Ceritasilat Novel Online

Jaka Lola 25


Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Bagian 25



"Kurung dia, jangan boleh lolos!"

   La sendiri lalu melarikan diri untuk pergi mencari Yosiko! Demikianlah, dengan kemarahan meluap-luap Cui Sian memutar pedangnya menghadapi pengeroyokan belasan orang itu.

   Dalam waktu beberapa menit saja pedangnya sudah merobohkan empat orang pengeroyok, sedangkan yang lainnya hanya berani mengurungnya dari jarak yang tidak terlampau dekat. Namun pengurungan mereka ketat, tidak memberi kesempatan gadis ini keluar dari kepungan. Cui Sian adalah puteri tunggal Raja Pedang. Ilmu silatnya tinggi, akan tetapi sebagai puteri Pendekar sakti yang namanya dipuji-puji di mana-mana, tentu saja sifatnya tidaklah ganas. Ilmu pedangnya bersih, mengandung daya Im dan Yang, tidak gentar menghadapi kepungan. Namun, sudah menjadi sifat ilmu Pedang keturunan Raja Pedang, selalu menitik-beratkan kepada serangan balasan, yaitu apabila diserang barulah timbul keampuhannya untuk merobohkan si penyerangnya. Oleh karena sifat ini pula, agaknya Cui Sian merasa segan untuk menyerang para bajak laut yang ia anggap bukan lawan sebanding itu.

   Ia hanya menanti dan empat orang yang roboh tadi pun adalah karena mereka dengan ganas menyerangnya, maka akibatnya hebat pula. Kini karena para pengeroyoknya hanya mengepung dari jarak agak jauh, Cui Sian hanya berdiri tegak saja. Baru setelah para bajak menerjang maju dari segenap penjuru, ia mainkan pedangnya dan kembali dua orang roboh mandi darah! Kedatangan Yosiko dan Siu Bi menggembirakan para bajak yang sudah mulai menjadi gentar. Yosiko berseru keras dalam bahasa Jepang, memberi perintah agar anak buahnya siap mengepung dari jarak jauh dengan anak panah disiapkan, memberi kesempatan kepada dia untuk menangkap musuh. Para bajak mundur sambil menyeret enam mayat temannya. Yosiko dan Siu Bi dengan Pedang terhunus sudah melompat maju menghadapi Cui Sian. Gadis dari Thai-San ini menjadi merah mukanya. Dengan Pedang menuding ke depan ia memaki,

   "Sungguh kebetulan Sekali! Memang besar keinginanku membasmi kalian berdua perempuan yang tak tahu malu!"

   "Sombong!"

   Bentak Yosiko.

   "Kau kah yang bernama Cui Sian? Hemmm, kematian sudah di depan mata masih berani berlagak!"

   Setelah berkata demikian Yosiko menggerakkan Pedang dan meloloskan sabuk suteranya. Siu Bi juga sudah melangkah maju dengan sikap mengancam. la membenci Cui Sian yang dianggapnya hendak menjauhkan Swan Bu dari padanya. Hebat penyerangan Yosiko dan Siu Bi, terdorong oleh kebencian hati mereka. Namun, makin kuat ia diserang, makin kuatlah pertahanan Cui Sian.

   Liong-Cu-Kiam di tangannya laksana halilintar menggulung-gulung dan gerak Ilmu Pedang Sian-li Kiam-Sut dimainkan dengan indahnya seakan-akan ia menjadi seorang dewi yang menari-nari. Dengan gaya permainannya yang ampuh ini ia sama sekali tidak memberi kesempatan kepada senjata lawan untuk dapat mendekatinya. Betapapun juga, ketika Cui Sian menyaksikan gerakan Pedang Yosiko mainkan jurus-jurus yang serupa, yaitu jurus-jurus campuran dari Sian-li Kiam-Sut, tergeraklah hatinya. Teringat ia akan penuturan Tan Hwat Ki, bahwa gadis ini adalah puteri Tan Loan Ki yang masih terhitung saudara misannya sendiri, masih sedarah! Teringat ia akan penuturan orang Tuanya tentang Paman tua (uwaknya) Tan Beng Kui, yaitu Ayah Tan Loan Ki atau Kakek gadis ini! Dengan bentakan keras ia menangkis, sehingga terpentallah Pedang kedua orang lawannya, kemudian ia meloncat mundur.

   "Tahan dulu!"

   "Mau bicara apa lagi?"

   Bentak Yosiko.

   "Yosiko, bukankah kau ini puteri enci Tan Loan Ki? Tahukah engkau bahwa aku masih Bibimu sendiri? Dan kau, Siu Bi, kau sudah berjanji hendak menanti Swan Bu. Beginikah kesetiaanmu kepadanya?"

   "Bibi macam apa engkau ini! Aku tidak peduli, kau adalah musuh Kipas Hitam!"

   Balas Yosiko.

   "Tan Cui Sian, kau lah yang memisahkan Swan Bu dari sampingku!"

   Bantah Siu"Bi.

   "Ah, dua bocah liar! Kalian jahat..."

   "Cukup! Apa kau takut menghadapi kami?"

   Ejek Yosiko.

   "Hemmm, boleh ditambah sepuluh Orang lagi macam kalian aku takkan mundur. Aku hanya mengingat bahwa kau masih terhitung keponakanku, dan Siu Bi... ah, aku ingat Swan Bu maka aku mau bicara!"

   "Cerewet!"

   Yosiko membentak dan menerjang lagi, diikuti Siu Bi. Kembali mereka bertanding dengan seru. Sementara itu, dengan tanda suitan Yosiko sudah mengundang anak buahnya sehingga tempat itu kini terkurung oleh kurang lebih lima puluh orang bajak! Namun mereka tidak ada yang turun tangan sebelum mendapat perintah pemimpin mereka.

   "Yosiko! Siu Bi!.Mundur...!!"

   Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan orang ini bukan lain adalah Yo Wan! Kagetlah kedua orang gadis itu ketika melihat munculnya Yo Wan.

   "Kau?""

   Yosiko berseru.

   "Kau... membelanya?"

   "Tentu saja! Yosiko, kenapa kau belum juga mau insyaf? Siu Bi, kenapa kau ikut-ikut?"

   "Dia membawa pergi Swan Bu. Dia memisahkan kami...!"

   Siu Bi bingung menjawab. Gentar hatinya kalau harus menghadapi Yo Wan, apalagi kalau diingat bahwa Yo Wan yang telah menolongnya sehingga ia tidak terbunuh dahulu oleh Lee Si dan Cui Sian. Tiba-tiba dua orang pimpinan bajak dengan Pedang di tangan menerjang Yo Wan. Serangan ini mendadak sekali, dilakukan dari belakang. Namun dengan gerakan ringan Yo Wan menggeser kaki, tanpa menengok tangannya bergerak ke belakang dan kakinya menendang. Akibat gerakan ini, sebatang Pedang terampas! dan dua orang pimpinan bajak itu terlempar oleh tamparan dan tendangannya! Ributlah para bajak laut. Seorang yang bercambang bauk dan bermata lebar melompat maju dengan golok besar di tangannya, diikuti anak buahnya!

   "Bong-Twako, jangan serang!"

   Bentak Yosiko.

   "Tapi..."

   Bantah si cambang bauk.

   "Tidak ada tapi, mundur semua!"

   Bentak Yosiko yang segera memimpin anak buahnya pergi dari situ, diikuti oleh Siu Bi yang beberapa kali memandang ragu ke arah Yo Wan. Dalam waktu sebentar saja tempat itu telah menjadi sunyi kembali setelah Yosiko dan anak buahnya menghilang di balik pohon-pohon besar di hutan tepi pantai. Hanya tinggal Yo Wan dan Cui Sian berdua yang masih berdiri di situ.

   "Bagus, akhirnya kita bertemu juga. Nah, kebetulan kau sudah mendapatkan pedang. Lihat seranganku!"

   Setelah berkata demikian, Cui Sian lalu menyerang Yo Wan dengan pedangnya! Bukan main kagetnya hati Yo Wan.

   "Eh...! Bagaimana ini...?"

   La cepat mengelak ketika melihat betapa gadis itu tidak main-main, serangannya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan amat berbahaya.

   "Tak perlu pura-pura kaget! Kau bersekutu dengan kepala bajak laut Kipas Hitam?"

   Kata Cui Sian marah.

   "Karena itu kau adalah musuh kami!"

   Kembali ia menyerang dengan gerakan kilat. Kembali Yo Wan mengelak dan mengelebatkan Pedang rampasannya untuk menangkis. la maklum bahwa Pedang di tangan Cui Sian adalah sebuah Pedang pusaka yang ampuh, sedangkan Pedang yang di tangannya hanyalah Pedang biasa yang tajam, sekali beradu tentu akan patah.

   Oleh karena itu, dia sengaja mengerahkan Sinkangnya dengan tenaga lemas sehingga ketika terbentur, pedangnya hanya membalik dan tidak menjadi rusak. Hal ini bagi Yo Wan adalah merupakan hal yang amat mudah, dan memang di sini terletak kelihaiannya sehingga jangankan sebuah Pedang baja, sedangkan sebatang Pedang kayu saja merupakan senjata yang dapat menghadapi pusaka-pusaka ampuh jika berada di tangannya. Ketika kedua Pedang bertemu dan Pedang di tangan Yo Wan tidak rusak, diam-diam Cui Sian kaget dan kagum sekali. Sebagai seorang ahli silat tinggi, ia pun dapat menduga bahwa pemuda ini sudah mahir dalam memindahkan tenaga sakti ke dalam benda yang dipegangnya. Hal ini membutuhkan Lweekang yang mendalam dan kiranya hanya orang-orang setingkat Ayahnya atau Pendekar Buta saja yang mampu melakukan hal itu!

   "Eh, nanti dulu... Sian-moi (adik Sian)... sejak kapan aku bersekutu dengan kepala Kipas Hitam?"

   "Pembohong pandai berpura-pura... laki-laki mata keranjang! Jai Hwa Cat (penjahat pemetik bunga)!"

   Cui Sian menusukkan pedangnya ke arah dada Yo Wan. Yo Wan begitu kaget mendengar tuduhan ini sehingga dia meloncat ke atas, akan tetapi dia segera menangkis Pedang Cui Sian, mengerahkan tenaga dan pedangnya berhasil menindas Pedang gadis itu ke bawah. Betapapun Cui Sian mengerahkan tenaga, ia tidak mampu mengangkat pedangnya yang tertindas itu!

   "Wah, nanti dulu, Sian-moi! Apa artinya tuduhan Jai Hwa Cat dan mata keranjang itu?"

   Yo Wan bertanya gugup.

   "Hemmm, apa kau hendak menyangkal bahwa kau tinggal siang malam berdua saja dengan... dengan... Ketua Kipas Hitam yang cantik itu?"

   Yo Wan menarik napas panjang. Hal ini sudah dia khawatirkan. la melepaskan pedangnya dan berkata,

   "Aahhh, kau salah duga, Moi-moi. kau dengarlah penjelasanku, atau kalau kau tidak percaya lagi kepadaku, boleh kaugunakan pedangmu itu menusuk mampus dadaku, aku takkan melawan lagi!" Cui Sian meragu, memandang tajam, pedangnya tidak bergerak, ia menanti. Dengan tenang Yo Wan lalu menuturkan pengalamannya ketika dia mencari Swan Bu, betapa di tengah jalan dia melihat Tan Hwat Ki dan sumoinya menyerang sarang Kipas Hitam, betapa dia menolong Tan Hwat Ki dan Bu Cui Kim, kemudian dia mengejar Yosiko dan terluka, lalu dirawat oleh gadis yang menjadi kepala Kipas Hitam itu.

   "Memang kasihan gadis itu, semenjak kecil terdidik liar. Dia dan Ibunya beranggapan bahwa pemuda yang dapat mengalahkan mereka adalah calon jodohnya...,"

   Demikian Yo Wan menutup ceritanya sambil menarik napas panjang.

   "Akan tetapi aku tentu saja menolaknya... aku bukan mata keranjang atau Jai Hwa Cat..."

   Cui Sian tersenyum mengejek, akan tetapi wajahnya sudah ditinggalkan kemuramannya.

   "Siapa percaya kau akan menolak seorang gadis yang begitu cantik jelita?"

   "Sian-moi...!!"

   "Sudahlah, percaya atau tidak, apa bedanya? Kau suka menjadi jodohnya atau tidak, sebetulnya aku pun tidak peduli. Bukan urusanku, kan?"

   Hampir Yo Wan tertawa bergelak menyaksikan sikap ini. Tadi gadis ini menyerangnya hebat, hampir membunuhnya karena cemburu, akan tetapi sekarang setelah menerima penjelasan, mengatakan bahwa ia tidak peduli dan bukan urusannya! Memang aneh sekali watak perempuan, pikirnya.

   "Sian-moi...,"

   Yo Wan memegang tangan Cui Sian, yang berkulit halus lunak dan yang tidak ditarik ketika dia pegang.

   "Kuharap kau tidak kehilangan kepercayaanmu kepadaku. Sian-moi, tahukah kau mengapa Yosiko tadi hendak mengeroyok dan membunuhmu? Karena aku secara terus terang menolak usul perjodohannya dan mengatakan bahwa di dunia ini hanya seorang gadis yang kucinta dan kuharapkan menjadi calon jodohku, yaitu gadis yang bernama Tan Cui Sian. Dia menjadi marah dan hendak, membunuhmu, bahkan Ibunya juga marah lalu pergi hendak menemui Suhu agar suka memaksaku. Akan tetapi Ibunya tidak tahu akan pengakuanku tentang kau, hanya mengira aku menolak begitu saja. Sian-moi, apa pun yang terjadi, siapapun yang akan menggodaku, tak mungkin aku mengubah pendirian hatiku yang sudah teguh bagaikan karang di pantai laut. Lihat, benda inilah yang menjadi saksi akan kesetiaanku kepadamu, Moi-moi!"

   Cui Sian tidak mengangkat mukanya, yang sejak tadi menunduk, hanya matanya mengerling kepada benda yang dikeluarkan Yo Wan dari sakunya. Ternyata benda itu adalah sehelai saputangan, saputangannya yang ia berikan kepada pemuda itu ketika Yo Wan menghadapi lawan-lawan sakti, di antaranya Bhok Hwesio. Kepala itu makin menunduk.

   "Sian-moi... percayakah kau kepadaku kini?"

   Cui Sian tidak menjawab dengan mulut, akan tetapi dua titik air mata yang terjatuh di tangan Yo Wan ketika kepala itu mengangguk perlahan merupakan jawaban yang cukup meyakinkan.

   Sampai beberapa lama keduanya hanya berdiri saling berpegang tangan, tidak ada suara keluar dari mulut mereka, namun hati masing-masing dipenuhi kebahagiaan. Akhirnya, setelah agak terlambat karena selalu menolak para pemuda yang merayunya, Cui Sian mendapatkan juga jodohnya. Akhirnya Cui Sian juga yang memecahkan kesunyian karena terdorong rasa sungkan dan malu di samping rasa bahagianya. la menarik tangannya, mengangkat muka dan sepasang mata bintang bersinar-sinar menentang wajah Yo Wan, Bibirnya tersenyum. Yo Wan membalas dengan pandang mata mesra dan tersenyum pula, senyum dan sinar mata itu cukup mewakili hati, menyampaikan seribu satu macam bahasa yang penuh madu asmara.

   "Ah, kita melamun sampai melupakan urusan!"

   Kata Cui Sian, wajahnya menjadi merah sampai ke telinganya. la memasukkan pedangnya dan berkata.

   "Hatiku masih bingung memikirkan keadaan Swan Bu dan Siu Bi si gadis liar itu. Aku berjumpa dengan mereka sedang berdua, dan agaknya Swan Bu merasa berat untuk berpisah dari Siu Bi. Pada-hal Ayah Bundanya tentu saja mengharapkan agar Swan Bu dapat mencuci segala kesalah-pahaman dan noda akibat fitnah jahat dengan jalan mengawini Lee Si..."

   Yo Wan mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.

   "Kita tidak mungkin dapat menyalahkan Swan Bu. Moi-moi, kalau hati sudah menyerah kepada kasih, apalagi yang dapat menjadi halangan? Banyak sudah contoh-contohnya kita dapat petik dari cerita lama. Tentu kau tahu akan riwayat Ayahmu sendiri yang diombang-ambingkan oleh asmara, kemudian riwayat Suhu yang juga menjadi korban kasih tak sampai. Dan aku maklum benar bahwa pada dasarnya, gadis-gadis seperti Siu Bi dan Yosiko bukanlah jahat. Hanya karena mereka sejak kecil terdidik dalam suasana yang kasar dan liar, mereka menjadi orang yang berwatak liar dan keras pula. Soal Swan Bu dan Siu Bi, biarlah kita urus perlahan-lahan dan kita bicarakan bersama dengan orang-orang tua bagaimana baiknya."

   Cui Sian mengangguk-angguk. Dia sendiri sedang diamuk cinta, tentu saja ia dapat merasakan keadaan Siu Bi sehingga rasa bencinya berkurang.

   "Akan tetapi bagaimana tentang Yosiko? Biarpun dia itu masih keponakanku sendiri, bagaimana aku bisa membenarkannya kalau dia menjadi Ketua gerombolan bajak laut? Apakah kita harus mendiamkannya saja? Kurasa hal ini amat tidak sejalan dengan sikap yang harus diambil orang gagah menghadapi kejahatan. Biarpun keluarga sendiri, kalau jahat, harus ditentang!"

   Yo Wan memandang kekasihnya dengan bangga.

   "Kau seorang Pendekar wanita sejati, Moi-moi. Memang seharusnya demikianlah. Akan tetapi, sebelum mengambil jalan kekerasan, marilah kita mencari jalan yang lebih halus dan agaknya aku melihat jalan yang baik sekali untuk mengatasi hal ini. Kalau kita bisa mengaturnya..."

   La lalu bercerita tentang pertemuan dan pertandingan antara Bun Hui dan Yosiko, menyatakan dugaannya bahwa Bun Hui tertarik dan suka kepada Ketua Kipas Hitam yang cantik itu. Sambil berjalan perlahan kembali ke perkemahan bersama Yo Wan, Cui Sian mendengarkan cerita kekasihnya. Pertemuan antara Yo Wan dan orang-orang gagah di situ amatlah menggembirakan, terutama Swan Bu dan Tan Hwat Ki. Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam, akan tetapi tidak sepatah kata pun Yo Wan atau Cui Sian bicara tentang diri Siu Bi.

   "Apakah kalian tidak percaya lagi kepadaku?"

   Terdengar Yosiko membentak marah dan meloncat turun dari atas batu yang tadi ia duduki. Di depannya, puluhan bajak laut yang dipimpin oleh empat orang laki-laki tampak bersungut-sungut. Empat orang ini adalah empat orang kepala bajak yang kini menggabungkan diri dengan Kipas Hitam untuk bersama-sama menghadapi dan melawan pasukan Kota Raja yang dipimpin Bun Hui dan teman-temannya. Orang pertama adalah si cambang bauk yang bernama Bong Ji Kiu yang berjuluk Kim Bwee Liong (Naga Berekor Emas). Mungkin julukan ini dia dapatkan karena dia bersenjatakan sebatang golok besar yang bergagang emas, golok yang terukir dengan gambar naga dan ekornya tiba di gagang yang terbuat dari emas.

   la tadinya seorang kepala bajak Sungai Kuning dan terkenal akan kelihaian dan kekejamannya. Tiga orang yang lain adalah kepala-kepala bajak laut yang selama ini mengganas di pantai Selatan. Seorang di antara mereka, yang kurus pucat adalah adik kandung Bong Ji Kiu bernama Bong Kwan, sedangkan yang dua lagi adalah teman-teman yang sudah mengangkat saudara. Mereka ini juga bukan orang-orang lemah. Kalau Bong Kwan, seperti kakaknya, pandai pula bermain golok, adalah dua orang temannya yang bernama Tio Khong dan Yauw Leng merupakan ahli-ahli bermain pedang. Empat orang pimpinan bajak itu, kini menghadapi Yosiko yang kelihatan marah-marah. Mula-mula adalah Bhong Ji Kiu si cambang bauk yang menyatakan rasa tidak puasnya terhadap pimpinan ini karena Yosiko melarang Bong Ji Kiu dan anak buahnya mengeroyok Yo Wan dan Cui Sian.

   "Mengapa Pangcu (Ketua) kelihatan memihak musuh? Terang bahwa mereka adalah sahabat-sahabat pimpinan pasukan musuh, kenapa tidak menangkap atau membunuh mereka?"

   Bong Ji Kiu yang mewakili tiga orang temannya dan juga puluhan orang anak buahnya mengajukan tuntutan ini dengan suara menantang, sehingga Yosiko menjadi marah dan membentak apakah mereka tidak percaya lagi kepadanya.

   "Kalau tidak percaya lagi kepada Pangcu, kiranya kita tidak akan berkumpul di sini,"

   Jawab Bhong Ji Kiu.

   "Sayang Toanio (nyonya besar) tidak berada di sini, kalau ada tentu dapat kami mintai pertimbangan. Hendaknya Pangcu ingat bahwa anak buah Pangcu kini tinggal sedikit, sudah banyak yang tewas, tinggal dua puluh orang lebih saja. Apakah Pangcu tidak merasa sakit hati? Jika tidak ada kami yang membantu dengan orang-orang kami yang semua mendekati seratus orang jumlahnya, bagaimana kita dapat melawan pasukan pemerintah?"

   "Hemmm, Bong-Twako! Apa perlunya kau bersikap mengancam? Habis, apa yang kalian kehendaki? Apa yang kalian ingin lakukan?"

   "Kami hanya menghendaki supaya Pangcu sungguh-sungguh berdaya upaya untuk menghancurkan mereka, bukan melindungi mereka. Buktikan bahwa Pangcu tidak miring hatinya terhadap pimpinan pasukan pemerintah atau kalau tidak demikian, kami terpaksa akan meninggalkan Pangcu dan tidak mau lagi bekerja sama menghadapi musuh."

   "Boleh! Kalian boleh tinggalkan aku, aku masih mempunyai anak buah yang setia!"

   Bentak Yosiko marah. Tiba-tiba Kamatari, jagoan Kipas Hitam, bangsa Jepang yang terkenal dengan samurai Cakar Naga, maju dan memberi hormat kepada Yosiko, sikapnya tenang dan tegas, kata-katanya nyaring.

   "Pangcu, terus terang saja kami melihat gejala-gejala tidak baik terhadap diri Pangcu. Agaknya Pangcu memilih musuh menjadi sahabat, bahkan Pangcu hendak memilih jodoh dari golongan musuh. Hal ini mengecewakan hati kami dan kami membenarkan ucapan Bong-Twako bahkan kami pun akan berpihak kepadanya kalau terjadi perpecahan."

   Pucatlah wajah Yosiko. Baru kali ini semenjak ia kecil, anak buahnya berani mencelanya. Kalau tidak ingat akan jasa-jasa Kamatari, tentu ia sudah turun tangan membunuhnya di saat itu juga. Melihat keadaan Yosiko ini, Siu Bi maju menghampiri dan berkata perlahan,

   "Sudahlah, Yosiko, biarkan mereka itu semua pergi. Apa sih enaknya menjadi kepala bajak?"

   Ucapan ini membuat para bajak menjadi marah. Mereka sudah berdiri dan sikap mereka mengancam, seakan-akan mereka siap untuk mengeroyok dua orang nona cantik itu. Melihat gelagat tidak baik ini, Yosiko lalu mengangkat tangannya dan berkata nyaring,

   "Baiklah, kalian orang-orang tiada guna! Kalian berani menghinaku, berani mengira bahwa Yosiko memihak musuh? Biar kubuktikan bahwa aku tidak takut terhadap musuh. Kamatari, kausampaikan surat tantanganku kepada panglima pasukan musuh. Biar kutantang dia maju dan bertanding satu lawan satu denganku, sampai dia atau aku yang mampus. Selama dia bertanding denganku, karena tidak ada pimpinan, tentu pasukannya juga lengah. Nah, pada saat itu boleh Bong-Twako memimpin orang-orangnya mengadakan serbuan besar-besaran. Bagaimana?"

   Wajah orang-orang di situ menegang. Kamatari yang diam-diam menaruh rasa sayang kepada Yosiko berkata,

   "Tapi... tapi... bukankah itu berbahaya sekali? Pemimpin mereka, panglima muda itu, kabarnya lihai bukan main."

   "Siapa takut dia? Lakukah perintahku, habis perkara!"

   Yosiko lalu menyuruh anak buahnya menyediakan alat tulis, kemudian dengan huruf-huruf tebal ia menulis surat tantangan yang ditujukan kepada "Panglima muda she Bun"

   Dari Tai-Goan! Panglima muda itu ditantang untuk mengadakan "Duel"

   Di tepi laut untuk menentukan siapa lebih unggul antara pemimpin bajak laut dan pemimpin pasukan Kota Raja. Malam hari yang gelap gulita itu menyembunyikan gerak-gerik Kamatari yang menancapkan surat tantangan itu dengan sebatang anak panah di batang pohon besar yang tumbuh di luar perkemahan pasukan pemerintah. Keesokan harinya, ributlah para pasukan pemerintah ketika melihat surat ini dan cepat-cepat mereka menyampaikan kepada Bun Hui. Bukan main bingungnya hati panglima muda ini ketika membaca surat tantangan Yosiko.

   la ingin mencari jalan damai dengan gadis kepala bajak yang telah merebut hatinya itu, siapa kira si gadis malah menantangnya untuk melakukan pertandingan secaia terbuka! la maklum bahwa gadis itu kepandaiannya tinggi, dan bahwa belum tentu dia dapat menang. Hal ini bukan merupakan hal yang mengecilkan hatinya, akan tetapi dengan adanya surat tantangan ini, habislah jalan untuk dapat mengadakan perdamaian, untuk dapat menginsyafkan Yosiko. Kalau surat tantangan macam itu tidak dia terima, tentu dia akan menjadi bahan ejekan orang. Kalau dia terima dan mereka bertanding, tentu seorang di antara mereka akan tewas! Selagi Bun Hui kebingungan dan termenung di dalam kamarnya, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk orang dan ternyata orang ini adalah Yo Wan. Bun Hui cepat mempersilakan Pendekar ini dengan ramah.

   "Saudara Bun, mengapa bingung memikirkan pertandingan melawan Yosiko?"

   Ragu? Yo Wan sambil tersenyum. Muka Bun Hui menjadi merah ketika dia menjawab dengan pertanyaan pula.

   "Yo-Twako bagaimana tahu bahwa aku bingung memikirkan pertandingan itu?"

   "Ah, aku tahu semua, saudara Bun. Jangan khawatir, aku mendapat akal agar kau dapat mengalahkan Yosiko dengan mudah seperti yang terjadi kemarin dulu."

   Sejenak Bun Hui melongo, kemudian dia tersenyum maklum dan meloncat dari tempat duduknya, memegang tangan Yo Wan.

   "Wah, kiranya kau yang telah membantuku, Yo-Twako?"

   Ah, pantas saja begitu mudah aku mendapat kemenangan! Mengapa kau lakukan itu, Yo-Twako?"

   "Bun-Lote, ada sebabnya mengapa aku membantumu. Seperti juga engkau, aku merasa sayang melihat Yosiko dan tidak ingin melihat dia tersesat lebih jauh. Dia sebetulnya adalah seorang gadis baik, keturunan keluarga Raja Pedang, berdarah Pendekar. Sayang dia terdidik dalam lingkungan liar. Oleh karena itu, aku akan merasa girang sekali kalau kau berhasil menundukkan dia, Bun-Lote, membujuknya kembali ke jalan benar dan membubarkan anak buahnya. kau hadapilah dia dan kau akan menang!"

   "Tapi... aku belum yakin bahwa aku akan bisa menang, Yo-Twako. Ilmu pedangnya hebat dan karenanya aku tahu bahwa yang menjatuhkannya kemarin dulu bukanlah aku. Tanpa bantuanmu, belum tentu aku menang, atau andaikata dapat mencapai kemenangan juga, kiranya harus melalui pertandingan mati-matian dan seorang di antara kami harus tewas di ujung pedang!" Keperihan hati Bun Hui terbayang pada wajahnya yang tampan dan diam-diam Yo Wan merasa geli. Cinta kasih memang tidak memilih bulu, tidak memandang pangkat, kedudukan, atau pun keadaan orang yang dicinta. Melihat kedudukannya, semestinya Bun Hui menganggap Yosiko sebagai musuh besar yang harus dibasminya, akan tetapi bahkan rintangan berat ini dapat dilalui dengan mudah oleh cinta kasih.

   "Bun-Lote, kau cinta kepada Yosiko, bukan?"

   Ditanya begini langsung Bun Hui rasa seakan-akan diserang tusukan Pedang yang langsung menembus jantungnya. Wajahnya menjadi merah sampai ke telinganya, dan dengan gagap dia menjawab,

   "Aku... aku tertarik kepadanya..."

   "Kau cinta padanya?"

   "Aku... aku suka..."

   "Dan cinta padanya?"

   Akhirnya Bun Hui mengangguk.

   "Nah, karena itu kau harus menangkan dia, Lote. Yosiko seorang gadis yang cukup pantas dilindungi. la memang berwatak aneh dan akan tunduk jika kau dapat memenangkannya. Karena itu, kau harus menang."

   "Bagaimana caranya? Aku belum tentu dapat..."

   "Waktu yang ia tentukan untuk bertanding masih tiga hari lagi. Biarlah aku menurunkan beberapa jurus ilmu pukulan Pedang kepadamu. Aku sudah hafal akan ilmu Pedang Yosiko, pernah aku bertanding melawan dia dan aku tahu di mana letak kelemahan-kelemahannya. Memang dia pandai, ilmu pedangnya adalah Sian-li Kiam-Sut yang sudah tercampur ilmu lain, juga ia pandai Ilmu Langkah Hui-thian-jip-te. Akan tetapi dengan ilmu pedangmu Kun-Lun Kiam-Sut, kau tentu dapat menghadapinya dan mempertahankan diri. Jika kau melihat kesempatan baik, nah, kaugunakan jurus-jurus yang kuajarkan, tentu ia akan roboh. Kau perlihatkan baik-baik, Lo-te. Kalau kau melihat dia berada dalam kedudukan langkah seperti ini, nah, kau lalu pergunakan jurus ini sebagai pancingan, dan tentu dia akan bergerak begini, maka kau cepat-cepat menekan pedangnya dan menyapu kakinya dengan jurus ini."

   Sambil bicara Yo Wah memberi contoh gerakan yang diperhatikan baik-baik oleh Bun Hui. Yo Wan menurunkan lima jurus serangan, disesuaikan dengan keadaan atau posisi yang akan dilakukan Yosiko. Dengan tekun Bun Hui mempelajarinye selama tiga hari sehingga dia hafal betul.

   "Kau pasti akan berhasil, Bun-Lote. Andaikata tidak, percayalah, aku takkan berada jauh dan akan menggunakan akal lain. Kalau dia sudah mengaku kalah, kau bujuk dia supaya membubarkan anak buahnya dan mengusir mereka dari wilayah ini, kemudian kau ajak dia pergi ke Thai-goan menghadap Ayahmu untuk kaumintakan ampun. Tentang bagaimana kau membujuk Ayahmu supaya mengambilnya sebagai mantu, terserah..."

   Yo Wan tertawa melihat Bun Hui menjadi merah mukanya.

   
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Terima kasih, Yo-Twako. Baru satu kali aku bertemu denganmu, akan tetapi kau sudah begini baik kepadaku..."

   "Bukan satu kali, Bun-Lote. Pernah aku mengunjungi gedung Ayahmu beberapa bulan yang lalu, mengunjungi tempat tahanan untuk membebaskan adik Siu Bi.

   "Ahhh...!"

   Bun Hui berseru kagum.

   "Kiranya kau yang melakukan hal itu, Yo-Twako? Kau benar-benar lihai! Akan tetapi... mengapa kau menolong nona Siu Bi?"

   Bun Hui mengerutkan kening lalu menyambung.

   "Kau adalah murid Pendekar Buta, sedangkan nona Siu Bi bermaksud membalas dendam kepada Pendekar Buta sekeluarga, bahkan kini berhasil membuntungi lengan Swan Bu."

   Yo Wan menarik napas panjang.

   "Dia hidup sebatangkara, seperti aku, patut dikasihani. Tentang dendam dan balas membalas itu, ahhh... bukan salah Siu Bi. la hanya menjadi korbah pendidikan keliru seperti... Yosiko. Kasihan Siu Bi, dan kasihan Swan Bu..."

   Bun Hui mengerti apa yang dimaksudkan Yo Wan, maka keduanya berdiam sejenak, tenggelam dalam keharuan hati masing-masing. Kemudian Bun Hui kembali berlatih jurus-jurus yang dia terima dari Yo Wan sampai Yo Wan merasa puas karena gerakan Bun Hui sudah boleh dibilang cukup memenuhi syarat. Saat pertandingan antara pimpinan bajak dan pimpinan pasukan pemerintah tiba, seperti yang diajukan dalam surat tantangan Yosiko. Tempatnya di tepi laut, di mana tiga hari yang lalu Bun Hui sudah mengadu ilmu melawan Yosiko.

   Pagi hari itu, Bun Hui dengan ditemani Tan Hwat Ki, Kwa Swan Bu, Tan Cui Sian, dan Bu Cui Kim, mendatangi tempat itu dengan langkah kaki tenang. Tentu saja Bun Hui besar hati dan tabah karena di sebelahnya berjalan empat orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sehingga andaikata terjadi pengeroyokan, dia tidak usah merasa khawatir. Sesungguhnya, andaikata para bajak laut itu melakukan pertempuran secara terbuka, dia dengan bantuan empat orang muda perkasa ini, apalagi ditambah dengan Yo Wan sudah cukup untuk membasmi para bajak laut. Akan tetapi celakanya, para bajak laut itu tidak pernah meiakukan pertempuran terbuka, melainkan melakukan penyerangan tiba-tiba dan di waktu malam secara diam-diam dan curang! Ini yang menyebabkan sukarnya usaha pembasmian para bajak itu.

   Di lain pihak, Yosiko sudah muncul pula dengan pakaian serba putih yang ringkas, sikapnya gagah dan wajahnya cantik sekali, membuat jantung Bun Hui makin berdebar kencang, seakan-akan dia merasa bahwa pertemuannya dengan Yosiko ini bukan pertemuan untuk bertanding, melainkan pertemuan sebagai pengantin! Yosiko diiringkan oleh empat orang pula, yaitu empat orang kepala bajak, sedangkan belasan orang anggota bajak pilihan kelihatan agak jauh di belakang, merupakan pasukan pengawal. Swan Bu sudah mendengar bahwa Siu Bi berada bersama Yosiko, kini tidak melihat kekasihnya itu muncul bersama Yosiko, dia tidak dapat menahan kesabaran hatinya lagi lalu melangkah maju dan bertanya,

   "Kau kah Pangcu dari Hek-San-Pang? Aku mendengar bahwa Siu Bi bersamamu. Di mana kau menahan dia? Lekas bebaskan dia dan jangan bawa-bawa dia dalam kejahatanmu!"

   Yosiko hanya memandang tajam dan sebelum ia sempat menjawab, dari sebelah kirinya terdengar Bong Kwan si kepala bajak pucat kurus membentak marah, agaknya menunjukkan wibawa.

   "Bocah buntung mengapa banyak mulut? Tutup mulutmu, atau aku akan membuntungi lenganmu yang sebelah lagi!"

   Penghinaan yang tak tersangka-sangka ini membuat Yosiko dan pihak Bun Hui terkejut sekali sehingga mereka tak dapat berkata-kata. Swan Bu dengan muka tenang seperti biasa, akan tetapi sepasang matanya memancarkan api, bertanya,

   "Kau siapakah, orang gagah?"

   Bong Kwan yang pucat kurus membusungkan dada, karena ucapan Swan Bu yang merendah itu dia anggap sebagai tanda gentar terhadap dirinya.

   "Aku Bhong Kwan berjuluk Si Ular Terbang!"

   "Dengan apa kau hendak membuntungi lenganku yang sebelah ini?"

   Swan Bu bertanya lagi, wajahnya masih tenang seperti biasa, hanya suaranya agak gemetar, tanda bahwa dia menahan kemarahan yang meluap-luap.

   "Dengan apa? Hah, dengan golokku ini!"

   Kembali Bong Kwan menyombong sambil mencabut goloknya. Inilah agaknya yang dikehendaki Swan Bu. Terdengar ucapannya,

   "Bersiaplah!"

   Dan tubuhnya berkelebat lenyap, yang tampak hanya gulungan sinar Pedang berkelebat bagaikan halilintar menyambar ke depan, ke arah Bong Kwan. Kejadian ini begitu cepatnya sehingga tidak ada yang dapat mencegah. Bong Kwan sendiri segera menggerakkan goloknya membacok sinar berkeredepan yang menyambarnya itu. Terdengar bunyi "Tranggg!"

   Diiringi pekik kesakitan dan ketika semua orang memandang, ternyata Swan Bu sudah melesat kembali dan berdiri seperti biasa, pedangnya masih tergantung di dalam sarung pedang, wajahnya biasa seperti tadi. Akan tetapi di pihak sana, Bong Kwan berkelojotan dan mengerang-erang kesakitan, golok berikut lengan kanannya telah terbabat buntung!

   Kejadian ini terjadi amat cepatnya sehingga semua orang melongo dan kaget. Pasukan bajak laut lalu berlarian datang, dan atas perintah Bong Ji Kiu si cambang bauk yang marah sekali melihat adiknya menjadi buntung, mereka menggotong pergi Bong Kwan dari tempat itu. Diam-diam Yosiko kagum bukan main. Ilmu Pedang si pemuda buntung kekasih Siu Bi itu hebat bukan main, membuat ia merasa gentar juga. Dia sendiri merasa yakin bahwa dia bukanlah lawan pemuda buntung putera Pendekar Buta yang luar biasa itu, dan bergidiklah ia kalau mengingat betapa Bun Hui didampingi orang-orang yang begitu lihai. Alangkah banyaknya orang lihai di dunia ini dan ia teringat akan ucapan Yo Wan betapa kelirunya kalau ia memilih jodoh orang yang terlihai kepandaiannya. Di dunia ini kiranya sukar dicari orang yang paling pandai, karena tentu ada saja yang melebihinya.

   "Ah, tidak keliru Siu Bi memilih!"

   Ucapan ini tak terasa keluar dari mulut Yosiko.

   "Kau putera Pendekar Buta yang bernama Swan Bu? Jangan khawatir, Siu Bi tidak ditahan, ia tidak ikut muncul karena takut kepada dia ini!"

   La menudingkan telunjuknya ke arah Cui Sian sambil mengerling nakal.

   "Dia galak benar sih! Akan tetapi Siu Bi titip pesan bahwa dia selalu menantimu dengan setia."

   Wajah Swan Bu berseri mendengar ini, akan tetapi dia hanya mengangguk, merasa agak malu untuk menjawab.

   "He, Bun-Ciangkun, kau datang bersama begini banyak orang lihai, apakah kau merasa jerih terhadap aku dan hendak mengandalkan pengeroyokan mereka ini untuk mengalahkan aku?"

   "Ihhh, sombongnya!"

   Cui Sian membentak.

   "Aku sendiri pun cukup untuk membereskan orang seperti kau ini, masa harus mengeroyok?"

   Yosiko tersenyum kepadanya.

   "Aku bicara dengan Bun-Ciangkun, siapa minta kau turut campur? Eh, Bun-Ciangkun, bagaimana jawabmu?"

   "Mereka hanya menemaniku sebagai saksi,"

   Jawab Bun Hui.

   "Kulihat kau juga membawa teman, apa bedanya?"

   "Kalau begitu biar kita suruh mereka menyingkir mundur yang jauh. Aku hanya ingin bicara dan bertanding denganmu, yang lain-lain tak boleh mencampuri!"

   Tanpa diminta Cui Sian lalu mengajak Swan Bu, Hwat Ki, dan Cui Kim untuk mengundurkan diri dan berdiri dari jauh, hanya untuk menjaga kalau-kalau musuh mempergunakan tipu curang. Dari tempat mereka berdiri, mereka hanya dapat melihat, akan tetapi tidak dapat mendengar kata-kata mereka berdua. Juga Bong Ji Kiu dan dua orang temannya lalu mengundurkan diri di tempat pasukan anak buah mereka, juga cukup jauh dari tempat pertandingan.

   "Nah, sekarang kita hanya berdua bebas untuk bicara. Nona Yosiko, sebetulnya apakah maksudmu mengadakan tantangan seperti ini? Sudah kukatakan dahulu bahwa aku tidak ingin bermusuhan denganmu, malah ingin menawarkan perdamaian."

   "Hemmm, pertandingan antara kita tempo hari belum selesai. Sekarang kita selesaikan dengan perjanjian, kalau kau kalah, kau harus menarik pulang pasukanmu dan jangan mengganggu kami lagi."

   "Kalau kau yang kalah?"

   "Kalau aku yang kalah, aku tetap memegang janjiku lima hari yang lalu, aku menyerah dan menurut segala kehendakmu."

   "Nona..., betulkah itu? Kau takkan melanggar janji?"

   "Janji lebih berharga daripada nyawa."

   Gemetar suara Bun Hui ketika dia berkata,

   "Nona, kalau Thian mengabulkan dan aku berhasil menangkan engkau, aku hanya minta agar kau membubarkan semua bajak, melarang mereka melakukan perbuatan jahat lagi, kemudian kau ikut bersamaku ke Thai-goan, kuhadapkan Ayah, kumintakan ampun... bagaimana, setujukah engkau?"

   Yosiko mengangguk.

   "Aku sudah berjanji, dan aku menurut segala kehendakmu."

   "Bagus! Mari kita mulai, mudah-mudahan aku akan menang,"

   Kata Bun Hui gembira. Mereka mencabut Pedang masing-masing dan memasang kuda-kuda.

   "Akan tetapi kau harus mempergunakan ilmu pedang, jangan menggunakan ilmu sihir seperti dahulu,"

   Kata Yosiko sebelum mulai. Bun Hui tersenyum. Yang disangka llmu sihir itu tentulah bantuan Yo Wan secara diam-diam.

   "Tidak, aku hanya akan menggunakan ilmu silatku, akan tetapi kau pun harap jangan menggunakan senjata gelap dan segala racun."

   "Baik, mulailah!"

   Bun Hui menggerakkan pedangnya menyerang dan beberapa menit kemudian mereka sudah saling terjang dengan hebat dan seru. Sebetulnya hanya Yosiko yang terus-menerus melakukan penyerangan. Karena mentaati pesan Yo Wan, Bun Hui tidak mau menyerang, hanya melindungi tubuhnya dengan Ilmu Pedang Kun-Lun Kiam-Sut yang amat kuat. Pedangnya membentuk benteng baja yang sukar ditembus sehingga makin penasaranlah hati Yosiko. Namun, biarpun hanya mempertahankan diri, Bun Hui selalu mengincar kedudukan kaki Yosiko untuk menanti kesempatan seperti yang diajarkan oleh Yo Wan.

   Kesempatan pertama terbuka ketika Yosiko menyerangnya dengan mengembangkan lengan kiri dan menusukkan Pedang ke dadanya. Kedudukan kaki dan posisi badan gadis itu persis seperti yang diajarkan Yo Wan kepadanya. Cepat dia miringkan tubuh ke kiri seperti diajarkan Yo Wan, kemudian pedangnya berkelebat menyabet lengan kiri gadis yang dikembangkan itu dengan cepat sekali. Kagetlah Yosiko menghadapi serangan balasan ini. Lengan kirinya terancam bahaya dan serangan balasan yang tiba-tiba ini sama sekali tidak pernah ia sangka karena justru kelemahan kedudukannya adalah pada lengan kiri itu. Tepat seperti diperhitungkan dan diajarkan Yo Wan kepada Bun Hui, gadis itu menarik lengan kirinya dan melangkah mundur setindak dengan kaki kiri pula. Bun Hui mempergunakan kesempatan itu untuk mencengkeram dengan tangan kirinya ke arah Pedang si gadis sambil berseru,

   "Lepaskan pedang!"

   Kembali Yosiko terkejut sekali dan cepat ia menarik gagang pedangnya sambil menggoyang pergelangan tangan untuk menangkis cengkeraman itu dengan mata pedang. Akan tetapi ternyata cengkeraman itu hanya gertakan belaka karena tahu-tahu yang betul-betul menyerang adalah Pedang di tangan kanan Bun Hui. Pedang itu berkelebat dan... putuslah sabuk sutera yang mengikat pinggang Yosiko, putus kedua ujungnya yang berkibar-kibar!

   "Ihhh...!!"

   Yosiko meloncat lagi air mukanya menjadi merah sekali.

   "Maaf... tidak sengaja..."

   Kata Bun Hui sambil tersenyum.

   "Aku belum kalah!"

   Kata Yosiko menutupi rasa malunya dan pedangnya berkelebat lagi melakukan serangan yang lebih hebat. Bun Hui yang sudah siap cepat memutar pedangnya melindungi tubuhnya dan kembali mereka bertanding dengan seru. Pedang mereka berkali-kali bertemu mengakibatkan bunyi nyaring dan percikan bunga api. Kesempatan kedua tiba ketika Bun Hui melihat posisi menyerang lawannya dengan tubuh miring.

   Cepat ia "Memasuki"

   Lowongan dengan memukulkan tangan kirinya ke arah pundak sambil menangkis Pedang Yosiko. Tepat seperti yang diajarkan Yo Wan. Yosiko mengelak sambil menusukkan pedangnya dari samping. Cepat bagaikan kilat karena sudah menduga akan perubahan atau perkembangan kaki Yosiko, Bun Hui menekan Pedang lawan ke bawah dan selagi gadis itu mengerahkan tenaga untuk menarik pedangnya, kaki Bun Hui menyapu dan..., terjungkallah Yosiko! Namun gadis itu dapat cepat melompat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak. la terheran-heran karena seakan-akan pemuda itu mengenal baik jurus-jurusnya dan tahu pula akan perubahannya, kalau tidak demikian bagaimana dapat tahu bahwa pada saat itu kelemahannya terletak pada kedudukan kakinya sehingga dapat melakukan penyerangan yang begitu tepat?

   "Maaf...!"

   Untuk kedua kalinya Bun Hui berkata perlahan.

   "Aku tetap belum mengaku kalah!"

   Kata Yosiko pula yang merasa penasaran dan cepat menerjang lagi.

   Diam-diam Bun Hui menarik napas panjang. Tepat, betul penafsiran Yo Wan tentang gadis ini, keras dan liar wataknya, namun gerak-geriknya benar-benar telah mencengkeram hati Bun Hui. la telah melakukan pesan Yo Wan dengan baik. Menurut petunjuk Yo Wan, dia tidak boleh sekaligus merobohkan gadis ini, karena hal itu akan melukai harga dirinya. Maka setelah dua kali memperlihatkan keunggulannya, baru Bun Hui menanti kesempatan baik untuk mengalahkannya. Kesempatan itu tiba setelah Yosiko mulai mengeluarkan jurus-jurusnya yang paling ampuh. Memang sudah diperhitungkan oleh Yo Wan bahwa setelah dua kali berturut-turut menderita kekalahan, pasti Yosiko yang keras hati itu akan mengeluarkan jurus-jurus yang paling hebat dan oleh karena inilah untuk menjatuhkan Yosiko, dia sengaja mengajar Bun Hui untuk menghadapi jurus yang paling berbahaya.

   Pada saat Yosiko menerjang dengan bacokan Pedang ke arah leher diteruskan sabetan ke bawah mengarah pinggang dibarengi dengan dorongan-dorongan tangan kiri yang mengandung hawa pukulan (Lanjut ke Jilid 25 - Tamat)

   Jaka Lola (Seri ke 04 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 25 (Tamat)

   jarak jauh, terbukalah kesempatan ketiga itu bagi Bun Hui. Tepat seperti ajaran Yo Wan yang sudah dilatihnya baik-baik, karena tahu bahwa Pedang lawan yang membacok leher itu akan terus menyabet pinggang, otomatis Pedang Bun Hui menjaga leher dan pinggang sehingga dua serangan itu otomatis gagal. Adapun pukulan atau dorongan tangan kiri Yosiko itu oleh Bun Hui sengaja diterima dengan pundak kanannya. Girang sekali hati Yosiko karena ia melihat bahwa ia bakal menang, karena sekali pukulannya mengenai pundak, tak dapat tidak pemuda itu tentu akan roboh, sedikitnya terhuyung-huyung sehingga memudahkan dia untuk mendesak terus.

   Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pada saat pukulannya mampir ke pundak, tangan kiri Bun Hui dengan kecepatan luar biasa telah menotok bawah siku kanannya, membuat lengan kanannya setengah lumpuh dan sebelum ia dapat mencegahnya, tangan kiri pemuda itu sudah berhasil merampas pedangnya dari tangan kanan yang setengah lumpuh itu. Memang betul pukulan kirinya tepat mengenai pundak Bun Hui dan membuat pemuda itu terhuyung ke belakang dengan muka pucat, akan tetapi pedangnya telah berada di tangan kiri pemuda itu. Hal ini berarti ia kalah mutlak! Dengan pandang mata penuh kekaguman Yosiko berdiri memandang Bun Hui. Tak mungkin ia melawan terus setelah pedangnya terampas. Jelas bahwa pemuda ini lebih lihai dari padanya!

   "Kau lihai sekali, Nona. Pundakku terluka oleh pukulanmu!"

   Kata Bun Hui merendah sambil mengangsurkan Pedang rampasannya kepada Yosiko.

   "Tidak, aku telah kalah dan aku mengaku kalah. Tak dapat aku menerima kembali pedangku. Aku sudah berjanji dan biarkan aku kembali untuk membubarkan mereka, besok baru aku akan datang kepadamu dan selanjutnya terserah."

   Saking girangnya Bun Hui tak dapat berkata-kata, hanya memandang dengan sinar mata penuh kebahagiaan dan dia hanya dapat menjura ketika nona itu mengundurkan diri. Dari tempat dia berdiri, dia melihat Yosiko memberi tanda dengan tangan kepada anak buahnya dan mereka lalu menghilang di balik semak-semak di hutan. Cui Sian dan yang lain-lain segera lari menghampiri.

   "Selamat, saudara Bun Hui, kau telah menang!"

   Kata Tan Hwat Ki girang.

   "Setelah ia kalah, apa yang akan ia lakukan?"

   Tanya Cui Sian.

   "La telah berjanji akan membubarkan anak buahnya, dan ia sendiri menyerahkan diri besok untuk menjadi tawanan dan dibawa ke Kota Raja,"

   Kata Bun Hui.

   "Semua ini adalah jasa Yo-Twako. Ehhh..., Yo-Twako mengapa tidak muncul?"

   La menoleh ke arah belakang di mana terdapat banyak pohon besar. la menduga bahwa Yo Wan tentu bersembunyi di situ dalam persiapan membantunya apabila rencananya gagal. Benar saja, Yo Wan muncul dari balik pohon dan tertawa girang.

   "Kau berhasil baik, Bun-Lote. Bagus sekali! Kurasa seorang seperti Yosiko akan memegang janjinya. Alangkah baiknya urusan ini dapat dibereskan dengan jalan damai sehingga daerah ini akan bebas dari gangguan bajak laut tanpa banyak banjir darah."

   "Betapapun juga, aku sangsi apakah jalan ini cukup baik dan menjamin keamanan. Andaikata para bajak itu betul-betul mau pergi dari sini, kiranya mereka akan mengganas di tempat lain,"

   Kata Cui Sian menyatakan pendapatnya.

   "Setuju sekali dengan ucapan Bibi,"

   Sambung Hwat Ki.

   "Membasmi pohon jahat harus sampai ke akar-akarnya, kalau tidak tentu akan tumbuh kembali. Penjahat-penjahat itu kalau tidak dibasmi habis, kelak tentu akan melakukan kejahatan pula."

   Yo Wan menggeleng-geleng kepalanya, lalu berkata, suaranya sungguh-sungguh,

   "Kurasa tidak demikian persoalannya. Kejahatan bukanlah suatu sifat dari jiwa. Tidak ada manusia yang lahir sudah jahat atau selama hidupnya setiap saat ia jahat. Kejahatan adalah kebodohan atau penyelewengan dari kesadaran hati nurani oleh keadaan yang terdorong oleh nafsu-nafsu keduniawian. Memang sudah menjadi kewajiban kita yang mempelajari ilmu dan mengabdi kebenaran dan keadilan untuk memberantas kejahatan-kejahatan, tetapi bukanlah cara yang sempurna kalau kita harus membunuhi setiap orang yang melakukan kejahatan yang sesungguhnya hanya kebodohan itu. Hal ini akan merupakan pekerjaan sia-sia belaka, bahkan membunuh itu sendiri pun termasuk kebodohan yang berdasar pada kebencian, jadi pada umumnya juga disebut jahat! Yang kita musnahkan bukanlah orangnya melainkan kebodohannya itulah."

   Yo Wan berhenti sebentar mengumpulkan ingatannya tentang filsafat yang pernah dia pelajari ketika dia bertapa di Himalaya. Orang-orang muda yang gagah mendengarkan dengan tertarik.

   "Yo-Twako, teruskanlah, aku masih belum dapat memahami filsafatmu ini."

   Kata Bun Hui.

   "Anggapan bahwa orang yang sekarang dianggap jahat akan menjadi jahat selamanya, dan anggapan bahwa orang yang sekarang dianggap baik akan menjadi baik selamanya, adalah anggapan yang sempit. Apa yang disebut jahat maupun baik hanyalah akibat dari kesadaran si orang itu pada saat itu. Apabila dia lupa dan lemah, bodoh menghambakan diri pada hawa nafsu, maka dia melakukan perbuatan yang dianggap jahat. Sebaliknya apabila pada saat itu ia sadar dan kuat menghadapi godaan nafsu, ia akan ingat dan menjauhi perbuatan yang dianggap jahat. Jadi hanyalah akibat sementara saja dari kesadaran. Tidak akan selamanya begitu. Yang sadar mungkin lain waktu akan lupa, sebaliknya yang sekarang lupa mungkin sekali lain waktu akan sadar. Saudara-saudaraku yang baik, pada hakikatnya, apakah itu yang disebut baik dan jahat? Dari manakah timbulnya sebutan ini? Ingat, banyak sekali di antara kita yang menyalahtafsirkan istilah baik dan jahat ini, bahkan banyak yang menyeleweng dari kebenaran dan keadilan dalam menentukan tentang orang baik dan orang jahat,"

   "Bagaimana ini? Baru sekarang aku mendengarnya. Yo-Koko, coba kau beri penjelasan,"

   Kata Cui Sian dengan hati tertarik sehingga ia lupa bahwa ia menggunakan sebutan mesra sekali, yaitu sebutan "Koko."

   Baiknya semua orang pun sedang dalam keadaan tertarik oleh filsafat Jaka Lola sehingga tidak ada yang memperhatikan sebutan itu.

   "Sebelumnya maaf. Kalian adalah putera-puteri Pendekar-Pendekar sakti yang berilmu tinggi, tentu sudah menerima gemblengan-gemblengan batin yang dalam. Akan tetapi, tiada salahnya kalau sekarang kita bertukar pikiran untuk memperlengkapi ilmu dan mencari kesesuaian pendapat. Yang kumaksud penyelewengan dalam penilaian seseorang terhadap orang lain yang dianggap baik dan jahat adalah karena sebagian besar manusia menilai orang lain berdasarkan nafsu kodrati..."

   "Nanti dulu, Yo-Twako. Apa artinya kodrati?"

   Tanya Hwat Ki.

   "Nafsu kodrati adalah nafsu mementingkan diri pribadi, demi kesenangan sendiri, demi keuntungan sendiri, demi kepentingan sendiri tanpa menghiraukan orang lain. Orang menilai orang lain sebagai orang baik kalau orang lain itu mendatangkan keuntungan atau kesenangan kepadanya. Dan orang menilai orang lain sebagai orang jahat kalau orang lain itu mendatangkan kerugian atau kesusahan kepadanya."

   "Tentu saja, bukankah itu wajar?"

   Bun Hui berkata. Yo Wan mengangguk.

   "Wajar bagi penilaian yang berdasarkan kodrati. Memang ini menjadi kesalahan atau penyelewengan yang tak terasa lagi oleh manusia yang dalam setiap geraknya dikendali oleh nafsu kodrati. Akan tetapi sebetulnya tidak wajar bagi orang yang mengabdi kepada kebenaran dan keadilan!"

   "Mengapa begitu?"

   Tanya Hwat Ki.

   "Agaknya persoalan ini sulit dimengerti. Baiklah aku menggunakan contoh. Ada seorang yang menjadi perampok, merampasi barang lain orang dengan jalan kekerasan. Orang ini pada umumnya disebut jahat, bukan? Akan tetapi orang ini amat baik kepadamu, tidak merampokmu, malah membantumu, menolongmu dengan ikhlas. Nah, saudara Hwat Ki, bagaimana penilaianmu terhadap orang ini? Tentu kau akan sukar sekali menganggap dia orang jahat, dan akan menerima dia sebagai seorang yang baik karena memang ia amat baik terhadapmu. Sebaliknya, andaikata ada seorang yang oleh umum dianggap baik, suka menolong orang lain, akan tetapi justru kepadamu orang itu berbuat hal yang merugikan, misalnya menghina atau menyusahkan. Bukankah kau akan sukar sekali menilai dia sebagai orang baik, Bun-Lote? Kiranya akan lebih mudah bagimu untuk menilai dia sebagai seorang yang jahat karena ia kau anggap amat jahat kepadamu. Nah, bukankah jelas bahwa penilaian saudara Hwat Ki dan Bun-Lote ini menyeleweng dari kebenaran dan keadilan? Karena penilaian ini hanya mendasarkan kepada untung atau rugi bagi dirinya sendiri! Bagaimana pendapat kalian?"

   "Betul sekali! Baru sekarang aku dapat mengerti!"

   Kata Cui Sian, sepasang matanya berseri penuh kekaguman.

   "Memang betul apa yang dikatakan Yo-Twako. Aku pun pernah mendengar filsafat seperti ini diwejangkan oleh Ayah,"

   Kata Swan Bu. Yo Wan mengangguk.

   "Suhu adalah seorang yang bijaksana. Sungguhpun Suhu kehilangan kedua alat penglihatannya, namun mata batinnya terbuka lebar sehingga tidak mudah Suhu terperosok ke dalam jurang penyelewengan. Banyak orang yang kedua matanya awas, namun mata batinnya seperti buta sehingga terjadilah di dunia ini perebutan kebenaran, dan yang diperebutkan itu adalah kebenaran palsu, kebenaran diri sendiri yang bukan lain hanyalah penyamaran dari nafsu kodrati juga. Kebenaran sejati tidak diperebutkan orang, karena sesungguhnyalah bahwa siapa yang merasa diri tidak benar, dialah yang paling dekat kepada kebenaran sejati! Perasaan bahwa diri sendiri tidak benar ini menghilangkan atau setidaknya mengurangi nafsu yang amat buruk, yaitu nafsu membencl orang lain. Tentu saja orang lain dibenci karena dianggap jahat. Kalau kita merasa bahwa diri kita sendiri pun tidak benar, maka tidak mudah menilai orang lain jahat dan karenanya berkuranglah rasa benci. Hapuskan rasa benci dari dalam lubuk hati dan kita akan mudah menerima cahaya kasih, yaitu kasih sayang kepada sesama manusia, dan ini merupakan jembatan yang akan membawa kita kepada kebenaran sejati."

   Hening sejenak karena orang-orang muda itu seakan-akan terpesona dan terpengaruh hikmat kata-kata yang mengandung filsafat hidup itu. Kemudian dengan perasaan kagum dan bangga Cui Sian tertawa, memecah suasana yang tercekam oleh kesunyian itu.

   Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Wah-wah, mengapa kita jadi menyimpang jauh dari persoalan pokok? Bukankah kita tadi bicara tentang bajak-bajak itu?"

   Yo Wan juga tertawa, hatinya gembira karena dia dapat menangkap suara kekasihnya yang mengandung kekaguman dan kebanggaan.

   "Kita tidak menyimpang karena apa yang kita bicarakan tadi juga ada hubungannya dengan para bajak. Aku tidak membenci mereka, namun kasihan terhadap kebodohan dan penyelewengan mereka. Aku akan merasa lebih bersyukur apabila mereka itu dapat diinsyafkan dan dapat ditunjukkan jalan benar. Kalau hal ini tidak berhasil, tentu saja kita harus mencegah mereka melakukan kejahatan, menggunakan kepandaian kita. Cuma baiknya kalau tidak terpaksa sekali untuk mempertahankan diri, tidak perlu membunuh lain orang."

   "Wah, nasihat Yo-Twako sama benar dengan nasihat Ayah, kata Swan Bu lagi.

   "Memang aku murid Ayahmu, tentu saja sependirian."

   Malam ini tidak terjadi sesuatu, akan tetapi pada keesokan harinya pagi-pagi sekali menjelang subuh, di waktu ayam hutan ramai berkokok, tiba-tiba terjadi penyerbuan besar-besaran dari pihak bajak laut. Para penjaga malam di perkemahan pasukan Kota Raja yang hanya berjumlah dua puluh orang lebih, tak dapat menahan serbuan ratusan bajak itu sehingga dalam waktu beberapa puluh menit saja dua puluh orang lebih penjaga itu telah tewas. Ributlah keadaan pasukan ketika malam keadaan masih nanar karena baru bangun tidur secara mendadak menghadapi musuh-musuh menyerbu itu.

   "Wah, agaknya Yosiko tidak pegang janji!"

   Seru Cui Sian marah sambil mencabut pedangnya setelah para orang muda gagah itu berkumpul di ruangan depan.

   "Belum tentu,"

   Jawab Yo Wan.

   "Mari kita berpencar, kita tahan serbuan mereka dari empat penjuru, membantu Bun Hui yang sudah pergi lebih dulu mengatur pasukannya."

   Orang-orang muda itu lalu berloncatan ke luar di dalam cuaca yang masih gelap itu. Hwat Ki dan sumoinya berlari ke arah Barat untuk menahan gelombang serangan bajak laut dari arah ini. Cui Sian berlari ke arah Utara sedangKan Yo Wan berlari ke Selatan. Swan Bu sendiri yang sejak malam tadi gelisah memikirkan Siu Bi, kini menghilang seorang diri dengan tujuan untuk mencari kekasihnya di antara para bajak laut.

   Hebat perang kecil yang terjadi di pagi buta yang masih gelap itu. Banyak anggota pasukan pemerintah roboh karena hujan anak panah, akan tetapi setelah orang-orang muda perkasa itu keluar turun tangan, keadaan berubah dan banyak bajak laut yang roboh dan banyak pula yang mengundurkan diri. Akan tetapi tak seorang pun di antara para muda perkasa itu melihat Yosiko. Bahkan pimpinan bajak laut yang lain hanya dua orang yang muncul, yaitu Thio Kong dan Yauw Leng, sedangkan yang dua orang lagi, Bong Ji Kiu dan adiknya Bong Kwan yang lengan kanannya kemarin buntung oleh serangan kilat Swan Bu juga tidak tampak batang hidungnya. Bun Hui memimpin anak buahnya mengamuk dan mengejar bajak-bajak yang melarikan diri. Karena tidak melihat Yosiko memimpin mereka, setelah merobohkan Thio Kong, Bui Hui membentak kepala bajak yang terluka ini,

   "Hayo katakan, di mana adanya Hek-San Pangcu Yosiko?"

   Biarpun sudah terluka parah, Thio Kong masih tertawa mengejek,

   "Kau takkan melihat dia hidup lagi! Dia menjadi tawanan Bong Ji Kiu di dalam gua di tepi laut!"

   Bukan main kagetnya hati Bun Hui. Di samping kaget dan khawatir akan keselamatan Yosiko, diam-diam dia juga lega. Ternyata gadis itu tidak mengingkari janji, tidak mengkhianatinya, melainkan menjadi tawanan bawahannya sendiri yang memberontak!

   "Hayo kau tunjukkan aku di mana gua tempat ia ditawan!"

   Bentaknya sambil mengempit tubuh Thio Kong yang terluka dan membawanya lari. Pasukannya itu ikut pula mengejar para bajak, dan selebihnya lalu mengikuti komandan mereka ke tepi laut. Di depan sebuah gua yang besar dan gelap, Bun Hui berhenti. Dengan napas empas-empis Thio Kong berkata,

   "Di situlah tempatnya... Bong-Twako pesan bahwa kau sendiri harus memasuki gua melawannya kalau kau ingin bertemu dengan Yosiko. Kalau membawa pasukanmu menyerbu, dia akan dibunuh..."

   Setelah berkata demikian, Thio Kong roboh pingsan. Bun Hui memerintahkan anak buahnya untuk menawan Thio Kong. Kemudian dia menghampiri mulut gua. Gua ini lebar, akan tetapi gelapnya bukan main.

   Dari luar tidak tampak apa-apa, hanya hitam gelap menyeramkan, agaknya ada terowongannya. Gua batu karang itu merupakan mulut naga yang mengerikan dan tahulah Bun Hui bahwa memasuki gua ini merupakan bahaya besar. Akan tetapi mengingat akan nasib Yosiko di tangan Bong Ji Kiu, tak mungkin dia berdiam diri saja di luar gua. Pada saat itu, Yo Wan dan Hwat Ki berlari-lari menghampiri Bun Hui. Dua orang muda ini tadinya bersama Cui Kim dan Cui Sian yang bertemu setelah mereka berhasil mengundurkan para bajak laut. Akhirnya Yo Wan mengajak Hwat Ki untuk membantu Bun Hui, sedangkan Cui Sian mengajak Cui Kim untuk mengejar ke lain jurusan sambil mencari Swan Bu yang belum tampak. Pada saat Yo Wan dan Hwat Ki tiba di tempat itu, Bun Hui sudah mulai meloncat memasuki gua setelah dia memerintahkan anak buahnya menjaga di luar.

   

Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini