Ceritasilat Novel Online

Jaka Lola 8


Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



Mual rasa perut Siu Bi mendengar Nenek ini menyebutnya "Anakku."

   Akan tetapi karena bekas lawan bersikap begini ramah, tak mungkin ia mempertahankan sikap bermusuhan lagi. Betapapun juga, ia masih ragu-ragu. Siapa tahu ada apa-apanya di balik sikap aneh ini. Siapa tahu ada kepiting di balik batu!

   "Aneh sekali sikapmu, Pangcu. Kalau benar aku ini orang sendiri, masa orang-orangmu memperlakukan aku sedemikian rupa? Penghinaan besar yang tiada taranya, menjadikan aku tawanan berhari-hari dan membelenggu kaki tangan.

   "Ohhh, mereka tidak tahu...,."

   "Kalau puh tidak tahu, sudah melakukan penghinaan kepada orang sendiri, apa yang akan kau lakukan kepada mereka?"

   Ang-Hwa Nio-Nio sadar dan mengedikkan kepalanya, memutar tubuh memandang ke saha ke mari mencari-cari. Akhirnya ia menemukan mereka dengan pandang matanya, si rambut putih dan si brewok. Seakan-akan dari pandang matanya itu keluar perintah, karena tanpa kata-kata lagi kedua orang ini sudah maju dan menjatuhkan diri berlutut!

   "Kami... kami betul-betul tidak tahu..."

   Kata si rambut putih, suaranya sudah gemetar tidak karuan.

   "Kalian menghina puteri sahabat baikku The Sun, kalian sudah menjadikan Cucu murid orang tua Hek Lojin sebagai tawanan? Ahhh, kalau di Ang-Hwa-Pai masih ada orang-orang macam kalian, perkumpulan kita takkan dapat lama berdiri tegak."

   Tiba-tiba, tanpa peringatan lagi, kedua tangan Ang-hwa Nio-mo bergerak. Terdengar jerit dua kali dan tubuh dua orang pembantu itu terjengkang ke belakang, mata mereka mendelik, muka mereka berubah merah seperti darah dan nafas mereka sudah putus! Mereka terkena pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga beracun Ang-Tok sepenuhnya! Ang-Hwa Nio-Nio tersenyum ketika menoleh kepada Siu Bi,

   "Nah, itulah hukuman mereka yang berani menghinamu, anakku. Mari, mari... mari ikut Bibi Kui Ciauw, sahabat baik Ayahmu..."

   Siu Bi merasa begitu lega seakan-akan batu sebesar gunung yang menindih hatinya diangkat orang ketika mendengar ucapan terakhir itu. Kiranya Nenek ini yang bernama Kui Ciauw, berjuluk Ang-Hwa Nio-Nio, adalah sahabat baik "Ayahnya,"

   Jadi bukanlah Ibu kandung seperti yang ia khawatirkan. Karena hati yang lega dan puas ini, tidak membantah lagi ketika digandeng pergi, malah ia tersenyum kepada "Bibi Kui Ciauw"

   Dan membalas senyum Ouwyang Lam yang berjalan di sebelahnya!

   Sikap Kui Ciauw atau Ang-Hwa Nio-Nio terhadap Siu Bi itu sebetulnya bukan dibuat-buat, juga tidaklah aneh. Belasan tahun yang lalu wanita ini bersama dua orang saudaranya disebut Ang-Hwa-Sam Ci-moi (Tiga Kakak Beradik Bunga Merah), dan mereka bertiga bekerja sama dengan The Sun dan Hek Lojin, melakukan perang terhadap Pendekar Buta dan kawan-kawannya. Kemudian mereka ini semua dikalahkan oleh Pendekar Buta, malah dua orang adiknya tewas, The Sun terluka hebat dan Hek Lojin buntung sebelah lengannya. Oleh karena itulah, maka begitu mendengar bahwa gadis ini adalah puteri The Sun dan Cucu murid Hek Lojin, sikap Ang-Hwa Nio-Nio seketika berubah. la menganggap Siu Bi sebagai orang segolongan yang menaruh dendam kepada Pendekar Buta. la tadi telah menyaksikan betapa kepandaian Hek Lojin telah diwariskan kepada gadis ini,

   Maka sebagai orang segolongan, tentu saja ia menganggap gadis ini amat penting untuk bersama-sama menghadapi musuh besar mereka, Pendekar Buta. Tentu saja mendapatkan tenaga bantuan seperti gadis ini jauh lebih berharga daripada orang-orang seperti si rambut putih dan si brewok, maka sebagai pengganti mereka, ia rela menerima Siu Bi dan menewaskan dua orang pembantu itu untuk menyenangkan hati Siu Bi. Siu Bi kagum bukan main ketika melihat bangunan-bangunan indah di atas Pulau dan memasuki gedung besar tempat tinggal Ang-Hwa Nio-Nio dan Ouwyang Lam. Perabot rumah serba indah dan mahal, gambar-gambar indah, tulisan-tulisan dengan sajak-sajak kuno menghias dinding membuat gedung itu kelihatan seperti sebuah istana. Setelah mereka bertiga duduk di ruangan tengah dan para pelayan cantik menghidangkan minuman, Ang-Hwa Nio-Nio lalu bercerita,

   "Anak baik, ketahuilah, aku adalah Ang-Hwa Nio-Nio atau Ketua dari Ang-Hwa-Pai, tapi kau boleh menyebutku Bibi Kui Ciauw saja, karena aku adalah sahabat baik dan teman seperjuangan dengan Ayahmu. Dia ini adalah muridku, Ouwyang-Kongcu atau Ouwyang Lam, muridku yang tersayang, dan karenanya dia ini masih terhitung saudara segolongan denganmu. Anak baik, siapakah namamu tadi?"

   "Namaku Siu Bi."

   "The Siu Bi, hemmm, bagus sekali. Tak kunyana bahwa The Sun bisa mempunyai seorang anak secantik engkau, dan ilmu kepandaianmu juga hebat, agaknya malah lebih hebat daripada Ayahmu sendiri. Siu Bi, apakah Ayah dan Kakekmu tidak pernah bercerita tentang aku?"

   Dengan jujur Siu Bi menggeleng kepalanya, dan Ang-Hwa Nio-Nio mengerutkan alisnya.

   "Ah, bagaimana mereka bisa begitu cepat melupakan aku? Tidak ingat akan perjuangan bersama dan penderitaan senasib? Siu Bi, anakku yang baik, apakah mereka juga tak pernah bicara tentang Pendekar Buta?"

   Bangkit semangat Siu Bi mendengar disebutnya musuh besarnya ini.

   "Aku memang sengaja turun gunung untuk mencari Pendekar Buta, membalaskan dendam mendiang Kakek dan membuntungi lengan tangan Pendekar Buta sekeluarga."

   Berubah wajah Ang-Hwa Nio-Nio,

   "Kau bilang... mendiang Kakek? Apakah Hek Lojin si orang tua sudah meninggal?"

   Siu Bi mengangguk dan wanita lu meramkan kedua matanya.

   "Ah, sungguh sayang sekali. Akan tetapi, kau penggantinya, anakku. Biarlah, mari kita sama-sama menggempur Pendekar Buta, kita hancurkan kepalanya, cabut keluar jantungnya untuk kita pakai sembahyang kepada roh-roh yang penasaran!"

   Siu Bi boleh jadi seorang gadis yang tabah, akan tetapi mendengar ancaman menyeramkan ini ia bergidik juga.

   "Bibi, aku sudah bersumpah hendak mencarinya dan dengan tanganku sendiri aku akan membuntungi lengannya, lengan isterinya dan anak-anaknya."

   ""Aku akan membantumu..."

   "Aku tidak perlu bantuan, Bibi. Aku sendiri cukup untuk menghadapinya."

   "Dia lihai sekali."

   "Tidak peduli. Aku tidak takut!"

   Ang-Hwa Nio-Nio membelalakkan kedua matanya. la tak berdaya menghadapi gadis ini yang begini sukar diajak berunding. la mulai tidak sabar dan hal ini dapat dilihat oleh Ouwyang Lam yang segera berkata sambil tersenyum.

   "Tentu saja adik Siu Bi tidak takut. Masa terhadap seorang musuh yang buta kedua matanya saja takut? Kalau takut kan bukan orang gagah namanya! Akan tetapi kami yang lemah memerlukan bantuan dan kami mohon bantuan adik Siu Bi yang gagah perkasa untuk bersama-sama menghadapi Pendekar Buta. Kita mempunyai kepentingan bersama dan kita sama-sama bersakit hati terhadap dia."

   Enak didengar ucapan Ouwyang Lam ini dan seketika hati Siu Bi dapat dikalahkan. Gadis ini menjadi tidak enak sendiri mendengar ia diangkat-angkat dan mereka berdua yang ia tahu tidak kalah lihai itu merendahkan diri. Untuk menghilangkan rasa tidak enak ini ia bertanya.

   "Mengapakah kalian juga bermusuh dengan Pendekar Buta? Kalau Kakek sudah terang dibuntungi lengannya."

   Ang-Hwa Nio-Nio girang melihat hasil bujuk dan kata-kata halus muridnya, maka kini ia yang memberi penjelasan,

   "Siu Bi, agaknya Kakek dan Ayahmu tidak memberi penuturan yang lengkap kepadamu. Ketahuilah bahwa belasan tahun yang lalu sebelum kau terlahir, Ayahmu merupakan musuh besar Pendekar Buta, dan karena Ayahmu tidak dapat menangkan musuhnya maka Kakekmu Hek Lojin datang membantu. Akan tetapi ternyata Kakekmu juga kalah, malah dibuntungi lengannya. Adapun aku sendiri, bersama dua orang adik perempuanku, juga memusuhi Pendekar Buta untuk membalas dendam suci (kakak seperguruan) kami, akan tetapi dalam pertempuran itu, kedua orang adikku tewas, hanya aku seorang yang berhasil menyelamatkan diri. Karena itulah, aku bersumpah untuk membalas dendam atas kematian saudara-saudaraku dan juga atas kekalahan para kawan segolonganku, termasuk Ayah dan Kakekmu. Dengan demikian, bukankah kita ini orang sendiri dan segolongan?"

   Siu Bi diam-diam terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa Pendekar Buta sedemikian lihainya sehingga dikeroyok begitu banyak orang sakti masih dapat menang! Makin ragu-ragu ia apakah ia akan dapat menangkap musuh besar itu, dan mulailah ia melihat kenyataan akan pentingnya bekerja sama dengan orang-orang pandai seperti Ang-Hwa Nio-Nio dan muridnya yajng tampan ini. Apalagi dengan adanya Ang-Hwa Nio-Nio, akan lebih mudah mengenal kelemahan-kelemahan lawan karena Ang-Hwa Nio-Nio pernah bertempur menghadapi Pendekar Buta.

   "Kau betul, Bibi. Maafkan keraguanku tadi. Kalau begitu, marilah kita berangkat ke Liong-Thouw-San mencari musuh besar kita."

   Ang-Hwa Nio-Nio tertawa.

   "Hi...hi...Hik, kau benar-benar seorang gadis yang keras hati dan penuh semangat Siu Bi, tidak mudah menyerbu ke Liong-Thouw-San. Kita harus menghubungi teman-teman segolongan. Banyak yang akan suka ikut menyerbu ke sana untuk menyelesaikan perhitungan lama. Di antaranya ada Pamanku Ang Moko yang sudah menyanggupi. Di samping itu, kau harus membantu kami lebih dulu, karena kami pada saat ini sedang menanti kedatangan musuh-musuh kami yang datang dari Kun-lun. Sebagai orang segolongan, tentu kau tidak suka melihat kami dihina orang dan tentu kau mau membantu kami, bukan?"

   "Tentu saja, Bibi. Akan tetapi tidak enaklah membantu sesuatu tanpa mengetahui persoalannya. Mengapa kau bermusuhan dengan orang-orang Kun-lun? Aku pernah mendengar dari Kakek bahwa Kun-Lun-Pai adalah sebuah partai persilatan yang besar."

   Ang-Hwa Nio-Nio menarik nafas panjang dan mengangguk-angguk,

   "Sebetulnya, dengan Kun-Lun-Pai langsung kami tidak mempunyai urusan. Yang menjadi biang keladinya adalah Bun-Goanswe sehingga menyeret Kun-Lun-Pai berhadapan dengan kami."

   "Jenderal Bun di Tai-Goan?"

   Tanya Siu Bi, kaget. Tercenganglah Ang-Hwa Nio-Nio dan Ouwyang Lam mendengar ini.

   "Kau kenal dia?"

   "Tidak kenal, tapi aku tahu. Pernah aku dijadikan tahanan di sana karena aku membantu para petani yang ditindas."

   "Dia memang sombong!"

   Kata Ouwyang Lam.

   "Puteranya juga sombong sekali. Dumeh (mentang-mentang) jenderal itu sahabat baik Pendekar Buta dan putera dari Ketua Kun-Lun-Pai, sama sekali tidak memandang mata kepada orang-orang seperti kita!"

   Mendengar bahwa Jenderal Bun itu adalah sahabat baik musuh besarnya, tentu saja Siu Bi menjadi makin tak senang kepada keluarga Bun.

   "Apakah yang terjadi?"

   Tanyanya.

   "Ketahuilah, adik Siu Bi. Kami dari Ang-Hwa-Pai selalu melakukan hubungan baik dengan para pembesar, malah kami tidak pernah berlaku pelit. Semua pembesar dari yang rendah sampai yang tinggi di wilayah ini, apabila mengalami kesukaran, tentu minta bantuan kami dan tidak pernah kami menolak mereka. Akan tetapi, Jenderal Bun dan puteranya itu malah menghina kami, dan ada empat orang anak buah Ang-Hwa-Pai mereka tangkap dan mereka jatuhi hukuman. Tiga orang anak buah kami yang melawan mereka bunuh. Coba kau pikir, bukankah mereka itu bertindak sewenang-wenang mengandalkan kedudukan dan kepandaian?"

   "Hemmm, lalu apa yang terjadi?"

   "Agaknya urusan ini terdengar oleh Ketua Kun-Lun-Pai yang menjadi Ayah dari Jenderal Bun. Kun-Lun-Pai mengirim utusan memberi teguran kepada partai kami, dinyatakan oleh partai Kun-lun bahwa setelah negara menjadi aman, kami tidak semestinya mengacau. Tentu saja aku tidak dapat menahan kemarahan mendengar pernyataan yang amat memandang rendah ini, kumaki utusan itu dan terjadi pertandingan yang mengakibatkan utusan Kun-Lun-Pai itu tewas. Dan dalam beberapa hari ini, kurasa akan datang pula utusan Kun-Lun-Pai ke sini. Kalau terjadi keributan dengan pihak Kun-Lun-Pai yang sombong, kuharap saja kau suka membantu kami, adik Siu Bi."

   Siu Bi kembali mengangguk-angguk. Dia sendiri memang tidak suka kepada Jenderal Bun, apalagi karena jenderal itu adalah sahabat musuh besarnya. Dengan Kun-Lun-Pai ia tidak mempunyai hubungan apa-apa, sedangkan orang-orang Ching-Coa-To ini adalah orang segolongan dengannya, sama-sama musuh besar Pendekar Buta.

   "Baiklah, tentu aku membantu. Setelah melihat Lurah Bhong yang jahat itu dan sikap Jenderal Bun, aku pun tidak suka kepada para pembesar itu. Kalau mereka keterlaluan harus kita lawan."

   Hidangan yang mewah dikeluarkan oleh para pelayan cantik dan tiga orang ini berpesta-pora. Siu Bi diam-diam merasa girang juga karena Nenek dan pemuda itu benar-benar amat ramah kepadanya, malah pesta itu diadakan untuk menghormatinya! la merasa beruntung dapat bertemu dengan Ang-Hwa Nio-Nio dan Ouwyang Lam, karena jelas bahwa pertemuan ini akan mendekatkan ia pada hasil gemilang tujuan perjalanannya. Juga di samping ini, ia tertarik dan suka kepada Ouwyang Lam yang tampan, gagah perkasa dan amat manis budi terhadapnya. Tidak mengecewakan mempunyai seorang sahabat seperti dia, pikirnya. Baru saja mereka seleisai makan minum, seorang penjaga berlari masuk, memberi laporan bahwa ada dua orang Tosu menyeberangi telaga dan datang berkunjung ke Pulau.

   "Mereka mengaku datang dari Kun-Lun-Pai dan minta bertemu dengan Pangcu,"

   Penjaga itu mengakhiri laporannya. Ouwyang Lam meloncat berdiri.

   "Biarkan aku yang pergi menemui mereka,"

   Katanya kepada Ang-Hwa Nio-Nio, kemudian menoleh kepada Siu Bi.

   "Adik Siu Bi, adakah hasrat main-main dengan orang-orang Kun-Lun-Pai?"

   Dasar Siu Bi berwatak nakal dan pemberani. Mendengar bahwa dua orang Kun-Lun-Pai datang ke Pulau ini, tentu

   (Lanjut ke Jilid 08)

   Jaka Lola (Seri ke 04 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08

   dengan maksud mencari perkara, ia menjadi ingin tahu dan gembira sekali kalau ia dipercaya mewakili Tuan rumah. la menoleh ke arah Ang-Hwa Nio-Nio yang tersenyum kepadanya dan berkata,

   "Pergilah, Siu Bi, dan bergembiralah bersama kakakmu Ouwyang Lam."

   Pemuda itu sudah meloncat ke luar, diikuti Siu Bi dan dua orang muda ini berlari-lari menuju ke pantai. Benar saja seperti yang dilaporkan oleh penjaga tadi, di pantai berdiri dua orang Tosu setengah tua yang bersikap keren dan angker.

   Perahu mereka yang kecil berada di darat dan tak jauh dari tempat itu tampak orang-orang Ang-Hwa-Pai berjaga-jaga sambil memasang mata penuh perhatian. Semenjak terjadi peristiwa utusan Kun-Lun-Pai, mereka telah menerima perintah dari Ketua mereka supaya jangan bertindak sembrono kalau bertemu dengan orang-orang Kun-Lun-Pai, akan tetapi langsung melaporkan kepada ketua. Inilah sebabnya mengapa para anggota Ang-Hwa-Pai tidak mengganggu dua orang Tosu itu. Dua orang Tosu itu ketika melihat munculnya dua orang muda-mudi yang tampan dan cantik jelita, menjadi tercengang dan saling pandang. Apalagi ketika melihat dua orang muda itu langsung menghampiri mereka dan menatap mereka sambil tersenyum-senyum mengejek. Ouwyang Lam segera bertanya,

   "Apakah Ji-wi (Kalian) Tosu dari Kun-Lun-Pai?"

   Tosu yang mempunyai tahi lalat besar di bawah mulutnya menjawab,

   "Betul, Orang muda. Pinto (Aku) adalah Kung Thi Tosu dan ini Sute Kung Lo Tosu. Kami berdua mentaati perintah Ketua kami mengantar seorang Suheng (kakak seperguruan) kami menyampaikan pesan Ketua kami kepada Ang-Hwa-Pai. Oleh karena itu, harap kau orang muda suka memberi tahu kepada Ang-Hwa-Pai bahwa kami datang berkunjung."

   Ouwyang Lam tertawa.

   "Totiang berdua tak perlu sungkan-sungkan. Kalau ada perkara, beritahukan saja kepadaku. Aku Ouwyang Lam mewakili Ketua kami dan segala urusan cukup kalian bicarakan dengan aku."

   "Hemmm, begitukah?"

   Kung Thi Tosu berkata sambil menatap wajah Ouwyang Lam tajam-tajam.

   "Sudah lama Pinto mendengar nama Ouwyang-Kongcu. Kedatangan kami ini tidak lain akan menanyakan tentang Suheng kami yang beberapa hari yang lalu datang ke sini. Di manakah Suheng kami itu?"

   Wajah yang tampan itu menjadi muram.

   "Totiang, apa kau kira aku ini seorang pengembala keledai maka kau tanya-tanya kepadaku tentang keledai yang hilang? Sudahlah, lebih baik kalian pergi, cari di tempat lain. Pulau kami bukan tempat bagi para Tosu."

   Jawaban ini biarpun terdengar lemas namun amat menghina dan menyakitkan hati karena menyamakan Suheng mereka dengan keledai! Kung Lo Tosu yang bermuka kuning menjadi makin pucat mukanya ketika dia melangkah maju dan berkata dengan suara keras.

   "Orang muda she Ouwyang bermulut lancang! Kami dari Kun-Lun-Pai tidak biasa menelan hinaan-hinaan tanpa sebab. Ketua kami mendengar tentang sepak terjang Ang-Hwa-Pai yang mengancau ketenteraman, lalu Ketua kami mengutus Suheng dan kami berdua untuk datang mengunjungi kalian guna memberi peringatan secara halus, mengingat sama-sama partai persilatan. Akan tetapi Suheng yang amat hati-hati dan tidak ingin kalian salah paham, menyuruh kami menanti di seberang dan Suheng seorang diri yang datang ke sini empat hari yang lalu. Suheng tidak kelihatan kembali, maka kami datang menyusul. Kiranya datang-datang kami hanya kau sambut dengan ucapan menghina. Orang muda lekas katakan di mana adanya Kun Be Suheng."

   Berubah wajah 0uwyang Lam, agak merah karena dia menahan kemarahannya.

   "Aku tidak tahu yang mana itu Suhengmu, akan tetapi beberapa hari yang lalu memang ada seseorang kurang ajar mengacau di sini. Karena dia tidak mau disuruh pergi, terpaksa aku turun tangan dan dia sudah tewas.

   "Keparat, Jadi kau... kau membunuh Suheng...?"

   Kun Thi Tosu kini pun menjadi marah sekali.

   "Kalau begitu Ang-Hwa-Pai benar-benar jahat sekali, membunuh seorang utusan..."

   Ouwyang Lam tertawa mengejek,

   "Tosu bau, dengar baik-baik. Kalau terjadi sesuatu pertengkaran dan pertempuran, jelas bahwa yang salah adalah orang yang datang menyerbu. Aku membela tempatku sendiri yang dikacau orang, mana bisa dianggap jahat? Adalah kalian ini yang bukan orang sini, datang-datang mengeluarkan omongan besar, kalianlah yang jahat!"

   "Ang-Hwa-Pai partai gurem yang baru muncul berani memandang rendah Kun-Lun-Pai! Benar-benar keterlaluan. Bocah sombong, kau harus mengganti nyawa Suheng! Ouwyang Lam menoleh ke arah Siu Bi.

   "Kau lihat, betapa menjemukan. Mau membantuku melempar mereka ke dalam telaga?"

   Siu Bi sudah biasa dengan watak aneh kasar dan liar. Watak Kakeknya, Hek Lojin, jauh lebih kasar, liar dan aneh lagi. la pun tadi jemu menyaksikan lagak orang-orang Kun-Lun-Pai ini dan dalam pertimbangannya, Ouwyang Lam berada di pihak benar. Orang dihargai karena sikapnya, karena kebenarannya, sama sekali bukan karena kedudukannya, atau karena partainya yang besar. Dalam hal ini, Kun-Lun-Pai terlalu memandang rendah Ang-Hwa-Pai, tidak semestinya mencampuri urusan partai orang lain, apalagi menegur. Orang-orang Kun-Lun-Pai mencari penyakit sendiri dengan sikap tinggi hati dan takabur.

   "Mari...!"

   Kata Siu,Bi, juga dengan senyum mengejek. Dua orang Tosu itu sudah marah sekali mendengar betapa Suheng mereka yang datang di Pulau ini sebagai utusan, telah ditewaskan. Serentak mereka menerjang maju, dengan maksud untuk menangkap pemuda sombong ini untuk ditawan dan dipaksa ikut mereka ke Kun lun, dihadapkan kepada Ketua mereka agar diadili. Akan tetapi mereka keliru kalau mengira bahwa mereka akan dapat merobohkan dan menangkap Ouwyang Lam dengan mudah. Begitu pemuda itu menggerakkan kaki tangan, dia telah menyambut terjangan kedua orang ini dengan pukulan dan tendangan yang dahsyat, memaksa dua orang Tosu itu mengelak sambil menyusul dengan serangan dari samping.

   Akan tetapi pada saat itu, Siu Bi sudah membentak nyaring dan menerjang Kung Lo Tosu sehingga lerpaksa Tosu ini bertanding melawan Siu Bi. Hal ini tidak mengecilkan hati kedua orang Tosu Kun-Lun-Pai. Siu Bi hanya seorang gadis remaja, juga Ouwyang Lam yang mereka pernah dengar sebagai Ouwyang-Kongcu yang terkenal kiranya hanya seorang pemuda biasa saja. Dengan cepat mereka memainkan kaki dan tangan, mengeluarkan Ilmu Silat Kun-Lun-Pai. Mereka adalah Tosu-Tosu tingkat ke empat di Kun-Lun-Pai, ilmu kepandaian mereka tinggi. Biarpun mereka percaya bahwa Suheng mereka tewas, akan tetapi mereka mengira bahwa tewasnya sang Suheng itu adalah karena pengeroyokan, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa tewasnya Kung Be Tosu adalah karena bertanding satu lawan satu dengan pemuda ini!

   Setelah bergebrak beberapa jurus, barulah kedua orang Tosu itu kaget dan mendapati kenyataan bahwa kedua orang lawannya ternyata lihai bukan main. Jangankan menangkap, menyerang saja mereka tidak mampu lagi, hanya dapat mempertahankan diri, menangkis dan mengelak ke sana ke mari karena kedua orang muda itu mendesak mereka dengan pukulan-pukulan yang cepat dan luar biasa. Kung Lo Tosu menjadi kabur matanya melihat sinar hitam bergulung-gulung dari kedua lengan lawannya, dan pukulan-pukulan gadis remaja ini mengandung hawa yang panas bukan main. Adapun Kung Thi Tosu juga bingung menghadapi sinar merah dari pukulan Ouwyang Lam, kepalanya pening mencium bau harum yang aneh.

   "Adik Siu Bi, kalau kita bunuh mereka, mereka tidak akan dapat mengingat-ingat akan kelihaian kita. Hayo berlomba lempar mereka ke telaga!"

   Kata Ouwyang Lam sambil tertawa.

   Siu Bi memang tidak mempunyai maksud untuk membunuh lawannya karena ia sendiri tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan Tosu Kun-Lun-Pai. Mendengar ajakan ini, ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah berhasil mencengkeram pundak lawannya dan dengan hentakan cepat ia melemparkan tubuh Kung Lo Tosu ke air telaga di depannya. Tepat pada saat itu juga, Ouwyang Lam berhasil pula melemparkan lawannya sehingga tubuh kedua orang Tosu Kun-Lun-Pai ini melayang dan terbanting ke dalam air yang muncrat tinggi-tinggi. Mereka gelagapan, tenggelam dan beberapa saat kemudian timbul kembali megap-megap, berusaha berenang akan tetapi tak berani ke pinggir karena para anggota Anghwa-pai sudah berdiri di situ sambil tertawa bergelak.

   "Mereka sudah diberi hajaran, biarkan mereka pergi,"

   Kata Siu Bi, kakinya bergerak dan... perahu kecil itu sudah ditendangnya sampai terbang melayang ke air, dekat kedua orang Tosu yang gelagapan itu. Cepat mereka berenang mendekati, meraih perahu terus mendayung perahu dengan kedua tangan mereka di kanan kiri perahu. Perahu bergerak perlahan ke tengah telaga, diikuti sorak-sorai dan ejekan para anggota Ang-Hwa-Pai. Dapat dibayangkan betapa malunya Kung Thi Tosu dan Kung Lo Tosu, mereka terus berusaha sedapat mungkin menggerakkan perahu tanpa dayung, menjauhi Pulau dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Baru setelah perahu mereka bergerak sampai ke tengah telaga, jauh dari Pulau, mereka menyumpah-nyumpah dan mengancam akan melaporkan hal ini kepada Ketua mereka.

   "Pemuda jahanam, gadis liar "

   Kung Thi Tosu memaki gemas.

   "Awas kalian orang-orang Ang-Hwa-Pai, Kun-Lun-Pai takkan mendiamkan saja penghinaan ini!"

   "Sudahlah, Suheng. Mari kita gerakkan perahu mendarat dan cepat-cepat kita kembali ke Kun-lun untuk lapor kepada Sucouw (kakek Guru)."

   Kung Lo Tosu menghibur. Mereka terus mendayung perahu mempergunakan kedua lengan. Karena mereka berkepandaian tinggi dan tenaga mereka besar, biarpun perahu hanya didayung dengan tangan, perahu dapat meluncur cepat menuju ke darat.

   Tiba-tiba dari sebelah kanan meluncur sebuah perahu kecil. Penumpangnya hanya seorang wanita muda yang berdiri di tengah perahu dan menggerakkan dayung ke kanan kiri sambil berdiri saja. Namun perahunya dapat meluncur laksana digerakkan tenaga raksasa! Melihat ini saja, dua orang Tosu itu dapat menduga bahwa gadis yang cantik dan gagah ini tentulah seorang berilmu. Sebaliknya gadis itu pun dapat mengerti bahwa dua orang Tosu yang mendayung perahu hanya dengan tangan itu tentulah orang-orang berkepandaian tinggi. Kung Thi Tosu dan Kung Lo Tosu tidak mempedulikan gadis itu, malah mereka segera membuang muka. Mereka mengira bahwa gadis yang lihai ini tentulah orang Ang-Hwa-Pai, sebangsa dengan gadis remaja yang tadi merobohkan Kung Lo Tosu. Mereka tidak mau mencari penyakit, tidak mau mencari gara-gara, maka lebih aman membungkam dan pura-pura tidak melihat.

   Akan tetapi, tidak demikian dengan gadis itu. la sengaja memotong jalan, menghadang perahu mereka. Karena tidak ingin perahu mereka bertumbukan, terpaksa mereka menahan lajunya perahu dan memandang. Yang berdiri di tengah perahu kecil itu adalah seorang gadis yang masih muda, seorang gadis yang cantik manis, senyumnya selalu menghias Bibir, sepasang matanya tajam berpengaruh, dan di balik kecantikan itu tersembunyi kegagahan Tubuhnya ramping padat, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang hitam itu dikuncir ke belakang, melambai-lambai tertiup angin telaga. Gadis itu menggunakan dayung menahan perahunya, memberi hormat sambil membungkuk dalam-dalam dan mengangkat kedua tangan yang memegang dayung ke depan dada, lalu berkata, suaranya halus merdu membayangkan watak yang halus pula.

   "Maaf, Ji-wi Totiang. Bukan maksudku mengganggu Ji-wi, melainkan saya mohon bertanya, telaga ini telaga apakah namanya dan Pulau di depan itu Pulau apa, siapa yang tinggal di sana?"

   Kung Thi Tosu dan sutenya saling pandang, kemudian Kung Thi Tosu bertanya,

   "Nona bukan orang sana? Bukan anggota Ang-Hwa-Pai?"

   Kini gadis itu yang memandang heran,

   "Bukan, Totiang. Kalau saya orang Pulau itu, masa masih bertanya-tanya. Saya seorang pelancong yang tertarik akan keindahan telaga ini, dan ingin sekali tahu nama telaga dan Pulau itu."

   "Wah, kalau begitu, lebih baik Nona lekas-lekas pergi dari tempat ini. Amat berbahaya, Nona. Pulau di depan itu adalah Ching-Coa-To, pusat perkumpulan Ang-Hwa-Pai. Kami berdua Tosu dari Kun-Lun-Pai baru saja terlepas dari bahaya maut."

   "Akan tetapi tidak terlepas dari penghinaan hebat!"

   Sambung Kung Lo Tosu. Gadis itu tampak mengerutkan alisnya yang hitam dan bagus bentuknya.

   "Di sepanjang perjalanan sudah banyak kudengar sepak terjang yang sewenang-wenang dari Ang-Hwa-Pai. Siapa duga sampai-sampai berani melakukan penghinaan terhadap Kun-Lun-Pai. Kiranya Ji-wi Totiang ini anak murid Kun-Lun-Pai? Harap Totiang sudi menceritakan kepada saya apakah yang telah terjadi antara Ji-wi dan Ang-Hwa-Pai?"

   "Nona siapakah? Pinto tidak dapat menceritakan hal ini kepada orang luar yang tidak Pinto kenal, maaf,"

   Kata Kung Thi Tosu. Nona itu mengangguk.

   "Memang seharusnya begitulah. Akan tetapi biarpun Ji-wi Totiang tidak mengenal saya, tentu Bun Lo-Sianjin Ketua Kun-Lun-Pai takkan asing mendengar nama saya dan takkan marah kepada Ji-wi kalau mendengar bahwa Ji-wi menceritakan urusan ini kepada seorang gadis bernama Tan Cui Sian dari Thai-San."

   
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dua orang Tosu itu belum pernah mendengar nama Tan Cui Sian, akan tetapi tentu saja mereka tahu apa artinya Thai-San-Pai bagi Kun-Lun-Pai. Ketua Thai-San-Pai yang berjuluk Bu-Tek Kiam-Ong (Raja Pedang Tiada Lawan) adalah sahabat baik Ketua mereka dan kalau nona ini datang dari Thai-San, berarti seorang sahabat pula. KungThi Tosu lalu menjura dan memberi hormat.

   "Kiranya Nona dari Thai-San-Pai, maaf kalau tadi Pinto ragu-ragu. Di antara sahabat sendiri, tentu saja Pinto, suka menceritakan urusan ini yang membuat hati menjadi sakit dan penasaran."

   Kung Thi Tosu lalu bercerita tentang semua peristiwa yang telah terjadi. Suheng mereka yang menjadi utusan Kun-Lun-Pai dibunuh, dan mereka sendiri menerima hinaan dari dua orang muda yang amat lihai. Sepasang mata gadis itu bersinar tajam, kerut keningnya mendalam.

   "Hemmm, terlalu sekali mereka itu. Apakah yang Ji-wi Totiang hendak lakukan sekarang?"

   "Kami hendak pulang dan melaporkan hal ini kepada Ketua kami."

   "Memang sebaiknya begitu. Urusan ini adalah urusan antara Kun-Lun-Pai dan Ang-Hwa-Pai, tentu saja saya tidak berhak mencampuri, tetapi ingin sekali saya bertemu dengan pemuda dan gadis yang telah menghina Ji-wi. Mereka itu kurang ajar dan terlalu mengandalkan kepandaian, hemmm..."

   "Harap Nona jangan main-main di sini. Mereka itu benar-benar lihai. Baru yang muda-muda saja begitu lihai, belum Ketua mereka, Si Nenek Ang-Hwa Nio-Nio. Juga anggota mereka banyak sekali, jahat-jahat pula. Lebih baik Nona meninggalkan tempat ini agar jangan sampai mengalami penghinaan."

   Gadis itu tersenyum.

   "Saya justru ingin mereka itu datang menghina saya. Selamat jalan, Totiang. Mendayung perahu dengan tangan tentu tidak dapat cepat. Biarlah saya membantu sebentar! Setelah berkata demikian, nona ini menggunakan dayungnya yang panjang itu untuk mendorong perahu kedua Tosu. Tenaga dorongannya bukan main kuatnya sehingga perahu ini seakan-akan digerakkan tenaga raksasa, meluncur ke depan dengan amat cepatnya. Kung Thi Tosu dan sutenya kaget, heran dan juga girang sekali. Perahu nona itu sudah menyusul dan terus ia mendorong-dorong perahu di depan. Dengan cara begini, benar saja, kedua orang Tosu itu dapat mencapai daratan dalam waktu singkat. Mereka meloncat ke darat, memberi hormat ke arah nona berperahu yang sudah menggerakkan perahunya ke tengah telaga lagi. Kung Thi Tosu menarik nafas panjang.

   "Sute, benar-benar perjalanan kita kali ini membuka mata kita bahwa kepandaian kita sama sekali belum ada artinya. Dalam waktu sehari kita telah bertemu dengan tiga orang muda yang memiliki kepandaian jauh melampaui kita. Aku berjanji akan berlatih lebih tekun kalau kita sudah kembali ke gunung,"

   Mereka lalu membalikkan tubuh dan melakukan perjalanan secepatnya pulang ke Kun-Lun-Pai. Siapakah sebenarnya gadis lihai berperahu itu? Dia bukanlah seorang pelancong biasa. Para pembaca cerita Pendekar Buta tentu masih ingat akan nama ini, Tan Cui Sian. Gadis ini adalah puteri dari Ketua Thai-San-Pai, Si Raja Pedang Tan Beng San dan si Pendekar wanita Cia Li Cu yang sekarang sudah menjadi Kakek-kakek dan nenek-nenek, memimpin perkumpulan Thai-San-Pai yang makin maju dan terkenal. Suami isteri ini telah berusia empat puluh tahun lebih ketika Cui Sian terlahir, maka mereka sekarang menjadi tua setelah puteri mereka berusia dua puluh tiga tahun.

   Sebagai puteri sepasang Pendekar besar yang memiliki ilmu kesaktian, tentu saja semenjak kecilnya Cui Sian telah digembleng dan mewarisi kepandaian mereka berdua sehingga kini Cui Sian menjadi seorang gadis yang sakti. Wataknya pendiam seperti Ayahnya, keras seperti Ibunya, cerdik dan luas pandangannya. Hanya satu hal menjengkelkan Ayah Bunda Cui Sian dan yang membuat Ibunya sering kali menangis sedih adalah kebandelan gadis ini tentang perjodohan. Banyak sekali Pendekar-Pendekar muda, bangsawan-bangsawan berkedudukan tinggi yang tergila-gila kepadanya. Banyak sudah datang lamaran atas dirinya dari orang-orang muda yang memenuhi syarat, baik dipandang dari watak yang baik, kepandaian tinggi dan kedudukan yang mulia. Namun semua pinangan itu ditolak mentah-mentah oleh Cui Sian!

   "Ibu, aku tidak mau terikat oleh perjodohan! Aku... aku tidak mau seperti enci Cui Bi..."

   Demikian keputusan Cui Sian di depan Ayah Bundanya, lalu lari memasuki kamarnya.

   Ketua Thai-San-Pai bersama isterinya saling pandang. Si Raja Pedang mengelus-elus jenggotnya yang panjang sambil menarik nafas berkali-kali, memandang isterinya yang menjadi basah pelupuk matanya. Teringatlah mereka kepada mendiang Tan Cui Bi, puteri mereka pertama yang tewas menjadi korban asmara gagal. Di dalam cerita Rajawali Emas dituturkan betapa mendiang Cui Bi yang sudah ditunangkan dengan Bun Wan (sekarang Jenderal Bun di Tai-Goan) terlibat dalam jalinan asmara dengan Kwa Kun Hong (Pendekar Buta) sehingga karena gagal, Cui Bi lalu membunuh diri dan Kun Hong membutakan matanya serdiri! Cerita tentang Cui Bi inilah agaknya yang membuat hati Cui Sian sekarang menjadi ngeri, membuat ia tidak mau bicara tentang perjodohan, bahkan membuat ia seperti membenci perjodohan.

   "Dia menjadi takut bayangan sendiri, takut akan terulang kesedihan dan malapetaka yang menimpa diri Cicinya. Biarlah, kita serahkan saja kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena betapapun juga, jodoh adalah kehendak Tuhan, tak dapat dipaksakan. Kalau ia sudah bertemu jodohnya, tak usah kita paksa iagi, ia tentu akan mau sendiri,"

   Demikian kata-kata hiburan Ketua Thai-San-Pai kepada isterinya.

   "Tapi... tapi... tahun ini dia sudah berusia dua puluh tiga tahun..."

   Isterinya tak dapat melanjutkah kata-katanya, menahan isak dan menghapus air mata. Kembali Bu-Tek Kiam-Ong Tan Beng San menarik nafas panjang.

   "Di dalam perjodohan, usia tidak menjadi soal, isteriku. Beberapa kali anak kita itu mohon untuk diberi ijin turun gunung dan kita selalu melarangnya karena khawatir kalau-kalau terjadi hal seperti yang telah menimpa diri Cui Bi. Kurasa inilah kesalahan kita. Biarkan ia turun gunung, biarkan ia mencari pengalaman, siapa tahu dalam perjalanannya, ia akan bertemu |odohnya. Dia sudah dewasa dan tentang kepandaian, kurasa kita tidak perlu mengkhawatirkan keselamatannya. Cui Sian mampu menjaga diri."

   Pernyataan suaminya bahwa si anak mungkin bertemu jodohnya dalam perantauan, melunakkan hati nyonya Ketua Thai-San-Pai ini. Dan alangkah girang hati Cui Sian ketika Ibunya malam hari itu memberi tahu bahwa ia sekarang diperkenankan turun gunung melakukan perantauan. Dari Ibunya ia menerima Pedang Liong-Cu-Kiam yang pendek dan dari Ayahnya ia dibekali pesan,

   "Kau sudah mencatat semua alamat dari sahabat-sahabat Ayah Bundamu. Jangan lupa untuk mampir dan menyampaikan hormat kami kepada mereka. Terutama sekali jangan lupa mengunjungi Liong-Thouw-San, Hoa-San, Kun-lun dan jika kau pergi ke Kota Raja, jangan lupa singgah di rumah Jenderal Bun."

   "Bekas tunangan Cici Cui Bi?"

   Cui Sian mengerutkan kening. Ayahnya tertawa.

   "Apa salahnya? Dahulu tunangan, akan tetapi sekarang hanya merupakan sahabat baik, karena Bun Wan adalah putera Kun-lun, sedangkan Ketua Kun-Lun-Pai adalah sahabat baikku."

   Setelah menerima nasihat-nasihat dan pesan supaya hati-hati dari Ibunya, berangkatlah Cui Sian turun gunung, membawa bekal pakaian dan emas secukupnya, dengan hati gembira. Demikianlah sekelumit riwayat gadis yang kini berada di telaga itu, dekat Ching-Coa-To dan bertemu dengan kedua orang Tosu Kun-Lun-Pai. Karena Kun-Lun-Pai adalah partai besar yang bersahabat dengan Ayahnya, tentu saja Cui Sian menganggap kedua orang Tosu itu sebagai sahabat dan ia ikut merasa mendongkol sekali ketika mendengar hinaan yang diderita orang-orang Kun-Lun-Pai dari dua orang muda Ching-Coa-To. Setelah mengantar kedua orang Tosu Kun-lun itu ke darat, Cui Sian lalu mendayung perahunya kembali ke tengah telaga, menyeberang hendak melihat-lihat sekeliling Pulau. Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di Pulau setelah berhasil melernparkan kedua orang Tosu ke dalam air.

   "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!"

   Teriak Ouwyang Lam kepada para anggota Ang-Hwa-Pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah bermaksud melepas anak panah, terpaksa membatalkan niatnya. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-Hwa-Pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam menghadapi musuh besarnya.

   "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi Pulauku yang indah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan Pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah Selatan sana. Mari!"

   Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian menghampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sedang bermain-main, mereka dengan gembira melepaskan perahu dan naik ke dalam perahu kecil ini. Ouwyang Lam mengambil dua buah dayung, lalu keduanya mendayung perahu itu ke tengah, diikuti pandang mata penuh maklum oleh para anak buah Ang-Hwa-Pai.

   "Wah, Kongcu mendapatkan seorang kekasih baru,"

   Kata seorang anggota yang kurus kering tubuhnya, jelas dalam suaranya bahwa dia iri.

   "Hemmm, tapi yang satu ini sungguh tak boleh dibuat main-main. Ilmu kepandaiannya hebat. Saingan berat bagi Pangcu..."

   Kata temannya yang gendut.

   "Sssttttt... apa kau bosan hidup?"

   Cela si kurus sambil pergi ketakutan. Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa gembira ketika mendayung perahu sekuat tenaga sehingga perahu itu meluncur seperti anak panah cepatnya. Pemuda itu menerangkan keadaan Pulau dan Siu Bi beberapa kali berseru kagum. Memang bagus Pulau ini biarpun tidak berapa besar namun mempunyai bagian-bagian yang menarik. Ada bagian yang penuh bukit karang, ada bagian yang merupakan taman bunga amat indahnya.

   "Lihat, di sana itu adalah pusat ular-ular hijau. Tidak ada musuh yang berani menyerbu Ching-Coa-To, karena sekali kami melepaskan ular-ular itu, mereka akan menghadapi barisan ular yang lebih hebat daripada barisan manusia bersenjata."

   Siu Bi bergidik. la melihat banyak sekali ular-ular besar kecil berwarna hijau, keluar masuk di lubang-lubang batu karang.

   "Apakah binatang-binatang itu tidak berkeliaran di seluruh Pulau dan membahayakan kalian sendiri?"

   Tanyanya. Ouwyang Lam tersenyum.

   "Kami mempunyai minyak bunga yang ditakuti ular-ular hijau itu. Sekeliling daerah batu karang telah kami sirami minyak dan para penjaga selalu siap menyiram minyak baru jika yang lama sudah hilang pengaruhnya. Dengan pagar minyak itu, ular hijau tidak berani berkeliaran."

   "Tapi... apa perlunya memelihara ular sebanyak itu?"

   "Sebetulnya tenaga mereka tidak berapa kami butuhkan. Hanya racunnya... racun mereka kami ambil dan Nio-Nio amat pandai membuat obat dan senjata dari racun-racun itu."

   "Ahhh... hebat kalau begitu "

   Siu Bi berseru kagum. Perahu digerakkan lagi.

   "Lihat, di sana itu adalah taman bunga kami. Bukan main senangnya beristirahat di sana, hawanya nyaman, baunya, harum dan keadaan di situ benar-benar menenteramkan perasaan orang."

   "Aduh, bagusnya... mari kita mendarat ke sana... wah, indahnya seruni-seruni di ujung sana itu. Beraneka warna dan sedang mekar...!"

   Ouwyang Lam melirik dengah hati gembira ke arah nona cantik di sebelahnya ini. Alangkah akan bahagianya kalau tiba saatnya dia dapat bersenang-senang dengan gadis ini di taman, sebagai kekasihnya!

   "Nanti, Moi-moi, kita keliling dulu dengan perahu. Karena kau menjadi orang sendiri, seluruh Pulau dan isinya ini anggaplah tempatmu sendiri. Akan tetapi untuk dapat menikmati tempat kita ini, kau harus lebih dulu mengenal bagian-bagian yang indah, yang berbahaya dan lain-lain. Jangan khawatir, masih banyak waktu untuk kau bermain sepuasmu di dalam taman itu. Di sana terdapat beberapa pondok kecil yang nyaman dan aku akan minta kepada Nio-Nio agar kau diperbolehkan menempati sebuah di antara pondok-pondok di taman itu. Aku juga tinggal di sebuah di antara pondok-pondok kecil di sana."

   Sambil berkata demikian, Ouwyang Lam melirik dengan tajam, ingin melihat bagaimana reaksi dari gadis itu. Akan tetapi, Siu Bi bersikap biasa saja, hanya ia amat gembira mendengar ini, akan tetapi sama sekali tidak memperlihatkan tanda bahwa ia mengerti akan isyarat dalam ucapan Ouwyang Lam. Memang, ia seorang gadis remaja yang masih hijau, mana ia mengerti akan kata-kata menyimpang itu? Perahu didayung lagi.

   "Mari kita sekarang melihat taman air..."

   Ucapan Ouwyang Lam terhenti karena pada saat itu mereka berdua melihat sebuah perahu kecil yang meluncur laju dari depan.

   Seorang gadis mendayung perahu itu sambil berdiri di tengah perahu, memandang kepada mereka dengan mata melotot. Heran benar dia mengapa hari ini begitu baik untungnya sehingga matanya sempat melihat lagi seorang gadis yang begini cantik jelita setelah bertemu dengan Siu Bi. Adapun Siu Bi sendiri juga kagum karena dalam pandang matanya gadis yang sendirian di perahu itu membayangkan sifat yang gagah sekali dalam kesederhanaan pakaiannya. Perahu mereka kini berhadapan dan kedua pihak menahan perahu dengan gerakan dayung. Sejenak tiga orang ini saling pandang, penuh selidik. Ouwyang Lam yang selalu tidak mau melewatkan kesempatan untuk mencari muka dan bermanis-manis terhadap gadis cantik, segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat sambil tersenyum dan menegur.

   "Nona, aku Ouwyang Lam tidak pernah bertemu muka denganmu. Agaknya Nona adalah seorang tamu yang hendak mengunjungi Ang-Hwa-Pai. Kalau memang demikian halnya, dapat Nona bicara dengan aku yang mewakili Ketua Ang-Hwa-Pai."

   Cui Sian sudah menduga bahwa tentu dua orang ini yang tadi menghina Tosu-Tosu Kun-Lun-Pai, sekarang mendengar pemuda itu memperkenalkan nama, ia tidak ragu-ragu lagi.

   "Aku seorang pelancong, sama sekali tidak ada urusan dengan Ang-Hwa-Pai atau perkumpulan jahat manapun juga!"

   Sengaja ia menjawab ketus karena memang ia hendak mencari perkara dan memberi hajaran kepada orang-orang muda yang dianggapnya jahat itu. Siu Bi mendengar ini, tak dapat menahan tawanya. Memang Siu Bi wataknya aneh. Senang ia melihat gadis itu berani menghina Ang-Hwa-Pai secara begitu terang-terangan di depan Auwyang Lam, maka ia tertawa, tentu saja mentertawakan pemuda itu. Mendengar suara ketawa ditahan ini, Ouwyang Lam mendongkol. Alisnya yang tebal berkerut dan matanya memandang galak kepada Cui Sian, akan tetapi karena benar-benar gadis di depannya itu cantik jelita, tidak kalah oleh Siu Bi sendiri, dia masih menahan kemarahannya dan mempermainkan senyum pada Bibirnya.

   "Nona yang baik, ketahuilah bahwa telaga ini termasuk wilayah Ang-Hwa-Pai, jadi kau kini telah berada di dalarn wilayah kami. Karena itu berarti kau sudah menjadi tamu kami, maka tadi aku sengaja bertanya. Andaikata kau hanya pelancong biasa dan tidak mempunyai urusan dengan Ang-Hwa-Pai, akan tetapi karena tanpa kausadari kau telah menjadi tamuku, tiada buruknya kalau kita menjadi sahabat."

   Kembali Siu Bi tersenyum dan mengejek,

   "Wah, kau benar-benar amat sabar dan ramah, Ouwyang-Twako!"

   Kalau Siu Bi mengejek karena mengira Ouwyang Lam takut-takut dan jerih, adalah Cui Sian yang menjadi muak perutnya. la lebih berpengalaman atau setidaknya lebih mengenal watak pria daripada Siu Bi yang hijau maka ia dapat menangkap nada suara kurang ajar dalam ucapan Ouwyang Lam. Dengan ketus ia menjawab,

   "Kau manusia sombong. Kurasa telaga ini adalah buatan alam, bagaimana Ang-Hwa-Pai berani mengaku sebagai hak dan wilayahnya?"

   Eh, bocah, apakah kau yang berani menghina bahkan membunuh Tosu dari Kun-Lun-Pai?"

   Ouwyang Lam terkejut dan hilang keramahannya. Juga Siu Bi hilang senyumnya. Mereka berdua bangkit berdiri dan memandang Cui Sian dengan curiga. Kalau gadis ini datang membela Kun-Lun-Pai, berarti dia itu musuh!

   "Kalau betul begitu, kau mau apakah?"

   Teriak Ouwyang Lam.

   "Apakah kau anak nuirid Kun-Lun-Pai yang hendak menuntut balas?"

   "Aku bukan anak murid Kun-lun-pal juga tidak tahu-menahu tentang permusuhan kalian dengan Kun-Lun-Pai. Akan tetapi kebetulan sekali aku bertemu dengan dua orang Tosu Kun-Lun-Pai yang telah kalian hina. Tosu-Tosu Kun-Lun-Pai bukanlah orang-orang jahat, maka kalau kalian sudah berani menghina mereka, kalian benar-benar merupakan orang-orang kurang ajar dan mengandalkan kepandaian. Kalau bicara tentang kegagahan, agaknya aku lebih condong menganggap kalianlah yang bersalah dan jahat."

   "Heeei, orang liar dari mana datang-datang membuka mulut asal bunyi saja?"

   Siu Bi berseru marah.

   "Dua orang Tosu bau itu memang kami berdua yang melempar ke dalam air, habis kau mau apa?"

   "Hemmm, aku tidak akan mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi aku pun tidak biasa membiarkan orang berlaku sewenang-wenang. Kau menghina dan melempar orang ke air, sekarang aku pun hendak melempar kalian ke dalam air!"

   "Sombong! Twako, mari kita lempar bocah sombong ini dari perahunya!"

   Siu Bi menggerakkan dayungnya, diikuti oleh Ouwyang Lam yang bermaksud merobohkan dan menawan gadis cantik yang sombong itu.

   "Plakkk-plakkkkk!"

   Siu Bi dan Ouwyang Lam berseru kaget sekali karena dayung mereka tertangkis oleh dayung di tangan Cui Sian. Demikian kuat dan hebatnya tangkisan itu sehingga hampir saja Siu Bi dan Ouwyang Lam tak dapat menahan dan melepaskan dayung. Telapak tangan mereka terasa panas dan sakit-sakit. Hal ini sama sekali tak pernah mereka duga karena tadi mereka memandang rendah sekali, dan sesaat mereka kaget dan bingung.

   Sebelum mereka dapat memperbaiki kedudukan, perahu mereka tertumbuk oleh perahu Cui Sian dan dayung di tangan Cui Sian secara dahsyat sekali telah menerjang mereka. Perahu miring, dua orang muda itu hampir terjengkang ke belakang dan oleh karena kedudukan yang buruk sekali dan lemah ini, sampai dayung di tangan Cui Sian tak dapat mereka tangkis lagi dan jalan satu-satunya bagi mereka untuk menyelamatkan diri hanya melempar diri ke belakang. Terdengar suara keras dan air memercik tinggi ketika dua orang itu terlempar ke dalam air juga perahu mereka telah terbalik! Ouwyang Lam yang pandai berenang itu cepat menyambar lengan tangan Siu Bi yang gelagapan dan menarik gadis itu ke arah perahu mereka yang terbalik. Karena dayung mereka terlempar dan mereka berada di bawah ancaman dayung Cui Sian, mereka tak dapat berbuat sesuatu kecuali memegangi perahu yang terbalik dengan muka dan kepala yang basah kuyup!

   "Ketahuilah, aku bernama Tan Cui Sian, bukan anak murid Kun-Lun-Pai, hanya seorang pelancong yang kebetulan"

   Lewat dan tidak senang melihat kekurang-ajaranmu. Harap kali ini kalian menganggap sebagai pelajaran agar lain kali jangan kurang ajar dan sombong lagi."

   Setelah berkata demikian Cui Sian mendayung perahunya pergi meninggalkan dua orang yang tak berdaya dan memegangi perahu terbalik itu.

   "He, manusia curang!"

   Siu Bi berteriak marah, memaki-maki.

   "Tunggu aku di darat kalau kau memang gagah dan kita bertanding sampai sepuluh ribu jurus! Tidak bisa kau menghina Cui-Beng Kwan-Im dan pergi enak-enak begitu saja!"

   Cui Sian menoleh dan tersenyum mengejek.

   "Julukannya saja Cui-Beng (Pengejar Roh), biarpun cantik seperti Kwan Im, tetap saja jahat. Bocah masih ingusan, siapa takut padamu? Kutunggu kau di darat dan aku tanggung kau akan kulempar sekali lagi ke dalam air!"

   Siu Bi memaki-maki, akan tetapi apa dayanya? Mengejar perahu itu yang tak mungkin. Lain dengan Ouwyang Lam biarpun amat mendongkol dan malu, namun segera bersuit nyaring memberi aba-aba kepada anak buahnya. Beberapa buah perahu hitam meluncur cepat dari balik alang-alang, menghampiri Ouwyang Lam dan Siu Bi yang kini sudah berhasil membalikkan perahu dan melompat ke dalam perahu dengan pakaian basah kuyup.

   "Kejar iblis betina itu, gulingkan perahunya dan tangkap dia. Ingat, harus gulingkan perahunya lebih dulu!"

   Perintah Ouwyang Lam ini segera ditaati oleh tiga buah perahu yang masing-masing berpenumpang tiga orang. Sembilan orang ahli air Ang-Hwa-Pai melakukan pengejaran. Ouwyang Lam dan Siu Bi mengikuti dari belakang setelah Ouwyang Lam terjun dan berenang mengambil dayung-dayung mereka yang tadi terlempar. Cui Sian yang sama sekali tidak menduga bahwa ia akan dikejar, dengan hati puas mendayung perahunya ke tengah telaga, tidak tergesa-gesa pergi mendarat karena ia ingin melihat-lihat Pulau itu dari dekat. Tak lama kemudian barulah ia melihat tiga buah perahu hitam meluncur cepat mendekati perahunya.

   la dapat menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang Ang-Hwa-Pai, apalagi setelah dekat ia melihat bunga merah tersulam di baju mereka. Akan tetapi tentu saja ia tidak takut, malah menanti kedatangan mereka dengan dayung di tangan, siap menghantam dan menghajar mereka yang berani mengganggunya. Akan tetapi, ia mulai terkejut melihat sembilan orang di dalam tiga buah perahu itu semua melompat ke dalam air dan tidak muncul lagi. Mereka menyelam! Cui Sian dapat menduga apa yang akan mereka lakukan. Cepat ia mendayung perahunya meluncur pergi, namun terlambat. Perahunya berguncang hebat. la berdiri mempergunakan Ginkangnya, mengatur keseimbangan tubuh agar jangan sampai terjungkal ke dalam air. Malah dayungnya berhasil mengemplang punggung seorang penyelam yang segera menyelam dan berenang pergi sambil merintih-rintih.

   Akan tetapi akhirnya perahunya terguling! Namun dengan gerakan yang amat indah, tubuh Cui Sian mencelat ke atas dan dengan berjungkir balik beberapa kali, tubuhnya cukup lama berada di atas sehingga ketika ia meluncur turun, perahunya sudah terbalik dan terapung lagi. la mendarat di atas perahunya yang terbalik itu, siap dengan dayungnya. Para penyelam melihat ini menjadi kagum sekali, juga penasaran. Mereka menyelam lagi mendekati dan berusaha menggulingkan perahu yang sudah terbalik agar nona itu ikut tenggelam. Namun Cui Sian dengan dayungnya mempertahankan perahunya. Dua orang penyelam kena dihajar tangan mereka sehingga tulangnya patah, seorang penyelam lagi terpaksa dibawa pergi temannya karena kemplangan pada kepalanya membuat dia pingsan.

   Ouwyang Lam dan Siu Bi sudah tiba di situ. Melihat betapa gadis kosen itu masih belum dapat ditangkap, malah mengamuk mempertahankan perahu yang sudah terbalik itu, melukai beberapa orang penyelam, dia menjadi marah dan diam-diam kaget juga. Gadis itu benar-benar lihai. Hatinya tidak enak sekali. Kemudian dia bersuit memberi tanda kepada ternan-temannya yang sudah muncul di permukaan air, tidak berani mendekati perahu terbalik itu. Kini hanya tinggal empat orang penyelam yang belum terluka, akan tetapi mereka jerih, tidak berani mendekat. Setelah Ouwyang Lam bersuit, mereka menyelam lagi. Ouwyang Lam mendayung perahunya yang meluncur cepat mendekati perahu Cui Sian yang terbalik.

   "Adik Siu Bi, kesempatan kita untuk membalas!"

   Katanya, Siu Bi sudah bersiap dengan dayungnya. Ketika perahu mereka sudah dekat, Ouwyang Lam dan Siu Bi menggerakkan dayung. Kali ini mereka berlaku hati-hati, dayung mereka menerjang hebat dengan pengerahan tenaga. Sebaliknya, Cui Sian berada dalam keadaan yang amat buruk. Berdiri di atas perahu terbalik amat licin dan terlalu sempit, sedangkan dua buah dayung yang menyerangnya itu pun tak boleh dibuat main-main. Tadi pun ia sudah dapat kenyataan bahwa kedua orang muda ini memiliki kepandaian tinggi, hanya karena tadi memandang rendah kepadanya maka dalam segebrakan saja ia berhasil melempar mereka ke air. la maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali. Namun, Cui Sian memiliki sifat yang amat tenang, juga tabah. la tidak menjadi gentar, malah mengejek,

   "Beginikah cara orang gagah? Mengeroyok dengan cara yang licik?"

   Merah muka Siu Bi. Sesungguhnya ia benci akan cara demikian ini, akan tetapi semua itu yang mengatur adalah Ouwyang Lam, ia sebagai tamu tak dapat berbuat lain. Untuk diam saja tidak ikut mengeroyok juga tidak enak, apalagi ia tadi sudah dibikin basah kuyup dan merasa amat marah kepada gadis bernama Cui Sian itu. Dengan tenaga dalamnya yang murni dan amat kuat serta gerakan dayungnya yang hebat, Cui Sian masih dapat mempertahankan diri dari desakan kedua buah dayung lawannya. Akan tetapi tiba-tiba perahu yang diinjaknya berguncang hebat. Kini ia tidak mungkin dapat melawan orang-orang yang berada di dalam air karena dua batang dayung yang mengancamnya dari depan sudah cukup berbahaya. la berusaha mempertahankan diri, akan tetapi ketika tiba-tiba perahu yang diinjaknya itu tenggelam, tak mungkin lagi ia mempertahankan diri.

   la ikut tenggelam dan di lain saat ia gelagapan karena seperti juga Siu Bi, ia adalah seorang puteri gunung dan tak pandai berenang! Sungguhpun demikian, ketika dua orang penyelam berusaha menangkap dan memeluknya, mereka itu memekik kesakitan dan pingsan terkena sampokan tangannya! Melihat ini, Ouwyang Lam terjun ke air. Cui Sian sudah gelagapan dan menelan air, tentu saja bukan lawan Ouwyang Lam yang selain berkepandaian tinggi, juga ahli bermain di air. Sebelum Cui Sian sempat mempertahankan diri, sebuah saputangan merah yang diambil pemuda itu dari saku bajunya, telah menutup mukanya. la mencium bau harum dan... tak ingat diri lagi. Ouwyang Lam menyeretnya sambil berenang dan memondongnya naik ke perahu, melempar tubuh yang pingsan dan basah kuyup itu ke dalam perahu. Siu Bi mengerutkan keningnya.

   "Mau diapakan ia ini, Ouwyang-Twako?"

   Mendengar pertanyaan ini dan melihat pandang mata Siu Bi yang tajam penuh selidik, Ouwyang Lam menjadi agak gagap ketika menjawab.

   "Diapakan? Dia... eh, tentu saja ditawan. Hal ini harus dilaporkan kepada Nio-Nio. Gadis ini mencurigakan sekali, Siauw-moi (Adik Kecil). Kepandaiannya tinggi dan andaikata dia benar-benar bukan orang Kun-Lun-Pai, mengapa ia memusuhi kita? Dan mengapa pula ia berperahu di sini?"

   "Kan ia sudah bilang bahwa ia seorang pelancong..."

   Bantah Siu Bi, tidak setuju melihat gadis ini ditawan secara begitu. Ouwyang Lam tersenyum, maklum bahwa gadis ini mulai menaruh curiga. la harus berhati-hati, pikirnya.

   "Jangan kau khawatir, Moi-moi. Dia ini ditawan hanya untuk ditanyai kelak. Kalau ternyata benar dia itu hanya seorang pelancong yang iseng dan gatal tangan, tentu saja kami akan membebaskannya. Biarlah dia ditawan beberapa hari hitung-hitung membalas penghinaannya atas diri kita berdua."

   Puas hati Siu Bi dengan jawaban ini. Sambil mendayung perahu kembali ke Pulau, diam-diam Siu Bi mengagumi kecantikan gadis yang telentang di depannya. Benar-benar cantik jelita dan manis sekali. Sayang dia sombong, pikirnya, dan pernah menghinaku. Kalau tidak, hemmm, senang juga mempunyai kawan yang juga memiliki kepandaian tinggi ini. la melihat benda mengganjal di atas pinggang belakang. Dirabanya, ternyata gagang pedang. Dengan perlahan disingkapnya baju luar itu dan ditariknya Pedang itu. Sebuah Pedang pendek akan tetapi begitu Siu Bi mencabutnya dari sarung, matanya silau oleh sinar yang putih gemerlapan.

   "Wahhh, Pedang yang hebat, pusaka ampuh!"

   Seru Ouwyang Lam.

   "Moi-moi, kau benar. Pedang itu harus dirampas, kalau tidak dia bisa membikin kacau setelah siuman."

   Ucapan ini membikin muka Siu Bi makin merah. Sama sekali ia tidak mempunyai niat untuk merampas Pedang orang, hanya ingin melihat. Akan tetapi tiba-tiba ia berpikir. Pedang pusakanya sendiri ia tinggalkan kepada Jaka Lola. la tidak bersenjata.

   Tiada salahnya ia menyimpan dulu Pedang ini, dan mudah kalau segala sesuatu beres, ia kembalikan kepada yang punya. Dari pada dirampas oleh Ouwyang Lam. Ia belum percaya penuh kepada pemuda ini atau kepada "Bibi Kui Ciauw."

   

Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Memburu Iblis Karya Sriwidjono Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini