Ceritasilat Novel Online

Pendekar Buta 22


Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



"Suhu...!"

   "A Wan, kau di sini?"

   Kun Hong memeluk anak itu, girang dan juga heran.

   "Dan anak ini... siapakah?"

   Dia menoleh ke kiri karena telinganya dapat menangkap gerakan seorang anak kecil lagi yang agaknya tadi digandeng oleh A Wan dan sekarang duduk pula di dekatnya.

   "Suhu, dia adalah Cui Sian, adik kecil yang baik dan lucu..."

   "Cui San? Anak Paman Beng San...??"

   Kun Hong sampai berteriak keras saking heran dan kagetnya sehingga A Wan yang tidak tahu apa-apa menjadi bingung. Dengan penuh keharuan tangannya meraih dan di lain saat anak perempuan berusia empat tahun itu telah dipeluknya. Terdengar suara anak perempuan itu, nyaring dan jelas suaranya, tidak seperti anak-anak kecil lain yang sebaya.

   "Paman buta, kau ini menangis ataukah tertawa? Karena aku tidak dapat membedakannya."

   Kun Hong tertawa, pertanyaan kanak-kanak yang bodoh tetapi mengandung makna demikian dalamnya, sedalam lautan, meliputi rahasia hidup karena kehidupan di dunia ini memang hanya berisi dua hal, tangis dan tawa!

   "Anak baik... anak baik... aku menangis dan juga tertawa saking girangku mendengar kau selamat..."

   Tiba-tiba dia teringat dan setelah melepaskan Cui Sian dari pelukan, dia bangkit berdiri, menoleh ke arah Sin-Eng-Cu Lui Bok. Keningnya berkerut-kerut ketika dia berkata,

   "Susiok... Cui Sian di sini bersama Susiok...? Bagaimanakah ini? Bukankah Cui Sian diculik orang dari Thai-San? Apakah Susiok..."

   Dia tidak berani melanjutkan kata-katanya sungguhpun hatinya penuh kecurigaan yang bukan-bukan. Kakek itu tertawa lembut.

   "Kenapa tidak kau lanjutkan, Kun Hong? Tak baik mengandung curiga di dalam hati, karena kecurigaan yang dipendam dapat menimbulkan fitnah tanpa disengaja. Kecurigaanmu keliru, Kun Hong. Aku bersama Kim-Tiauw ingin menjengukmu di Thai-San dan kulihat Thai-San diserang banyak orang. Di puncak kulihat nyonya Ketua Thai-San yang gagah perkasa dikeroyok dan bangunan dibakar. Karena anak ini terancam bahaya, maka aku berlancang tangan membawanya pergi dari sana."

   Mendengar ini, merah muka Kun Hong. Tak dapat disangkal lagi, sebelum mendengar penjelasan ini, tadi dia telah menaruh curiga kepada Susioknya. Dia segera menjatuhkan diri berlutut lagi sambil berkata, nada suaranya penuh permohonan dan juga penuh dendam,

   "Siapakah mereka itu, Susiok? Si...siapakah mereka yang menyerang Thai-San?"

   Kembali kakek itu tertawa geli seakan-akan mendengar sesuatu yang amat lucu.

   "Susiok, kenapa Susiok mentertawakan Teecu (murid)?"

   Kun Hong merasa heran dan penasaran. Apakah pertanyaannya itu dianggap lucu? Tak mengerti dia mengapa dalam urusan yang demikian pentingnya, orang tua itu malah tertawa-tawa dan seakan-akan mentertawakannya.

   "Kau hendak apakah menanyakan mereka yang menyerang Thai-San?"

   "Keparat-keparat itu telah berlaku keji terhadap Paman Beng San, tentu saja Teecu harus membalas dendam sakit hati ini!"

   "Ha-ha-ha, sudah kuduga! Sudah kukhawatirkan akan beginilah jadinya. Sayang..."

   Kakek itu tertawa lagi.

   "Balas-membalas, dendam-mendendam, roda karma berputar tiada hentinya..."

   Kun Hong terkejut, lalu cepat bertanya,

   "Susiok, salahkah sikap Teecu ini?"

   Setelah berpikir sebentar dia melanjutkan.

   "Susiok sudah sampai di Thai-San dan melihat semua itu, sudah berhasil menyelamatkan adik Cui Sian, kenapa Susiok tidak membantu Paman Beng San membasmi orang-orang jahat itu?"

   "Hemmm, aku tidak mempunyai urusan dengan mereka, sudah terlalu lama aku membebaskan diri daripada libatan karma, Anakku. Sikapmu ini tidaklah salah, hanya aku menjadi geli hatiku mendengar kata-kata dan melihat sikapmu ini. Agaknya kau sudah lupa sama sekali beberapa tahun yang lalu ketika kau menasehati seorang kakek seperti aku ini ketika aku hendak mencari dan membunuh Sin-Chio The Kok atau Hwa I Lokai. Ha-ha-ha!"

   Kun Hong tertegun dan seketika dia termenung.

   Terbayanglah sekarang semua pengalamannya dahulu, ketika dia masih belum buta. Pertemuannya pertama dengan Sin-Eng-Cu Lui Bok terjadi amat aneh, yaitu kakek itu menyatakan hendak mencari dan membunuh musuh besarnya, Sin-Chio The Kok yang menyembunyikan diri dan mengubah nama menjadi Hwa I Lokai. Dialah yang menasehati orang tua ini agar jangan membalas dan membunuh, agar jangan terikat oleh tali-temali yang amat kusut dan sulit, yaitu tali dendam-mendendam. Dan sekarang, persis seperti beberapa tahun yang lalu (baca Rajawali Emas), sekarang di depan kakek itu dia bersikeras hendak membalas dendam Thai-San-Pai kepada orang-orang yang menyerbu Thai-San. Seketika mukanya menjadi merah dan dia tidak dapat berkata sesuatu. Kakek itu menarik napas panjang, maklum akan isi hati Kun Hong.

   "Kau masih ingatkah, Kun Hong, betapa dahulu aku pernah datang ke Thai-San dan membujuk kau supaya ikut dengan aku menjadi pertapa, hidup bahagia membebaskan diri daripada ikatan karma? Kau tidak mau dan aku hanya dapat tunduk akan kehendak Thian (baca Rajawali Emas). Aku tidak menyalahkan engkau. Pengertianmu tentang rahasia hidup memang sudah cukup, akan tetapi pengertian itu hanya menjadi pengetahuan dari teori buku-buku lama, namun kau belum dapat menguasai ilmu yang kau ketahui teorinya itu. Betapapun juga, teori yang kau nasehatkan kepadaku dahulu itu telah menolongku, sebaliknya tak mampu menolong dirimu sendiri. Ini tidak aneh karena kau memang masih muda, masih suka melibatkan diri dengan dunia beserta sekalian isi dan peristiwanya, kau masih belum mampu menguasai perasaan muda."

   Kun Hong menunduk dan diam-diam dia dapat menangkap kebenaran kata-kata kakek ini.

   (lanjut ke Jilid 21)

   Pendekar Buta (Seri ke 03 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21

   "Kau masih terlalu muda untuk dapat menyelami semua teori tentang filsafat dan rahasia kehidupan, Anakku. Karena jiwamu belum masak, belum cukup kuat menghadapi gejolak perasaan sehingga mudah terpengaruh keadaan dan hawa nafsu. Sekarangpun karena bertemu dengan anak pamanmu, seluruh perasaanmu terpenuhi oleh urusan Thai-San-Pai sehingga kau lupa akan tugas yang kau ikatkan dengan dirimu, mengenai Mahkota..."

   Kakek itu tertawa lagi. Suara ketawanya lebih keras ketika tiba-tiba Kun Hong seperti orang tersentak kaget meraih A Wan dan serta merta bertanya,

   "A Wan, di mana adanya Mahkota itu? Sudah dapat kau ambilkah?"

   Suaranya penuh harapan dan seperti yang tadi dikatakan oleh Sin-Eng-Cu Lui Bok, kini seluruh perhatiannya terpusat kepada benda rahasia itulah sehingga boleh dibilang dia lupa sama sekali akan urusan Thai-San-Pai! Sambil berlutut anak itu berkata, suaranya takut-takut,

   "Ampun, Suhu, Mahkota itu... benda itu... telah dirampas orang..."

   "Apa katamu??"

   Kun Hong marah dan kecewa sekali, kemudian sambungnya agak tenang setelah dia ingat bahwa seorang anak kecil seperti A Wan, mana sanggup melindungi Mahkota itu? "Siapakah yang merampasnya?"

   Dengan suara mengandung takut kalau-kalau gurunya akan marah kepadanya, A Wan menuturkan pengalamannya.

   "Tadinya benda itu Teecu sembunyikan dan kubur di belakang rumah dekat sumur. Ketika Suhu menyuruh Teecu mengambilnya, Teecu segera pergi ke tempat itu dan menggalinya. Akan tetapi baru saja Teecu mengambil benda itu dan Teecu bersihkan dari tanah lumpur yang masuk ke dalam Mahkota, Teecu dibentak orang dan Mahkota itu hendak dirampas."

   "Hemmm, siapa dia? Laki-laki atau wanita?"

   Tanya Kun Hong,

   "Seorang laki-laki, akan tetapi karena keadaan gelap, Teecu tidak mengenal wajahnya. Teecu mempertahankan Mahkota itu, akan tetapi dia menggunakan kekerasan, Teecu didorong dan benda itu dapat dirampas. Pada saat itu muncul pula seorang wanita muda dan seorang laki-laki gagah dan masih muda pula. Serta merta orang muda itu menyerang orang yang tadi merampas Mahkota tadi, adapun wanita muda itu menolong Teecu. Akan tetapi segera Teecu ditinggalkan seorang diri ketika wanita itu melihat Teecu tidak apa-apa, kemudian wanita itu membantu temannya mengeroyok laki-laki yang merampas Mahkota. Entah bagaimana jadinya karena mereka bertempur sambil berlari dan berkejaran. Teecu ikut mengejar sambil berteriak-teriak minta dikembalikan benda itu. Tiba-tiba muncul banyak orang yang galak-galak. Teecu ditangkap dan dipaksa menyerahkan Mahkota. Untung segera datang Kakek perkasa (Lo-Cianpwe) ini yang menolong Teecu dan membawa Teecu pergi seperti terbang cepatnya."

   Kun Hong termenung mendengar ini. Kembali Paman gurunya yang menolong A Wan, akan tetapi kenapa tidak sekalian merampas Mahkota itu? Dia menjadi amat kecewa.

   "Jadi Mahkota itu dirampas orang?"

   Katanya lambat-lambat dengan nada sedih.

   "Suhu, apa sih gunanya benda mengkilap itu? Kalau memang amat perlu dan amat berharga bagi Suhu, biarlah Teecu menyelundup masuk Kota Raja lagi dan pergi menyelidikinya."

   A Wan berkata dengan suara sedih pula melihat suhunya demikian kecewa. Kata-kata ini menyadarkan Kun Hong dan seketika mukanya berubah biasa lagi.

   "Ah, kau mana tahu, A Wan? Bukan benda emas itu yang berharga, melainkan surat yang tersembunyi di dalamnya..."

   "Surat? Bertulis? Wahhh, kebetulan sekali Suhu! Teecu sudah menduga-duga surat apa ini. Surat yang disembunyikan di dalam Mahkota ada pada Teecu."

   Sambil berkata demikian A Wan mengeluarkan segulung surat kekuning-kuningan dari dalam saku bajunya. Kun Hong cepat menyambar surat itu dan meraba-raba dengan jari-jari tangannya, wajahnya berseri gembira dan Bibirnya tersenyum.

   "Bagaimana kau bisa mendapatkan ini? Di dalam Mahkota katamu?"

   "Benar, Suhu, Ketika Teecu membersihkan Mahkota itu, Teecu menggosok-gosok sebelah dalamnya yang kotor. Tiba-tiba terdengar bunyi berdetak dan tersembullah kertas di sudut dalam Mahkota. Kemudian ketika Mahkota itu hendak dirampas orang dan Teecu pertahankan, tanpa sengaja Teecu yang memegangi Mahkota dengan sebelah tangan di dalamnya, mencengkeram keluar kertas ini. Baru Teecu ketahui bahwa kertas ini berada dalam genggaman Teecu setelah Mahkota itu dibawa lari orang."

   Kun Hong mengangguk-angguk, meraba-raba kertas bergulung yang kecil itu, kemudian dia menoleh ke arah Sin-Eng-Cu Lui Bok yang semenjak tadi hanya berdiri sambil membelai leher Burung Rajawali, sama sekali tidak memperdulikan percakapan antara Kun Hong dan A Wan.

   "Susiok, tolonglah Susiok periksa gulungan kertas ini. Betulkah ini berisi perintah rahasia mendiang Kaisar?"

   Terdengar kakek itu tertawa lirih, lalu bergumam,

   "Terlalu dalam kau terjerumus ke dalam persoalan dunia."

   Akan tetapi diterimanya juga gulungan kertas kecil itu, dibukanya dan dibacanya sebentar, lalu digulung kembali dan diangkatnya tinggi-tinggi surat itu di atas kepala sambil berkata.

   "Memang betul dan mendiang Kaisar adalah seorang manusia yang telah berbuat banyak jasa selama hidupnya untuk bangsa. Seorang pejuang perkasa, seorang manusia berjiwa besar."

   Dia mengembalikan gulungan kertas itu kepada Kun Hong yang segera menyimpannya di saku baju sebelah dalam. Lenyap semua kekecewaannya. Mahkota kuno itu sendiri baginya tidak mempunyai harga, yang penting adalah surat rahasia inilah.

   "A Wan, kau anak baik! Kau telah berjasa besar..."

   Akan tetapi A Wan yang dipuji gurunya hanya sebentar saja merasa girang karena dia teringat akan Ibunya dan bertanya.

   "Suhu, bagaimana dengan... Ibu? Siapa yang merawat jenazahnya?"

   Atas pertanyaan ini Kun Hong tidak mampu menjawab. Terang tidak mungkin baginya untuk ke rumah mendiang janda Yo yang menjadi pusat perhatian para pengawal Istana. Akan tetapi dia percaya bahwa Hui Kauw tidak akan membiarkan jenazah janda itu terlantar. Dia percaya bahwa Hui Kauw yang dapat bergerak leluasa di Kota Raja akan dapat mengatur sehingga jenazah itu dapat dikubur baik-baik.

   "Jangan khawatir, A Wan. Cici Hui Kauw tentu akan mengatur penguburan jenazah Ibumu."

   "Teecu hendak ke sana, Suhu! Teecu harus menunggu Ibu..."

   Dan sekarang anak itu mulai menangis. Kun Hong mengerutkan keningnya dan menggeleng-gelengkan kepala.

   "Tidak bisa, A Wan. Kau sudah dikenal, kau terlibat dalam urusan perebutan surat rahasia, kalau kau muncul pasti kau akan ditangkap."

   "Biar Teecu ditangkap, biar Teecu dibunuh, Teecu tidak takut. Teecu harus merawat jenazah Ibu...!"

   Kun Hong amat bingung mendengar tangis muridnya yang amat menyedihkan itu. Karena tidak tahu bagaimana harus menghIburnya, dia membentak keras.

   "Diam kau, A Wan! Muridku tidak boleh berhati lemah seperti ini! Pantang laki-laki menangis!"

   Seketika A Wan berhenti menangis, air matanya masih bercucuran ke luar dari sepasang matanya, akan tetapi mata itu kini dibuka terbelalak lebar memandang gurunya dan dia menggigit Bibirnya menahan tangis. Hanya pundaknya saja yang digoyang-goyang oleh isak tangis yang tak mungkin ditahan itu. Kalau saja Kun Hong dapat melihat sikap muridnya ini, tentu dia akan menjadi terharu dan bangga. Ketaatan bocah itu bukan sekali-kali karena takut, Semenjak kecil A Wan mendapatkan cinta kasih dari Ibunya yang berwatak halus, tidak pernah dia mendapat perlakuan kasar sehingga dia tidak mempunyai sifat takut-takut. Ketaatannya kepada Kun Hong berdasarkan keseganan dan kepercayaan bahwa segala apa yang diperintahkan oleh gurunya yang dicintanya sebagai Ibunya sendiri itu, pastilah benar dan baik serta harus ditaatinya.

   "A Wan, muridku yang baik. Pergilah kau ke sana, ajaklah adikmu Cui Sian itu mencari kembang, aku hendak bicara dengan Susiok-Couwmu (Paman kakek gurumu),"

   Kata Kun Hong, kemudian A Wan segera berdiri, menuntun tangan Cui Sian dan pergilah mereka menjauh dan hanya terdengar suara ketawa Cui Sian yang nyaring ketika A Wan mengajaknya menangkap kupu-kupu yang bersayap indah. Kini kakek itu berhadapan dengan Kun Hong. Pendekar Buta ini merasa lemah seluruh anggauta tubuhnya, terbawa oleh derita batin yang ditanggungnya selama ini. Semua tugasnya belum terpenuhi dan dia menjadi bingung menghadapinya. Bagaimana dia akan dapat menunaikan semua tugas itu dengan sempurna?

   "Susiok, bagaimanakah pendapat Susiok? Teecu merasa bingung... Teecu yang buta ini benar-benar kehabisan akal, mohon petunjuk, Susiok."

   Kembali Sin-Eng-Cu Lui Bok tertawa geli.

   "Duduklah, Kun Hong, dan mari kita bercakap-cakap."

   Kun Hong lalu duduk di atas tanah, bersila di depan kakek itu yang sudah duduk bersila di atas rumput tebal.

   "Kun Hong, kalau aku dahulu membujukmu supaya ikut denganku ke puncak gunung dan bertapa, sekarang tidak mungkin lagi. Kau telah mengikatkan dirimu dengan pelbagai urusan dunia dan sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan kau harus melanjutkan semua tugasmu sampai selesai. Selama ini aku selalu mengikuti sepak terjangmu, dan jurus yang kau mainkan untuk membunuhi lawan-lawanmu itu sungguh-sungguh keji!"

   Kun Hong terkejut sekali, mengeluh dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya.

   "Ah, Susiok... berilah petunjuk..."

   Diam-diam dia merasa malu kepada diri sendiri. Kiranya Susioknya ini sekarang sudah menjadi seorang yang demikian saktinya sehingga dapat mengikuti semua pengalamannya. Benar-benar hebat.

   "Dahulu Teecu pernah berlancang mulut memberi nasehat kepada Susiok agar jangan membunuh Hwa I Lokai, sekarang Teecu sendiri malah telah banyak membunuh orang."

   "Kun Hong, aku tidak menyalahkan kau, karena perbuatanmu itu semata-mata hanya dalam tugas membela diri, sama sekali tidak ada niat sebelumnya dalam hatimu untuk membunuh. Kau masih muda, banyak kali hatimu terluka, terutama oleh peristiwa di puncak Thai-San di mana kau kehilangan kekasih dan sekaligus kehilangan sepasang mata. Semua itu terjadi karena kau terlalu diperhamba oleh perasaan dan sekarang pun masih menjadi hamba perasaanmu sendiri sehingga tanpa kau sengaja kau telah menghancurkan pengharapan dan kebahagiaan seorang wanita mulia seperti nona muka hitam itu."

   Kakek itu menarik napas panjang dan Kun Hong tiba-tiba menjadi merah mukanya. Bukan main kakek ini. Sampai urusannya dengan Hui Kauw sekalipun sudah diketahuinya.

   "Susiok, mohon petunjuk..."

   Dia hanya dapat mengulang kata-kata ini.

   "Sudah menjadi kehendak alam agaknya bahwa manusia ini hidupnya dipengaruhi dan dibimbing oleh rasa. Rasa menimbulkan kehendak dan kehendak melahirkan perbuatan. Jadi setiap perbuatan adalah pelaksanaan daripada kehendak yang akan menuruti dorongan rasa. Rasa ini halus sekali dan karenanya sering sekali dipermainkan oleh nafsu. Nafsu inilah pokok-pangkal segala peristiwa di dunia, karena nafsulah yang mendorong segala sesuatu di dunia ini sehingga dapat berputar. Nafsu ini besar kecilnya tergantung kepada fihak ke "aku"

   An yang ada pada diri setiap manusia. Orang yang selalu memikirkan diri sendiri, orang yang selalu mementingkan diri pribadi, dialah seorang hamba nafsu dan sering sekali melakukan perbuatan yang menyeleweng daripada kebenaran."

   Kun Hong adalah seorang pemuda yang semenjak kecil banyak membaca filsafat, dan filsafat di atas sudah pula diketahuinya. Akan tetapi, selama ini tidak pernah dia mendapatkan seorang teman untuk diajak berdebat tentang kebenaran filsafat-filsafat itu, maka saat ini berhadapan dengan seorang sakti, dia sengaja hendak memperdalam arti pengetahuannya dan minta petunjuk agar tidak terlalu risau hatinya.

   "Susiok, kalau begitu, apakah sebaiknya kita membunuh saja nafsu diri sendiri sehingga terhindar daripada penyelewengan dalam hidup?"

   Sin-Eng-Cu Lui Bok tertawa.

   "Aku tahu bahwa kau sudah mengerti akan hal ini akan tetapi agaknya menghendaki keyakinan. Baiklah, akan kucoba untuk menjelaskan. Ada orang-orang bertapa dan sengaja berusaha untuk membunuh nafsunya sendiri. Sudah tentu bagi orang-orang yang melakukan hal demikian usaha ini benar. Akan tetapi bagi aku pribadi, usaha seperti itu bukanlah merupakan jalan untuk mencapai kesempurnaan. Nafsu tidak boleh dibunuh. karena seperti telah kukatakan tadi, nafsu adalah pendorong hidup, pendorong segala di dunia ini sehingga dapat berputar dan berjalan sebagaimana mestinya menurut hukum alam. Tanpa adanya nafsu, dunia akan sunyi, akhirnya segala akan mati dan diam tidak berputar lagi. Karena itulah maka kuanggap keliru ada yang berusaha mencari kesempurnaan dengan jalan membunuh nafsu-nafsunya sendiri."

   Kun Hong mengangguk-angguk. Dia pun pernah membaca tentang orang-orang yang berkeyakinan bahwa jalan ke arah keutamaan dan kesempurnaan adalah membunuh nafsunya sendiri. Dan dia dapat menerima pendapat Paman gurunya ini.

   "Kalau begitu, bagaimana seyogyanya menghadapi nafsu-nafsu sendiri yang kadangkala menyeret kita dalam perbuatan-perbuatan maksiat itu, Susiok?"

   "Nafsu adalah pelengkap yang lahir bersama hidup itu sendiri. Tubuh manusia kalau boleh diumpamakan sebuah kereta yang lengkap, maka nafsu adalah kuda-kudanya yang dipasang di depan kereta. Si kereta tidak akan dapat bergerak maju sendiri tanpa tarikan tenaga kuda-kuda nafsu itu. Kuda-kuda nafsunya memang liar dan binal, kalau dibiarkan saja kuda-kuda itu tentu meliar dan membedal semauaya sendiri, tentu ada bahayanya kuda-kuda itu, akan menjerumuskan keretanya ke dalam jurang kesengsaraan hidup, mungkin berikut kusirnya sekali karena kereta itu juga ada kusirnya, yaitu si aku yang sejati, jiwa yang menguasai seluruh kereta. Kalau kusir itu pandai mengendalikan kuda-kuda liar itu dengan tali-temali berupa kesadaran, maka kuda-kuda nafsu yang liar dan binal itu dapat dipergunakan tenaganya untuk menarik maju si kereta menuju ke jalan yang benar, sesuai dengan kehendak alam, segala sesuatu harus bergerak maju, namun kemajuan yang lurus dan benar, karena siapa yang maju dalam keadaan menyeleweng pasti akan hancur ke dalam jurang kesengsaraan. Mengertikah kau, Kun Hong?"

   Kun Hong mengangguk-angguk.

   "Teecu mengerti, Susiok. Sungguh tidak Teecu sangka bahwa Susiok tahu akan segala kejadian yang menimpa Teecu, malah Susiok secara kebetulan menyaksikan pula diserbunya Thai-San-Pai oleh orang-orang jahat sehingga Susiok berhasil menyelamatkan Cui Sian. Akan tetapi, Susiok, bolehkah Teecu bertanya mengapa Susiok tidak membantu Paman Beng San menghadapi orang-orang jahat yang merusak Thai-San-Pai?"

   "Aku tidak perlu mencampuri urusan pertempuran-pertempuran orang lain, hal itu bukan urusanku. Akan tetapi aku tidak dapat membiarkan seorang anak kecil seperti Cui Sian menjadi korban pertentangan orang-orang tua itu."

   Kun Hong merasa tidak puas, mengerutkan keningnya.

   "Maaf, Susiok, terpaksa Teecu harus membantah. Sungguhpun pertempuran itu bukan urusan Susiok, namun kiranya Susiok dapat membela kebenaran. Bukankah sikap seorang gagah harus selalu membela kebenaran dan keadilan di dunia ini?"

   Sin-Eng-Cu Lui Bok tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha-ha-ha, Kun Hong, kau bilang kebenaran dan keadilan, akan tetapi kebenaran yang mana dan keadilan yang mana? Kebenaran untuk siapa dan keadilan untuk siapa? Anakku, tahukah kau bahwa dunia ini menjadi kacau, manusia saling bermusuhan, tak lain dan tak bukan hanya karena mereka itu saling memperebutkan kebenaran? Kebenaran itu hanya SATU, akan tetapi menjadi banyak sekali sifatnya karena setiap orang mempunyai kebenarannya sendiri-sendiri! Benar dan adil bagi yang satu, belum tentu benar dan adil bagi yang lain. Kalau ada dua orang saling bermusuhan untuk memperebutkan kebenaran, katanya, maka jelaslah bahwa keduanya sudah menyeleweng daripada kebenaran sejati dan yang mereka perebutkan itu adalah kebenaran palsu, karena kebenaran untuk dirinya sendiri, kebenaran dan keadilan demi kepentingan masing-masing. Kalau di waktu itu aku membantu Thai-San-Pai, apa kau kira mereka yang memusuhi Thai-San-Pai menganggap aku benar dan adil? Ha-ha-ha, kurasa tidak, muridku."

   Tentu saja Kun Kong dapat menerima ini karena dia pun sudah tahu akan filsafat tentang kebenaran ini. Akan tetapi dia masih penasaran karena dia yakin bahwa kebenaran berada di fihak pamannya.

   "Maaf, Sosiok. Memang tepat apa yang Susiok uraikan itu, akan tetapi, Susiok, Teecu yang bodoh berpendapat bahwa dengan melihat watak orangnya, mudah ditarik kesimpulan siapa yang benar di antara dua orang yang bermusuhan. Juga dengan akal dan pertimbangan, dapat pula kita menilai dari urusan-urusannya, siapa yang patut disebut berada di fihak kebenaran. Saya kira, tak mungkin kalau Paman Tan Beng San yang terkenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa dan luhur budi pekertinya, tidak berada di fihak benar."

   "Belum tentu, Kun Hong. Yang datang menyerbu adalah orang-orang yang hendak membalas dendam atas kematian orang-orang yang mereka kasihi dan dalam hal ini, isi hati mereka sama sekali tiada bedanya dengan isi hatimu sekarang yang hendak membalas dendam Thai-San-Pai terhadap mereka yang telah merusaknya."

   "Ah... begitukah kiranya...??"

   Kun Hong tercengang.

   "Bagaimana, Susiok apakah yang Teecu harus lakukan? Harap beri petunjuk."

   "Kau masih muda, Kun Hong. Kau sudah melibatkan dirimu dalam tali-temali karma, tak mungkin kau membebaskan dirimu sekarang. Akan tetapi, jalan satu-satunya untuk mendapatkan karma yang baik, adalah bertindak selaras dengan kebajikan. Dengan dasar kebajikan dan kesadaran, kau boleh menentukan sendiri yang mana harus kau bela. Engkau berbeda dengan aku, engkau seorang pendekar muda, harus melangkah atas dasar jejak satria. Aku seorang pertapa yang sudah mencuci tangan, sudah bebas daripada ikatan duniawi, atau setidaknya, yang sedang berusaha untuk pembebasan itu. Kau lanjutkan pelaksanaan tugas-tugasmu karena semua itu tidak menyeleweng daripada kebenaran. Kalau kau menimbang bahwa menyampaikan surat rahasia itu kepada raja muda yang berhak menerimanya itu sudah benar dan patut, kau lakukanlah itu. Kalau kau merasa bahwa orang-orang yang menyerbu Thai-San-Pai itu berada di fihak keliru, kau boleh mencari dan mengajar mereka. Mereka adalah orang-orang Ching-Coa-To bersama teman-temannya, hampir semua mempunyai dendam kepada Thai-San-Pangcu (Ketua Thai-San-Pai). Adapun tentang diri nona muka hitam itu, dialah wanita satu-satunya yang tepat untuk menggantikan kedudukan mendiang nona Tan Cui Bi di sampingmu."

   Muka Kun Hong menjadi merah mendengar kata-kata ini dan hatinya berdebar tidak karuan. Disinggung-singgungnya Hui Kauw dalam percakapan ini membuat dia tak dapat membuka mulut lagi.

   "Sekarang perhatikan nasehatku yang terakhir, Kun Hong. Aku sudah melihat sebuah jurusmu yang hebat dan keji itu, jurus perkawinan antara Im-Yang Sin-Hoat dan Kim-Tiauw-Kun. Dua macam ilmu kesaktian yang amat lurus dan bersih, mengapa dapat dicipta menjadi sebuah jurus yang demikian keji? Siapa yang memberi petunjuk kepadamu?"

   "Lo-Cianpwe Song-Bun-Kwi"

   "Ha-ha-ha, pantas, pantas saja kalau dia, si tua bangka dimabuk nafsunya sendiri itu! Kun Hong, seandainya gurumu, Bu Beng Cu masih hidup dan dapat melihat jurusmu itu, sudah pasti beliau akan merasa sedih dan malu sekali. Juga kalau pamanmu Tan Beng San melihatnya, kau tentu akan mendapat marah. Jurus apa itu namanya?"

   Dengan perasaan sungkan dan malu Kun Hong menjawab lirih,

   "Lo-Cianpwe Song-Bun-Kwi yang memberi nama... eh, jurus Sakit Hati..."

   "Ha-ha-ha, namanya sama jahatnya dengan jurusnya. Tepat, tepat!"

   Dia terkekeh-kekeh geli.

   "Tahukah engkau untuk apa gunanya, orang mempelajari ilmu silat?"

   
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Untuk membela diri, menjaga diri daripada serangan dari luar, dan untuk membela fihak yang tertindas, kaum lemah yang membutuhkan pertolongan, juga untuk menundukkan fihak yang mempergunakan kekuatan untuk berbuat sewenang-wenang, untuk membela kebenaran dan keadilan."

   "Hemm, kalau sudah tahu ini, mengapa menciptakan jurus yang khusus hanya untuk membunuh orang?"

   Suara kakek ini demikian bengis sehingga buru-buru Kun Hong berkata,

   "Teecu salah... selanjutnya tidak akan berani menggunakan jurus sesat itu lagi..."

   Suara kakek itu lunak kembali ketika berkata,

   "Bukan begitu maksudku. Kau berhak menggabungkan Im-Yang Sin-Hoat dengan Kim-Tiauw-Kun, apalagi kalau diingat bahwa kedua ilmu silat itu sumbernya sama, yaitu peninggalan dari Sucouw Bu Pun Su. Tanpa dasar dendam dan sakit hati kau akan dapat menciptakan jurus-jurus sakti dari kedua ilmu itu, malah tidak terbatas hanya satu jurus saja. Biarlah aku menggunakan kesempatan sekarang ini untuk memberi petunjuk kepadamu. Nah, kau bersilatlah dengan Im-Yang-Sin Kiam-Sut kemudian Kim-Tiauw-Kun agar dapat kulihat kemungkinan dan letak rahasia penggabungannya nanti."

   Dengan girang Kun Hong lalu bersilat, mainkan tongkatnya dengan Ilmu Pedang Im-Yan-Sin Kiam-Sut yang dia pelajari dari Tan Beng San. Kemudian dia bersilat lagi dengan Kim-Tiauw-Kun dengan langkah-langkahnya yang ajaib dan gerakan-gerakarnnya yang aneh. Berkali-kali Sin-Eng-Cu Lui Bok berseru menyatakan kekagumannya dan pada akhirnya dia berkata,

   "Hebat sekali! Aku tua bangka Lui Bok benar-benar berbahagia sekali, mata tua ini dapat menyaksikan kedua ilmu silat sakti dimainkan olehmu begitu baiknya. Gurumu, mendiang Suheng Bu Beng Cu tentu akan bangga kalau dapat melihatmu, malah Sucouw Bu Pun Su sendiri tentu tidak pernah mengira bahwa ilmu ciptaannya akan dapat dimainkan sehebat ini oleh seorang cucu murid yang buta."

   Selanjutnya kakek yang sakti ini, yang selama berdiam di puncak Gunung Liong-Thouw-San telah memperdalam ilmunya, memberi petunjuk-petunjuk kepada Kun Hong bagaimana caranya menggabungkan kedua ilmu kesaktian itu menjadi sebuah ilmu silat gabungan yang luar biasa, hebatnya ilmu ini masih menggunakan tenaga yang bertentangan, yaitu tenaga Im dan tenaga Yang seperti dalam ilmu sakti Im-Yang Sin-Hoat,

   Akan tetapi gerakan-gerakannya dicampur dengan Kim-Tiauw-Kun sehingga boleh dikatakan bahwa kalau tangan kanan yang memegang tongkat pengganti pedang mainkan Im-Yang-Sin Kiam-Sut, adalah kedua kaki mainkan langkah ajaib dari Kim-Tiauw-Kun dan tangan kiri juga mainkan jurus-jurus serangan Kim-Tiauw-Kun. Malah jurus yang disebut jurus Sakit Hati dapat dimasukkan dalam ilmu silat gabungan ini, hanya sekarang lain sifatnya, tidak seganas tadinya yang sekali bergerak tentu merupakan jurus maut. Biarpun daya serangannya masih hebat, namun sekarang gerakannya dilakukan dengan penuh kesadaran sehingga dapat dipergunakan menurut ukuran, tidak seperti tadinya yang gerakannya dipengaruhi perasaan sakit hati dan kemarahan sehingga dilakukan secara membuta dengan tujuan membunuh untuk memuaskan nafsu belaka.

   Dengan amat tekun Kun Hong menerima petunjuk teori penggabungan itu dan diam-diam dia mencatat kesemuanya dalam ingatan. Malah dia lalu bersilat dengan gerakan gabungan ini, disaksikan oleh Sin-Eng-Cu Lui Bok yang memberi petunjuk-petunjuk di bagian yang kurang tepat. Sementara itu, A Wan dan Cui Sian sudah kembali ke tempat ini dan dua orang bocah itu dengan bengong duduk di atas tanah sambil menonton Kun Hong bersilat. Cui Sian adalah puteri suami isteri pendekar besar sehingga semenjak kecil ia sudah sering kali melihat orang bersilat, maka tidak mengherankan apabila sekarang ia amat tertarik dan gembira menyaksikan Kun Hong bergerak-gerak seperti itu. Yang mengherankan adalah A Wan. Bocah ini tidak pernah melihat seorang bersilat, akan tetapi sekarang amat tertarik hatinya dan hal ini saja menunjukkan bahwa dia memang berbakat dan berminat.

   "Nah, sekarang kita harus berpisah, Kun Hong. Aku akan kembali ke Liong-Thouw-San. A Wan akan kubawa serta karena selama kau melanjutkan usahamu menyelesaikan tugas-tugas yang amat penting dan berat itu, A Wan hanya akan menjadi penghalang bagimu. Pula, tidak baik kalau anak ini kau bawa menempuh bahaya-bahaya dan pertempuran, karena dia belum memiliki dasar batin yang kuat sehingga aku khawatir kalau-kalau kelak akan menjadi tukang pukul yang kerjanya hanya memperlihatkan kepandaian untuk memukul orang. Juga Cui Sian kubawa, kelak kalau sudah tiba saatnya akan kukembalikan kepada orang tuanya."

   Kun Hong membungkam. Hatinya terasa sunyi mendengar ucapan ini. Semua akan meninggalkannya, orang-orang yang dikasihinya ini. Terdengar suara Burung Rajawali Emas merintih perlahan. Makin sedih hatinya dan tiba-tiba dia berkata,

   "Susiok, ijinkahlah kepada Kim-Tiauw-Ko (kakak Rajawali Emas) untuk menemani Teecu beberapa waktu lamanya. Teecu masih amat rindu kepadanya."

   Sin-Eng-Cu Lui Bok tertawa.

   "Dia bebas, kalau dia mau boleh saja. Nah, selamat berpisah, Kun Hong."

   Kakek itu menggandeng tangan kedua orang anak itu dan mengajaknya pergi. A Wan beberapa kali menengok kepada gurunya, hanya sepasang matanya saja memandang sedih, akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak kakek itu. Luar biasa sekali adalah Burung Rajawali Emas. Agaknya dia dapat menangkap arti percakapan tadi. Buktinya setelah dia diberi kebebasan, agaknya dia suka memenuhi permintaan Kun Hong. Matanya memandang ke arah Lui Bok yang pergi bersama dua orang bocah itu, akan tetapi dia tidak kelihatan bergerak hendak pergi. Kun Hong bangkit berdiri dan merangkul lehernya.

   "Tiauw-Ko, kau tentu suka menemaniku, bukan? Aku kesepian sekali, Tiauw-Ko..."

   Burung itu mengeluarkan suara perlahan, paruhnya yang besar mengkilap dan kokoh kuat itu membelai jari tangan Kun Hong. Tiba-tiba dia lalu mengeluarkan suara aneh lalu mendorong Kun Hong dengan sayapnya. Kun Hong terpental dan Burung itu sudah menyerbu dan menyerangnya!

   "Ha-ha-ha, Tiauw-Ko, kau mengajak latihan?"

   Kun Hong tertawa-tawa gembira, teringat akan kebiasaan mereka dahulu di puncak Bukit Kepala Naga. Dahulu pun Burung inilah yang menjadi teman berlatih, malah boleh dibilang Burung inilah yang menjadi guru pertama dalam ilmu silat! Dia sudah mengenal suara Burung itu kalau mengajak berlatih dan dia tahu pula bahwa Burung ini kalau mengajak latihan berkelahi, selalu berkelahi seperti sungguh-sungguh dan tidak boleh dipandang ringan sedikit pun juga! Timbul kegembiraannya dan mendadak dia teringat akan usahanya yang dibantu oleh Sin-Eng-Cu Lui Bok tadi, yaitu menggabung kedua ilmu silat sakti. Segera dia bergerak menghadapi dengan ilmu silat gabungan ini, menggunakan tongkatnya yang ampuh. Kim-Tiauw memang hebat.

   Dari gerakan-gerakannya tahulah Kun Hong bahwa selama beberapa tahun ini, Kim-Tiauw telah memperoleh kemajuan pesat dan hebat. Gerakan-gerakannya lebih cepat, lebih matang dan pancingan-pancingannya lebih bertambah. Namun harus dia akui dengan hati iba bahwa dalam hal tenaga, Burung ini sudah mundur banyak sekali, tanda bahwa dia sudah mulai tua! Sebaliknya, Kim-Tiauw beberapa kali mengeluarkan seruan-seruan yang bagi telinga Kun Hong terkejut dan kadang-kadang kagum. Memang baginya, dengan ilmu silat gabungan ini, amatlah mudah menghadapi Kim-Tiauw. Langkah ajaibnya dapat mengimbangi gerakan Kim-Tiauw itu, tongkatnya mampu menandingi paruh dan tangan kirinya dapat membalas semua serangan sayap. Malah, dengan amat mudahnya dapatlah dia berkali-kali menampar Burung itu sebagai pengganti tusukan atau hantaman maut.

   Girang hatinya bahwa kini dia dapat mempergunakan jurus Sakit Hati dengan berhasil baik tanpa membinasakan lawan. Hal ini adalah karena dia dapat menimbang tenaganya, biarpun tenaga sakti yang amat hebat dan dahsyat itu tersalur dari dalam melalui setiap pukulannya, namun dia dalam keadaan sadar dan dapat mengurangi atau menambah tenaga, bahkan dapat menariknya kembali setiap saat dia kehendaki. Karena inilah maka kini dengan mudah dia dapat mengganti pukulan maut dengan tepukan atau tamparan tak berarti pada semua bagian tubuh Rajawali Emas itu tanpa melukainya. Setelah berlatih ratusan jurus, akhirnya Rajawali Emas merintih perlahan lalu mendekam di atas tanah, berkali-kali mulutnya mengeluarkan suara pujian. Kun Hong merangkulnya dan tertawa-tawa gembira.

   "Wah, Tiauw-Ko, dengan adanya kau di sampingku, teringat aku akan masa lalu yang amat menggembirakan. Dengan kau di sini aku tidak akan merasa kesepian lagi!"

   Sehari itu Kun Hong bermain-main dengan Rajawali Emas yang mencarikan buah-buahan untuknya, setelah beristirahat lalu berlatih kembali. Burung itu selalu memenuhi permintaannya untuk berlatih dan makin lama makin payahlah Kim-Tiauw melawannya. Bukan main girangnya hati Kun Hong dan dia amat berterima kasih kepada Sin-Eng-Cu Lui Bok karena berkat petunjuk kakek sakti itu, dia benar-benar telah menciptakan ilmu silat yang luar biasa, yang kehebatannya setingkat dengan jurus Sakit Hati akan tetapi tidak sekeji itu. Sehari suntuk dia berlatih dan menciptakan jurus-jurus baru yang sekiranya cocok, diambil daripada gabungan dua ilmu silat sakti itu. Malah sedikit banyak terdapat pula unsur saripati Ilmu Silat Hoa-San-Pai yang dia masukkan ke dalam ilmu silat ini bilamana terdapat kecocokan.

   Betapapun juga, Hoa-San-Pai adalah partai yang dipimpin Ayahnya, maka dia tidak mau meninggalkan ilmu silat partai ini. Setelah malam tiba, Kun Hong yang semenjak sore tadi beristirahat sambil bersamadhi, duduk bersila mengheningkan cipta untuk menyempurnakan hasil ciptaan ilmu silat gabungan itu sambil memulihkan tenaga dan sekalian menyembuhkan luka-lukanya, kini bangkit dari duduknya. Telinganya mendengar suara mengiang-ngiang dan kiranya di tempat itu terdapat banyak sekali nyamuk yang mulai beroperasi setelah sinar matahari menghilang. Kun Hong membuat api dengan jalan mencetuskan ujung tongkatnya kepada batu hitam, membakar daun-daun kering dan sebentar kemudian di situ telah menyala api unggun.

   Kim-Tiauw sudah biasa pula dengan pekerjaan ini, maka tanpa diperintah Burung sakti ini mengumpulkan kayu-kayu kering dengan paruhnya dan menjajarkan dekat api unggun. Setelah itu, dua orang mahluk yang bersahabat itu melayang ke atas pohon. Kun Hong duduk bersila di atas sebuah cabang pohon besar, sedangkan Kim-Tiauw mendekam di dekatnya. Kehangatan bulu Burung itu membuat Kun Hong lebih cepat dapat terlena dalam samadhinya. Tanpa terasa malam merayap cepat dan bulan purnama mulai muncul di ufuk Timur. Api unggun masih bernyala mengeluarkan bunyi gemeretak memakan kayu-kayu dan daun-daun kering. Nyanyian Burung malam yang menyambut munculnya bulan purnama, menyadarkan Kun Hong dari samadhinya. Dia lalu termenung dan diam-diam dia memikirkan keterangan Sin-Eng-Cu Lui Bok tentang orang-orang yang menyerbu Thai-San-Pai.

   Jadi ternyata musuh-musuh Thai-San-Pai itu adalah Ching Toa-Nio dan teman-temannya? Pantas saja mampu menyerbu Thai-San-Pai, kiranya orang-orang sakti yang berada di Ching-Coa-To itu adalah musuh-musuh Thai-San-Pai. Dia mengingat-ingat. Menurut keterangan Hui Kauw, memang ada permusuhan antara mereka dengan Thai-San-Pai. Ching Toa-Nio sendiri adalah kekasih Siauw-Coa-Ong Giam Kin yang tewas di Thai-San-Pai, tentu nyonya galak itu memusuhi Thai-San-Pai, terutama memusuhi Tan Beng San. Orang ke dua adalah Bouw Si Ma, murid Pak Thian Locu yang juga tewas di Thai-San ketika bertanding melawannya (baca Rajawali Emas). Adapun Ang Hwa Sam Ci-moi, tiga orang wanita sakti yang juga menjadi tamu dan sahabat Ching Toa-Nio, adalah adik-adik seperguruan dari Hek Hwa Kui-bo yang merupakan musuh besar Tan Beng San pula.

   Hanya Ka Chong Hoatsu dan Pangeran Souw Bu Lai yang tidak mempunyai permusuhan secara langsung dengan Thai-San-Pai, akan tetapi menilik hasil yang dicapai para penyerbu, bukanlah hal yang dapat disangsikan lagi bahwa kakek Mongol itu tentu ikut pula membantu. Bagaimana dengan Bun Wan putera Ketua Kun-Lun-Pai yang dahulu juga berada di Ching-Coa-To? Apakah ia ikut pula membasmi Thai-San-Pai? Tak mungkin dan Kun Hong menjadi lega hatinya ketika teringat bahwa ketika dia merampas kembali Mahkota di Pulau Ching-Coa-To bcrsama Hui Kauw, pemuda Kun-Lun-Pai itu berada di sana sedangkan Ching Toa-Nio dan semua orang kosen tidak berada di pulau itu. Ini hanya berarti bahwa mereka sedang pergi menyerbu ke Thai-San-Pai dan pemuda Kun-Lun itu tidak ikut.

   "Hemmm, sewaktu-waktu aku akan membalaskan penasaran ini dan akan menghadapi mereka seorang demi seorang."

   Pikirannya mengingat tokoh-tokoh tadi.

   Akan tetapi sekarang dia tidak lagi dipanaskan oleh dendam dan sakit hati, kalau dia berniat melawan mereka, adalah karena dia yakin bahwa mereka itu bukanlah orang baik-baik. Hal ini dapat dibuktikan daripada sepak terjang mereka terhadap dirinya ketika di Pulau Ching-Coa-To, juga mengingat akan tokoh-tokoh yang mereka balaskan sakit hatinya adalah tokoh-tokoh jahat seperti Hek Hwa Kui-bo dan Siauw-Coa-Ong Giam Kin, maka tak perlu diragukan lagi bahwa mereka tentu termasuk golongan hitam yang selalu ditentang oleh para pendekar yang menjunjung tinggi kegagahan, kebenaran dan keadilan. Bulan purnama sudah mulai naik ke atas puncak pohon-pohon di sebelah Timur dan hawa malam makin dingin. Api unggun yang tadi masih bernyala gembira itu mendatangkan kehangatan yang nikmat selain mengusir nyamuk.

   Tiba-tiba Rajawali Emas mengeluarkan suara melengking. Kun Hong kaget dan biarpun dia masih duduk bersila di atas cabang, namun seluruh perhatiannya dia tujukan kepada pendengarannya. Suara Burung itu menandakan bahwa dia marah dan curiga, dan hal ini hanya bisa terjadi kalau Burung itu melihat orang asing mendatangi tempat itu. Anehnya, Burung itu tiba-tiba mengubah suaranya seperti merintih dan ragu-ragu, kini berdiri di atas cabang, tidak mendekam lagi dan kedua sayapnya bergerak-gerak. Kun Hong juga sudah dapat menangkap langkah-langkah kaki dua orang mendekati tempat itu, langkah-langkah dua orang yang mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Burung Rajawali makin aneh sikapnya, sebentar marah sebentar ragu-ragu, dan pada saat itu terdengar seruan seorang wanita,

   "Paman Hong...!"

   Suara seorang laki-laki yang nyaring menyusul,

   "Betul, Paman Kun Hong dan Kim-Tiauw...!"

   Bukan main girang dan kagetnya hati Kun Hong. Dia mengenal baik suara dua orang itu. Sin Lee dan Hui Cu! Saking girangnya Kun Hong lalu melompat turun diikuti melayangnya Burung Rajawali itu dari atas cabang pohon. Rajawali itu masih kelihatan curiga dan marah, akan tetapi dia tidak bergerak menyerang, apalagi melihat betapa Kun Hong segera berangkulan dengan Sin Lee dan memegangi tangan Hui Cu dengan girang sekali.

   Tan Sin Lee, laki-laki yang tegap dan tampan ini adalah keponakannya sendiri, karena Ibu Sin Lee adalah mendiang Kwa Hong, kakak perempuan lain Ibu tunggal Ayah. Sin Lee adalah putera tunggal Kwa Hong dan Tan Beng San. Sedangkan Thio Hui Cu adalah puteri tunggal Paman gurunya, Thio Ki dan Bibi Lee Giok. Telah kurang lebih lima tahun dia tidak bertemu dengan mereka, semenjak dia menghadiri pernikahan mereka di Hoa-San dahulu (baca Rajawali Emas). Rajawali Emas ketika melihat betapa Kun Hong bersikap ramah terhadap dua orang itu, segera menghampiri Sin Lee dan mengeluarkan suara lirih sambil menggosok-gosokkan kepalanya pada pundak orang gagah itu. Sin Lee merangkulnya dan suaranya terharu ketika berkata,

   "Kim-Tiauw-Ko, ternyata kau tidak lupa kepadaku..."

   Di dalam suaranya ini terkandung penyesalan besar mengingat akan sikapnya yang buruk terhadap Burung ini dahulu. Dahulu, di waktu masih kecil, Burung ini adalah teman bermain Sin Lee, malah sebelum Kun Hong bertemu dengan Rajawali Emas ini, lebih dulu Sin Lee telah menjadi teman bermain-main dan berlatih silat. Akan tetapi karena Sin Lee bersikap keras, Burung ini akhirnya meninggalkannya (baca Rajawali Emas).

   "Sin Lee, Hui Cu, benar-benar amat mengejutkan kedatangan kalian ini! Sama sekali tidak pernah aku mimpi bertemu dengan kalian di tempat seperti ini. Kalian hendak ke manakah dan dari mana? Dan sudah berapa orangkah anak kalian?"

   Sin Lee tertawa dan Hui Cu menjadi merah mukanya.

   "Ah... Paman Hong...!"

   Cela Hui Cu.

   "Ha-ha-ha-ha, Hui Cu, kau masih seperti dahulu, pemalu sekali. Apa salahhya bertanya keturunan? Sudah jamak, sanak keluarga maupun handai taulan, kalau saling bertemu setelah berpisah lama, tentulah anak yang ditanyakan, bukannya harta benda. Anak-anaklah harta benda dunia akhirat yang paling berharga. Bukahkah begitu?"

   "Ha-ha-ha, Paman Hong betul sekali. Anak kami hanya seorang, baru berusia empat tahun, laki-laki dan sehat."

   "Wah, bagus! Tetapi kenapa masih begitu kecil sudah kalian tinggalkan?"

   Dia cepat menegur.

   "Kami titipkan kepada para inang pengasuh yang sudah kami percaya penuh."

   Jawab Hui Cu.

   "Terpaksa ditinggalkan setelah kami mendengar berita buruk dari Lo-Cianpwe Song-Bun-Kwi..."

   Wajah Kun Hong menjadi sungguh-sungguh.

   "Hemmm, jadi kalian sudah mendengar akan peristiwa di Thai-San itu?"

   "Betul, Paman Hong. Setelah mendengar peristiwa yang menimpa keluarga Ayah, kami segera meninggalkan Lu-Liang-San. Aku berpendapat bahwa yang melakukan perbuatan biadab itu adalah musuh-musuh Ayah dahulu dan agaknya untuk mencari jejak mereka, tempat yang paling baik adalah di Kota Raja. Maka kami akan menuju ke Kota Raja. Sungguh tidak kami sangka akan bertemu dengan Paman Hong di sini."

   "Berbesar hatilah kalian. Adikmu Cui San sudah tertolong, baru siang tadi aku bertemu dengannya."

   "Benarkah? Di mana dia? Bersama siapa?"

   Sin Lee cepat mendesak. Kun Hong lalu menceriterakan pertemuannya dengan kakek Sin-Eng-Cu Lui Bok dan Cui Sian. Dia hanya menceriterakan yang penting saja, yaitu tentang diselamatkannya Cui Sian, tidak menceriterakan tentang hal A Wan dan lain-lain.

   "Cui Sian sudah selamat dan sekarang sementara dibawa pergi oleh Susiok. Kelak tentu akan dikembalikan kepada Ayahmu."

   Lega rasa hati Sin Lee dan Hui Cu, tetapi Sin Lee dengan penasaran bertanya,

   "Dan siapakah orang-orang yang menyerbu ke Thai-San?"

   Kun Hong mengerutkan kening. Dia maklum akan kepandaian dan watak Sin Lee. Orang ini kepandaiannya cukup tinggi, akan tetapi agaknya akan berbahaya sekali kalau diberitahu bahwa musuh-musuh itu adalah orang-orang di Ching-Coa-To, karena di sana terdapat banyak sekali orang pandai. Apalagi Sin Lee pergi bersama Hui Cu yang dia tahu tingkat kepandaiannya tidak setinggi suaminya. Watak Sin Lee amat keras, kalau sudah tahu tentu tidak akan mau sudah kalau belum dapat membalas dendam. Maka dia segera berkata,

   "Sin Lee dan Hui Cu, tentang itu, untuk sementara ini kiranya tidak perlu kalian ketahui. Serahkan saja hal itu kepadaku karena aku pun tidak akan tinggal diam sebelum memberi hajaran kepada mereka. Soalnya memang berbelit-belit, berpangkal pada balas membalas urusan dahulu! Sekarang, ada tugas yang amat penting yang hendak kuserahkan kepada kalian, tugas yang lebih penting daripada urusan balas membalas ini. Cui Sian sudah selamat, malah Ayah dan Ibumu sudah pergi meninggalkan Thai-San-Pai, tentu akan mencari orang-orang jahat itu pula. Kebetulan sekali kalian datang sehingga dapat mewakili aku melakukan tugas ini. Bersediakah kalian?"

   Semenjak dahulu, Sin Lee sudah mempunyai hati kagum dan tunduk kepada Pendekar Buta ini. Dia maklum bahwa Pendekar Buta ini biarpun sikapnya seperti orang lemah dan bodoh, namun memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, yang sudah dia saksikan dahulu ketika terjadi adu kepandaian di Thai-San. Pula, dia meninggalkan Lu-Liang-San memang karena terdorong kekhawatirannya akan keselamatan Cui Sian, sekarang setelah Cui Sian berada dalam keadaan selamat, memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.

   "Baiklah, Paman Hong. Urusan apakah itu, lekas beritahukan kepada kami, pasti akan kami laksanakan,"

   Jawabnya. Dengan singkat namun jelas Kun Hong menceriterakan tentang surat rahasia dari mendiang Kaisar untuk disampaikan kepada Raja Muda Yung Lo di Utara, menceriterakan pula betapa surat rahasia ini dijadikan perebutan karena amatlah penting artinya.

   "Mengingat akan perjuangan Paman Tan Hok yang sampai mengorbankan nyawanya itu, aku sudah mengambil keputusan akan melindungi surat ini dan menyampaikannya kepada yang berhak, biarpun untuk itu aku harus mempertaruhkan nyawa. Akan tetapi aku seorang buta, agaknya lebih sukar bagiku untuk dapat menyampaikannya kepada yang berhak. Oleh karena itu, aku minta bantuan kalian, bawalah surat ini dan sampaikanlah kepada Raja Muda Yung Lo di Utara. Tugasmu ini tidaklah ringan dan kalau sampai terpenuhi, jasamu untuk negara bukanlah kecil. Kiranya surat wasiat ini akan banyak mengurangi pertumpahan darah kalau sampai terjadi perang saudara, karena tentu para pembesar di Selatan yang masih setia kepada mendiang Kaisar, akan tunduk terhadap isi surat wasiat ini dan tidak akan membantu Kaisar muda."

   Sin Lee menerima surat itu, menyimpannya dan menyanggupi untuk melaksanakan tugas itu.

   "Setelah selesai tugasmu, kalian kembalilah saja ke Lu-Liang-San. Kasihan anak kalian ditinggal Ayah bundanya terlalu lama. Kelak aku pasti akan datang ke Lu-Liang-San, ingin aku memondong anakmu itu!"

   Malam itu mereka bermalam di hutan, semalam suntuk tidak dapat tidur karena mereka bercakap-cakap menceriterakan pengalaman masing-masing. Apalagi Hui Cu yang merasa amat kasihan kepada pamannya ini, membujuk-bujuk agar Kun Hong kembali ke Hoa-San dan suka memilih jodoh. Bujukan ini hanya disambut dengan senyum pahit oleh Kun Hong yang sama sekali tidak berani berceritera tentang Hui Kauw. Sementara itu, Sin Lee melepaskan rindunya kepada Rajawali Emas dengan mengajak Burung itu bercakap-cakap seperti dahulu ketika dia masih kecil.

   Banyak dia bicara dengan Burung itu yang mendengarkan dengan terharu karena memang sudah bertahun-tahun Burung ini hidup di samping Sin Lee maka dia dapat mengerti banyak apa yang dibicarakan pendekar ini. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Lee dan Hui Cu berangkat meninggalkan Kun Hong. Tujuan mereka adalah Ibu kota di Utara. Dengan terharu Hui Cu memegang tangan Kun Hong dan berkali-kali ia berkata dengan suara penuh permohonan agar sang Paman ini benar-benar akan segera datang menjenguk anaknya di Lu-Liang-San. Akhirnya mereka berpisah, suami isteri itu ke Utara, sedangkan Kun Hong bersama Rajawali berjalan perlahan keluar dari hutan, hendak pergi ke Ching-Coa-To, karena Kun Hong ingin menghadapi orang-orang yang telah merusak Thai-San-Pai.

   Loan Ki dan Nagai Ici dengan mudah dapat memasuki Kota Raja. Gadis ini adalah seorang yang berwatak jujur, juga memang sedikit banyak ia membanggakan Ayahnya, maka siapa yang bertanya, ia akan mengaku terang-terangan bahwa ia adalah puteri tunggal Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui! Justeru sikapnya ini menguntungkannya, karena begitu para penjaga pintu gerbang Kota Raja mendengar bahwa gadis itu puteri Sin-Kiam-Eng dan pemuda tampan itu seorang sahabat baiknya, tanpa banyak cerewet lagi mereka mempersilakan mereka berdua masuk tanpa diperiksa lagi. Siapa orangnya di antara para penjaga tidak mengenal tokoh besar yang sekarang sudah menjadi seorang di antara para tokoh undangan The-Kongcu itu?

   Para mata-mata dan penyelidik pun setelah tahu bahwa gadis ini adalah puteri Sin-Kiam-Eng, otomatis tidak berani sembarangan melakukan pengintaian sehingga Loan Ki dan Nagai Ici menjadi bebas dapat berkeliaran di Kota Raja tanpa ada yang mencurigainya. Setelah melakukan perjalanan bersama Nagai Ici selama beberapa pekan ini, Loan Ki merasa makin tertarik kepada pemuda perkasa dari Jepang itu. Memang harus diakui bahwa pemuda itu adalah seorang ksatria Jepang yang berwatak gagah dan berperibudi luhur. Biarpun dia seorang kesatria Samurai, namun dia tidak seperti sebagian besar golongannya yang suka menghambakan diri sebagai tukang-tukang pukul bayaran.

   Dia betul-betul seorang pemuda berwatak pendekar pembela kebenaran dan keadilan. Dia banyak berceritera kepada Loan Ki tentang negerinya sehingga gadis lincah ini tertarik sekali dan beberapa kali menyatakan keinginan hatinya hendak menyeberangi lautan menyaksikan negeri aneh itu dengan matanya sendiri. Tentu saja diam-diam Nagai Ici merasa berbahagia sekali. Dia sudah jatuh cinta betul-betul kepada gadis yang demikian gagahnya, yang dapat mainkan pedang sedemikian hebat, mampu melawan Samurai merahnya! Juga di sepanjang perjalanan, di waktu beristirahat, keduanya bertukar ilmu dan saling mengisi sehingga bagi Nagai Ici, mulailah dia melihat kehebatan ilmu silat yang tentu saja dapat dia jadikan bahan untuk mempertinggi ilmu pedangnya.

   Kedatangan Loan Ki di Kota Raja itu terutama sekali hendak mencari Ayahnya karena ia bermaksud untuk memperkenalkan Nagai Ici kepada Ayahnya dan ingin minta kepada, Ayahnya agar supaya suka menerima pemuda Jepang itu sebagai murid. Ketika pada hari itu ia tiba di Kota Raja dan mencari kamar di rumah penginapan, pelayan yang menyambut mereka dengan manis budi menyuruh mereka mengisi nama pada buku daftar tamu. Dengan lagak gagah Loan Ki menuliskan namanya, ditambah "Puteri Sin-Kiam-Eng dari Pek-Tiok-Lim", sedangkan nama Nagai Ici ia tuliskan sebagai nama Han, yaitu Na Gai It! Girang hatinya karena pengurus rumah penginapan itu serta merta memberi hormat dan berkata manis penuh hormat,

   "Ah, kiranya puteri dari Tan-Taihiap (pendekar besar Tan)!"

   Lalu pengurus ini membentak pelayan.

   "He, mengapa kamu begini sembrono, tidak cepat-cepat menyambut kedatangan Tan-Lihiap (Pendekar Wanita Tan)? Hayo lekas antar Lihiap ke kamar yang paling besar! Totol kalian ini, apakah tidak tahu bahwa Lihiap adalah puteri Tan-Taihiap yang menjadi jagoan undangan Kaisar?"

   Kalau tadinya hati Loan Ki merasa girang dan bangga, adalah kalimat terakhir itu menimbulkan penasaran dan tidak enak di hatinya. Ayahnya menjadi jagoan undangan Kaisar. Menjadi hamba Kaisar yang begitu buruk wataknya? Ia masih teringat betapa orang-orang jahat menangkap-nangkapi gadis-gadis cantik untuk dijadikan selir Kaisar baru. Malah ia bersama Nagai Ici telah membasmi orang-orang jahat yang menawan gadis-gadis itu.

   Di dalam hatinya, ia sudah menjadi tidak senang kepada Kaisar baru, kenapa sekarang Ayahnya malah membantu Kaisar itu? Akan tetapi tentu saja ia tidak menyatakan sesuatu, hanya mengikuti para pelayan dan ia minta disediakan dua buah kamar. Malam harinya, ia bersama Nagai Ici melakukan perjalanan berkeliling Kota Raja. Setelah mendengar bahwa Ayahnya menjadi hamba Kaisar, ia merasa ragu-ragu untuk menemuinya di Kota Raja ini. Kebetulan sekali malam hari itu ia mendengar tentang kerIbutan yang terjadi pada hari kemarin, tentang seorang penjahat buta yang dikejar-kejar dan dikeroyok oleh para pengawal Istana. Hatinya menjadi berdebar. Teringat ia akan Kun Hong. Kalau bukan Kun Hong, siapa lagi di dunia ini ada seorang buta yang demikian perkasa sehingga dikeroyok oleh pengawal-pengawal Istana?

   "Wah, agaknya gawat di Kota Raja ini,"

   Bisiknya kepada Nagai Ici.

   "Kalau benar Hong-Ko (kakak Hong) orang buta yang dikeroyok itu, kita harus menyelidikinya dan kalau perlu menolongnya."

   Dengan singkat ia, lalu menuturkan kepada Nagai Ici tentang orang buta itu. Pemuda Jepang ini bangkit semangatnya mendengar tentang diri Pendekar Buta yang gagah perkasa itu, tidak hanya ingin membantu, malah ingin bertemu dan bersahabat. Selama ini, baru sekali dia bertemu orang pandai, bukan lain gadis lincah inilah. Demikianlah, pada keesokan malamnya, kembali Loan Ki mengajak Nagai Ici menyelidiki sampai jauh malam. Kemudian secara kebetulan ia mendengar rIbut-rIbut pertempuran di pondok janda Yo karena ia dan Nagai Ici berada di dekat tempat itu. Cepat ia bersama pemuda Jepang itu lari mendekati dan alangkah terkejut hati Loan Ki ketika dia melihat bahwa orang yang dikeroyok benar-benar adalah Kun Hong sendiri. Lebih kaget lagi hatinya ketika ia melihat Ayahnya adalah seorang di antara mereka yang mengeroyok Kun Hong.

   

Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini