Ceritasilat Novel Online

Pendekar Buta 2


Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



Muak rasa hati Kun Hong mendengar penuturan ini. Tidak salah dugaannya yang mengecewakan hatinya tadi bahwa baik perkumpulan Hui-Houw-Pang maupun lawannya, yaitu Kiang-Liong-Pang, adalah perkumpulan golongan hitam. Kiranya mereka adalah perampok-perampok yang sekarang sedang bertengkar dengan para bajak!

   "Sebenarnya, biarpun saling bersaingan, kalau hanya untuk urusan harta benda biasa saja tak mungkin kedua fihak sampai bertempur."

   Gadis itu melanjutkan penuturannya.

   "Akan tetapi untuk Mahkota ini kami tidak mau mengalah begitu saja."

   "Apakah karena terlalu berharga?"

   Kun Hong tertarik.

   "Bukan, tapi karena Mahkota itu dapat menjadi jalan agar kami dapat mendekati Kaisar baru, mengambil hatinya dan memperoleh kedudukan tinggi dalam Kerajaan. Kabarnya Kaisar muda yang baru ini amat mudah diambil hatinya."

   "Kaisar baru? Kaisar muda? Apa maksudmu?!"

   Kun Hong menahan gelora hatinya mendengar kata-kata ini.

   "Iihhh, kau benar-benar buta!"

   Gadis itu tertawa.

   "Memang aku buta, siapa pernah membantah?"

   Kun Hong terpaksa melayani kelakar ini agar si gadis suka melanjutkan ceritanya yang mulai menarik hatinya. Dengan lagak genit Swat-ji mencubit lengan Kun Hong.

   "Kau memang buta, tapi kau tampan dan pandai... eh, aku suka padamu, kau lucu..."

   Tentu saja Kun Hong tidak mau melayani kegenitan gadis itu, tapi dia pun tidak mencelanya, hanya berkata halus.

   "Nona, aku ingin sekali mendengar penjelasanmu tentang Kaisar baru tadi."

   "Kau benar-benar belum mendengarnya? Kaisar tua sudah meninggal tiga bulan yang lalu, dan sekarang di Kota Raja terjadi kerIbutan dalam menentukan siapa yang akan menggantinya. Akan tetapi sudah tentu calon Kaisar adalah Pangeran Kian Bun Ti, cucu Kaisar yang tercinta, sebagai anak dari pangeran sulung yang telah tiada. Nah, kau tahu sekarang dan tentang Mahkota itu, sebetulnya telah dilarikan oleh bekas pembesar dari Kota Raja yang agaknya mempergunakan saat Kota Raja rIbut-rIbut, lalu lari membawa Mahkota kuno yang tak ternilai harganya itu. Sekarang Mahkota itu berada di tangan kami, dan tentu akan membawa Ayah ke depan Kaisar untuk menerima anugerah dan kedudukan."

   Diam-diam Kun Hong kaget juga. Selama tiga tahun ini dia merantau tidak pernah memperhatikan persoalan dunia. Kiranya Kaisar Thai-cu, yaitu pendiri Kerajaan Beng, seorang pahlawan yang sejak

   (lanjut ke Jilid 02)

   Pendekar Buta (Seri ke 03 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02

   dahulu sering dipuji-puji Ayahnya, kini telah meninggal dunia dan singgasana Kerajaan agaknya dijadikan bahan perebutan oleh para pangeran. Mengingat bahwa Pangeran Kian Bun Ti dicalonkan menjadi Kaisar diam-diam Kun Hong menarik napas panjang. Dia sudah pernah bertemu dengan pangeran ini (baca cerita Rajawali Emas), dan dia sudah mengenal watak yang kurang baik dari pangeran itu yang dahulu tidak segan-segan untuk mencoba memaksa dua orang keponakannya, yaitu Thio Hui Cu dan Kui Li Eng, untuk menjadi selir-selirnya! Tiba-tiba dia sadar dari lamunannya ketika kembali lengannya dicubit dan suara gadis itu terkekeh,

   "Hi-hik, kenapa kau termenung setelah mendengar tentang Kaisar? Apakah kau ingin menjadi Kaisar? Hi-hi-hi, alangkah lucu dan bagusnya, Kaisar buta! Sinshe yang baik, kau tidak usah melamun menjadi Kaisar, biarlah kau menjadi Tabib kami saja di sini, malam nanti kau boleh memijati tubuhku yang lelah. Kau pandai memijatkan?"

   Gadis itu menggeser duduknya, merapatkan tubuhnya yang hangat itu kepada Kun Hong. Kun Hong tidak memperdulikan hal ini karena pikirannya sedang bekerja keras. Telinganya sudah dapat menangkap derap kaki orang banyak menuju ke tempat itu. Berdebar dia kalau teringat betapa sebentar lagi akan terjadi pertempuran, bunuh-membunuh di depan matanya yang buta.

   "Nona, sebentar lagi musuh-musuhmu menyerbu, melihat betapa Ayahmu dan anak buahnya terluka, tentu musuh itu amat kuat. Apakah kau tidak takut?"

   "Ihh, mengapa takut? Dengan pedangku aku mampu menjaga diri. Malah aku ingin mencoba kelihaian jahanam tua she Bhe itu dengan pedangku!"

   "Tapi... tapi mereka datang untuk Mahkota itu. Bagaimana kalau mereka menyerbu ke rumah Ayahmu dan merampas Mahkota? Kupikir, Mahkota itu harus disembunyikan dulu..."

   "Ah, kau pintar juga!"

   Tangan yang halus itu mengusap dagu Kun Hong, membuat pemuda buta ini merasa dingin di belakang punggungnya.

   "Tapi Ayah dan aku lebih pintar. Mahkota itu tak pernah terpisah dari tubuhku."

   Kata-kata ini dibisikkan di dekat telinga Kun Hong sehingga pemuda buta ini dapat merasa betapa napas Swat-ji panas-panas meniup pipinya. Cepat laksana kilat Kun Hong menggerakkan tangannya dan tahulah dia pada detik lain bahwa Mahkota yang dimaksudkan itu berada dalam buntalan yang digendong oleh gadis ini. Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan nyaring dan Kun Hong mendengar suara kaki beberapa orang yang menggunakan ilmu meringankan tubuh memasuki ruangan depan tempat Swat-ji berbisik,

   "Mereka sudah datang, Bhe Ham Ko sendiri yang memimpin..."

   Gadis inipun tidak berani main-main lagi sekarang, ia mengalihkan perhatiannya dari Tabib buta yang menarik hatinya itu kepada para musuh yang telah berada di situ. Yang kelihatan berada di luar halaman saja sedikitnya ada dua puluh orang Kiang-Liong-Pang.

   Adapun yang sudah meloncat memasuki pekarangan adalah seorang tua tinggi kurus yang memegang sebatang dayung kuningan. Swat-ji menduga bahwa tentu inilah orangnya yang bernama Bhe Ham Ko, Ketua dari Kiang-Liong-Pang yang telah melukai Ayahnya. Di samping kakek ini berdiri lima orang laki-laki tinggi besar yang menilik pakaiannya tentulah tokoh-tokoh dalam perkumpulan bajak itu. Di belakang mereka, berdiri acuh tak acuh, tampak seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam, berusia empat puluh tahun lebih. Berbeda dengan Bhe Ham Ko dan lima orang pembantunya yang berdiri dengan senjata di tangan, laki-laki ini membiarkan Ruyung bajanya tergantung di pinggang dan tidak memperlihatkan muka yang serius, malah menengok ke sana ke mari seperti seorang pelancong melihat-lihat pemandangan indah.

   "Hui-Houw-Pangcu Lauw Teng, kami dewan pengurus Kiang-Liong-Pang sudah datang mengunjungimu. Keluarlah agar kita dapat merundingkan perkara sampai beres!"

   Kakek she Bhe itu mengeluarkan suaranya.

   "Kamipun membawa obat dan ahli untuk menyembuhkan luka-luka para sahabat dari Hui-Houw-Pang!"

   Jelas terdengar dalam suara ini bahwa Ketua Kiang-Liong-Pang ini mengandung ancaman dan bujukan. Membujuk untuk berbaik di samping mengingatkan bahwa pertempuran hanya akan mendatangkan kerusakan dan kerugian pada fihak Hui-Houw-Pang!

   "Kiang-Liong-Pangcu Bhe Ham Ko, luka-luka yang kecil tiada artinya itu tidak perlu dibicarakan. Kami sudah siap menanti kedatanganmu!"

   Muncullah Lauw Teng diiringi tujuh orang pembantunya dengan langkah gagah dan senjata siap ditangan kanan! Berubah wajah Bhe Ham Ko melihat bekas lawannya itu kelihatan sehat benar, malah para pembantunya yang tadinya terkena pukulannya yang mengandung hawa beracun kini sudah muncul dalam keadaan sehat! Akan tetapi keheranannya lenyap ketika dia melirik dan melihat seorang Tosu berjalan keluar dari samping. Dia tertawa bergelak sambil mengelus jenggotnya yang tipis.

   "Ha-ha-ha, kiranya Lauw-Pangcu mendapat bantuan orang pandai. Pantas saja tidak membutuhkan obat-obatan dari kami lagi. Ataukah engkau hendak mempelajari kitab To-Tik-Keng bersama anak buahmu, memang pantas kalau gedung ini diubah menjadi Kuil."

   Inilah ucapan menghina dan menyindir karena fihak Hui-Houw-Pang terdapat seorang Tosu tua. Merah wajah Lauw Teng, juga dia menjadi heran sekali. Biasanya, seperti yang dia ketahui, Ketua Kiang-Liong-Pang ini adalah seorang yang amat hati-hati dan bukan seorang kasar yang sembrono. Kenapa hari ini menjadi begini sombong, berani sekali menghinanya dan malah berani mengejek Ban Kwan Tojin? Tentu ada sebabnya, pikirnya dan ketika dia melihat sikap acuh tak acuh dari orang tinggi besar muka hitam di belakang rombongan Ketua Kiang-Liong-Pang itu, dapatlah dia menduga bahwa tentu orang itu yang dijadikan andalan.

   "Bhe-Pangcu, tak perlu banyak bicara lagi kiranya. Kita sudah lama tahu apa maksudmu datang mengunjungiku pada saat ini, lengkap dengan anak buah dan senjata. Nah, keluarkan isi hatimu. Bagi kami, tetap kami tidak akan suka mengalah, oleh karena kami merasa bahwa pembesar she Tan itu adalah mangsa kami di daratan. Barang-barang bekalnya yang terampas oleh kami menjadi hak kami dan tak seekor setanpun boleh mengambilnya begitu saja dari tangan kami!"

   Bhe Ham Ko tertawa menyeringai dan menggerak-gerakkan dayungnya.

   "Aku tahu akan kekerasan hati Lauw-Pangcu, tahu pula bahwa benda Pusaka itu kau kukuhi bukan karena harganya, melainkan karena pentingnya guna membuka pintu Kota Raja. Bukankah begitu?"

   Kembali wajah Lauw Teng menjadi merah.

   "Apapun yang akan kulakukan dengan benda hakku itu, bukan menjadi urusanmu, Bhe-Pangcu. Dan kiranya... setiap orang berhak untuk mencari kemajuan dalam hidupnya..."

   Dia merasa segan dan sungkan untuk bicara terus terang dengan hasratnya mencari kedudukan di Kota Raja.

   "Jadi kau berkukuh hendak memiliki Mahkota Pusaka Kerajaan itu?"

   Bhe Ham Ko membentak.

   "Memang! Dan kami akan mempertahankannya dengan senjata kami!"

   Jawab Lauw Teng berani. Ketua Hui-Houw-Pang ini tentu saja menjadi besar hatinya karena dia mengandalkan bantuan Ban Kwan Tojin dan tiga orang gagah lain yang menjadi tamu undangannya, yang sekarangpun telah memasuki pekarangan dan berdiri dengan sikap gagah di dekat Ban Kwan Tojin. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Tua bangka she Bhe jangan menjual lagak di sini!"

   Bayangan merah berkelebat dan ternyata Swat-ji sudah melompat ke depan rombongan lawan dengan pedang di tangan, sikapnya gagah.

   "Swat-ji...!"

   Lauw Teng menegur kaget, bukan melihat puterinya hendak menentang lawan, melainkan kaget karena tidak melihat buntalan di punggung Swat-ji, buntalan Mahkota yang sengaja dia suruh bawa anak gadisnya yang dia tahu memiliki ilmu pedang yang cukup tinggi. Dalam hal ilmu silat, puteri ini tidak kalah lihai daripadanya sendiri.

   "Ayah, biarkan aku mengusir anjjng tua ini agar jangan banyak menjual lagak di sini."

   Gadis yang galak ini segera menggerakkan pedangnya menyerang Bhe Ham Ko. Ketua Kiang-Liong-Pang tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, bapaknya harimau liar anaknyapun sama juga. Biarlah aku orang tua menjinakkan macan betina liar ini!"

   Dengan tenang orang she Bhe ini menggerakkan dayungnya menangkis, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan tenaga Lweekangnya untuk membuat pedang gadis itu terlempar dengan sekali tangkis. Swat-ji tidak bodoh. Tentu saja ia sudah mendengar tentang tenaga Lweekang yang tangguh dari kakek ini, maka dengan gerakan pergelangan tangannya ia menyelewengkan pedangnya menghindarkan benturan senjata lawan lalu dengan cepat dari samping pedangnya mengirim tusukan miring ke arah lambung.

   "Aiiih, tidak jelek...!"

   Bhe Ham Ko berseru dan cepat melompat mundur sambil mengelebatkan dayungnya yang menyambar dari atas ke arah kepala Swat-ji. Namun gadis itu dengan gerakan yang lincah dapat pula mengelak sambil meneruskan dengan serangan berantai. Gerakannya memang cepat dan agaknya dengan kecepatan ini ia hendak mencapai kemenangan. Pedangnya menyambar-nyambar dan sama sekali ia tidak memberi kesempatan kepada lawannya untuk membentur senjatanya.

   "Bagus! Lauw-Pangcu, kepandaian anakmu bagus juga!"

   Bhe Ham Ko berseru dan terpaksa kakek ini memutar dayungnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya daripada hujan tusukan dan bacokan.

   Dengan menggunakan ketajaman pendengarannya Kun Hong dapat menduga bahwa biarpun Swat-ji memiliki gerakan yang amat cepat, namun ia takkan menang menghadapi lawannya yang memiliki gerakan antep, bertenaga, dan tenang itu. Dia mengerutkan keningnya. Pertandingan besar-besaran dan mati-matian tentu takkan dapat dicegah lagi. Sebetulnya dia boleh tak usah ambil perduli karena kedua fihak yang akan bertanding bunuh-membunuh adalah golongan hitam atau Orang-orang yang mempunyai pekerjaan merampok dan membunuh. Mereka adalah orang-orang jahat. Akan tetapi, pemuda buta ini merasa tidak tega untuk membiarkan sesama manusia saling bunuh, hanya untuk memperebutkan sebuah benda mati yang oleh Swat-ji dititipkan kepadanya dan kini berada di buntalan pakaiannya itu.

   Alangkah bodohnya manusia. Untuk mencari harta atau kedudukan, rela mengorbankan nyawa, malah tega untuk membunuh sesama manusia. Kun Hong berpikir keras, mencari akal untuk mencegah permusuhan antara kedua golongan itu. Akan tetapi, baru saja dia bangkit berdiri untuk mencegah menghebatnya perkelahian, mendadak di sana-sini terdengar seruan heran dan marah. Sesosok bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu dayung di tangan Bhe Ham Ko terpental ke belakang, sedangkan Swat-ji terhuyung-huyung. Ketika mereka memandang, di situ telah berdiri seorang gadis cantik jelita masih muda sekali, berpakaian serba hitam yang ringkas dan sikapnya gagah, sepasang matanya yang jeli memandang ke kanan-kiri.

   Alisnya yang hitam panjang itu berkerut, mulut yang kecil dengan Bibir merah segar membayangkan kekerasan hati dan keangkuhan. Dengan sekali gerakan saja dapat mengundurkan Bhe Ham Ko dan Swat-ji, dapat dibayangkan bahwa gadis jelita ini memiliki kepandaian yang hebat. Swat-ji yang terhuyung-huyung itu amat marah, akan tetapi sebelum ia sempat mengembalikan keseimbangan tubuhnya, bagaikan seekor Burung Walet, gadis baju hitam itu bergerak, tubuhnya menyambar dan tahu-tahu Swat-ji merasa dirinya diangkat ke atas. Kiranya tengkuknya telah dicengkeram oleh gadis itu dan betapapun ia berusaha melepaskan diri, ia tidak mampu bergerak, bahkan pedang yang masih dipegangnya itu tak dapat pula ia gerakkan seakan-akan seluruh tubuhnya menjadi lumpuh!

   "Kaum kotor dari Hui-Houw-Pang dan Kiang-Liong-Pang dengarlah! Hari ini nonamu datang untuk mengambil Mahkota Pusaka, kalian tidak boleh rIbut-rIbut lagi dan harus mengalah kepada nonamu!"

   Sikap yang amat sombong ini menimbulkan kemarahan, juga kegelian. Apalagi Lauw Teng yang melihat anaknya ditangkap seperti itu, kemarahannya memuncak dan dia membentak,

   "Gadis liar dari mana datang mengacau? Kau siapa berani membuka mulut besar di sini?"

   Gadis muda itu tersenyum mengejek. Manis sekali ia kalau tersenyum sehingga banyak di antara para anak buah kedua fihak itu terpesona melihat cahaya gigi gemerlapan di balik Bibir yang merah dan berbentuk indah itu.

   "Kau Ketua dari Hui-Houw-Pang, tak perlu banyak cakap. Aku tahu bahwa Mahkota berada di tanganmu, lekas serahkan kepada nonamu, kalau tidak, akan kubanting hancur anak perempuanmu yang tak tahu malu ini!"

   Hemmm, kiranya bocah ini hendak memaksaku dengan menangkap anakku, pikir Lauw Teng yang segera menjawab dengan tersenyum mengejek.

   "Boleh kau banting anak tiada guna itu, mana bisa aku memberikan Mahkota Pusaka kepadamu? Gadis liar, lebih baik lekas mengaku kau siapa dan siapa menyuruhmu datang mencampuri urusan kami?"

   Gadis pakaian hitam itu nampak kecewa, lalu melemparkan tubuh Swat-ji sambil mengomel,

   "Gadis sialan, sampai Ayah sendiri tidak sayang kepadamu!"

   Swat-ji terlempar dan jatuh bergulingan, tapi ia cepat melompat lagi dengan mata berapi-api dan muka merah sekali. Kalau saja ia tidak ingat bahwa tingkat kepandaian gadis baju hitam itu jauh lebih tinggi darinya, tentu akan diserangnya mati-matian, bukan main marahnya pada saat itu.

   "Pangcu dari Hui-Houw-Pang, juga kalian orang-orang Kiang-Liong-Pang. Kalian mau tahu siapa nonamu ini? Dunia kang-ouw menyebutku Bi Yan Cu (Si Walet Jelita). Nama aseliku tak perlu kuberitahu, kalian kurang berharga untuk mengenalnya. Ayahku adalah Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui."

   Ketika nona muda itu memperkenalkan julukannya, para penjahat itu saling pandang sambil tersenyum-senyum karena memang nama itu tidak terkenal. Akan tetapi ketika gadis itu menyebut nama Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui sebagai Ayahnya, berubah wajah mereka. Bahkan kedua Pangcu itu dan para tamu undangan nampak kaget sekali.

   Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui memang jarang muncul di dunia Kang-ouw, namun namanya dikenal sebagal seorang tokoh besar yang berilmu tinggi, yang sekarang hidup sebagai seorang "Raja kecil"

   Di pantai Laut Pohai, di lembah muara Sungai Kuning. Karena kepandaiannya yang tinggi tak seorang pun bajak laut atau perampok berani mengganggu perkampungan raja kecil ini. Sekarang tahu-tahu seorang gadis jelita yang datang ini mengaku sebagai puterinya dan bermaksud merampas Mahkota Pusaka yang sedang diperebutkan oleh golongan itu. Swat-ji yang masih merasa penasaran, ketika mendengar ini segera tahu bahwa gadis yang dibencinya itu tentu akan dimusuhi oleh kedua fihak, maka keberaniannya timbul kembali. Baginya yang belum banyak merantau, ia tidak mengenal siapa itu Sin-Kiam-Eng (Pendekar Pedang Sakti) Tan Beng Kui.

   "Budak liar jangan menjual lagak di sini!"

   Swat-ji memaki dan cepat menyerbu dengan pedangnya, dari belakang langsung menyerang gadis yang berjuluk Bi Yan Cu itu. Si Walet Jelita, gadis yang cantik itu, mengeluarkan suara mengejek dan ketika tubuhnya bergerak dengan amat indahnya ternyata ia telah dapat mengelak tanpa mengubah kedudukan kakinya dan selagi pedang lawannya menyambar lewat, tangan kirinya mendorong. Tak dapat tertahankah lagi tubuh Swat-ji terdorong ke depan, apalagi dari belakang ditambah sebuah tendangan ke tubuh belakang yang mengeluarkan bunyi "Plok!"

   Membuat tubuh Swat-ji terperosok ke depan, pedangnya mencelat dan hidungnya yang mencium tanah dengan keras itu mengeluarkan darah.

   "Tangkap gadis liar ini!"

   Terdengar Hui-Houw-Pangcu Lauw Teng memberi aba-aba.

   "Bunuh saja dia!"

   Terdengar Ketua Kiang-Liong-Pang berseru. Dua fihak yang tadinya bermusuhan, untuk sementara melupakan permusuhan mereka dan tanpa berunding sudah bersekutu untuk mengalahkan gadis berbahaya itu. Dengan pendengarannya yang tajam Kun Hong dapat mengikuti semua peristiwa itu. Hatinya berdebar ketika dia mendengar pengakuan gadis yang baru datang itu. Nama Tan Beng Kui tentu saja dikenalnya baik sungguhpun belum pernah dia bertemu muka dengan orangnya. Dia sudah banyak mendengar dari Ayah bundanya tentang Tan Beng Kui karena orang ini dahulu juga seorang pejuang gagah, murid pertama dari Raja Pedang Cia Hui Gan.

   Bukan itu saja, malah Tan Beng Kui ini adalah kakak kandung dari Tan Beng San yang sekarang menjadi Ketua Thai-San-Pai. Kun Hong amat kagum dan takluk kepada Tan Beng San, orang yang amat dia hormati karena kegagahannya, apalagi kalau dia ingat bahwa Tan Beng San adalah Ayah dari mendiang kekasihnya, Tan Cui Bi, Malah boleh dibilang dia adalah murid langsung dari Tan Beng San Si Raja Pedang itu, yang ketika dia menjadi buta, telah membisikkan rahasia dari Ilmu Sakti Im-Yang-Sin Kun-Hoat (Baca cerita Raja Pedang dan Rajawali Emas). Sekarang gadis yang mengaku berjuluk Bi Yan Cu Si Walet Jelita ini, yang bukan lain adalah keponakan dari Tan Beng San, berada di sini dan terancam bahaya pengeroyokan dua fihak yang tadinya bertentangan.

   Angin gerakan gadis itu tadi membuktikan bahwa ia berkepandaian tinggi, tentu telah mewarisi Ilmu Silat Sian-Li Kun-Hoat dari Ayahnya. Akan tetapi menghadapi pengeroyokan demikian banyaknya orang, tentu berbahaya juga. Seorang gadis yang menurut suaranya takkan lebih dari delapan belas tahun usianya itu mana boleh mati dikeroyok, juga amat tidak baik kalau mengamuk dan menjadi pembunuh puluhan orang manusia. Dia harus segera turun tangan, demikian Kun Hong mengambil keputusan. Sudah terdengar olehnya suara senjata beradu disusul pekik kesakitan banyak orang. Ah, jelas bahwa gadis lihai itu tentu sudah mengamuk, pikirnya. Cepat Kun Hong melompat berdiri, tongkatnya siap di tangan kanan dan tangan kirinya mengeluarkan Mahkota itu, diangkatnya tinggi-tinggi lalu dia berseru nyaring,

   "Heeii, kalian semua berhentilah bertempur dan lihat apa yang berada di tanganku ini!!"

   Karena ketika berseru ini Kun Hong mengerahkan sedikit tenaga khikang dari dalam perutnya, tentu saja suaranya nyaring sekali mengatasi semua kegaduhan dan mendadak semua pertempuran berhenti ketika mereka melihat benda emas mengkilap terhias permata berkilauan berada di tangan kiri pemuda buta itu.

   "Mahkota Pusaka...!"

   Terdengar teriakan di sana-sini.

   "Kalian bertempur untuk memperebutkan benda ini, bukan? Benar-benar kalian tak tahu malu. Benda ini bukanlah milik kalian, terang bahwa benda ini dirampok dari tangan seorang pembesar. Sungguh tak baik kalian. Rakyat sudah cukup penderitaannya, kalian orang-orang kuat dan memiliki kepandaian, mengapa justeru mempergunakan kekuatan itu untuk menambah kekacauan dan memperberat penderitaan rakyat? Sekarang benda ini sudah berada di tanganku, hendak kukembalikan kepada yang berhak. Siapa saja tidak boleh merampas benda ini dan kalian tidak perlu saling bermusuhan lagi!"

   Semua orang itu berdiri melongo. Siapa yang takkan terheran-heran menyaksikan aksi orang buta itu? Dan akhirnya meledaklah suara ketawa saking geli di samping marah dan mendongkol. Yang paling marah dan mendongkol adalah Lauw Teng. Dia marah sekali kepada puterinya. Benda itu dia suruh simpan atau bawa puterinya agar tidak diketahui orang, siapa duga oleh puterinya dititipkan kepada Sinshe buta ini.

   "Kwa-Sinshe, apakah... apakah kau sudah gila?"

   Bentaknya marah. Yang lebih dulu bergerak adalah Swat-ji. Gadis ini kaget dan takut sekali akan kemarahan Ayahnya ketika melihat orang buta itu begitu saja memperlihatkan Mahkota kepada semua orang. Ia cepat meloncat ke depan dengan hidung masih berdarah, menyambar dengan tangannya untuk merampas Mahkota itu dari tangan Kun Hong.

   "Sinshe, kau kembalikan titipanku!"

   Katanya. Akan tetapi aneh sekali, sambarannya tidak mengenai sasaran sehingga ia terhuyung-huyung ke depan. Ia membalik dan dengan suara merayu ia membujuk.

   "Sinshe yang baik, kau kembalikan benda itu kepadaku."

   "Nona Lauw Mahkota ini bukan milikmu, menyesal sekali tak dapat kuberikan kepada siapapun juga."

   Swat-ji marah dan menyerbu untuk merampas Mahkota, namun tiba-tiba ia terjungkal dan untuk kedua kalinya ia mencium tanah. Kini hidung yang tadinya berdarah, berubah menjadi bengkak.

   "Aduh..."

   Ia mengeluh.

   "Kau... keterlaluan... kau kejam. Tadi kau begitu baik... Sinshe, bukankah malam nanti kau mau memijati badanku? Kenapa sekarang merampas Mahkota?"

   Kembali beberapa orang tertawa mendengar ini dan muka Kun Hong yang berkulit putih itu menjadi kemerahan.

   "Nona, jangan keluarkan omongan bukan-bukan!, Seharusnya sebagai seorang gadis kau tidak bertingkah seperti ini..."

   Tapi pada saat itu Lauw Teng sudah menerjang maju, tangan kanan menghantam dada Kun Hong sedangkan tangan kiri berusaha merampas Mahkota sambil berseru.

   "Sinshe buta, kiranya kau hendak mengacau!"

   Seperti halnya Swat-ji, pukulan ini tidak mengenai sasaran, juga Mahkota tidak terampas,

   Sebaliknya entah mengapa dan cara bagaimana, tahu-tahu tubuh Ketua Hui-Houw-Pang itu terjungkal ke bawah! Inilah hebat! Ketua Hui-Houw-Pang ini terkenal seorang yang cukup kosen, berkepandaian tinggi. Bagaimana ketika menyerang Sinshe muda buta itu seperti tersandung batu kakinya dan terjungkal begitu mudah? Orang-orang tidak ada yang dapat mengikuti gerakan Kun Hong dan bagi mereka seakan-akan pemuda buta itu tidak bergerak apa-apa kecuali mengangkat Mahkota itu tinggi-tinggi seperti takut dirampas! Hanya beberapa orang saja yang menjadi tertegun dan berubah air mukanya. Mereka ini adalah Lauw Teng sendiri, Ketua Kiang-Liong-Pang, Bhe Ham Ko, Tosu dan Kwan Tojin, laki-laki tinggi besar muka hitam, beberapa orang tamu undangan Lauw Teng, dan juga, nona baju hitam yang baru datang.

   Mereka itu melihat betapa Ketua Hui-Houw-Pang tadi roboh oleh gerakan tangan yang perlahan dan hampir tidak kelihatan dari Sinshe buta itu! Keadaan menjadi gempar dan kini segala kemarahan dan perhatian ditumpahkan semua kepada si buta! Lupalah semua orang akan urusan yang tadi, lupa akan pertengkaran antara Hui-Houw-Pang dan Kiang-Liong-Pang, lupa pula akan si nona baju hitam yang tadinya hendak mereka keroyok. Sekarang Mahkota berada di tangan Sinshe buta, tentu saja dia inilah yang menjadi sasaran. Dan hal ini tepat seperti yang dikehendaki oleh Kun Hong. Setelah menyaksikan betapa dengan aneh Lauw Teng roboh sendiri ketika hendak merampas Mahkota, orang-orang tidak berani bertindak sembrono. Mereka memandang orang buta itu dengan heran dan ragu-ragu apa yang harus mereka lakukan.

   Kun Hong juga berdiri tak bergerak, siap untuk membela diri dari setiap serangan. Seorang anggauta Kiang-Liong-Pang maju perlahan. Tangan kanannya memegang sebuah Ruyung besi yang berat, Sejak tadi dia mengincar Kun Hong dan dia tidak percaya kalau tidak mampu menjatuhkan si buta ini. Apa sih sukarnya mengalahkan orang buta? Sekali pukul beres. Agaknya si buta ini pandai silat, pikirnya, maka harus digunakan akal. Dengan amat hati-hati dia melangkah terus maju sampai dekat sekali dengan Kun Hong, dalam jarak satu meter. Pemuda itu tetap tidak, bergerak seakan-akan tidak tahu bahwa dia didekati lawan dari depan yang kini sudah menggeletar seluruh urat di tubuhnya untuk menghantamnya. Tanpa mengeluarkan kata-kata, orang itu kini mengangkat Ruyungnya tinggi-tinggi, menghimpun tenaga lalu,

   "Wherrrr!"

   Ruyungnya menimpa ke arah kepala Kun Hong yang agaknya akan pecah berantakan tertimpa Ruyung besi yang berat itu.

   Seperti tadi, tanpa menggeser kakinya Kun Hong miringkan kepala dan sekali jari tangannya bergerak, lawan itu jatuh tersungkur, mengaduh-aduh kesakitan karena Ruyungnya mencium kepalanya sendiri sampai benjol sebesar telur angsa. Seorang anak buah Hui-Houw-Pang dari belakang Kun Hong berindap-indap menghampiri dengan Tombak runcing di tangan. Setelah dekat tiba-tiba dia menusuk. Tombak menusuk angin, terdengar suara keras, Tombak patah menjadi tiga dan orang itu terlempar ke belakang. Sekarang barulah semua orang tahu atau menduga bahwa si buta itu kiranya bukanlah seorang sembarangan, melainkan seorang yang memiliki kepandaian luar biasa! Akan tetapi karena dialah yang kini memegang Mahkota yang amat diinginkan itu, semua orang kini mulai mendekat dengan sikap mengancam.

   Dengan kepala dimiringkan Kun Hong dapat mendengar betapa orang-orang itu mendekat dan mengepungnya, malah yang mengurungnya kini bukanlah orang-orang biasa seperti tadi telah menyerangnya. Agakhya tokoh-tokoh penting dari kedua fihak mulai hendak turun tangan secara mengeroyoknya, juga dari sebelah kirinya dia tahu bahwa gadis yang berjuluk Bi Yan Cu itupun hendak menyerbu dan merampas Mahkota. Kun Hong memegang tongkatnya erat-erat di tangan kanannya. Dia tidak menanti lama. Segera didengarnya angin menyambar, angin senjata yang menyerang dari kanan-kiri, depan dan belakang. Cepat dia menggerakkan tongkatnya dan terdengar suara

   "Cring-cring-cring"

   Berulang-ulang disusul dengan suara gaduh dan jerit kesakitan. Orang-orang yang belum ikut menyerbu memandang dengan mata terbelalak keheranan. Mereka tadi melihat orang-orang pilihan dari kedua fihak menyerbu dan hanya tampak kilat berkelebatan, tapi... tahu-tahu banyak pedang, golok dan Tombak beterbangan dalam keadaan patah menjadi dua sedangkan lima orang sekaligus roboh bergulingan, menjerit-jerit karena tangan atau lengan mereka berdarah, luka tergores benda tajam! Hebatnya, ketika mereka melihat lagi ke arah sasaran, si buta itu masih berdiri seperti biasa, dengan tangan kiri memegang Mahkota tinggi dan tangan kanan membawa tongkat!

   "Minggir...!"

   Bentakan ini keluar dari mulut Ketua Kiang-Liong-Pang dan kakek ini dengan dayungnya menerjang hebat. Lauw Teng yang tidak ingin melihat Ketua fihak saingan ini dapat merampas Mahkota, cepat mencabut golok besarnya dan hampir berbarengan menyerbu pula ke depan. Gerakannya ini diikuti oleh Ban Kwan Tojin yang sudah mencabut sepasang pedangnya karena Tosu ini yang berpemandangan tajam sudah mengetahui bahwa pemuda buta ini bukan orang sembarangan dan memiliki kepandaian yang hebat. Apalagi kalau diingat keterangan pemuda ini yang mengaku sebagai murid Toat-Beng Yok-Mo, tentu saja patut miliki ilmu silat yang luar biasa. Sementara itu, gadis baju hitam berjuluk Bi Yan Cu, semenjak tadi menahan senjatanya.

   Ia seorang gadis yang mewarisi ilmu kepandaian tinggi, pandang matanya awas dan tajam. Melihat gerak-gerik si buta ini, jantungnya berdebar. Segera ia dapat mengenal dasar-dasar gerakan yang aneh dan luar biasa, dasar ilmu silat yang sakti. Oleh karena itu, biarpun ia ikut mendekat, namun ia tidak berani sembrono melakukan penyerangan. Ia masih belum tahu apa kehendak orang buta yang aneh itu, tidak tahu apakah dia itu kawan atau lawan dan apa pula yang hendak dilakukan dengan perampasan Mahkota itu. Akan tetapi melihat si buta menentang dua perkumpulan penjahat sekaligus, di dalam hati gadis itu sudah menganggap Kun Hong sebagai kawan. Maka ia bersikap waspada, pedang di tangan untuk siap membantu si buta kalau-kalau terancam bahaya pengeroyokan puluhan orang banyaknya itu.

   Dalam waktu hampir bersamaan pelbagai senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan terlatih itu menyambar ke arah tubuh Kun Hong. Yang terdahulu sekali adalah dayung di tangan Bhe Ham Ko yang menyambar ke arah kepalanya, mengeluarkan suara mengiung saking kerasnya. Dayung ini menyambar dari kanan ke kiri. Lalu disusul berkelebatnya golok besar di tangan Lauw Teng. Sambaran golok ini mengarah leher, juga cepat dan bertenaga sehingga mengeluarkan suara mendesing. Kemudian sepasang pedang di tangan Ban Kwan Tojin pembantu Lauw Teng itu pun meluncur datang, yang kiri menusuk lambung yang kanan menyerampang kaki. Gerakan ini dilakukan oleh Tosu itu dengan menekuk lutut, cepat dan berbahaya sekali datangnya pedang, hampir tak dapat diikuti pandangan mata.

   Diam-diam gadis jelita baju hitam mengeluarkan keringat dingin. Ia harus mengaku bahwa tiga orang ini bukanlah merupakan lawan yang lunak dan andaikata ia sendiri yang diserang secara berbareng seperti itu, hanya dengan meloncat jauh mengandalkan Ginkang (ilmu meringankan tubuh) saja agaknya akan dapat menyelamatkan dirinya. Akan tetapi orang buta itu tidak kelihatan bergerak sama sekali, masih berdiri tegak dengan tangan kiri yang memegang Mahkota diangkat tinggi sedangkan tangan kanan memegangi tongkat melintang di depan dada. Akan tetapi tiba-tiba kelihatan sinar merah berkilat menyambar-nyambar, merupakan gulungan sinar merah yang menyilaukan mata, disusul suara nyaring berdencingnya senjata tajam saling bertemu dan... tiga orang pengeroyok ini berseru kaget dan masing-masing melompat mundur sampai tiga meter lebih.

   
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ketika semua orang yang tadi menjadi silau matanya oleh sinar merah yang bergulung-gulung itu kini dapat memandang penuh perhatian, mereka melihat bahwa Bhe Ham Ko bengong memandang dayungnya yang sudah patah menjadi dua potongan kecil di kedua tangannya, Lauw Teng melongo menatap tangan kanannya yang hanya memegangi gagang golok sedangkan Ban Kwan Tojin merah mukanya karena pedangnya yang kanan terbang entah ke mana sedangkan yang kiri sudah semplok (patah) ujungnya! Apabila semua orang memandang kepada pemuda buta itu, ternyata si buta ini masih saja berdiri seperti tadi dengan tangan kiri tinggi-tinggi di atas kepala memegang Mahkota emas sedangkan tangan kanan masih memegang tongkat melintang! Apakah pemuda buta ini main sihir? Demikian para anak buah kedua perkumpulan penjahat itu bertanya-tanya dan merasa bingung, juga kaget, heran dan gentar.

   Akan tetapi tentu saja dugaan ini tidak betul dan para pengeroyok tadi, juga si gadis baju hitam tahu belaka betapa secara hebat pemuda buta itu tadi menggerakkan tongkatnya yang butut dan tampaklah sinar merah bergulung-gulung yang menangkis dan merusak semua senjata itu. Yang membikin heran mereka adalah kehebatan tongkat itu yang demikian ampuhnya sehingga dapat mematahkan senjata-senjata tajam dan berat. Bukankah tongkat itu hanya tongkat kayu belaka? Tentu saja tidak demikian keadaan yang sesungguhnya. Biarpun hanya tongkat kayu, akan tetapi di sebelah dalamnya adalah pedang Ang-Hong-Kiam, pedang Pusaka yang ampuh sekali. Apalagi digerakkan oleh tangan yang memiliki tenaga dan kepandaian sakti seperti Kun Hong, sudah tentu para kepala penjahat itu bukanlah tandingannya! Kun Hong tersenyum dan berkata,

   "Mahkota sudah berada di tanganku, akan kukembalikan kepada yang berhak. Kalian tidak usah saling bermusuhan dan bunuh-membunuh. Lebih tidak baik lagi kalau kalian meneruskan pekerjaan kalian yang hina dan kotor ini, pasti kelak tidak akan membawa kalian kepada keselamatan hidup. Sudahlah, aku akan pergi..."

   Setelah berkata demikian dengan langkah perlahan pemuda buta itu berjalan maju mendahului kedua kakinya dengan tongkat yang dipakai meraba-raba ke depan. Karena dia buta, tentu saja dia tidak tahu bahwa dia telah salah mengambil jurusan sehingga dia bukan hendak meninggalkan tempat itu, melainkan dia menuju ke arah kelompok pohon-pohon besar yang memenuhi hutan kecil di lereng bukit.

   Kun Hong agak bingung ketika tongkatnya bertemu dengan batang-batang pohon, dia meraba-raba dan berjalan di antara pohon-pohon. Ketika dia melangkah maju, dia tidak melihat bahwa di atasnya ada sebuah cabang pohon yang tergantung rendah. Tahu-tahu kepalanya tertumbuk kepada batang pohon ini. Kagetnya bukan main karena kalau yang memukul kepala itu adalah serangan lawan, tentu dia dapat mendengar angin pukulannya. Cepat dia miringkan kepala, akan tetapi tak dapat dia mencegah keluarnya "Telur kecil"

   Menyendul di dahinya yang mencium batang pohon tadi! Semua orang yang berada di situ saling pandang dan tak terasa lagi muka tiga orang tokoh yang keheranan tadi berubah menjadi merah sekali. Orang buta macam begitu saja tak mampu mereka robohkan! Malah dalam satu kali gebrakan saja mereka telah kehilangan senjata! Padahal si buta itu mencari jalanpun tidak becus!

   "Serang dia!"

   Hampir berbareng Lauw Teng dan Bhe Ham Ko berseru. RIbutlah para anak buah bajak dan rampok berlari maju, menghujani tubuh Kun Hong dengan serbuan senjata mereka. Akan tetapi kini Kun Hong tidak mau memberi hati lagi. Dia tadi turun tangan dengan maksud untuk mencegah mereka saling bunuh dan sengaja dia menimpakan rasa permusuhan mereka kepada dirinya karena dia yakin bahwa dia mampu menjaga diri sendiri. Melihat dirinya dikepung dan diserbu, dia menggerakkan tongkatnya ke arah suara senjata yang menyerangnyai Sinar merah bergulung-gulung dan segera terdengar suara senjata beradu bertubi-tubi, disusul pekik kesakitan dan tampaklah senjata-senjata para pengeroyok itu beterbangan seperti daun-daun kering rontok tertiup angin.

   Kali ini Kun Hong sengaja menujukan tongkatnya kepada tangan-tangan yang memegang senjata sehingga dalam sekejap mata saja belasan pengeroyok sudah terluka tangan mereka, luka berdarah yang biarpun tidak membahayakan keselamatan mereka, namun cukup parah sehingga membuat mereka tak berdaya dan tak dapat mengeroyok pula. Serbuan gelombang ke dua juga mengakibatkan belasan orang pengeroyok lain mundur dan memegangi tangan yang terluka, malah kali ini tidak ketinggalan tangan Lauw Teng, Bhe Ham Ko dan Tosu Ban Kwan Tojin juga terluka! Melihat kehebatan pemuda buta ini, para pengeroyok menjadi gentar juga, apalagi ketika Kun Hong yang kini berdiri tegak menghadapi mereka itu berkata, suaranya nyaring dan penuh pengaruh,

   "Jangan kira bahwa aku tidak mampu mengubah luka pada tangan dengan tebasan pada leher atau tusukan pada ulu hati. Hemmm, orang-orang sesat, apakah kalian masih ingin merampas Mahkota ini yang bukan menjadi hak milik kalian? Sadarlah bahwa perbuatan busuk takkan mendatangkan kebahagiaan dan keselamatan!"

   Semua orang kini memandang betapa si buta itu melanjutkan perjalanannya, hati-hati sekali berjalan didahului rabaan tongkatnya, malah kini agak membungkuk-bungkuk karena takut kalau-kalau kepalanya bertumbukan dengan dahan pohon yang rendah lagi.

   "Sinshe buta, berhenti kau!"

   Tiba-tiba orang tinggi besar muka hitam yang tadi datang bersama Bhe Ham Ko melompat ke depan dan menghadang di depan Kun Hong. Mendengar angin lompatan ini, Kun Hong maklum bahwa orang yang baru datang menyusulnya ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada tiga orang pengeroyoknya tadi.

   "Sahabat siapakah dan ada keperluan apa menahanku?"

   "Kau tinggalkan Mahkota itu dan aku masih akan mengampuni perbuatanmu mengacau di sini dan menghina kakak iparku, Kiang-Liong-Pangcu!"

   "Hemm, kau siapakah berani bicara sesombong ini?"

   Kun Hong bertanya.

   "Buka telingamu baik-baik. Tuan besarmu ini adalah Tiat-Jiu (Si Tangan Besi) Souw Ki, seorang di antara tujuh pengawal Kaisar. Mahkota itu adalah benda Pusaka di dalam Istana yang dicuri dan dibawa lari oleh bekas pembesar Tan Hok yang berhenti dan mengundurkan diri. Siapa yang merampas Mahkota ini berarti dialah pencurinya dan patut dihukum sebagai pengkhianat atau pemberontak. Nah, kau serahkan benda itu kepadaku!"

   Fihak Hui-Houw-Pang terkejut sekali mendengar pengakuan orang tinggi besar ini dan mereka, terutama Lauw Teng, memandang penuh perhatian. Kun Hong sendiri juga terkejut. Tak disangkanya dia akan bertemu kembali dengan seorang di antara tujuh pengawal Pangeran Mahkota Kian Bun Ti yang sekarang sudah menjadi calon Kaisar karena kematian Kaisar tua,

   Dan dengan sendirinya tujuh orang pengawalnya itu akan naik pangkat menjadi pengawal Kaisar pula. Setelah mendengar namanya, baru dia mengenal kembali suara orang ini. Agaknya Tiat-Jiu Souw Ki sendiri lupa kepadanya dan tidak mengenalnya. Hal ini tidak aneh pula karena dia sudah menjadi buta dan di puncak Thai-San tiga tahun yang lalu, ketika Tiat-Jiu Souw Ki dan enam orang temannya datang pula mengacau, Kun Hong belum buta (baca Rajawali Emas). Lebih besar lagi keheranan dan kekagetannya ketika dia mendengar dari mulut pengawal itu bahwa pembesar yang telah dirampok, yang katanya mengambil dan melarikan Mahkota ini dari Istana, bukan lain adalah Tan-Taijin yang merupakan kakak angkat dari Tan Beng San!

   "Tidak boleh orang merampas dari tanganku,"

   Kata Kun Hong tenang dan suaranya keras.

   "Kalau kalian tadinya merampas benda ini dari pembesar she Tan itu, aku harus mengembalikan kepadanya juga."

   "Keparat, berani kau melawan pengawal Kaisar?"

   Tiat-Jiu Souw Ki membentak dan tanpa menanti jawaban Kun Hong dia sudah mengirim pukulan dengan tangan kanannya yang disertai hawa pukulan dan tenaga dalam yang membuat kepalannya itu sekeras besi. Memang Souw Ki ini waktu mudanya melatih tangannya dengan bubuk besi sehingga kini dia memiliki Ilmu Tiat-See-Ciang (Pukulan Pasir Besi) yang membuat kepalannya seperti besi kerasnya dan karena ini pula dia mendapat julukan Tiat-Jiu (Si Tangan Besi). Sambaran pukulan tangan ini sudah cukup untuk diketahui Kun Hong tentang keahlian lawan. Namun dia tidak gentar, malah mengempit tongkatnya dan menggunakan tangan dan memapaki pukulan itu dengan dorongan telapak tangannya.

   "Dukkk!"

   Kepalan yang besar dan keras itu bertemu dengan telapak tangan Kun Hong yang putih dan halus seperti tangan wanita. Akibatnya luar biasa sekali. Souw Ki marasa betapa kepalannya seperti bertemu dengan kapas, seakan-akan tenaganya tenggelam ke dalam air dan sebelum dia sempat menarik tangannya, dari telapak tangan itu timbul hawa panas yang membakar tangannya. Tubuhnya menggigil, dia jatuh berlutut dan lengan tangannya serasa lumpuh. Kagetnya bukan main dan cepat dia menarik tangannya sambil mengerahkan tenaga. Kun Hong melepaskan dan betapa kaget hati Souw Ki melihat kepalan tangannya membengkak dan mulailah terasa nyeri menusuk-nusuk. Dia melompat mundur dan menyeringai kesakitan.

   "Tanganmu tidak apa-apa, besok akan lenyap rasa nyerinya."

   Kata Kun Hong.

   "Salahmu sendiri menggunakan tenaga beracun dan kini hawa pukulan menyerang tanganmu sendiri."

   Setelah berkata demikian, Kun Hong melanjutkan langkahnya. Tak seorang pun akan mencoba untuk menyerang lagi sekarang, setelah melihat betapa semua serangan dapat dipatahkan sekali gebrak saja oleh pemuda buta.

   Melihat si buta itu berjalan dengan tongkat di depan, kelihatannya begitu lemah, begitu tak berdaya, akan tetapi hampir seratus orang banyaknya itu tidak dapat menghalanginya membawa pergi Mahkota itu, benar-benar amat mengherankan! Orang-orang itu hanya mengikutinya dari jauh tak seorangpun mengeluarkan suara. Diam-diam gadis jelita baju hitam itupun mengikuti dari jauh. Ia makin kagum kepada Kun Hong, dan ia dapat melihat sikap para penjahat itu yang agaknya tidak akan mengalah begitu saja. Siapakah pemuda buta ini? Lihai bukan main, dari mana datangnya. dan apa maksud sebenarnya membawa pergi Mahkota kuno? Demikian bermacam pikiran mengaduk di hati Bi Yan Cu. Sengaja ia menyelinap di antara pepohonan dan menghilang dari pandangan mata orang banyak, lalu diam-diam ia mengikuti semua kejadian atas diri Kun Hong.

   Setelah Kun Hong menembus hutan kecil penuh pepohonan itu, barulah si gadis jelita kaget sekali dan maklum apa yang diharapkan oleh para penjahat itu. Kiranya, tanpa diketahuinya, orang buta itu salah jalan, menuju ke sebuah tebing yang buntu karena berujung jurang yang amat curam dan luas, tak mungkin dilalui manusia! Tanpa diketahuinya, si buta itu berjalan perlahan-lahan, tongkatnya meraba-raba menuju ke pinggir jurang, sedangkan di belakangnya, hampir seratus orang dari kedua perkumpulan penjahat itu mengikutinya, siap dengan senjata di tangan malah ada yang sudah mementang busur! Melihat betapa orang buta itu menghadapi bahaya maut yang hebat, Bi Yan Cu ingin berteriak memberi peringatan. Akan tetapi ia menahan hatinya.

   Mengapa ia harus berbuat demikian? Ia tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan si buta, kecuali bahwa Mahkota itu berada pada si buta dan harus ia rampas. Si buta itu boleh mampus di tangan penjahat-penjahat ini, apa sangkut pautnya dengannya? Pula, orang buta itu masih muda dan tampan sekali, kalau ia seorang gadis tanpa alasan membelanya, bukankah orang akan menyangka yang bukan-bukan terhadap dirinya? Apalagi kalau diingat betapa si buta tadi demikian dekat dan baik dengan gadis pesolek genit anak Lauw Teng, dapat diduga bahwa orang buta itu pun bukan orang baik-baik biarpun kepandaiannya benar-benar amat lihai. Biarlah mereka saling gempur, dan ia mencari kesempatan baik merampas Mahkota itu. Inilah siasat membiarkan anjing-anjing merebutkan daging sambil menanti kesempatan untuk menyambar daging itu!

   Ketika akhirnya tongkatnya meraba tempat kosong, Kun Hong juga merasa kaget sekali. Diraba-rabanya sekali lagi ke depan, kanan kiri sama saja. Jelas bahwa tongkatnya memang meraba tempat kosong. Dia berjongkok, mencoba untuk mengukur dalamnya "lobang"

   Di depannya itu, siapa tahu hanya sungai kecil. Tapi, biarpun dia sudah mengulur lengan dan tongkatnya, masih juga belum menyentuh dasarnya. Dan dia tidak mendengar suara air sungai. Kemudian dia mundur dan melangkah dua tindak ke belakang, keningnya berkerut. Telinganya mendengar suara Burung jauh di bawah ketika dia berjongkok tadi. Tahulah dia sekarang bahwa di depannya adalah jurang yang sangat curam, bahwa di "Bawah"

   Sana itu adalah kaki gunung, dusun-dusun dan pohon-pohon di mana Burung-Burung beterbangan!

   "Kwan-Sinshe, kau masih tidak mau menyerahkan Mahkota itu?"

   Tiba-tiba dia mendengar suara bentakan di belakangnya, suara Lauw Teng, juga dia mendengar kaki puluhan orang banyaknya, bergerak berindap-indap ke arahnya dari belakang, kanan dan kiri. Dia maklum bahwa dirinya sudah terkurung dari kanan kiri belakang oleh para lawannya, dari depan dihalangi jurang yang tak mungkin dilalui. Dia membalik, tersenyum dan menjawab,

   "Pangcu, kalau Mahkota ini terjatuh ke dalam tanganmu, tentu orang-orang Kiang-Liong-Pang takkan diam begitu saja dan akan merampasnya dari tanganmu, sebaliknya kalau kuberikan kepada Ketua Kiang-Liong-Pang, tentu kau dan anak buahmu juga tidak akan mau menerima begitu saja. Karena itu, biarlah tetap di tanganku dan kalian tidak usah saling bermusuhan."

   Kun Hong melangkah maju, ingin segera menjauhi pinggir jurang karena hal ini amat berbahaya baginya.

   Akan tetapi atas dorongan Ketua kedua perkumpulan, para bajak dan perampok segera menyerbu, didahului melayangnya puluhan batang anak Panah ke arah Kun Hong! Pemuda buta itu cepat memutar tongkatnya dan anak-anak Panah itu runtuh semua, ada yang melejit dan meluncur kembali menyerang tuannya sendiri. Biarpun Kun Hong dihujani anak Panah, namun tak sebuah pun dapat menyentuhnya. Tongkat yang dia gerakkan merupakan perisai yang amat tangguh, juga gerakannya mengandung hawa sakti yang amat kuat sehingga anginnya saja cukup untuk mengusir pergi anak Panah yang mendekatinya. Akan tetapi puluhan orang itu mendesak maju, kini menggunakan Toya, Tombak dan senjata-senjata panjang lain.

   Kun Hong menangkis, mematahkan banyak Tombak dan Toya, merobohkan banyak pengeroyok dengan melukai mereka tanpa membahayakan keselamatan nyawa. Karena menghadapi pengeroyokan berat, dia terpaksa harus bergerak ke sana ke mari, mulai menendang untuk membantu tongkatnya. Dia tidak gentar menghadapi pengeroyokan orang-orang yang baginya bukan merupakan lawan yang tangguh itu... akan tetapi karena para penjahat itu mengeroyoknya sambil berteriak, hal ini amat, membingungkan Kun Hong. Harus diketahui bahwa pemuda buta ini dalam setiap pertempuran mengandalkan telinganya. Kini orang-orang itu mengeluarkan teriakan-teriakan gaduh, tentu saja pendengarannya menjadi kacau-balau dan dia tak dapat menangkap desir angin sambaran senjata lagi.

   Dalam keadaan begini terpaksa Kun Hong hanya mainkan tongkat melindungi dirinya saja, dan terpaksa dia menggunakan kakinya untuk menendang dan merobohkan lawan, karena untuk merobohkan lawan dengan tongkatnya, dia khawatir kalau-kalau akan menewaskannya. Mendadak di antara para pengeroyok itu ada yang mengeluarkan tambang panjang, dipegang melintang dan dipasang di depan Kun Hong yang masih sIbuk menghadapi pengeroyokan. Secara tiba-tiba tambang ditarik dan dipergunakan untuk membetot kaki orang buta itu. Kun Hong kaget dan cepat melompat ke sana ke mari. Akan tetapi celakalah dia kalau sampai jatuh karena libatan tambang, Orang-orang yang mengeroyoknya bersorak dan pengeroyokan menjadi makin ketat.

   "Manusia-manusia curang!"

   Bi Yan Cu tak dapat menahan kemarahannya lagi dan sesosok bayangan hitam berkelebat didahului sinar pedang yang menyilaukan mata. Pekik kesakitan susul-menyusul, dan beberapa orang penjahat roboh oleh pedang si gadis yang ampuh.

   "Heee... jangan...!"

   Kun Hong berteriak mendengar jeritan-jeritan itu, akan tetapi pada saat itu dia lupa dan melompat agak jauh. Celaka baginya, dia justeru melompat ke arah jurang, tepat di pinggirnya, kakinya terpeleset dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terguling ke dalam jurang.

   Para bajak dan perampok bersorak-sorai dan mereka kini membalik untuk mengeroyok gadis jelita baju hitam yang mengamuk seperti seekor naga betina. Sebetulnya, Ketua dari dua perkumpulan penjahat itu tidak ada nafsu untuk mengeroyok Bi Yan Cu, karena selain mereka tidak suka bermusuhan dengan puteri Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui si raja kecil dari pantai Po-Hai, juga Mahkota kuno yang diperebutkan berada di tangan si buta yang kini sudah terjungkal ke dalam jurang. Perlu apa rIbut-rIbut dengan gadis liar itu? Akan tetapi, keadaannya lain sekarang. Bukan mereka yang sengaja mengeroyok, adalah Bi Yan Cu yang sengaja mengamuk! Entah bagaimana, melihat betapa pemuda buta itu dikeroyok sampai terjungkal ke dalam jurang, gadis ini menjadi marah sekali dan mengamuk seperti ayam betina diganggu anaknya.

   Karena amukan gadis ini merobohkan banyak anak buah bajak dan perampok, dua orang Ketua itu bersama para pembantunya menjadi marah dan mereka lalu menyerbu dan dikeroyoklah Bi Yan Cu oleh banyak orang kosen. Ilmu pedang gadis itu benar-benar hebat, tepat seperti yang diduga oleh Kun Hong tadi. Gerakannya lincah dan lemas, seperti sedang menari-nari dengan indahnya, namun setiap gerakan pedang pasti mematahkan senjata lawan atau melukainya. Betapapun juga, menghadapi pengeroyokan Lauw Teng, Ban Kwan Tojin, Bhe Ham Ko, lima orang tamu undangan termasuk Tiat-Jiu Souw Ki yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi juga, gadis ini mulai terdesak. Ilmu pedangnya yang sakti, yaitu Ilmu Pedang Sian-Li Kiam-Sut (Ilmu Pedang Bidadari) memang dapat menyelamatkan dirinya. Gerakannya masih tetap lincah dan indah, akan tetapi lewat seratus jurus, ia mulai lelah.

   "Ha-ha-ha, gadis liar, apakah engkau masih hendak mengamuk lagi? Hemmmm, melihat muka Ayahmu, asal kau melepaskan pedang dan berlutut minta maaf, biarlah kulepaskan kau!"

   Kata Lauw Teng yang bagaimanapun juga masih merasa khawatir kalau-kalau dia menimbulkan Bibit permusuhan dengan raja kecil pantai Po-Hai yang amat terkenal itu.

   "Lebih baik mampus daripada minta maaf kepada penjahat-penjahat keji macam kalian!"

   Sambil memutar pedangnya dengan cepat sehingga pedang itu berubah menjadi gundukan sinar kemilauan, gadis itu memaki.

   "Manusia-manusia curang, kalau memang gagah jangan main keroyokan!"

   Sekali gulungan sinar pedang itu menyambar ke kiri, seorang pengeroyok menjerit dan pundaknya terbabat pedang. Baiknya ia masih sempat melempar diri ke belakang sehingga hanya kulit dan bagian daging pundaknya saja yang sapat oleh pedang. Namun cukup mendatangkan rasa perih dan nyeri bukan main sehingga ia melompat mundur sambil merintih-rintih. Lagi terdengar jeritan keras ketika pedang Bi Yan Cu yang dikelebatkan ke belakangnya berhasil merobek kulit dan daging paha seorang pengeroyok lain, malah dalam detik berikutnya pedang itu sudah menusuk ke arah leher Bhe Ham Ko dengan kecepatan kilat. Orang she Bhe ini berseru kaget dan tak kuasa untuk menangkis atau mengelak lagi, sudah meramkan mata menanti datangnya maut.

   "Tranggg!"

   Ruyung di tangan Tiat-Jiu Souw Ki menangkis pedang yang akan merenggut nyawa kakak isterinya itu. Ujung Ruyungnya terbabat putus akan tetapi gadis itu sendiri terhuyung mundur, tangannya terasa sakit. Ia maklum bahwa tenaga Lweekang dari Si Tangan Besi itu benar-benar kuat sekali. Sebelum ia dapat mengambil kedudukannya, ia telah diserang gencar oleh senjata-senjata lawan secara bertubi-tubi.

   Sekali putar pedangnya dapat menangkis semua senjata, dan Ruyung yang sudah menghantam pinggangnya telah ia tangkis dengan sebuah tendangan keras menggunakan tumit kakinya. Pada saat itu, golok dan pedang lawan yang lain sudah menggempurnya, Bi Yan Cu menggoyang pedangnya, tapi agaknya para pengeroyoknya yang terdiri dari orang-orang pandai ini sudah bersepakat untuk mengalahkannya. Dari kanan kiri datang golok dan pedang yang menjepit pedangnya. Bi Yan Cu kaget, mengerahkan tenaga untuk menarik pulang pedangnya. Namun pada saat itu, sebatang pedang lain menyerampang kakinya. Cepat ia meloncat ke atas dan tak dapat dicegah lagi ia harus menerima hantaman dayung yang datang dari kanan, menggunakan pangkal lengan kanannya.

   "Bukkk!"

   Hantaman itu membuat tubuhnya tergetar tangan kanannya lumpuh kaku dan terpaksa ia melepaskan pedangnya untuk dapat meloncat ke atas, lalu membalik ke belakang dan keluar dari kepungan.

   "Hayo berlutut minta ampun kalau tidak mau mampus!"

   Sekali lagi Hui-Houw-Pangcu Lauw Teng membentaknya. Gadis itu berdiri dengan tegak, matanya berapi-api, kepalanya dikedikkan dan mulutnya tersenyum mengejek. Ia adalah puteri seorang gagah perkasa dan semenjak kecil ia sudah digembleng tentang kegagahan. Mati bukan apa-apa bagi Bi Yan Cu. Sambil mengeluarkan pekik nyaring gadis ini malah menerjang maju dengan tangan kosong, menggunakan kepalan tangan dan tendangan kaki! Para pengeroyoknya yang sudah menjadi marah itu menyambutnya dengan hujan bacokan.

   "Cring-cring-cring...!"

   Sinar merah berkelebat dan senjata-senjata para pengeroyok itu berpelantingan. Semua orang mundur penuh keheranan dan... kiranya si buta sudah berada di situ. Si buta inilah yang tadi menangkis semua senjata itu, menolong nyawa Bi Yan Cu. Dan tangan kiri yang diangkat tinggi-tinggi itu masih memegang Mahkota yang diperebutkan! Ketika Kun Hong menginjak pinggir jurang yang mengakibatkan dia terperosok dan terguling ke dalam jurang, pemuda ini tidak kehilangan akal. Dengan menahan napas dia mengerahkan seluruh kekuatan Ginkangnya, memutar tongkatnya menusuk-nusuk ke kanan kiri. Akhirnya usahanya berhasil.

   

Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini