Ceritasilat Novel Online

Jaka Lola 20


Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



"Dasar manusia-manusia tak tahu diri,"

   Diam-diam Yo Wan berpikir.

   "Benar-benar seperti rombongan monyet berlagak, mencari penyakit sendiri."

   Ahli golok bermata sipit she Bhe itu cengar-cengir, kini terang-terangan memandang ke arah meja si muda-mudi sambil berkata,

   "Kalau si kutu buku dan sumoinya sanggup mengangkat batu ini, biarlah kami takkan banyak bicara lagi. Akan tetapi kalau tidak sanggup, si kutu buku harus membiarkan sumoinya yang cantik manis untuk menemani kami minum beberapa cawan arak."

   Sungguh keterlaluan si mata sipit ini, kekurangajarannya sudah memuncak. Yo Wan ingin sekali mernberi tahu agar muda-mudi itu pergi saja meninggalkan restoran dan menjauhi keributan. Akan tetapi muda-mudi itu enak-enak saja makan, lalu terdengar si gadis berkata mengomel,

   "Suheng, makin lama lalat-lalat hijau busuk itu membosankan. Bagaimana kalau aku tepuk mampus binatang-binatang hina itu?"

   "Ihhh, apa perlunya melayani segala macam lalat bau, Sumoi? Biarkan saja, memang biasanya lalat-lalat hijau itu hanya berkeliaran di tempat-tempat kotor, lalu menimbulkan suara ribut dan menyebar penyakit. Biarkan saja, mereka tentu akan mampus sendiri kelak."

   Muda-mudi itu tertawa geli sambil melanjutkan makan minum. Tiga orang jagoan itu kelihatan marah sekali, juga si pendek yang mengangkat batu tadi. Mukanya yang kuning menjadi merah, matanya melotot.

   la lalu mengangkat lagi singa-singaan batu, mengerahkan tenaga dan melontarkan singa-singaan itu ke atas, ke arah meja si muda-mudi. la sudah memperhitungkan bahwa dua orang muda itu tentu akan mengelak dengan melompat pergi sehingga singa-singaan batu akan menimpa dan menghancurkan meja dan mereka akan dapat mentertawakan dua orang itu. Batu besar itu berputaran ke atas, lalu menyambar ke arah meja si muda-mudi yang masih enak-enak saja makan minum seakan-akan tidak melihat datangnya bahaya! Akan tetapi setelah singa-singaan batu itu melayang di atas kepala mereka dan agaknya akan menimpa mereka berdua dan meja di depan mereka, si nona cantik itu menggerakkan tangan kiri, dengan jari-jari terbuka, jari-jari tangan yang kecil meruncing dan halus itu hanya menyentuh batu itu tampaknya, akan tetapi batu itu tiba-tiba terputar di udara dan melayang kembali ke arah meja enam orang itu!

   "Wah, celaka, lari...!"

   Teriak si mata sipit. Karena tiga orang saudagar yang menjadi langganan mereka itu tak pandai silat, maka si mata sipit, si pendek, dan Si pipi cacad masing-masing menarik"tangan seorang saudagar dan dibawa meloncat pergi dari dekat meja. Terdengar suara hiruk-pikuk ketika singa-singaan batu jatuh menimpa meja. Meja pecah, keempat kakinya patah-patah, mangkok piring hancur berantakan, sumpit beterbangan dan cawan-cawan arak tumpah.

   "Ha... ha... ha!"

   Si pemuda tertawa.

   "Hi...hi...hik!"

   Si pemudi mengikutinya. Akan tetapi mereka tetap saja makan minum tanpa pedulikan tiga orang jagoan yang melotot marah dan tiga orang saudagar yang menjadi pucat mukanya. Adapun Yo Wan yang masih duduk tenang, memandang kagum, akan tetapi juga merasa betapa gadis itu agak terlalu ganas. Enak saja bermain-main dengan batu seberat itu. Bagaimana kalau tadi menimpa kepala orang? Tentu akan remuk dan mati seketika juga.

   "Kurang ajar!"

   Tiat-Houw atau si Harimau Besi berseru marah. Dengan muka merah dia menarik singa-singaan batu dari atas meja yang sudah ringsek, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dan kini dia melontarkan batu itu sekuatnya ke arah si nona manis!

   "Kau terimalah ini!"

   Singa-singaan batu itu kali ini tidak melayang seperti tadi yang hanya dilontarkan ke atas ke arah meja si muda-mudi, melainkan langsung menyambar ke arah nona itu merupakan sambitan keras dan berbahaya. Namun, seperti juga tadi, nona itu dengan amat tenang masih terus asyik makan minum, malah pada saat singa-singaan batu sudah menyambar dekat, nona itu dengan tangan kirinya mengangkat cawan arak dan meminumnya!

   Para pelayan memandang dengan muka pucat, bahkan ada yang meramkan mata, tidak sampai hati menyaksikan nona cantik jelita yang sedang minum itu remuk kepalanya oleh singa-singaan batu Hanya Yo Wan yang dapat menduga apa yang akan terjadi maka dia pun enak-enak minum araknya. Tepat seperti dugaan Yo Wan, nona itu dengan tangan kanannya mengangkat sepasang sumpitnya, dan secara mudah dan enak saja ia "Menerima"

   Batu itu dengan sumpit. Batu besar berbentuk singa itu terputar-putar di ujung sumpit, kemudian sekali menggerakkan lengan kanan, singa batu itu terbang dari ujung sumpitnya, kembali ke alamat pengirim. Semua ini dilakukan dengan cawan arak masih menempel di Bibir!

   "Aiiihhh..."

   Orang she Pui yang berjuluk Harimau Besi itu berteriak kaget sekali ketika melihat singa-singaan batu itu tiba-tiba menyambar ke arahnya. la tidak sempat lagi mengelak, terpaksa dia menggerakkan kedua lengannya menerima singa-singaan batu itu. Sambil mengerahkan tenaganya dia menerima, akan tetapi alangkah kagetnya ketika singa-singaan batu itu ternyata berlipat kali lebih berat daripada tadi. Hal ini adalah karena batu itu dilontarkan dengan tenaga Sinkang. Si pendek sombong berusaha menahan, namun dia terhuyung-huyung ke belakang, singa batu menghimpit dadanya dan setelah terhuyung-huyung sampai lima meter ke belakang dan menabrak meja, baru dia berhenti.

   Singa-singaan batu itu dia lemparkan ke sebelah kanannya dan dia batuk-batuk. Darah segar tersembur keluar ketika dia batuk-batuk itu, temudian dengan lemas dia menjatuhkan diri ke atas kursi, nafasnya terengah-engah, mukanya pucat, matanya meram. Jelas bahwa dia menderita luka di sebelah dalam dadanya, yang cukup hebat! Kini terbukalah mata si mata sipit dan si pipi cacad bahwa gadis yang mereka tadi sebut-sebut sebagai bunga hutan liar itu benar-benar liar dan tentang durinya, jangan tanya lagi! Melihat teman mereka terluka hebat, si pipi cacad yang berjuluk Huang-Ho Sin-Piauw dan she Gong menjadi amat marah. Dengan gerakan yang tak dapat diikuti pandang mata saking cepatnya, tahu-tahu dia telah mengayun kedua tangannya bergantian ke arah muda-mudi itu dan terdengar teriakannya.

   "Bocah-bocah mau mampus, makanlah ini!"

   Sinar hitam berkelebatan menyambar ke arah meja muda-mudi itu ketika beberapa batang piauw menyambar. Tidak heran si pipi cacad ini berjuluk Piauw Sakti dari Huang-Ho. Kiranya dia pandai sekali bermain piauw dan dapat menyambitkan senjata rahasia itu dengan gerakan yang cepat. Agaknya orang akan kalah cepat kalau harus berlomba mencabut dan mempergunakan senjata rahasia dengan si pipi cacad yang bermuka lonjong buruk itu.

   "Menjemukan!"

   Seru si gadis, matanya yang bening dan indah itu memancarkan cahaya kemarahan.

   "Biarlah, Sumoi...!"

   Kata si pemuda yang mendahului sumoinya, menggerakkan"

   Sumpitnya. Sumpit itu bergerak-gerak seperti tergetar. Terdengarlah suara

   "Cring-cring-cring"

   Beberapa kali disusul berkelebatnya sinar-sinar hitam ke atas lalu,

   "Cap-cap-cap-cap-cap!."

   Empat batang piauw sudah menancap pada langit-langit di atas pemuda itu!

   Si pemuda yang wajahnya masih belum tampak oleh Yo Wan karena pemuda itu duduknya membelakangi Yo Wan, kini bersikap seperti tak pernah terjadi apa-apa, minum araknya kemudian berdongak ke atas dan dari mulutnya tersembur arak lembut Seperti uap yang terus menyambar ke langit-langit. Terdengar suara nyaring dan... empat batang piauw yang menancap pada langit-langit itu rontok dan runtuh semua ke bawah!

   "Hebat...!!"

   "Luar biasa...!"

   "Bagus sekali...!!"

   Demikian teriakan para pelayan yang menjadi amat gembira menyaksikan kesudahan-kesudahan dari serangan-serangan yang tadinya amat mengkhawatirkan itu. Yo Wan enak minum araknya. Semua ini sudah diduganya dan dia tidak heran, hanya dia merasa kagum akan sikap muda-mudi yang begitu tenang. Timbul keinginan keras di hatinya untuk mengenal mereka.

   Akan tetapi yang paling marah adalah si Piauw Sakti! Bagaimana julukannya Piauw Sakti akan dapat bertahan terus kalau permainan piauwnya diperlakukan seperti lalat-lalat menyambar oleh pemuda tak terkenal itu? Timbul pikiran yang licik dalam benaknya. Tadi si gadis mendemonstrasikan tenaga yang hebat ketika menghadapi singa-singaan batu. Kini yang menghadapi piauwnya adalah si pemuda, agaknya ini membuktikan bahwa si gadis tidaklah sehebat si pemuda dalam menghadapi piauw. Untuk menebus kekalahannya, si pipi cacad kembali mengayun senjata-senjata rahasianya, kali ini sekaligus dia menyambitkan enam batang piauw yang kesemuanya menyambar ke arah si gadis, bahkan menyambar ke enam bagian tubuh yang berbahaya.

   "Suheng, kali ini jangan larang aku! terdengar si gadis berkata halus, tiba-tiba ia meloncat bangun dan sepasang sumpit telah berada di kedua tangannya. Dengan gerakan yang cepat kedua tangan yang memegang sumpit itu menangkis, terdengar suara nyaring berkali-kali dan sinar-sinar hitam itu menyambar kembali ke arah penyerangnya!

   Si pipi cacad kaget sekali, cepat mengelak, namun dia hanya dapat menghindarkan diri dari empat batang piauw, sedangkan yang dua batang lagi telah menancap di pundak dan pahanya. la memekik dan roboh, termakan senjatanya sendiri seperti keadaan kawannya si pendek tadi! Melihat perkembangan peristiwa itu menjadi pertandingan yang mengakibatkan luka dan darah, para pelayan yang tadi gembira menyaksikan demonstrasi kepandaian yang mengagumkan, sekarang menjadi bingung dan ketakutan. Ingin mereka melerai, ingin mereka minta agar supaya orang keluar dari restoran kalau hendak berkelahi, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka berani bicara. Karena itu mereka hanya lari ke sana ke mari dan saling pandang dengah muka pucat, tak tahu harus berbuat apa seperti ayam hendak bertelur.

   Kini tinggallah seorang jagoan lagi, yaitu si mata sipit yang berjuluk Huang-Ho Siang-to. Orang she Bhe ini melihat dua orang kawannya sudah terluka, diam-diam merasa gentar juga dan maklum bahwa ternyata mereka bertiga yang selama ini menjagoi daerah lembah Sungai Huang-Ho di bagian Leng-Si-Bun, kiranya telah tersandung batu! la maklum bahwa kedua orang muda itu adalah Pendekar-Pendekar yang berilmu tinggi. Akan tetapi melihat dua orang kawannya terluka, tak mungkin dia diam saja. Ke mana akan disembunyikan mukanya kalau dia tidak membela? Nama besarnya tentu akan menjadi bahan ejekan orang. Maju dan kalah oleh lawan yang lebih lihai bukanlah hal memalukan, akan tetapi mundur teratur tanpa melawan, benar-benar tak mungkin dapat dia lakukan.

   "Bocah-bocah sombong, siapakah kalian berani bermain gila di daerah ini? Hayo layani sepasang golok dari Huang-Ho Siangrto, kalau dapat mengalahkan sepasang golokku, barulah boleh disebut gagah!"

   Pemuda itu hanya tersenyum, akan tetapi si pemudi mendengus dengan sikap mengejek.

   "Suheng, agaknya tukang cacah daging bakso ini sudah sinting, mau apa dia bawa-bawa golok pencacah bakso? Biar kuhabiskan saja dia..."

   "Ssttt, jangan. Biarkan, kita lihat mau apa tikus ini..."

   Kata si pemuda. Tentu saja si mata sipit tahu bahwa dirinya yang dimaki tukang cacah bakso dan tikus, maka kemarahannya memuncak. Matanya menjadi makin sipit dan mukanya merah sekali.

   "Keparat, kalian yang akan kujadikan bakso..."

   Sambil berkata demikian, dia mengayun dan menggerakkan kedua goloknya di atas kepala. Sepasang golok itu berkelebatan mengeluarkan sinap berkeredepan. Mendadak gerakannya terhenti dan si mata sipit terkejut dan heran karena dia merasa betapa sepasang goloknya terhenti di tengah udara, di belakang kepalanya seakan-akan tersangkut sesuatu. Betapapun dia berusaha membetotnya, tapi sia-sia.

   Cepat dia membalikkan tubuh dengan bulu tengkuk meremang dan terpaksa dia melepaskan kedua goloknya. Apa yang dilihatnya? Ketika dia membalikkan tubuh, di depannya telah berdiri seorang laki-laki bertubuh pendek, berkepala botak. Laki-laki ini mengangkat kedua tangannya dan ternyata sepasang goloknya itu telah dijepit oleh jari tengah dan telunjuk yang ditekuk. Dapat dibayangkan betapa hebat tenaga orang ini, karena dengan dua jari menjepit sebuah punggung golok, si mata sipit tak mampu membetotnya! Ketika si mata sipit melihat bahwa di belakang orang pendek ini masih terdapat tujuh orang pendek lain kesemuanya berdiri tegak dan angker, tiba-tiba tubuhnya menggigil dan dia berkata gagap.

   "Ki... kipas... Kipas Hitam..."

   Mendengar suara ini, para pelayan berserabutan lari melalui pintu belakang restoran dan sebentar saja mereka tidak tampak lagi. Diam-diam Yo Wan memperhatikan hal ini dan dia dapat menduga bahwa nama Kipas Hitam tentulah sudah terkenal dan ditakuti orang.

   Cepat dia memandang penuh perhatian. Laki-laki yang menjepit sepasang golok dengan jari tangannya itu, benar-benar pendek tubuhnya, pendek gempal dan tegap, tampak amat kuat sepasang lengannya yang juga pendek itu. Di pinggangnya tergantung sarung Pedang yang panjang dan agak bengkok, sedangkan di ikat pinggang depan terselip sebuah kipas berwarna hitam. Tujuh orang di belakangnya pun seperti itu dandanannya, hanya bedanya, orang yang di depan itu sarung pedangnya lebih indah. Agaknya kipas-kipas hitam yang berada di pinggang mereka itulah yang menjadi tanda bahwa mereka adalah anggota-anggota Kipas Hitam. Dan lucunya, mereka semua, delapan orang ini kepalanya dicukur botak tinggal di atas kedua telinga dan di sebelah belakang saja. Laki-laki pendek yang menjepit golok itu lalu berkata, suaranya kaku dan asing,

   "Tiga ekor cumi-cumi banyak tingkah!"

   Tiba-tiba kedua tangannya bergerak dan entah bagaimana, tahu-tahu tubuh si mata sipit sudah melayang keluar dari restoran setelah melalui jarak belasan meter. Dua orang jagoan lain, si pipi cacad dan si pendek muka kuning yang sudah terluka, tahu-tahu sudah melarikan diri diikuti oleh tiga orang saudagar. Mereka inilah yang mengangkat si golok sakti dan setengah diseret pergi dari tempat itu! Yo Wan dapat menduga sekarang. Agaknya rombongan Kipas Hitam ini adalah perampok-perampok atau lebih tepat agaknya bajak-bajak laut, mengingat akan makiannya tadi. Hanya orang orang yang biasa berlayar saja agaknya yang akan menggunakan nama binatang laut cumi-cumi untuk memaki orang, Apalagi orang pendek ini suaranya kaku dan asing. Mereka inilah bajak laut-bajak laut Jepang seperti yang pernah didengar Yo Wan dari percakapan orang-orang di sepanjang perjalanan!

   Sementara itu, sepasang muda-mudi yang tadinya kelihatan tenang-tenang saja itu, kini bangkit dari tempat duduk mereka. Agaknya sebutan Kipas Hitam tadi yang membuat mereka serentak bangkit dan memandang tajam kepada delapan orang yang baru tiba. Kini Yo Wan dapat melihat bahwa si pemuda juga amat tampan dan gagah, tubuhnya tegap dan biarpun tidak tampak, Yo Wan dapat mengetahui bahwa pemuda itu menyembunyikan sebatang Pedang di balik jubahnya, jubah seorang pelajar. Pandang mata yang amat tajam dari pemuda itu satu kali melirik ke arahnya, dan tercenganglah hati Yo Wan. Biarpun hanya melirik satu kali, namun pandang mata itu tajam menembus hati, seakan-akan si pemuda itu sudah dapat menilainya hanya dengan sekali lirikan saja!

   "Hemmm, bukan pemuda sembarangan. Harus hati-hati menghadapi orang seperti ini..."

   Pikirnya. Keadaan di restoran itu tegang. Para pelayan sudah lari menyingkir, juga di depan restoran tampak sunyi. Agaknya orang-orang di situ sudah mendengar akan kedatangan delapan orang pendek-pendek rombongan Kipas Hitam. Muda-mudi itu sudah berdiri berhadapan dengan pemimpin rombongan, saling pandang seperti lagak jago-jago mengukur pandang dan saling menaksir lawan. Akhirnya si pendek itu bertanya, suaranya ketus, kasar dan kaku,

   "Kalian berdua yang membunuhi teman-teman kami di pantai Laut Po-Hai seminggu yang lalu?"

   Gadis itu melangkah maju dan dengan sikap menantang ia berkata nyaring,

   "Kalau betul, kalian mau apa? Kalian inikah bajak laut Kipas Hitam? Apakah kau kepalanya?"

   Kepala rombongan itu mengeluarkan suara makian dalam bahasa asing, sikapnya mengancam.

   "Kami tidak diberi perintah untuk membunuh kalian, hanya diperintah untuk mengajak kalian ikut menghadapi Kongcu (Tuan muda) kami."

   "Mau apa dia? Siapa Kongcu kalian itu?"

   Tanya si gadis, lalu terdengar bisiknya kepada Suhengnya.

   "Suheng, kau awasi tikus di belakang kita itu, dia mencurigakan..."

   Si pemuda membalikkan tubuhnya dan sekali lagi Yo Wan tercengang ketika melihat sinar mata tajam menyambarnya di samping senyuman mengejek. Ia tahu bahwa dirinya dicurigai, maka untuk menyembunyikan wajahnya, dia menenggak araknya dan berkata seperti orang sinting,

   "Ahhh... arak habis para pelayan pergi semua. Ke manakah orang-orang tolol itu?"

   Sementara itu, si pendek menerangkan dengan suara kaku,

   "Kongcu adalah pemimpin kami, sekarang Kongcu menanti di pantai. Kalian harus ikut dengan kami menghadap Kongcu."

   "Mau apa dia?"

   "Kalian bicara sendiri dengan Kongcu, kami hanya diperintah untuk mengajak kalian dengan baik, harap kalian jangan membantah lagi..."

   "Kalau kami tidak mau?"

   Tanya pula si gadis.

   "Hemmm... hemmmmm... mudah-mudahan jangan begitu. Mau tidak mau kalian harus menghadap Kongcu. Kongcu bilang bahwa kalian bukanlah orang-orang pengecut yang tidak berani menghadapi pemimpin Kipas Hitam"

   "Aku tidak mau! Persetan dengan Kongcu kalian! Pergi dari sini, kalian mau apa kalau aku tidak mau?"

   Tantang si gadis dengan sikap menantang, sedangkan si pemuda tetap tenang saja,kadang-kadang melirik ke arah Yo Wan yang dicurigai. Si pendek itu sejenak memandang dengan mata mengancam, kemudian dia menarik nafas panjang.

   "Sayang,"

   Katanya.

   "Sudah lama aku tidak bertemu lawan yang pandai. Segala macam cumi-cumi seperti juragan-juragan perahu tadi hanya menjemukan saja. Alangkah senangnya kalau dapat mengadu ilmu dengan kalian yang kabarnya lihai. Sayangnya, Kongcu tidak memperkenankan kami mengganggu kalian. Kongcu mengundang kalian dengan baik-baik, untuk diajak bercakap-cakap entah urusan apa. Kalau saja tidak ada pesan dari Kongcu, sudah sejak tadi samuraiku bicara!"

   Sambil berkata demikian dia menepuk-nepuk Pedang panjang yang tergantung di pinggangnya sambil berkata.

   "Cakar Naga, jangan kecewa, mereka bukan musuh..."

   "Sumoi, kalau orang yang mereka sebut Kongcu itu hendak bicara, mari kita pergi menemuinya. Kita bukanlah pengecut, takut apa bertemu dengan pemimpin Kipas Hitam?"

   Kata si pemuda, agaknya tertarik juga menyaksikan sikap orang Jepang itu.

   "Wah, tidak ada alasan untuk bersikap murah dan mengalah, Suheng. Kalau memang ingin bicara, mengapa yang menyebut dirinya Kongcu itu tidak datang sendiri menemui kita? He, orang pendek. Pedangmu kausebut Cakar Naga, tentu kau pandai bermain pedang. Dengarlah! Kalau kau dapat mengalahkan aku dengan pedangmu, baru kuanggap kau cukup pantas menjadi utusan untuk mengundang kami. Kalau tidak dapat, jangan banyak cerewet lagi!"

   Orang Jepang itu mengangkat muka, keningnya berkerut lalu dia menepuk dada dengan tangan kirinya.

   "Aku Kamatari tidak pernah mundur menghadapi tantangan siapapun juga, akan tetapi aku taat kepada perintah Kongcu. Nona, mungkin kau berkepandaian, akan tetapi harap kau jangan memandang rendah samurai Cakar Naga di tanganku. Lihatlah betapa saktinya Cakar Naga!"

   Sambil berkata demikian, Kamatari menggunakan kakinya menendang sebuah bangku kayu yang berada di dekatnya. Bangku itu terlempar ke atas dan pada saat bangku melayang turun, tiba-tiba tampak sinar berkeredepan berkelebat beberapa kali, terdengar suara,

   "Crak-crak!"

   Perlahan. Dalam sekejap mata, sinar berkeredepan itu, lenyap dan... bangku yang sudah terbelah menjadi tiga potong itu runtuh ke bawah. Anehnya, yang sepotong melayang ke arah meja Yo Wan menimpa di atas meja membikin pecah mangkok dan menggulingkan cawan arak! Yo Wan tidak berkata apa-apa, hanya berdiri sebentar, mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena percikan arak, lalu duduk kembali dengan tenang.

   la maklum bahwa orang Jepang yang lihai ilmu pedangnya dan besar tenaga dalamnya itu agaknya mencurigainya dan sengaja mementalkan sepotong kayu bangku ke arahnya untuk memancing. Tentu saja dia dapat melihat betapa tadi orang pendek itu mencabut Pedang samurainya dengan gerakan yang betul-betul cepat serta mengandung tenaga yang hebat. Demikian cepatnya gerakan Kamatari sehingga bagi mata orang biasa, orang pendek ini tidak berbuat apa-apa, karena sebelum potongan-potongah bangku jatuh ke tanah, samurainya sudah kembali ke sarungnya. Seperti main sulapan saja! Kamatari mengerling sekejap ke arah Yo Wan, kemudian dia menghadapi nona itu, wajahnya membayangkan kepuasan dan harapan bahwa kali ini gadis itu akan menjadi jerih dan suka menurut. Akan tetapi dugaannya meleset jauh. Gadis itu berpaling kepada Suhengnya dan berkata,

   "Suheng, bukankah lucu sekali badut pendek ini?"

   "Sumoi, jangan main-main. Agaknya dia jujur dan mari kita menemui Kongcu itu, kita lihat apa kehendaknya,"

   Jawab Suhengnya yang agaknya tidak ingin mencari keributan.

   "Suheng, setelah dia mengeluarkan Pedang cakar ayamnya, kalau kita menurut saja, bukankah orang akan menganggap kita ini tidak becus apa-apa? Biarkan aku main-main sebentar dengannya."

   Si pemuda menghela nafas, lalu jawabnya lirih,

   "Sesukamulah, akan tetapi jangan menimbulkan gara-gara."

   Si gadis tersenyum manis.

   "Aku hanya ingin main-main, siapa hendak menimbulkan gara-gara?"

   Kemudian ia menghampiri Kamatari dan berkata.

   "Namamu Kamatari dan pedangmu yang bengkok adalah Pedang cakar ayam, ya? Sengaja ia mengganti Cakar Naga dengan cakar ayam.

   "Bagus, aku pun punya Pedang yang saat ini kuberi nama Pedang penyembelih ayam. Boleh kau coba-coba layani pedangku ini, Kamatari. Sekali lagi kunyatakan bahwa kalau kau tidak bisa menangkan pedangku ini, aku tidak sudi bertemu dengan Kongcumu!"

   Setelah berkata demikian, gadis itu mencabut sebatang Pedang dengan perlahan.

   Tertawalah orang-orang Jepang yang berada di belakang Kamatari ketika melihat sebatang Pedang pendek dengan ukuran kurang lebih dua puluh cun (satu cun "2 senti meter), warnanya hitam sama sekali tidak mengkilap, bahkan warna hitamnya hitam kotor seperti tanah. Dari jauh tampak seperti Pedang terbuat dari tanah lempung saja. Tentu saja orang-orang Jepang yang terkenal dengan pedang-pedang samurai mereka yang terbuat dari baja tulen dan berkilauan saking tajamnya itu tertawa mengejek menyaksikan Pedang si nona yang begitu buruk dan pendek. Akan tetapi diam-diam Yo Wan kagum. Ia maklum bahwa pusaka yang ampuh tampak sederhana, seperti juga orang pandai kelihatan bodoh dan air dalam kelihatan tenang. Kamatari juga tertawa. Suara ketawanya pendek-pendek susul-menyusul dan kepalanya bergoyang-goyang, kemudian dia menoleh kepada teman-temannya yang masih berdiri seperti barisan dengan tubuh tegak di belakangnya.

   "Kalian mendengar sendiri, dia yang memaksaku bermain-main, harap. kalian nanti dapat melaporkan kepada Kongcu agar aku tidak dipersalahkan."

   Setelah berkata demikian, dia melangkah maju menghadapi gadis itu sambil berkata, lagaknya sombong.

   "Aku sudah siap Nona!"

   Nona itu tersenyum mengejek, akan tetapi alisnya yang hitam kecil itu bergerak-gerak.

   "Cabut pedangmu, orang sombong!"

   "Cakar Naga tak pernah meninggalkan sarungnya kalau tidak perlu. Nona boleh menyerang."

   "Cih, siapa sudi? Aku bukan orang yang suka menyerang orang tak memegang senjata. Kalau kau mengajak kami menemui Kongcumu, kau harus menyerang dan mengalahkan pedangku. Habis perkara!"

   "Begitukah? Nah, lihat pedangku!"

   Kamatari tiba-tba mengeluarkan pekik menyeramkan, tubuhnya menerjang maju didahului sinar berkilauan. Bagi mata orang biasa, gerakan mencabut dan mempergunakan Pedang samurai tidak akan tampak, yang kelihatan hanya sinar Pedang yang menyilaukan mata. Akan tetapi gadis itu agaknya dapat melihat jelas karena sekali menggeser kaki ia telah mengelak ke kiri.

   "Crakkk!"

   Terdengar suara kayu terbelah. Kamatari sudah berdiri tegak lagi, tangan kiri dengan jari terbuka melindungi dada, tangan kanan tergantung di plnggang, dekat gagang pedang, akan tetapi pedangnya sendiri sudah bersarang di dalam sarung pedangnya lagi. Meja yang tadi berada di dekat gadis itu, meja kosong, bergoyang-goyang, tidak kelihatan disentuh, tidak kelihatan rusak, akan tetapi perlahan-lahan miring lalu roboh menjadi dua potong. Begitu tajamnya samurainya, seakan-akan meja itu terbuat dari agar-agar saja!

   "Hi...hi...hik, mengapa kau berhenti, Kamatari? Kalau hanya membelah meja, anak kecil pun bisa!"

   "Jagalah ini. Haiiiiittttt!"

   Kamatari sudah menerjang lagi, didahului sinar samurainya yang berkelebatan menyambar-nyambar. Sambaran pertama dihindarkan oleh gadis itu dengan melejit ke kanan, sambaran kedua yang menyerampang kakinya dia hindarkan dengan loncatan indah ringan ke atas melalui meja. Serangan ketiga yang luar biasa sebat dan berbahayanya, dia tangkis dengan Pedang hitamnya.

   "Cring... tranggggg...!!"

   Dua kali samurai tajam mengkilat bertemu Pedang pendek hitam buruk. Bunga api berpijar menyilaukan mata dan tampak Kamatari terhuyung ke belakang sedangkan gadis berdiri dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tersenyum.

   "Kenapa berhenti lagi? Kau mau merusak pedangku?"

   Gadis itu mengejek. Kini Kamatari mengurangi lagaknya. Pedang samurai tidak dimasukkan ke dalam sarung pedangnya, melainkan dipegang di tangan kanan. la tadi terkejut setengah mati karena selain Pedang buruk lawannya itu dapat menahan samurainya, juga telapak tangannya serasa hendak pecah-pecah dan kuda-kuda kakinya tergempur. Tahulah dia bahwa gadis di depannya ini sama sekali tak boleh dipandang ringan. Kini dia tidak main-main aksi-aksian lagi, dan menyerang dengan sungguh-sungguh. Terdengar mulutnya mengeluarkan pekik berkali-kali, pekik serangan, dan samurainya menyambar-nyambar menjadi gulungan sinar memanjang.

   Gerakannya penuh tenaga dan gesit samurainya selalu membalik dan mengikuti gerakan si gadis yang mengelak ke sana ke mari. Namun dia seakan-akan menyerang bayangannya sendiri. Ke manapun dia menyabet, selalu samurainya membelah angin belaka. Diam-diam Yo Wan terkejut dan matanya terbelalak, jantungnya berdebar. Baginya, pemandangan di depan mata ini mengejutkan. Betapa tidak? Ia mengenal baik gerakan gadis itu, gerakan mengelak sambil berloncat-loncatan, jongkok, berdiri, terhuyung-huyung. Biarpun ada beberapa perbedaan, namun tak salah lagi, itulah gerakan-gerakan yang mirip sekali dengan Si-Cap-It Sin-Po, yaitu empat puluh satu jurus langkah ajaib yang dia pelajari dan Suhunya, Pendekar Buta. Memang gaya dan perkembangannya berbeda, namun dasarnya memiliki persamaan yang tidak dapat diragukan lagi tentu dari satu sumber.

   
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Keduanya memiliki ciri-ciri yang khas dari gerakan seekor burung, atau jelasnya, gerakan seekor burung Rajawali. Setelah bertempur kurang lebih lima puluh jurus lamanya, tiba-tiba gadis itu membuat gerakan aneh, tubuhnya meloncat ke atas seperti hendak menubruk. Kamatari berseru heran, pedangnya menyambar memapaki tubuh itu, akan tetapi secara indah dan mengagumkan sekali kaki kiri gadis itu menendang dari samping sehingga sekaligus mengancam pergelangan tangan lawan sedangkan Pedang hitamnya berkelebatan di depan muka Kamatari. Sebelum jago Jepang itu dapat menyelami jurus yang aneh ini, tiba-tiba dia merasa pundaknya sakit dan terhuyunglah dia ke belakang. Kiranya pundak kirinya sudah terluka oleh ujung Pedang hitam, membuat tangan kirinya serasa lumpuh! Cepat dia menyimpan samurainya dan menutupi lukanya, lalu menjura sampai dalam.

   "Ilmu Pedang Nona sungguh hebat..."

   Pada saat itu berkelebat bayangan putih, cepat dan tak terduga gerakannya, seperti seekor burung dara melayang memasuki restoran itu.

   "Sumoi, awas...!"

   Seru si pemuda yang sudah melompat maju. Gadis itu cepat mengangkat pedangnya, akan tetapi ia tertahan dan tertegun melihat bahwa yang meloncat masuk ini adalah seorang pemuda berpakaian serba putih berkembang-kembang kuning yang indah sekali, sebuah muka yang tampan luar biasa, dengan sepasang mata bersinar-sinar seperti bintang pagi, sepasang Bibir yang merah dan tersenyum amat tampannya! Begitu kaki pemuda ini menginjak tanah, tangannya bergerak dan dua bayangan putih melayang ke depan, langsung sinar ini menyambar ke arah leher si gadis. Gadis itu berseru keras dan mengelak ke belakang, akan tetapi tiba-tiba sinar putih kedua menyambar pedangnya dan di lain saat Pedang itu sudah terlibat sesuatu dan terampas dari tangannya!

   "Kembalikan Pedang Sumoi!"

   Si pemuda menerjang maju, gerakannya cepat dan amat kuat sehingga diam-diam Yo Wan kagum melihatnya. Akan tetapi lebih kagum lagi hati Yo Wan menyaksikan gerakan pemuda baju putih yang baru masuk, karena sekali menjejakkan kedua kaki, tubuh pemuda baju putih itu sudah melayang keluar restoran, meninggalkan dua sinar putih menyambar yang diikuti teriakannya nyaring,

   "Awas senjata rahasia!"

   Si pemuda kaget sekali, apalagi ketika melihat dua sinar putih berkilauan menyambar ke arah jalan darah yang berbahaya di tubuhnya. Cepat dia mengibaskan lengan baju dan runtuhlah dua senjata rahasia itu. Anehnya, senjata rahasia itu hanyalah dua potong uang perak! Uang perak untuk senjata rahasia benar-benar merupakan hal yang langka, pemboros mana yang menghamburkan uang perak begitu saja? Ketika dia memburu keluar, pemuda baju putih itu sudah lenyap! Marahlah si pemuda. Sekali dia bergerak, dia sudah menangkap Kamatari, menjambak baju pada punggungnya dan mengangkatnya ke atas seperti orang mengangkat seekor kelinci saja!

   "Tikus busuk! Kalau kami menghendaki, apa susahnya mencabut nyawamu yang tak berharga? Hayo katakan, siapa bangsat tadi"

   Kamatari terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa si pemuda begini galak dan begini kuat. Tentu saja dia tidak sudi diperlakukan seperti ini, maka dia membentak,

   "Lepaskan bajuku!"

   Dan tangannya memukul. Akan tetapi tiba-tiba seluruh tubuhnya menjadi kaku, kedua lengannya yang bergerak hendak memukul seakan-akan berubah menjadi dua batang kayu kering!

   "Keparat, jangan banyak lagak kau! Hayo bilang siapa dia tadi!"

   Tahulah kini Kamatari bahwa pemuda ini memiliki ilmu yang luar biasa. Percuma untuk berkeras kepala lagi, maka dengan suara merintih dia berkata,

   "Dia adalah Kongcu kami. Baiknya Kongcu masih tidak berniat memusuhi kalian. Kalau kalian ada kepandaian, boleh datang merampas Pedang di pantai Po-Hai di dusun Kui-bun, cari gedung Yo-Kongcu!"

   Dengan sekali gerakan, pemuda itu melempar tubuh Kamatari ke belakang. Jago Jepang ini menabrak kawan-kawannya dan roboh terguling, ditolong teman-temannya, lalu mereka pergi dari tempat itu dengan cepat. Si pemuda teringat akan Yo Wan, cepat dia melompat dan membalikkan tubuh. Akan tetapi pemuda tenang yang mencurigakan hatinya tadi telah lenyap dari situ, di atas mejanya terletak beberapa potong uang, agaknya untuk membayar makanan dan minuman. Makin curigalah pemuda itu.

   "Sumoi, kita harus mengejar si baju putih she Yo itu."

   "Mari, Suheng. Aku pun gemas sekali terhadap manusia itu. Kalau dia tidak menyerang secara menggelap, jangan harap dia bisa merampas pedangku Hek-Kim-Kiam (Pedang Emas Hitam)!"

   Biarpun mulutnya berkata demikian, diam-diam hatinya berdebar, matanya terbayang wajah yang tampan itu dan ia sendiri merasa sangsi apakan ia akan rnampu menandingi pemuda luar biasa itu. Pemuda itu memanggil pelayan, dengan suara nyaring. Datanglah seorang pelayan berlari-lari, diikuti oleh empat temannya. Agaknya para pelayan yang sejak tadi bersembunyi, sekarang berani keluar lagi setelah keadaan menjadi reda dan pertempuran berhenti.

   "Hitung semua, termasuk pengganti kerusakan-kerusakan di sini akan saya bayar."

   Pelayan itu membungkuk-bungkuK dan tersenyum-senyum penuh hormat.

   "Harap Kongcu jangan repot-repot, semua sudah dibayar lunas."

   "Siapa yang membayar?"

   Pemuda itu mengangkat alisnya.

   "Yang membayar pemberi benda ini kepada Kongcu, semua sudah dibayarnya dan meninggalkan benda ini yang harus saya serahkan kepada Kongcu."

   Sambil berkata demikian, pelayan itu menyerahkan sebuah kipas dari sutera hitam. Pemuda itu mengerutkan kening, akan tetapi menerima juga kipas itu sambil bertanya,

   "Siapa dia?"

   "Siapa lagi kalau bukan yang terhormat Pangcu (ketua) dari Hek-San-Pang (Perkumpulan Kipas Hitam) yang tersohor? Kiranya Kongcu dan Siocia (Tuan Muda dan Nona) adalah sahabat-sahabat Hek-San Pangcu, maaf kalau kami berlaku kurang hormat..."

   Pemuda itu mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala lalu meninggalkan restoran itu bersama sumoinya.

   "Benar-benar manusia aneh. Apa artinya dia membayari semua hidangan, mengganti semua kerusakan dan memberi kipas hitam ini kepada kita? Apakah ini semacam hinaan lain lagi? Keparat!"

   "Kurasa kalau orang membayar makan minum kita dan memberikan kipasnya, hal itu bukanlah berarti penghinaan, Suheng. Coba buka kipasnya, barang kali ada maksud di dalamnya."

   Pemuda itu membuka kipas sutera hitam. Benar saja, kipas sutera hitam yang amat indah dan berbau semerbak harum itu ditulisi dengan tinta putih, merupakan huruf-huruf bersyair yang halus indah gayanya,

   "Berkawan sebatang Pedang menjelajah laut bebas, sunyi sendiri merindukan kawan dan lawan seimbang hati mencari-cari..."

   "Bagus...!"

   Tak terasa lagi ucapan ini keluar dari mulut mungil gadis itu. Si pemuda cepat menoleh, memandang dan sepasang pipi gadis itu menjadi merah sekali. la merasa seakan-akan sajak itu ditujukan khusus kepadanya. Pemuda yang aneh, luar biasa, tampan dan berkepandaian tinggi, merasa sunyi, merindukan kawan yang memiliki kepandaian seimbang! Dan pedangnya dirampasnya, dengan maksud supaya ia datang ke sana!

   "Pemuda sombong, atau cengeng..."

   Si pemuda malah mencela. Sumoinya diam saja, takut kalau-kalau tanpa disadarinya mengucapkan sesuatu yang membuka rahasia hatinya.

   Mereka segera melakukan perjalanan cepat, menuju ke Timur, melalui sepanjang lembah Sungai Kuning, menuju ke pantai Po-Hai. Pemuda dan sumoinya itu bukanlah Pendekar-Pendekar biasa, bukanlah petualang-petualang biasa di dunia kang-ouw. Si pemuda adalah putera tunggal dari Pendekar besar Tan Sin Lee. Seperti kita ketahui, Pendekar besar putera Raja Pedang ini tinggal di Lu-Liang-San, bersama isterinya yang bernama Thio Hui Cu murid Hoa-San-Pai. Pemuda inilah putera sepasang Suami isteri Pendekar itu yang bernama Tan Hwat Ki, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, seorang pemuda yang sejak kecilnya digembleng oleh orang Tuanya dan mewarisi ilmu silat tinggi. Adapun sumoinya, gadis jelita itu, bernama Bu Cu Kim. Pendekar besar Tan Sin Lee mempunyai murid sepuluh orang jumlahnya termasuk putera mereka.

   Akan tetapi di antara para murid, yang paling menonjol kepandaiannya adalah Bu Cui Kim. Cui Kim adalah anak yatim piatu, Ayah Bundanya sudah meninggal dunia karena penyakit yang merajalela di dusunnya. Karena kasihan kepada anak yang bertulang baik ini, Tan Sin Lee mengambilnya sebagai murid, bahkan karena mereka tidak mempunyai anak perempuan sedangkan Cui Kim sejak kecil kelihatan amat rukun dengan Hwat Ki, Cui"

   Kim lalu dianggap anak sendiri. Demikianlah, semenjak kecil Cui Kim seakan-akan menjadi adik angkat Hwat Ki dan bersama putera Suhunya itu mempelajari ilmu silat tinggi. Pada suatu hari di puncak Lu-Liang-San menerima kunjungan seorang tamu yang bukan lain adalah Bun Hui, putera Bun-Goanswe yang tinggal di Tai-Goan. Boleh dibilang, di antara Pendekar-Pendekar keturunan Raja Pedang,

   Yang paling dekat tinggalnya dengan Tai-Goan dan Kota Raja, adalah Tan Sin Lee inilah. Lu-Liang-San terletak di sebelah Barat kota Tai-Goan, bahkan dari kota itu sudah kelihatan puncaknya. Maka, begitu menghadapi kesulitan, Bun-Goanswe teringat akan sahabat baiknya ini dan menyuruh puteranya mengunjungi Tan Sin Lee. Di dalam suratnya, Bun-Goanswe minta bantuan Tan Sin Lee dan muridnya untuk membantu negara yang sedang menghadapi banyak gangguan. Di dalam surat itu, dia ceritakan betapa gangguan dari pihak Mongol di Utara masih makin menghebat sehingga Kaisar sendiri berkenan memimpin barisan untuk menumpas perusuh-perusuh dari Utara itu. Diceritakan pula betapa bajak-bajak laut di laut Timur juga merupakan pengganggu-pengganggu keamanan, tidak saja bagi para nelayan di laut, akan tetapi juga di darat sepanjang pesisir Laut Po-Hai.

   Demikian besar gangguan ini sehingga Kaisar sendiri memerintahkan kepada Bun-Goanswe untuk mengerahkan tenaga menumpas para bajak laut itu kalau mereka berani mendarat. Bun-Goanswe sudah melakukan usaha ini, akan tetapi ternyata bahwa para bajak laut Jepang itu bersama-sama bajak"

   Laut bangsa sendiri, mempunyai banyak orang-orang yang berilmu tinggi sehingga banyak sudah perwira dari Kota Raja yang tewas di tangan para bajak laut. Karena inilah Bun-Goanswe mengharapkan pertolongan Tan Sin Lee dan murid-muridnya. Dan inilah pula sebabnya maka Pendekar Lu-Liang-San itu menyuruh puteranya sendiri ditemani oleh Cui Im, turun gunung melakukan penyelidikan ke pantai Po-Hai. Sepasang orang muda ini sengaja menyewa perahu berlayar di sepanjang pantai Po-Hai.

   Betul saja, pada suatu hari perahu itu diganggu bajak laut yang menggunakan bendera Kipas Hitam. Akan tetapi kali ini para bajak laut menemui hari naas karena mereka itu kocar-kacir dan banyak yang tewas di tangan sepasang Pendekar dari Lu-Liang-San ini. Kemudian karena mendengar bahwa banyak bajak mengganas pula di sepanjang Sungai Huang-Ho, Hwat Ki dan sumoinya lalu pergi ke kota Leng-Si-Bun di tepi Sungai Huang-Ho, memasuki rumah makan dan terjadi peristiwa dengan anak buah Kipas Hitam seperti yang telah dituturkan di bagian depan. Tentu saja Hwat Ki dan Cui Im menjadi girang karena mereka mendapatkan jejak Ketua perkumpulan Kipas Hitam yang merupakan gerombolan bajak laut yang cukup terkenal, di samping bajak-bajak laut lainnya yang banyak mengganas di sepanjang pantai Timur.

   Hari telah menjadi hampir malam ketika kedua orang Pendekar muda dari Lu-Liang-San ini tiba di dusun Kui-bun. Dusun ini bukanlah dusun besar, hanya didiami oleh para nelayan yang tidak lebih dari tiga puluh buah keluarga banyaknya. Di setiap rumah nelayan itu nampak jala-jala dibentangkan, dan di

   (Lanjut ke Jilid 20)

   Jaka Lola (Seri ke 04 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20

   pinggir rumah banyak terdapat bekas-bekas perahu dan tiang-tiang layar. Di ujung yang paling jauh dari pantai, terdapatlah sebuah rumah gedung besar yang kelihatan ganjil karena jarang terdapat gedung sedemikian besarnya di dusun sekecil itu. Di pantai laut itu sendiri banyak terdapat para nelayan besar kecil sibuk bekerja, agaknya mereka itu sedang memasang atau pun menarik jaring dari pantai. Biasanya kalau hari mulai gelap itulah mereka menarik jaring dan kalau untung mereka baik, mereka akan menarik banyak ikan di dalam jaring. Hwat Ki dan Cui Kim segera tertarik oleh rumah gedung itu.

   "Kiranya takkan salah lagi, tentu gedung ini sarang mereka,"

   Kata Hwat Ki kepada sumoinya.

   "Akan tetapi sebaiknya kalau kita mencari keterangan dulu, Suheng. Di tempat yang asing ini, sungguh tak baik kalau kita keliru memasuki rumah orang."

   Hwat Ki mengangguk, menyuruh adik seperguruannya itu menanti di tempat gelap, lalu dia sendiri melangkah cepat menuju ke pantai. Dengan lagak seperti sudah mengenal baik orang yang dicarinya, dia bertanya dengan lantang kepada seorang nelayan,

   "Sahabat, ingin saya bertanya. Di manakah tinggal seorang bernama Yo-Kongcu? Apakah rumah gedung itu?"

   Mendadak sekali orang-orang yang tadinya sibuk bekerja itu berhenti bergerak dan memandang kepada Hwat Ki. Melihat ini, pemuda itu dapat menduga bahwa agaknya mereka ini pun anak buah pimpinan Kipas Hitam itu, atau setidaknya tentu teman-teman baik, maka cepat-cepat dia menyambung,

   "Saya adalah sahabat baiknya, belum pernah datang ke sini, tidak tahu di mana rumahnya. Apakah gedung besar itu?"

   Seorang nelayan setengah tua mengangguk pendek.

   "Betul."

   Kemudian dia memberi aba-aba kepada teman-temannya untuk melanjutkan pekerjaan mereka. Hwat Ki lega hatinya, cepat dia kembali ke tempat Cui Kim menanti.

   "Sudah kuduga bahwa orang she Yo itu tentu berkuasa di sini. Orang-orang itu agaknya"

   Takut kepadanya. Sumoi, mari kita ke sana."

   Keduanya lalu berjalan menghampiri gedung besar. Di sekitar gedung itu gelap, akan tetapi tampak sinar lampu-lampu menerangi sebelah dalam gedung yang dikelilingi tembok setinggi satu setengah tinggi orang. Hwat Ki dan adiknya mengelilingi luar tembok dan mendapat kenyataan bahwa pintu satu-satunya hanyalah pintu depan yang tertutup rapat.

   "Kita ketuk saja pintunya,"

   Kata Cui Kim.

   "Hemmm, takkan ada gunanya. Mengunjungi tempat lawan tak perlu banyak aturan. Mengetuk pintu berarti membuat mereka siap untuk menjebak kita. Mari!"

   Pemuda itu menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melayang naik ke atas tembok, diikuti oleh Cui Kim. Bagaikan dua ekor burung walet mereka sudah meloncat dan berdiri di atas tembok. Terang sekali di sebelah dalam tembok. Ruangan depan rumah gedung itu pun amat terang dan bersih, akan tetapi sunyi tidak tampak ada orangnya.

   "Orang she Yo! Kami datang untuk minta kembali pedang!"

   Teriak Tan Hwat Ki dengan suara lantang. Adapun Cui Kim berdiri di dekatnya dengan tegak, siap menghadapi segala kemungkinan. Sunyi menyambut suara teriakan Hwat Ki yang bergema sedikit di dalam gedung. Kemudian terdengar suara halus dan nyaring,

   "Silakan masuk, pintu tidak dikunci dan kami menanti di ruangan tengah!"

   "Hati-hati, Suheng, jangan-jangan musuh mengatur perangkap!"

   Bisik Cui Kim.

   "Tak usah takut, marilah!"

   Kata Hwat Ki yang melayang turun ke ruangan depan. Dengan gerakan lincah sekali Cui Kim mengikutinya, melompat turun ke atas lantai ruangan depan yang licin dan bersih itu tanpa mengeluarkan suara. Sejenak keduanya berdiri memandang ke sekeliling dengan sikap waspada. Ruangan ini, yang merupakan ruangan depan menyambung halaman, amat bersih dan indah. Ketika mereka memandang ke dalam, di sebelah kiri dinding ruangan penuh dengan tulisan-tulisan bersajak. Mereka lalu melangkah ke dalam melalui pintu besar yang memang tidak tertutup.

   Ruangan tengah itu luasnya ada lima belas meter persegi, juga terhias lukisan-lukisan indah dan di tengah ruangan terdapat sebuah meja Bundar dikelilingi bangku-bangku terukir burung hong. Empat orang duduk mengelilingi meja dan seorang di antaranya adalah Kongcu yang berpakaian serba putih. Melihat pemuda baju putih ini duduk di kepala meja, dapatlah diduga bahwa dia menjadi pemimpinnya. Tiga orang yang lain adalah dua orang laki-laki setengah tua dan seorang wanita berusia empat puluh tahun yang rambutnya sudah berwarna dua dan di gelung tinggi-tinggi di atas kepala. Melihat sikapnya, tiga orang setengah tua ini tentu bukan orang sembarangan pula. Seorang di antara dua laki-laki itu bertubuh pendek gemuk, modelnya seperti Kamatari, juga di pinggang orang ini tergantung Pedang samurai.

   Mudah diduga bahwa dia seorang Jepang, tubuh dan mukanya tidak bergerak-gerak, akan tetapi sepasang matanya lincah bergerak ke kanan kiri. Yang seorang pula bertubuh tinggi kurus, bajunya lebar dan lengan bajunya panjang, kumisnya tipis panjang bertemu dengan jenggotnya yang menutupi dagu dan leher. Mereka berempat kini memandang kepada sepasang orang muda yang baru datang. Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata yang lembut dari pemuda baju putih, tiba-tiba jantung Cui Kim terasa berdebar tidak karuan. Akan tetapi begitu ia melihat Pedang hitamnya terletak di atas meja depan pemuda itu, timbul kemarahannya. Seketika sinar matanya berapi-api dan dia berteriak dengan nyaring.

   "Dengan muslihat curang kau telah merampas pedangku. Orang she Yo, kalau kau memang jantan, kembalikan pedangku dan kita boleh bertanding sampai seribu jurus!"

   Pemuda itu tersenyum, bangkit dari bangkunya lalu memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam.

   "Bukan salahku...!"

   Jawabnya sambil tersenyum ramah.

   "Aku mengutus orang mengundang kalian baik-baik, kalian tidak datang malah menyerang orangku. Kalau tidak merampas Pedang mana bisa memancing kalian datang pada malam ini?"

   Berkata demikian, mata pemuda baju putih itu menatap wajah Hwat Ki dengan tajam dan pandang mata penuh selidik. Hwat Ki tetap tenang, memang pemuda ini semenjak kecil memiliki sikap yang tenang. la maklum bahwa bersama sumoinya dia telah memasuki gua harimau, akan tetapi sedikit pun dia tidak gentar.

   "Setelah kami datang untuk minta kembali pedang, apakah yang hendak kau bicarakan dengan kami?"

   Tanyanya. Pemuda baju putih itu kembali tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih dan rapi. Hwat Ki harus mengakui bahwa wajah orang ini memang amat tampan.

   "Banyak yang hendak kami bicarakan. Akan tetapi, kalian berdua adalah tamu-tamu kami, silakan duduk. Sebelum menjamu tamu terhormat, mana bisa bicarakan urusan penting? Silakan duduk, ataukah... barangkali kalian takut kalau-kalau kami menipu? Apakah kalian tidak berani duduk?"

   Hwat Ki tersenyum mengejek.

   "Takut apa?"

   La lalu melangkah maju, diikuti sumoinya. Keduanya lalu duduk di atas bangku, berhadapan dengan empat orang itu. Tiga orang setengah tua itu pun berdiri dan mengangguk, dibalas oleh Hwat Ki dan Cui Kim yang merasa heran dan aneh, karena sama sekali tidak menyangka mereka akan diterima sebagai tamu. Hanya adanya Pedang Hek-Kim-Kiam di atas meja itu yang membikin suasana menjadi kaku. Agaknya Tuan rumah merasai hal ini. Dipungutnya Hek-Kim-Kiam dan disodorkannya Pedang itu kepada Cui Kim sambil berkata,

   "Silakan, Nona. Ini pedangmu, maaf atas kelancanganku tadi."

   Cui Kim menerima pedangnya dengan kedua pipi merah dan kembali jantungnya berdebar tidak karuan. Semangatnya serasa terbetot oleh senyum dan pandang mata yang menarik itu. Setelah menyimpan Pedang ke dalam sarung pedangnya, kembali ia duduk dengan muka tunduk. Si pemuda baju putih bertepuk tangan tiga kali dan bermunculanlah pelayan-pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik, berjumlah lima orang. Mereka sibuk membawa datang hidangan-hidangan lezat dan arak wangi yang mereka Tuangkan ke dalam cawan enam orang itu dengan gerakan dan gaya yang manis.

   Si pemuda baju putih itu dengan ramah-tamah mempersilakan kedua orang tamunya makan dan minum arak. Memang sehari itu, Hwat Ki dan sumoinya baru makan sekali, yaitu di rumah makan kota Leng-Si-Bun sebelum tengah hari, tentu saja pada saat itu mereka sudah merasa lapar. Hwat Ki yang tahu bahwa pihak Tuan rumah menguji ketabahan mereka, tentu saja tidak sudi memperlihatkan kekhawatiran. Dengan wajar dan tenang dia mulai makan minum menemani Tuan rumah dengan enaknya. Hanya Cui Kim yang merasa canggung. Sebagai seorang gadis, ia berbeda dengan gadis biasa dan baginya sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, makan bersama orang-orang lelaki bukanlah hal yang menyulitkan. Akan tetapi entah bagaimana, berhadapan dengan Tuan rumah she Yo yang muda, tampan dan luar biasa itu, membuat hatinya bergoncang dan sepasang sumpit yang dipegangnya agak gemetar!

   "Nona, mengapa sungkan-sungkan? Marilah, harap kau suka mencoba masakan ini. Ini masakan sirip ikan Hiu Harimau, Nona tentu belum pernah mencobanya, bukan? Silakan!"

   Pemuda Yo itu mengangkat mangkok masakan itu dan menawarkannya kepada Cui Kim. Dengan amat ramah dia menawarkan

   beberapa macam masakan, malah menuangkan arak memenuhi cawan gadis itu sehingga si gadis menjadi makin canggung dan jengah. Diam-diam Hwat Ki mendongkol sekali.

   Tuan rumah yang masih muda dan tampan ini, biarpun amat ramah, namun agaknya terlalu manis sikapnya terhadap Cui Kim. la diam-diam menduga bahwa orang she Yo ini tentulah seorang pemuda hidung belang, seorang Kongcu yang gila akan wanita cantik. Buktinya para pelayannya tadi pun muda-muda cantik-cantik dan lagaknya menarik, membayangkan pendidikan cukup. la takkan heran kalau para pelayan itu pandai bernyanyi, menari dan main musik untuk menghibur hati sang Kongcu hidung belang. Oleh karena dugaan ini, Hwat Ki bersikap waspada dan hati-hati. Siapa tahu, pancingan ini pada hakekatnya hanya untuk menjadikan sumoinya yang cukup cantik sebagai korban! Sikap pemuda she Yo itu makin manis terhadap Cui Kim, selalu tersenyum dan mengajak Cui Kim bercakap-cakap Malah kelancangannya makin menjadi ketika dia bertanya sambil tersenyum manis dan mengerling tajam.

   "Nona, agaknya lebih patut aku menyebutmu adik. Aku berani bertaruh bahwa usia kita sebaya, akan tetapi lebih enak aku menyebut adik. Berapakah usiamu tahun ini dan eh... betul juga, aku belum mengetahui namamu. Namamu tentu indah, sama manis dengan orangnya."

   Muka Cui Kim menjadi merah sekali, sampai ke telinga dan lehernya. Karena sikap yang manis dan pembicaraan yang manis tadi ia sampai lupa akan kewaspadaan dan agak terlalu banyak minum arak. Mungkin inilah yang membuat ia sekarang merasa betapa badannya panas dingin dan jantungnya berdegupan hampir meledak mendengar kata-kata itu. Biasanya, ia akan marah dan memukul atau sedikitnya memaki orang yang berani bersikap begini lancang kepadanya. Akan tetapi entah mengapa, kali ini ia hanya menundukkan muka dan mulutnya berkata gagap,

   "Aku... namaku... Bu Cui Kim dan... dan..."

   "Sumoi, tak perlu memperkenalkan diri pada orang yang belum kita ketahui keadaannya!"

   Tiba-tiba Hwat Ki memotong, lalu menarik bangkunya agak mundur dari meja, menggunakan ujung lengan baju menghapus Bibirnya, kemudian dia berkata, suaranya tenang dan penuh wibawa,

   "Sahabat, kami berdua sudah menerima undanganmu, sudah makan dan minum hidanganmu, semua ini kami lakukan untuk melayanimu sebagaimana lazimnya kebiasaan di dunia kang-ouw. Sebagai orang yang mengundang, berarti kau lah yang mempunyai urusan dengan kami, maka sudah sepatutnya kalau kau yang harus memperkenalkan dirimu kepada kami dan menyatakan secara terus terang apa yang tersembunyi di dalam hatimu terhadap kami."

   Begitu melihat sikap Suhengnya dan mendengar ucapan ini, sadarlah Cui Kim. la pun segera menarik bangkunya menjauhi meja, mukanya masih merah akan tetapi kini pandang matanya berkilat dan penuh curiga! Pemuda berbaju putih itu tersenyum lebar, sebelum bicara dia menggunakan sehelai saputangan putih bersih menghapus mulutnya. Agak keras dia menggosok-gosok Bibirnya yang berleporan minyak masakan itu sehingga ketika dia menurunkan saputangan itu, sepasang Bibirnya menjadi merah seperti dipulas gincu. Makin tampan wajahnya sehingga kembali Cui Kim harus menekan perasaan hatinya yang bergelora. Selama hidupnya baru kali ini Cui Kim mengalami hal seaneh ini melihat seorang pemuda. Akan tetapi, memang pemuda ini luar biasa tampannya!

   "Sayang, kalian masih belum percaya bahwa aku mengandung maksud hati yang baik. Padahal kalau dipikir, kau telah membunuhi belasan orang-orang kami, bahkan kau tadinya tidak mengindahkan undangan kami. Baiklah aku memperkenalkan diri. Aku adalah keturunan campuran antara bangsamu dan darah Jepang, namaku Yosiko atau boleh diubah menjadi Yo Si Kouw."

   Ia tersenyum. Dengan masih berdiri dan sikapnya angker, Hwat Ki berkata, pandang matanya tajam menyelidik,

   "Kau bernama Yosiko dan menjadi Ketua dari perkumpulan bajak Kipas Hitam yang mengganggu keamanan Laut Po-Hai dan muara Sungai Kuning. Terus terang saja, kami berdua kakak beradik seperguruan memang bertugas untuk membersihkan daerah ini dari gangguan bajak! Karena itulah ketika anak buahmu mengganggu, kami bunuh mereka. Nah, sekarang kau mengundang kami, ada keperluan apakah?"

   Ucapan Hwat Ki ini merupakan tantangan langsung. Akan tetpai Yosiko tidak menjadi marah, bahkan tersenyum dan memandang kagum.

   "Kau benar gagah berani! Apa kau kira mudah saja membasmi kami? Apa kau berani menghadapi kami yang banyak, sedangkan banyak perwira Kerajaan tewas di tangan kami?"

   "Orang she Yo, kalau tadi aku sudah berani mengaku terus terang di depanmu, berarti kami tidak takut menghadapi kalian! Akan tetapi karena sikapmu berbeda dengan bajak-bajak yang kasar, bahkan kau telah mengundang kami dan menjamu sebagai tamu, biarlah kunasihatkan agar kau segera kembali ke tempat asalmu dan jangan melanjutkan pekerjaan kotor menjadi bajak di daerah ini. Aku sudah bicara dan kalau tldak menghargai saranku, baiklah, terpaksa aku melupakan kebaikanmu dan menganggapmu sebagai musuh!"

   Yo-Kongcu itu tertawa, giginya putih berkilat.

   "Ah, alangkah gagahnya! Kau tentu she Tan, bukan? Bukankah kau putera dari Ketua Lu-liang-pai dan Ayahmu bernama Tan Sin Lee?"

   Hwat Ki tidak menjadi heran. Sebagai seorang kepala bajak, tentu saja kepala bajak muda ini mempunyai banyak kaki tangan dan penyelidik sehingga dapat mengetahui keadaan dirinya.

   "Memang aku Tan Hwat Ki dan Ayahku bernama Tan Sin Lee Ketua dari Lu-liang-pai. Setelah tahu akan hal itu, lebih baik kau menerima saranku, hentikan pembajakan-pembajakan di daerah ini."

   "Ahhh, benar dugaanku. Orang sendiri! Eh, Tan Hwat Ki, enak saja kau menyuruh orang menghentikan pekerjaan. Kalau aku tidak mau mundur, bagaimana?"

   "Pedangku akan membereskan segalanya!"

   Kata Tan Hwat Ki sambil menepuk gagang pedangnya. la maklum bahwa menghadapi kepala bajak yang aneh dan lihai ini, perlu sikap tegas, karena mereka berdua sudah berada di sarang harimau.

   "Tapi... tapi aku tidak ingin bermusuhan denganmu!"

   Kini Cui Kim yang merasa tidak enak kalau diam saja, menjawab.

   "Kalau tidak ingin bermusuhan, lebih baik menerima saran Suhengku, sebelum terlambat dan Pedang kami membasmi kalian!"

   "Wah...wah...wah, galaknya!"

   Yo-Kongcu mengeluh.

   "Tan Hwat Ki, dengarlah sekarang maksud hatiku. Aku sengaja mengundang kau dan Sumoimu ke sini dengan maksud baik. Ketahuilah bahwa telah lama aku mendengar nama besar jago-jago di daratan, di antaranya jago dari Lu-Liang-San. Aku mempunyai seorang adik perempuan yang sedang mencari jodoh, sukarnya, dia menghendaki jodoh seorang pemuda yang dapat mengalahkan aku! Nah, kulihat kau cukup hebat, maka ingin aku mencoba kepandaianmu."

   

Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini