Ceritasilat Novel Online

Pendekar Buta 19


Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 19



"Ibu...!Ibuuuuu...!! Ibuuuuu...!!!"

   A Wan menggoncang-guncang tubuh Ibunya yang makin lama makin lemas dan makin dingin karena pada saat itu janda muda ini sudah terbebas daripada duka nestapa dan derita sengsara dunia. Matanya yang tadi melotot sudah meram, mulutnya menyungging senyum dan biarpun muka itu kini pucat dan rambutnya awut-awutan, namun kelihatan tenang dan damai, makin nyata kecantikan aselinya. Sebaliknya, puteranya yang masih hidup, yang sedang berkembang dalam hidup, nnenangis menggerung-gerung dan memanggil-manggilnya. Alangkah ganjil penglihatan ini. Yang hidup menangisi yang mati. Yang hidup merasa penuh duka lara. Yang mati tenang diam begitu damai dan tenteram. Tidakkah janggal ini? Sudah benarkah itu kalau yang hidup menangisi yang mati? Ataukah harus sebaliknya?

   Kita tinggalkan dulu Yo Wan atau A Wan yang sedang menangis menggerung-gerung memenuhi malam sunyi itu, suara tangisannya tersaing dengan kentung peronda dan dengan suara doa dari kelenteng-kelenteng berdekatan. Mari kita mengikuti keadaan Kun Hong yang dalam keadaan pingsan dibawa lari oleh seorang gadis aneh. Kun Hong benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya sejak dia menabrak pohon dan roboh pingsan di belakang pondok itu. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan janda Yo setelah dia siuman sebentar hanya untuk mengenal suara mereka Ibu dan anak. Malah dia pun tidak sadar ketika tubuhnya dikempit oleh seorang wanita dan dibawa lari berlompatan di dalam gelap dengan gerakan ringan dan cepat. Dengan kesigapan dan kecepatan gerakan yang amat hebat wanita itu akhirnya membawa tubuh Kun Hong meloncat tinggi ke atas genteng sebuah rumah gedung,

   Kemudian bagaikan seekor kucing saja ringan dan cepatnya, ia telah melayang turun dan menerobos masuk ke sebuah kamar di dalam gedung itu melalui jendela yang terbuka daunnya. Sebuah kamar yang besar dan indah, dengan pembaringan, meja rias, kursi-kursi dan perabotan lain yang serba halus dan mahal. Sebuah kamar seorang gadis yang kaya-raya, atau patutnya kamar puteri seorang bangsawan besar. Gadis itu dengan cepat merebahkan tubuh Kun Hong di atas pembaringan yang bertilam kasur dan kain merah berkembang, lalu dengan cekatan ia melakukan pemeriksaan di bawah penerangan lampu yang cukup terang dan besar. Keningnya berkerut dan sepasang mata yang bening itu menjadi cemas ketika ia melihat luka membiru di punggung dan kulit yang membengkak di pangkal paha karena sebuah luka bergurat panjang yang menghitam!

   "Keji!"

   Perlahan ia memaki.

   "Senjata beracun dan pukulan maut yang amat kuat..."

   Tanpa ragu-ragu lagi ia merobek lebih lebar pakaian yang menutupi pangkal paha Kun Hong, lalu mencabut pedangnya dan dengan ujung pedangnya yang tajam dan runcing itu ia menggurat luka membengkak yang darahnya sudah mengering. Pecahlah kulit itu dan keluar darah yang menghitam. Gadis itu meletakkan pedangnya di atas ranjang, berlutut di atas ranjang di sebelah Kun Hong, lalu ia membungkuk dan... tanpa ragu-ragu lagi ia menggunakan mulutnya yang mungil untuk mengecup dan menyedot ke luar darah hitam dari luka di pangkal paha itu! Beberapa kali meludahkan darah yang telah disedotnya ke atas lantai, lalu menyedot lagi tanpa memperdulikan bau darah menghitam yang tidak enak itu. Baru ia berhenti setelah ia menyedot darah yang merah segar.

   "Hebat..."

   Gumannya.

   "Kun Hong benar-benar memiliki Sinkang (hawa sakti) yang luar biasa di dalam tubuhnya sehingga biarpun dia pingsan, racun itu tidak dapat menjalar terus ke dalam tubuh, hanya berhenti di sekitar luka. Kalau tidak demikian, ah, tentu dia takkan dapat disembuhkan lagi..."

   Gadis itu lalu duduk bersila, menempelkan kedua telapak tangan pada punggung Kun Hong yang ia dorong miring, kemudian ia menyalurkan hawa sakti di dalam tubuhnya untuk memulihkan tenaga dan menyembuhkan luka di dalam dada Kun Hong. Sejam kemudian Kun Hong bergerak, mengeluh panjang. Gadis itu cepat menarik kembali kedua tangannya. Gerakan ini perlahan sekali akan tetapi cukup membuat Kun Hong maklum bahwa dia sedang berbaring dan di dekatnya terdapat seorang yang duduk bersila. Serentak Kun Hong menggerakkan tubuhnya dan di lain saat dia sudah meloncat turun dari pembaringan dan berdiri dengan bingung tetapi siap dan waspada.

   "Kun Hong, syukur kau telah siuman..."

   "Hui Kauw...!"

   Hampir saja Kun Hong tidak percaya ketika mendengar suara itu, akan tetapi kini hidungnya mencium keharuman yang biasa keluar dari rambut gadis itu. Apalagi suara itu tak mungkin dapat dia lupakan. Di antara serIbu macam suara orang dia pasti akan mengenal suara Hui Kauw si nona Bidadari!

   "Betul Kun Hong. Aku Hui Kauw dan kau berada di dalam kamarku."

   Kun Hong teringat segalanya dan dia meraba luka di belakang pangkal pahanya. Dia menjadi heran sekali. Luka itu sudah bersih daripada racun yang tadinya mengeram di sekitar luka. Dia menunduk dan tiba-tiba tercium olehnya bau tak enak dari darah yang kotor oleh racun, bau darah yang agaknya berada di lantai.

   "Hui Kauw... kau... kau... dengan cara bagaimana kau tadi mengeluarkan racun dari luka di pahaku?"

   "Lukamu tadi menghitam, berbahaya sekali kalau menjalar sampai ke jantung. Aku tidak mengerti cara lain, maka tadi kusedot keluar sampai bersih."

   Menjawab begini, agak berubah air muka gadis ini karena tahu sekarang ia teringat betapa perbuatannya tadi sesungguhnya amat tidak sopan dan memalukan. Kun Hong sudah menduga akan hal ini dan dia manyambar dan menggenggam tangan Hui Kauw,

   "Hui Kauw alangkah mulia hatimu. Kenapa kau menolongku sampai begitu?"

   Dengan suara tegas namun agak gemetar gadis itu menjawab,

   "Kun Hong, ingatlah bahwa bagiku, kau adalah... suamiku, dan bagiku menolongmu adalah kewajibanku."

   "Hui Kauw... Hui Kauw..."

   Terharu sekali Kun Hong dan untuk sejenak kedua orang muda ini saling berpegang kedua tangan diam saja tak berkata-kata, akan tetapi getaran dari dua pasang tangan itu merupakan pelepasan daripada hati yang penuh keharuan dan kerinduan. Setelah mereda gelora perasaannya Kun Hong melepaskan kedua tangan Hui Kauw, celingukan ke kanan kiri lalu bertanya,

   "Mana dia...?"

   "Kau mencari siapa?"

   "Janda itu... Yo-Twa-So, di mana dia?"

   "Oh, kau maksudkan perempuan hina, pelacur itu?"

   Kata Hui Kauw, suaranya terdengar kaku karena hatinya mengkal kalau ia teringat akan wanita muda cantik yang genit cabul dan yang ia lihat memeluk Kun Hong itu.

   "Perempuan hina? Pelacur? Apa maksudmu, Hui Kauw?"

   Kun Hong bertanya dengan perasaan amat heran mengapa gadis yang berperasaan halus dan berbudi mulia ini bisa tiba-tiba memaki-maki janda Yo sedemikian rupa!

   "Dia bukan perempuan baik-baik, Kun Hong, bagaimana kau yang tadinya di keroyok dan melarikan diri itu tiba-tiba bisa berada di dalam pondok perempuan itu? Sayang aku datang terlambat sehingga tahu-tahu sudah mendengar bahwa kau telah melarikan diri dikejar-kejar para perwira Istana."

   Teringatlah sekarang Kun Hong akan pertempuran itu dan cepat-cepat dia bertanya,

   "Ah, habis bagaimana dengan para anggauta Hwa I Kaipang? Bagaimana jadinya dengan Hwa I Lokai?"

   Tanyanya penuh kekhawatiran. Hui Kauw menarik napas panjang.

   "Sebagian besar dari mereka tewas. Lebih dua puluh orang tewas, termasuk Ketuanya. Hanya beberapa orang saja selamat, tapi masih menjadi buruan sampai sekarang."

   Kun Hong membanting-banting kaki dan dia menangis di dalam hatinya.

   "Celaka, aku benar-benar telah membikin celaka banyak orang gagah. Ah... benar-benar celaka, dan benda yang kulindungi, yang menjatuhkan korban banyak orang gagah itu sekarang masih tertinggal di rumah Yo- Twa-So..."

   "Hee? Kau tinggalkan Mahkota itu di sana? Tadi aku sudah heran melihat kau menggeletak tanpa apa-apa, malah tongkatmu juga tidak ada. Wah, berbahaya kalau begitu. Kun Hong aku tidak percaya kepada perempuan itu. Tentu sekarang Mahkota dan tongkatmu sudah ia berikan kepada perwira Istana."

   Kun Hong menggeleng kepala.

   "Kau salah sangka, Hui Kauw. Perempuan itu adalah seorang janda yang dahulu pernah kutolong. Yo-Twa-So orangnya baik, harap kau jangan keliru sangka yang bukan-bukan!"

   "Dia baik? Huhh, kau tertipu, Kun Hong. Memang dia seorang janda muda yang cantik manis. Tapi wataknya tidak sebersih mukanya. Dia seorang perempuan genit dan cabul."

   "He?? Apa yang telah terjadi sampai kau menuduhnya demikian? Aku melarikan diri dan membentur pohon, tidak ingat apa-apa. Ketika aku sadar, aku sudah berada dalam pondok Yo-Twa-So, lalu aku pingsan tidak ingat apa-apa lagi. Apakah yang telah terjadi? Apakah kau mengenal Yo-Twa-So?"

   "Aku tidak kenal perempuan itu. Akan tetapi ketika aku mengejar dan mencarimu, aku melihat dia main gila dengan The Sun, orang kepercayaan Kaisar, penghimpun para orang kang-ouw di Istana. Coba saja bayangkan, dia main gila dengan The Sun dan setelah Kongcu hidung kerbau itu pergi, dia memelukimu dan menangisimu. Hemmm, masih baik aku tidak tusuk dia dengan pedangku, hanya menendangnya roboh ketika aku merampasmu dan membawamu ke sini."

   "Celaka...!!"

   Tiba-tiba Kun Hong berseru sambil melompat sehingga mengagetkan Hui Kauw. Kemudian Pendekar Buta itu mengeluh dengan suara seperti orang akan menangis.

   "Ah, celaka betul... Yo-Twa-So... Yo-Twa-So... mengapa engkau berkorban untukku sampai sehebat itu??"

   Kun Hong menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dia benar-benar menangis. Hui Kauw memegang tangan Kun Hong, suaranya gemetar karena ia menduga hal-hal yang hebat,

   "Kenapa? Apa artinya semua ini Kun Hong??"

   "Ah, Hui Kauw, kau tidak tahu. Dia... dia telah berkorban untuk keselamatanku, pengorbanan yang lebih hebat daripada nyawa...! The Sun itulah orangnya yang telah menipuku, dan dia pula yang telah melukai pangkal pahaku secara curang, kemudian dia yang mengejar ketika aku melarikan diri. Dan aku berada dalam pondok Yo-Twa-So dalam keadaan pingsan tak berdaya. Lalu kau melihat Yo-Twa-So... dan The Sun itu... ah, aku dapat membayangkan apa yang telah dilakukan Yo-Twa-So untuk menyelamatkan nyawaku. Yo-Twa-So tentu tahu bahwa kalau The Sun melihat aku di sana tentu aku akan dibunuhnya. Yo-Twa-So mempergunakan senjata tunggalnya sebagai wanita lemah, yaitu kecantikannya dan ia... ah, ia menggunakan itu untuk memikat The Sun sehingga penjahat itu tidak memperhatikan dan tidak mencari aku lagi..."

   Bukan main kagetnya hati Hui Kauw mendengar penjelasan ini.

   "Wah... celaka... aku malah menendangnya dua kali! Dan kau... kulihat kau berbedak langes hitam mukamu ketika rebah di kamar itu, dan rambutrnu penuh pupur, sekelebatan kau seperti seorang kakek lagi berbaring... wah kau betul Kun Hong! Tentu Yo-Twa-So telah sengaja menaruh semua itu agar kau disangka seorang tua untuk mengelabuhi mata The Sun. Celaka, ah... alangkah bodohku... Kun Hong, kau maafkan kebodohanku..."

   Hui Kauw benar-benar merasa menyesal sekali atas kesembronoannya menuduh yang bukan-bukan kepada seorang wanita yang demikian berbudi. Kun Hong memegang lengan Hui Kauw.

   "Hui Kauw, hayo antar aku ke sana, sekarang juga. Selain aku harus menghaturkan terima kasih, juga aku merasa khawatir akan keselamatan Yo-Twa-So dan A Wan, anaknya. Juga, aku harus mengambil kembali tongkatku dan Mahkota itu sebelum terjatuh ke tangan The Sun dan kawan-kawannya."

   Karena merasa amat menyesal akan perbuatannya terhadap janda muda itu maka Hui Kauw tidak berani membantah lagi.

   Digandengnya tangan Kun Hong dan dibawanya Pendekar Buta itu melesat keluar melalui jendela, terus meloncat naik ke atas genteng dan dua orang itu mempergunakan Ginkang mereka berloncatan dari genteng ke genteng, cepat laksana bayangan hantu di malam gelap. Waktu itu tengah malam sudah jauh terlewat, malah sudah hampir pagi. Ayam-ayam jantan sudah mulai berkokok dan sungguhpun belum tampak orang-orang keluar dari rumah masing-masing, namun malam gelap sudah mulai melepaskan dunia daripada cengkramannya yang memabukkan. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kun Hong dan Hui Kauw ketika mereka meloncat turun ke halaman rumah kecil janda Yo, mereka mendengar suara tangis seorang anak kecil yang menggerung-gerung penuh kedukaan.

   "A Wan, ada apakah...?"

   Kun Hong tidak sabar lagi dan cepat mendorong pintu yang sudah berada di depannya bersama Hui Kauw dia lari memasuki pondok kecil itu.

   "Ahhhhh...!"

   Tangan Hui Kauw yang menggandengnya menggigil dan suara gadis ini gemetar.

   "Ada apa? Hui Kauw, kau melihat apa? A Wan, mengapa kau menangis?"

   "Paman...!"

   A Wan menubruk kaki Kun Hong dan tangisnya makin menjadi-jadi sampai akhirnya dia menjadi sesak napas dan terguling pingsan di kaki Pendekar Buta itu.

   "Kun Hong... dia... Yo-Twa-So itu... entah kenapa dia..."

   "Mana Yo-Twa-So? Mana...!"

   Hui Kauw menarik tubuh A Wan, dikempitnya dan dengan hati tidak karuan ia menuntun Kun Hong maju.

   "Dia di lantai..."

   Bisiknya. Kun Hong berlutut, tangannya meraba dan... begitu menyentuh tubuh janda Yo, jari-jari tangannya cepat bergerak memeriksa nadi tangan, memeriksa detik jantung, meraba leher. Dia mengeluh panjang, melepaskan tangan mayat itu, lalu menutupi mukanya dengan tangan mulutnya berkata lirih.

   "Yo-Twa-So... kau telah berkorban untukku... alangkah besar budi yang kau limpahkan kepadaku. Yo-Twa-So, biarlah aku bersumpah, aku tidak mau menjadi orang sebelum aku membalas ini semua kepada si keparat The Sun..."

   "Tidak...!"

   Tiba-tiba A Wan yang sudah siuman melepaskan diri dari pangkuan Hui Kauw yang juga menangis perlahan saking terharunya. A Wan lari menghampiri dan memeluk tubuh Ibunya, lalu memandang Kun Hong dan berkata lagi.

   "Tidak, Paman, tidak boleh begitu. Akulah yang akan membalas dendam Ibu terhadap The Sun! Sebelum... sebelum Ibu mati, ia sudah meninggalkan pesan kepadaku supaya membalas budi Paman dan membalas dendam kepada The Sun. Ah, Ibu... Ibu...!!"

   Tiba-tiba Kun Hong yang sudah dapat menguasai perasaannya itu bangkit berdiri dan sekali tarik dia telah membuat A Wan berdiri pula.

   "Cukup bertangis-tangisan ini! Tanpa kegagahan, mana bisa kau membalas dendam itu? Dan kalau mempelajari kegagahan, harus pantang menangis kau dengar? A Wan, mulai sekarang kau menjadi muridku!"

   "Suhu (guru)..."

   A Wan menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Hong, terisak-isak menahan tangisnya.

   "Sekarang, ceritakan apa yang telah terjadi dengan Ibumu!"

   Sambil menahan isaknya A Wan lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia dan Ibunya menolong Kun Hong yang sudah menggeletak pingsan di belakang rumah, kemudian betapa dia disuruh Ibunya memanggil Sinshe Thio akan tetapi biarpun dia membujuk-bujuk Sinshe itu tidak mau menolong malah memaki dan memukulnya. Kemudian dia bercerita dengan air mata bercucuran akan tetapi tidak berani mengeluarkan suara tangisan betapa ketika dia pulang, dia mendengar jerit Ibunya memanggil namanya dan pada waktu dia memasuki rumah, Ibunya sudah menggantung lehernya dengan ikat pinggang. Kun Hong menarik napas panjang dan menoleh kepada Hui Kauw, berkata dengan suara tergetar,

   "Dia mencuci noda dengan nyawa Hui Kauw, adakah orang yang lebih mulia daripadanya?"

   Hui Kauw tidak menjawab, hanya terisak perlahan menekan keharuan hatinya ketika ia memandang ke arah mayat nyonya Yo yang menggeletak di lantai. Perlahan ia melangkah maju, mengangkat mayat itu dengan hati-hati dan meletakkannya di atas pembaringan, lalu menggunakan selimut butut yang berada di situ untuk menutupi tubuh dan muka mayat itu. Semua ini ia lakukan penuh hormat dan dengan diam-diam, diikuti pandang mata A Wan dan pendengaran Kun Hong. Ketika menyingkap selimut tadi, Hui Kauw melihat tongkat Kun Hong, diambilnya tongkat itu dan diserahkannya kepada Kun Hong tanpa berkata-kata. Kun Hong merasa tangannya tersentuh tongkat, dengan hati lega dia menerima senjata ini.

   "A Wan, dahulu kau dan Ibumu diantar Lao Tui pergi ke kota Cin-An, bagaimana kau dan Ibumu bisa tinggal di Kota Raja ini?"

   Dengan singkat anak itu menuturkan pengalamannya yang penuh duka dan derita. Memang amatlah buruk nasib dia dan Ibunya. Lao Tui yang berhati palsu itu kiranya berlaku curang. Anak dan Ibu ini tidak diantar ke Cin-An sebagaimana yang dikehendaki nyonya Yo, melainkan diam-diam dia bawa ke Kota Raja!

   Setelah tiba di Kota Raja mereka menginap dalam sebuah rumah penginapan dan di tempat inilah diam-diam Lao Tui kabur membawa semua uang pemberian Song-Wangwe, membiarkan janda muda itu bersama anaknya sendirian di Kota Raja yang besar dan ramai itu! Dapat dibayangkan betapa bingung dan susahnya hati nyonya janda Yo. Seorang wanita dari dusun seperti dia, kini tahu-tahu berada di kota besar tanpa uang tanpa sandaran! Dengan amat sengsara janda muda ini bekerja keras sebagai tukang cuci, sekedar untuk dapat mencegah kelaparan dan hidup dalam keadaan amat miskin dengan anaknya. Tentu saja banyak gangguan ia alami, namun janda muda ini berhati keras dan dapat menjaga diri sehingga biarpun ia dan anaknya hidup miskin dan serba kekurangan, menyewa sebuah pondok seperti gubuk, namun di dalam kemiskinan itu ia tetap dapat menjaga kebersihan diri dan namanya.

   "Ibu dan Teecu (murid) hidup dalam kemiskinan, Ibu bekerja mencuci pakaian dan Teecu membantu dengan bekerja sebagai penggembala, sampai pada malam hari itu secara kebetulan sekali kami bertemu dengan Suhu,"

   A Wan mengakhiri ceritanya yang didengarkan dengan penuh keharuan hati oleh Kun Hong dan Hui Kauw.

   "Memang nasib Ibumu amat buruk, akan tetapi besarkan hatimu, Wan-ji, karena segala sesuatu yang terjadi di dunia ini bukanlah kehendak manusia. Sudah ditakdirkan Ibumu pergi menyusul arwah Ayahmu di waktu ia masih muda. Mereka itu, Ayah bundamu itu, meninggalkan kau seorang diri di dunia, tentu mereka percaya dengan penuh keyakinan bahwa kau sebagai ahli waris mereka akan mewarisi pula budi pekerti Ayahmu yang gagah perkasa wataknya dan Ibumu yang suci budinya."

   A Wan mendengarkan dengan muka tunduk untuk menyembunyikan mukanya yang menjadi merah lagi.

   "Wan-ji (anak Wan), ketika kau dan Ibumu menolongku ketika aku pingsan, apakah kau melihat buntalan pakaianku? Adakah kau melihat sesuatu dalam buntalan pakaian itu?"

   "Suhu maksudkan sebuah benda seperti topi yang gilang-gemilang berwarna kuning?"

   "Betul..."

   Kun Hong berdebar gembira.

   "Di mana berada benda itu?"

   "Ada Teecu simpan. Suhu jangan khawatir, Teecu sembunyikan di tempat rahasia. Begitu melihat benda itu, Teecu dapat menduga bahwa tentu Suhu memperebutkan benda itu dengan musuh-musuh Suhu, maka sengaja Teecu sembunyikan selagi Suhu pingsan. Tunggu sebentar Suhu, Teecu hendak mengambilnya, Teecu di belakang rumah."

   Anak itu lalu keluar melalui pintu belakang.

   "Kun Hong, cerdik sekali Wan-ji itu, pantas dia menjadi muridmu, pula sudah sepatutnya kalau kita membalas budi mendiang Yo-Twa-So..."

   Kata Hui Kauw terharu.

   "Kau betul, Hui Kauw. Kita harus membantu Wan-ji mengurus penguburan jenazah Yo-Twa-So dan sambil menanti Wan-ji dan datangnya pagi, baik kau ceritakan pengalamanmu. Tadi itu rumah siapakah? Apakah kau berhasil bertemu dengan orang tuamu?"

   Dua orang muda itu duduk berhadapan di atas lantai tanah yang hanya bertikar rombeng di rumah itu. Di dekat mereka, jenazah nyonya janda Yo terbaring kaku. Api lampu minyak kecil membuat ruangan itu remang-remang. Suara Hui Kauw yang halus itu terdengar ketika ia mulai menceritakan pengalamannya setengah berbisik-bisik. Sebaiknya kita ikuti saja pengalaman nona ini semenjak ia berpisah dari Kun Hong setelah membantu pemuda buta itu memperoleh kembali Mahkota kuno dari tangan Hui Siang dan Bun Wan di Pulau Ching-Coa-To. Hui Kauw meninggalkan Pulau Ching-Coa-To dengan hati penuh duka nestapa dan perasaan hancur.

   Memang, baginya pulau itu bukanlah kenangan yang mendatangkan kenangan indah dan andaikata ia dapat pergi meninggalkan pulau ini setahun yang lalu, agaknya ia akan merasa gembira, bahagia dan bebas seperti Burung terlepas dari sangkarnya. Ching Toa-Nio dan Hui Siang bukanlah merupakan orang-orang yang mengasihinya, sungguhpun ia sendiri cukup berusaha untuk memaksa hati menyayang mereka untuk membalas budi mereka, terutama budi Ching Toa-Nio yang telah memeliharanya semenjak ia kecil, sungguhpun wanita itu telah menculiknya dari tangan Ayah bundanya yang aseli. Sesungguhnya, andaikata sebelum terjadi peristiwa kerIbutan karena kedatangan Kun Hong di pulau itu, ia telah berhasil meninggalkan pulau, hal itu akan merupakan kebebasan dan kebahagiaan baginya. Akan tetapi, apa hendak dikata. Nasibnya menghendaki lain.

   Nasib telah mempertemukan ia dengan Kun Hong Pendekar Buta itu, orang muda buta yang sekaligus menarik hatinya, menjatuhkan cinta kasihnya. Pengharapannya untuk dapat hidup berbahagia sebagai isteri Kwa Kun Hong timbul ketika Ching Toa-Nio membujuknya untuk melakukan upacara pernikahan dengan Si Pendekar Buta. Menyaksikan wajah Si Pendekar Buta yang simpatik, budi pekertinya yang baik, sikapnya yang gagah perkasa dan kepandaiannya yang tinggi, di dalam hatinya Hui Kauw sudah jatuh benar-benar. Kebutaan mata Kun Hong tidak mengecewakan hatinya, malah merupakan hIburan baginya karena dengan demikian laki-laki yang ia harapkan menjadi suaminya itu tidak akan dapat melihat betapa wajahnya yang berkulit halus itu berwarna kehitaman yang menurut pandang mata setiap orang laki-laki tentu amat menjemukan dan buruk!

   Siapa dapat mengira bahwa semua itu hanyalah tipuan belaka, siasat yang dijalankan oleh Ching Toa-Nio dan kawan-kawannya untuk menjebak Kun Hong dan menarik pemuda perkasa itu ke pihak mereka. Tentu saja sebagai seorang laki-laki gagah, Kun Hong merasa terhina dan menolak pernikahan yang hanya merupakan siasat itu. Akibatnya perasaan Hui Kauw hancur luluh, remuk-redam dan buyarlah semua renungan yang muluk-muluk tentang hidup bahagia bersama Kun Hong. Kini ia sudah terpisah dari Kun Hong, meninggalkan pemuda itu setelah membantunya mendapatkan Mahkota kuno kembali. Sedikitnya hatinya telah terhIbur. Tidak saja ia telah berjasa dan membalas budi Kun Hong, juga ia mendapat kenyataan bahwa Pendekar Buta itu sebetulnya menaruh hati cinta kasih pula kepadanya. Ia tidak bertepuk tangan sebelah.

   Kalau teringat akan ini, ingin rasanya Hui Kauw menari-nari saking bahagia rasa hatinya. Kun Hong juga mencintainya! Kebahagiaan apakah di dunia ini yang lebih besar daripada keyakinan bahwa orang yang dicintanya membalas dengan Cinta kasih yang sama besarnya pula? Namun, duka dan suka memanglah sepasang saudara kembar. Masing-masing tak dapat berjauhan dan masing-masing siap menggantikan kedudukan saudara kembarnya. Rasa suka karena pengetahuan tentang cinta kasih Kun Hong kepadanya ini segera tertutup oleh duka yang amat besar, yaitu kenyataan bahwa Kun Hong tidak akan dapat mengawininya karena pemuda buta itu seluruh hati dan perasaannya masih terikat oleh cinta kasihnya kepada mendiang Cui Bi, dan perasaan ini memaksa Si Pendekar Buta untuk bersetia terus kepada mendiang kekasihnya itu!

   Demikianlah, dengan dada kosong karena hatinya sudah tertinggal bersama Si Pendekar Buta, dan perasaan amat berat karena semenjak saat itu ia harus hidup sendiri, Hui Kauw melakukan perjalanan cepat sekali dengan tujuan Kota Raja. Selama hidupnya belum pernah ia melakukan perjalanan jauh, apalagi ke Kota Raja, karena ia seakan-akan "Dikurung"

   Oleh Ching Toa-Nio di dalam pulau. Nenek itu kalau bepergian, tentu Hui Siang yang diajak serta. Justeru hal ini malah mendatangkan hIburan bukan kecil bagi Hui Kauw. Biasanya ia hanya melihat pemandangan di sekitar pulau saja, kali ini setelah melakukan perjalanan jauh melalui gunung-gunung, ia terpesona dan beberapa kali sampai terhenti untuk menikmati tamasya alam yang amat indahnya.

   Tujuan perjalanannya ini selain minggat dari pulau Ching-Coa-To, adalah untuk mencari Ayah bundanya di Kota Raja. Hal ini sebenarnya telah menjadi niat hatinya semenjak bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi ia selalu kurang berani melakukannya. Sekarang karena keadaan memaksanya, ia dapat melaksanakan niatnya itu. Betapapun perasaan ini mendatangkan kegirangan di hatinya, namun juga mendatangkan keraguan dan kekhawatiran. Ia sudah tidak ingat lagi bagaimana wajah Ayah bundanya, juga tidak tahu nama mereka. Yang ia dengar dari pelayan tua di Ching-Coa-To yang merasa sakit hati karena disiksa oleh Ching Twa-Nio dan membuka rahasia ini kepadanya hanyalah bahwa ia bukanlah anak Ching Toa-Nio, bahwa ketika masih amat kecil ia diculik oleh Ching Toa-Nio dari Kota Raja dan bahwa dia adalah anak keluarga kaya raya she Kwee!

   Ia merasa ragu-ragu apakah ia akan dapat berjumpa dengan Ayah bundanya, apakah ia akan berhasil mencari seorang she Kwee di Kota Raja tanpa bahaya keliru cari? Bagaimana kalau ia bertemu dengan keluarga Kwee yang kaya raya di Kota Raja akan tetapi sebetulnya keluarga itu bukanlah keluarganya? Mungkinkah Ayah bundanya akan dapat mengenal puterinya yang lenyap ketika masih amat kecil? Apalagi kalau ia ingat bahwa sekarang mukanya telah menjadi hitam! Kalau berpikir sampai di sini, Hui Kauw menjadi amat gelisah. Para penjaga pintu gerbang tembok Kota Raja, tentu saja tidak membiarkan gadis ini lewat begitu saja tanpa diperiksa. Akan tetapi melihat sikap yang lemah lembut namun keren, melihat pedang yang tergantung di punggung Hui Kauw, mereka maklum bahwa gadis ini adalah seorang gadis kong-ouw yang berkepandaian, maka mereka tidak berani main gila.

   Tentu saja hal ini sebagian besar dikarenakan wajah Hui Kauw yang hitam dan karenanya tidak menarik, andaikata wajahnya yang sebetulnya amat cantik jelita itu tidak bercacat dengan warna kehitaman itu, kiranya ia takkan terluput daripada godaan dan kekurang ajaran para penjaga itu. Setelah diperiksa sebentar ia lalu diperbolehkan masuk. Dapat dibayangkan betapa kagum dan herannya hati gadis ini ketika ia telah memasuki Kota Raja dan melihat keramaian yang luar biasa itu. Bingung ia dibuatnya, dan hal pertama yang ia lakukan adalah mencari sebuah rumah penginapan. Seorang pelayan muda dengan muka cengar-cengir menyambutnya. Pelayan rumah penginapan Kota Raja hampir semua mengenal orang-orang kang-ouw, maka pelayan muda ini pun tentu saja dapat menduga bahwa tamunya seorang wanita muda yang datang sendirian ini tentu seorang wanita kang-ouw.

   "Nona mencari kamar? Kebetulan masih ada yang kosong di sebelah belakang. Silakan Nona mengikuti saja."

   Hui Kauw tidak senang dan merasa sebal melihat muka pelayan muda yang mesam-mesem ini, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa dan berjalan perlahan mengikuti pelayan itu. Rumah penginapan itu cukup besar dan mereka berjalan melalui beberapa ruangan. Di ruangan sebelah dalam terdapat tiga orang laki-laki bertubuh tinggi besar sedang duduk bercakap-cakap. Ketika Hui Kauw lewat, mereka menghentikan percakapan itu dan tiga pasang mata dengan cara yang tidak sembunyi-sembunyi menatap gadis ini yang berjalan dengan tenang tanpa menoleh ke sana ke mari.

   Akan tetapi diam-diam Hui Kauw melirik dan memperhatikan keadaan di situ sehingga ia dapat tahu betapa kamar-kamar penginapan itu penuh dengan para tamu yang juga semua menengok dan memandangnya dari jendela atau pintu kamar mereka. Diam-diam ia mendongkol sekali dan menganggap bahwa para lelaki di Kota Raja adalah sebangsa laki-laki kasar dan tidak sopan terhadap wanita. Kamar itu biarpun kecil tetapi cukup bersih, biarpun baunya apek dan menyebalkan hati Hui Kauw. Nona ini cepat mengeluarkan beberapa potong uang kecil dan diberikannya kepada pelayan itu. Otomatis berubah sikap pelayan ini setelah menerima persen yang besar ini, tubuhnya membungkuk-bungkuk mukanya berseri dan senyumnya melebar memperlihatkan deretan gigi menguning.

   "Terima kasih, Nona yang gagah. Terima kasih. Adakah sesuatu perintah dari Nona? Barangkali Nona membutuhkan bantuan saya..."

   Katanya menjilat. Karena pelayan ini merupakan orang pertama yang dihubunginya dan yang dapat diajaknya bercakap-cakap, Hui Kauw segera berkata,

   "Barangkali kau dapat menunjukkan kepadaku di mana rumah keluarga Kwee yang kaya raya di Kota Raja ini."

   Biarpun Hui Kauw sudah memandang tajam, ia merasa sukar untuk dapat menangkap perasaan pelayan itu karena mukanya berubah-ubah, matanya terbelalak seperti orang keheranan, kemudian terbayang ketakutan, keningnya berkerut seperti orang bercuriga, tapi mulutnya masih tersenyum.

   "Keluarga Kwee...? Kaya raya...? Ehmm, di mana, ya? Nona, di sini banyak sekali keluarga Kwee. Yang kaya raya juga banyak, apalagi yang miskin. Keluarga mana yang Nona maksudkan? Siapa nama Hartawan itu?"

   Mendengar ini saja Hui Kauw sudah kecewa. Mana dia bisa tahu namanya? Kalau ia sendiri tahu yang ia maksudkan, tentu ia takkan bertanya-tanya lagi, pikirnya mengkal.

   "Aku tidak tahu namanya, yang kuketahui hanya bahwa dia adalah seorang Hartawan she Kwee."

   Pelayan itu menggeleng-gelengkan kepalanya yang gepeng.

   "Wah, susah kalau begitu, Nona. Di sini banyak Hartawan she Kwee, entah ada berapa puluh orang!"

   Hui Kauw menggerakkan tangan dan di lain saat ia telah memperlihatkan dua potong uang emas.

   "Kau suka menerima hadiah ini?"

   Pelayan itu bengong, tak dapat segera menjawab, hanya kalamenjing di lehernya yang kecil itu bergerak naik turun. Setahun bekerja penuh di penginapan itu, tak mungkin bisa mendapatkan emas dua potong itu, pikirnya mengilar. Saking kacau hatinya, dia tidak dapat menjawab, hanya mengangguk-angguk seperti ayam mematuki beras. Hui Kauw menahan senyum.

   "Aku tidak mempunyai kenalan di Kota Raja ini, oleh karena itu aku membutuhkan bantuanmu. Kau carilah keterangan tentang keluarga Hartawan Kwee yang pernah diculik anak perempuannya belasan tahun yang lalu. Nah, emas ini menjadi milikmu kalau kau bisa mendapatkan keterangan itu, malah akan kutambah kalau kelak ternyata bahwa keteranganmu tidak keliru."

   "Boleh... baik, Nona... akan segera saya kerjakan perintah Nona setelah selesai pekerjaan saya nanti."

   Akhirnya si pelayan dapat juga menjawab dan cepat-cepat dia keluar dari kamar itu. Hui Kauw juga melangkah ke luar kamar dan matanya bersinar-sinar ketika ia melihat berkelebatnya sesosok bayangan yang agaknya mempunyai niat tidak baik. Akan tetapi karena berada di tempat asing, ia diam saja, hanya bersiap menjaga diri daripada segala kemungkinan. Malam itu sehabis makan sekedarnya, Hui Kauw merebahkan diri di atas pembaringan.

   
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jengkel juga hatinya menanti-nanti pelayan yang tak kunjung datang. Akan tetapi ia menghIbur hati sendiri dengan pikiran bahwa tentu tidak mudah melakukan penyelidikan tentang seorang yang tak diketahui betul keadaannya di dalam kota sebesar itu. Ia menutup kelambu, akan tetapi sengaja ia tidak membuka pakaian, malah ia berbaring dengan pakaian lengkap dan pedang di dekat bantal. Lilin sudah ia tiup padam karena memang ia ingin mengaso sambil menenteramkan pikirannya yang risau. Sukar sekali ia tidur. Pikirannya kacau-balau, sebagian besar berpikir tentang Kun Hong dengan hati duka, sebagian lagi membayangkan pertemuannya dengan Ayah bundanya. Masih hidupkah mereka? Andaikata masih hidup dan dapat bertemu muka dengannya, sukakah mereka menerimanya sebagai anak?

   Bagaimana nanti sikap mereka terhadapnya? Masih adakah kasih sayang? Dan bagaimana nanti sikapnya sendiri terhadap mereka? Semua ini membuat dadanya berdebar-debar dan membuat kedua matanya terbuka lebar tidak mau dimeramkan. Menjelang tengah malam, suara-suara di dalam rumah penginapan besar itu telah lenyap. Keadaan sunyi menandakan bahwa para tamu sudah tidur. Dari dalam kamarnya, Hui Kauw dapat mendengar suara orang-orang mendengkur dari kamar lain. Hal ini makin memusingkan kepalanya dan menjengkelkan hatinya. Jemu sekali ia di dalam penginapan ini. SerIbu kali ia lebih suka bermalam di sebuah hutan, di atas dahan pohon besar, lebih segar dan nikmat, dapat mengaso betul-betul. Hawa di dalam kamar itu pengap, membuat napas menjadi sesak. Tiba-tiba ia tersentak kaget. Ada suara di jendela kamarnya.

   Tapi, sebagai seorang gadis pendekar yang berilmu tinggi, hanya beberapa detik saja ia tegang, selanjutnya sambil tersenyum mengejek ia tenang-tenang rebah sambil menanti apa yang akan datang. Hatinya geli mendengar betapa daun jendela dikorek-korek dengan senjata tajam. Agaknya pencuri yang hendak membuka jendela, pikirnya. Akan tetapi ketika ia mencurahkan perhatian dan menggunakan pendengarannya, terdengar lebih daripada dua buah kaki yang berpijak di lantai. Hemm, apakah di Kota Raja yang begini ramainya terdapat juga perampok-perampok? Benar-benar berani mati penjahat-penjahat ini, pikirnya. Rumah penginapan adalah tempat umum dan di situ banyak terdapat tamu, bagaimana mereka ini berani datang melakukan kejahatan di sini? Kalau ketahuan, apakah mereka tak akan dikeroyok mampus?

   "Kraaakkk!"

   Akhirnya daun jendela terbuka dan tiga sosok bayangan yang ringan gerakannya meloncat memasuki kamar melalui jendela itu. Diam-diam Hui Kauw kaget karena gerakan tiga orang itu menunjukkan bahwa mereka bukanlah merupakan penjahat-penjahat biasa, melainkan orang-orang yang memiliki kepandaian lumayan. Akan tetapi ia tetap rebah saja sambil mempersiapkan pedangnya, lalu Hui Kauw membentak halus.

   "Tiga orang tikus kecil apakah sudah bosan hidup? Hayo lekas keluar lagi sebelum nonamu habis sabar!"

   Memang ia tidak mau mencari perkara di Kota Raja yang asing baginya ini. Tiga orang itu tidak bergerak, malah seorang di antaranya menyalakan lilin sehingga Hui Kauw dapat melihat bahwa mereka adalah tiga orang tinggi besar yang siang tadi duduk di ruangan tengah.

   "Nona muka hitam, jangan sombong,"

   Cela seorang di antara mereka.

   "Hemm, benar-benar tidak tahu telah diberi kelonggaran,"

   Kata orang ke dua. Orang ke tiga yang menyalakan lampu itu berkata sambil memandang Hui Kauw yang sudah bangun dan duduk di pinggir pembaringannya,

   "Nona, kami bertiga sudah banyak mengalah, sengaja tidak membikin rIbut di depan umum agar kau tidak mendapatkan malu. Karena itulah maka kami diam-diam mendatangimu di waktu malam begini agar orang-orang tidak ada yang tahu."

   Hui Kauw mengerutkan kening, membentak,

   "Orang-orang kurang ajar, kalian bicara apa? Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian, hayo lekas minggat dari sini!"

   Gadis ini sekarang sudah marah dan sudah turun dari pembaringan, berdiri tegak dengan sikap keren dan dengan pedang di tangan. Seorang di antara mereka yang matanya juling tertawa mengejek, lalu cengar-cengir berkata,

   "Nona, agaknya kau belum tahu siapa kami, maka sikapmu kasar. Ketahuilah, kami adalah petugas-petugas dari Istana, kami mata-mata dan penyelidik yang bertugas di rumah penginapan ini. Entah sudah berapa banyaknya mata-mata pengkhianat dan pemberontak kami tangkap! Nah, lebih baik sekarang simpan pedangmu dan kau baik-baik membiarkan kami menggeledah dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan."

   "Siapa peduli tentang keadaan kalian? Siapa pun juga kalian, tidak patut memasuki kamar orang seperti pencuri-pencuri busuk. Kalau ada keperluan datanglah besuk dengan cara yang sopan. Aku bukan pengkhianat, bukan pula pemberontak, perduli apa dengan kedudukan kalian? Hayo minggat!"

   "Ha-ha-ha, galak benar"

   Orang ke dua yang kumisnya panjang tertawa.

   "Biarpun mungkin bukan pemberontak, akan tetapi setidaknya tentu sebangsa perampok atau maling tunggal yang datang dari luar Kota Raja hendak mengacau atau mencuri di sini. Nona, tangan panjang, kau menyelidiki keadaan seorang Hartawan di Kota Raja, apa maksudmu selain hendak memindahkan sebagian hartanya ke tanganmu?"

   "Keparat, berani kalian menghina orang!"

   Tubuh Hui Kauw bergerak dan terdengarlah suara,

   "Plak-plak, bluk, nngek!"

   Disusul pekik tiga orang itu mengaduh-aduh diakhiri dengan melayangnya tiga tubuh mereka keluar lubang jendela.

   Mereka masih terdengar mengaduh-aduh, lalu merangkak-rangkak kemudian terdengar langkah mereka berderap-derap lagi meninggalkan tempat itu! Hui Kauw tersenyum mengejek dan merasa geli hatinya. Begitu sajakah penyelidik-penyelidik dari Istana? Ia membersihkan kedua tangannya dengan taplak meja di kamar itu. Kedua tangannya baru saja "Makan"

   Muka dan kepalannya menjotos dada orang-orang itu. Dengan tenang Hui Kauw menutupkan daun pintu jendelanya kembali, menyimpan pedangnya lalu merebahkan diri di atas pembaringan seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu. Menjelang pagi nona itu tiba-tiba terbangun. Enak juga ia tidur dari tengah malam tadi. Tidur pulas tiga empat jam baginya cukup sudah. Sekarang ia terbangun karena mendengar suara di luar kamarnya. Banyak orang berkumpul di luar kamarnya, sedikitnya ada sepuluh orang. Mendengar suara,

   "Di sini kamarnya!"

   Hui Kauw cepat turun dari pembaringan, menggosok-gosok mukanya dengan sapu tangan, membereskan rambut dan pakaiannya yang kusut, mengikatkan pedang di pinggangnya mengencangkan tali sepatunya, malah untuk menjaga segala kemungkinan ia mengikatkan pula buntalan pakaian di atas punggungnya.

   "Duk-duk-duk, buka pintu!"

   Pintunya mulai digedor orang.

   "Buka pintu! Kami pengawal Istana hendak memeriksa!"

   Huh, menyebalkan, pikir Hui Kauw. Kiranya di Kota Raja berkeliaran segala anjing Istana yang kerjanya hanya mengganggu orang.

   Hemm, lihat mereka mau apa terhadapku. Kakinya melangkah ringan dan sekali tangannya bergerak, pengganjal daun pintu terlepas dan daun-pintu terbuka lebar-lebar. Dengan tenang Hui Kauw berdiri tegak dengan sikap gagah dan mata tajam menatap keluar kamar. Kiranya di luar kamarnya telah berkumpul sedikitnya selosin orang, dikepalai laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang bersikap gagah dan sombong, sebuah senjata Ruyung baja yang besar tergantung di pinggangnya. Melihat pakaian orang ini lebih mewah dan berbeda dari orang-orang yang lain, dapatlah Hui Kauw menduga bahwa orang ini tentu pimpimpin mereka itu. Dengan tenang ia melangkahkan kaki keluar dari dalam kamar, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut berhadapan dengan selosin laki-laki yang tampaknya tinggi-tinggi besar dan gagah-gagah itu.

   "Hemm, kiranya orang-orang lelaki di Kota Raja, hanya kelihatannya saja gagah dan sombong,"

   Kata Hui Kauw perlahan akan tetapi suaranya mengandung penuh penyesalan dan ejekan.

   "Malam tadi tiga ekor anjing menggonggong dan berlagak membuat orang sukar tidur enak, dan sekarang pagi-pagi sekali serombongan orang kasar menggedor pintu. Apa kehendak kalian?"

   Hui-Kauw sengaja berkata demikian ketika melihat bahwa tiga orang laki-laki malam tadi berada di dalam rombongan ini pula. Tiga orang laki-laki itu menjadi merah mukanya, mata mereka melotot lebar akan tetapi jelas mereka kelihatan gentar. Siapa orangnya tidak menjadi gentar kalau malam tadi mengalami hal seperti mereka? Tanpa mereka ketahui bagaimana caranya, semalam gadis bermuka hitam itu telah membuat mereka kalang-kabut dan babak-belur sehingga dalam keadaan hampir pingsan tahu-tahu mereka mendapatkan diri telah berada di luar kamar! Tentu saja mereka merasa seperti telah bertemu dan melawan setan karena mereka yang terkenal sebagai orang-orang berkepandaian tinggi bagaimana bisa mengalami hal seperti itu anehnya.

   Semalam dengan tubuh sakit-sakit dan semangat terbang melayang, mereka menyeret kedua kaki melarikan diri dan langsung melaporkan hal aneh itu kepada seorang pengawal Istana yang menjadi kepala mereka. Pengawal Istana yang sekarang membawa sebelas anak buahnya, pagi-pagi sekali mendatangi kamar tamu hotel yang aneh dan mencurigakan itu, bukan lain adalah Tiat-Jiu Souw Ki yang sudah kita kenal lama! Seperti telah kita ketahui, semenjak masih pangeran, Kaisar yang sekarang, yaitu dahulunya Pangeran Kian Bun Ti, sudah banyak mempunyai kaki tangan terdiri dari jago-jago silat. Dahulu dia terkenal mempunyai tujuh orang pengawal jagoan yang terdiri dari orang-orang gagah, di antaranya adalah Tiat-Jiu Souw Ki itulah.

   Setelah Kian Bun Ti menjadi Kaisar, hanya tiga orang di antara tujuh jagoannya. yang masih ada dan yang masih dia pergunakan tenaganya sebagai pengawal Istana. Mereka ini adalah Tiat-Jiu Souw Ki, Bhong Lokai dan Ang Mo-Ko. Dua orang kakek ini ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada Tiat-Jiu Souw Ki, akan tetapi karena watak mereka yang aneh, jarang sekali mereka keluar kalau tidak menghadapi urusan besar. Mereka lebih suka bertugas di dalam Istana menjaga keselamatan Kaisar, berbeda dengan Tiat-Jiu Souw Ki yang lebih suka berkeliaran di luar karena baginya, bertugas di luar Istana mempunyai kesempatan lebih banyak untuk melampiaskan nafsu-nafsunya, mudah mencari "Rejeki"

   Dengan jalan memeras dan merampas, mudah pula mempermainkan anak isteri orang yang menjadi sebuah di antara hobbynya (kegemarannya)!

   Di bagian cerita ini sudah dituturkan betapa Tiat-Jiu Souw Ki yang tadinya berhasil merampas kembali Mahkota kuno yang dicuri oleh Tan Hok dari dalam Istana kemudian "Bertemu batunya"

   Ketika nona Tan Loan Ki Si Walet Jelita mempermainkannya, mengalahkannya dan merampas kembali Mahkota itu. Hati Souw Ki amat penasaran. Dia, seorang pengawal Kaisar, berjuluk Tiat-Jiu (Si Tangan Besi), ahli main Ruyung baja, masih dibantu anak buah perampok-perampok Hui-Houw-Pang dan Kiang-Liong-Pang dan si Tosu bopeng Ban Kwan Tojin, kalah oleh seorang dara jelita yang masih setengah kanak-kanak! Mulai saat itu Tiat-Jiu Souw Ki menaruh hati benci pada wanita-wanita kang-ouw.

   Maka begitu mendengar dari anak buahnya bahwa di dalam penginapan di Kota Raja itu terdapat seorang wanita kang-ouw yang mencurigakan akan tetapi berilmu tinggi, hatinya tertarik dan penasaran. Mana bisa di dunia ini ada wanita ke dua yang boleh begitu saja menghinanya? Demikianlah, pagi-pagi benar dia mengajok sebelas orang anak buahnya yang pilihan mendatangi penginapan itu dan menggedor pintu kamar Hui Kauw. Melihat sikap Hui Kauw yang menantang dan keren, Tiat-Jiu Souw Ki menjadi panas perutnya. Dia seorang mata keranjang dan agaknya kalau nona yang terbentuk tubuh menggairahkan ini tidak hitam mukanya, agaknya siang-siang kemarahannya sudah akan mencair kembali. Akan tetapi kehitaman muka Hui Kauw memang menyembunyikan kecantikannya dan hal ini agaknya membuat Souw Ki makin panas perutnya sehingga meledaklah suaranya membentak.

   "He, monyet betina muka hitam! Siapa kau berani bersikap sombong di depan Tiat-Jiu Souw Ki? Mendengar laporan anak buahku, kukira kau seorang tokoh kang-ouw yang bernama besar sehingga pagi-pagi aku datang sendiri untuk melihat. Siapa tahu kiranya hanya seekor monyet hitam, lutung hitam. Hayo lekas berlutut menyerah!"

   Hui Kauw adalah seorang yang sebenarnya memiliki watak penyabar dan luas pandangan. Semalam sudah ia buktikan betapa wataknya amat halus dan pemurah sehingga tiga orang laki-laki kasar yang sudah menghinanya itu masih dia ampuni dan hanya memberi hajaran sedikit dan tidak mengakibatkan luka-luka parah. Namun, sesabar-sabarnya hati wanita, kalau dimaki dan diperolok tentang keburukan mukanya, ia tentu akan marah juga. Demikian pula Hui Kauw. Ia maklum bahwa mukanya memang hitam dan buruk, akan tetapi bukan untuk diperolok oleh seorang laki-laki macam Souw Ki ini. Dengan kilatan mata berbahaya, gadis itu menudingkan telunjuknya yang runcing ke muka Souw Ki sambil berkata.

   "Bangsat rendah bermulut kotor, mukamu sendiri hitam dan buruk, masih berani memaki orang lain? Tidak peduli kau siapa, aku adalah seorang baik-baik yang tidak pernah dan tidak akan melakukan kejahatan. Tentang maksud kedatanganku di Kota Raja, adalah urusanku sendiri, siapa berhak mencampuri? Malam tadi aku masih mengampuni tiga ekor anjing kecil, akan tetapi sekarang kalau ada anjing besar berani menggonggong tak tahu malu, agaknya aku takkan puas kalau belum mampu menghajar moncongnya sampai tanggal semua giginya!"

   Dapat dibayangkan betapa marahnya Tiat-Jiu Souw Ki mendengar kata-kata menghina ini. Jelas bahwa gadis muka hitam ini memakinya sebagai anjing besar yang hendak dihajar moncongnya dan ditanggalkan giginya.

   "Bangsat betina, tidak biasa aku, Tiat-Jiu Souw Ki Si Tangan Besi bertempur melawan perempuan, akan tetapi karena kau terlalu kurang ajar sudah semestinya mengenal tangan besiku."

   "Hemm, kau mau mengeroyok? Aku tidak takut!"

   Kata Hui Kauw, masih tenang sikapnya dan sama sekali ia tidak meraba gagang pedangnya. Ia tahu bahwa kepandaian seseorang dapat diukur dari sikapnya. Sikap Souw Ki yang sombong ini sama sekali tidak mencerminkan ilmu yang tinggi sehingga tak perlu pula ia berkhawatir.

   "Wah-wah, kau benar-benar memandang rendah, keparat! Agaknya kau memiliki sedikit kepandaian maka berani malang-melintang di Kota Raja. Siapa hendak mengeroyokmu? Dua buah jari tanganku saja sanggup membuat kau berkeok-keok minta ampun. Mari... mari... boleh kita bertanding di tempat yang lapang!"

   Dia melangkah lebar ke ruangan dalam di mana terdapat ruangan yang lapang setelah meja kursi didorong ke pinggir tembok.

   Dengan lagak gagah dibuat-buat Souw Ki berdiri di tengah ruangan ini, menanti dengan sikap jagoan yang sudah pasti akan mendapat kemenangan, sama sekali tidak sadar bahwa sikapnya ini saja sudah menunjukkan sikap pengecut besar karena sebagai jago, yang menanti bukanlah jago lain melainkan seekor ayam betina! Hui Kauw dengan senyum dikulum dan menahan kemengkalan hati, melangkah pula ke ruangan ini. Ia mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada pemimpin orang Istana ini agar selanjutnya ia tidak mendapat banyak gangguan lagi. Panas juga hatinya melihat betapa laki-laki tinggi besar itu sudah memasang kuda-kuda, mulutnya menyeringai penuh ejekan dan cemooh, matanya melirik memandang rendah. Menurutkan gelora hati panas Hui Kauw menggenjot tubuhnya dan melayangkan tubuhnya itu ke tengah ruangan, tepat berhadapan dengan Souw Ki.

   Pengawal Istana ini kaget, maklum bahwa lawannya ini kiranya benar-benar memiliki kepandaian tinggi, buktinya memiliki Ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lumayan. Bagus, pikir si pongah, makin tinggi ilmunya makin baik sehingga aku takkan ditertawai anak buahku, disangka hanya pandai mengalahkan wanita cantik dan lemah saja. Biarlah iblis betina ini kutundukkan dengan kepandaian, pikirnya. Betapapun juga, setelah berhadapan dengan calon lawannya, Hui Kauw yang berhati lembut itu sudah merasa menyesal. Ia sedang berusaha mencari orang tuanya. Kedatangannya di Kota Raja adalah untuk urusan itu, bukan untuk berkelahi! Sekarang, belum apa-apa ia sudah mendatangkan keonaran dan sudah hendak bentrok dengan petugas-petugas Istana!

   "Tiat-Jiu Souw Ki,"

   Katanya dengan suara lembut karena penyesalan ini.

   "Terus terang saja, aku sebenarnya tidak suka rIbut-rIbut karena kedatanganku di Kota Raja ini bukan untuk mencari kerIbutan dengan siapapun juga. Anak buahmu kuhalau pergi karena mereka malam-malam mengganggu dan memasuki kamarku. Melihat julukanmu, kau tentulah seorang kang-ouw yang tahu akan sopan-santun di dunia kang-ouw, dan biarkanlah aku melanjutkan urusanku sendiri dan kita tidak saling ganggu."

   Belasan tahun yang lalu, sebelum bintangnya naik menjadi pengawal pangeran, Tiat-Jiu Souw Ki adalah seorang bajak sungai yang terkenal. Tentu saja dia tahu akan peraturan dunia persilatan, dunia perantauan dan dunia kaum hitam. Maka dia tertawa bergelak mendengar ucapan Hui Kauw ini dan menjawab.

   "Ha-ha-ha, ucapanmu seperti kau ini seorang tokoh kang-ouw yang hebat saja! Bocah, aku Tiat-Jiu Souw Ki sudah banyak mengenal tokoh kang-ouw dan andaikata kau seorang tokoh sekalipun, kau masih harus menghormati aku, apalagi kau sama sekali tidak kukenal dan kau seorang pelonco dalam dunia kang-ouw, mana bisa aku berlaku sungkan lagi? Kecuali kalau kau mau berterus terang menyatakan siapa namamu, dari mana kau datang dan apa niatmu memasuki Kota Raja, baru aku mau timbang-timbang untuk mengampunimu."

   Ucapan ini benar-benar amat sombong dan memandang rendah. Akan tetapi karena Hui Kauw benar-benar tidak menghendaki terjadinya kerIbutan tanpa sebab penting, ia menahan kemendongkolan hatinya, menjura dan berkata,

   "Tiat-Jiu Souw ki, baiklah aku memperkenalkan diri. Namaku Hui Kauw dan aku datang ke Kota Raja ini untuk urusan pribadi, mencari keluargaku. Nah, sekali lagi harap kau dan orang-orangmu jangan mengganggu dan aku berjanji takkan mengganggu kalian di mana saja kalian berada."

   Orang yang sombong selalu tidak mau mengalah, sempit pandangan dan tidak menimbang keadaan. Sikap Hui Kauw ini diterima keliru oleh Souw Ki yang mengira bahwa gadis muka hitam itu merasa jerih terhadap dia!

   "Ha-ha-ha, mana bisa begitu gampang? Kau telah bersikap garang terhadap orang-orangku, nah, sekarang kau harus berlutut tujuh kali minta ampun kepadaku, baru aku Tiat-Jiu Souw Ki mau sudah!"

   (lanjut ke Jilid 19)

   Pendekar Buta (Seri ke 03 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19

   "Kau memang terlalu sombong"."

   Hui Kauw membentak.

   "Ha-ha-ha, majulah kalau hendak merasai kelihaianku!"

   Souw Ki menantang. Hui Kauw maklum bahwa tak mungkin bersilat lidah dengan seorang manusia macam ini sombongnya.

   "Lihat serangan!"

   Ia membentak dan cepat laksana Burung menyambar tubuhnya sudah bergerak maju dan kedua tangannya bergerak melakukan penyerangan. Souw Ki yang memandang rendah, melihat datangnya tusukan dengan jari tangan kiri ke arah lehernya, cepat menggerakkan tangan kanan untuk menangkap pergelangan tangan lawan dan bermaksud untuk mengalahkan dalam segebrakan ini karena kalau dia berhasil menangkap tangan kecil itu berarti dia akan menang. Hatinya girang bukan main melihat tangan kiri itu masih terus melakukan tusukan, agaknya sama sekali tidak perduli akan gerakan tangan kanannya yang hendak menangkap pergelangan tangan. Wah, begini gampang? Dia sudah tertawa dalam hatinya karena yakin bahwa pergelangan tangan kiri yang kecil itu sudah pasti akan dapat dia tangkap.

   "Ayaaaaa... celaka...!"

   Tubuh Souw Ki terjengkang dan roboh terus bergulingan ketika dia sengaja membanting diri ke belakang. Dia meloncat bangun lagi dengan muka sebentar pucat sebentar merah sedangkan keringat dingin membasahi lehernya.

   Dia sebentar marah, sebentar malu karena harus bersikap seperti itu di depan orang banyak. Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya ketika dalam gebrakan pertama tadi saja dia sudah hampir celaka. Kiranya tusukan tangan kiri Hui Kauw memang sengaja dilakukan sebagai umpan. Gadis itu membiarkan tangan kirinya disambar pergelangannya, akan tetapi tangan kanannya sudah cepat "Memasuki"

   Lowongan kedudukan lawan dan menyodok ke arah lambung di bawah iga. Andaikata Souw Ki tidak cepat-cepat membanting diri ke belakang, biarpun tangan kanannya akan berhasil menangkap pergelangan tangan kiri lawan, namun dia sendiri akan terkena Pukulan maut yang akan mengguncangkan jantungnya dan banyak kemungkinan akan menewaskannya! Hui Kauw sekarang tersenyum mengejek.

   "Tiat-Jiu Souw Ki, sudah kukatakan bahwa aku tidak suka berkelahi mencari kerIbutan. Masih belum terlambat kalau kau sudahi saja pertempuran tiada guna ini."

   Tiat-Jiu Souw Ki adalah seorang yang sudah mempunyai banyak pengalaman bertempur dan kepandaiannya pun tinggi tentu saja dia tidak menjadi gentar menghadapi bahaya yang hampir mengalahkannya tadi. Dia maklum bahwa hal tadi dapat terjadi bukan semata-mata karena lawan terlalu lihai, melainkan karena kesalahannya sendiri. Dia tadi terlalu memandang rendah lawannya, sama sekali tidak mengira bahwa lawannya, seorang perempuan muda, memiliki kecepatan dan kelihaian seperti itu. Dia sekarang menjadi penasaran dan marah. Dibantingnya kaki kanannya dan dia membentak.

   "Bocah sombong, jangan banyak mulut. Lihat pukulan!"

   Tanpa sungkan-sungkan lagi kini Tiat-jixu Souw Ki menerjang Hui Kauw dengan kedua kepalan tangannya yang kuat terlatih sehingga dia mendapat, julukan Tiat-Jiu atau Si Tangan Besi. Pukulannya sampai mendatangkan angin saking keras dan cepatnya. Namun Hui Kauw memiliki keanehan yang sudah matang. Sebagai puteri Ching Toa-Nio yang sudah mewarisi kepandaian manusia iblis Siauw-Coa-Ong. Giam Kin, tentu saja Hui Kauw memiliki dasar ilmu silat yang tinggi. Menghadapi penyerangan Souw Ki yang biarpun ganas namun sebagian besar hanya berdasarkan tenaga kasar itu, ia tidak menjadi gugup. Dengan tenang namun cepat nona ini menggeser kakinya, mengelak dengan cekatan sekali sambil mengayun kaki kiri membalas dengan sebuah tendangan perlahan namun berbahaya karena yang dijadikan sasaran ujung sepatu adalah pusar lawan!

   Tiat-Jiu Souw Ki menggeram dan tangan kirinya menyambar kaki dengan maksud mencengkeramnya hancur, sedangkan tangan kanannya menjotos kepala nona yang besarnya sebanding dengan kepalan tangannya. Serangan balasan yang dahsyat ini dihadapi oleh Hui Kauw dengan memperlihatkan Ginkangnya yang mengagumkan. Tanpa menarik kakinya yang menendang itu Hui Kauw sudah menjejakkan kaki kanannya ke atas tanah sehingga tubuhnya mumbul ke atas, lalu bergerak miring untuk membebaskan diri dari pukulan Souw Ki dan otomatis kaki yang menendang juga menyamping, akan tetapi bukan berarti membatalkan tendangan karena kaki itu masih terus menendang dari arah yang berlainan dengan sasaran berubah pula, kini dari "udara"

   

Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini