Ceritasilat Novel Online

Pendekar Buta 18


Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 18



"Aku bosan mendengar suara kalian, aku hendak pergi dari sini. Siapa berani melarang?"

   Katanya perlahan sambil melanjutkan langkahnya keluar. Sebatang Toya dengan kuatnya menghantam belakang kepalanya dari kanan, digerakkan oleh dua buah tangan yang bertenaga besar.

   "Blukkk!"

   Ujung Toya menghantam kepala demikian kerasnya sehingga robohlah seketika orang itu dengan kepala keluar kecap!

   Tapi bukan Kun Hong orang itu, melainkan si pemegang Toya sendiri, Ketika Toya tadi menyambar, Kun Hong melejit ke samping, tongkatnya bergerak dan dengan tenaga "Menempel"

   Tongkatnya seakan-akan menangkap Toya itu, meneruskan dengan meminjam tenaga malah ditambahhya dengan tenaga sendiri, memaksa Toya itu terayun balik dan menghantam kepala si pemegangnya sendiri! Para perwira bengong. Inilah aneh! Mana mungkin seorang perwira berkepandaian tinggi, terkenal sebagai ahli Toya di antara mereka, mempunyai jurus yang demikian aneh dan goblok sehingga Toya itu berbalik menghantam kepala sendiri? Memang bagi orang luar, nampaknya di pemegang Toya tadi seperti memukul kepala dengan Toyanya sendiri karena gerakan Kun Hong demikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata.

   Hanya sebentar saja para perwira itu bengong, segera mereka menerjang lagi, lebih marah dan penasaran lagi. Mana patut sekian banyaknya perwira pilihan dari Istana pengepung seorang pemuda buta saja sampai tidak mampu merobohkan atau menawan? Kun Hong terpaksa menggerakkan tongkatnya lagi karena tak mungkin hanya mengandalkan langkah-langkah ajaib saja menghadapi pengeroyokan dan pengepungan demikian ketat. Kembali dia mengeluh karena terpaksa dia berlaku kejam, menggunakan kepandaiannya untuk merobohkan setiap orang yang menghalang jalannya. Dia tidak mau memberi hati, tidak mau bersabar lagi karena soalnya sekarang adalah mati atau hidup.

   Kalau dia kalah, tentu dia akan mati dan kalau dia ingin hidup, dia terpaksa harus merobohkan, melukai bahkan mungkin membunuh orang! Hebat pertempuran itu. Bagaikan hujan bermacam senjata menerjang Kun Hong dari semua jurusan. Dan semua orang kaget, heran, kagum tiada habisnya. Orang buta itu seperti orang memiliki puluhan pasang mata saja, seakan-akan semua bagian tubuhnya bermata! Gerakannya aneh dan tampak lambat tapi pada hakekatnya cepat sekali, pukulan dan hantaman tongkatnya perlahan tapi pada hakekatnya amatlah kuat melihat betapa setiap benturan senjata pasti membuat senjata pengeroyok terlepas. Sudah belasan orang roboh oleh tongkat, tamparan tangan kiri, atau tendangan Kun Hong, Sedikit demi sedikit dia telah mendekati pintu.

   Biarpun belum lama dia tinggal di rumah tua ini, dia telah hafal dan sekarang tahulah dia bahwa dia sudah berada dekat dengan pintu keluar. Dia mengeluarkan suara keras, tongkatnya berkelebat dan kembali robohlah tiga orang pengeroyoknya yang menghadang di depannya. Sekali dia menggenjot tubuh, dia telah berhasil menerobos pintu dan kini dia telah berada di luar rumah. Hawa malam yang dingin segar menyambutnya setelah dia keluar dari bangunan itu. Timbul semangatnya dan dia sudah siap melompat dan mempergunakan ilmu lari cepatnya dengan untung-untungan karena kalau dia menabrak pohon atau terjerumus jurang, tentu dia akan celaka, Dia harus dapat membebaskan diri dari orang-orang itu, apalagi sekarang selain luka itu membuat dia lelah dan kaku, juga amat nyeri.

   "Kwa Kun Hong, kau hendak lari ke mana? Lebih baik menyerah dan kalau kau bersedia takluk, aku yang tanggung kau akan mendapat kedudukan besar sebagai Tabib negara!"

   Tiba-tiba terdengar suara orang dan mendengar suara ini seketika muka Kun Hong menjadi merah saking marahnya. Itulah suara The Sun!

   Munculnya The Sun ini tiba-tiba menghentikan semua pengeroyokan. Dengan telinganya Kun Hong dapat mendengar betapa para perwira yang mengepungnya tadi dan yang kini sudah mengejar sampai di luar, membuat lingkaran lebar seakan-akan memberi tempat kepadanya untuk berhadapan dengan The Sun. Depan bangunan itu memang merupakan pekarangan rumput yang luas. Kun Hong berhati-hati, tidak mau berlaku sembrono. Dia mendengar pula suara api menyala-nyala, dan dapat menduga bahwa tempat itu tentu diterangi oleh banyak obor yang dipegang oleh para pengawal dan penjaga. Dia maklum bahwa The Sun memiliki kepandaian tinggi, hal ini dapat dibuktikan tadi ketika dia menerjang The Sun, dia tidak berhasil mengenai pemuda itu, hanya dapat merampas kembali Mahkota kuno. Akan tetapi sebaliknya dia kena dicurangi dan dilukai.

   Juga dia tahu bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran di tempat yang diterangi api obor itu, menghadapi pengeroyokan orang-orang pandai sedangkan dia sudah menderita luka parah, akhirnya dia akan roboh. Hal ini tidak ada gunanya. Dia tidak takut mati, akan tetapi khawatir kalau-kalau Mahkota berikut rahasianya dirampas orang-orang ini. Yang paling penting menyelamatkan Mahkota itu lebih dulu, menyerahkan kepada orang yang dapat dipercaya, baru kemudian menghadapi The Sun dan menghajar orang ini. Pikiran ini membuat Kun Hong menahan kemarahannya mendengar kata-kata The Sun yang membujuknya supaya menyerah dengan janji diberi kedudukan mulia. Tanpa menjawab, secara cepat dan tiba-tiba dia melayang ke arah orang itu sambil menggerakkan tongkatnya yang berkelebat lenyap berubah menjadi sinar kemerahan itu.

   "Tranggggg!"

   Pedang di tangan The Sun menangkis dan bertemu dengan tongkat itu. Kun Hong merasa betapa pedang pemuda itu adalah sebuah pedang Pusaka yang ampuh sehingga tidak rusak oleh pedang di dalam tongkatnya, juga ternyata betapa tenaga The Sun amat kuat. Tergetarlah telapak tangannya ketika kedua senjata tadi bertemu. Di lain pihak, The Sun makin kagum karena pedang Pusakanya yang ampuh itu tidak mampu membikin patah tongkat si buta ini dan telapak tangannya bahkan terasa sakit.

   Siapakah sebetulnya The Sun, pemuda yang amat cerdik, juga amat lihai ini? Baiklah kita menjenguk keadaan pemuda itu. Di pegunungan Go-Bi-San terdapat banyak sekali puncak-puncak yang menjulang tinggi di angkasa. Karena keadaan pegunungan yang amat luas dan penuh rahasia alam ini, banyaklah terdapat pertapa-pertapa, orang-orang pandai dan sakti yang mengasingkan diri di sana. Malah partai Go-Bi-Pai terkenal sebagai partai persilatan besar yang mernpunyai banyak murid pandai. Akan tetapi bukan hanya Go-Bi-Pai saja yang terdapat di pegunungan itu. Banyak lagi orang-orang pandai yang tidak bergabung pada partai Go-Bi-Pai ini, diam-diam melakukan pertapaan, malah kadang-kadang mempunyai seorang dua orang murid rahasia yang tiada sangkut-pautnya dengan Go-Bi-Pai yang besar.

   The Sun adalah seorang pemuda dari Go-Bi-San. Ayahnya seorang bekas pembesar pada Pemerintahan Mongol yang melarikan diri setelah bangsa Mongol terusir oleh Ciu Goan Ciang dan para pejuang. Ayahnya yang bernama The Siu Kai adalah seorang pembesar militer yang memiliki kepandaian tinggi, dan merupakan seorang tokoh dari Go-Bi-San pula. The Sun masih kecil sekali ketika dibawa lari mengungsi oleh Ayahnya, sedangkan keluarga lain semua tewas dalam kekacauan perang. The Siu Kai yang terluka hebat ketika lari ke Go-Bi-San membawa puteranya, akhirnya dapat juga mencapai sebuah puncak di mana tinggal gurunya, yaitu seorang Tosu tua bermuka dan berkulit hitam, yang puluhan tahun bertapa di puncak itu tidak mau mencampuri urusan dunia ramai.

   Tosu tua ini karena kulitnya yang hitam disebut orang Hek Lojin (Orang Tua Hitam). Luka parah ditambah penderitaan selama melarikan diri ini tak dapat tertahan lagi oleh The Siu Kai dan dia tewas di depan kaki gurunya setelah berhasil membujuk gurunya agar supaya sudi mendidik The Sun putera tunggalnya. Demikianlah, The Sun yang masih kecil itu akhirnya dipelihara dan dididik oleh Hek Lojin, diberi pelajaran ilmu silat dan ilmu Sastera sehingga akhirnya menjadi seorang pemuda yang amat pandai, lihai dan cerdik. Makin lama Hek Lojin makin cinta kepada murid cilik ini sehingga terbangkit pula gairahnya untuk urusan duniawi, akan tetapi bukan demi dirinya sendiri, melainkan demi muridnya terkasih itulah.

   Dia sengaja membawa The Sun turun gunung ke Kota Raja, malah menyuruh muridnya ini menempuh ujian di Kota Raja sehingga berhasil memperoleh gelar Siucai. Akhirnya karena kepandaiannya, The Sun mendapat kepercayaan dari Pangeran Kian Bun Ti dan setelah pangeran ini menjadi Kaisar, The Sun tetap menjadi orang kepercayaannya, malah mendapat tugas menghimpun kekuatan, mengumpulkan orang-orang pandai untuk memperkuat kedudukan Kaisar baru ini yang maklum akan adanya ancaman-ancaman terhadap kedudukannya. Memang The Sun orang yang cerdik sekali. Dia menyebar mata-mata untuk menjaga keamanan Kota Raja, menyebar orang-orang pandai untuk menghubungi tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, malah dia berhasil mendatangkan banyak orang pandai di antaranya beberapa orang sakti yang kini sudah tinggal di Kota Raja pula.

   "Sayang, orang muda begini cerdik pandai dan lihai merendahkan diri menjadi anjing Kaisar!"

   Tak terasa lagi Kun Hong berseru ketika pemuda itu dapat menangkis tongkatnya dengan tenaga Lweekang yang mengagumkan! The Sun tertawa mengejek.

   "Kaulah yang patut disayangkan, seorang pendekar buta ahli pengobatan merendahkan diri menjadi pemberontak, mudah saja dihasut oleh para pengkhianat yang hendak memberontak terhadap pemerintah yang sah!"

   Akan tetapi Kun Hong tidak mendengarkan ejekan ini karena kembali dia sudah bergerak, kini ke kiri untuk mencari jalan ke luar. Akan tetapi angin bertiup dari arah The Sun dan kembali pedang The Sun dengan amat cepatnya telah menghadang di depannya, bahkan mengirim tusukan maut yang amat dahsyat. Pedang yang ampuh digerakkan dengan jurus-jurus ilmu pedang dari Go-Bi-San ini benar-benar luar biasa, bagi mereka yang dapat memandang tampak sinar yang berkeredepan, bagi Kun Hong terdengar bunyi berdesing-desing seperti sebuah gasing berputar cepat atau seperti kitiran angin dilanda angin kencang.

   "Hebat!"

   Dia memuji dan cepat menggerakkan tongkat. Kembali terdengar bunyi nyaring.

   "Trang-tring-trang-tring! ketika tongkat bertemu dengan pedang dan setelah saling serang bertukar tikaman dan babatan maut sampai tujuh jurus, keduanya kembali terpental ke belakang oleh benturan senjata yang amat keras. Kun Hong diam-diam mengeluh dalam hatinya. Pemuda ini benar-benar lihai. Agaknya kalau dilawan dengan Kim-Tiauw-Kun atau Ilmu Pedang Im-Yang Sin-Kiam saja, biarpun akan menang akan tetapi akan menggunakan banyak waktu karena ilmu kepandaian pemuda itu memang tinggi sekali. Untuk mempergunakan jurus sakit Hati, dia merasa tidak tega, Sayang seorang pemuda begini hebat dibunuh.

   "Kwa Kun Hong, kau tak mungkin dapat meloloskan diri. Lebih baik kau menyerah dan takluk, mari kita bekerja sama!"

   Kembali The Sun membujuk.

   "Tutup mulut dan tak perlu kau membujukku."

   Kun Hong membentak marah.

   "Hmm, kalau begitu kau harus mampus!"

   The Sun juga membentak dan segera menerjang dengan kilatan pedangnya yang diputar cepat di depan dadanya.

   Kun Hong tahu akan kelihaian lawan ini, maka dia cepat menggerakkan tongkatnya untuk menghadapi dengan jurus-jurus Ilmu Pedang Im-Yang Sin-Kiam. Hebat sekali ilmu pedang warisan Si Raja Pedang Tan Beng San ini karena ke mana pun pedang The Sun bergerak, selalu terbentur oleh tongkat yang malah otomatis dapat pula membalas, bacokan demi bacokan atau tusukan demi tusukan. Mengagumkan melihat dua orang muda itu bertanding. Keduanya sama tampan, sama lincah cekatan, sama tinggi ilmu pedangnya. Baru kali ini Kun Hong menghadapi lawan yang kuat dalam ilmu pedang sehingga dia makin kagum dan makin menyesal mengapa orang seperti ini menjadi lawannya. Karena tiada niat dalam hatinya untuk bertempur terus, dia mencari kesempatan baik. Dengan gerakan memutar, tongkatnya melakukan tusukan tujuh kali ke arah punggung lawan.

   Menghadapi jurus aneh dari Im-Yang Sin-Kiam ini, The Sun kaget. Lawan berada di depan, bagaimana ujung tongkatnya seakan-akan mengarah tengkuk dan punggungnya? Cepat dia melompat ke kiri dan memutar pedangnya melindungi tubuh. Kesempatan ini dipergunakan Kun Hong untuk lari ke kanan, menggunakan langkah ajaib dari Kim-Tiauw-Kun sehingga beberapa bacokan golok dari para perwira yang berdiri di tempat itu dapat dia hindarkan dengan mudah. Tiga orang perwira lain yang sudah menghadang dia robohkan dengan dua kali dorongan tangan kiri, kakinya melangkah terus berloncatan ke sana ke mari ketika mainkan langkah-langkah Hui-Thian Jip-Te. Sebentar saja Kun Hong sudah berhasil lolos dari kepungan yang demikian ketatnya! Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan berpengaruh di sebelah depannya.

   "Pemberontak buta jangan lari! The-Siucai, serahkan dia kepadaku!"

   Kata-kata ini dibarengi desir angin tusukan pedang. Kun Hong terkejut sekali dan cepat-cepat dia membanting diri ke kiri.

   Gerakan menyelematkan diri ini dia lakukan tergesa-gesa sehingga luka pada pangkal pahanya terasa nyeri sekali, akan tetapi dia selamat daripada sebuah tusukan yang hampir tidak mengeluarkan suara, demikian halus akan tetapi demikian kuatnya. Celaka, pikirnya, ilmu pedang orang ini luar biasa sekali. Karena maklum bahwa yang dihadapinya seorang ahli pedang kawakan yang amat lihai, Kun Hong cepat menggerakkan tongkatnya membalas serangan tadi. Segera dia terlibat dalam pertandingan pedang sampai belasan jurus dengan penyerang baru ini. Makin lama makin heran dan terkejut hati Kun Hong. Pada jurus ke lima belas, dia menggunakan tongkatnya menangkis keras sehingga kedua senjata yang bertemu itu terpental ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Hong untuk berseru.

   "Bukankah tuan ini Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui Lo-Enghiong?"

   "Hemm, sudah kenal baik lekas menyerah, tak perlu melawan,"

   Jawab orang itu yang adalah Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui majikan dari pantai Po-Hai, yaitu Pek-Tiok-Lim, Ayah dari Tan Loan Ki dara lincah! Kun Hong cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat, wajahnya berubah penuh harapan ketika dia berkata,

   "Lo-Enghiong, harap jangan lanjutkan pertempuran, kita orang sendiri! Bukankah adik Loan Ki baik-baik saja? Dia dan aku sudah seperti saudara sendiri, kami bertemu dan bersama mengalami hal-hal hebat di Pulau Cong-coa-to, dan..."

   "Tutup mulutmu! Tak perlu membawa-bawa nama anakku ke sini, keparat!"

   Bentak Sin-Kiam-Eng sambil menerjang lagi, kini malah lebih hebat karena dia marah sekali. Kun Hong cepat mengelak dan mengeluh. Celaka, pikirnya, agaknya gadis nakal lincah itu tidak pernah bercerita kepada Ayahnya tentang dia sehingga Sin-Kiam-Eng tidak mengenalnya dan tentu saja pendekar itu marah mendengar puterinya disebut-sebut namanya oleh seorang yang tidak dikenal! Sesungguhnya bukan demikianlah soalnya. Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui yang sudah sejak tadi melihat sepak terjang dan gerakan Kun Hong, diam-diam terkejut dan heran sekali karena gerakan dan langkah-langkah ajaib yang dilakukan oleh pemuda buta ini persis seperti yang dia lihat dilakukan oleh Loan Ki ketika menghadapi serangan-serangan kakek Song-Bun-Kwi!!

   Diam-diam dia terheran-heran akan tetapi juga penasaran dan marah sekali. Jadi puterinya itu dalam perantauannya telah melakukan hubungan dengan seorang buta, menerima pelajaran dari seorang buta yang ternyata sekarang adalah seorang mata-mata pemberontak pula. Inilah sebabnya ketika melihat betapa The Sun tidak sanggup mengalahkan Kun Hong, dia segera turun tangan, tidak saja untuk menyatakan kemarahannya karena persamaan ilmu dari pemuda ini dengan puterinya, juga untuk mencari jasa. Sebagai seorang pendatang baru yang diterima oleh The Sun. Tan Beng Kui yang bercita-cita besar ini segera ingin memperoleh kedudukan tinggi dengan jasa besar. Ilmu pedang Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui memang hebat bukan main.

   Dia, adalah murid kepala dari mendiang Bu-Tek Kiam-Ong Cia Hui Gan Ayah Cia Li Cu yang sekarang menjadi Nyonya Tan Beng San. Nyonya ini saja ilmu pedangnya sudah hebat luar biasa, apalagi ilmu pedang Sin-Kiam-Eng yang menjadi kakak seperguruannya. Memang dahulu ketika masih muda, Tan Beng Kui menjadi harapan mendiang gurunya, karena itu semua kepandaiannya diturunkan kepadanya. Ilmu Pedang Sian-Ii Kiam-Sut adalah ilmu pedang turunan yang sesumber dengan Im-Yang Sin-Kiam, apalagi dimainkan oleh seorang pendekar besar yang sudah matang dalam pengalaman seperti Tan Beng Kui, benar-benar membuat Kun Hong kelabakan ketika dia diterjang dengan dahsyat oleh Sin-Kiam-Eng. Dengan langkah-langkah Hui-Thian Jip-Te, Kun Hong berusaha menghindarkan diri dari kurungan sinar pedang lawan.

   Dia merasa segan untuk balas menyerang setelah kini dia tahu bahwa orang ini adalah Ayah dari Loan Ki. Tidak sampai hatinya, kalau dia teringat akan suara ketawa dan celoteh Loan Ki yang nakal dan lincah itu. Betapa dia ada hati untuk melawan Ayah gadis jenaka itu. Dia merasa menyesal bukan main, menyesal mengapa justeru Ayah dara lincah itu yang kini menghalangi jalan larinya, mengapa Ayah Loan Ki justeru menjadi pembantu Kaisar baru? Selain kebimbangan ini, ditambah lagi luka di pangkal pahanya yang parah membuat Kun Hong kurang gesit menghadapi ilmu pedang yang hebat dari Tan Beng Kui. Betapapun lihai dan aneh langkah-langkahnya, namun menghadapi seorang jago kawakan seperti Tan Beng Kui, tanpa melakukan perlawanan sungguh-sungguh, akhirnya dia celaka juga.

   "Lo-Enghiong, aku tidak mau bertempur melawanmu..."

   Katanya dan kesempatan ini dipergunakan oleh lawannya untuk mendesak, mainkan jurus yang paling sulit dihadapi. Kun Hong kaget dan masih berusaha menjatuhkan diri ke belakang, namun ujung pedang lawannya masih sempat menggores dagunya, terus merobek baju di dada dan merobek pula kulit dadanya sehingga darah bercucuran membasahi bajunya. Kun Hong kaget juga karena baru saja dia terhindar dari bahaya maut, karena ujung pedang itu sebenarnya tadi mengarah leher dilanjutkan ke ulu hatinya. Lebih hebat lagi, pada saat itu dari belakang menyambar gerakan pedang yang amat cepat membabat ke arah lehernya. Inilah pedang di tangan The Sun yang membentak pula,

   "Mampuslah engkau, jembel buta!"

   Akan tetapi The Sun terlalu memandang rendah kepada Kun Hong kalau mengira bahwa sekali babat akan berhasil memenggal leher Pendekar Buta, Tongkat di tangan Kun Hong bergerak cepat.

   "Tranggg...!"

   The Sun kaget setengah mati karena begitu bertemu, tongkat itu terus menyekong melalui bawah lengannya, menusuk ke arah tenggorokannya secara amat aneh dan tidak disangka-sangka olehnya.

   "Celaka...!"

   Dia berseru keras dan cepat tubuhnya mencelat ke belakang dalam usahanya menghindarkan diri dari bahaya maut ini. Kun Hong yang sudah marah sekali kepada The Sun juga melesat dalam pengejarannya tanpa menghentikan ancaman tongkatnya ke arah tenggorokan lawan.

   "Penjahat buta jangan sombong!"

   Tiba-tiba terdengar seruan yang amat berpengaruh, dibarengi melayangnya lengan baju yang membawa serta angin pukulan dahsyat sekali.

   "Plakk!"

   Tanpa dapat ditangkis atau dihindarkan lagi oleh Kun Hong yang tubuhnya sedang melayang dalam usahanya mengejar The Sun, ujung lengan baju itu telah menghantam punggungnya. Kun Hong cepat mengerahkan tenaga Lweekangnya untuk menahan pukulan, akan tetapi pukulan itu hebat bukan main sehingga dia merasa seolah-olah terpukul benda keras yang rIbuan kati beratnya. Tubuhnya terlempar dan terbanting ke atas tanah sampai bergulingan! Dua batang pedang lain mengejarnya dan langsung menyambar dari kanan kiri.

   "Wuuuttt! Singgg!"

   Kun Hong melenting ke atas, begitu kedua kakinya menginjak tanah, otomatis dia telah membuat gerakan jurus Sakit Hati.

   "Tranggg! Wesss!"

   Tongkat dan tangan kirinya telah bergerak tanpa dapat dicegah lagi. Dua orang perwira yang tadi berlomba untuk membunuhnya setelah melihat dia terluka dan bergulingan, kini berdiri tegak seperti patung, kemudian perlahan-lahan roboh terguling dan... pinggang mereka ternyata telah putus dan kepala mereka remuk-remuk? Bukan main ngerinya hati para perwira menyaksikan ini. Malah orang-orang sakti yang kini sudah berada di situ melengak heran.

   "Penjahat keji!"

   Terdengar Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui berseru marah dan pedangnya menyambar dengan suara mendesing-desing. Kun Hong merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit. Luka di pangkal paha makin panas dan perih, gatal sukar ditahan nyerinya. Luka di dagu dan dada terus mengucurkan darah sedangkan punggungnya terasa patah-patah tulangnya oleh hantaman ujung lengan baju yang amat hebat tadi.

   Dia terheran-heran siapakah gerangan si pemukul ini. Melihat hebatnya hantaman itu, dia taksir orangnya tidak di bawah. Song-Bun-Kwi tingkat kepandaiannya. Celaka, kiranya di Kota Raja telah berkumpul begini banyak orang sakti!! Karena ini, dengan pikiran sudah pening, Kun Hong berlaku nekat dan menanti setiap lawan dengan jurus Sakit Hati! Sambaran pedang yang datang cepat laksana kilat dari Sin-Kiam-Eng itu sudah ditunggu oleh Kun Hong. Dia tidak ingat lagi siapa lawannya, yang teringat olehnya hanya bahwa dia harus melindungi surat rahasia dalam Mahkota dan harus mengalahkan tiap orang musuhnya untuk dapat melarikan diri dari kepungan. Setelah serangan itu tiba, tubuhnya bergerak, tongkatnya menyambar berbareng dengan tangan kirinya mencengkeram.

   "Ayaaaa!!"

   Sin-Kiam-Eng berteriak keras dan tubuhnya melayang sampai lima enan meter jauhnya, lalu dia terbanting ke atas tanah dan terengah napasnya, mukanya pucat. Nyaris dia menjadi korban jurus Sakit Hati yang amat mujijat itu dan biarpun dia tidak menjadi korban, namun tetap saja hawa pukulan tangan kiri Kun Hong yang mengandung hawa Yang-Kang itu telah membuat dadanya serasa panas terbakar. Cepat-cepat Sin-Kiam-Eng duduk bersila mengatur napas memulihkan tenaga agar jangan sampai isi dadanya terluka.

   "Omitohud, ilmu siluman apakah ini?"

   Terdengar suara berpengaruh yang tadi dan segumpal hawa dingin menyambar ke arah Kun Hong. Pemuda buta ini maklum bahwa lawannya yang bersenjata ujung lengan baju, yang tadi berhasil menghantam punggungnya, ternyata adalah seorang Hwesio. Maklumlah dia bahwa semakin lama dia berada di tempat ini, makin besar bahayanya. Hantaman kali ini yang mendatangkan segumpal hawa dingin menandakan bahwa dalam hal ilmu tenaga dalam Hwesio ini sudah mencapai tingkat tinggi sehingga sukar dilawan. Namun dia sudah nekat. Tiada artinya kalau dia hanya mengelak ke sana ke mari, akhirnya tentu celaka juga, lebih baik mengadu tenaga, tinggal pilih satu antara dua. Menang dan lolos, atau kalah dan tewas! Dengan pikiran ini, sambaran dingin itu dia sambut dengan jurus Sakit Hati.

   "Dess! Bakkk!!"

   Tubuh Kun Hong serasa didorong oleh tenaga yang maha kuat, sehingga kuda-kuda jurus Sakit Hati itu biarpun masih tetap, namun sudah tidak di tempatnya lagi karena kedua kakinya itu bergeser sejauh dua meter lebih, membuat garis di tanah yang dalamnya sampai dua dim lebih! Dari tempat lima enam meter jauhnya terdengar Hwesio itu berseru heran,

   "Omitohud... hebat... hebat"

   Diam-diam Kun Hong mengeluh. Tadi tongkat yang dia gerakkan bertemu dengan benda lemas, agaknya ujung lengan baju, sedangkan tangan kirinya bertemu dengan lengan Hwesio itu yang mengandung getaran tenaga dalam yang hebat pula. Biarpun berkat dua ilmu sakti Kim-Tiauw-Kun dan Im-Yang Sin-Kiam, dia tadi menggunakan tenaga mujijat sehingga kalau diukur dia tidak kalah tenaga, namun Hwesio yang dapat menyambut jurus Sakit Hati ini sudah terang merupakan lawan yang paling berat! Dia sudah memasang kuda-kuda lagi dan bersiap sedia mengadu nyawa. Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk, di atas suara bentakan nyaring.

   "Jago-jago kawakan yang mengaku para tokoh Istana, kiranya hanya cacing-cacing busuk yang beraninya mengeroyok pemuda buta!"

   Pada saat itu terdengar sorak-sorai, disusul suara senjata saling beradu, tanda terjadi pertempuran besar di tempat itu antara para perwira dan banyak orang yang baru datang dipimpin oleh orang yang membentak tadi. Kun Hong mengerutkan kening mengingat ingat, dia merasa kenal suara tadi. Pada saat itu, suara tadi berkata perlahan kepadanya,

   "Pangcu (Ketua), silakan pergi mengaso."

   "Hwa I Lokai...!"

   Kun Hong berseru kaget. Memang benar. Yang datang adalah Hwa I Lokai bersama anak buahnya yang dengan nekat sekarang bertanding melawan para jagoan Istana itu. Karena tidak ada kesempatan untuk bicara lagi setelah Hwa I Lokai kini bertanding melawan tokoh-tokoh Istana, Kun Hong lalu mengamuk, menggunakan jurus Sakit Hati sambil melompat ke sana ke mari.

   Para perwira yang lancang berani menyambut atau menghadangnya pasti roboh tak bernyawa lagi. Dengan jalan membuka jalan darah ini, akhirnya Kun Hong berhasil keluar dari kepungan yang ketat itu dan mulailah dia melarikan diri karena merasa betapa tubuhnya sudah makin lemas dan gemetar. Ia mengerahkan tenaga terakhir dan lari sekuatnya di malam gelap, lari secara ngawur karena tidak dapat melihat. Dia hanya menyerahkan nasibnya ke tangan Thian Yang Maha Kuasa. Agaknya Thian memang masih melindunginya karena secara aneh sekali Kun Hong dapat berlari jauh meninggalkan tempat itu. Akan tetapi akhirnya, di tenpat yang sunyi, agaknya daerah penduduk kota yang miskin, dia menabrak pohon besar yang berdiri di belakang sebuah pondok kecil.

   Karena dia tertumbuk pada batang pohon itu dengan dahi di depan, pendekar buta ini roboh terguling dalam keadaan pingsan! Hening sejenak setelah suara beradunya kepala dengan batang pohon dan robohnya tubuh Kun Hong. Pintu pondok berderit terbuka dan sinar lampu menyorot keluar mengantar bayangan seorang anak laki-laki yang agaknya kaget mendengar suara tadi. Anak ini melangkah ke luar pintu belakang dan memandang ke kanan kiri. Seorang anak laki-laki yang tabah. Biasanya anak sebesar itu, berusia enam tujuh tahun, suka takut-takut akan tempat gelap. Akan tetapi anak ini biarpun tadi mendengar suara gedebukan aneh, masih berani membuka pintu belakang dan keluar di tempat gelap. Tak lama kemudian dia sudah menghampiri tubuh yang menggeletak miring di bawah pohon itu dan terdengar teriakan.

   "Ibu...! Ibu... mari ke sini, ada orang jatuh... mari bantu aku...!"

   Dan tanpa ragu-ragu sedikit pun anak itu sudah mulai berusaha membangunkan Kun Hong yang masih pingsan. Kali ini kembali membayangkan ketabahan hati anak itu, bahkan membayangkan wataknya yang baik dan suka menolong orang lain. Seorang wanita muda muncul dari pintu belakang, ragu-ragu sejenak, ngeri melihat kesunyian dan kegelapan malam.

   "A-wan...! Kau di mana? Siapa yang jatuh?"

   "Di sini, Bu. Lekas, jangan-jangan dia mati."

   Ibu muda itu datang menghampiri, tersentak kaget mendengar ucapan terakhir.

   "Apa...? Ma... mati...??"

   "Mungkin juga belum. Aduh beratnya, lekas bantu, Bu. Mari kita bawa masuk dan beri pertolongan."

   Ibu muda itu membulatkan hatinya dan melangkah maju. Dengan susah payah Kun Hong diangkat dan setengah diseret oleh Ibu dan anak itu, dibawa masuk ke dalarn rumah melalui pintu belakang yang segera ditutup kembali.

   "Inkong...!"

   "Paman buta...! Betul dia Paman buta...!"

   Ibu dan anaknya itu terbelalak memandang wajah Kun Hong yang kini sudah direbahkan di atas tempat tidur bambu yang sederhana. Keduanya menubruk, memeluk dan mengguncang-guncang tubuh Kun Hong. Terdengar Kun Kong mengeluh, Bibirnya bergerak perlahan.

   "Terlalu banyak musuh... terlalu banyak..."

   Kemudian dia menjadi lemas dan mengigau tidak karuan.

   "Inkong, ingatlah... Inkong, ini aku janda Yo..."

   "Paman, aku A Wan..."

   Kun Hong mendengar suara ini, nampak terheran-heran, lalu berkata lirih,

   "Yo-Twa-So...? A Wan...? Bagaimana... ahhhhh..."

   Dia menjadi lemas dan pingsan lagi.

   "Celaka! Inkong terluka hebat. Lihat darahnya begini banyak. Wah, bagaimana ini? A Wan lekas kau buka pakaiannya, bersihkan luka-lukanya, aku akan memasak air..."

   Janda itu dengan gugup sekali lalu lari ke sana ke mari mempersiapkan segala keperluan, akan tetapi sesungguhnya tidak tahu betul bagaimana ia harus menolong Kun Hong yang mandi darah itu. A Wan adalah seorang anak yang tabah. Biarpun ngeri juga dia melihat semua baju Kun Kong penuh darah, akan tetapi dengan cepat dia membuka pakaian, menurunkan buntalan dari punggung Kun Hong.

   Ketika dia membuka buntalan itu untuk mencari pengganti baju, dia melihat Mahkota kecil dari emas yang mencorong terkena sinar lampu. Terkejutlah dia dan diambilnya Mahkota itu, diamat-amatinya penuh perhatian. A Wan adalah anak yang cerdik, otaknya lalu bekerja. Tadi Paman buta bicara tentang musuh banyak, tentu habis berkelahi dikeroyok banyak musuh, pikirnya. Mengapa berkelahi? Paman buta ini adalah seorang miskin, pendekar berbudi yang miskin, dari mana bisa mempunyai benda begini indah? Tak salah lagi, tentu Paman buta berebutan benda ini dengan banyak orang jahat, akhirnya dikeroyok dan luka-luka. Pikiran ini membuat A Wan cepat membawa lari mahkata itu keluar kamar. Agak lama dia pergi ke belakang rumah di luar tahu Ibunya yang sIbuk memasak air. Setelah dia kembali menyelinap ke dalam kamar, dia sudah tidak membawa Mahkota tadi.

   Dengan cepat A Wan membersihkan luka-luka di badan Kun Hong, menggunakan sehelai kain bersih. Ibunya datang membawa air panas. Ia cepat mengusir rasa jengah dan malu ketika melihat keadaan Kun Hong yang setengah telanjang itu, malah perasaan ini lenyap sama sekali dan terganti rasa ngeri dan cemas melihat betapa dada pemuda buta itu tergurat dari atas ke bawah, juga dagunya terluka dan pangkal paha sebelah belakang biru mengembung, punggungnya juga kebiruan. Napas pemuda itu terengah-enah, badannya panas sekali. Dengan air mata mengalir saking bingung dan cemasnya, janda itu lalu membersihkan luka-luka Kun Hong dengan kain yang dicelup air panas. Hilang sudah semua rasa malu dan segan. Air matanya mengalir makin deras ketika ia melihat betapa wajah yang tampan itu nampak pucat dan mulutnya terbuka menahan nyeri.

   "A Wan, lekas kau pergi panggil Sinshe (tukang obat) Thio di jalan raja Utara. Katakan ada orang sakit, luka-luka, lekaslah!"

   "Baik, Ibu. Kasihan Paman buta, bagaimana kalau dia... mati...?"

   "Hushh...? Jangan bicara dengan siapa juga tentang dia, ini rahasia, mengerti? Lekas pergi dan lekas kembali!"

   A Wan mengangguk dan melompat ke luar, lenyap di dalam kegelapan malam. Setelah anak itu pergi, janda muda ini tak dapat menahan lagi sedu-sedannya. Sambil membersihkan luka-luka itu, ia merangkul dan mengguncang-guncang tubuh Kun Hong sambil berseru lirih memanggil,

   "Inkong...! Inkong... sadarlah, Inkong..."

   Melihat betapa muka itu makin lama seakan-akan makin pucat, ia menjadi amat cemas. Terbayanglah ia akan semua pengalamannya dahulu ketika pemuda buta ini menolongnya, dan sekarang melihat penolong yang selama ini tak pernah meninggalkan lubuk hatinya itu kini menggeletak seperti mayat di depannya, nyonya janda Yo tak dapat menahan luapan perasaan hatinya.

   "Inkong...!"

   Ia mendekap kepala itu, diciuminya dan dibanjiri air mata dengan penuh perasaan.

   "Jangan mati, Inkong... jangan tinggalkan aku lagi... setelah Thian mengembalikan kau kepadaku..."

   Kemudiah kegelisahan lebih menguasai hatinya. Ia berhenti menangis dan memeriksa dengan teliti luka-luka di tubuh Kun Hong di bawah sinar lampu remang-remang. Ia bergidik, jelas bahwa luka-luka itu adalah luka bekas bacokan. Nampak tanda-tanda yang jelas bahwa penolongnya ini baru saja habis berkelahi dengan hebat. Wajahnya tiba-tiba pucat. Kalau penolongnya terluka seperti ini, berarti musuh-musuhnya masih ada. Siapa tahu melakukan pengejaran sampai ke sini! Ia tahu bahwa penolongnya sakti, akan tetapi dalam keadaan pingsan seperti ini, kalau musuh datang lalu bagaimana?

   Ia kembali bergidik dan merasa ngeri, lalu menoleh ke kanan kiri, matanya jelalatan penuh ketakutan. Melihat tongkat Kun Hong menggeletak di atas lantai, cepat ia mengambilnya dan dengan tangan gemetar ia menyusupkan tongkat itu ke bawah tilam pembaringan. Matanya mencari-cari lagi siap menghapus tanda-tanda akan adanya Kun Hong di situ. Pakaian Kun Hong yang penuh darah berada di sudut kamar, cepat ia menyambarnya, dan melemparkannya ke kolong pembaringan, lalu dengan cekatan ia menggosok-gosok dan menghapus tanda-tanda darah di lantai dengan sehelai kain. Setelah keadaan kamar itu normal kembali, ia lalu duduk lagi di pinggir pembaringan, memegang lengan tangan Kun Hong dan memandang bingung. Seperti seekor kelinci bersembunyi dari kejaran harimau, sebentar-sebentar ia menoleh ke arah pintu depan, Bibirnya gemetar berbisik lirih,

   "A Wan... kenapa kau belum juga pulang...?"

   Terdengar suara langkah kaki di luar rumah. Janda muda itu berseri wajahnya.

   "A Wan dan Sinshe datang..."

   Pikirnya dan ia sudah bangkit berdiri, Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia mendengar suara seorang laki-laki di luar pintu pondoknya itu, suara halus tapi penuh ejekan.

   "Hemmm, si buta keparat itu menghilang di sini."

   Terdengar pintu itu diketuk dari luar.

   "Tok-tok-tok!"

   Menggigil kedua kaki janda Yo, sesaat ia seperti terpaku dan tak mampu menjawab atau bergerak sedikit pun juga.

   "Tok-tok-tok! Hee, sahabat pemilik rumah, harap buka pintu sebentar aku ingin bertanya!"

   Terdengar suara halus tadi kini berteriak. Seperti kilat menyambar sebuah pikiran menyelinap ke dalam kepala janda muda itu. Ia tahu benar bahwa orang di luar pondoknya itu tentu musuh penolongnya yang datang membawa niat buruk. Berdegup jantungnya kalau ia ingat bahwa orang itu datang untuk membunuh Si Pendekar Buta! Hanya beberapa detik pikiran ini memenuhi kepalanya dan timbullah akal seorang wanita yang dengan sepenuh perasaannya berusaha menolong seorang yang amat dikasihinya dan dipujanya daripada bahaya maut.

   Sekaligus rasa takut dan cemas lenyap ketika timbul kenekatan di hatinya untuk membela dan melindungi penolongnya itu, wajahnya memancarkan kecerdikan dan tubuhnya tidak menggigil lagi. Cekatan sekali ia meraih selubung lampu minyak, menggosokkan jari-jari tangannya pada langes yang menempel di selubung lampu, menghampiri Kun Hong memupuri muka pemuda itu dengan langes. Sebentar saja muka itu berubah hitam, menyembunyikan muka yang aseli dari pemuda itu. Tangan meraih lain dinding yang masih ada kapurnya, digosok-gosok dan seperti tadi ia menggosokkan kapur itu pada rambut Kun Hong. Melihat hasilnya kurang memuaskan, ia segera memutar otak, memandang ke kanan kiri, lalu mengambil tempat bedaknya dan menaburkan bedak itu pada kepala Kun Hong yang kini berubah menjadi keputih-putihan seperti rambut ubanan seorang laki-laki tua!

   "Tok-tok-tok! Sahabat, bukakan pintu, kalau tidak kau buka, terpaksa akan kurobohkan!"

   Suara di luar mendesak tidak sabar lagi.

   
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tunggu sebentar...!"

   Janda muda itu berseru kaget, menarik selimut menutupi tubuh Kun Hong sampai ke leher.

   Ia lalu melangkah ke pintu kamar, menoleh sekali lagi dan lega hatinya melihat bahwa kini tidak ada lagi tanda-tanda bahwa yang berbaring di dalam kamar itu adalah seorang pemuda yang pingsan, akan tetapi kelihatan seperti seorang laki-laki tua tidur pulas! Tergesa-gesa ia keluar kamar, teringat akan sesuatu pikirannya yang cerdik dalam usahanya menolong Pendekar Buta itu bekerja keras, melirik ke arah pakaian di tubuhnya dan cepat ia membuka dua buah kancing di dekat leher melonggarkan ikat pinggangnya, mengusutkan pakaiannya di sana sini, melepaskan sebagian rambut dari pita rambutnya yang ia kendurkan, kemudian cepat ia berlari-lari ke arah pintu yang sudah mulai digedor lagi oleh orang di luar itu.

   "Aku datang...! Tunggu sebentar... siapa sih yang suka mengganggu orang tidur?"

   Kata nyonya janda ini dengan suara yang tiba-tiba berubah genit! Di ruang tengah ia menyambar lilin yang sudah menyala, kemudian dengan lilin dipegang tinggi-tinggi dengan tangan kiri, ia membuka palang pintu depan dengan tangan kanan.

   "Kriiiiitt!"

   Daun pintu berderit ketika dibuka perlahan oleh tangan nyonya janda Yo yang agak gemetar. Sinar lilin bergerak-gerak tertiup angin, menerangi wajahnya dan wajah orang yang berdiri di luar pintu.

   "Ohhhhh...!"

   Dua buah mulut mengeluarkan seruan sama dan dua pasang mata saling pandang. Mata nyonya Yo memandang dengan perasaan cemas, heran dan seruannya tadi yang memang ia sengaja untuk melengkapi aksinya bergenit tadi menjadi sumbang karena keheranannya ini. Sama sekali ia tidak mengira akan melihat seorang pemuda yang berpakaian seperti seorang Kongcu terpelajar, sikapnya halus dan sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda orang jahat. Hal ini membuatnya ragu-ragu dan sejenak ia hanya bengong, tidak tahu harus berbuat dan berkata apa.

   Di lain fihak, seruan yang keluar dari mulut orang muda itu adalah seruan tercengang dan kagum, lalu sepasang matanya menjelajahi pemandangan didepannya itu dari atas ke bawah lalu kembali lagi dari bawah ke atas. Sanggul rambut yang awut-awutan, sebagian rambut terurai menutupi sebuah muka yang berkulit putih kuning berbentuk bulat telur, mata yang jernih, hidung mancung mulut kecil manis, pakaian yang biarpun sederhana namun membayangkan bentuk tubuh yang padat dan bagus, baju yang terbuka kancingnya di bagian atas memperlihatkan sebagian leher dan dada yang berkulit halus bersih. Apalagi di bawah sinar api lilin yang mobat-mabit karena angin, wanita yang berdiri di depannya benar-benar amat manis dan mengairahkan hati. Orang muda itu bukan lain adalah The Sun.

   Pemuda cerdik ini diam-diam meninggalkan gelanggang pertempuran karena maklum bahwa para pengemis anggauta Hwa I Kaipang itu takkan mungkin dapat lepas daripada hantaman para perwira yang selain menang banyak, juga dibantu oleh tokoh-tokoh lihai. Yang dia pentingkan adalah Kwa Kun Hong, maka cepat dia mengejar ketika melihat Si Pendekar Buta itu mampu meloloskan diri daripada kepungan. Akan tetapi karena maklum bahwa Pendekar buta itu memiliki jurus yang aneh yang amat dahsyat, dia berlaku hati-hati dan mengejar secara diam-diam. Dia maklum bahwa orang itu sudah terluka parah dan dia akan mencari kesempatan baik untuk turun tangan. Akan tetapi dia sama sekali tidak mengira bahwa lawannya itu yang bermata buta dapat berlari secepat itu sampai dia kehilangan jejaknya. The Sun penasaran dan melakukan pengejaran ke sana ke mari.

   Dengan penuh perhatian dia mencari jejak si buta itu dan akhirnya pemuda cerdik ini dapat menyusul sampai ke pondok janda Yo! Hanya sebentar The Sun terpesona oleh kemanisan wajah nyonya janda muda itu. Memang dia seorang pemuda yang romantis dan kadang-kadang tidak melewatkan kesempatan baik untuk melayani wanita-wanita cantik yang tergila-gila kepada ketampanan wajahnya atau kepada kedudukannya yang tinggi. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa The Sun adalah seorang mata keranjang atau hidung belang yang suka mengganggu wanita, sama sekali bukan. Hanya dapat dikatakan bahwa pertahanan terhadap kecantikan wanita tidaklah begitu kuat. Ketika dia teringat lagi akan buronannya, secepat kilat dia menarik ke luar pedangnya dan mengelebatkan pedangnya yang tajam itu di depan muka nyonya Yo yang menjadi pucat seketika.

   "Katakan di mana si jahanam buta itu, hayo cepat mengaku sebelum pedangku memenggal lehermu yang putih itu!"

   The Sun mengancam matanya tak lepas dari kulit leher putih yang mengintai dari balik baju yang terbuka dua buah kancingnya.

   "Apa... apa maksudmu? Eh, Kongcu, harap kau jangan main-main dan simpanlah senjatamu itu yang bisa membikin aku mati ketakutan! Aku sedang pusing dan jengkel merasakan suamiku tua bangka yang berpenyakitan saja, kau datang-datang mengganggu dengan gedoran pintu dan sekarang menuduh yang bukan-bukan, bicara tentang jahanam buta yang sama sekali tidak kumengerti artinya! Apa sih maksudmu sebenarnya dan kau ini siapakah, Kongcu?"

   Aneh sekali, ucapan dan nada suara nyonya janda ini jauh berbeda daripada biasanya, sekarang kata-katanya centil, sikapnya genit dan matanya yang bagus itu menyambar-nyambar wajah tampan The Sun!

   "Hemm, tak usah kau pura-pura!"

   Bentak The Sun tanpa menurunkan pedangnya.

   "Aku mengejar seseorang, penjahat buta dan jejaknya lenyap di tempat ini. Tentu dia bersembunyi di dalam rumahmu ini, hayo lekas mengaku dan tunjukkan aku di mana dia!"

   Jantung di dalam dada nyonya janda itu serasa hendak meloncat ke luar saking takutnya, akan tetapi ia pura-pura marah dan memandang kepada The Sun dengan mata melotot akan tetapi malah menambah kemanisan wajahnya karena Bibir yang mungil itu mengarah senyum dan sikapnya menantang.

   "Apa kau bilang, Kongcu? Hemmm... harap kau jangan pandang rendah kepadaku! Biarpun suamiku tua bangka dan berpenyakitan, tapi jangan kira aku mau berdekatan dengah seorang penjahat, apalagi kalau dia itu buta. Cih, menjijikkan!"

   Kembali lirikan mata menyambar dalam kerlingan yang amat manis memikat. Mau tak mau The Sun tersenyum, jantungnya mulai berdebar. Hemm, jelas Sekali wanita muda yang cantik manis ini "Memberi hati"

   Kepadanya dengan sikapnya menantang sekali. Betulkah suaminya tua bangka dan berpenyakitan? Hal ini saja sudah menjadi alasan kuat. Akan tetapi, betulkah Kun Hong tidak bersembunyi di situ? Dia tidak boleh sembrono dan lebih baik menyelidiki lebih dulu.

   "Aku tidak percaya! Hayo tunjukkan di mana suamimu dan biar aku melakukan penggeledahan dulu. Dengan siapa saja kau di sini?"

   Janda Yo sengaja cemberut, Bibirnya yang merah itu diruncingkan ketika ia melangkah ke samping memberi jalan kepada The Sun.

   "Kongcu begini halus dan tampan, tapi galaknya bukan main!"

   Ia bersungut-sungut.

   "Sudah terang suamiku tua bangka muka hitam yang buruk dan berpenyakitan, kau masih ingin menjenguknya lagi, apakah untuk bahan mengejek dan memperolokku?"

   Kembali The Sun berdebar dan tersenyum.

   "Mana bisa aku percaya kalau belum melihat sendiri? Siapa bisa percaya seorang cantik jelita seperti kau ini suaminya tua bangka berpenyakitan?"

   "Ihh, Kongcu ceriwis!"

   Janda Yo membuang muka dengan lagak yang genit dan memikat sekali. Di dalam hatinya nyonya janda ini berdoa supaya musuh penolongnya ini akan percaya dan tidak akan memeriksa ke dalam kamar. Akan tetapi The Sun bukanlah seorang bodoh. Dia amat cerdik dan biarpun kali ini jantungnya sudah berjungkir-balik terkena pengaruh kecantikan janda muda itu, namun dia tidak kehilangan kewaspadaannya dan mendahulukan tugasnya daripada kesenangan hatinya.

   "Hayo, perlihatkan aku kamar suamimu!"

   Janda Yo mengangkat lilin dan dengan kaki agak menggigil ia melangkah ke arah pintu kamarnya. Ia berdoa semoga penolongnya itu masih pingsan seperti tadi. Ketika ia dan The Sun melangkahkan kaki ke ambang pintu kamar, janda Yo sengaja menggoyang-goyang tempat lilin sehingga api lilin itu bergerak-gerak dan keadaan di dalam kamar tidak begitu jelas, hanya tampak remang-remang oleh The Sun betapa seorang laki-laki bermuka kehitaman dan berambut penuh uban sedang berbaring tak bergerak, tidur pulas agaknya!

   "Sshhhhh, harap jangan berisik. Kalau dia bangun, batuknya akan kumat dan akulah yang berabe harus mengurut-urut dadanya..."

   Bisik nyonya janda Yo sambil mendekatkan mukanya di telinga The Sun sehingga orang muda itu mencium bau sedap yang agaknya keluar dari rambut wanita muda itu. Terpikat oleh ini, The Sun tidak jadi melangkah masuk, hanya melepas pandang dengan tajamnya ke arah "Kakek"

   Itu lalu sinar matanya berkeliaran ke seluruh kamar yang hanya kecil sederhana itu. Tiba-tiba pedangnya berkelebat, mengeluarkan bunyi mendesing menyambar ke depan!

   "Crakk!"

   Papan ujung pembaringan itu tahu-tahu telah terbelah.

   "Oh-oh... jangan... ahh...!"

   Janda Yo kaget setengah mati dan menubruk lalu merangkul pundak The Sun, lilin yang dipegangnya jatuh dan padam. The Sun tersenyum lega. Kakek itu ternyata masih enak tidur saja. Kalau di dalam kamar itu terdapat Kun Hong yang bersembunyi, sebagai seorang ahli silat sudah pasti akan keluar mendengar desingan pedangnya tadi. Terang di situ tidak terdapat orang yang dia kejar, sedangkan kakek tua bangka suami wanita muda yang cantik jelita ini jelas adalah orang yang tiada guna. Dia menyimpan pedangnya kembali, kemudian tertawa perlahan dan menarik tangan nyonya Yo yang masih gemetar ketakutan itu keluar kamar. Gelap pekat di luar kamar karena sekarang tidak ada lilin lagi.

   "Kau cantik manis..."

   "Ah, pergilah... jangan kau ganggu kami yang tidak berdosa... pergilah dari sini, kasihani aku dan suamiku yang tua dan sakit..."

   The Sun tertawa, tidak halus seperti biasanya lagi, melainkan suara tertawa yang parau mengandung nafsu kotor.

   "Manis, kalau aku tidak kasihan dan cinta kepadamu, tentu pedangku tadi sudah memenggal leher suamimu si tua bangka tiada guna, ha-ha-ha!"

   The Sun sudah lama pergi meninggalkan pondok tempat tinggal janda muda itu. Kini ia tampak terguguk menangis menahan isaknya sambil memeluki dada Kun Hong. Dengan rambutnya yang kusut dan seluruh mukanya basah air mata, janda muda ini merintih-rintih dalam tangisnya.

   "Inkong... bangunlah... jangan mati, Inkong, sembuhlah kembali, jangan sia-siakan pengorbananku..."

   Ia menangis lagi dengan amat sedihnya sampai-sampai napasnya menjadi sesak. Pada saat itu dari pintu kamar melayang masuk sesosok bayangan orang yang amat ringan dan gesit. Begitu masuk bayangan ini

   (lanjut ke Jilid 18)

   Pendekar Buta (Seri ke 03 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18

   menendang dan tubuh nyonya janda ini terguling roboh.

   "Ahh...Ahh...!"

   Nyonya Yo bersambat lirih, tapi rasa nyeri pada tubuhnya tidak ia perdulikan lagi karena hatinya penuh kekhawatiran terhadap keselamatan Kun Hong yang masih pingsan. Tadinya ia mengira bahwa orang muda musuh Kun Hong yang tadi datang dan sudah siap untuk menegur. Akan tetapi alangkah kaget dan heran serta takutnya ketika ia melihat wajah yang jauh berlainan tertimpa sinar api lilin di kamar itu. Wajah seorang wanita! Tubuh ramping seorang wanita! Seorang wanita muda dengan muka kehitaman dan pedang di tangan, kelihatan berdiri dengan penuh amarah. Nyonya Yo segera menubruk Kun Hong dan memeluk dadanya untuk melindunginya.

   "Jangan ganggu dia...! Jangan bunuh dia...!"

   Teriaknya dengan suara mengandung isak tangis. Wanita itu kembali bergerak dan sekali lagi tubuh nyonya Yo terlempar dari pinggir pembaringan, malah kini terguling-guling sampai di sudut kamar.

   "Perempuan jalang! Lacur! Jangan pegang-pegang dia dengan tanganmu yang kotor!"

   Bentak wanita itu yang sudah menyarungkan pedangnya dan melangkah maju mendekati pembaringan. Cekatan sekali ia membungkuk dan kedua tangannya bergerak, tahu-tahu tubuh Kun Hong sudah dikempitnya.

   "Heeeiiiii... jangan ganggu dia.".!"

   Nyonya Yo biarpun merasa tubuhnya sakit-sakit, dengan nekat berdiri dan hendak merampas tubuh Kun Hong dari tangan wanita itu.

   "Diam kau, perempuan hina!"

   Wanita itu membentak lagi.

   "Dia ini adalah sahabat baikku, tak boleh berada di tempat hina ini berdekatan dengan perempuan lacur macam kau!"

   Janda muda itu terbelalak, diam-diam bersyukur bahwa orang ini bukanlah musuh penolongnya.

   "Aku... aku... tidak... ah, dia adalah... penolongku..."

   Katanya gagap. Wanita itu mendengus marah.

   "Huh, dia penolong semua orang, akan tetapi perempuan rendah macam engkau tidak perlu ditolong!"

   "Nona, kau siapa? Kenapa engkau memaki-maki aku? Biarpun aku miskin... aku... betul-betul berusaha mengobatinya dan..."

   "Tutup mulut! Apa kau kira aku tidak tahu betapa kau main gila dengan setiap orang laki-laki? Hemmm, siapa laki-laki yang tadi keluar dari sini? Bukankah dia kekasihmu pula? Huh, dan kau berani mendekatkan tubuhmu yang hina dan kotor itu dengan Kwa Kun Hong? Menyebalkan!"

   Bayangan wanita itu berkelebat dan dalam sekejap mata saja ia dan Kun Hong yang dipondongnya sudah lenyap dari situ. Nyonya janda Yo berdiri terkesiap, mukanya pucat seperti mayat, matanya terbelalak lebar dan dari kedua matanya itu turun air mata bertitik-titik deras mengalir di sepanjang kedua pipinya. Untuk sesaat tidak ada suara keluar dari mulutnya, kecuali napas yang terengah-engah. Teringat ia akan segala hal yang menimpa dirinya, akan segala yang telah dilakukannya.

   Kedatangan The Sun tadi membuat ia berada dalam ketakutan hebat. Takut dan cemas akan keselamatan penolongnya membuat ia bertekat untuk melindungi dan membelanya, menyelamatkannya dengan jalan apa pun juga. Sebagai seorang wanita yang lemah tak berdaya, ia tahu bahwa senjata satu-satunya yang ada pada dirinya hanyalah kecantikannya. Dan ia sudah pergunakan itu, sudah memberikan dirinya dengan kata-kata manis dan mulut tersenyum namun dengan hati perih dan seperti disayat-sayat. Namun usahanya berhasil. Ia telah menyelamatkan Kun Hong, telah membeli keselamatan penolongnya itu dengan pengorbanan yang paling besar yang dapat dilakukan seorang wanita lemah seperti dia. Akan tetapi sekarang muncul wanita gagah itu yang memaki-makinya, yang melihat perbuatannya.

   "Ya Tuhan... aku perempuan hina... perempuan rendah..."

   Janda Yo tak kuat lagi, kedua lututnya lemas dan ia jatuh nglumpruk di atas lantai, menutupi muka dengan kedua tangannya. Tiba-tiba ia terbelalak memandang ke kanan kiri, menatap pembaringan yang kini sudah kosong, telinganya mendengar gema wanita tadi memaki-makinya,

   "Perempuan jalang! Lacur! Jangan pegang-pegang dia dengan tanganmu yang kotor!"

   Lalu terdengar lagi.

   "Bukankah laki-laki tadi kekasihmu? Huh, dan kau berani mendekatkan tubuhmu yang hina dan kotor itu dengan Kwa Kun Hong?"

   "Ooohhhhh...!"

   Janda Yo menangis lagi, kini tersedu-sedan, kemudian ia menubruk pembaringan yang kosong itu.

   "Kwa Kun Hong... namamu Kwa Kun Hong, Inkong? Setidaknya wanita itu berjasa memberi tahu namamu. Orang mengatakan aku kotor, hina, jalang, lacur... Inkong (Tuan penolong), tidak apalah, asal kau selamat. Badan dan namaku kotor bisa dicuci dengan... ini..."

   Janda muda itu melolos ikat pinggangnya dan matanya memandang ke atas, mencari-cari tiang atau usuk genteng rumah itu.

   "A Wan...!"

   Hanya jerit ini saja terdengar satu kali dari dalam pondok di malam sunyi itu, kemudian sunyi tak terdengar suara apa-apa lagi.

   "Ibu...!"

   A Wan lari memasuki rumah itu. Anak ini tidak berhasil mengundang datang Sinshe Thio. Hal ini tidaklah mengherankan. Sinshe mana yang sudi dipanggil oleh keluarga miskin? Selain tidak dapat mengharapkan pembayaran yang banyak, jangan-jangan malah harus merogoh saku membelikan obat! Sinshe Thio mendengar permintaan A Wan supaya suka datang ke rumahnya mengobati seorang Paman yang "jatuh"

   Dan luka-luka, hanya menggeleng kepala sambil mengebulkan asap Huncwe (pipa tembakau) yang tebal dan berbau apek ke muka A Wan.

   Tanpa "uang muka"

   Dua tail perak dia tidak akan sudi berangkat, katanya. A Wan membujuk-bujuk, memohon dan bahkan menangis, namun sin-she Thio tidak melayaninya, malah ditinggal masuk. A Wan adalah anak yang keras hati, dia tidak putus asa, terus saja dia mengetuk-ngetuk pintu dan merengek-rengek. Akhirnya, bukan dituruti permohonannya, malah kepalanya mendapat benjol-benjol karena pukulan Huncwe Sinshe itu pada kepalanya. Sambil menangis akhirnya A Wan berlari pulang dan dia merasa hatinya amat tidak enak memikirkan keadaan si Paman buta. Jarak yang amat jauh itu ditempuhnya sambil berlari-lari dan seperti ada firasat tidak baik dia mempercepat larinya, malah telinganya serasa mendengar suara Ibunya memanggil-manggilnya.

   Dapat dibayangkan betapa kaget, ngeri, dan bingungnya ketika dia masuki pondok, dia melihat tubuh Ibunya tergantung pada ikat pinggang yang ditalikan ke atas tiang. Ikat pinggang itu melilit leher Ibunya dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa kedua kaki Ibunya masih berkelojotan. Biarpun merasa ngeri dan takut, namun A Wan adalah anak cerdik. Dia hanya terpaku sebentar, cepat dia merayap naik tiang sambil memekik-mekik dan memanggil nama Ibunya. Jari-jari tangannya gemetar ketika dia merenggut-renggut ikat pinggang yang terikat kuat-kuat pada tiang. Seperti seekor kera dia melorot kembali, lari ke dapur mengambil pisau merayap naik lagi dan akhirnya dia dapat memotong ikat pinggang itu sampai putus dan tubuh Ibunya jatuh berdebuk di atas tanah.

   "Ibu...! Ibu...!!"

   A Wan menubruk dan merangkul Ibunya, menangis sambil menciumi muka Ibunya yang pucat membiru.

   "Ibu... kenapa Ibu... ah, bagaimana ini...? Ibuuuuu...!"

   Jerit terakhir yang keluar dari mulut A Wan ini seakan-akan dapat membetot kembali semangat janda muda itu yang sudah meninggalkan tubuhnya. Bibir yang biru itu berkomat-kamit, biji mata yang sudah melotot tanpa cahaya itu bergerak-gerak, lalu terdengar suara janda muda yang bernasib malang itu berbisik-bisik.

   "A Wan... balas... budi Kwa Kun Hong... balas... dendam The Sun..."

   

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Memburu Iblis Karya Sriwidjono

Cari Blog Ini