Ceritasilat Novel Online

Jaka Lola 3


Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Hebat... Sin-Eng-Cu Lui Bok hendak mengadu nyawa..."

   Akan tetapi selanjutnya dia termenung, kedua tangannya bergerak-gerak menirukan gerak jurus itu, bicara perlahan seorang diri, mengerutkan kening dan akhirnya menggeleng kepala seakan-akan pemecahannya tidak tepat. la memberi isyarat dengan tangan supaya Yo Wan keluar dari kamarnya, pemuda ini lalu mengundurkan dir dan masuk ke kamar sendiri karena waktu itu malam sudah agak larut. Menjelang fajar, Yo Wan kaget mendengar suara Bhewakala memanggil namanya. la bangun dan cepat menuju ke kamar Pendeta itu. Pintu kamarnya terbuka dan Pendeta itu duduk di atas pembaringan. Cepat dia maju menghampiri.

   "Yo Wan, jurus Sin-Eng-Cu ini hebat! Tak dapat aku menangkis atau mengelaknya..."

   Katanya dengan suara lesu. Diam-diam Yo Wan menjadi girang. Akhirnya Sin-Eng-Cu yang menang, seperti yang dia harapkan.

   "Kalau begitu, Lo-Cianpwe menyerah..."

   Katanya perlahan. Mata yang lebar itu melotot.

   "Siapa menyerah? Karena Sin-Eng-Cu hendak mengadu nyawa, apa kau kira aku tidak berani? Jurus itu memang tidak dapat kutangkis atau kuhindarkan, akan tetapi dapat kuhadapi dengan jurusku yang istimewa pula. Mungkin aku mati oleh jurusnya, tetapi dia pun pasti mampus kalau melanjutkan serangannya. Kau lihat baik-baik!"

   Bhewakala lalu mengajarnya sebuah jurus sebagai imbangan dari Pek-Hong Ci-Tiam. Kemudian Pendeta itu menyuruh Yo Wan mainkan cambuk dengan jurus itu. Hebat bukan main jurus ini. Cambuk melingkar-lingkar di udara kemudian melejit ke empat penjuru dengan suara nyaring sekali.

   "Tar-tar-tar-tar-tar!"

   Terjangan cambuk ini diiringi gempuran tangan kiri yang penuh dengan tenaga dalam ke arah pusar lawan.

   "Cukup! Lekas kau perlihatkan kepada Sin-Eng-Cu,"

   Kata Bhewakala setelah dia merasa puas dengan gerakan Yo Wan. Pemuda ini keluar dari kamar Bhewakala memasuki kamar Sin-Eng-Cu. Waktu itu matahari telah naik agak tinggi, akan tetapi lampu di dalam kamar Kakek ini masih menyala.

   "Susiok-Couw, Lo-Cianpwe Bhewakala tidak dapat memecahkan Pek-Hong Ci-Tiam, akan tetapi menghadapi jurus itu dengan jurus penyerangan pula, seperti ini,"

   Kata Yo Wan sambil mainkan cambuk yang memang sengaja dibawanya ke dalam kamar itu. Cambuknya melejit-lejit dan tangan kirinya mengeluarkan angin yang mematikan lampu di atas meja ketika dia mainkan jurus itu. Akan tetapi setelah dia berhenti mainkan jurus ini, Sin-Eng-Cu tidak memberi komentar apa-apa. Kakek itu tetap duduk bersila dengan tangan kanan terkepal di atas pangkuan, telentang, dan tangan kiri diangkat ke depan dada jari-jari tengah terbuka dan telapak tangan menghadap keluar.

   "Susiok-Couw, bagaimana sekarang...?"

   Yo Wan menegur lagi sambil maju mendekat dan berlutut.

   "Susiok-Couw...!"

   La berseru agak keras sambil berdongak memandang. Kakek itu masih duduk bersila dengan mata meram. Ketika Yo Wan melihat sikap yang tidak wajar ini, berubah air mukanya. Dirabanya kepalan tangan kanan di atas pangkuan itu dan dia menarik kembali tangannya. Kepalan itu dingin sekali. Dirabanya lagi nadi, tidak ada denyutan. Kakeknya itu seperti orang tidur tanpa bernafas.

   "Susiok-Couw...!"

   Tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya,

   "Dia sudah mati. Ah, Sin-Eng-Cu, kau benar-benar hebat. Dengan jurus terakhir itu kau telah mengalahkan aku. Aku mengaku kalah!"

   Yo Wan menoleh dengan heran. Bhewakala sudah berdiri di situ dan biarpun kelihatannya masih amat lemah, kiranya Pendeta ini sudah dapat berjalan dengan ringan sehingga dia tidak mendengar kedatangannya. Akan tetapi dia segera menghadapi Sin-Eng-Cu lagi, berlutut dan memberi hormat sebagaimana layaknya sambil berkata,

   "Harap Susiok-Couw sudi mengampuni Teecu yang tidak mampu menolong Susiok-Couw yang terluka

   (Lanjut ke Jilid 03)

   Jaka Lola (Seri ke 04 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03

   sehingga hari ini Susiok-Couw meninggal dunia."

   La tidak dapat menangis karena memang dia tidak ingin menangis.

   "Yo Wan, orang selihai dia mana bisa mati karena luka pukulanku? Seperti juga pukulannya, mana bisa membikin mati aku? Kami berdua hanya terluka yang akibatnya melenyapkan tenaga dalam karena pusat pengerahan Sinkang di tubuh kami rusak akibat pukulan. Tanpa pukulanku, hari ini dia akan mati juga, kematian wajar dari usia tua."

   Bhewakala maju menghampiri Kakek yang masih duduk bersila itu, lalu tiba-tiba Pendeta Nepal ini memeluknya.

   "Sin-Eng-Cu, tua bangka... terima kasih. Belum pernah selama hidupku merasa begitu senang dan gembira seperti selama tiga tahun kita mengadu ilmu ini. Kau hebat, sahabatku, kau hebat. Jurusmu terakhir tak dapat kupecahkan, biarlah sisa hidupku akan dapat kupergunakan untuk memecahkan jurus itu agar kelak kalau kita bertemu kembali, dapat kumainkan di depanmu..."

   Pendeta ini lalu membaringkan tubuh Sin-Eng-Cu. Tangan dan kaki Kakek itu sudah kaku, tetapi begitu disentuh Bhewakala pada jalan darah dan sambungan-sambungan tulang yang membeku itu, bagian-bagian tubuh Kakek itu lemas kembali dan dapat ditelentangkan. Kemudian Pendeta hitam ini berpaling kepada Yo Wan yang memandang semua itu dengan mata terbelalak heran. Memang seorang yang aneh dan luar biasa Pendeta hitam ini, pikirnya.

   "Yo Wan, kau adalah murid Pendekar Buta akan tetapi tak pernah menerima warisan ilmu silatnya kecuali pelajaran langkah-langkah yang tiada artinya dalam menghadapi lawan. Kau bukan murid kami namun kau telah mewarisi inti sari dari ilmu silat kami berdua. Memang lucu. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dalam hatiku, aku menganggap kau murid tunggalku dan aku selalu menanti kunjunganmu ke Anapurna di Himalaya. Selamat tinggal, muridku."

   Setelah berkata demikian, Bhewakala berjalan ke luar dari pondok itu, wajahnya muram seakan-akan kegembiraannya lenyap bersama nyawa Sin-Eng-Cu. Yo Wan tiba-tiba merasa dirinya amat kesunyian. Yang seorang menjadi mayat, yang seorang lagi telah pergi. Kembali dia hidup seorang diri di tempat sunyi itu. Namun dia segera dapat menguasai perasaannya. la bukan kanak-kanak lagi. Ketika Suhu dan Subonya pergi, delapan tahun yang lalu, dia baru berusia delapan tahun lebih.

   Sekarang dia sudah menjadi seorang pemuda, enam belas tahun usianya seperti dikatakan Sin-Eng-Cu beberapa hari yang lalu. Tadinya dia sendiri tidak tahu berapa usianya kalau saja bukan Sin-Eng-Cu yang menghitungnya. Seorang jejaka. Jaka Lola, tidak hanya yatim piatu, akan tetapi juga tiada sanak-kadang. Di dunia ini hanya ada Suhu dan Subonya, akan tetapi kedua orang itu sudah pergi meninggalkannya sampai delapan tahun tanpa berita. Dengan hati berat Yo Wan mengubur jenazah Sin-Eng-Cu di belakang pondok. la tidak tahu bagaimana harus menghias kuburan ini, maka dia lalu mengangkuti batu-batu besar yang dia taruh berjajar di sekeliling kuburan. la masih belum sadar bahwa kini dia dapat mengangkat batu-batu yang demikian besarnya, tidak tahu bahwa setiap batu yang diangkatnya dengan ringan itu sedikitnya ada seribu kati beratnya!

   "Aku harus menyusul Suhu dan Subo ke Hoa-San."

   Pikiran inilah yang pertama-tama memasuki kepalanya. Teringat akan niatnya pergi menyusul ke Hoa-San tiga tahun yang lalu, dia merasa menyesal sekali. Mengapa dia dahulu tidak jadi menyusul? Kalau tiga tahun yang lalu dia sudah pergi ke Hoa-San, tentu saat ini dia sudah berada bersama Suhu dan Subonya. Akan tetapi, dia teringat lagi betapa dua orang Kakek yang mengadu ilmu itu membuat dia betah, malah selama tiga tahun ini dia tidak merasa rindu kepada Suhu dan Subonya, juga membuat dia tak pernah meninggalkan puncak karena kedua orang itu melarangnya. Biarpun bumbu-bumbu habis, mereka tidak membolehkan dia turun puncak, dan sebagai pengganti bumbu-bumbu itu, Bhewakala menyuruh dia mengambil bermacam-macam daun di puncak yang ternyata dapat mengganti bumbu dapur.

   Dengan pakaian penuh tambalan Yo Wan turun dari puncak. Cambuk Bhewakala yang ditinggalkan oleh Pendeta itu dia gulung melingkari pinggangnya, tersembunyi di balik bajunya yang penuh tambalan dan tidak karuan potongannya. Juga Pedang kayu buatan Sin-Eng-Cu yang dipakai untuk bermain jurus di depan Bhewakala, dia bawa pula, dia selipkan di balik ikat pinggang. Berangkatlah Yo Wan si Jaka Lola meninggalkan puncak Liong-Thouw-San, berangkat dengan hati lapang dan penuh harapan untuk segera bertemu kembali dengan dua orang yang amat dikasihi, yaitu Suhu dan Subonya. la tidak sadar sama sekali, betapa dirinya kini telah mengalami perubahan hebat berkat latihan Lweekang menurut ajaran Sin-Eng-Cu dan Bhewakala, betapa dirinya selain memiliki tenaga Sinkang yang hebat juga telah memiliki berbagai ilmu silat tingkat tinggi yang tidak mudah didapat orang!

   Ketika penduduk sekitar kaki gunung yang sudah mengenalnya melihat Yo Wan, mereka segera menegur dan mempersilakan dia singgah. Mereka menyatakan penyesalan mengapa pemuda itu selama tiga tahun ini bersembunyi saja. Malah yang mempunyai kelebihan pakaian segera memberi beberapa buah celana dan baju kepada Yo Wan ketika dilihatnya betapa pakaian pemuda ini penuh tambalan. Yo Wan, menerima dengan penuh syukur dan terima kasih. la sendiri tidak ingin Suhu dan Subonya marah dan malu melihat dia berpakaian seperti jembel itu. Segera dia menukar pakaiannya dan kini biarpun pakaiannya sederhana dan terbuat dari kain kasar, tetapi cukup rapi dan tidak robek, juga tidak ada tambalan menghiasnya.

   Yo Wan melakukan perjalanan seperti seorang yang linglung. Dia seperti seekor anak burung yang baru saja belajar terbang meninggalkan sarangnya. Semenjak usia delapan tahun, dunianya hanya puncak Bukit Liong-Thouw-San dan perkampungan sekitar kaki gunung. Biarpun di waktu kecilnya dia pernah melihat kota dan tempat-tempat ramai, namun selama delapan tahun dia seakan mengasingkan diri di puncak gunung. Dan sekarang, melakukan perjalanan melalui kota-kota dan dusun-dusun yang ramai, dia seperti seorang dusun yang amat bodoh. Bangunan-bangunan besar mengagumkan hatinya. Melihat banyak orang membuat dia bingung. Apalagi ilmu membaca dan menulis. la seorang buta huruf yang melakukan perjalanan melalui tempat-tempat yang asing baginya, tanpa kawan tiada sanak kadang, tanpa bekal uang di saku!

   Akan tetapi kekurangan-kekurangan ini sama sekali tidak membuat Yo Wan menjadi khawatir atau susah. Semenjak kecil dia sudah tergembleng oleh segala macam kesulitan hidup. Biarpun masih muda, jiwanya sudah matang oleh asam garam dan pahit getir kehidupan, membuatnya tenang dan dapat menghadapi segala macam keadaan dengan tabah. Tidak sukar baginya untuk mengatasi kekurangannya dalam perjalanan. Kadang-kadang dia hanya makan buah-buahan dan daun-daun muda di dalam hutan untuk berhari-hari. Ada kalanya dia makan dalam sebuah kelenteng bersama Hwesio-Hwesio yang baik hati dan yang tetap membagi hidangan sayur-mayur sekedarnya tanpa daging itu kepada Yo Wan. Tentu saja Yo Wan belum mau pergi meninggalkan kelenteng sebelum dia melakukan sesuatu, mencari air, menyapu lantai, membersihkan meja sembahyang dan lain pekerjaan untuk membalas budi.

   Kadang-kadang orang dusun atau kota ada yang mau menerima bantuan tenaganya untuk ditukar dengan makan sehari itu. Dengan cara demikian, Yo Wan melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya jalan menuju ke Hoa-San. la berlaku hati-hati sekali, selalu menjauhkan diri dari keributan, dan tak pernah dia memperlihatkan kepada siapapun juga bahwa dia memiliki tenaga luar biasa dan kepandaian yang tinggi. Yo Wan sendiri sebetulnya belum mengerti betul bahwa dia telah mewarisi inti sari kepandaian dua orang Kakek berilmu sungguhpun dia mengetahui bahwa dia memiliki tenaga dan keringanan tubuh yang melebihi orang lain. Oleh karena inilah maka dia sama sekali tidak mempunyai keinginan mencari dan membalas musuhnya,

   The Sun, sebelum dia bertemu dengan Suhunya dan menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari Gurunya itu. Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan, akhirnya pada suatu pagi sampai juga dia di kaki Gunung Hoa-San. Dengan hati berdebar tegang dia berdiri memandang ke arah puncak gunung itu, sebuah gunung yang tinggi dan hijau, tidak liar seperti Gunung Liong-Thouw-San. Membayangkan pertemuan dengan Suhu dan Subonya setelah berpisah selama delapan tahun, mendatangkan rasa haru dan membuatnya termenung di situ dengan jantung berdebar-debar. Betapapun juga, dalam kegembiraan ini, ada rasa tidak enak di hatinya, rasa bahwa dia adalah seorang tamu di Hoa-San. Suhu dan Subonya sendiri terhitung tamu di situ, bagaimana dia akan dapat merasa di rumah sendiri? Berpikir begitu, timbul kegetiran.

   Mengapa Suhunya membiarkan saja dia bersunyi sampai delapan tahun di Liong-Thouw-San? Mengapa Gurunya itu tidak kembali? Ya, mengapakah? Mengapa Kun Hong dan Hui Kauw tidak kembali ke Liong-Thouw-San sampai delapan tahun lamanya, membiarkan murid mereka itu seorang diri saja di puncak gunung yang sunyi. Apakah terjadi sesuatu yang hebat atas diri mereka? Sebetulnya tidak terjadi sesuatu yang buruk. Tak lama setelah Kun Hong dan Hui Kauw tiba di Hoa-San, Hui KauW melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat. Tentu saja peristiwa ini mendatangkan kegembiraan luar biasa di Hoa-San. Oleh Kakeknya, anak itu diberi nama Kwa Swan Bu. Ketua Hoa-San-Pai sekarang adalah Kui Lok yang berjuluk Kui-San-Jin, seorang tokoh Hoa-San-Pai yang paling lihai karena dia dan isterinya (Thio Bwee) adalah sepasang Suami isteri yang mewarisi ilmu Silat Hoa-San-Pai yang paling tinggi.

   Suami isteri ini memimpin Hoa-San-Pai, dibantu oleh Suhengnya bernama Thian Beng Tosu (Thio Ki) dan Lee Giok, dan diawasi oleh Kakek Kwa Tin Siong dan isterinya. Kwa Tin Siong sudah amat tua dan sudah bosan mengurus Hoa-San-Pai, maka dia dan isterinya menyerahkan tugas ini kepada Kui-San-Jin dan mereka sendiri tekun bertapa. Kedatangan putera tunggal mereka, Kwa Kun Hong dan isterinya, tentu saja menggirangkan hati kedua orang tua ini, apalagi setelah isteri Kun Hong melahirkan seorang putera, kebahagiaan Suami isteri tua ini menjadi sempurna. Perlu diketahui bahwa tokoh-tokoh Hoa-San-Pai tidak ada yang mempunyai keturunan laki-laki kecuali Kwa Kun Hong seorang. Thian Beng Tosu hanya mempunyai seorang anak perempuan bernama Thio Hui Cu yang sudah menikah dengan Tan Sin Lee putera Raja Pedang Tan Beng San yang menjadi Ketua Thai-San-Pai.

   Juga Kui-San-Jin hanya mempunyai seorang anak perempuan bernama Kui Li Eng yang sudah menikah pula dengan Tan Kong Bu, putera lain lagi dan Raja Pedang Tan Beng San. Semua ini dapat dibaca dalam cerita Rajawali Emas dan dan Pendekar Buta. Karena tidak ada keturunan laki-laki di Hoa-San, tentu saja lahirnya Kwa Swan Bu amat menggirangkan hati Kakek Kwa. Juga Thian Beng Tosu dan Kui san jin Ketua Hoa-San-Pai amat girang. Orang-orang tua inilah yang minta dengan sangat kepada Kun Hong dan istrinya agar Suami isteri itu tidak kembali ke Liong-Thouw-San, setidaknya menanti kalau Swan Bu sudah besar. Amat tidak baik membiarkan seorang anak laki-laki bersunyi di puncak bukit dengan kedua orang Tuanya saja, kata Kwa Tin Siong kepada putera dan mantunya,

   "Ia akan tumbuh besar dalam kesunyian, kurang bergaul dengan sesama manusia. Di Hoa-San pai ini adalah tempat tinggalmu sendiri sejak kau kecil, Kun Hong. Oleh karena itu sebaiknya kau membiarkan puteramu tinggal di sini pula. Di sini merupakan keluarga Hoa-San pai yang besar, dan puteramu tentu akan menerima kasih sayang dari semua orang. Juga aku dan Ibumu sudah tua, biarkanlah kami menikmati hari-hari akhir kami dengan Cucu kami Swan Bu."

   Inilah yang membuat Kun Hong dan isterinya tak dapat meninggalkan Hoa-San. Kun Hong berunding dengan isterinya tentang Yo Wan. Hui Kauw yang tentu saja menimpakan kasih sayang seluruhnya kepada puteranya, menyatakan bahwa Yo Wan tentu akan menyusul ke Hoa-San.

   "Bukankah dahulu kau sudah meninggalkan pesan bahwa dia harus menyusul ke Hoa-San kalau dalam waktu dua tahun kita tidak pulang? Dia sudah besar, tentu dapat mencari jalan ke sini. Pula, hal ini amat perlu bagi dia. Murid kita harus menjadi seorang yang tabah dan tidak gentar menghadapi kesukaran."

   Kun Hong setuju dengan pendapat isterinya ini. Akan tetapi hatinya gelisah juga setelah lewat dua tahun, bahkan sampai lima tahun, murid itu tidak datang menyusul ke Hoa-San.

   "Jangan-jangan ada sesuatu terjadi di sana?"

   Kun Hong menyatakan kekhawatirannya.

   "Atau dia memang tidak ingin ikut dengan kita di sini,"

   Hui Kauw berkata, keningnya berkerut. Diam-diam la merasa tidak senang mengapa Yo Wan tidak mentaati perintah suaminya. Seorang murid harus mentaati perintah Guru, kalau tidak, dia bukanlah murid yang baik,

   "Sudahlah, kita tidak perlu memikirkan Yo Wan. Kalau dia datang menyusul, berarti dia suka menjadi murid kita, kalau tidak, terserah kepadanya. Lebih baik kita melatih anak kita sendiri."

   Demikianlah, setelah lewat delapan tahun, Suami isteri ini sudah melupakan murid mereka yang mereka kira tentu sudah pergi dari Liong-Thouw-San dan tidak mau ikut mereka di Hoa-San.

   Sama sekali mereka tidak mengira bahwa murid mereka itu selama ini tak pernah meninggalkan puncak Liong-Thouw-San. Dan sama sekali mereka tidak pernah menduga bahwa pada pagi hari, orang muda tampan sederhana yang berdiri termenung di kaki Gunung Hoa-San adalah Yo Wan. Yo Wan amat kagum melihat keadaan Gunung Hoa-San. Alangkah jauh bedanya dengan Liong-Thouw-San. Gunung ini benar-benar terawat. Tidak ada bagian yang liar. Hutan-hutan bersih dan penuh pohon buah dan kembang. Sawah ladang terpelihara, ditanami sayur-mayur dan pohon obat. Malah jalan yang cukup lebar dibangun, memudahkan orang naik mendaki gunung. Derap kaki kuda dari sebelah kanan terdengar, diiringi suara ketawa yang nyaring, ketawa kanak-kanak. Yo Wan mengangkat kepala memandang ke sebelah kanan dan dia menjadi kagum sekali. Ada tiga orang penunggang kuda.

   Kuda mereka adalah kuda-kuda pilihan, tinggi besar dan nampak kuat. Akan tetapi bukan binatang-binatang itu yang mengagumkan hati Yo Wan, melainkan penunggangnya yang berada di tengah-tengah, di antara dua orang penunggang kuda. Penunggang kuda ini adalah seorang anak laki-laki yang kelihatannya belum ada sepuluh tahun usianya. Seorang anak laki-laki yang amat tampan, yang pakaiannya serba indah, kepalanya ditutupi topi sutera yang bersulam kembang dan terhias burung hong dari mutiara. Anak laki-laki itu pandai sekali menunggang kuda dan pada saat itu dia menunggang kuda tanpa memegang kendali, karena kedua tangannya memegangi sebuah gendewa dan beberapa batang anak panah. Dua orang yang mengiringi anak ini adalah dua orang laki-laki berusia empat puluhan, dandanannya seperti Tosu dan kelihatannya amat mencinta anak itu.

   "Ji-wi Susiok (Dua Paman Guru), lihat, burung yang paling gesit akan kupanah jatuh!"

   "Swan Bu... jangan...! Itu bukan burung walet..."

   Seorang di antara kedua Tosu itu mencegah.

   Akan tetapi anak itu sudah mengeprak kudanya dengan kedua kakinya yang kecil. Kudanya lari congklang dengan cepat ke depan Dengan gerakan yang tenang namun cepat anak itu sudah memasang dua batang anak panah pada gendewanya, dan menarik tali gendewa, terdengar suara menjepret dan Yo Wan melihat seekor burung kecil melayang jatuh di dekat kakinya. Ia merasa kasihan sekali melihat burung itu, sebatang anak panah menembus dada. Burung kecil berbulu kuning amat cantik. Yo Wan menekuk lutut, membungkuk untuk mengambil bangkai burung itu. Tiba-tiba berkelebat bayangan dan Tahu-tahu sebuah tangan yang kecil telah mendahuluinya, menyambar bangkai burung itu. Yo Wan berdiri dan melihat anak kecil yang pandai main anak panah tadi telah berdiri di depannya, bangkai burung di tangan kanan sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang.

   "Eh, kau mau curi burungku? Burung ini aku yang panah jatuh, enak saja kau mau mengambilnya. Hemmm, kau orang dari mana? Mau apa berkeliaran di sini?"

   Yo Wan tertegun. Anak ini masih kecil, akan tetapi sikapnya amat gagah dan berwibawa, sepasang matanya tajam penuh curiga, akan tetapi juga membayangkan watak tinggi hati. la tahu bahwa dia berada di tempat orang, karena Gunung Hoa-San tentu saja menjadi wilayah orang-orang Hoa-San-Pai. Dengan senyum sabar dia menjura dan berkata.

   "Aku tidak bermaksud mencuri, hanya kasihan melihat burung ini..."

   Sementara itu, dua orang Tosu juga sudah melompat turun dan kuda dan menghampiri.

   "Swan Bu, kau terlalu. Ilmu,memanah yang kau pelajari bukan untuk membunuh burung yang tidak berdosa. Kalau Ayah Bundamu tahu, kau tentu akan mendapat marah,"

   Tegur seorang Tosu.

   "Susiok, apakah urusan begini saja Susiok hendak mengadu kepada Ayah dan Ibu Kalau tidak melatih memanah burung kecil terbang, mana bisa mahir? Anggap saja burung ini seorang penjahat. Susiok, orang ini mencurigakan, aku belum pernah melihatnya. Jangan-jangan dia pencuri."

   Dua orang Tosu itu memandang Yo Wan. Tosu kedua segera menegur,

   "Orang muda, kau siapakah? Agaknya kau bukan orang sini... eh, apalagi kau pemuda yang hendak bekerja sebagai tukang mengurus kuda di Hoa-San? Kemarin kepala kampung Lung-ti-bun menawarkan tenaga seorang pemuda tukang kuda..."

   Yo Wan menggeleng kepala. Dia sejak kecil tinggal di gunung, tentu saja tidak tahu akan tata susila umum, dan gerak-geriknya agak kaku dan kasar.

   "Aku bukan tukang kuda, akan tetapi kalau Lo-pek (Paman Tua) suka memberi pekerjaan, aku mau mengurus kuda, asal mendapat makan setiap hari."

   Entah bagaimana, melihat anak laki-laki yang sombong dan yang dia tahu tentu anak Hoa-San-Pai ini, tiba-tiba hati Yo Wan menjadi tawar untuk bertemu dengan Suhunya. Bukankah Suhunya itu putera Hoa-San-Pai dan sekarang mondok di situ? Bagaimana kalau orang-orang Hoa-San-Pai memandang rendah kepadanya dan tidak suka mengangkatnya sebagai murid Pendekar Buta? Lebih baik dia menjadi tukang kuda dan tidak usah "Mengaku"

   Sebagai murid Gurunya agar tidak merendahkan nama Gurunya. Dengan pekerjaan ini, dia hendak melihat gelagat, melihat dulu suasana di Hoa-San-pai sebelum mengambil keputusan untuk menghadap Suhunya.

   "Baik, kau boleh bekerja menjadi pengurus kuda. Setiap hari kau harus mencari rumput yang segar dan gemuk untuk dua belas ekor kuda, memberi makan dan menyikat bulu kuda. Tidak hanya makan, kau juga akan diberi pakaian dan upah. Eh, siapa namamu? Di mana rumahmu?"

   "Namaku Yo Wan, Lopek, dan aku tidak mempunyai rumah. Terima kasih atas kebaikanmu, aku akan merawat kuda dengan baik-baik."

   "Bekerjalah dengan baik, Ketua kami tentu akan menaruh kasihan kepadamu. Jangan sekali-kali suka mencuri, apalagi melarikan kuda,"

   Kata Tosu kedua.

   "Susiok, kenapa takut dia mencuri dan lari? Kalau dia jahat, anak panahku akan merobohkannya!"

   "Hush, Swan Bu, jangan bicara begitu..."

   "Aku paling benci penjahat, Susiok, tiap kali melihat penjahat, pasti akan panah mampus. Kelak kalau aku sudah besar, aku akan basmi semua penjahat di permukaan bumi ini."

   Hemmm, bocah manja dan amat besar mulut, pikir Yo Wan. Heran sekali dia mendengar omongan seorang anak kecil seperti itu. Anak siapa gerangan bocah ini? Apakah anak Ketua Hoa-San-Pai? Akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya, karena nanti pun dia akan tahu sendiri...

   "Swan Bu kita pulang berlari sambil melatih ilmu lari cepat,"

   Kata Tosu pertama kepada anak itu.

   "Biar tiga ekor kuda ini dituntun naik oleh Yo Wan. Yo Wan, kau tuntun kuda tiga ekor kuda ini ke puncak, sampai di sana bawa ke kandang, gosok badannya sampai kering dari keringat dan beri makan."

   Setelah berkata demikian, Tosu itu memberikan kendali tiga ekor kuda itu kepada Yo Wan, kemudian dia mengajak Tosu kedua dan Swan Bu untuk berlari cepat. Mereka berkelebat dan seperti terbang mereka lari mendaki gunung. Memang Tosu itu sengaja tidak memberi penjelasan karena hendak menguji kecerdikan kacung kuda itu, apakah mampu dan dengan baik mengantar binatang-binatang itu ke kandang ataukah tidak. la masih ragu-ragu melihat pemuda yang bodoh itu.

   Adapun Yo Wan sambil memegangi kendali tiga ekor kuda, melihat mereka berlari-lari cepat. Biasa saja kepandaian mereka itu, pikirnya, lalu dituntunnya tiga ekor kuda mendaki gunung. Sambil berjalan perlahan, dia bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan bocah yang bernama Swan Bu itu. Bocah tampan dan bersemangat, memiliki dasar watak yang gagah dan pembenci penjahat, tetapi rusak oleh kemanjaan dan kesombongan. Pertemuannya dengan anak laki-laki tadi membuat Yo Wan makin tidak enak lagi hatinya. la merasa bahwa orang-orang Hoa-San-Pai kurang bijaksana, terbukti dari watak bocah tadi yang agaknya terlalu manja. Heran dia mengapa Suhunya yang jujur dan budiman, Subonya yang berwatak halus dan penuh pribudi itu bisa tinggal di situ sampai bertahun-tahun. Akan tetapi dia teringat lagi bahwa Suhunya adalah putera Ketua Hoa-San-Pai,

   Tentu saja harus berbakti kepada orang tua, dan orang dengan watak sehalus Subonya, tentu dapat menghadapi segala macam watak dengan penuh kesabaran. la menarik nafas. Dasar kau sendiri yang iri agaknya melihat bocah tadi demikian manja, pakaiannya demikian indah, dia mencela diri sendiri. Betapapun juga, Yo Wan adalah seorang pemuda yang masih remaja dan kurang sekali pengalaman, kurang pula pendidikan, maka rasa iri itu adalah wajar. Iri karena dia tidak pernah merasa bagaimana dicinta orang tua, dimanja orang tua. la teringat akan keadaan sendiri, seorang Jaka Lola yang tidak punya apa-apa di dunia ini. Alangkah jauh bedanya dengan Swan Bu tadi, bagai bumi dan langit. Selagi dia melamun sambil menuntun kudanya di jalan yang cukup lebar tapi menanjak itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari belakang dan disusul bentakan nyaring,

   "Minggir...! Minggir...!!"

   Lalu terdengar bunyi cambuk di udara.

   Kalau saja Yo Wan tidak sedang melamun, agaknya dia tidak begitu kaget dan dapat menuntun tiga ekor kuda itu ke pinggir. Akan tetapi bentakan nyaring ini seakan-akan menyeretnya tiba-tiba dari dunia lamunan, membuat dia kaget dan tak sempat menguasai seekor di antara kudanya yang kaget dan melonjak ke tengah jalan. Karena dua ekor kuda yang lain juga melonjak-lonjak ketakutan, terpaksa Yo Wan hanya menenangkan dua ekor yang masih dia pegang kendalinya, sedangkan yang seekor telah terlepas kendalinya dan kini berloncatan di tengah jalan. Pada saat itu, dua orang penunggang kuda sudah datang membalap dekat sekali. Yo Wan berteriak kaget, karena kudanya yang mengamuk itu tidak menghindar, malah meloncat dan menubruk ke arah seorang di antara penunggang-penunggang kuda itu.

   "Setan...!"

   Penunggang kuda yang ditubruk itu memaki, dia seorang laki-laki yang berkumis panjang, berusia kurang lebih empat puluh tahun, pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi sepatunya baru dan mengkilap. Sambil memaki, dia menggerakkah kakinya, menendang ke arah perut kuda yang menubruknya.

   "Krakkk!"

   Tendangan itu keras sekali dan mendengar bunyinya, agaknya tulang-tulang rusuk kuda yang menubruknya itu telah ditendang patah. Kuda itu meringkik, terjengkang ke belakang lalu roboh dan berkelojotan, tak mampu bangun lagi.

   "Wah-wah-wah, Sute (Adik seperguruan), kau telah membunuh seekor kuda Hoa-San-Pai!"

   Tegur orang kedua, usianya hampir lima puluh, rambutnya putih semua digelung ke atas, mukanya licin tanpa kumis, pakaiannya juga penuh tambalan seperti orang pertama.

   "Habis, apakah aku harus membiarkan kuda itu menubrukku, Suheng? Salahnya bocah ini, menuntun kuda kurang hati-hati!"

   Mereka berdua melompat turun dari kuda dan memandang kepada Yo Wan. Bukan main kagetnya hati Yo Wan melihat betapa seekor di antara tiga kuda yang dia tuntun itu kini telah berkelojotan hampir mati di tengah jalan. Baru saja dia diterima menjadi kacung kuda, sudah terjadi hal ini. Karena kaget dan bingung, dia segera berkata,

   "Kau membunuh kudaku. Hayo ganti kudaku! Si kumis tersenyum.

   "Bocah, ketahuilah. Aku dan Suhengku ini adalah dua orang utusan dari Sin-Tung Kai-Pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti). Urusan kuda adalah urusan kecil, tak perlu kau ribut-ribut."

   "Urusan kecil bagaimana?"

   Yo Wan berteriak.

   "Mungkin kecil untuk kau, akan tetapi amat besar bagiku. Kau harus mengganti kuda ini!"

   Muka si kumis menjadi merah. la heran sekali. Biasanya, orang-orang Hoa-San-Pai tentu akan bersikap hormat kalau mendengar bahwa mereka adalah utusan dari Sin-Tung Kai-Pang. Akan tetapi bocah ini, tentu hanya seorang anak murid yang masih rendah, sama sekali tidak menghormat, malah agak kasar sikap dan bicaranya.

   "Kau siapa? Apakah kuda ini bukan milik Hoa-San-Pai?"

   Tanya si kumis.

   "Memang kuda Hoa-San-Pai, dan aku adalah kacung kuda yang baru. Bagaimana aku harus pulang kalau kuda yang kutuntun berkurang seekor? Lopek, kau harus menggantinya!"

   Sambil berkata demikian, Yo Wan menuntun dua ekor kudanya di tengah jalan, menghadang perjalanan karena dia khawatir kalau dua orang itu akan melarikan diri.

   Si kumis menjadi makin merah mukanya karena marah ketika mendengar bahwa bocah ini hanya seorang kacung kuda saja. Seorang kacung kuda bagaimana berani bersikap sekasar itu terhadap dia, anak murid Sin-Tung Kai-Pang yang sudah bersepatu baru? Di perkumpulan Pengemis ini terdapat peraturan yang aneh. Tingkat seseorang ditandai dengan sepatu. Yang terendah tidak memakai sepatu, yang lebih tinggi memakai alas kaki, makin tinggi makin baik, dan sandal kayu sampai sepatu kulit yang mengkilap seperti yang dipakai oleh kedua orang penunggang kuda ini. Maklumlah, mereka berdua adalah murid-murid dari Ketua Sin-Tung Kai-Pang, maka kepandaiannya sudah amat tinggi, demikian juga" "Pangkatnya"

   Karena memakai sepatu baru.

   "Hemmm, bujang rendah! Kau hanya tukang kuda, banyak cerewet. Urusan seekor kuda saja kau ribut-ribut! Minggir! Biar nanti kubicarakan dengan orang-orang Hoa-San-Pai tentang kuda ini, kau boleh pulang ke kandangmu!"

   "Betul kata-kata, Suteku, bocah tukang kuda, jangan kau takut. Biar nanti kami bicarakan urusan kuda ini dengan majikanmu,"

   Sambung orang kedua yang rambut putih.

   "Tidak!"

   Yo Wan membantah karena dia takut kedua orang ini akan mengadu kepada Ketua Hoa-San-Pai dan membalikkan duduk perkaranya sehingga dia yang akan dipersalahkan.

   "Kau harus ganti sekarang juga!"

   "Bujang rendah, kau buka matamu baik-baik dan lihat dengan siapa kau bicara!"

   Bentak si kumis, marah sekali.

   ""Aku sudah melihat, kalian adalah dua orang Pengemis aneh."

   Dua orang itu tertawa. Memang aneh orang-orang dari Sin-Tung Kai-Pang. Kalau orang lain menyebut mereka Pengemis, hal itu berarti suatu penghormatan bagi mereka! Inilah sebabnya mereka menjadi senang mendengar Yo Wan menyebut mereka Pengemis aneh dan hal ini mereka anggap bahwa Yo Wan menyadari siapa mereka dan takut.

   "Bocah! kau lihat sepatu kami!"

   Yo Wan mendongkol juga. Orang ini terlalu menghinanya, akan tetapi dia memandang juga ke arah sepatu mereka.

   "Ada apa dengan sepatu kalian? Sepatu baru, akan tetapi penuh debu!"

   
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jawabnya.

   "Ha... ha... ha, anak baik, kau mengenal sepatu baru kami!"

   Si kumis tertawa senang.

   "Hayo kau bersihkan debu sepatu kami, dan nanti kami akan minta kepada majikanmu agar kau jangan dihukum karena kelalaianmu menuntun kuda." "Yo Wan menegakkan kepalanya, memandang tajam.

   "Harap kalian tidak main-main. Aku pun tidak ingin main-main dengan kalian. Lebih baik sekarang Kau tinggalkan seekor di antara kudamu untuk mengganti kudaku yang mati, baru kalian melanjutkan perjalanan."

   "Apa...??"

   Dua orang itu berteriak kaget, heran dan juga marah.

   "Kau ini kacung kuda berani bicara begitu kepada kami? Kami adalah dua orang utusan terhormat dari Sin-Tung Kai-Pang, tahu? Minggir dan jangan banyak cerewet kalau kau tidak ingin mampus seperti kuda itu!"

   Yo Wan adalah seorang yang memiliki watak suka merendah, hal ini terbentuk oleh keadaan hidupnya semenjak kecil. la suka mengalah dan mempunyai rasa diri rendah dan bodoh, akan tetapi betapapun juga, dia adalah seorang muda yang berdarah panas. Melihat sikap dan mendengar ucapan menghina itu, kesabarannya patah.

   "Biarpun kalian utusan dari Giam-Lo-Ong (Malaikat Maut) sekalipun, karena kau membunuh kudaku, kau harus menggantinya!"

   Dua orang itu mencak-mencak saking marahnya. Kalau saja mereka tidak ingat bahwa kacung itu adalah seorang bujang Hoa-San-Pai dan bahwa mereka berada di wilayah Hoa-San-Pai, tentu sekali pukul mereka membikin mampus bocah ini.

   "Sute, jangan layani dia, Dorong minggir!"

   Si kumis tertawa dan melangkah maju mendekati Yo Wan, tangan kirinya mendorong pundak pemuda itu sambil membentak,

   "Tidurlah dekat bangkai kudamu!"

   La menggunakan tenaga setengahnya karena tidak ingin membunuh Yo War, hanya ingin membuat kacung itu terjengkang dekat bangkai kuda tadi. Akan tetapi dia salah besar kalau mengira bahwa dengan hanya sebuah dorongan seperti itu saja dia akan mampu merobohkan Yo Wan. Tangannya mendorong pundak Yo Wan yang sengaja tidak mau mengelak, akan tetapi tenaga dorongannya bertemu dengan pundak yang Kokoh kuat seperti batu karang. Jangankan membuat kacung itu roboh, membuat pundak itu bergoyang saja tidak mampu!

   "Kau ganti kudaku yang mati"

   Kata Yo Wan tanpa bergerak. Si kumis terheran, penasaran lalu timbul kemarahannya.

   "Kau kepala batu,"

   Bentaknya dan kini dia menggunakan seluruh tenaganya untuk mendorong dada Yo Wan. Yo Wan tidak mau mengalah sampai dua kali, apalagi sekarang yang didorong adalah dadanya.

   Tak mungkin dia mau membiarkan dadanya didorong orang karena hal ini berbahaya. Selama tiga tahun, terus-menerus siang malam dia bermain silat menurut petunjuk Sin-Eng-Cu dan Bhewakala, ilmu silat tingkat tinggi yang membuat ilmu itu mendarah daging di tubuhnya dan di pikirannya, seluruh panca inderanya sudah matang sehingga segalanya bergerak secara otomatis, karena memang demikianlah kehendak dua orang sakti itu. Sekarang, menghadapi dorongan kedua tangan si kumis ke arah dadanya, secara otomatis kaki Yo Wan melangkah dengan gerak tipu Ilmu Langkah Si-Cap-It Sin-Po, yang dia warisi dari Pendekar Buta. Ketika tubuh si kumis yang mendorongnya itu lewat dekat tubuhnya, otomatis pula tangannya bergerak ke punggung dan pantat. Seperti sehelai layang-layang putus talinya, tubuh si kumis itu "Melayang"

   Ke depan dan memeluk bangkai kuda yang tadi ditendangnya!

   "Bukkk! Uh...uhhh..."

   Si kumis terbanting pada bangkai kuda, karena dia tadi mencium hidung kuda yang mancung dan keras, hidungnya mengeluarkan darah dan kepalanya menjadi pening. Temannya yang berambut putih, sejenak berdiri melongo. Hampir saja dia tak dapat percaya bahwa sutenya begitu mudah dirobohkan oleh seorang kacung kuda! Padahal dia maklum bahwa ilmu kepandaian sutenya itu sudah tinggi, patutnya kalau dikeroyok oleh dua puluh orang kacung seperti ini saja tak mungkin kalah. Tapi mengapa sampai hidungnya mengeluarkan kecap?

   "Kau berani melawan kami?"

   Bentaknya marah setelah dia sadar kembali dari keheranannya. Sambil membentak begitu Pengemis rambut putih ini pun menerjang maju. la memukul ke arah muka Yo Wan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya diam-diam melakukan gerakan susulan, yaitu serangan yang sesungguhnya dan tersembunyi di belakang serangan pertama yang merupakan pancingan. Maksudnya hanya ingin membanting roboh Yo Wan sebagai pembalasan atas kekalahan temannya karena dia masih belum berani membunuh seorang bujang Hoa-San-Pai.

   Yo Wan tersenyum. Setelah melatih diri dengan tipu-tipu yang luar biasa hebatnya secara berganti-ganti dari Sin-Eng-Cu dan Bhewakala, di mana dua orang sakti itu menggunakan gerakan-gerakan yang penuh tipu muslihat, penuh pancingan dan amat tinggi tingkatnya, jurus yang dipergunakan oleh si rambut putih ini baginya merupakan gerakan main-main yang tidak ada artinya sama sekali. Agaknya boleh dikatakan bahwa Yo Wan telah mengetahui lebih dulu sebelum Pengemis itu bergerak! Dengan tenang dia miringkan kepala dan tangannya mendahului digerakkan ke depan menyambut tangan kanan Kakek Pengemis yang hendak membantingnya, dipegangnya pergelangan tangan itu dan sekali tekan tangan itu seakan-akan menjadi lumpuh. Di lain saat, tubuh Pengemis rambut putih ini pun sudah melayang ke depan dan... menimpa tubuh Pengemis berkumis yang baru krengkang-krengkang hendak merangkak bangun. Tentu saja dia roboh lagi dan keduanya bergulingan dekat bangkai kuda!

   "Lebih baik kalian pergi dan tinggalkan seekor kuda untuk mengganti yang mati,"

   Kata Yo Wan menyesal dia sama sekali tidak ingin berkelahi, takut kalau-kalau hal ini akan membikin marah Suhunya.

   "Kalau kau merasa rugi boleh kau bawa bangkai kuda itu. Aku tidak mau mencari perkara."

   Akan tetapi dua orang Pengemis itu sudah memuncak kemarahannya. Mereka adalah murid-murid yang terkenal dari Ketua Sin-Tung Kai-Pang, maka apa yang terjadi tadi merupakan penghinaan yang hanya dapat dicuci dengan darah dan nyawa! Seorang kacung kuda membuat mereka jatuh bangun macam itu. Mana mereka ada muka untuk memakai sepatu baru lagi?

   "Keparat, lihat golok kami merenggut nyawamu!"

   Bentak si kumis. Sinar golok berkelebat ke arah leher Yo Wan, disusul bacokan golok si rambut putih ke arah pinggangnya. Memang keistimewaan para anak murid Sin-Tung Kai-Pang adalah permainan golok.

   Ketuanya terkenal dengan tongkatnya, maka perkumpulan Pengemis itu dinamakan Sin-Tung (Tongkat Sakti), namun agaknya si Ketua ini tidak mau menurunkan ilmu tongkatnya kepada para murid dan anggotanya. Sebaliknya dia lalu menciptakan ilmu golok dari ilmu tongkat itu dan ilmu golok inilah yang dipelajari oleh semua murid dan anggota Sin-Tung Kai-Pang. Yo Wan menggerakkan kedua kakinya, mainkan langkah ajaib dan... dua orang Pengemis itu seketika menjadi bingung karena pemuda itu lenyap di belakang. Kalau mereka membalik dan menerjang lagi, pemuda itu menggerakkan kedua kaki secara aneh, lenyap lagi dan tiba-tiba belakang siku kanan mereka terkena sentilan jari tangan Yo Wan. Seketika kaku rasanya lengan itu dan golok mereka terlepas tanpa dapat dipertahankan lagi. Sebelum mereka tahu apa yang terjadi, untuk kedua kalinya tubuh mereka melayang karena kaki Yo Wan otomatis telah mengirim dua buah tendangan.

   "Aku tidak mau berkelahi, lebih baik kalian pergi. Ganti kudaku dan perkara ini habis sampai di sini saja,"

   Kembali Yo Wan berkata. Akan tetapi kedua orang Pengemis itu menjadi begitu kaget, heran dan ketakutan sehingga tanpa berkata apa-apa lagi mereka berdua lalu merangkak bangun dan... lari turun gunung! Yo Wan berdiri tertegun, mengikuti mereka dengan pandang mata heran. Kemudian dia mengangkat pundak, lalu memegang kendali dua ekor kuda mereka itu. Kini ada empat ekor kuda di tangannya. Kuda-kuda itu dia cancang pada sebatang pohon dan dia segera menggali lubang di pinggir jalan untuk mengubur bangkai kuda tadi. Setelah selesai, Yo Wan menuntun empat ekor kuda, melanjutkan perjalanannya mendaki puncak.

   Kiranya jalan yang sengaja dibangun menuju ke puncak itu berliku-liku mengelilingi puncak. Memang, satu-satunya cara untuk membuat jalan yang dapat dilalui kuda dan manusia biasa, hanya membuatnya berliku-liku seperti itu sehingga jalan tanjakannya tidak terlalu sukar dilalui. Dengan mempergunakan ilmu lari cepat, tentu saja dapat mendaki dengan melalui jalan yang lurus dan dapat cepat sampai di puncak. Akan tetapi melalui jalan buatan ini, apalagi menuntun empat ekor kuda yang kadang-kadang rewel dan mogok di jalan, benar-benar memakan waktu setengah hari lebih. Menjelang senja barulah Yo Wan tiba di pintu gerbang tembok yang mengelilingi Hoa-San-Pai yang merupakan kelompok bangunan besar di puncak. Seorang Tosu yang menjaga pintu gerbang menyambut Yo Wan dengan pertanyaan,

   "Apakah kau tukang kuda baru?"

   Yo Wan mengangguk.

   "Aku harus membawa kuda-kuda ini ke kandang. Dapatkah kau menunjukkan di mana adanya kandang kuda?"

   Tosu itu kelihatan tidak senang mendengar kata-kata Yo Wan yang sederhana tanpa penghormatan sama sekali itu. Benar-benar seorang anak muda dusun yang bodoh, pikirnya.

   "Kandang kuda berada di luar tembok sebelah Barat. Kau kelilingi saja tembok ini ke Barat, nanti akan sampai di sana,"

   Jawabnya lalu duduk kembali, sama sekali tidak mengacuhkan Yo Wan yang berpeluh dan amat lapar itu. Yo Wan memandang ke Barat. Benar saja, di dekat tembok sebelah sana kelihatan kandang kuda, terbuat dari papan sederhana. Tanpa mengucap terima kasih karena dianggapnya tanya jawab itu sudah semestinya, dia pergi dari situ, menuntun empat ekor kudanya. Tosu yang menyambutnya di kandang kuda lebih peramah. Tosu ini bertubuh gemuk pendek, mukanya Bundar dan matanya seperti dua buah kelereng.

   "Ha... ha... ha, ada tukang kuda baru! serunya.

   "Orang muda, mana kuda tunggangan Swan Bu yang berbulu hitam? Dan ini ada empat ekor, eh, bagaimana ini, Bong-Suheng tadi bilang bahwa kau membawa kuda mereka bertiga, kenapa sekarang ada empat ekor?"

   Kuda siapa yang dua ekor ini dan mana kuda Swan Bu?"

   "Lopek, kuda yang hitam itu sudah kukubur di pinggir jalan sana,"

   Kata Yo Wan sambil menyusut peluh dengan ujung lengan baju. la merasa lelah dan lapar sekali, juga amat haus. Sejak kemarin dia tidak makan, dan tadi dia tidak berani berhenti untuk mencari buah atau air. Sekarang dia masih menghadapi urusan kuda dan tentu akan mendapat marah lagi. Tosu gendut itu melongo, sepasang matanya makin Bundar, memandangnya dengan bingung dan heran.

   "Kau kubur? Bagaimana ini? Maksudmu, kau pendam kuda itu?"

   Yo Wan mengangguk,

   "Benar, karena dia mati."

   La berhenti sebentar lalu berkata.

   "Lopek, aku lapar dan haus, apa kau bisa menolong aku?"

   Tosu itu mengangguk-angguk, masih bingung.

   "Ah, tentu... tentu... tunggu sebentar. Aneh, bagaimana kuda bisa mati dan dikubur? Aneh..."

   Tapi dia berjalan memasuki kandang kuda sambil mengomel panjang pendek, keluar lagi membawa bungkusan makanan dan sekaleng air minum. Tanpa banyak sungkan lagi Yo Wan menerima kaleng air dan minum dengan lahapnya. Tosu itu memandangnya penuh kasihan dan tidak mengganggunya ketika Yo Wan mulai makan. Berbeda dengan ketika minum tadi, kini Yo Wan makan dengan lambat dan tenang. Melihat Tosu itu memandangnya, Yo Wan bercerita sambil makan.

   "Kuda hitam dibunuh orang, Lopek. Untungnya mereka berdua itu lari meninggalkan dua ekor kuda mereka ini, lalu kubawa ke sini dan bangkai kuda hitam itu kukubur di pinggir jalan."

   Tosu itu mendengarkan dengan melongo.

   "Kuda dibunuh orang? Siapa mereka yang begitu berani main gila di Hoa-San?

   "Mereka mengaku utusan-utusan dari Sin-Tung Kai-Pang. Tadinya mereka tidak mau ganti, aku tetap tidak mau terima. Akhirnya mereka mengalah dan lari pergi, meninggalkan dua ekor kuda ini."

   Tosu itu melebarkan matanya.

   "Sin-Tung Kai-Pang? Mereka mengalah? Hem, kau masih untung, orang muda. Mereka itu jahat. Kalau mereka tidak memandang kebesaran Hoa-San-Pai, kiranya bukan hanya kuda itu yang mereka bunuh dan saat ini kau takkan dapat makan minum lagi."

   Yo Wan diam saja, pikirannya melayang ke arah Swan Bu. Jangan-jangan anak itu akan menjadi marah sekali karena kuda kesayangannya dibunuh orang dan akan membuat gara-gara dengan pembunuh kuda.

   "Lopek, tadi aku sudah melihat anak yang bernama Swan Bu itu. Dia tampan dan pandai main panah. Siapakah dia? Apakah putera Hoa-San-Pai?"

   Tosu itu menggeleng kepala.

   "Kau orang baru, agaknya bukan orang sekitar Hoa-San. Memang Swan Bu tampan dan gagah. Ah, kasihan dia, tentu akan sedih dan marah kalau mendengar kudanya dibunuh orang... hemmm, aku tidak akan tega menyampaikan berita ini kepadanya... anak malang..."

   Hemmm, benar-benar orang Hoa-San-Pai amat memanjakan anak itu.

   "Lopek, kalau dia bukan putera Hoa-San-Pai, apakah dia itu anak Raja yang sedang bermain-main di sini?"

   Tosu itu memandangnya dengan mata terbelalak.

   "Putera Raja? Ha... ha... ha, sama sekali bukan, tapi memang dia patut menjadi putera Raja! Dia itu Cucu tunggal dari Kwa-Lo Sukong, jadi masih terhitung keponakan dari Ketua kami yang sekarang."

   Berdebar jantung Yo Wan. Cucu Guru besar she Kwa? Suhunya juga she Kwa!

   "Lopek, dia itu anak siapakah? Aku belum mengenal orang-orang di sini, keteranganmu tadi sama sekali tidak jelas."

   Tosu itu kini tertawa dan mengangkat jempol tangan kanannya ke atas.

   "Dia keturunan orang-orang gagah, karena itu, dia harus menjadi seorang calon tokoh Hoa-San-Pai yang nomor satu. Ayahnya adalah tokoh sakti yang terkenal dengan julukan Pendekar Buta, Ibunya juga memiliki kepandaian setinggi langlt. Kakeknya adalah Hoa-San It-Kiam. Kwa Tin Siong bekas Ketua Hoa-San-Pai, Pamannya adalah Kui-San-Jin (Orang Gunung she Kui) yang sekarang menjadi Ketua kami. Paman-paman Gurunya adalah orang-orang sakti di samping tokoh-tokoh sakti yang bersama-sama menggemblengnya, bukankah dia kelak akan menjadi jago nomor satu di dunia persilatan?"

   Tosu gendut itu nampak bangga sekali sehingga tidak tahu betapa wajah kacung kuda ini menjadi pucat. Kiranya Swan Bu yang pagi tadi memakinya dan hendak memanahnya kalau dia lari, adalah putera Suhunya! Pantas saja demikian gagah dan tampan. Ah, aku kurang hati-hati, pikirnya. Dia anak Suhu, dan diam-diam dia merasa bangga juga. Akan tetapi dia kecewa sekali teringat bahwa kuda anak itu telah terbunuh.

   "Malam sudah tiba... eh, siapa namamu tadi?"

   "Yo Wan, Lopek."

   "Yo Wan, kau jaga baik-baik kuda di kandang ini. Rumput masih cukup di sudut kandang sana, kau beri makan mereka, lalu kau boleh tidur. Kau bikin sendiri tempat tidurmu, banyak rumput kering di kandang kosong sebelah kiri. Beberapa malam ini Pinto (aku) juga tidur di sana, lebih enak daripada tidur di ranjang. Kalau perlu mandi, tuh di bawah pohon besar itu ada sumber air. Besok saja Pinto ajak kau ke dalam, bertemu dengan para pemimpin. Malam ini kau mengaso saja."

   "Baik, terima kasih, Lopek."

   Yo Wan berterima kasih sekali sekarang karena memang dia membutuhkan istirahat untuk memutar otak. Bermacam perasaan teraduk di dalam hatinya. Jadi Suhunya sudah mempunyai putera yang demikian tampan dan gagah. Putera itu dididik di Hoa-San-Pai. Mungkin saking senangnya mendapatkan putera ini, Suhu dan Subonya sampai lupa kepadanya. Besok dia harus menghadap Suhu dan Subonya. Tentu saja dia dapat bekerja di situ, menjadi tukang kuda atau apa saja.

   Tapi... dia ragu-ragu apakah dia akan suka tinggal di sini selamanya. Apakah Suhunya mau menurunkan ilmu silat setelah mempunyai putera yang amat disayang? Bukankah Tosu gendut tadi menyatakan bahwa cita-cita mereka semua adalah membuat Swan Bu menjadi jago nomor satu di dunia? Mungkin Suhu dan Subonya mau mengajarnya, dia cukup mengenal watak mereka yang budiman. Akan tetapi apakah para orang tua di Hoa-San-Pai akan suka menerimanya? Pusing pikiran Yo Wan. Betapapun juga, besok aku akan menghadap Suhu dan lihat saja bagaimana perkembangannya. Kalau tak mungkin tinggal di situ, pikirnya, dia akan tanya kepada Suhunya tentang musuh besarnya, The Sun. Akan dicari dan dilawan dengan apa yang dia miliki sekarang. Berpikir sampai di sini dia teringat akan pertempuran tadi dan diam-diam dia menjadi girang.

   Tadinya dia menganggap bahwa dua orang itu hanya dua manusia sombong yang tidak becus apa-apa, orang-orang lemah yang hanya mengandalkan aksi dan mungkin kedudukan, yang sama sekali tidak memiliki kepandaian silat yang berarti. Apakah Tosu gendut tadi yang melebih-lebihkan? Tidak mungkin dua orang yang begitu lemah bisa merajalela berbuat kejahatan. Orang dengan kepandaian serendah itu mana bisa mengganggu orang lain? Sampai dia tertidur pulas di atas rumput kering yang nyaman ditiduri, Yo Wan tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri itu. Memang, pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa bukan dua orang itu yang terlalu lemah, melainkan dia sendirilah yang terlalu tinggi tingkat ilmunya bagi dua orang tadi. la sama sekali tidak menyadari bahwa dalam dirinya telah terkandung ilmu silat tingkat tinggi yang sudah mendarah daging dengan dirinya.

   la menganggap dirinya belum pandai silat, sama sekali tidak sadar bahwa setiap gerakannya mengandung inti sari ilmu silat tinggi yang diwariskan oleh Sin-Eng-Cu dan Bhewakala! Tentu saja Yo Wan yang sederhana jalan pikirannya ini tidak merasa pandai ilmu silat karena ketika selama tiga tahun dia mainkan jurus-jurus sakti, sama sekali bukanlah "Belajar,"

   Melainkan hanya menjadi perantara kedua orang sakti mengadu ilmu. Tiba-tiba Yo Wan bangkit dari rumput kering. Dia mendengar kuda meringkik dan menyepak-nyepak. Kalau saja dia tidak ingat bahwa dia menjadi tukang kuda dan kewajibannya menjaga kuda, tentu dia tidur lagi. la terlalu lelah. Dengan malas dia bangun dan keluar dari kandang kosong yang menjadi kamar tidurnya, menghampiri kandang kuda. Tidak ada sesuatu. Malam gelap dan kuda-kuda itu masih berada di kandang.

   "Ah, kiranya benar hanya tukang kuda..."

   Terdengar suara lirih, dari atas. Yo Wan terkejut. Kiranya ada orang di atas kandang kuda. Mendadak dia mendengar sambaran halus dari belakang. Cepat dia miringkan tubuhnya dan,

   "Tak!"

   Sebuah benda kecil menyambar lewat, menghantam tiang kandang dan mengeluarkan sinar. Dia lain saat, tiang itu dan rumput kering di bawah yang terkena pecahan benda itu sudah terbakar.

   Yo Wan kaget bukan main. Cepat dia menggunakan rumput basah untuk memadamkan api. Dengan marah dia menggerakkan tubuh melompat ke atas kandang. Akan tetapi sunyi di situ, tidak ada bayangan orang. la menduga bahwa orang yang menyambitnya tadi tentu sudah melarikan diri. Kembaii dia memasuki kandang kosong, akan tetapi kali ini dia tidak dapat tidur pulas. Agaknya yang datang itu adalah dua orang Sin-Tung Kai-Pang tadi, atau boleh jadi teman temannya. Mereka itu datang menyerangnya dengan benda yang dapat membakar tiang dan rumput, ataukah memang sengaja hendak membakar kandang? Tapi mendengar ucapan lirih tadi, agaknya mereka ingin pula melihat apakah bena-benar seorang tukang kuda. Benar-benar aneh. Apa artinya ini semua?

   Pada keesokannya, pagi-pagi sekali serombongan orang yang semua berpakaian tambalan mendaki puncak Hoa-San. Yang berjalan di depan sendiri adalah seorang Kakek berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya kurus kering seperti tinggal tulang terbungkus kulit saja tanpa daging sedikit pun, namun tubuh itu masih tegak berdiri kaku seperti prajurit bersikap di depan komandannya. la memegang sebatang tongkat yang aneh. Tongkat ini entah terbuat dari bahan apa, tidak dapat dikenal begitu saja, tapi warnanya aneka macam, belang-bonteng ada warna hijau, merah, kuning, hitam dan putih. Lebih hebat lagi sepatunya, karena sepatu ini pun terbuat dari kulit mengkilap yang warnanya juga macam-macam. Dilihat begitu saja dia lebih pantas menjadi seorang pemain lawak di atas panggung wayang.

   Akan tetapi, jangan dikira bahwa dia itu orang gila atau seorang biasa saja, karena Kakek ini adalah Sin-Tung-Kai Pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti) yang amat terkenal sebagai Raja Pengemis. Permainan tongkatnya hebat dan ditakuti orang. Memang Ketua Pengemis ini pandai sekali main tongkat dan dia menerima kepandaian ini dari dua orang Hwesio pelarian dari Siauw-Lim-Si yang terkenal dengan nama julukan Hek-tung Hwesio dan Pek-tung Hwesio, Si Hwesio Tongkat Hitam dan Hwesio Tongkat Putih. Di kanan kirinya berjalan dua orang Pengemis tua, lima puluh lebih usianya, yang seorang membawa sebatang Pedang tergantung di pinggang, yang kedua memegang sebatang Toya panjang. Kedua orang Pengemis ini memakai sepatu yang berwarna, akan tetapi warnanya tidak sebanyak pada sepatu Pangcu itu.

   Ini menjadi tanda bahwa mereka itu setingkat lebih rendah daripada Pangcu mereka. Mereka adalah kedua orang pembantu Ketua itu, dan merupakan orang kedua dan ketiga dalam Sin-Tung Kai-Pang. Di belakang tiga orang tokoh Sin-Tung Kai-Pang ini, berbarislah murid-murid mereka bertiga yang jumlahnya lima belas orang, di antara mereka ini tampak dua orang yang kemarin ribut-ribut dengan Yo Wan. Melihat cara mereka mendaki puncak dengan kecepatan luar biasa dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi. Memang sesungguhnya, delapan belas orang Pengemis yang dengan muka marah mendaki puncak Hoa-San ini merupakan orang-orang terpenting dalam Sin-Tung Kai-Pang! Para Tosu yang bekerja di luar dan menjaga pintu, segera mengenal mereka dan tergesa-gesa para Tosu yang melihat datangnya rombongan ini menyampaikan laporan ke dalam.

   Kaget dan heran juga Kui-San-Jin, Ketua Hoa-San-Pai ketika mendengar laporan ini. Cepat dia keluar menyambut dan berturut-turut keluar pula isterinya, Suhengnya yaitu Thian Beng Tosu, malah Kwa Kun Hong bersama isterinya, Kwi Hui Kauw, dan puteranya, Kwa Swan Bu, juga keluar untuk melihat apa kehendak rombongan Pengemis itu. Ketua Hoa-San-Pai, Kui-San-Jin, diam-diam merasa tidak enak hatinya. Memang ada sesuatu antara Hoa-San-Pai dan Sin-Tung Kai-Pang yang menjadi ganjalan hati. Dimulai dengan bentrokan kecil antara seorang anak murid Hoa-San-Pai yang pergi ke kota dengan seorang anggota Sin-Tung Kai-Pang. Seorang Pengemis yang sombong dan memandang rendah Hoa-San-Pai telah bentrok dengan seorang anggota Hoa-San-Pai yang berwatak keras. Si Pengemis dipukul roboh, datang banyak Pengemis yang mengeroyok sehingga anak murid Hoa-San-Pai itu terluka dan lari.

   "Akan tetapi urusan ini sudah diselesaikan oleh Suhengnya, Thian Beng Tosu sehingga tidak menjalar lagi menjadi permusuhan antara kedua pihak. Betapapun juga, diam-diam kedua pihak menaruh ganjalan hati. Kini Ketua Sin-Tung Kai-Pang beserta rombongan, pagi-pagi mendaki puncak Hoa-San, ada keperluan apakah?"

   Karena mendengar bahwa yang memimpin rombongan adalah Ketuanya sendiri, maka Kui-San-Jin sendiri menyambut ke luar, khawatir kalau anak murid yang menyambut, akan terjadi bentrokan yang lebih besar. Sengaja dia menyambut di luar tembok, sesuai dengan keadaan tamu yang bukan merupakan sahabat. Ketika melihat rombongan Tuan rumah ke luar dari pintu gerbang. Sin-Tung-Kai Pangcu memberi tanda kepada rombongannya untuk berhenti. la melihat dua orang Kakek yang berpakaian Pendeta, seorang wanita tua yang masih cantik, seorang laki-laki muda yang buta di samping seorang wanita jelita, dan seorang anak laki-laki yang tampan dan membawa gendewa.

   

Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini