedua yang merupakan serangan balasan dari Sin-Eng-Cu, yaitu jurus yang disebut Liong-Thouw Coan-Po (Kepala Naga Terjang Ombak). Dua buah jurus ini adalah jurus-jurus dari ilmu silat ciptaan Kakek ini yang dia beri nama Liong-Thouw-Kun (ilmu Silat Kepala Naga) atau ilmu silat dari Liong-Thouw-San tempat dia bertapa di bekas kediaman mendiang kakak seperguruannya, Bu Beng Cu. Untuk dua buah jurus ini Yo Wan menggunakan waktu dua puluh hari. Ia bangga sekali terhadap Kakek itu dan mengira bahwa Bhewakala tentu akan repot menghadapi Liong-Thouw Coan-Po. Eh, kembali dia tercengang dan kecewa karena Pendeta Nepal ini terkekeh-kekeh. memandang rendah sekali jurus serangan balasan Sin-Eng-Cu ini.

   "Uwa"

   Ha... ha... ha... ha... tua bangka bangkotan itu sudah gila kalau mengira bahwa jurusnya monyet menari ini bisa menggertak aku. Lihat baik-baik jurusku yang akan memecahkan rahasianya dan sekali ini dengan jurus seranganku yang kedua, dia pasti akan mati kutu!"

   Kakek Pendeta Nepal ini lalu mengajarkan dua buah jurus lain yang lebih sulit dan aneh lagi.

   Demikianlah, setiap hari, siang malam hanya berhenti kalau mengurus keperluan mereka bertiga, makan dan tidur, Yo Wan melayani mereka berdua silih-berganti. Mula-mula memang setiap jurus harus dia pelajari sampai hafal baru dapat dia mainkan setelah tekun mempelajarinya sampai beberapa hari, apalagi makin lama jurus-jurus yang dikeluarkan dua orang sakti itu makin sukar. Akan tetapi setelah lewat tiga bulan, dia mulai dapat melatihnya dengan lancar, dan dapat menyelesaikan setiap jurus dalam waktu sehari saja! Yo Wan tidak hanya harus menghafal dan dapat mainkan jurus-jurus ini untuk dimainkan di depan kedua orang sakti itu, tetapi karena tingkat itu makin tinggi, terpaksa dia harus menerima latihan Siulian (Samadhi), pernafasan dan cara menghimpun tenaga dalam tubuh.

   "Tanpa mempelajari Lweekang dahulu, tak mungkin kau mainkan jurus ini,"

   Demikian kata Bhewakala dan karena dia sudah berjanji untuk membantu kedua orang itu menjadi perantara dalam adu ilmu, terpaksa Yo Wan tidak membantah dan mempelajari Lweekang yang aneh dari Kakek Nepal ini. Demikian pula, dengan alasan yang sama, Sin-Eng-Cu menurunkan latihan Lweekang yang lain dan untuk latihan ini Yo Wan, mengalami kelancaran karena Lweekang dari Kakek ini sejalan dengan apa yang dia pelajari dari Suhunya.

   Tanpa terasa lagi, tiga tahun telah lewat! Ngo-Sin Hoan-Kun (Ilmu Silat Lima Lingkaran Sakti) dari Bhewakala yang berjumlah lima puluh jurus itu telah dia mainkan semua. Demikian pula Liong-Thouw-Kun dari Sin-Eng-Cu Lui Bok yang berjumlah empat puluh delapan jurus. Bukan ini saja, dengan alasan bahwa ilmu pukulan tangan kosong tak dapat menentukan kemenangan. Bhewakala menurunkan ilmu cambuk yang dapat dimainkan dengan pedang. Karena ilmu Pedang ini pun berdasar pada Ngo-Sin Hoan-Kun, maka tidak sukar bagi Yo Wan untuk menghafal dan memainkannya. Sebagai imbangannya, Sin-Eng-Cu juga menurunkan ilmu pedangnya. Pada bulan kedua dari tahun ketiga, Sin-Eng-Cu yang keadaannya sudah amat payah saking Tuanya dan juga karena kelemahan tubuhnya akibat pertempuran tiga tahun yang lalu, menurunkan jurus yang tadinya amat dirahasiakan.

   "Yo Wan... Bhewakala hebat memang. Tapi coba kau perlihatkan jurus ini dan dia pasti akan kalah. Jurus itu disebut Pek-Hong Ci-Tiam (Bianglala Putih Keluarkan Kilat), jurus simpananku yang tak pernah kupergunakan dalam pertandingan karena amat ganas. Coba... bantu aku berdiri, jurus ini harus kumainkan sendiri, baru kau dapat menirunya. Ke sinikan pedangmu..."

   Yo Wan yang tadinya berlutut menyerahkan pedangnya, Pedang dari kayu cendana yang sengaja dibuat untuk perang adu ilmu itu, sambil membantu Kakek yang sudah tua renta itu bangkit berdiri. Diam-diam Yo Wan menyesal sekali mengapa Kakek yang tua ini begini gemar mengadu ilmu. Sudah sering kali selama tiga tahun itu dia membujuk-bujuk mereka untuk menghentikan adu ilmu, namun sia-sia belaka. Namun sebenarnya, di balik semua itu, ia pun mulai merasa senang sekali dengan pelajaran jurus-jurus itu.

   "Nah, kau lihat baik-baik..."

   Kakek itu menggerakkan Pedang kayu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram dari atas. Memang gerakan yang amat hebat dan dahsyat. Bahkan Kakek yang sudah kehabisan tenaga itu, ketika mainkan jurus tersebut kelihatan menyeramkan. Terdengar suara bercuitan dari Pedang kayu dari tangan kirinya"

   Kemudian... Kakek itu roboh terguling.

   "Susiok-Couw...!"

   Yo Wan cepat menyambar tubuh Kakek itu dan membantunya duduk sambil menempelkan telapak tangannya pada punggung Kakek itu dan menyalurkan hawa murni sesuai dengan ajaran Sin-Eng-Cu.

   ""Sudah... eh, baik sudah... uh-uh-uh... tua bangka tak becus aku ini... Yo Wan, sudahkah kau dapat mengerti jurus tadi?"

   Yo Wan mengangguk, dan maklum akan watak Kakek ini, seperti biasa setelah Kakek itu duduk bersila, dia mengambil Pedang kayu dan mainkan jurus tadi. Suara bercuitan lebih nyaring terdengar, dan Kakek itu berseru gembira, tapi nafasnya terengah-engah.

   "Bagus, bagus! Nah, kalau sekali ini Pendeta koplok itu dapat memecahkan jurusku Pek-hong-ci-kiam, dia benar-benar patut kau puja sebagai Gurumu!"

   Dengan nafas terengah-engah Kakek itu lalu melambaikan tangan, mengusir Yo Wan keluar dari kamarnya untuk segera mendemonstrasikan jurus itu kepada lawannya. Dengan hati sedih karena ketika meraba punggung tadi dia tahu bahwa Kakek itu keadaannya amat payah, Yo Wan meninggalkan kamar, langsung memasuki kamar Bhewakala. Keadaan Pendeta Nepal ini tidak lebih baik daripada Sin-Eng-Cu Lui Bok. la pun amat payah karena selain kekuatan tubuhnya makin mundur akibat luka dalam, juga dia harus mengerahkan tenaga dan pikiran setiap hari untuk mengajar Yo Wan. Ketika Yo Wan memasuki kamarnya dan mainkan jurus Pek-Hong Ci-Tiam, dia terkejut sekali dan sampai lama dia bengong saja, menggeleng-geleng kepalanya. Kemudian mengeluh.

   

Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini