Ceritasilat Novel Online

Jaka Lola 9


Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



Dalam keadaan masih pingsan, Cui Sian dibawa ke daratan Pulau, dihadapkan kepada Ang-Hwa Nio-Nio. Nenek ini mengerutkan alisnya ketika mendengar laporan Ouwyang Lam. la memeriksa buntalan pakaian Cui Sian yang juga dibawa ke situ oleh anak buah yang menemukannya dari perahu yang terbalik. Akan tetapi isinya hanya beberapa potong pakaian dan sekantung uang emas. Tidak terdapat sesuatu yang membuka rahasia tentang diri gadis aneh itu. Ang-Hwa Nio-Nio lalu mengeluarkan sehelai saputangan berwarna biru, mengebutkan saputangan itu ke arah hidung Cui Sian, kemudian dengan saputangan itu pula ia menotok belakang leher.

   Ujung saputangan dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah, hal ini saja membuktikan kelihaian Nenek ini. Kiranya saputangan biru itu mengandung obat pemunah racun merah. Tak lama kemudian Cui Sian menggerakkan pelupuk matanya dan pada saat matanya terbuka, gadis ini sudah melompat bangun dan berada dalam keadaan siap siaga! la memandang ke sekelilingnya, melihat muda-mudi bekas lawannya tadi berada di situ bersama seorang Nenek berpakaian serba merah dan beberapa orang laki-laki setengah tua yang memakai tanda bunga merah di dada. Di pinggir berdiri pelayan-pelayan wanita. Maklum bahwa dirinya dikepung musuh, Cui Sian meraba pinggangnya. Pedangnya tidak ada! Akan tetapi gadis ini tenang-tenang saja, sama sekali tidak menjadi gentar atau gugup. la malah tersenyum mengejek dan berkata,

   "Bagus! Kiranya Ang-Hwa-Pai penuh tipu muslihat. Kalian secara curang berhasil menawan aku, mau apa?"

   Ang-Hwa Nio-Nio membentak ketus,

   "Bocah sombong, berani berlagak di depanku! Sudah diampuni jiwanya masih sombong. Kalau tadi kami turun tangan membunuhmu, kau akan bisa apa?"

   Cui Sian memandang Nenek itu, pandang matanya tajam sekali membuat si Nenek diam-diam tercengang dan menduga-duga, siapa gerangan gadis yang bernyali besar dan penuh wibawa ini.

   "Agaknya kau adalah Ketua Ang-Hwa-Pai. Nah, katakan kehendakmu. Soal mati hidup, kau membunuhku pun aku tidak takut, kau membebaskan aku pun tidak merasa berhutang budi."

   "Bocah, lebih baik larutkan keangkuhanmu ini dan lekas kau mengaku, siapa yang menyuruh kau datang memata-matai Ang-Hwa-Pai"

   Dan membikin kacau? Kalau tidak ada yang menyuruh, apa maksud kedatanganmu? Jawab sebenarnya, jangan membikin aku habis sabar. Apa hubunganmu dengan Kun-Lun-Pai?"

   "Tidak ada yang menyuruhku, Kun-Lun-Pai tiada sangkut-pautnya denganku. Aku seorang pelancong, kebetulan lewat dan pesiar di telaga, bertemu dengan dua orang Tosu Kun-Lun-Pai. Kuanggap dua orang bocah ini keterlaluan, maka aku sengaja hendak memberi hajaran. Dengan curang mereka berhasil menawan aku, terserah kalian mau apa sekarang. Mau bertanding sampai seribu jurus, hayo!"

   Kembali Ang-Hwa Nio-Nio tercengang dan diam-diam harus ia akui bahwa gadis seperti ini tentu tak boleh dipandang ringan.

   "Siapakah kau dan dari mana kau datang?"

   "Sudah kukatakan kepada dua orang bocah ini, namaku Tan Cui Sian dan aku bukan orang Kun-Lun-Pai, sungguhpun Kun-Lun-Pai merupakan partai segoiongan dengan Thai-San-Pai."

   Berubah wajah Ang-Hwa Nio-Nio.

   "Kau anak murid Thai-San-Pai? Kau... kau she Tan, apamukah Bu-Tek Kiam-Ong Tan Beng San si Kakek Ketua Thai-San-Pai?"

   "Dia Ayahku..."

   "Keparat! Kiranya kau menyerahkan nyawa anakmu kepadaku, manusia she Tan?"

   Sambil berseru keras Ang-Hwa Nio-Nio sudah menerjang maju, tangannya menghantam dan sinar merah membayang pada pukulannya ini. Cui Sian sudah siap sejak tadi. la maklum bahwa Nenek ini tentulah seorang sakti dan alangkah kecewanya bahwa ia tadi telah mengaku dan menyebut nama Ayahnya dan Thai-San-Pai. Ternyata pengakuan itu hanya mendatangkan bahaya bagi dirinya karena ternyata bahwa Nenek ini kiranya adalah musuh Ayahnya.

   Ayahnya, Si Raja Pedang Tan Beng San, memang mempunyai banyak sekali musuh, terutama dari golongan hitam (baca cerita Raja Pedang dan Rajawali Emas). Setelah terlanjur membuat pengakuan, ia sekarang harus menghadapi bahaya dengan tabah. Cui Sian bukan seorang gadis nekat seperti Siu Bi. Dia seorang yang berpemandangan luas, cerdik dan dapat melihat gelagat. Tentu saja ia maklum bahwa seorang diri, amatlah berbahaya baginya untuk menghadapi orang-orang Ang-Hwa-Pai di tempat mereka sendiri. Apalagi ia bertangan kosong, kalau ada Liong-Cu-Kiam di tangannya masih boleh diandalkan. Maka, melihat datangnya pukulan maut yang mengandung sinar merah, ia cepat miringkan tubuh dan mainkan jurus Im-yang-kun-hoat yang ia warisi dari Ayahnya. Kedua tangannya dengan pengerahan dua macam tenaga Im dan Yang, menangkis sambaran tangan Ang-Hwa Nio-Nio yang tak mungkin dapat dielakkan lagi itu.

   "Dukkk!"

   Tubuh Cui Sian terlempar sampai ke luar dari pintu ruangan, sedangkan Ketua Ang-Hwa-Pai itu kelihatan meringis kesakitan. Terlemparnya tubuh Cui Sian memang disengaja oleh gadis itu sendiri karena pertemuan tenaga mujijat itu memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri, atau setidaknya keluar dari ruangan yang sempit itu agar kalau dikeroyok, ia dapat melawan lebih leluasa di tempat yang luas di luar rumah.

   "Bocah setan, lari ke mana engkau?"

   Ang-Hwa Nio-Nio berseru, kemudian menoleh kepada Siu Bi dan Ouwyang Lam berkata.

   "Kejar, ia dan Ayahnya adalah sekutu musuh besar kita. Pendekar Buta!"

   Mendengar seruan ini, Ouwyang Lam dan Siu Bi cepat berkelebat melakukan pengejaran di belakang Ang-Hwa Nio-Nio. Juga para pembantu pengurus Ang-Hwa-Pai beramai-ramai ikut mengejar. Tentu saja Ang-Hwa Nio-Nio, Ouwyang Lam dan Siu Bi yang paling cepat gerakannya sehingga para pembantu itu tertinggal jauh.

   Ternyata Cui Sian memiliki Ginkang yang hebat, larinya cepat seperti kijang. Akan tetapi karena ia tidak mengenal tempat itu, tanpa ia ketahui ia telah lari ke daerah karang. Melihat ini, Ang-Hwa Nio-Nio dan Ouwyang Lam tertawa dan sengaja tidak mempercepat larinya, hanya mengejar dari belakang. Siu Bi merasa heran, akan tetapi segera ia melihat kenyataan dan mengetahui persoalannya. Wajahnya seketika berubah pucat. Gadis yang dikejar itu telah lari memasuki sarang ular hijau! la bergidik dan diam-diam ia merasa tidak senang. Boleh saja mendesak dan menyerang musuh, akan tetapi tidak secara pengecut dan menggunakan akal busuk. Melihat di depannya batu-batu karang yang sukar dilalui, dan tiga orang pengejarnya masih terus mengejar dari belakang, Cui Sian terpaksa berhenti, membalikkan tubuh dan tersenyum mengejek.

   "Kalian bertiga hendak mengeroyokku yang bertangan kosong? Bagus, memang benar gagah orang-orang Ang-Hwa-Pai! Setelah merampas pedang, kini mengeroyok."

   Ouwyang Lam yang tadinya tertarik sekali akan kecantikan Cui Sian kini timbul kemarahannya. la telah dibikin malu, dan sekarang tiba saat baginya untuk membalas. la memang pernah dirobohkan, akan tetapi hal itu terjadi karena dia memandang rendah dan kejadian itu hanya dapat dialami secara tidak tersangka-sangka. Sekarang mereka berhadapan dan dapat mengandalkan ilmu kepandaian mereka. la tidak percaya bahwa dia takkan dapat menangkan seorang gadis! Mendengar ejekan ini dia berkata,

   "Nio-Nio, biarkan aku menghadapi gadis sombong ini!"

   La melompat maju dan dengan nada suara mengejek pula dia menjawab Cui Sian.

   "Perempuan sombong. kau kira di dunia ini tidak ada yang dapat mengalahkanmu? Kau bertangan kosong? Lihat, aku pun akan menghadapimu dengan tangan kosong, kau kira aku tidak berani? Akan tetapi kalau nanti kau tidak berlutut dan minta-minta ampun tujuh kali kepadaku, aku takkan melepaskanmu!"

   Cui Sian menggigit Bibirnya saking gemas dan marahnya. Baginya, ucapan ini pun mengandung arti yang kotor dan menghina. Tak sudi ia banyak cakap lagi, tubuhnya segera menerjang maju dengan seruan nyaring.

   "Lihat pukulan!"

   Seruan begini adalah lazim dilakukan oleh Pendekar-Pendekar yang pantang menyerang orang tanpa peringatan lebih dulu, berbeda dengan sifat rendah tokoh-tokoh dunia hitam yang selalu menyerang secara sembunyi, malah mempergunakan kesempatan selagi lawan lengah untuk merobohkan lawan itu. Ouwyang Lam cepat mengelak dan sambaran angin pukulan gadis ini cukup meyakinkan hatinya bahwa dia tidak boleh main-main menghadapinya. Maka dia pun lalu cepat menggerakkan kaki tangan, mainkan Ilmu Silat Bintang Terbang sambil mengerahkan tenaga Ang-Tok-Ciang sehingga dari kedua tangannya itu menyambar-nyambar sinar merah karena hawa beracun Ang-Tok sudah memenuhi pukulan-pukulan itu.

   Akan tetapi, Cui Sian bukanlah gadis sembarangan. la puteri Raja Pedang dan Ketua Thai-San-Pai yang sakti, yang semenjak kecil telah menggemblengnya dengan ilmu-ilmu kesaktian. Raja Pedang cukup mengenal ilmu-ilmu dari dunia hitam, maka pengertiannya tentang ini ia turunkan kepada puterinya semua sehingga kini, menghadapi pukulan-pukulan yang mengandung hawa beracun bersinar merah, Cui Sian sama sekali tidak menjadi gentar. Kalau tadi ia dapat ditangkap, hal itu adalah karena ia tidak pandai berenang. Sekarang, sama-sama menggunakan tangan kosong, jangan harap Ouwyang Lam akan dapat mengatasinya. Dengan jurus-jurus Im-yang-sin-kun yang luar biasa, Cui Sian dapat menolak semua terjangan lawan, bahkan mulai mendesak dengan hebat. Ouwyang Lam terkejut setengah mati.

   Selama ia menjadi murid dan kekasih Ang-Hwa Nio-Nio dan telah mewarisi ilmu kesaktian wanita ini, belum pernah ia menemui tanding yang begini hebat selain Siu Bi. la menjadi bingung oleh gerakan Cui Sian yang mengandung dua unsur tenaga yang berlawanan itu. Di suatu saat, pukulan Cui Sian bersifat keras, di lain detik merupakan pukulan lunak tapi berbahaya. Memang di sini letak kehebatan Im-yang-sin-kun, ilmu silat yang berbeda dengan ilmu silat lain. Ilmu-ilmu yang lain hanya mempunyai satu sifat, lembek atau keras, kalau lembek mengandalkan tenaga Lweekang, kalau keras mengandalkan Gwakang. Akan tetapi gadis cantik ini mencampur-aduk Lweekang dan Gwakang, mencampur aduk hawa Im dan Yang dalam terjangannya, pencampuradukan yang amat rapi karena memang menurut Ilmu Sakti Im-yang-sin-kun yang ia warisi dari Ayahnya.

   Setelah lewat lima puluh jurus, Ouwyang Lam tidak kuat lagi. Hendak mencabut pedangnya, dia merasa malu karena di situ terdapat Siu Bi yang ikut menonton. Masa melawan seorang gadis, setelah dia menyombong tadi, sama-sama dengan tangan kosong dia harus mencabut pedang? Memalukan sekali, lebih memalukan daripada kalau dia kalah dalam pertandingan ini. la mengerahkan tenaga mengumpulkan semangat dan menerjang dengan buas. Kini dia menggunakan jurus Bintang Terbang Terjang Bulan, tubuhnya melayang ke depan, kedua tangannya mencengkeram ke arah dada dan leher. Serangan hebat yang mematikan! Seketika wajah Cui Sian menjadi merah. Di samping kehebatannya, serangan ini pun tidak sopan. la membiarkan kedua tangan lawan itu menyambar dekat, memperlihatkan sikap gugup dan bingung. Ouwyang Lam girang sekali, akan berhasil agaknya dia kali ini.

   "Awas...!!"

   Ang-Hwa Nio-Nio berseru dan melompat ke depan.

   Terlambat sudah, tubuh Ouwyang Lam terbanting dari samping dan pemuda ini roboh bergulingan di atas tanah berbatu yang keras! Kiranya tadi sikap gugup dan bingung Cui Sian hanya merupakan pancingan belaka membiarkan lawan menjadi girang berbesar hati dan karenanya lemah kedudukannya. Secepat kilat Cui Sian membuang diri ke kiri, hanya tubuh bagian atas saja yang meliuk ke kiri, sebatas lutut ke atas, namun kedua kakinya masih memasang kuda-kuda yang Kokoh kuat. Gerakan yang amat indah. Ketika kedua tangan Ouwyang Lam sudah menyambar lewat, Cui Sian menghantam dengan sampokan kedua lengannya dari samping, jari-jari tangannya terbuka dan kedua tangannya yang mengandung dua macam tenaga, yang kiri menghentak dengan tenaga Im sedangkan yang kanan mendorong dengan tenaga Yang.

   Tak kuat Ouwyang Lam mempertahankan diri dari serangan balasan yang mendadak dan tak terduga-duga ini sehingga dia terbanting cukup hebat. Untung baginya bahwa pada saat itu, Ang-Hwa Nio-Nio sudah melompat datang dan menerjang Cui Sian tanpa banyak cakap lagi. Kalau tidak demikian halnya, dalam keadaan terbanting dan kepalanya masih pening tadi, dengan amat mudah Cui Sia? akan dapat menyusul serangan berikutnya yang membahayakan keselamatannya. Ouwyang Lam bangun dengan muka merah. Hatinya panas mendongkol, apalagi ketika dia menoleh ke arah Siu Bi dilihatnya gadis itu memandang ke arah Cui Sian dengan sinar mata penuh kekaguman. la merasa malu di depan Siu Bi. Terang bahwa dalam pertandingan tangan kosong tadi, dia kalah oleh gadis lihai puteri Raja Pedang ini.

   Dalam marahnya, ingin dia mencabut Pedang dan menyerang lagi bekas lawannya, biarpun Cui Sian pada saat itu sedang bertanding melawan Ang-Hwa Nio-Nio dengan hebatnya. Akan tetapi kehadiran Siu Bi di situ membuat Ouwyang Lam terpaksa menahan sabar dan tidak ada muka untuk melakukan pengeroyokan. Sementara itu, pertandingan antara Cui Sian dan Ang-Hwa Nio-Nio sudah berlangsung dengan hebatnya. Dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ouwyang Lam, tentu saja Ang-Hwa Nio-Nio jauh lebih tinggi. Cui Sian maklum dan merasai hal ini, namun gadis perkasa ini mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan ilmu kesaktian Im-yang-sin-kun sehingga biarpun ia tidak mampu melakukan desakan macam tadi terhadap Ketua Ang-Hwa-Pai ini, namun pertahanannya Kokoh kuat laksana benteng baja.

   Seperti juga Ouwyang Lam, Ketua Ang-Hwa-Pai ini merasa malu untuk mempergunakan senjatanya, bukan malu terhadap lawan, melainkan tak enak hati terhadap Siu Bi yang dianggap sebagai tamu dan orang luar. Kalau tidak ada Siu Bi di situ, sudah tentu Cui Sian sejak tadi dikeroyok dan tak mungkin gadis perkasa itu dapat menyelamatkan dirinya. Di samping ini, juga Ang-Hwa Nio-Nio merasa penasaran sekali. Ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang tinggi, malah ia sudah mematangkan kepandaiannya sehingga ia berpendapat bahwa tingkatnya sekarang tidak berbeda jauh dengan tingkat musuh besarnya, Pendekar Buta. Akan tetapi mengapa menghadapi seorang gadis muda saja ia tidak mampu mendesaknya? Memang ia telah tahu akan kesaktian Raja Pedang,

   Akan tetapi puterinya ini baru dua puluh usianya betapapun juga baru berlatih belasan tahun, bagaimana dapat menahan dia yang telah melatih diri puluhan tahun? Inilah yang membuat hatinya penasaran dan ia menguras semua ilmunya untuk memecahkan pertahanan Cui Sian. Namun, Im-yang-sin-kun adalah ilmu yang bersumber kepada Im-yang-bu tek-cin-keng, merupakan Rajanya ilmu silat dan telah mencakup inti sari dari semua gerakan silat. Ilmu silat yang dimiliki Pendekar Buta sendiri pun bersumber pada ilmu silat ini, demikian pula ilmu-ilmu silat dari semua partai bersih. Andaikata masa latihan Cui Sian sedemikian lamanya seperti Ang-Hwa Nio-Nio, jangan harap Ketua Ang-Hwa-Pai itu akan dapat menang. Sekarang pun, karena kalah matang dalam latihan, biar tak dapat mendesak lawan, namun Cui Sian masih dapat mempertahankan diri dengan baik.

   Memang kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan kalah juga karena terus-menerus mempertahankan diri tanpa mampu membalas, akan tetapi akan memakan waktu lama sekali. Siu Bi menonton pertempuran Itu dengan hati tegang. Matanya yang sudah terlatih akan ilmu-ilmu silat tinggi dapat membedakan sifat kepandaian dua orang yang sedang bertanding itu. Terjangan-terjangan Ang-Hwa Nio-Nio bersifat ganas dan kasar, didorong oleh hawa pukulan bersinar merah yang menyelubungi seluruh tubuh berpakaian merah itu. Sebaliknya, Cui Sian bersilat dengan gerakan yang sifatnya tenang dan Kokoh kuat, indah dalam setiap gerakan dan hawa pukulan dari kedua tangannya mengandung sinar jernih tak berwarna namun cukup kuat sehingga menolak bayangan sinar merah lawan. Saking tegang dan memandang penuh perhatian, Siu Bi tidak melihat lagi kepada Ouwyang Lam.

   Pemuda ini diam-diam mengeluarkan sebungkus bubuk berwarna putih, menyebarkannya di sekeliling tempat mereka, kemudian memberi tanda kepada para anak buah Ang-Hwa-Pai. Tak lama kemudian terdengarlah suara melengking tinggi seperti suling, tiada putus-putusnya datang dari empat penjuru. Beberapa menit kemudian, Siu Bi mengeluarkan seruan kaget. Beratus ekor ular mendesis-desis dan bergerak cepat dari semua jurusan, menuju ke pertempuran itu. Seekor ular hijau yang besar dan panjang, paling cepat sampai di situ dan serta merta binatang ini mengangkat kepala dan meloncat dengan mulut terbuka ke arah Cui Sian! Gadis sakti ini pun sudah melihat adanya ular-ular hijau yang

   (Lanjut ke Jilid 09)

   Jaka Lola (Seri ke 04 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09

   datang menyerbu, maka begitu mendengar desis keras dari arah kiri, cepat ia melangkah mundur dan tangan kirinya dengan jarit, terbuka menyabet miring, tepat mengenai"

   Leher ular,

   "Trakkk!!"

   Ular sebesar pangkal lengan itu terpukul keras sehingga terlepas sambungan tulangnya, tak berdaya lagi, terbanting dan hanya ekornya saja yang masih menggeliat-geliat, kepalanya tak dapat digerakkan lagi! Akan tetapi, Cui Sian harus menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan karena pada saat ia menghadapi penyerangan ular tadi, Ang-Hwa Nio-Nio sudah melakukan serangan hebat sekali yang amat berbahaya. Segulung sinar merah menerjang ke arah dada dan lehernya, dan ternyata Ang-Hwa Nio-Nio sudah mencabut pedangnya dan menyerangnya pada saat gadis itu tidak kuat kedudukannya.

   Hanya dengan cara membuang diri ke belakang dan bergulingan inilah Cui Sian dapat menyelamatkan diri. la cepat melompat bangun dan wajahnya merah sepasang matanya berapi-api saking marahnya. Biarpun lawan sudah memegang Pedang dan di sekelilingnya sudah berkumpul ular-ular hijau, namun dara perkasa ini sama sekali tidak menjadi gentar! la maklum bahwa tak mungkin melarikan diri setelah ular-ular itu mendatangi dari segala jurusan, jalan lari selain terhalang ular-ular berbisa dan gunung-gunungan batu karang, juga di bagian lain berdiri Ang-Hwa Nio-Nio dap anak buahnya yang amat banyak. Cui Sian maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, dan besar kemungkinan ia akan tewas di sini, namun ia mengambil keputusan untuk melawan dengan nekat dan sampai titik darah terakhir, tewas sebagaimana layaknya puteri Pendekar besar dan Ketua Thai-San-Pai!

   "Ang-Hwa-Pai tak tahu malu! Mengandalkan pengeroyokan dan bantuan ular-ular berbisa! Ang-Hwa Nio-Nio, majulah, jangan kira aku takut menghadapi kecuranganmu!"

   Ang-Hwa Nio-Nio merasa penasaran, malu dan marah sekali. Memang amat memalukan kalau ia tidak mampu mengalahkan gadis ini, gadis muda tak bersenjata, dan ia masih dibantu ular-ularnya. Benar-benar sekali ini kalau ia tidak mampu membunuh Cui Sian, akan rusak nama besarnya.

   "Iblis cilik, siaplah untuk mampus!""

   "Nanti dulu, Nio-Nio!"

   Tiba-tiba Siu Bi berseru dan melompat ke depan. Ang-Hwa Nio-Nio kaget dan heran, lebih-lebih herannya ketika Siu Bi berkata lantang,

   "Aku tidak suka melihat ini! Aku pun benci dia karena dia adalah sahabat baik Pendekar Buta musuh besarku, akan tetapi aku tidak suka melihat pertandingan yang berat sebelah ini. Ang-Hwa Nio-Nio, karena aku dan kau bersahabat, aku tidak mau sahabatku melakukan hal yang tidak pantas. Dia ini boleh saja dibunuh, tapi sedikitnya harus memberi kesempatan melawan, itulah haknya. Ayah... Ayahku selain menekankan bahwa dalam keadaan bagaimanapun juga, aku harus bersikap gagah dan sama sekali tidak boleh curang. Heee, Cui Sian, ini pedangmu, kukembalikan. Sebelum mampus, kau boleh melawan dan jangan bilang bahwa aku menyernbunyikan pedangmu. Tapi berjanjilah, kalau nanti kau sudah mati, relakan pedangmu ini menjadi milikku!"

   Sambil berkata demikian Siu Bi melemparkan Liong-Cu-Kiam kepada Cui Sian. Sejenak Cui Sian tertegun sambil memegangi Liong-Cu-Kiam di tangannya. Tentu saja hatinya menjadi sebesar Gunung Thai-San sendiri setelah Pedang pusakanya kembali di tangannya. Akan tetapi dia menjadi terheran-heran melihat sikap dan mendengar kata-kata gadis cilik itu. Tahulah dia bahwa gadis cilik itu sama sekali bukan anak buah Ang-Hwa-Pai! Seorang tamu agaknya, dan tentu gadis cilik yang juga lihai itu anak seorang tokoh hitam pula. la tersenyum dan menatap mesra ke arah Siu Bi.

   "Adik manis, kau adalah batu kumala terbenam lumpur, biar sekelilingmu kotor kau tetap cemerlang! Tentu saja, aku berjanji, rohku akan rela kalau setelah aku mati, Pedang ini menjadi milikmu. Tapi sayangnya, aku takkan mati, Adik manis. Dan kelak akan tiba saatnya aku membalas kebaikanmu ini!"

   Sementara itu, Ang-Hwa Nio-Nio marah sekali.

   "Siu Bi, kau... kau lancang dan tolol!"

   Setelah berkata demikian Ketua Ang-Hwa-Pai ini menerjang dengan pedangnya.

   Sinar merah berkelebat ketika pedangnya, Pedang pusaka ampuh yang sudah direndam racun kembang merah dan diberi nama sesuai pula, yaitu Ang-hwa-kiam, digerakkan menusuk ke depan. Pada saat yang sama, empat ekor ular juga sudah menerjang dari belakang, menggigit ke arah kaki Cui Sian. Akan tetapi, setelah kini Liong-Cu-Kiam berada di tangannya, Cui Sian seakan-akan menjadi seekor harimau betina yang tumbuh sayap. Sinar putih berkilat-kilat menyilaukan mata ketika Liong-Cu-Kiam di tangannya beraksi. Pedang pusaka ampuh ini sudah menangkis Ang-hwa-kiam dan tenaga benturan itu ia manfaatkan dengan cara mengayun Pedang ke belakang sambil mengubah kedudukan kaki dari kuda-kuda melintang menjadi kuda-kuda membujur. Tenaga benturan membuat Liong-Cu-Kiam bergerak cepat mengeluarkan suara.

   "Cring!"

   Dan... empat ekor ular yang menyerang dari belakang tubuhnya itu telah terbabat buntung menjadi delapan potong!

   "Hebat...!"

   Siu Bi terbengong-bengong kagum tiada habisnya. Indah sekali gerakan itu dan ia maklum bahwa dengan Pedang pusaka di tangannya, Cui Sian benar-benar merupakan lawan berat dan ia sendiri masih sangsi apakah ia dengan Cui-Beng Kiam akan dapat mengimbangi kesaktian nona cantik langsing ini.

   "Kenapa kau membantunya...?"

   Siu Bi menengok dan alisnya berkerut melihat bahwa yang mengeluarkan pertanyaan dengan suara ketus itu bukan lain adalah Ouwyang Lam. Pemuda itu berdiri dengan Pedang terhunus, sikapnya mengancam, Siu Bi mengedikkan kepalanya.

   "Siapa membantunya? Aku tidak sudi membantu sahabat baik musuh besarku, akan tetapi aku pun tidak sudi membantu kecurangan, biarpun yang curang adalah teman sendiri. Kau mau apa?"

   "Mari kita keroyok dia. Dia lihai sekali dan kalau sampai dia terlepas, tentu hanya akan menimbulkan kesulitan di belakang hari."

   "Kau mau keroyok, terserah. Twako, apakah kau tidak malu? Lihat, Ketua Ang-Hwa-Pai sudah melawannya dengan bantuan ular-ular mengerikan itu. Hal itu saja sudah tidak adil, masa kau mau ajak aku mengeroyok lagi? Aku tidak sudi mengambil kemenangan secara rendah begitu!"

   "Tapi, Moi-moi, dia itu musuh kita. Ayahnya adalah Ketua Thai-San-Pai, bukan saja sahabat baik Pendekar Buta, malah masih terhitung Gurunya!"

   "Ahhh..."

   Ouwyang Lam mengira bahwa seruan ini menyatakan perubahan di hati Siu Bi. Akan tetapi sebetulnya bukan demikian, Siu Bi terkejut memang, akan tetapi la terkejut karena teringat bahwa gadis itu saja sudah begitu lihai, apalagi Pendekar Buta!

   "Lihat, Moi-moi, dia begitu lihai. Kalau kita tidak turun tangan, bisa berbahaya!"

   Setelah berkata demikian, Ouwyang Lam dengan Pedang terhunus lalu menerjang ke medan pertempuran. Ia telah menyebar bubuk anti ular pada sepatu dan celananya sehingga seperti halnya Ang-Hwa Nio-Nio, dia takkan diganggu lagi oleh ular-ular itu. Memang Cui Sian hebat sekali setelah Liong-Cu-Kiam berada di tangannya. Boleh jadi dalam hal keuletan, pengalaman, dan keahlian, ia masih belum dapat menandingi Ang-Hwa Nio-Nio. Akan tetapi biarpun belum matang betul karena usianya masih muda, namun ilmu Pedang yang ia mainkan adalah Raja sekalian ilmu Pedang yaitu Im-Yang Sin-Kiam.

   Ilmu Pedang inilah yang dahulu membuat Ayahnya, Si Raja Pedang Tan Beng San, menjagoi di dunia persilatan dan membuat Raja Pedang itu berhasil mengalahkan semua lawannya yang sakti (baca cerita Raja Pedang). Kini, dengan ilmu Pedang sakti itu, ditambah lagi dengan Pedang pusaka Liong-Cu-Kiam yang amat ampuh di tangannya, Cui Sian benar-benar merupakan seorang lawan yang sukar dikalahkan. Betapapun juga, keroyokan ular-ular itu membuat Cui Sian repot. Menghadapi Ang-Hwa Nio-Nio saja ia sudah mengerahkan seluruh perhatiannya karena memang wanita itu amat ganas dan berbahaya, apalagi sekarang dibantu oleh Ouwyang Lam yang tidak rendah kepandaiannya. Maka sambaran ular-ular dari belakang dan kanan kiri, benar-benar membuat ia sibuk sekali dan ngeri. la maklum bahwa sekali saja tergigit ular hijau, nyawanya takkan tertolong lagi.

   Sudah puluhan ekor ular terbabat mati oleh pedangnya, dan bangkai ular itu bertumpuk dan berserakan di sekelilingnya, menyiarkan bau yang amis dan memuakkan, bau yang mengandung racun pula. Cui Sian terkejut dan berusaha sedapat mungkin untuk menahan nafas mengerahkan Sinkang melawan bau yang memuakkan itu. Akan tetapi karena di lain pihak ia diserang hebat oleh Ang-Hwa Nio-Nio dan Ouwyang Lam dan diancam pula semburan ular-ular beracun, berkali-kali perhatiannya terpecah dan tanpa sengaja ia menyedot dan terserang bau amis itu. Kepalanya mulai pening, pandang matanya berputaran. Pedangnya masih ia gerakkan dengan cepat, diputar-putar melindungi tubuhnya, akan tetapi karena matanya makin lama makin gelap, akhirnya ia terkena tusukan ujung Pedang Ouwyang Lam yang melukai pundaknya.

   Dengan hati merasa muak Siu Bi memandang dan hatinya merasa ngeri juga karena sebentar lagi ia akan menyaksikan gadis perkasa itu roboh mandi darah dan dikeroyok ular-ular hijau. Untuk menolong, ia tidak sudi karena bukankah gadis perkasa itu masih sahabat bahkan saudara seperguruan dengan musuh besarnya? la harus membenci gadis itu, biarpun perasaan hatinya tak memungkinkannya menaruh rasa itu, bahkan ada rasa kagum di lubuk hatinya. Namun, ia harus membenci semua yang "Berbau"

   Pendekar Buta! Betapapun juga, rasa bencinya yang dipaksakan ini tidak melebihi rasa tidak senangnya kepada Ang-Hwa Nio-Nio dan Ouwyang Lam yang dianggapnya berjiwa pengecut dan curang, sama sekali tidak mempunyai sifat-sifat gagah sedikit pun juga.

   "Tranggg!! Tranggg!!"

   Bunga api berpijar dan Ang-Hwa Nio-Nio, juga Ouwyang Lam, melompat ke belakang, kaget sekali karena Pedang mereka tersambar sinar hitam, telapak tangan mereka menjadi sakit dan hampir mereka terpaksa melepaskan pedang. Sinar hitam masih berkelebatan dan matilah ular-ular yang berada di sekeliling Cui Sian dalam jarak dua meter! Siu Bi melompat kaget ketika melihat laki-laki yang memegang Pedang bersinar hitam itu. Itulah pedangnya dan laki-laki itu bukan lain adalah Yo Wan!

   "Kau...?!?"

   Serunya, kaget dan heran. Yo Wan cepat merangkul pundak Cui Sian yang terhuyung dan tak ingat diri dengan Liong-Cu-Kiam masih tergenggam erat-erat. Kemudian Yo Wan menoleh ke arah Siu Bi, tersenyum getir dan melemparkan Cui-Beng Kiam.

   "Nona, ini pedangmu kukembalikan. Terimalah!"

   Pedang itu melayang dengan gagang di depan ke arah Siu Bi yang menangkapnya dengan mudah. Mata gadis ini terbelalak memandang. Entah bagaimana ia sendiri tidak tahu, melihat Yo Wan memondong tubuh Cui Sian yang pingsan itu dan melangkah pergi dengan cepat, hatinya menjadi panas dan marah! Sementara itu, Ang-Hwa Nio-Nio dan Ouwyang Lam sejenak tercengang. Heran mereka mengapa hari ini, setelah Siu Bi muncul pula orang-orang muda yang amat lihai, padahal orang-orang muda ini sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw. Namun, melihat betapa pemuda sederhana berpakaian putih itu memondong tubuh Cui Sian yang pingsan, Ang-Hwa Nio-Nio dan Ouwyang Lam menjadi marah. Sambil berseru keras Ang-Hwa Nio-Nio melompat diikuti oleh Ouwyang Lam.

   "Jahanam, jangan harap dapat keluar dari Ching-Coa-To dalam keadaan bernyawa!"

   Seru Ang-Hwa Nio-Nio. Tangannya bergerak dan sinar kemerahan meluncur ke arah punggung Yo Wan. Itulah Ang-Tok-Ciam (Jarum Racun Merah) yang ampuh serta jahatnya tidak kalah dengan Ching-Tok-Ciam (Jarum Racun Hijau) yang dahulu dimiliki oleh majikan Pulau itu.

   Kedua-duanya memang merupakan senjata rahasia yang ampuh dan sekali menyentuh kulit dan menimbulkan luka, korban itu takkan tertolong lagi nyawanya. Akan tetapi, tentu saja Ang-Hwa Nio-Nio lebih lihai dalam penggunaan senjata halus ini karena memang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada mendiang Ching-Toanio, maka pelepasan jarum-jarum itu amat berbahaya. Bagi si penyambit dan orang lain, agaknya jarum-jarum yang sudah berubah menjadi segulung sinar merah itu pasti akan mengenai punggung Yo Wan yang lari memondong tubuh Cui Sian. Akan tetapi, aneh bin ajaib akan tetapi nyata terjadi, pemuda itu masih berlari-lari dan jarum-jarum itu melayang ke depan, hilang di antara pepohonan, sama sekali tidak menyentuh baju Yo Wan!

   Hal ini sebetulnya tidaklah mengherankan oleh karena dalam larinya, Yo Wan yang selalu berhati-hati, apalagi maklum bahwa dia dikejar orang-orang pandai, telah menggunakan, langkah ajaib Si-Cap-It Sin-Po. Tentu saja dengan langkah-langkah ajaib ini, apalagi ditambah pendengarannya yang amat tajam karena terlatih sehingga dia dapat mendengar angin sambaran senjata rahasia, dengan mudah dia dapat menghindarkan serangan gelap dari belakang. Betapapun lihainya Yo Wan, dia adalah seorang asing di Pulau itu, sama sekali tidak mengenal jalan, hanya berlari dengan tujuan ke pantai telaga, maka dalam kejar-mengejar ini sebentar saja Ouwyang Lam dan Ang-Hwa Nio-Nio yang mengambil jalan memotong, dapat menyusulnya. Malah dua orang ini tahu-tahu muncul di depan menghadang larinya Yo Wan!

   Yo Wan mengeluh dalam hatinya. Tadinya dia tidak ingin bertempur, apalagi dengan tubuh gadis itu dalam pondongannya. Akan tetapi agaknya dia tidak dapat menghindarkan pertempuran kalau menghendaki selamat. Cepat dia meraih Pedang di tangan gadis itu yang biarpun dalam keadaan pingsan masih memegang erat-erat. Sekali renggut dia dapat merampas Pedang ini dan tepat di saat itu, Pedang Ang-Hwa Nio-Nio dan Pedang Ouwyang Lam sudah menyerangnya dengan ganas. Yo Wan memondong tubuh Cui Sian dengan lengan kiri, tangan kanannya memutar Pedang dan sekali bergerak dia berhasil menangkis dua Pedang lawannya. Pertempuran hebat segera terjadi dan karena tiga batang Pedang itu kesemuanya adalah pedang-pedang pusaka, maka berhamburanlah bunga api tiap kali ada Pedang beradu.

   "Uuhhh..."

   Cui Sian mengeluh meronta. Yo Wan yang memondongnya cepat melepaskan nona itu sambil menariknya ke belakang agar menjauh dari sinar Pedang dua orang pengeroyoknya.

   "Nona, kau sudah kuat betul?"

   Cui Sian adalah seorang gadis yang sudah digembleng oleh Ayah Bundanya sejak kecil. Sinkang di tubuhnya sudah amat kuat, maka pengaruh racun tadi tidak lama menguasai dirinya. Sejenak ia nanar setelah siuman, akan tetapi segera teringat akan segala pengalamannya dan seketika ia maklum bahwa pemuda yang dikeroyok oleh Ang-Hwa Nio-Nio dan Ouwyang Lam dengan menggunakan pedangnya secara aneh itu adalah penolongnya.

   "Sudah, terima kasih. Tolong kau kembalikan pedangku dan biarkan aku melawan mereka yang curang ini!"

   Yo Wan menggunakan tenaganya menangkis dan sekaligus menerjang ganas sehingga kedua orang lawannya terpaksa menghindar ke belakang. Kesempatan ini dia pergunakan untuk mengembalikan Pedang Liong-Cu-Kiam kepada pemiliknya. Cui Sian dengan hati gemas lalu memutar Pedang itu dan menerjang kedua orang lawannya.

   "Nona, tidak baik mengacau tempat orang lain lebih baik lari selagi ada kesempatan,"

   Kata Yo Wan sambil mencabut Pedang kayu dari balik jubahnya.

   Pemuda ini sebetulnya mempunyai sebatang Pedang pusaka pula yaitu Pedang pusaka pemberian isteri Pendekar Buta. Akan tetapi dia tidak pernah mempergunakan Pedang ini dan hanya mempergunakan Pedang kayu cendana yang dibuatnya sendiri di Pegunungan Himalaya. Ilmu batin yang dalam dipelajarinya dari Bhewakala dan hal ini membuat hatinya dingin terhadap pertempuran dan permusuhan, maka dia tidak akan menggunakan senjata tajam untuk menyerang orang kalau keselamatannya sudah cukup dilindungi dengan Pedang kayunya. Serangan Cui Sian yang dahsyat diterima Ouwyang Lam. Ang-hwa Nio-mo menghadapi Yo Wan yang ia tahu malah lebih lihai daripada puteri Raja Pedang itu. Bukan main kaget, heran, dan kagumnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa Pedang kayu di tangan pemuda itu dapat menahan senjata pusakanya, Ang-hwa-kiam!

   Maklumlah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan muda yang tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi, merupakan lawan yang amat berat. Adapun Ouwyang Lam yang kini menghadapi Cui Sian sendirian saja, dalam beberapa gebrakan sudah tampak terdesak hebat. Untung baginya, Cui Sian dapat menangkap kata-kata Yo Wan. Gadis ini diam-diam membenarkan bahwa tiada gunanya melanjutkan pertempuran. Biarpun ia akan dapat menangkan pemuda ini, akan tetapi tempat itu merupakan sebuah Pulau yang terkurung air, dan anak buah Ang-Hwa-Pai amat banyak. Selain ini, Pulau itu amat berbahaya dengan ular-ularnya, juga Ang-Hwa Nio-Nio dan anak buahnya pandai mempergunakan racun-racun jahat. Melanjutkan pertempuran berarti mengundang bahaya bagi diri sendiri. la pribadi tidak mempunyai urusan, apalagi permusuhan dengan orang-orang ini, apa perlunya bertempur mati-matian?

   "Kau benar, Sahabat, mari kita pergi!."

   Katanya. Yo Wan kagum dan girang. Gadis ini ternyata seorang yang berpengalaman dan berpandangan jauh, alangkah bedanya dengan Siu Bi yang tindakannya sembrono. Mereka berdua lalu melompat jauh ke belakang, lari meninggalkan gelanggang pertempuran menuju ke pantai. Ang-Hwa Nio-Nio dan Ouwyang Lam maklum bahwa mereka berdua takkan mampu menangkan dua orang itu, maka mereka tidak mengejar. Ang-Hwa Nio-Nio dengan muka keruh memberi tanda rahasia dengan suitan nyaring kepada anak buahnya menghalangi kedua orang musuh itu, dan berusaha menangkap mereka dalam air.

   Akan tetapi, Yo Wan dan Cul Sian sudah melompat ke sebuah perahu kecil dan begitu mereka menggerakkan dayung di kanan kiri perahu, tak mungkin ada anak buah Ang-Hwa-Pai yang akan mampu mengejar mereka. Perahu itu meluncur dengan kecepatan luar biasa karena digerakkan oleh tangan-tangan saktl, maka gagallah harapan terakhir Ang-Hwa Nio-Nio untuk menangkap mereka dengan cara menggulingkan perahu. Ketika kedua orang ini kembali ke tengah Pulau, ternyata Siu Bi sudah lenyap, tidak berada di situ lagi. Ouwyang Lam kelabakan dan mencari-cari, memanggil-manggil, namun gadis yang dicarinya tidak ada, karena memang dalam keributan tadi, diam-diam Siu Bi sudah lari meninggalkan Pulau itu. Setelah kedua orang muda pelarian itu melompat ke darat dengan selamat, barulah Cui Sian sempat berhadapan dengan Yo Wan. Gadis ini dengan perasaan kagum lalu menjura memberi hormat yang dibalas cepat-cepat oleh Yo Wan.

   "Hari ini saya, Tan Cui Sian, menerima bantuan yang amat berharga dari sahabat yang gagah perkasa. Saya amat berterima kasih dan bolehkah saya mengetahui nama dan julukan sahabat yang mulia?"

   Akan tetapi orang yang ditanya membelalakkan kedua matanya, lalu menatap wajah Cui Sian penuh selidik, kadang-kadang kepala pemuda itu miring ke kanan kadang-kadang ke kiri wajahnya membayangkam keheranan dan kegirangan yang besar. Cui Sian mengerutkan alisnya, dan kecewalah hatinya. Apakah pemuda yang tadinya ia anggap luar biasa, gagah perkasa dan sederhana ini sebenarnya seorang laki-laki yang kurang ajar? Kedua pipinya mulai merah, pandang matanya yang penuh kagum dan hormat mulai berapi-api. Akan tetapi semua ini buyar seketika berubah menjadi keheranan ketika pemuda itu tertawa bergelak dengan amat gembira, lalu seperti orang gila hendak memegang tangannya sambil berseru,

   "Ya Tuhan...! Benar sekali, tak salah lagi... ah, kau Cui San... eh, maksudku, kau... eh, Tan-Siocia (nona Tan). Ha... ha... ha, sungguh hal yang tak tersangka-sangka sama sekali. Serasa mimpi!"

   Tentu saja, Cui Sian tidak membolehkan tangannya dipegang. la mengelak dan dengan suara ketus ia bertanya,

   "Apa artinya ini? Siapa kau dan apa kehendakmu?"

   "Ha... ha... ha, tidak aneh kalau Anda lupa, sudah lewat dua puluh tahun! Nona Tan, saya adalah Yo Wan!"

   "Yo Wan...? Yang mana... siapa...?"

   Cui Sian mengingat-ingat.

   "Wah, sudah lupa benar-benar? Saya Yo Wan, masa lupa kepada Yo Wan yang dulu pernah... Ha... ha... ha, pernah menggendongmu, bermain-main di Liong-Thouw-San bersama Kakek Sin-Eng-Cu Lui Bok?"

   Tiba-tiba wajah yang ayu itu berseri, matanya bersinar-sinar dan kini Cui Sian yang melangkah maju dan memegang kedua tangan pemuda itu,

   "Yo Wan!! Tentu saja aku ingat...! Yo Wan, kau... kau Yo Wan? Ah, siapa duga..."

   Sejenak jari-jari tangannya menggenggam tangan pemuda itu, tapi segera dilepasnya kembali dan kedua pipinya menjadi merah.

   "Ah... eh, sungguh tidak sangka... siapa kira kau sendiri yang akan menolongku? Tentu saja aku tak dapat mengenalmu, kau sekarang menjadi begini... begini, gagah perkasa dan lihai. Benar-benar aku kagum sekali!"

   Wajah Yo Wan juga menjadi merah karena jengah dan malu, biarpun hatinya berdebar girang dengan pujian itu.

   "Kaulah yang hebat, Nona... tidak mengecewakan kau menjadi puteri Raja Pedang Tan Lo-Cianpwe Ketua Thai-San-Pai"

   "Yo Wan, di antara kita tak perlu pujian-pujian kosong itu, dan apa artinya kau menyebut nona kepadaku? Namaku Cui Sian, kau tahu akan ini. Aku mendengar dari Ayah bahwa Pendekar Buta hanya mempunyai seorang murid yaitu engkau, akan tetapi mengapa gerakan pedangmu tadi... serasa asing bagiku?"

   Yo Wan menarik nafas panjang,

   
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Memang sebetulnyalah, aku murid Suhu Kwa Kun Hong, akan tetapi... aneh memang, aku menerima pelajaran ilmu dari orang lain, yaitu dari mendiang Sin-Eng-Cu Lo-Cianpwe dan mendiang Bhewakala Lo-Cianpwe."

   Sejenak kedua orang muda ini berdiri saling pandang. Yo Wan kagum, sama sekall tidak mengira bahwa bocah perempuan yang dahulu itu, yang sering digodanya akan tetapi juga sering dia ajak bermain-main di Pegunungan Liong-Thouw-San, dia carikan kembang atau dia tangkapkan kupu-kupu, pernah ketika jatuh dia gendong di belakang, bocah yang dulu itu sekarang telah menjadi seorang gadis yang begini hebat. Berkepandaian tinggi, berpandangan luas, bersikap gagah perkasa, wajahnya cantik sekali, bentuk tubuhnya langsing dan luwes. Pendeknya, seorang dara yang hebat.

   Cui Sian segera menundukkan muka. Kedua pipinya makin merah, jantungnya berdegupan secara aneh. Mengapa dadanya bergelora, jalan darahnya berdenyar dan kepalanya menjadi pening? Mengapa ia yang tadinya berani menghadapi siapapun juga dengan hati terbuka, tabah dan tidak pemalu, sekarang tiba-tiba merasa amat canggung dan malu kepada pemuda ini, yang sama sekali bukanlah seorang asing baginya? Benar-benar ia merasa bingung dan tidak mengerti. Belum pernah Cui Sian merasakan hal seperti ini. Biasanya ia amat pandai membawa diri, pandai bicara dan tidak canggung biarpun berhadapan dengan siapapun juga. Akan tetapi sekarang, berhadapan dengan Yo Wan yang kini telah berubah menjadi seorang laki-laki yang berpakaian sederhana, wajah yang membayangkan kematangan jiwa, dengan kepandaian yang sudah terbukti amat tinggi, ia benar-benar kehilangan akal!

   "Non... eh, adik Cui Sian. Bagaimanakah kau bisa tersesat ke Pulau yang menjadi sarang orang-orang jahat berbahaya itu? Bukankah kau masih tetap tinggal di Thai-San bersama orang tuamu?"

   Di dalam hatinya Yo Wan menghitung-hitung dan dapat menduga bahwa usia Cui Sian tentu sekitar dua puluh tiga tahun dan dalam usia sedemikian, sudah semestinya kalau puteri Ketua Thai-San-Pai ini telah menjadi isteri orang. Mungkin suaminya tinggal tak jauh dari tempat ini, pikirnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani bertanya secara langsung dan karenanya dia bertanya dengan cara memutar. Cui Sian amat cerdik. la setengah dapat menduga isi hati Yo Wan, maka cepat-cepat ia menjawab,

   "Aku masih tinggal dengan Ayah Bundaku di Thai-San dan saat ini... aku memang sedang merantau, turun gunung. Kebetulan aku bertemu di telaga ini dengan dua orang Tosu Kun-Lun-Pai dihina orang-orang Ang-Hwa-Pai. Karena Kun-Lun-Pai adalah sebuah partai besar dan kenalan baik Ayahku, maka aku tidak tinggal diam dan membantu mereka. Siapa kira, dengan amat curang Ang-Hwa-Pai menawanku..."

   Selanjutnya dengan singkat ia menceritakan pengalamannya di telaga itu.

   "Baiknya seperti dari langit turunnya, muncul engkau sehingga aku terbebas dari maut. Kau sendiri, bagaimana bisa kebetulan berada di sini? Apakah tempat tinggalmu sekarang dekat-dekat sini... eh, Twako? Kau lebih tua dari padaku, sepatutnya kusebut twako, Yo-Twako!"

   Yo Wan tersenyum.

   "Memang sebaiknya begitulah, Sian-moi (adik Sian). Kau tanya tentang tempat tinggalku? Ah, aku tiada tempat tinggal, tiada sanak kadang, hidup sebatangkara dan merantau tanpa tujuan."

   "Oohhh...""

   Cui Sian menghela nafas dan hatinya berbisik.

   "La masih... sendiri, seperti aku, dia kesepian, seperti aku pula."

   Dengan kepala tunduk mendengarkan cerita Yo Wan.

   "Datangku ke Ching-Coa-To hanya kebetulan saja, gara-gara... seorang gadis yang aneh. Dia lihai, wataknya aneh, akan tetapi sebetulnya berjiwa gagah."

   Secara singkat Yo Wan bercerita tentang pertemuannya dengan Siu Bi, betapa gadis lincah galak itu karena menolong para petani yang tertindas, dimasukkan dalam tahanan, kemudian dia bantu membebaskannya.

   "Dia aneh sekali,"

   Yo Wan menutup ceritanya.

   "Tanpa sebab dia menguji kepandaian denganku, tapi kemudian setelah terdesak, ia melarikan diri, meninggalkan pedangnya. Aku mengejarnya untuk mengembalikan pedang, ternyata jejaknya membawaku ke Ching-Coa-To dan agaknya bukan dia yang membutuhkan pertolongan, melainkan kau yang sama sekali tak pernah kuduga!"

   Cui Sian mengangguk.

   "Dia memang seorang gadis gagah, sayang dia bergaul dengan orang-orang jahat dari Ang-Hwa-Pai. Betapapun juga, dia telah menolongku dengan mengembalikan pedangku ketika aku dikeroyok ular."

   "Aku pun heran sekali, sepak terjangnya gagah. Akan tetapi bagaimana dia bisa berada di sana? Ah, agaknya dia memang mempunyai hubungan dengan Ang-Hwa-Pai... sungguh tak kuduga sama sekali!"

   Wajah Yo Wan membayangkan kekecewaan besar dan diam-diam Cui Sian yang menaruh perhatian, perasaannya tertusuk. Menurut cerita Yo Wan tadi, pemuda ini baru saja bertemu dengan Siu Bi, akan tetapi agaknya telah begitu tertarik dan amat memperhatikan keadaannya. Cui Sian mencoba untuk membayangkan wajah Siu Bi. Gadis yang masih muda sekali, cantik jelita, akan tetapi memiliki sifat-sifat keras dan ganas.

   "Agaknya dia hanya seorang tamu di sana, dan sepanjang dugaanku ketika aku dikeroyok di sana, dia tidak sudi melakukan pengeroyokan biarpun mereka belum juga berhasil merobohkan aku. Ini saja menjadi tanda bahwa dia berbeda dengan orang-orang Pulau itu. Akan tetapi, jika selalu ia berdekatan dengan mereka, akhirnya ia pun mungkin akan rusak..."

   Tiba-tiba Cui Sian dan Yo Wan bergerak berbareng, melompat ke arah gerombolan pohon di sebelah kiri. Siu Bi muncul dari balik pohon, Pedang Cui-Beng Kiam di tangan, wajahnya keruh dan matanya berapi-api memandang Cui Sian yang menjadi tercengang setelah mengenal siapa orangnya yang bersembunyi di balik pohon-pohon itu. Juga Yo Wan tercengang, sama sekali tidak disangkanya bahwa Siu Bi sudah menyusul. Sebetulnya bukan menyusul, malah Siu Bi lebih dulu meninggalkan Ching-Coa-To. Ketika melihat Yo Wan menolong Cui Sian dan memondongnya pergi, hatinya menjadi panas dan tak senang. la marah-marah, dia sendiri tidak tahu marah kepada siapa, pendeknya ia marah, kepada siapa saja. Kepada Ouwyang Lam, kepada Ang-Hwa Nio-Nio dan kepada semua penghuni Ching-Coa-To.

   Diam-diam ia lalu pergi dari situ, menggunakan sebuah perahu dan mendayungnya cepat ke darat. Tidak ada seorang pun anggota Ang-Hwa-Pai melihatnya karena mereka sedang bingung dan bersiap-siap melakukan pengepungan terhadap musuh apabila diperintah. Andaikata ada yang melihatnya pun, mereka tentu takkan berani mengganggu. Bukankah gadis ini sudah menjadi "Orang sendiri"

   Dan sahabat baik Kongcu? Setibanya di darat, Siu Bi duduk termenung dan ketika ia melihat munculnya perahu yang didayung cepat oleh Cui Sian dan Yo Wan, ia cepat bersembunyi di balik pepohonan dan sempat mendengarkan percakapan mereka. Ucapan-ucapan terakhir yang menyinggung dirinya membuat ia tak dapat tenang, sehingga gerakannya segera dapat ditangkap oleh pendengaran Cui Sian dan Yo Wan yang amat tajam dan terlatih.

   "Kalian berdua adalah orang-orang tak tahu malu! Kalau memang berani, hayo kita bermain pedang, kalau perlu boleh aku kalian keroyok dua. Apa perlunya bermain mulut, menggoyang lidah tak bertulang?"

   "Eh-eh-eh, Nona. Datang-datang kau marah besar tidak karuan, ada apakah?"

   Yo Wan mengangkat kedua alisnya, bertanya. Cui Sian juga memandang heran dan diam-diam ia harus akui akan kebenaran kata-kata Yo Wan tadi betapa aneh watak dara remaja itu, dan diam-diam ia harus mengakui juga betapa cantik moleknya Siu Bi.

   "Marah-marah tidak karuan? Pandai memutarbalikkan fakta!"

   Siu Bi membentak marah sekali, pedangnya yang terhunus itu ia acung-acungkan.

   "Kalian yang mengumbar mulut jahat menggoyang lidah membicarakan orang semaunya dan tidak karuan! Hayo mau bilang apa sekarang, apakah kalian kira aku tidak mendengarkan kasak-kusuk kalian yang busuk? Apakah ini sikap orang-orang gagah, lelaki dan wanita kasak-kusuk di tempat sunyi, membicarakan orang lain?"

   Seketika wajah Cui Sian menjadi merah. Tadinya ia kagum dan suka kepada Siu Bi, apalagi dara remaja itu telah menolongnya di Ching-Coa-To. Akan tetapi ucapan yang galak ini benar-benar menyinggung hatinya, karena mengandung sindiran tentang dia berdua Yo Wan.

   "Nanti dulu, adik yang baik. Kami memang telah bicara tentang dirimu, akan tetapi bukan membicarakan hal yang buruk..."

   "Cih! Bicarakan hal buruk atau pun baik, aku melarang kalian bicara tentang diriku! Apa peduli kalian kalau aku rusak atau tidak apa sangkutannya dengan kalian apa yang kulakukan, dengan siapa aku bergaul? Huh, sekarang aku sudah rusak, nah, kalian mau apa? Puteri Raja Pedang, hayo cabut pedangmu, kita bertanding sampai selaksa jurus, yang kalah boleh mampus!"

   "Siu Bi...!"

   Dalam kagetnya Yo Wan lupa menyebut nona. la takut gadis aneh ini akan kumat (kambuh) lagi penyakitnya, tiada hujan tiada angin menantang orang bertanding.

   "Sungguh mati, Sian-moi (adik Sian) sama sekali tidak bicara buruk tentang..."

   "Diam kau Atau... kau hendak membela moi-moimu yang manis ini? Boleh, boleh, kau boleh maju sekalian mengeroyokku. Aku tidak takut!"

   Celaka, pikir Yo Wan kewalahan dan tanpa sengaja dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Melihat ini, Cui Sian menahan senyumnya. la sudah cukup berpengalaman, cukup bijaksana sehingga ia tidak terseret ke dalam gelombang kemarahan oleh sikap gadis muda yang liar ini. Akan tetapi hatinya terasa perih. Harus ia aku bahwa dalam pertemuan yang tidak terduga-duga dengan Yo Wan ini, hatinya yang selama ini tegak, kini menunduk, runtuh oleh kesederhanaan, kegagahan dan wajah Yo Wan. Akan tetapi berbareng ia pun dapat menduga bahwa pemuda yang menjatuhkan hatinya ini agaknya mencinta Siu Bi, dan kini, melihat sikap Siu Bi ia dapat menduga bahwa gadis remaja ini menjadi marah-marah seperti itu karena cemburu dan cemburu adalah sahabat cinta! Dengan suara lembut ia berkata,

   "Bertanding sih mudah, memang bermain Pedang merupakan kesenanganku. Akan tetapi, aku selamanya tidak sudi bertanding tanpa alasan tepat. Di Pulau tadi, kau tidak mau mengeroyokku, malah kau membantuku dengan mengembalikan Pedang ini. Sekarang kau menantangku, apa alasannya?"

   "Peduli apa dengan alasan. Kalau memang kau berani, hayo lawan aku!"

   "Berani sih berani, adik yang manis. Akan tetapi tanpa alasan, aku tidak mau bertempur dengan kau atau pun dengan siapa juga."

   Panas hati Siu Bi. Gadis ini demikian tenang, demikian sabar. Tentu akan kelihatan amat baik hati dalam pandang mata Yo Wan! Atau agaknya karena di depan pemuda itulah maka gadis ini bersikap begitu sabar dan tenang, biar dipuji!

   "Kau mau tahu alasannya? Karena kau puteri Raja Pedang, maka kutantang kau."

   "Itu bukan alasan, Biar Ayahku berjuluk Raja Pedang, tapi kau tidak kenal dengan Ayah, tak mungkin bermusuhan dengan Ayah, mana bisa dijadikan alasan?"

   "Aku memusuhi Ayahmu!"

   "Ihhh, kenapa?"

   "Karena Ayahmu sahabat baik, bahkan Guru Pendekar Buta!"

   "Ahhh...!"

   Yo Wan yang mengeluarkan suara ini dan makin panas hati Siu Bi. Apakah nama Pendekar Buta demikian besar dan hebat sehingga Yo Wan juga kaget mendengar ia memusuhi Pendekar Buta? Karena panasnya hati, ia melanjutkan, suaranya lantang dan ketus.

   "Aku sudah bersumpah, akan kubuntungi lengan Pendekar Buta, isterinya, dan keturunannya, dan tentu saja semua sahabat baiknya adalah musuhku. Ayahmu Raja Pedang sahabat Pendekar Buta, kau pun tentu sahabatnya, maka kau musuhku. Hayo, berani tidak? Tak sudi aku bicara lagi!"

   Wajah Yo Wan seketika menjadi pucat mendengar ini. Cui Sian maklum akan hal ini dan dapat merasakan juga pukulan hebat yang diterima pemuda itu. la maklum bahwa Pendekar Buta adalah penolong dan Guru Yo Wan yang amat dikasihi, dan agaknya baru sekarang pemuda itu mendengar kenyataan yang amat menusuk perasaan, yaitu kenyataan bahwa gadis lincah dan liar ini adalah musuh besar Pendekar Buta. Oleh karena itu, Cui Sian hanya tersenyum masam dan memberi kesempatan kepada Yo Wan untuk menguasai perasaannya yang tertikam. la tidak ingin menambah penderitaan Yo Wan dengan melayani kenekatan Siu Bi. Yo Wan segera melangkah maju setelah berhasil menekan perasaannya yang kacau balau, matanya memandang tajam kepada Siu Bi ketika dia berkata,

   "Nona, kau... kau benar-benar tersesat jauh sekali! Harap kausingkirkan jauh-jauh pikiranmu yang bukan-bukan itu, tak mungkin. Beliau adalah seorang Pendekar yang berbudi, seorang gagah perkasa dan bijaksana yang tiada duanya di dunia ini. Aku tidak percaya bahwa kau pernah dibikin sakit hati oleh Pendekar Buta. Mana mungkin kau bersumpah hendak membuntungi lengannya dan lengan keluarganya? Tak mungkin ini!"

   "Hemmm, begitukah pendapatmu? Kiranya kau berpura-pura berlaku baik terhadapku karena hendak mengubah keinginanku? Tak mungkin ini, aku sudah mempertaruhkan nyawaku. Biar Pendekar Buta seorang yang memiliki tiga buah kepala dan enam buah lengan, aku tak akan mundur setapak pun. Boleh jadi dia Pendekar besar, boleh jadi dia berbudi dan bijaksana terhadap orang lain, akan tetapi terhadap mendiang Kakek Hek Lojin, sama sekali tidak! Kakek Hek Lojin menjadi buntung lengannya oleh Pendekar Buta, karena itu, aku bersumpah hendak membalaskan sakit hati ini, aku sudah bersumpah akan membuntungi lengan..."

   "Jangan... jangan berkata begitu..."

   Yo Wan melompat dan seperti seorang gila dia menggunakan tangannya mendekap mulut Siu Bi!

   "Ahhh... aku... uppp, lepaskan. lepaskan...!"

   Siu Bi tentu saja meronta ronta, berusaha memukulkan gagang pedangnya, bahkan ia lalu membalikkan pedangnya hendak menusuk, akan tetapi Yo Wan sudah memegangi lengannya dan ia sama sekali tidak dapat melepaskan diri. Diam-diam Cui Sian menjadi terharu sekali, berseru nyaring,

   "Yo-Twako, aku pergi dulu ke Liong-Thouw-San."

   La melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. la memang seorang gadis yang luas dan tajam pikirannya, dapat menggunakan pikiran mengatasi perasaan hati. Cui Sian maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, lebih baik kalau ia pergi meninggalkan dua orang itu. Siu Bi dikuasai rasa cemburu dan tentu akan makin menggila dan menantangnya sehingga ia khawatir kalau-kalau ia akhirnya tidak kuat menahan kesabarannya.

   Juga, tak mungkin ia dapat memukul Siu Bi, pertama karena gadis liar itu pernah menolongnya, kedua kalinya karena ia tidak mempunyai permusuhan dengannya. la pernah mendengar nama Hek Lojin dari Ayah Ibunya, dan maklum bahwa Hek Lojin adalah seorang tokoh hitam yang amat jahat seperti iblis, juga berilmu tinggi. Siapa duga, gadis yang tadinya ia sangka seorang gadis gagah perkasa itu, kiranya Cucu murid Hek Lojin. Pantas demikian aneh dan liar seperti setan! Yo Wan sedang gugup, bingung, dan duka kecewa. Karena itulah maka dia hanya menyesal sebentar bahwa Cui Sian pergi dalam keadaan seperti itu. Baru setelah Siu Bi mengeluarkan suara seperti orang menangis terisak, dia sadar akan perbuatannya yang luar biasa ini. la merangkul Siu Bi, mendekap mulutnya dan memegang lengannya. Setelah sadar, dengan tersipu-sipu ia melepaskan pegangannya. Mukanya sebentar merah sebentar pucat.

   "Kau... kau... mau kurang ajaran, ya? Kau mengandalkan kepandaianmu? Karena kau sudah bisa menangkan aku, kau lalu mengira boleh berbuat sesukamu kepadaku? Kau laki-laki kurang ajar, kau laki-laki sombong, kau... kau... jangan kira aku takut, kau harus mampus...!"

   Serta merta Siu Bi menerjang dengan pedangnya. Tentu saja Yo Wan cepat mengelak dan berkata,

   "Siu Bi... eh, Nona... tunggu dulu..."

   "Tunggu apa lagi? Tunggu kau kurang ajar lagi? Kau merangkul-rangkul aku, mendekap mulutku, siapa beri ijin? Kurang ajar! kau kira aku sama seperti Cui Sian, kau kira aku akan tergila-gila kepadamu, karena kau tampan, karena kau gagah, karena kau lihai? Cih, tak bermalu!"

   Pedangnya menusuk leher dan kembali Yo Wan mengelak.

   "Sabar...!"

   La sempat berkata tapi cepat mengelak lagi karena sinar Pedang hitam itu sudah menyambar.

   "Siu Bi, jauh-jauh aku mengejarmu, di sepanjang jalan penuh gelisah setelah menemukan saputanganmu ini..."

   La mencabut sapu tangan kuning dari sakunya.

   "Kukira kau terancam bahaya maut... kiranya kau menyambutku dengan serangan nekat begini. Aku takut kau terancam bahaya, kau malah ingin aku mati..."

   "Makan ini!"

   Kembali Pedang Siu Bi menyambar, kini menyabet ke arah hidung. Cepat Yo Wan meloncat dan menggerakkan kedua kakinya dengan langkah ajaib karena penyerangan gadis itu benar-benar tak boleh dipandang rendah.

   

Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini