Ceritasilat Novel Online

Pendekar Buta 21


Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



Tanpa berani mengangkat mukanya, Hui Kauw yang sudah mendapatkan kembali ketenangannya menjawab,

   (lanjut ke Jilid 20)

   Pendekar Buta (Seri ke 03 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20

   "Tidak salah, Yang Mulia..."

   "Bagus! Karena Ayahmu adalah pembantuku, berarti kau pun pembantu Istana pula. Hayo kau mainkan beberapa jurus ilmu silat agar dinilai oleh para pengawal dan agar menambah kegembiraan pesta ini."

   Bingung dan mengkal hati Hui Kauw. Betapa ceriwisnya Kaisar ini, pikirnya, akan tetapi suasana di situ benar-benar amat berwibawa sehingga ia hampir kehilangan ketenangan hatinya,

   "Mohon ampun sebesarnya, Yang Mulia, hamba tidak berani memperlihatkan ilmu silat yang dangkal di hadapan Yang Mulia."

   Semua orang yang hadir di situ kaget dan khawatir. Setiap penolakan kehendak Kaisar dapat dianggap sebagai pembangkangan yang sama artinya dengan pemberontakan! Wajah Kwee-Taijin sudah berubah pucat seperti kertas kosong. The Sun mengerutkan keningnya akan tetapi pemuda yang cerdik ini segera berlutut dan berkata,

   "Mohon Yang Mulia sudi mengampuninya. Sebagai seorang gadis yang baru kali ini berhadapan dengan Yang Mulia, dan baru kali ini menghadiri pertemuan agung, tentu saja Nona Kwee Hui Kauw merasa malu-malu dan canggung sekali. Hamba usulkan agar supaya seorang di antara para pengawal suka mengawaninya sehingga selain Nona Kwee tidak akan sungkan, juga akan lebih indah ditonton dan lebih mudah dijadikan ukuran bagi kepandaian Nona Kwee yang hebat!"

   Kaisar tertawa girang dan bertepuk tangan.

   "Bagus, kau memang pintar sekali, The Sun! Kau yang memuji Nona ini kepadaku, tentu kau sudah tahu sampai di mana tingkatnya dan aku beri ijin kepadamu untuk melakukan pemilihan di antara para pengawal itu."

   The Sun tentu saja dapat menduga sampai di mana tingkat kepandaian Hui Kauw karena pernah dia melihat gadis itu bertanding melawan Bhong Lokai. Tadinya dia hendak mengusulkan supaya Bhong Lokai maju melayani nona ini, akan tetapi dia ragu-ragu karena siapa tahu kalau-kalau Bhong Lokai akan kalah. Biarpun pertandingan kali ini hanya sebagai iseng-iseng dan menguji kepandaian belaka, namun kalau sampai pihak Istana kalah, bukankah hal ini akan merendahkan nama besar Kaisar sendiri yang dianggap mempunyai pengawal yang tidak becus? Oleh karena itu, dia segera memandang Ang Mo-Ko, tersenyum dan berkata,

   "Menurut pendapat hamba, hanya Ang Mo-Ko Lo-Enghiong yang patut untuk melayani Nona Kwee, mengingat bahwa kepandaian Nona Kwee sudah amat tinggi dan kalau lain orang yang melayaninya, akan sukarlah dapat digunakan sebagai ukuran."

   Semua orang terkejut mendengar ini, sedangkan Bhong Lokai menjadi merah mukanya. Terang bahwa The Sun tidak percaya kepadanya, maka mengajukan Ang Mo-Ko yang dianggap lebih pandai. Memang semua pengawal di Istana juga maklum bahwa sebelum datang The Sun dan para tokoh undangan, di antara para pengawal lama, Ang Mo-Ko merupakan tenaga yang paling boleh diandalkan karena memang hebat ilmu kepandaiannya. Akan tetapi, banyak di antara para pengawal Istana merasa penasaran. Untuk menguji kepandaian seorang nona yang begitu muda, mengapa mesti mengajukan Ang Mo-Ko?

   Agaknya beberapa orang pengawal muda saja sudah cukuplah. Benar-benar The-Kongcu sekali ini keterlaluan, pikir mereka. Malah diam-diam Kwee-Taijin juga kaget sekali dan melirik ke arah orang muda itu. Apa yang dikehendaki oleh orang muda ini, pikirnya tak enak. Masa anakku harus diadu dengan Ang Mo-Ko yang lihai? Hemm, apakah dia sengaja hendak membikin malu kepada Hui Kauw dan aku? Akan tetapi The Sun tidak memperdulikan semua pandang mata yang ditujukan kepadanya penuh pertanyaan itu. Juga Kaisar yang tadinya terkejut pula, setelah memandang wajah The Sun yang bersungguh-sungguh, diam-diam merasa amat kagum. Benarkah gadis ini memiliki kepandaian begitu tinggi sehingga patut dipertemukan dalam pertandingan melawan Ang Mo-Ko? Dia tertawa dan menjawab,

   "The Sun, kau lebih tahu dalam hal ini. Usulmu diterima, lakukanlah!"

   The Sun lalu menghampiri Ang Mo-Ko, berkata sambil tersenyum,

   "Ang Lo-Enghiong harap suka turun tangan menggembirakan suasana pesta. Akan tetapi hati-hatilah, Nona Kwee benar-benar lihai."

   Ang Mo-Ko bangkit berdiri, mengangguk-angguk dan berkata, cukup keras sehingga dapat terdengar oleh Hui Kauw,

   "Mendapat kehormatan besar untuk berkenalan dengan kelihaian anak angkat Siauw-Coa-Ong Giam Kin yang sakti."

   Yang paling merasa tegang di saat itu adalah Kwee Kian dan Kwee Siok. Dua orang muda ini saling pandang dan muka mereka berubah sebentar pucat sebentar merah. Memang dari Ayah mereka, mereka telah mendengar bahwa kakak tiri mereka itu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka sendiri yang menjadi murid tokoh besar di Istana, Ang Mo-Ko, diam-diam memandang rendah kepada Hui Kauw. Malah diam-diam mereka mencari kesempatan baik untuk "Mencoba"

   Kepandaian nona muka hitam itu. Siapa tahu sekarang dalam pesta agung, di depan Kaisar, kakak tiri itu akan dipertandingkan dengan guru mereka!

   Karena yang memerintahnya adalah Kaisar sendiri, Hui Kauw tentu saja tidak berani membantah. Setelah memberi hormat dengan berlutut, ia lalu memenuhi isyarat The Sun, bangkit berdiri dan berjalan tenang ke tengah ruangan, di mana terdapat tempat yang agak tinggi dan memang sengaja dikosongkan. Kaisar dan para tamu duduknya mengelilingi tempat ini di dalam taman itu sehingga tempat itu menjadi pusat perhatian. Ang Mo-Ko yang bertubuh tinggi kurus sudah berdiri di situ, menanti dengan sikap tenang. Kaisar memerintahkan sesuatu kepada pengawal pribadinya yang cepat lari menghampiri The Sun. Pemuda ini tersenyum mengangguk-angguk, lalu berlari pula ke arena pertandingan, berkata kepada Hui Kauw dan Ang Mo-Ko yang sudah bediri berhadapan.

   "Menurut perintah Kaisar, karena di antara para tamu banyak yang tidak tahu ilmu silat, maka untuk menjaga kesusilaan dan mencegah persentuhan tangan, Ji-wi (kalian) diperintahkan menggunakan senjata dalam pertandingan persahabatan ini. Silakan Nona Kwee memilih senjata apa yang dikehendaki, akan saya sediakan."

   Hui Kauw memandang Ang Mo-Ko untuk mengetahui pendapat orang tua yang diharuskan menjadi lawannya itu. Ia melihat kakek itu sambil tersenyum lebar telah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sebatang Huncwe (Pipa Tembakau) yang putih kemilau seperti perak. Huncwe ini panjangnya ada tiga perempat meter, ujungnya meruncing dan beberapa sentimeter sebelum ujungnya terdapat "Buahnya"

   Merupakan tempat tembakau yang biasanya dinyalakan. Tahulah Hui Kauw bahwa lawannya adalah seorang ahli totok yang berbahaya karena senjata seperti itu memang tepat untuk menotok jalan darah, bentuknya meruncing tapi ujungnya tumpul.

   "Aku tidak ingin berkelahi sungguh-sungguh, mengapa harus bersenjata?"

   Katanya ragu-ragu.

   "Pula, aku tidak membawa pedangku."

   Memang semua pengunjung tidak diperbolehkan membawa senjata, tentu saja kecuali para pengawal yang sudah dipercaya penuh. Aturan ini belum lama diadakan setelah terjadi perebutan kekuasaan dan makin lama makin banyak terdapat mata-mata dari fihak yang anti Kaisar berkeliaran di Kota Raja. The Sun tersenyum dan mencabut pedangnya,

   "Kalau kau biasa berpedang, kau boleh mempergunakan pedangku, Nona."

   "Terima kasih."

   Hui Kauw terpaksa menerima pedang The Sun.

   "Nah, Kaisar telah memberi tanda. Kalian boleh mulai,"

   Kata The Sun yang segera mundur dan berdiri di pinggiran. Para tamu menahan napas, apalagi Kwee-Taijin ketika melihat betapa anak perempuannya sudah berdiri dengan pedang terhunus di depan Ang Mo-Ko yang masih tersenyum-senyum itu. Dengan gaya lucu Ang Mo-Ko sekali lagi berlutut memberi hormat kepada Kaisar, lalu berdiri dan berkata,

   "Nona Kwee, aku yang tua banyak mengharapkan petunjuk darimu."

   "Ah, Lo-Enghiong mengapa berlaku sungkan? Lekaslah bergerak dan lekas pula akhiri permainan ini, aku mana bisa menang dibandingkan dengan seorang tokoh tua?"

   Jawab Hui Kauw hati-hati, pedangnya sudah melintang di depan dadanya. Ang Mo-Ko tertawa lagi, lalu menggerakkan Huncwenya sambil berseru,

   "Awas Nona, aku mulai!"

   Hui Kauw maklum bahwa lawannya bukanlah orang lemah, hal ini tidak hanya dapat ia duga dari sikap kakek itu, juga sekarang jelas dapat dilihat dari dahsyatnya sambaran Huncwe yang melakukan totokan ke arah leher dan lambungnya. Dua bagian tubuh ini letaknya tidak berdekatan namun ujung Huncwe itu dapat menotok secara beruntun dengan cepat sekali sehingga sukar diduga bagian mana yang akan diserang lebih dahulu karena seakan-akan ujungnya berubah menjadi dua menyerang dengan berbareng!

   "Tring! Tranggggg!"

   Bunga api berhamburan menyilaukan mata ketika pedang yang diputar Hui Kauw itu sekaligus bertemu dua kali dengan Huncwe itu. Karena ia menggunakan pedang orang lain, Hui Kauw dengan tabah berani menangkis sekalian hendak menguji tenaga lawan. Ia merasa betapa tangannya tergetar hebat, akan tetapi dengan pengerahan hawa murni ia dapat mengusir getaran itu. Di lain fihak, Ang Mo-Ko berseru keras dan melompat mundur, cepat menarik Huncwenya dan diamat-amati dengan penuh perhatian dan kekhawatiran.

   "Wah-wah-wah, untungnya Huncwe yang menjadi jimat hidupku ini tidak rusak!"

   Katanya kemudian sambil tertawa.

   Tadi dia memang takut kalau-kalau Huncwe kesayangannya ini lecet. Dengan lagak lucu kakek ini menerjang maju lagi mengirim serangan-serangan kilat. Hui Kauw juga mainkan pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar putih. Makin cepat kakek itu menyerangnya, makin cepat pula ia menggerakkan pedangnya, kini tidak hanya untuk mempertahankan diri, juga untuk balas menyerang. Hebat pertandingan itu dan juga indah sekali karena sambaran Huncwe yang bagaikan kilat menyambar itu selalu lenyap digulung awan putih sinar pedang Hui Kauw, Kadang-kadang dari dalam gulungan awan itu muncrat bunga api dibarengi suara nyaring seakan-akan halilintar menyambar dari gulungan awan mendung. Tentu saja Ang Mo-Ko maklum akan maksud pertandingan ini. Tadinya dia hanya bermaksud menguji,

   Tentu saja dia tidak akan menyerang sungguh-sungguh puteri Kwee-Taijin yang juga menjadi kakak daripada kedua orang muridnya Akan tetapi makin lama penyerangannya menjadi makin dahsyat ketika dia mendapat kenyataan bahwa nona ini ilmu pedangnya sungguh tak boleh dipandang ringan. Dia harus memeras keringat dan mengerahkan tenaga dan kepandaian kalau tidak mau dikalahkan dan mendapat malu di dalam pertandingan agung itu! Setelah bertanding lima puluh jurus lebih, Ang Mo-Ko tidak berani main-main lagi dan terpaksa dia mengeluarkan kepandaiannya agar jangan sampai kalah. Di lain fihak, Hui Kauw juga hendak menjaga namanya, selain juga hendak menjaga muka Ayahnya. Kalau ia mudah saja dikalahkan, bukan hanya dia yang akan ditertawakan orang, apalagi oleh kedua orang adik tirinya, juga Ayahnya tidak luput daripada ejekan. Namun, ia tetap tidak mau mempergunakan ilmu silatnya yang ia rahasiakan.

   Ia sengaja hanya mainkan ilmu pedang yang ia pelajari dari Ibu angkatnya dan ternyata ilmu pedang itu sudah cukup untuk menandingi Huncwe di tangan Ang Mo-Ko. Kaisar menjadi amat gembira menyaksikan pertandingan pedang tingkat tinggi melawan Huncwe maut ini dan berkali-kali dia bertepuk tangan memuji karena Kaisar ini pun seorang yang suka sekali akan ilmu silat. Setelah seratus jurus lewat, Ang Mo-Ko menjadi gelisah dan dia merasa khawatir sekali kalau-kalau akan ditertawai Kaisar dan karena pertandingan ini akan diturunkan pangkatnya kalau dia tidak lekas-lekas dapat mengalahkan nona muda ini. Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan keras dan tangan kirinya bergerak melakukan serangan pukulan yang aneh sekali, dengan jari tangan terbuka dan dilakukan dari bawah ke atas.

   Akan tetapi pukulan ini membawa angin panas yang amat hebat. Kiranya inilah ilmu pukulan simpanan dari Ang Mo-Ko atau Iblis Merah, karena sebutan ini bukan saja menyindir pakaiannya yang serba merah, namun juga ilmu pukulannya Ang-Tok-Jiu (Tangan Racun Merah). Ilmu pukulan ini bukan main hebatnya, apabila dilakukan, tangan kirinya berubah menjadi merah seperti kepiting direbus dan dari tangan ini selain keluar hawa pukulan yang panas dan dapat meremukkan tulang membakar kulit daging, juga mengandung hawa beracun! Hui Kauw kaget bukan main ketika merasai hawa pukulan yang amat panas ini. Ia adalah puteri angkat dari Ching Toa-Nio dan semenjak kecil ia tinggal di Pulau Ular Hijau, tentu saja ia tahu akan racun-racun berbahaya.

   Ia dapat menduga bahwa pukulan lawan ini tentu mengandung racun, maka ia tidak berani menerimanya dan cepat mengelak. Ang Mo-Ko makin penasaran, Huncwenya terus mendesak diselingi pukulan-pukulan Ang-Tok-Jiu. Kali ini dia sama sekali tidak mau memberi hati dan niat satu-satunya adalah menjatuhkan atau mengalahkan gadis ini, baik secara halus maupun kasar. Hal ini dianggapnya penting sekali untuk menjaga nama dan kedudukannya di hadapan Kaisar. Setelah Ang Mo-Ko mempergunakan ilmu pukulan Ang-Tok-Jiu ini, segera Hui Kauw menjadi terdesak hebat. Gadis ini tak dapat mempertahankan diri lagi karena ia harus selalu mengelak daripada pukulan tangan kiri lawan sehingga permainan pedangnya tak mampu lagi membendung banjir serangan Huncwe yang bertubi-tubi mendesaknya dengan totokan-totokan berbahaya.

   Celaka, pikirnya, kakek merah ini agaknya tidak main-main lagi dan terlalu bernafsu untuk mengalahkanku, pikirnya. Dan ia tahu bahwa kalau kali ini ia kalah, itu akan terjadi dalam keadaan yang amat berbahaya karena sekali terkena totokan Huncwe atau terkena pukulan beracun, ia akan terluka parah. Baginya, kalah dari kakek ini di depan Kaisar bukanlah hal yang terlalu ditakuti, akan tetapi tentu saja ia tidak sudi kalau harus menyerahkan diri untuk ditotok atau dipukul sampai terluka parah. Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan nyaring dan ilmu pedangnya segera berubah hebat. Kalau tadinya ilmu pedangnya bagaikan ombak-ombak kecil yang amat cepat menggelora, sekarang berubah tenang seperti gelombang lautan besar yang tampaknya tenang dan lambat, namun yang menelan segala yang dihadapinya.

   Gerakannya menjadi lambat dan aneh sekali akan tetapi bagi Ang Mo-Ko amat hebat kesudahannya karena kakek ini tiba-tiba saja melihat betapa tangan kirinya berhadapan dengan pedang yang mengandung tenaga dalam yang dahsyat. Kalau dia melanjutkan serangannya, berarti tangan kirinya akan buntung! Cepat dia menarik tangan kirinya, akan tetapi pedang itu dengan gerakan lambat dan aneh namun mengandung tenaga menempel yang luar biasa, tahu-tahu telah menghantam Huncwenya. Terdengar suara nyaring dan... Huncwe itu terlepas dari tangan Ang Mo-Ko yang tiba-tiba merasa betapa tangan kanannya setengah lumpuh! Ang Mo-Ko kaget sekali, mengeluarkan suara keras dan melompat ke belakang, keringat dingin membasahi lehernya karena maklum bahwa tadi kalau lawannya berniat buruk, tentu dia akan terluka. Ternyata pedang itu tidak mengejarnya dan Hui Kauw hanya berdiri dengan pedang melintang di depan dada.

   "Kiam-hoat bagus...!!"

   Terdengar pujian dari seorang di antara mereka yang tempat duduknya di dekat The Sun, seorang laki-laki setengah tua yang gagah dan tampan, yang bermata tajam bersinar-sinar. Terdengar tepuk tangan, ternyata Kaisar sendiri yang bertepuk tangan memuji. Semua orang lalu mengikuti gerakan ini dan meledaklah tepuk tangan dan pujian di taman itu. Kaisar mengangkat tangan dan semua suara itu berhenti.

   "Kwee Hui Kauw, sebagai seorang gadis muda, ilmu silatmu hebat bukan main. Kalau sampai mendapat pujian dari Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui, itu berarti bahwa ilmu pedangmu sudah mencapai tingkat tinggi. Bagus sekali!"

   Kata Kaisar dengan suara gembira. Hui Kauw baru teringat bahwa ia berada di dalam pertemuan agung di mana Kaisar hadir dan melihat betapa Ang Mo-Ko sudah menjatuhkan diri berlutut, ia pun segera berlutut menghadap kepada Kaisar dengan penuh hormat. Diam-diam ia mencatat ucapan Kaisar tadi bahwa orang setengah tua yang memujinya itu adalah Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui yang amat tersohor sebagai juara ilmu pedang!

   "Kwee Hui Kauw, menyaksikan kepandaianmu, kami mengangkatmu sebagai pembantu komandan pengawal Istana. The Sun yang akan membagi tugas kepadamu. He, The Sun kau perkenalkan Nona perkasa ini kepada para Enghiong yang hadir!"

   Dengan sikap gembira sekali Kaisar itu lalu melanjutkan makan minum dan suasana pesta makin gembira. Hui Kauw hanya dapat menghaturkan terima kasih sambil berlutut, kemudian ia mengiringkan The Sun yang mengajaknya untuk berkenalan dengan beberapa orang tokoh yang duduk di bagian tamu kehormatan. Pertama-tama ia diperkenalkan dengan orang setengah tua yang tadi memujinya, yaitu Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui! Tokoh pedang ini memandangnya dengan tajam penuh selidik, kemudian mengangguk dan berkata,

   "Nona Kwee, sebagai puteri angkat Giam Kin, aku tidak tahu dari mana kau mendapatkan ilmu pedang yang hebat tadi. Lain waktu bila ada kesempatan aku ingin sekali mengajak kau bercakap-cakap tentang ilmu pedangmu itu."

   Suara itu terdengar manis memuji, akan tetapi mengandung sesuatu yang mendebarkan jantung Hui Kauw, karena jelas terasa olehnya bahwa tokoh pedang ini nampak tidak puas. Ia tidak dapat memperhatikan tokoh pedang ini lebih lanjut karena The Sun sudah memperkenalkan dia kepada tokoh-tokoh lain yang banyak terdapat di bagian itu. Orang ke dua yang diperkenalkan oleh The Sun kepadanya adalah seorang kakek yang berpakaian seperti Tosu tua, bertubuh pendek gemuk akan tetapi mempunyai sepasang lengan yang panjang sekali, usianya sudah lebih dari lima puluh tahun namun mukanya halus seperti muka kanak-kanak. Tosu ini adalah seorang undangan dan dia bukanlah orang sembarangan karena dia ini bukan lain adalah Paman guru The Sun sendiri!

   Tosu pendek ini adalah seorang pertapa Go-Bi, adik seperguruan Hek Lojin yang terkenal dengan sebutan Lui-Kong atau Malaikat Guntur! Adapun julukan atau nama Pendetanya adalah Thian Te Cu. Menilik sebutan dan julukan ini, Lui-Kong Thian Te Cu, sudah membuktikan bahwa betapa tokoh ini mempunyai watak jumawa. Akan tetapi kejumawaannya tidaklah kosong belaka karena dia memang memiliki kepandaian yang amat luar biasa dan dia bahkan pernah membikin rIbut di Go-Bi-Pai, yaitu partai persilatan Go-Bi-San yang amat tersohor. Berbeda dengan watak Suhengnya, Hek Lojin, yang lebih suka menyembunyikan diri di puncak gunung, Tosu pendek ini menerima undangan The Sun dengan gembira karena sesungguhnya dia masih suka bersenang-senang menikmati kemuliaan duniawi.

   "Heh-heh, Nona Kwee masih amat muda hebat ilmunya,"

   Kata Lui-Kong Thian Te Cu sambil memandang dengan matanya yang sipit dan menggerak-gerakkan kedua lengannya yang panjang.

   "Muka yang cantik jelita disembunyikan di balik kehitaman yang disengaja. Heh-heh, Giam Kin si iblis cilik benar-benar luar biasa, sudah mati meninggalkan keturunan begini hebat!"

   Bukan main mengkalnya hati Hui Kauw mendengar ini dan diam-diam ia pun terkejut karena kakek pendek itu benar-benar awas pandang matanya sehingga secara menyindir sudah membuka rahasia mukanya yang hitam,

   Agaknya dapat menduga bahwa mukanya menjadi hitam karena racun. Lebih-lebih kagetnya ketika suara ketawa terkekeh yang terakhir dari kakek itu membuat ia hampir roboh karena badannya serasa tertekan hebat membuat kedua kakinya seperti lemah tak bertenaga. Cepat-cepat nona ini mengerahkah hawa murni di dalam tubuh melindungi jantung karena ia maklum bahwa dengan suara ketawa itu, si kakek aneh telah menyerangnya atau menguji tenaga dalamnya. Itulah semacam ilmu khikang yang hebat sekali, yang dapat mempergunakan suara ketawa untuk menyerang seseorang yang dikehendaki tanpa mempengaruhi orang lain di sekelilingnya. Hanya seorang yang Lweekangnya sudah tinggi sekali dapat melakukan hal ini! Cepat ia menjura kepada kakek itu dan mengucapkan kata-kata merendah,

   "Saya yang muda dan bodoh mana berani menerima pujian Lo-Cianpwe?"

   Orang ke tiga yang diperkenalkan oleh The Sun adalah seorang yang tidak kalah aneh dan menariknya.

   Dia ini seorang Hwesio yang bertubuh tinggi besar, berjubah sederhana dengan dada setengah terbuka sehingga kelihatan bulu dadanya yang lebat. Usianya tentu tidak kurang dari lima puluh tahun, kepalanya gundul kelimis dan besar sekali sesuai dengan tubuhnya, matanya lebar bundar tapi jarang dibuka karena seringkali meram, alisnya tebal berbentuk golok. Wajah Hwesio ini tampak angker dan berwibawa, tidak mencerminkan sifat welas asih melainkan mendatangkan rasa segan dan hormat karena jelas dari pribadinya bersinar sifat keras dan kuat yang sukar ditundukkan. Berbeda dengan para tamu lain, Hwesio ini menghadapi meja kecil di mana terdapat hidangan dari sayur-sayuran tanpa daging, tanda bahwa dia seorang yang Ciak-Jai (pantang daging) akan tetapi suka minum arak, terbukti dari guci besar arak yang disediakan untuknya.

   "Nona Kwee, Lo-Suhu ini adalah Bhok Hwesio, tokoh besar dari Siauw-Lim, seorang patriot sejati yang siap mengorbankan tenaga dan jiwa untuk mempertahankan negara. Pernahkan kau mendengar tentang Heng-San Ngo-Lo-Mo (Lima Iblis Tua dari Heng-San)? Nah, begitu Bhok Lo-Suhu ini menginjakkan kaki ke Heng-San dan turun tangan, lima iblis tua terbasmi habis, sarangnya dibakar dan semua dilakukan oleh Bhok Tosuhu seorang diri saja!"

   Hui Kauw terkejut. Pernah ia mendengar ketika masih berada di Ching-Coa-To tentang Heng-San Ngo-Lo-Mo ini, yang terkenal kejam dan amat tinggi kepandaiannya, apalagi kalau maju berlima. Ibu angkatnya sendiri pernah menyatakan rasa jerihnya kalau harus menghadapi lima orang iblis tua itu dan sekarang Hwesio tua ini seorang diri saja mampu membasminya!

   "Omitohud, kaum pemberontak dan pengacau negara kalau tidak dibasmi, tentu membikin sengsara rakyat,"

   Komentar Hwesio itu tanpa membuka matanya, akan tetapi senyum yang membayang di Bibirnya yang tebal itu menjadi tanda bahwa dia merasa senang akan pujian The Sun.

   "Syukur Nona Kwee sudah terlepas dari Ayah angkat macam Giam Kin yang jahat, seterusnya harap meneladani Ayah sendiri yang mengabdi kepada negara."

   Hwesio itu selanjutnya menutup mata dan mulut tidak perduli lagi kepada Hui Kauw. Masih banyak tokoh-tokoh diperkenalkan oleh The Sun kepada Hui Kauw, akan tetapi selain dua orang yang sudah disebutnya tadi, hanya ada dua orang lagi yang menarik perhatian Hui Kauw, yaitu seorang laki-laki tinggi kurus berambut keriting berkulit hitam yang diperkenalkan sebagai Bhewakala, seorang Pendeta Hindu yang tadinya adalah seorang pertapa di puncak Anapurna di Himalaya.

   Dia seorang bangsa Nepal yang berilmu tinggi dan dalam perantauannya di Timur akhirnya dia bertemu dengan The Sun dan dapat dibujuk membantu Kaisar baru dalam menghadapi musuh-musuhnya. Seorang lagi tokoh wanita yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, seorang ahli pedang dari Kun-Lun-Pai. Sebetulnya tokoh wanita ini adalah seorang pelarian dari Kun-Lun-Pai beberapa tahun yang lalu karena sebagai anak murid Kun-Lun ia telah melakukan pelanggaran susila dan ketika ditegur oleh Ketua Kun-Lun-Pai pada waktu itu, ialah Pek Gan Siansu, ia melawan dan akhirnya ia dikalahkan dan diusir oleh Pek Gan Siansu. Semenjak itu, ia melakukan perantauan dan tidak berani kembali ke Kun-Lun-Pai, akan tetapi dalam perantauannya ini ia malah mendapat penambahan ilmu kepandaian yang hebat sehingga kini ia merupakan tokoh yang lihai sekali. Wanita ini bernama Gui Hwa dan berjuluk It-To-Kiam (Setangkai Pedang).

   "Demikianlah, Kun Hong,"

   Kata Hui Kauw mengakhiri penuturannya kepada Kun Hong.

   "Selanjutnya aku tinggal bersama orang tuaku. Karena tidak berani menolak perintah Kaisar, aku terpaksa membantu The Sun, akan tetapi bukan membantu di dalam Istana, hanya aku berjanji kepada The Sun akan membantu setiap kali tenagaku dibutuhkan. Dia amat baik kepadaku dan memang keadaan di Kota Raja amat kuat, banyak terdapat tokoh-tokoh pandai. Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa ada seorang buta dikeroyok, hatiku kaget bukan main. Cepat-cepat aku keluar dan menuju ke tempat pertempuran untuk mencegah mereka yang mengeroyokmu, akan tetapi, ternyata kau telah dapat melarikan diri dan aku tak berdaya melihat penyembelihan yang dilakukan para pengawal terhadap orang-orang Hwa I Kaipang. Aku menyusul dan mencarimu dengan diam-diam dan aku melihat jejak The Sun di rumah ini..."

   Hui Kauw memandang kepada mayat janda Yo yang tak bergerak sambil menarik napas panjang.

   "Karena salah sangka setelah melihat The Sun dilayani janda ini aku menjadi marah, menghinanya dan merampasmu, Ah, aku menyesal sekali, Kun Hong."

   Selama Hui Kauw berceritera, Kun Hong hanya mendengarkan dengan penuh perhatian. Terutama sekali penuturan Hui Kauw tentang orang-orang kosen di Kota Raja amat menarik hatinya. Agaknya Hwesio yang sanggup menghadapi jurusnya "Sakit Hati"

   Tentulah Bhok Hwesio jago tua Siauw-Lim itu. Wah, berat kalau begini. Dia merasa bersyukur bahwa Mahkota kuno itu tidak terampas oleh mereka. Teringat akan ini, Kun Hong berkata heran.

   "Ah, kenapa A Wan begini lama belum kembali?"

   Karena tadi Hui Kauw asyik berceritera, nona ini pun seperti lupa kepada A Wan. Sekarang ia pun merasa heran dan curiga.

   "Biar aku mencarinya di belakang rumah."

   Ia bangkit berdiri dan melompat ke luar dari pondok itu melalui pintu belakang. Baru beberapa menit seperginya Hui Kauw, tiba-tiba Kun Hong memiringkan kepalanya. Dia mendengar suara banyak kaki dengan gerakan ringan sekali di sekeliling rumah! Otomatis tangan kanannya menggenggam tongkatnya erat-erat dan seluruh tubuhnya tegang dalam persiapan. Luka-lukanya biarpun masih terasa sakit, namun sudah tidak berbahaya lagi, punggungnya masih kaku. Dia masih tetap duduk bersila di atas tikar dengan sikap tenang tapi dengan hati tegang. Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang sudah amat dikenalnya, ketawa The Sun!

   "Ha-ha-ha, Kwa Kun Hong, kiranya benar kau yang secara pengecut bersembunyi di balik selimut janda muda, pura-pura menjadi seorang kakek. Ha-ha-ha!"

   Berbareng dehgan ucapan itu, tubuh The Sun melayang masuk ke dalam pondok, tertawa-tawa lagi.

   "Perempuan keparat, berani kau menipuku, ya?"

   Kun Hong mendengarkan penuh perhatian, namun dia sudah bersiap sedia membela diri. Terdengar The Sun hampiri jenazah janda Yo, kemudian pemuda itu menahan pekik.

   "Ahhh.."

   Kun Hong tersenyum mengejek.

   "The Sun manusia keparat, kau lihat baik-baik wanita tak berdosa yang menjadi korbanmu!"

   Sehabis mengeluarkan ejekan ini, tubuhnya tiba-tiba melesat ke arah The Sun dan tongkatnya sudah mengirim tusukan maut. The Sun kaget dan cepat membanting diri ke kanan sehingga dinding pondok yang tidak kuat itu menjadi jebol, terus tubuhnya menggelinding ke luar. Kun Hong mengejar terus, juga melalui dinding yang jebol itu. Setibanya di luar pondok, Pendekar Buta ini berhenti karena dia tidak dapat mengenali lagi di mana adanya The Sun. Di depan pondok itu ternyata telah menanti banyak orang yang kini menghadapinya setengah mengurung.

   "Omitohud... sayang pemuda berilmu tinggi menjadi pemberontak."

   Suara ini mengejutkan hati Kun Hong karena dia mengenalnya sebagai suara Hwesio kosen yang pernah memukul punggungnya. Tentu inilah yang oleh Hui Kauw diceriterakan sebagai Bhok Hwesio, pikirnya. Entah ada berapa orang tokoh lihai lagi di samping Hwesio ini dan The Sun. Namun dia tidak takut, hanya dia amat khawatir kalau-kalau Mahkota kuno yang tadi sedang diambil oleh A Wan itu terampas musuh. Kun Hong tidak dapat melihat bahwa selain Bhok Hwesio dan The Sun, di situ terdapat banyak pengawal dan masih ada lagi seorang kosen, yaitu si pertapa dari Nepal bernama Bhewakala yang berdiri tegak sambil memandang dengan sepasang matanya yang mengandung pengaruh sihir! Mendengar pujian Bhok Hwesio kepada pemuda buta ini, Bhewakala menaruh perhatian besar karena dia sudah cukup maklum akan kesaktian Bhok Hwesio.

   "Mata buta tidak mengapa, kalau hati yang buta benar-benar amat sayang sekali,"

   Katanya dengan suaranya yang besar dan bahasanya yang kaku. Mendengar suara ini, Kun Hong dapat menduga siapa tokoh ke dua ini karena dia sudah pula mendengar nama orang itu dari penuturan Hui Kauw.

   "Bhok Hwesio dan Pendeta Bhewakala adalah tokoh-tokoh tua yang memiliki ilmu tinggi, sudah tahu aku seorang muda yang buta mengapa masih memusuhiku tanpa sebab? Apa perbuatan ini tidak merendahkan derajat dan mencemarkan nama besar Ji-wi (kalian)?"

   Katanya dengan suara keras. Bhok Hwesio melengak, lebih-lebih Bhewakala yang seketika menjadi pucat mukanya. Pendeta Nepal ini datang dari Himalaya di mana kepercayaan akan keajaiban dan tahyul masih amat tebal. Sekarang mendengar seorang buta mengenal namanya begitu saja, tentu dia menjadi heran dan takut-takut. Siapa tahu pemuda ini adalah sebangsa "Dewa"

   Yang menjelma menjadi manusia sehingga biarpun matanya buta akan tetapi tahu akan segala kejadian di dunia ini? Hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut untuk minta maaf kalau saja The Sun tidak membentak marah.

   "Kwa Kun Hong! Jangan coba-coba kau mempengaruhi dua orang Lo-Cianpwe yang terhormat dengan ucapanmu yang beracun! Kau ternyata diakui sebagai Ketua oleh pemberontak-pemberontak Hwa I Kaipang, jelas bahwa kau adalah seorang pemberontak. Lebih baik kau menyerah dan kami berjanji akan mintakan ampun kepada Kaisar, asal kau suka berjanji untuk bekerja sama membela negara daripada rongrongan musuh. Melawan pun tiada gunanya, kau sudah terluka dan apa artinya kepandaianmu menghadapi kesaktian Bhok Lo-Suhu dan Bhewakala?"

   "The Sun, kau maklum dalam hatimu bahwa kalau mau bicara tentang ucapan beracun dan perangai binatang, maka kaulah orangnya. Selama hidupku aku tak pernah memusuhimu, mengapa kau mendesakku dan malah kau menjadi sebab kematian seorang janda tak berdosa?"

   "Tak usah banyak cakap, lebih baik surat rahasia yang kau terima dari Tan Hok kau serahkan kepadaku, kalau tidak jangan harap dapat meninggalkan Kota Raja dalam keadaan hidup!"

   The Sun membentak.

   "Manusia rendah, sudah kukatakan bahwa aku tidak membawa surat apa-apa. Terserah kepadamu."

   "Saudara The, biarlah aku mencoba menangkap tuna netra yang amat bandel ini!"

   Kata Bhewakala yang amat tertarik mendengar percakapan itu dan ingin sekali dia menguji kepandaian si buta ini yang tadi sudah dipuji-puji oleh Bhok Hwesio. Bhok Hwesio tertawa.

   "Saudara Bhewakala, berhati-hatilah kau, dia benar-benar lihai sekali."

   Pendeta Nepal itu tersenyum. Dia adalah seorang pertapa Himalaya yang berilmu tinggi, dalam hal kepandaian dan kesaktian, dibandingkan dengan Bhok Hwesio kiranya hanya kalah setingkat, masa dia harus merasa jerih menghadapi seorang muda lagi buta seperti Kun Hong ini?

   "Orang muda, menyerahlah, atau kalau tidak, bersiaplah kau kutangkap dan kujadikan tawananku!"

   Katanya dan tiba-tiba tubuhnya sudah bergerak secara aneh, kedua kakinya diangkat ujungnya sehingga tubuhnya doyong ke belakang seperti orang akan terjengkang.

   Benar-benar gerakan ini merupakan kuda-kuda yang amat aneh dan lucu, apalagi karena kedua lengannya diulur ke depan seperti seorang bapak hendak memondong anaknya, atau lebih mirip seorang yang akan jatuh ke belakang sedang minta tolong. Kun Hong tak dapat melihat gerakan ini namun dia dapat mendengarkan dan maklum bahwa orang yang akan menangkapnya ini memiliki kepandaian luar biasa dan berbeda dengan orang-orang lain, maka dia pun tidak mau memandang rendah, tubuhnya sudah bergerak pula dengan perlahan, memasang kuda-kuda jurus Sakit Hati. Kali ini dia tidak mau memusingkan lagi tentang kesabaran, karena maklum bahwa dia telah terkurung dan berada dalam keadaan hidup atau mati. Apalagi kalau teringat akan janda Yo, hatinya sakit sekali dan mau rasanya dia sekali pukul membunuh The Sun, sedangkan semua orang yang membantu The Sun tentu saja akan dilawannya mati-matian.

   Ketika Bhewakala melihat Pendekar Buta itu memasang kuda-kuda dan tidak menjawab permintaannya supaya menyerah, tiba-tiba dia mengeluarkan suara bentakan panjang dalam bahasa asing, sepasang matanya menjadi lebar dan bercahaya seakan-akan mengeluarkan sinar kilat, lalu tubuh yang doyong ke belakang itu tiba-tiba bergerak maju dengan kedua tangan mencengkeram ke arah pundak dan dada Kun Hong. Serangan ini hebat bukan main, terbukti dari hawa pukulan yang menggetarkan dada Kun Hong, jauh sebelum kedua tangan orang Nepal itu datang dekat. Juga bentakan Bhewakala itu mendatangkan perasaan aneh di kepalanya, terdapat dorongan yang hendak memaksa dia menjadi lumpuh,

   Kun Hong terkejut dan teringatlah dia akan ilmu "Merampas semangat"

   Yang pernah dia pelajari dari Paman gurunya, Sin-Eng-Cu Lui Bok. Dahulu sebelum dia buta, dia dapat mempergunakan ilmu ini untuk mengalahkan lawan, yaitu dengan kekuatan batin dan Lweekang yang disalurkan melalui pandangan matanya. Sekarang setelah buta, tentu saja dia tidak dapat melakukan ilmu itu. Teringat ini, dia menduga bahwa lawannya yang aneh ini agaknya mempergunakan ilmu itu pula. Dia bersyukur bahwa kebutaan matanya membuat dia kebal terhadap penyerangan ilmu ini, karena ilmu ini menundukkan lawan melalui pandangan mata pula. Dengan pengerahan tenaga batinnya, Kun Hong menghadapi serangan ini dengan jurus Sakit Hati, tongkatnya berkelebat kemerahan dari kanan atas sedangkan tangan kirinya menyambar dengan jari-jari terbuka dari kiri bawah.

   "Siuuuuuttttt!"

   Inilah jurus Sakit Hati yang hebatnya bukan kepalang,

   Sejurus ilmu pukulan gabungan dari Ilmu Silat Im-Yang Sin-Hoat dan Kim-Tiauw Kun-hoat, gabungan aneh dari dua macam serangan yang memiliki dua tenaga gaib pula, yaitu Yang-Kang dan Im-Kang. Bhewakala menjerit ngeri menyaksikan betapa serangannya dihadapi oleh Si Pendekar Buta dengan serangan pula yang luar biasa anehnya sehingga bulu tengkuknya berdiri semua karena kedua tangannya tanpa sebab telah terpental oleh semacam hawa yang tidak kelihatan, yang keluar dari gerakan Pendekar Buta itu. Tubuhnya yang tinggi kurus secepat kilat ditekuk ke kiri untuk menghindarkan diri dari sambaran tongkat yang memiliki hawa panas seperti baja membara ini, sedangkan kedua tangannya cepat dia gerakkan untuk menangkis sambil mencengkeram pukulan tangan kiri lawan yang menyambar dari bawah.

   "Weeeeerrrrr... desssss!! Auuuuuhh...!"

   Seperti sebuah layangan putus talinya, tubuh Bhewakala melayang, terlempar sampai lima meter lebih, sebagian rambut kepalanya hangus terlanggar tongkat sedangkan kedua tangannya bertemu dengan tangan kiri Kun Hong tadi, membuat tubuhnya terpental jauh. Dia roboh terguling, tetapi cepat bangun lagi dengan kedua mata terbelalak keheran-heranan, mukanya merah padam.

   Dia berusaha mempertahankan diri tetapi tidak kuat karena tiba-tiba dia muntahkan segumpal darah merah dari mulutnya. Dalam segebrakan tadi dia telah terluka! Melihat Pendekar Buta itu masih memasang kuda-kuda Sakit Hati, tak bergerak seperti patung, kaki kanan di depan berjungkit, kaki kiri di belakang dan ditekuk lututnya, tangan kanan memegang tongkat diangkat ke atas melintang, tangan kiri terbuka seperti cakar dan tergantung ke bawah, tokoh Nepal ini menjadi penasaran dan malu sekali. Selama dua bulan dia berada di Kota Raja sebagai seorang tokoh undangan. Belum pernah dia melakukan sesuatu jasa sungguhpun dia telah mendemonstrasikan kepandaiannya kepada para pengawal. Sekarang, sekali turun tangan, menghadapi seorang pengacau muda lagi buta saja, dalam segebrakan dia sudah muntah darah!

   Dengan dada panas penuh hawa amarah, Bhewakala merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan sebatang cambuk hitam yang ujungnya kecil dan panjang sekali. Cambuk ini tadinya digulung kecil dan dimasukkan saku, sekarang setelah berada di tangannya berubah menjadi cambuk panjang sekali, tidak kurang dari tiga meter panjangnya! Dia merasa penasaran dan hendak membalas kekalahannya. Sambil mengeluarkan bentakan aneh, dia sudah memutar cambuknya di atas kepala, makin lama makin cepat dan terdengarlah suara seperti suling ditiup orang. Aneh, makin cepat saja dia memutar cambuk, maka suara seperti suling itu menjadi makin keras seperti suara sirene! Kun Hong masih memasang kuda-kuda tanpa bergerak, seluruh inderanya tegang dan dia siap menanti setiap serangan dengan jurus mautnya itu. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut ketika ada hawa serangan ujung cambuk yang mengeluarkan suara mengaung aneh itu.

   Maklum bahwa tiada gunanya menangkis serangan senjata lemas seperti ini, dia menggerakkan kedua kakinya dan dengan mudah saja mengelak. Namun ujung cambuk tetap mengejarnya dengan kecepatan kilat, seakan-akan cambuk itu bermata pada ujungnya, dapat mengejar ke mana jua pun dia bergerak. Hebat ilmu cambuk dari orang Nepal ini, aneh dan berbahaya. Baiknya Kun Hong memiliki ilmu langkah ajaib yang dinamai Hui-Thian Jip-Te, kalau tidak, tentu dia akan celaka menghadapi penyerangan ilmu cambuk aneh itu. Untuk membalas dengan serangan lagi, sukar, karena lawannya yang memegang cambuk berada dalam jarak tiga meter sedangkan ujung senjata itu terus mengancamnya. Terpaksa dia mempergunakan langkah ajaib dan berkali-kali orang Nepal itu mengeluarkan seruan heran dan bingung karena melihat betapa orang yang diserangnya itu enak-enakan saja berloncatan,

   
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kadang-kadang terhuyung-huyung dan jongkok berdiri, namun semua penyerangannya tidak pernah menyentuh kulit lawan! Saking bingung dan herannya, dia marah-marah dan mengira bahwa Pendekar Buta itu memang sengaja mengejek dan mempermainkannya. Sama sekali dia tidak tahu bahwa sikap Kun Hong itu sama sekali bukan mengejek, melainkan mati-matian menyelamatkan diri dari kurungan ujung cambuk, karena memang langkah ajaib itu kelihatan aneh dan lucu. Kemarahan membuat Bhewakala tidak hati-hati lagi. Dia tidak tahu bahwa dalam melakukan langkah ajaib menghindarkan ujung cambuk, Kun Hong dengan cara memutar makin mendekatinya dan begitu ada kesempatan, pemuda buta ini cepat membalas serangan lawan dengan jurus Sakit Hatinya.

   "Haaaaaiiiii!!!!!"

   Dengan amat hebat Kun Hong sudah menerjang lawannya dengan jurus mautnya itu. Bhewakala kaget sekali akan tetapi dia sudah siap. Cambuknya tiba-tiba melingkar pendek dan memapaki tongkat lawan, sedangkan tangan kirinya sengaja dia kerahkan dengan tenaga penuh untuk memapaki tangan Si Pendekar Buta.

   "Saudara Bhewakala, jangan...!"

   Terdengar Bhok Hwesio berseru kaget. Namun terlambat.

   "Deeeeesssss! Blukkkkk!"

   Cambuk itu putus berhamburan bertemu tongkat dan tubuh Bhewakala untuk ke dua kalinya melayang ke belakang, lalu roboh dan kali ini sampai lama dia tidak dapat bangkit, dari mulutnya mengalir darah segar dan napasnya terengah-engah. Bhok Hwesio menghampirinya.

   "Omitohud..."

   Seru Hwesio Siauw-Lim yang kosen ini sambil mengurut dada orang Nepal itu beberapa kali. Diam-diam dia merasa kagum juga kepada Bhewakala karena beberapa menit kemudian tokoh Nepal ini sudah dapat bangun dan duduk bersila untuk memulihkan tenaganya. Agaknya dia tidak terluka terlalu hebat sehingga tidak membahayakan keselamatan nyawanya.

   "Uuuuhhh-uuuhhh... aku tidak dapat mempengaruhinya dengan pandangan mataku... uh-uh-uh, dia hebat... Bhok Lo-Suhu..."

   Katanya dengan suara bernada kecewa. Memang hatinya kecewa sekali karena dia harus menderita kekalahan. Andaikata lawannya itu, biarpun memiliki ilmu silat luar biasa tingginya, tidak buta seperti sekarang, belum tentu dia akan kalah seperti sekarang ini. Dengan pandang matanya dia dapat mengerahkan kekuatan batin, dapat mempergunakan ilmu sihirnya untuk membuat lawannya bertekuk lutut tanpa mengulurkan tangan. Akan tetapi, apa daya, justeru lawannya tidak mempunyai mata sehingga kekuatan batinnya tidak mendapatkan "Pintu"

   Untuk memasuki tubuh lawan.

   Di lain pihak, diam-diam Kun Hong mengeluh. Dia telah menderita luka dalam akibat pukulan Bhok Hwesio di punggungnya, sedangkan luka di pangkal pahanya biarpun tidak berbahaya lagi, namun belum sembuh dan masih terasa nyeri dan perih, juga sebagian tenaganya sudah banyak dipergunakan untuk mengusir racun dan untuk menambah daya tahan terhadap luka-luka itu, sekarang dia harus menghadapi lawan tangguh. Tadi, dalam dua kali bertemu tenaga dengan Bhewakala, sungguhpun dia berada di fihak unggul berkat Sinkang di tubuhnya dan jurus luar biasa itu, namun tenaga yang dia pergunakan amatlah merugikan dirinya sendiri. Luka dalam di punggungnya menjadi makin nyeri sampai menyesakkan dada, luka di pangkal paha mengucurkan darah baru karena dorongan dari dalam ketika dia mengerahkan tenaga.

   Namun pemuda perkasa ini tidak menyatakan sesuatu, tetap memasang kuda-kuda jurus Sakit Hati menghadapi segala kemungkinan, tidak bergerak seperti patung. Dia harus mempertahankan nyawanya dan untuk ini, mau tidak mau dia harus berani merobohkan lawan, kalau perlu membunuhnya! Setelah banyak mengalami hal-hal penasaran di dunia kang-ouw, mulai terbukalah pengertian Kun Hong mengapa tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal gagah perkasa dan dia kagumi itu sering kali melakukan pembunuhan. Kiranya di dunia ini memang terdapat banyak orang-orang yang sudah sepatutnya dibunuh karena hidupnya hanya mengotorkan dunia dan menjadi sumber segala kejahatan!

   Sekarang dia tidak rela menyediakan nyawanya untuk dibunuh orang lain, karena hidupnya masih memiliki banyak tugas penting sekali. Pertama, mencari musuh-musuh Thai-San-Pai dan membantu Paman Beng San membalas sakit hati. Ke dua, membantu mencari adik Cui Sian yang hilang diculik orang. Ke tiga, melanjutkan tugas Paman Tan Hok untuk menyampaikan surat rahasia itu kepada yang berhak, yaitu Raja Muda Yung Lo di Utara. Ke empat, mendidik A Wan sebagai muridnya agar dia dapat membalas budi mendiang Yo-Twa-So. Ke lima... Hui Kauw! Ya, karena adanya Hui Kauw maka dia tidak mau mati dan harus mempertahankan hidupnya. Biarpun pikirannya melayang-layang seperti itu, namun Kun Hong tidak sedikit pun mengurangi kesiap-siagaannya menghadapi para lawan yang sudah mengurungnya.

   "Omitohud... orang muda buta benar-benar lihai sekali. Pinceng kagum... sayang kalau harus membunuhnya. The-Kongcu dan Tan-Sicu, mari bersama-sama Pinceng menangkapnya hidup-hidup!"

   Mendengar kata-kata ini, Kun Hong mengerutkan keningnya. Hemmm, kiranya Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui sudah berada di situ pula. Inilah berbahaya, pikirnya. Tertawan oleh orang-orang ini sama dengan mati. Kalau dia sudah tertawan, bagaimana mungkin melepaskan diri? Dahulu ketika dia belum buta, pernah pula dia ditawan di Kota Raja, akan tetapi dengan ilmu sihirnya dia dapat melarikan diri (baca Rajawali Emas). Sekarang, sekali dia tertawan, apa bedanya dengan mati? Tidak, dia tidak mau ditawan!

   Begitu mendengar deru angin dari tiga jurusan, Kun Hong cepat menggunakan langkah-langkah ajaibnya Untuk menyelamatkan diri, sedangkan kedua tangannya sudah siap selalu mencari kesempatan membalas. Sayang baginya, jurus Sakit Hati itu hanya sejurus saja, dan pula, hanya amat ampuh kalau dipergunakan untuk menghadapi seorang lawan yang menyerang menjadi serangan balasan yang tak terhindarkan. Sekarang, menghadapi serangan tiga orang yang demikian tinggi ilmu silatnya, Dia sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk mempergunakan jurusnya ini. Pedang di tangan Sin-Kiam-Eng seperti seekor garuda saja menyambar-nyambar dari tempat yang tidak terduga-duga. Bukan main hebatnya Ilmu Pedang Sian-Li Kiam-Sut dari Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui ini sehingga dalam menghadapinya, timbul keinginan aneh di hati Kun Hong untuk dapat mempergunakan mata melihat permainan pedang ini!

   Tongkatnya sudah repot dipergunakan menangkis serangan Sin-Kiam-Eng, sehingga tinggal sedikit kesempatan untuk menangkis pedang The Sun yang juga amat ganas menyambar-nyambar. Berkali-kali dia berusaha memukul runtuh pedang The Sun yang dia tahu mengandung racun berbahaya, lebih-lebih dari keinginan dan nafsu hatinya untuk mendapat kesempatan menerjang The Sun dan merenggut nyawa pemuda halus ini untuk membalas sakit hati janda Yo. Akan tetapi selagi menghadapi dua pedang ini saja dia sudah repot, ditambah lagi sambaran-sambaran aneh dan kuat bukan main dari kedua tangan Bhok Hwesio yang berusaha menangkapnya, mana mungkin dia melakukan serangan balasan? Kalau sekarang Kun Hong kewalahan menghadapi lawan-lawannya, hal ini bukanlah terlalu aneh. Pertama, dia telah terluka hebat sehingga tenaganya hanya tinggal tiga per empat bagian.

   Ke dua, tiga orang lawannya yang tergolong jagoan-jagoan kelas satu ini mengeroyoknya. Ke tiga, hatinya sudah gelisah sekali karena sampai saat itu dia tidak tahu ke mana perginya A Wan dan Hui Kauw, dan apa jadinya dengan Mahkota yang menyimpan surat rahasia penting itu. Pada saat itu pedang The Sun menyambar ke arah kakinya dengan babatan cepat sekali. Kun Hong melompat ke atas dan cepat sekali menggunakan tongkatnya untuk menindih pedang ini, dengan maksud mempergunakan kesempatan ini dia memukul The Sun dengan tangan kiri. Akan tetapi pada saat itu pedang Sin-Kiam-Eng sudah menusuknya, menusuk ke arah leher. Cepat dia miringkan tubuh dari tangan kirinya sudah siap melanjutkan pukulan kepada The Sun yang masih berkutetan hendak menariknya tapi tidak sanggup itu.

   "Robohlah..."

   Tiba-tiba terdengar bentakan Bhok Hwesio yang mendorong dari samping. Hebat tenaga dorongan Hwesio ini, seperti angin puyuh saja datangnya. Kun Hong terkejut, terpaksa membatalkan pukulannya pada The Sun, sebaliknya dia lalu menggunakan tangan kirinya itu mendorong ke arah Bhok Hwesio.

   "Deeeeesssss!!!!!"

   Tangan kiri Kun Hong bertemu dengan tangan Bhok Hwesio, dari kedua lengan ini mengalir hawa dorongan yang luar biasa saktinya. Bhok Hwesio berteriak perlahan, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, sedangkan Kun Hong merasa dadanya sesak dan dia pun terpaksa melompat ke belakang dan berusaha memulihkan napasnya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika merasa betapa punggungnya yang masih luka itu makin nyeri, membuat dia sukar bernapas Kun Hong gugup, bingung, kecewa dan marah bukan main. Haruskah dia mati dalam keadaan begini? Haruskah dia mati sebelum menunaikan tugasnya?

   Terlintas pikiran aneh pula. Haruskah dia mati sebelum menyampaikan cinta kasihnya kepada Hui Kauw? Tidak! Sekali-kali tidak boleh! Dan terdengarlah pekik melengking tinggi keluar dari kerongkongannya, pekik yang mengerikan dan mendirikan bulu roma, dibarengi dengan melesatnya tubuhnya dengan jurus Sakit Hati. Hampir saja Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui menjadi korban karena jago tua ini yang berada di tempat terdekat. Kun Hong tidak perduli siapa lagi yang berada di dekatnya, tentu terus saja diterjang dengan jurus Sakit Hati sambil mengeluarkan pekik melengking tinggi itu. Tan Beng Kui terkejut dan cepat melompat jauh menghindarkan diri, juga The Sun kaget bukan main sampai mukanya menjadi pucat dan dia pun menjauhkan diri. Hanya Bhok Hwesio yang tetap berdiri di tempatnya, memandang dengan penuh kekaguman.

   "Dia sudah seperti harimau terluka, tinggal merobohkan saja!"

   Kata Hwesio itu membesarkan hati The Sun dan Tan Beng Kui mendesak maju lagi, menggerakan pedang.

   Keadaan Kun Hong benar-benar terancam hebat, kalau tidak akan roboh tewas, sedikitnya tentu dia akan tertawan seperti yang dia khawatirkan. Mendadak terdengar lengking panjang dari atas, lengking yang hampir sama dengan pekik yang keluar dan mulut Kun Hong, akan tetapi lebih panjang dan nyaring. Mendengar ini, Kun Hong terkejut dan mukanya berubah berseri-seri, lalu dia memekik iagi sambil mengamuk terus, menggerakkan tongkatnya dengan sehingga tubuhnya tertutup sinar pedang kemerahan. Untuk menjaga dirinya dari desakan tiga orang lawannya yang amat tangguh, tiada lain ilmu kecuali ilmu Pedang Im-Yang Sin-Kiam yang dapat melindungi tubuhnya. Lengking panjang itu makin keras dan tiba-tiba terdengar kelepak sayap di udara. Bhok Hwesio berseru kagum,

   "Omitohud... apalagi ini...?"

   Kiranya yang datang ini adalah seekor Burung Rajawali yang besar sekali. Indah dan gagah Burung itu. Seekor Burung Rajawali yang jarang kelihatan oleh manusia, bulunya kuning bersih, paruh dan kuku kakinya seperti emas, matanya merah menyala. Inilah Kim-Tiauw si Rajawali Emas yang datang karena tertarik oleh pekik melengking dari mulut Kun Hong tadi. Agaknya Burung ini mengenal pekik sahabatnya dan begitu tiba di situ melihat Kun Hong dikeroyok, dia segera mengeluarkan pekik dahsyat dan tubuhnya yang keemasan itu menyambar turun dengan kekuatan rIbuan kati!

   "Awas...!"

   Bhok Hwesio memperingatkan kedua orang temannya, juga para pengawal yang mengurung tempat itu. Namun tetap saja empat orang pengawal roboh terguling terkena sambaran sayap yang memukul ke depan, dan paruh yang kuat itu menerjang Tan Beng Kui. Pendekar pedang yang berilmu tinggi ini cepat mengelak sambii membacokkan pedangnya pada leher Burung. Akan tetapi siapa kira, Burung itu sama sekali tidak mengelak, melainkan menggunakan cakarnya untuk menyambar pedang yang membacoknya! Andaikata bukan Tan Beng Kui yang menyerangnya, pasti pedang itu akan terampas oleh Kim-Tiauw. Akan tetapi Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui cepat menarik pedangnya, malah melompat mundur tiga langkah untuk menghindarkan diri dari serangan cakar ke dua yang menerjangnya.

   "Kim-Tiauw-Ko (Kakak Rajawali Emas)!"

   Seru Kun Hong girang ketika mendengar sepak terjang Burung itu. Burung itu bukan lain adalah Burung kesayangannya, sahabat yang telah berpisah darinya lama sekali (baca Rajawali Emas). Kegirangan mendatangkan tenaga berlipat ganda sehingga dengan bentakan hebat dia berhasil memukul pedang The Sun terlepas dari tangan pemuda itu.

   "Serbu!?"

   Terdengar The Sun memberi aba-aba kepada para pengawal, akan tetapi Burung Rajawali itu telah menyambar ke depan dan di lain detik Kun Hong sudah melompat ke atas punggungnya, merangkul lehernya dan membiarkan dirinya dibawa terbang meninggi. Puluhan batang anak Panah diiringi caci maki melayang mengejar Burung itu, namun tak sebuah pun mengenainya. Yang menyambar dekat dengan mudah diruntuhkan dengan gerakan cakar kaki yang menangkis! Benar-benar seekor Burung yang amat tangguh dan kosen.

   "Kim-Tiauw ajaib... Omitohud...!"

   Bhok Hwesio memuji dan saking kagum dan herannya, kakek sakti ini tadi sampai terpaku dan tidak tahu harus berbuat apa. Hal ini menguntungkan Kun Hong dan Rajawali Emas, karena kalau kakek ini tidak terpaku dan menjadi pikun lalu tadi turun tangan, agaknya tidak semudah itu Kim-Tiauw dapat menolong dan melarikan Kun Hong dari tempat yang berbahaya itu. Kun Hong hampir pingsan saking lelahnya ketika dia duduk di atas punggung Rajawali sambil memeluk lehernya. Dengan terharu dia berbisik,

   "Tiauw-Ko... ah, kau baik sekali, terima kasih, Tiauw-Ko..."

   Burung itu mengeluarkan bunyi perlahan seakan-akan dapat menerima ucapan Kun Hong, dan terbangnya makin pesat membubung tinggi di udara sampai kelihatan kecil sekali, kemudian menukik ke Barat dengan kecepatan kilat. Belasan li di sebelah Barat, di luar tembok Kota Raja, terdapat sebuah hutan besar. Daerah ini termasuk kaki Pegunungan Tapie-San. Burung Rajawali Emas yang membawa terbang Kun Hong itu menukik ke bawah, ke arah hutan ini dan tak lama kemudian dia sudah turun ke atas tanah di antara pohon-pohon besar di tengah hutan itu, lalu mendekam. Kun Hong segera melompat turun dari punggung Kim-Tiauw.

   "Bagus, A-Tiauw, kau berhasil menolong Kun Hong!"

   Terdengar suara orang, halus dan tenang. Kun Hong tercengang, mengingat sebentar kemudian dengan girang dia menjatuhkan diri berlutut sambil berseru.

   "Susiok (Paman Guru)..."

   Kakek itu tertawa. Memang dia ini bukan lain adalah Sin-Eng-Cu Lui Bok, adik seperguruan manusia sakti Bu Beng Cu, guru Kwa Kun Hong yang tak pernah dia lihat orangnya itu.

   Dalam cerita Rajawali Emas dituturkan bahwa Kun Hong dahulu sebelum buta, pernah dibawa oleh Rajawali Emas ini ke puncak Gunung Liong-Thouw-San (Gunung Kepala Naga) dan di tempat rahasia inilah dia menemukan kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng yang ditinggalkan oleh Bu Beng Cu sehingga dengan bantuan Rajawali Emas, pemuda ini dapat mewarisi ilmu silat yang dia namakan Kim-Tiauw-Kun (Ilmu Silat Rajawali Emas). Dalam ceritera Rajawali Emas pula, pernah dia bertemu dengan adik seperguruan Bu Beng Cu, seorang aneh yang sakti pula, yaitu bukan lain adalah Sin-Eng-Cu (Si Garuda Sakti) Lui Bok inilah yang pernah mengajarnya ilmu sihir yang disebut ilmu merampas semangat. Pada saat itu, selagi Kun Hong berlutut penuh keharuan karena tidak mengira bahwa yang menyuruh Rajawali Emas menolongnya ternyata adalah Susioknya sendiri ini, terdengar kaki-kaki kecil berlari mendekati dan suara yang amat dikenalnya berseru,

   

Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini